You are on page 1of 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah salah satu hak azasi manusia sehingga kesehatan


merupakan kewajiban pemerintah kepada warga negaranya terutama terhadap warga
negara yang kurang memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu
karena pengaruh ketidakmampuan secara ekonomi. Pada tahun 2000, untuk pertama
kalinya kata-kata “kesehatan” tercantum dalam UUD 1945 pada pasal 28H yang
merupakan hasil amandemen tahun 2000 “setiap penduduk berhak atas pelayanan
kesehatan”. Hal ini tentu saja merupakan jaminan hak-hak kesehatan bagi seluruh
rakyat Indonesia sesuai dengan deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB pada tahun
1947.
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini telah mengalami
kemajuan yang cukup berarti bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat
Indonesia. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan status kesehatan penduduk
negara-negara tetangga misalnya maka status kesehatan penduduk Indonesia masih
jauh tertinggal yang ditunjukkan dengan masih tingginya Angka Kematian Bayi
(AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan
bahwa angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 1998 masih 48 per 1.000
kelahiran hidup. Angka kematian bayi tersebut jauh lebih tinggi dari angka kematian
bayi di Muangtai (29), Filipina (36), Srilanka (18) dan Malaysia (11). Berbagai studi,
termasuk yang dilaporkan dalam World Health Report 2000, menunjukkan bahwa
rendahnya angka kematian bayi dan kinerja sistem kesehatan lainnya mempunyai
korelasi yang kuat dengan pembiayaan kesehatan. Laporan WHO tersebut
menempatkan kinerja sistem kesehatan Indonesia pada urutan ke-92, yang jauh lebih
rendah dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49),
Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina (urutan ke 60). Secara rata-rata, laporan
tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan Indonesia menurut nilai tukar
yang berlaku pada tahun 1997 adalah US$ 18 per kapita per tahun. Sementara
negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia dan Muangtai sudah menghabiskan
berturut-turut sebesar US$ 40, US$ 110, dan US$ 133.
Pengeluaran kesehatan perkapita Indonesia tidak sampai separuh dari yang
dikeluarkan masyarakat Filipina tahun 1997, sedangkan pendapatan per kapita
Filipina tahun 2001 sebesar US$ 1.069 tidak lebih dari dua kali lipat dari PDB per
kapita Indonesia yaitu US$ 670 (WHO, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
investasi Indonesia memang jauh lebih rendah dari tingkat investasi negara tetangga
tersebut, sehingga dapat dimaklumi jika tingkat kesehatan Indonesia juga jauh di
bawah. Pengeluaran kesehatan Indonesia yang rendah tersebut, baik yang bersumber
dari masyarakat maupun yang bersumber dari pemerintah, diduga tidak mengalami
kenaikan berarti selama ini. Banyak laporan menyampaikan bahwa pemerintah
mempunyai kontribusi sebesar 20-30% dari pembiayaan kesehatan secara
keseluruhan. Sementara pembiayaan kesehatan oleh sektor swasta, yang pada
umumnya merupakan pengeluaran yang dibayarkan langsung dari kantong sebdiri
(out of pocket) kepada pemberi pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60%-70%
(Depkes, 2002).
Tingginya pengeluaran out of pocket ini bersifat regresif, yakni semakin berat
dirasakan oleh mereka yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan mereka
yang berpendapatan tinggi. Sistem pembiayaan yang regresif ini dikenal sebagai
sistem pembiayaan yang tidak adil (unfair) dalam konsep equity egalitarian karena
justru memberatkan penduduk golongan bawah. Penelitian yang dilakukan Thabrany
dan Pujiyanto (2000) menunjukkan bahwa penduduk 10% terkaya mempunyai akses
rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih besar dari penduduk 10% termiskin.
Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari satu dekade dan tanpa upaya yang
sistematik dan serius, kesenjangan tersebut akan terus berlangsung. Untuk melihat
tingkat keadilan pembiayaan ini, WHO mengembangkan indeks keadilan
pembiayaan kesehatan (fairness in health care financing). Dalam indeks inilah
Indonesia berada jauh di bawah negara-negara tetangga yang memang telah memiliki
infrastruktur pembiayaan kesehatan yang jauh lebih baik. Berbagai Penelitian
menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity) dapat diperkecil dengan
memperbesar porsi pembiayaan publik atau asuransi kesehatan publik. Sayangnya,
cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih rendah yaitu
berkisar pada 16% penduduk (Thabrany, 2002).
Kebutuhan biaya pelayanan kesehatan cenderung terus mengalami kenaikan
sehingga kemampuan daya beli kesehatan masyarakat cenderung menurun. Hal ini
menyebabkan jika jatuh sakit penghasilannya akan habis untuk biaya kesehatan dan
terampas kesejahteraan minimum. Untuk itulah, diperlukan sistem yang menjamin
kesehatan masyarakat miskin pada khususnya dan seluruh masyarakat pada ummnya.
Melalui jaminan kesehatan masyarakat keterbatasan khususnya akses dan
kemampuan membayar akan dapat berkurang sehingga status kesehatan akan
meningkat (Mukti, 2009).
Untuk menjamin akses penduduk miskin terhadap pelayanan kesehatan, sejak
tahun 1998 pemerintah melaksanakan berbagai upaya pemeliharaan kesehatan
penduduk miskin. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998, menjadikan
kesehatan sebagai sesuatu yang sangat mahal. Hal ini menyebabkan warga miskin
mengalami kesulitan untuk mengakses kesehatan. Program Jaring Pengaman Sosial
Bidang Kesehatan (JPS-BK) merupakan program terobosan dari pemerintah untuk
menolong rakyat miskin dari kesakitan. Pada tahun 2005 pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin diselenggarakan dalam mekanisme asuransi kesehatan yang
dikenal dengan Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin).
Atas pertimbangan pengendalian biaya kesehatan, peningkatan mutu, transparansi
dan akuntabilitas dilakukan perubahan mekanisme pada tahun 2008 yang dikenal
dengan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas).
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional merupakan kebijakan baru di bidang jaminan sosial di Indonesia
yang bertujuan untuk menggantikan program-program jaminan sosial yang ada
sebelumnya seperti ASKES, JAMSOSTEK, TASPEN, DAN ASABRI dan
mencakup seluruh penduduk. Sebagai program baru tentu saja diperlukan analisis
yang baik agar pada tataran impelementasinya tujuan yang diharapkan dapat tercapai
secara optimal yang pada gilirannya akan meningkatnya kesejahteraan penduduk
termasuk di bidang kesehatan melalu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

