Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
a. Apa saja proses kebijakan JKN yang di kembangkan dan di implementasikan?
b. Apa saja tujuan dan motivasi di balik adanya kebijakan JKN?
c. Apa saja area-area yang potensial untuk di intervensi dalam proses kebijakan
JKN?
C. Tujuan
Analisis kebijakan JKN ini bertujuan untuk:
a. Mendapatkan pemahaman proses kebijakan JKN yang dikembangkan dan
diimplementasikan.
b. Mengetahui tujuan dan motivasi di balik adanya kebijakan JKN.
c. Memahami area-area yang potensial untuk diintervensi dalam proses kebijakan
JKN.
BAB II
ANALISIS KEBIJAKAN
A. Kebijakan Kesehatan
Ada banyak bentuk kebijakan publik yang pernah dikemukakan oleh para ahli,
namun secara umum bentuk kebijakan publik dapat dibedakan atas:
Dalam hal ini, kebijakan JKN termasuk dalam kategori bentuk kebijakan
publik yang terkodifikasi karena kebijakan tersebut tertuang dalam Undang Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditindaklanjuti
dengan ditetapkannya Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan, Peraturan Presiden RI Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan
dan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 71 Tahun 2013 tentang Pelayanan
Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.
Secara sederhana, proses kebijakan dimulai dari adanya isu kebijakan yang
kemudian dilanjutkan dengan penyusunan kebijakan untuk kemudian
diimplementasikan sebagaimana pada gambar berikut:
3. Teori Analisis Easton
Secara konteks keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu teori umum yang
mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem
politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum.
Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi ke awal harus
mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu merekam seluruh proses tersebut.
Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem, Easton menghendaki analisis yang
dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur
lain. Easton menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan parsial.
Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari konteksnya.
Sebab itu pengamatan atas suatu sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh
lingkungan. Pengaruh lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis data,
psikologis dan situasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah mengantisipasi
pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan pada
tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku warganegara
sebagaimana dalam pendekatan behavioralisme. Easton menekankan pada motif
politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan di dalam sistem politik.
Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik
seperti lokasi geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh
tersendiri atas sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat)
yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik. Easton juga menghendaki
dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun (tidak seimbang).
Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan bakar sehingga sistem politik
dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun suatu
penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa
saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-
lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di
tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir ini.
Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis: tuntutan dan
dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkungan
intrasocietal maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan dengan barang dan
pelayanan (misalnya pelayanan kesehatan), berkenaan dengan regulasi, ataupun
berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik.
Tuntutan yang sudah terstimulasi kemudian menjadi garapan aktor-aktor di
dalam sistem politik yang bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk
didiskusikan melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain,
dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun
menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana dapat disebutkan bahwa dukungan
memiliki dua corak yaitu positif (forwarding) dan negatif (rejecting) kinerja sebuah
sistem politik.
A. INPUT
Analisis terhadap input meliputi: demand, resources, dan support:
1. Demands
Sistem Kesehatan Indonesia harus memihak rakyat. Saat ini sistem
pembayaran jasa per pelayanan (fee for service) yang diterapkan Indonesia,
meskipun pelayanan tersebut disediakan di RS publik. Rakyat yang membayar
lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya,
you get what you pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang
merata (setara) atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada
prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan
kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai kemampuannya
membayar.
a. Resources
Sumber daya adalah asset yang dimiliki oleh Pemerintah untuk memenuhi
demand yang telah diajukan. Dalam hal ini sumber daya tersebut adalah
1) Adanya badan usaha milik negara yang sudah menyelenggarakan
jaminan sosial terbatas seperti PT Jamsostek, PT. ASABRI, PT.
ASKES, PT. Taspen sebagai modal infrastruktur awal.
2) Kemampuan negara dalam hal keuangan dan sumber daya manusia.
b. Support
1) Sistem politik yang kondusif.
2) Dukungan masyarakat, akademisi, kelompok profesi, partai politik
dan kelompok kepentingan lain
3) Institusi pengembangan SDM kesehatan, mencakup pendidikan,
pelatihan, dan penelitian.
4) Insitusi Pemberi Layanan Kesehatan mulai dari layanan dasar sampai
rujukan.