B. Rumusan Masalah
a. Apa saja proses kebijakan JKN yang di kembangkan dan di implementasikan?
b. Apa saja tujuan dan motivasi di balik adanya kebijakan JKN?
c. Apa saja area-area yang potensial untuk di intervensi dalam proses kebijakan
JKN?
C. Tujuan
Analisis kebijakan JKN ini bertujuan untuk:
a. Mendapatkan pemahaman proses kebijakan JKN yang dikembangkan dan
diimplementasikan.
b. Mengetahui tujuan dan motivasi di balik adanya kebijakan JKN.
c. Memahami area-area yang potensial untuk diintervensi dalam proses kebijakan
JKN.
BAB II

ANALISIS KEBIJAKAN

A. Kebijakan Kesehatan

Kebijakan secara sederhana dapat didefenisikan sebagai suatu proses atau


serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh
pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi
kepentingan seluruh rakyat. Menurut UU No. 36, tahun 2009 tentang Kesehatan
disebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomis. Oleh sebab itu Kebijakan Kesehatan dapat didefenisikan sebagai
proses tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan
pemerintah yang mempunyai tujuan tercapainya keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan seluruh rakyat untuk hidup
produktif secara sosial dan ekonomi.

Kebijakan JKN merupakan suatu kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan


oleh pemerintah dengan tujuan tercapainya keadaan sehat sebagaimana defenisi
kesehatan di atas dengan aspek intervensi pada pembiayaan pelayanan kesehatan
khususnya jaminan pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu JKN merupakan salah satu
bentuk Kebijakan Kesehatan. Sebagai suatu kebijakan kesehatan, kebijakan JKN
memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penyediaan


jaminan pelayanan kesehatan
2. Merupakan kebijakan yang berisi tindakan atau pola tindakan pemerintah di
bidang kesehatan
3. Merupakan kebijakan yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah bersama
aparaturnya terutama organisasi pelayanan kesehatan.
4. Bersifat posistif dalam arti bahwa JKN dilakukan semata-mata untuk memberi
manfaat bagi seluruh penduduk untuk memperoleh hak yang sama dalam
pelayanan kesehatan.
5. Kebijakan JKN didasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang
bersifat mengikat.
B. Bentuk dan Proses Kebijakan

Ada banyak bentuk kebijakan publik yang pernah dikemukakan oleh para ahli,
namun secara umum bentuk kebijakan publik dapat dibedakan atas:

1. BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK yang TERKODIFIKASI, yaitu kebijakan


dalam bentuk tertulis seperti: Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Pemerintah
2. BENTUK KEBIJAKAN PUBLIK yang tidak TERKODIFIKASI berupa
pernyataan-pernyataan lisan pejabat publik dengan mengatas namakan lembaga
yang dipimpinnya.

Dalam hal ini, kebijakan JKN termasuk dalam kategori bentuk kebijakan
publik yang terkodifikasi karena kebijakan tersebut tertuang dalam Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditindaklanjuti
dengan ditetapkannya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Secara sederhana, proses kebijakan dimulai dari adanya isu kebijakan yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kebijakan untuk kemudian
diimplementasikan sebagaimana pada gambar berikut:
3. Teori Analisis Easton

Secara konteks keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang
mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem
politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum.
Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus
mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh proses tersebut.
Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton menghendaki analisis yang
dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur
lain. Easton menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan parsial.

Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya.
Sebab itu pengamatan atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh
lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis data,
psikologis dan situasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah mengantisipasi
pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan pada
tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku warganegara
sebagaimana dalam pendekatan behavioralisme. Easton menekankan pada motif
politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik.
Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik
seperti lokasi geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh
tersendiri atas sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat)
yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga menghendaki
dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun (tidak seimbang).
Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan bakar sehingga sistem politik
dapat selalu bekerja.

Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu
penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa
saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-
lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di
tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini.

Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap


kajian sistem politik, yang terdiri atas:

a. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik Sama dengan dengan


paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat unit-
unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama untuk
mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah lembaga-lembaga
yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik seperti legislatif,
eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-
unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah
negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.

b. Input-output Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik.


Input yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan
dan dukungan. Tuntutan secara sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan
yang alokasinya belum merata atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem politik.
Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung
keberadaan sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja sistem
politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat. Output
terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah. Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan
sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah
implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.

c. Diferensiasi dalam sistem Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi


(pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat modern yang rumit tidak
mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah. 4. Integrasi dalam
sistem Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai
tujuan bersama.

Hasil pemikiran tahap pertama Easton adalah sebagai berikut:

Skema Kerja Sistem Politik Easton

Pada gambar di atas, Easton memisahkan sistem politik dengan masyarakat


secara keseluruhan oleh sebab bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem yang
berupaya mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatif. Alokasi
nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan yang
legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi. Suatu sistem politik
bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision) dan tindakan (action) yang
disebut kebijakan (policy) guna mengalokasikan nilai.

Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik


(political actions) yaitu kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap
Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya.

Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan dan
dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkungan
intrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan dengan barang dan
pelayanan (misalnya pelayanan kesehatan), berkenaan dengan regulasi, ataupun
berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik.
Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di
dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk
didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain,
dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun
menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan
memiliki dua corak yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting) kinerja sebuah
sistem politik.

Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, keluarannya


disebut sebagai output, yang menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu
keputusan (decision) dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan
memunculkan feedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam sistem politik
maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali ke dalam format
tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut meneruskan kinerja sistem politik.
Demikian proses kerja ini berlangsung dalam pola siklis.
BAB III

PROSES PERUMUSAN KEBIJAKAN

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

Berikut ini adalah proses perumusan kebijakan JKN dengan pendekatan


menurut teori Easton, yang meliputi input, proses, output, dan feed back.

A. INPUT
Analisis terhadap input meliputi: demand, resources, dan support:
1. Demands
Sistem Kesehatan Indonesia harus memihak rakyat. Saat ini sistem
pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia,
meskipun pelayanan tersebut disediakan di RS publik. Rakyat yang membayar
lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya,
you get what you pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang
merata (setara) atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada
prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai kemampuannya
membayar.
a. Resources
Sumber daya adalah asset yang dimiliki oleh Pemerintah untuk memenuhi
demand yang telah diajukan. Dalam hal ini sumber daya tersebut adalah
1) Adanya badan usaha milik negara yang sudah menyelenggarakan
jaminan sosial terbatas seperti PT Jamsostek, PT. ASABRI, PT.
ASKES, PT. Taspen sebagai modal infrastruktur awal.
2) Kemampuan negara dalam hal keuangan dan sumber daya manusia.
b. Support
1) Sistem politik yang kondusif.
2) Dukungan masyarakat, akademisi, kelompok profesi, partai politik
dan kelompok kepentingan lain
3) Institusi pengembangan SDM kesehatan, mencakup pendidikan,
pelatihan, dan penelitian.
4) Insitusi Pemberi Layanan Kesehatan mulai dari layanan dasar sampai
rujukan.