B. PROSES
Proses pembuatan JKN adalah sebagai berikut:
1. Proses Legislasi dan Litigasi Proses legislasi dan litigasi terdiri dari:
a. Riset
b. Membangun Argumentasi
c. Membuat Konsep Tanding
a. Riset
1) Status kesehatan penduduk Indonesia, dan perbandingannya dengan
negara lain. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2005
menunjukkan bahwa angka kematian bayi di Indonesia masih 46 per
1.000 kelahiran hidup, sementara di Muangtai 29, Filipina 36, Srilanka
18, dan Malaysia 11 per 1.000 kelahiran hidup.
2) Korelasi status kesehatan dengan kinerja sistem kesehatan, khususnya
pendanaan kesehatan. Anggaran kesehatan seharusnya minimal 5 persen
dari APBN.
3) Sekitar 10% rumah tangga termiskin harus menghabiskan 230%
penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali rawat inap anggota
keluarganya. Sementara keluarga 10% terkaya hanya menghabiskan
120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat
inap anggota keluarganya. Akibatnya akses terhadap pelayanan rumah
sakit menjadi sangat tidak adil, karena penduduk miskin tidak mampu
membiayai perawatan.
4) Sekitar 83% rumah tangga mengalami pembayaran katastropik ketika
satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah
rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin),
karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di
RS, bahkan di rumah sakit publik.
b. Membangun Argumentasi
1) Aspek hukum dan hak asasi manusia, yaitu Deklarasi PBB tentang HAM
Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952. Di Indonesia,
jaminan sosial diamanatkan dalam UUD Tahun 1945 dan perubahannya
Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat (2).
2) Kondisi sistem kesehatan Indonesia yang sangat tidak memihak kepada
rakyat. Hal ini tercermin dari sistem pembayaran jasa per pelayanan (fee
for service) yang diterapkan Indonesia, meskipun pelayanan tersebut di
sediakan di RS publik. Sehingga rakyat Indonesia menghadapi ketidak-
pastian (uncertainty) dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Di rumah
sakit publik sekalipun, rakyat tidak tahu berapa biaya yang harus
dibayarnya jika ia atau seorang keluarganya dirawat, sampai ia keluar
dari rumah sakit. Tidak jarang jika kemudian akhirnya rakyat mencari
pengobatan tradisional atau tidak berobat karena ketiadaan uang, yang
berakhir dengan tingginya angka kematian dan rendahnya usia harapan
hidup.
3) Sistem kesehatan di Indonesia jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi
seluruh rakyat. Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan
yang diperdagangkan. Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat
pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya, you get what you
pay for. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang merata (setara)
atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada
prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai
dengan kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai
kemampuannya membayar.
4) Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan
(inequity, ketidakadilan / ketidaksetaraan) hanya dapat diperkecil dengan
memperbesar porsi pendanaan publik, baik melalui APBN (tax funded)
maupun melalui sistem asuransi kesehatan sosial. Sayangnya, pendanaan
kesehatan bersumber pemerintah sangat kecil dan cakupan asuransi
kesehatan yang sustainable di Indonesia masih sangat rendah.
5) Jaminan sosial merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial yang
diselenggarakan negara guna menjamin warga negaranya untuk
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, sebagaimana dalam
Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 102
Tahun 1952. Di Indonesia, jaminan sosial diamanatkan dalam UUD
Tahun 1945 dan perubahannya Tahun 2002, Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
Pasal 28H ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), serta pasal 34 ayat (1) dan ayat
(2).
C. OUTPUT
Setelah melalui proses panjang, akhirnya UU SJSN (Nomor 40/2004) diundangkan
Presiden Megawati pada hari terakhir beliau berada di Istana.
D. FEED BACK
Sebagai feed back terhadap kebijakan SJSN dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Uji Materi UU SJSN dan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI
2. Potensi Kelemahan UU SJSN
BAB IV
KEBIJAKAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL (JKN)
1. Konsep JKN merupakan upaya membuat platform yang sama bagi pegawai
negeri, pegawai swasta, dan pekerja di sektor informal dalam menghadapi risiko
social ekonomi di masa depan. Undang-undang SJSN mengatur agar setiap
penduduk memiliki jaminan hari tua atau pensiun, termasuk sewaktu menderita
disability ataupun jaminan bagi ahli waris jika seseorang pencari nafkah
meninggal dunia.