B. PROSES
Proses pembuatan JKN adalah sebagai berikut:
1. Proses Legislasi dan Litigasi Proses legislasi dan litigasi terdiri dari:
a. Riset
b. Membangun Argumentasi
c. Membuat Konsep Tanding

Proses ini akan menghasilkan isi kebijakan (Content of Law)

a. Riset
1) Status kesehatan penduduk Indonesia, dan perbandingannya dengan
negara lain. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005
menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia masih 46 per
1.000 kelahiran hidup, sementara di Muangtai 29, Filipina 36, Srilanka
18, dan Malaysia 11 per 1.000 kelahiran hidup.
2) Korelasi status kesehatan dengan kinerja sistem kesehatan, khususnya
pendanaan kesehatan. Anggaran kesehatan seharusnya minimal 5 persen
dari APBN.
3) Sekitar 10% rumah tangga termiskin harus menghabiskan 230%
penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali rawat inap anggota
keluarganya. Sementara keluarga 10% terkaya hanya menghabiskan
120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat
inap anggota keluarganya. Akibatnya akses terhadap pelayanan rumah
sakit menjadi sangat tidak adil, karena penduduk miskin tidak mampu
membiayai perawatan.
4) Sekitar 83% rumah tangga mengalami pembayaran katastropik ketika
satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah
rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin),
karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di
RS, bahkan di rumah sakit publik.
b. Membangun Argumentasi
1) Aspek hukum dan hak asasi manusia, yaitu Deklarasi PBB tentang HAM
Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952. Di Indonesia,
jaminan sosial diamanatkan dalam UUD Tahun 1945 dan perubahannya
Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat (2).
2) Kondisi sistem kesehatan Indonesia yang sangat tidak memihak kepada
rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee
for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut di
sediakan di RS publik. Sehingga rakyat Indonesia menghadapi ketidak-
pastian (uncertainty) dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Di rumah
sakit publik sekalipun, rakyat tidak tahu berapa biaya yang harus
dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat, sampai ia keluar
dari rumah sakit. Tidak jarang jika kemudian akhirnya rakyat mencari
pengobatan tradisional atau tidak berobat karena ketiadaan uang, yang
berakhir dengan tingginya angka kematian dan rendahnya usia harapan
hidup.
3) Sistem kesehatan di Indonesia jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi
seluruh rakyat. Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan
yang diperdagangkan. Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat
pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya, you get what you
pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang merata (setara)
atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada
prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai
kemampuannya membayar.
4) Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan
(inequity, ketidakadilan / ketidaksetaraan) hanya dapat diperkecil dengan
memperbesar porsi pendanaan publik, baik melalui APBN (tax funded)
maupun melalui sistem asuransi kesehatan sosial. Sayangnya, pendanaan
kesehatan bersumber pemerintah sangat kecil dan cakupan asuransi
kesehatan yang sustainable di Indonesia masih sangat rendah.
5) Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang
diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sebagaimana dalam
Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102
Tahun 1952. Di Indonesia, jaminan sosial diamanatkan dalam UUD
Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2).

c. Membuat Konsep Tanding


1) Tahun 1990-an, muncul konsep JPKM.
2) Tahun 2000-an, dikembangkan program Jamkesmas dan Jampersal
3) Membuat usulan Strategi Pendanaan Jaminan Kesehatan Indonesia dalam
bentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.

C. OUTPUT
Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU SJSN (Nomor 40/2004) diundangkan
Presiden Megawati pada hari terakhir beliau berada di Istana.

D. FEED BACK
Sebagai feed back terhadap kebijakan SJSN dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Uji Materi UU SJSN dan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI
2. Potensi Kelemahan UU SJSN
BAB IV
KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)

A. Legalitas dan Landasan Filosofi


Kebijakan JKN merupakan program negara yang bertujuan memberikan
kepastian perlindungan dan kesehatan bagi seluruh rakyat. Untuk mewujudkan
tujuan tersebut dibentuklah badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum
berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil
pengelolaan dana jaminan kesehatan seluruhnya untuk pengembangan program
kesehatan dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Program JKN merupakan salah satu program dalam Sistem Jaminan Sosial
Nasional yaitu sebuah sistem Jaminan Sosial yang diberlakukan di Indonesia.
Jaminan sosial ini adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan
oleh negara Republik Indonesia guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi
kebutuhan hidup dasar yang layak. Sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM
tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952.
UU Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN menggantikan program-program
jaminan sosial yang ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang
dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya,
karena jumlah pesertanya belum mencakup seluruh penduduk, jumlah nilai manfaat
program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program
tersebut.
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) telah ditindaklanjuti dengan ditetapkannya Undang- Undang Republik
Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima
Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun
2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

B. Prinsip dan Esensi


Dalam pelaksanaannya, ada 9 (sembilan) prinsip JKN yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Kegotongroyongan adalah prinsip kebersamaan antar peserta dalam
menanggung beban biaya jaminan sosial yang diwujudkan dengan kewajiban
setiap peserta membayar iuran sesuai dengan tingakat gaji, upah atau tingkat
penghasilannya.
2. Nirlaba adalah prinsip pengelolaan usaha yang mengutamakan penggunaan
hasil pengembangan dana untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya dari
seluruh peserta.
3. Keterbukaan adalah prinsip mempermudah akses informasi yang lengkap,
benar, dan jelas bagi setiap peserta.
4. Kehati-hatian adalah prinsip pengelolaan dana secara cermat, teliti, aman dan
tertib.
5. Akuntabilitas adalah prinsip pelaksanaan program dan pengelolaan keuangan
yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Portabilitas adalah prinsip memberikan jaminan yang berkelanjutan meskipun
peserta berpindah pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
7. Kepersertaan bersifat Wajib adalah prinsip mengharuskan seluruh penduduk
menjadi peserta jaminan sosial, yang dilaksanakan secara bertahap.
8. Dana Amanat adalah bahwa iuran dan hasil pengembangannya merupakan dana
titipan dari peserta untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta
jaminan sosial.
9. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta
adalah hasil berupa deviden dan pemegang saham yang dikembalikan untuk
kepentingan peserta jaminan sosial.

Fungsi pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah adalah


sebagai regulator dan fasilitator sehingga penyelenggaraan JKN menjadi
kewenangan BPJS, yang mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan sistem
jaminan sosial yang didanai sendiri oleh masyarakat bukan merupakan kewenangan
pemerintah pusat dan tidak juga menjadi kewenangan pemerintah daerah. Oleh
karena kewenangan BPJS begitu menentukan dalam memberikan kepastian jaminan
sebagaimana mengacu pada amanat pasal 28-h dan pasal 34 UUD 1945, maka
penyelenggaraannya secara teori di luar kapasitas BUMN Persero yang tunduk
dengan UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas dalam artian tanggung jawab
pemerintah sebagai pemegang saham menjadi terbatas. Kemudian penyelenggaraan
sistem jaminan sosial terikat dengan kaidah yang berlaku universal, yaitu pemusatan
resiko (pooling of risk) untuk penyebaran resiko melalui subsidi silang dalam
program, antar kepesertaan dan antar generasi yang terbesar di berbagai daerah.
Managing social security is based on pooling of risk. For what? For the redistribution
of income and that is why social security shall becentrally managed by quasi
independent body. Selanjutnya prinsip jaminan sosial yang hakiki adalah gotong
royong, maka dalam pembayaran manfaat berlaku model anggaran (pay-as-you-go).
Karena itu diperlukan pendanaan bersama antara perusahaan, tenaga kerja dan
pemerintah. Pemerintah perlu menyiapkan anggaran jaminan sosial untuk
mengantisipasi timbulnya krisis ekonomi seperti peristiwa PHK sebelum usia
pensiun dan wabah penyakit.