2. Dalam konsep JKN mengubah status badan hukum Badan Penyelenggara yang
ada sekarang, PT. Taspen, PT. Asabri, PT. Askes, dan PT. Jamsostek, menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang tidak bertujuan mencari laba
untuk kas Negara.
3. JKN memastikan bahwa dana yang terkumpul dari iuran dan hasil
pengembangannya dikelola hanya untuk kepentingan peserta. Iuran, akumulasi
iuran, dan hasil pengembangannya adalah dana titipan peserta dan bukan
penerimaan atau asset badan penyelenggara.
4. JKN memastikan agar pihak contributor atau pengiur atau tripartite (yaitu tenaga
kerja, majikan, dan pemerintah) memiliki kendali kebijakan tertinggi yang
diwujudkan dalam bentuk Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) yang
diwakili 2 orang serikat pekerja, 2 orang serikat pemberi pekerja, 5 orang wakil
pemerintah, dan 6 orang wakil tokoh masyarakat/ahli. Organ DJSN ini akan
memastikan agar pengelolaan program jaminan social steril dari pengaruh politik
pemerintah.
5. Program jaminan harus berskala nasional untuk menjamin portabilitas dan
seluruh penduduk Indonesia. Jaminan harus portable, hal ini berarti tidak boleh
hilang ketika berada di luar kota tempat tinggalnya.
C. Pilar
Sistem Jaminan Sosial Nasional dibuat sesuai dengan "Paradigma tiga pilar"
yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pilarpilar
itu adalah:
Prinsip kepesertaan jaminan sosial bersifat wajib, agar seluruh rakyat menjadi
peserta sehingga dapat terlindungi (UU No. 40 Tahun 2004 pasal 4 huruf g dan
penjelasan pasal 4 huruf g). Kepesertaan dan iuran antara lain diatur sebagai berikut:
1. Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai
dengan program jaminan sosial yang diikuti.
2. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebagai
peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) wajib memberikan nomor identitas
tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya wajib memberikan
informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan
yang berlaku. 4. Setiap peserta berhak memperoleh manfaat dan informasi
tentang pelaksanaan program jaminan sosial yang diikuti.
4. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
5. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, yang menjadi
kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) secara berkala.
6. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu
dibayar oleh Pemerintah. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada
ayat 4 dibayar oleh pemerintah untuk program jaminan kesehatan
BAB V
Ada BPJS Kesehatan, ada juga Indonesia Sehat (KIS), eh adapula yang
namanya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN,) apa sih perbedaannya. Saat ini ada
berbagai istilah asuransi kesehatan sosial yang dikelola oleh pemerintah. Saya sendiri
juga awalnya agak bingung. Setelah mencari informasi akhirnya saya paham
perbedaan antara tiga istilah tersebut juga perbedaan program asuransi kesehatan
pemerintah dan asuransi kesehatan yang dikelola oleh pihak swasta. Yuk baca
sampai tuntas agar tahu perbedaan antara program-program tersebut.BPJS Kesehatan
dilatarbelakangi oleh berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat. Setelah krisis
moneter 1998 disusul dengan krisis yang terjadi pada tahun 2008 maka
perekonomian di Indonesia masih terkena imbasnya. Dengan semakin melemahnya
perekonomian di Indonesia, semakin terpuruk pula tingkat kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat. Ditambah dengan kian melonjaknya biaya pengobatan dan
perawatan medis, negeri ini kemudian berisiko menjadi negeri yang benar-benar
sakit, ada banyak pasien yang sakit dan sulit terobati. Untuk itulah, pemerintah
kemudian melakukan berbagai upaya untuk meminimalkan tragedi tersebut. Salah
satunya adalah dengan menghadirkan BPJS Kesehatan.
Sementara itu, JKN adalah singkatan dari Jaminan Kesehatan Nasional yang
merupakan program asuransi kesehatan yang ditawarkan BPJS Kesehatan kepada
rakyat Indonesia. Sebelum digabungkan menjadi satu, yakni program JKN, dahulu,
jaminan kesehatan yang diberikan pada tiap pekerja berbeda-beda. Contohnya, PNS
dan ABRI mendapat ASKES, pegawai swasta dilindungi oleh Jamsostek (Jaminan
Sosial dan Ketenagakerjaan) dan asuransi dari pihak swasta yang bekerja sama
dengan perusahaan, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), dan Jamkesda
(Jaminan Kesehatan Daerah).