Oleh sebab itu terdapat 5 (lima) esensi dari JKN, yaitu :

1. Konsep JKN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai
negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal dalam menghadapi risiko
social ekonomi di masa depan. Undang-undang SJSN mengatur agar setiap
penduduk memiliki jaminan hari tua atau pensiun, termasuk sewaktu menderita
disability ataupun jaminan bagi ahli waris jika seseorang pencari nafkah
meninggal dunia.
2. Dalam konsep JKN mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara yang
ada sekarang, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes, dan PT. Jamsostek, menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan mencari laba
untuk kas Negara.
3. JKN memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil
pengembangannya dikelola hanya untuk kepentingan peserta. Iuran, akumulasi
iuran, dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta dan bukan
penerimaan atau asset badan penyelenggara.
4. JKN memastikan agar pihak contributor atau pengiur atau tripartite (yaitu tenaga
kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi yang
diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang
diwakili 2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat pemberi pekerja, 5 orang wakil
pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan
memastikan agar pengelolaan program jaminan social steril dari pengaruh politik
pemerintah.
5. Program jaminan harus berskala nasional untuk menjamin portabilitas dan
seluruh penduduk Indonesia. Jaminan harus portable, hal ini berarti tidak boleh
hilang ketika berada di luar kota tempat tinggalnya.

Manfaat program Jaminan sosial tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi


jaminan hari tua, asuransi kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan
kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli
apakah mereka termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswastawan.

C. Pilar

Sistem Jaminan Sosial Nasional dibuat sesuai dengan "Paradigma tiga pilar"
yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pilarpilar
itu adalah:

1. Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai


sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi
kebutuhan pokok mereka. Bantuan ini diberikan kepada anggota masyarakat
yang terbukti mempunyai kebutuhan mendesak, pada saat terjadi bencana alam,
konflik sosial, menderita penyakit, atau kehilangan pekerjaan. Dana bantuan ini
diambil dari APBN dan dari dana masyarakat setempat.
2. Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh iuran yang ditarik dari
perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh peserta ditetapkan
berdasarkan tingkat pendapatan/gaji, dan berdasarkan suatu standar hidup
minimum yang berlaku di masyarakat.
3. Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat dibeli
oleh peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial lebih tinggi
daripada jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran program asuransi sosial
wajib. Iuran untuk program asuransi swasta ini berbeda menurut analisis resiko
dari setiap peserta.

Prinsip kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib, agar seluruh rakyat menjadi
peserta sehingga dapat terlindungi (UU No. 40 Tahun 2004 pasal 4 huruf g dan
penjelasan pasal 4 huruf g). Kepesertaan dan iuran antara lain diatur sebagai berikut:
1. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti.
2. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebagai
peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) wajib memberikan nomor identitas
tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya wajib memberikan
informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan
yang berlaku. 4. Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi
tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti.
4. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
5. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, yang menjadi
kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) secara berkala.
6. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu
dibayar oleh Pemerintah. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada
ayat 4 dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan
BAB V

PERBEDAAN JKN,BPJS DAN KISS

Ada BPJS Kesehatan, ada juga Indonesia Sehat (KIS), eh adapula yang
namanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN,) apa sih perbedaannya. Saat ini ada
berbagai istilah asuransi kesehatan sosial yang dikelola oleh pemerintah. Saya sendiri
juga awalnya agak bingung. Setelah mencari informasi akhirnya saya paham
perbedaan antara tiga istilah tersebut juga perbedaan program asuransi kesehatan
pemerintah dan asuransi kesehatan yang dikelola oleh pihak swasta. Yuk baca
sampai tuntas agar tahu perbedaan antara program-program tersebut.BPJS Kesehatan
dilatarbelakangi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Setelah krisis
moneter 1998 disusul dengan krisis yang terjadi pada tahun 2008 maka
perekonomian di Indonesia masih terkena imbasnya. Dengan semakin melemahnya
perekonomian di Indonesia, semakin terpuruk pula tingkat kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat. Ditambah dengan kian melonjaknya biaya pengobatan dan
perawatan medis, negeri ini kemudian berisiko menjadi negeri yang benar-benar
sakit, ada banyak pasien yang sakit dan sulit terobati. Untuk itulah, pemerintah
kemudian melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan tragedi tersebut. Salah
satunya adalah dengan menghadirkan BPJS Kesehatan.

Berdasarkan regulasi pemerintah yang tercantum dalam Undang-Undang No.


40, Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-
Undang No. 24, Tahun 2011 mengenai BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial),
BPJS Kesehatan akhirnya resmi diluncurkan pertama kali pada tanggal 1 Januari,
tahun 2014. Untuk pembayaran iuran per bulannya, terdapat penyedia jasa
pembayaran tagihan seperti Traveloka yang dapat Kalian andalkan. Ketahui lebih
lanjut mengenai hal tersebut dengan membaca info BPJS Kesehatan melalui
Traveloka.

BPJS Kesehatan sebelumnya bernama PT Askes (Asuransi Kesehatan),


Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan merupakan sebuah Badan Hukum
yang bertanggung jawab atas pengadaan jaminan kesehatan nasional untuk dapat
dinikmati seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Pemerintah Indonesia
mewajibkan seluruh lapisan masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai anggota
jaminan kesehatan ini agar dapat segera menikmati fasilitas perawatan medis saat
dibutuhkan. Jangan khawatir, mendaftar keanggotaan BPJS kini tidak hanya dapat
dilakukan di kantor cabang atau kantor kabupaten, tapi dapat juga dilakukan secara
online di situs resminya.
A. Apakah perbedaan antara BPJS Kesehatan, JKN, dan KIS?

Walaupun pemerintah sudah sering mensosialisasikan tentang jaminan


kesehatan nasional ini, masih banyak orang yang mempertanyakan perbedaan
tersebut. Saya sendiri juga awalnya bingung. Nah berikut ini adalah penjelasannya.

Sama halnya dengan BPJS Ketenagakerjaan yang bertugas mengadakan


program jaminan kecelakaan untuk pekerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua, dan
jaminan hari kematian, sebagai sebuah lembaga, BPJS Kesehatan berperan dalam
penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional yang menarik iuran bulanan
atau premi dari setiap anggotanya. Itulah mengapa badan hukum ini dapat dikatakan
sama seperti sebuah perusahaan asuransi, bedanya BPJS Kesehatan ini dikelola oleh
negara.

Sistem premi jaminan kesehatan yang ditawarkan lembaga ini didasarkan


oleh prinsip gotong royong atau lebih dikenal dengan istilah “subsidi silang”, di
mana biaya pengobatan anggota yang sakit dan kurang mampu secara finansial
dibantu oleh anggota yang sedang tidak sakit atau lebih mampu secara finansial.

Sementara itu, JKN adalah singkatan dari Jaminan Kesehatan Nasional yang
merupakan program asuransi kesehatan yang ditawarkan BPJS Kesehatan kepada
rakyat Indonesia. Sebelum digabungkan menjadi satu, yakni program JKN, dahulu,
jaminan kesehatan yang diberikan pada tiap pekerja berbeda-beda. Contohnya, PNS
dan ABRI mendapat ASKES, pegawai swasta dilindungi oleh Jamsostek (Jaminan
Sosial dan Ketenagakerjaan) dan asuransi dari pihak swasta yang bekerja sama
dengan perusahaan, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), dan Jamkesda
(Jaminan Kesehatan Daerah).

Terakhir, KIS adalah Kartu Indonesia Sehat yang awalnya ditujukan bagi
kalangan tidak mampu yang terkadang tidak jelas kartu identitasnya, seperti
pengemis dan gelandangan. Namun, pada akhirnya diputuskan mulai tahun 2015,
KIS adalah kartu keanggotaan bagi semua anggota yang terdaftar di program JKN
dari BPJS Kesehatan.

Secara mudahnya, BPJS Kesehatan merupakan lembaga yang mengelola


jaminan sosial di bidang kesehatan. Sedangkan Jaminan Kesehatan Nasional
merupakan nama program dari BPJS Kesehatan yaitu program jaminan kesehatan.
Nah kartu keanggotaan program JKN bernama Kartu Indonesia Sehat yang
keanggotaannya makin meluas, mencakup seluruh peserta JKN, baik yang membayar
maupun yang menerima subsidi.

B. Perbedaan BPJS Kesehatan, JKN, dan Kartu Indonesia Sehat (KIS)

Setelah mengenal dan memahami ketiga bantuan kesehatan tersebut, kini


tentunya Anda sudah mengetahui perbedaan mendasarnya yaitu:
1. BPJS Kesehatan merupakan lembaga atau badan pengelola yang menjalankan
jaminan sosial di bidang kesehatan.
2. Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan program jaminan kesehatan
yang diberikan oleh BPJS Kesehatan.
3. Kartu Indonesia Sehat (KIS) merupakan pengembangan kartu keanggotaan
BPJS Kesehatan yang disertai dengan beberapa perubahan seperti tambahan
cakupan layanan dan perluasan wilayah penggunaan, serta beberapa perubahan
lainnya.

Kesimpulannya, JKN hanyalah produk dari BPJS Kesehatan sehingga tidak


akan diikutsertakan dalam perbandingan. Dengan demikian, Finansialku hanya akan
merangkum perbedaan BPJS Kesehatan yang menawarkan program JKN dan KIS
dengan upgrade programnya.