Terakhir, KIS adalah Kartu Indonesia Sehat yang awalnya ditujukan bagi
kalangan tidak mampu yang terkadang tidak jelas kartu identitasnya, seperti
pengemis dan gelandangan. Namun, pada akhirnya diputuskan mulai tahun 2015,
KIS adalah kartu keanggotaan bagi semua anggota yang terdaftar di program JKN
dari BPJS Kesehatan.
Bebas (klinik,
Terbatas (terbatas di puskesmas, dan rumah
Wilayah
4 wilayah yang sakit mana pun yang
Penggunaan
didaftarkan) tersebar di seluruh
Indonesia)
pemerintah)
Seluruh peserta
PBI (masyarakat
jaminan kesehatan
Klasifikasi tidak mampu) dan
6 (sementara khusus
Pengguna non-PBI (masyarakat
untuk masyarakat
mampu)
kurang mampu)
Dapat digunakan
secara setara dan adil
Rencana
7 – bagi seluruh peserta
Pengembangan
jaminan kesehatan
(PBI dan non-PBI)
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Saat ini, berkembang sebuah wacana bahwa tidak hanya masyarakat miskin
atau tidak mampu saja yang membutuhkan jaminan kesehatan. Bahkan, banyak
masyarakat yang setengah kaya yang menjadi jatuh miskin karena masalah
kesehatan. Menurut Mahlil Rubi (2007) dalam Thabrany (2009), berdasarkan hasil
disertasi menemukan bahwa 83 % rumah tangga pembayaran kasastropik
(pembayaran biaya perawatan yang melebihi 40 % kapasitas membayar) ketika satu
anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya sebuah rumah tangga akan
jatuh miskin karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di
RS. Berdasarkan fenomena tersebut maka diperlukan sebuah jaminan kesehatan yang
lebih bersifat semesta.
Selain itu, kondisi perekonomian yang berkembang saat ini baik dilihat secara
global, regional maupun nasional, mendorong semakin diperlukannya suatu sistem
jaminan sosial yang bersifat nasional dengan kepesertaan wajib bagi seluruh rakyat
Indonesia. Sistem jaminan sosial dimaksud harus mampu memberikan perlindungan
menyeluruh bagi masyarakat terutama pada kondisikondisi tertentu seperti sakit,
mengalami kecelakaan, meninggal, kehilangan pekerjaan dan pada saat memasuki
usia lanjut, dls. Sementara beberapa jaminan sosial yang ada yaitu PT Jamsostek, PT
Askes, PT Taspen dan PT Asabri dan JPKM belum mampu memenuhi tuntutan
dimaksud.
Kebijakan JKN merupakan bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhannya terhadap pelayanan kesehatan
yang bermutu. Kebijakan ini diharapkan mampu mengatasi masalah mendasar
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Jaminan
kesehatan diselenggarakan secara nasional dengan menerapkan prinsip asuransi
kesehatan sosial. Diselenggarakan secara nasional untuk dapat memenuhi prinsip
portabilitas bahwa jaminan kesehatan bisa dinikmati di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut Hafidz (2009), meskipun berbentuk asuransi bukan berarti masyarakat
miskin yang harus membayar premi. Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 34 ayat (1)
yang menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara”, maka bagi masyarakat kurang mampu, premi asuransinya
menjadi tanggungan Negara.
Implementasi ideal dari JKN masih menemui berbagai kendala. Berbagai
peraturan pelaksanaan yang dibutuhkan sampai saat ini belum terbentuk.
Kompleksitas implementasi JKN terutama terletak pada pengaturan teknis berbagai
program dalam JKN yakni jaminan kesehatan. Tampaknya memang masih
diperlukan komitmen tinggi dan kesungguhan dari berbagai pihak pengambil
kebijakan untuk mewujudkannya.
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
https://www.finansialku.com/bpjs-ketenagakerjaan-digitalisasi-vs-efisiensi/
https://dewipuspasari.net/2018/06/25/yuk-kenali-perbedaan-antara-bpjs-kesehatan-
jkn-kis-dan-asuransi-kesehatan-lainnya/