Tabel perbedaan ini ditujukan untuk mempermudah Anda untuk memaksimalkan


manfaat ketiga produk tersebut dan menikmati manfaatnya.

BPJS Kartu Indonesia


No Karakteristik
Kesehatan Sehat (KIS)

Lembaga atau badan Pengembangan kartu


pengelola yang keanggotaan BPJS
1 Fungsi Utama menjalankan Kesehatan dengan
jaminan sosial di penambahan cakupan
bidang kesehatan layanan

Hanya dapat Dapat digunakan


digunakan untuk untuk segala
Cakupan pengguna yang telah perawatan kesehatan,
2
Pelayanan sakit dan baik untuk
membutuhkan pencegahan maupun
perawatan pengobatan.

Premi yang harus


Sumber Subsidi pemerintah
3 dibayarkan setiap
Pendanaan melalui APBN
bulan

Bebas (klinik,
Terbatas (terbatas di puskesmas, dan rumah
Wilayah
4 wilayah yang sakit mana pun yang
Penggunaan
didaftarkan) tersebar di seluruh
Indonesia)

Ada (berupa premi Tidak ada (seluruh


Biaya yang harus
5 yang harus dibayar pembayaran
dibayar
setiap bulan) ditanggung oleh
BPJS Kartu Indonesia
No Karakteristik
Kesehatan Sehat (KIS)

pemerintah)

Seluruh peserta
PBI (masyarakat
jaminan kesehatan
Klasifikasi tidak mampu) dan
6 (sementara khusus
Pengguna non-PBI (masyarakat
untuk masyarakat
mampu)
kurang mampu)

Dapat digunakan
secara setara dan adil
Rencana
7 – bagi seluruh peserta
Pengembangan
jaminan kesehatan
(PBI dan non-PBI)
BAB VI

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Saat ini, berkembang sebuah wacana bahwa tidak hanya masyarakat miskin
atau tidak mampu saja yang membutuhkan jaminan kesehatan. Bahkan, banyak
masyarakat yang setengah kaya yang menjadi jatuh miskin karena masalah
kesehatan. Menurut Mahlil Rubi (2007) dalam Thabrany (2009), berdasarkan hasil
disertasi menemukan bahwa 83 % rumah tangga pembayaran kasastropik
(pembayaran biaya perawatan yang melebihi 40 % kapasitas membayar) ketika satu
anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya sebuah rumah tangga akan
jatuh miskin karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di
RS. Berdasarkan fenomena tersebut maka diperlukan sebuah jaminan kesehatan yang
lebih bersifat semesta.
Selain itu, kondisi perekonomian yang berkembang saat ini baik dilihat secara
global, regional maupun nasional, mendorong semakin diperlukannya suatu sistem
jaminan sosial yang bersifat nasional dengan kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sistem jaminan sosial dimaksud harus mampu memberikan perlindungan
menyeluruh bagi masyarakat terutama pada kondisikondisi tertentu seperti sakit,
mengalami kecelakaan, meninggal, kehilangan pekerjaan dan pada saat memasuki
usia lanjut, dls. Sementara beberapa jaminan sosial yang ada yaitu PT Jamsostek, PT
Askes, PT Taspen dan PT Asabri dan JPKM belum mampu memenuhi tuntutan
dimaksud.
Kebijakan JKN merupakan bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan
yang bermutu. Kebijakan ini diharapkan mampu mengatasi masalah mendasar
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Jaminan
kesehatan diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi
kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional untuk dapat memenuhi prinsip
portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Hafidz (2009), meskipun berbentuk asuransi bukan berarti masyarakat
miskin yang harus membayar premi. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara”, maka bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya
menjadi tanggungan Negara.
Implementasi ideal dari JKN masih menemui berbagai kendala. Berbagai
peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan sampai saat ini belum terbentuk.
Kompleksitas implementasi JKN terutama terletak pada pengaturan teknis berbagai
program dalam JKN yakni jaminan kesehatan. Tampaknya memang masih
diperlukan komitmen tinggi dan kesungguhan dari berbagai pihak pengambil
kebijakan untuk mewujudkannya.

B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

https://www.finansialku.com/bpjs-ketenagakerjaan-digitalisasi-vs-efisiensi/

https://dewipuspasari.net/2018/06/25/yuk-kenali-perbedaan-antara-bpjs-kesehatan-
jkn-kis-dan-asuransi-kesehatan-lainnya/

You might also like