You are on page 1of 34

Laporan Kerja Praktek

Analisis Kondisi Existing dan Received Signal Level (RSL)


Pada Base Transceiver Station (BTS)
di Noja Saraswati Denpasar

Oleh :
Nama: Ida Bagus Gde Dharma Dhyaksa
NIM: 1004405013

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS UDAYANA
BUKIT JIMBARAN
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel)


1.1.1 Gambaran Umum
PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) didirikan pada tahun 1995,
dimana awalnya perusahaan ini bernama PT. Dayamitra Malindo yang sahamnya
dimiliki oleh beberapa perusahaan swasta asing dan nasional. Dalam
perjalanannya, perusahaan ini telah mengalami beberapa kali perubahan dalam hal
kepemilikan sahamnya dan akhirnya pada tanggal 3 Desember 2004 saham
Mitratel 100% secara resmi telah menjadi milik PT. Telekomunikasi Tbk.
Sejak penghujung tahun 2007 lalu, Mitratel mengalami transformasi bisnis
dengan mulai memasuki bisnis penyediaan infrastruktur telekomunikasi yang
salah satu diantaranya berupa penyediaan menara telekomunikasi (tower provider)
untuk memenuhi kebutuhan para operator telekomunikasi di seluruh wilayah
Indonesia. Hingga saat ini Mitratel telah menyediakan tower provider untuk
beberapa operator telekomunikasi, antara lain: PT. Telekomunikasi Selular, PT.
XL Axiata Tbk, PT. Indosat, PT. Axis Telecom Indonesia, PT. Hutchison CP
Telecommunications, PT. Bakrie Telecom Tbk, PT. Smartfren Telecom Tbk, dan
Divisi Telkom Flexi yang tersebar di wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, Banten,
Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Batam, Riau,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara, Maluku hingga ke Papua. Mitratel
hingga saat ini terus mengembangkan layanannya bukan hanya pada penyediaan
tower macro namun sudah mulai merambah microcell serta multi operator in-
building-solution (indoor antenna-pico).
Adapun visi dari Mitratel adalah menjadi leader dan provider terbaik dalam
penyediaan infrastruktur telekomunikasi di Asia Tenggara. Sedangkan misi dari
Mitratel adalah memberikan layanan multi service dan one stop solution provider
dalam memenuhi kebutuhan infrastruktur telekomunikasi bagi para operator
seluler di wilayah Indonesia dengan kualitas yang prima dan harga yang
kompetitif.
Untuk membangun Budaya Perusahaan sebagai pedoman bagi seluruh
karyawan, Mitratel memiliki “Mitratel’s 5C” yang diadopsi dari prinsip yang
dianut oleh Telkom Group yaitu “Telkom’s 5C”. Didalam Mitratel’s 5C ini
terdapat penjabaran dari masing-masing nilai tersebut berupa Perilaku Kunci.

Tabel 1.1 Budaya dan prilaku kunci Mitratel


BUDAYA PRILAKU KUNCI
1. Selalu beradaptasi dan bersikap
dinamis terhadap perkembangan
bisnis.
2. Mengembangkan inovasi secara
Commitment to Long Term terus menerus untuk mencapai visi
dan misi organisasi.
3. Bekerja dengan target yang
menantang didukung kerjasama
yang solid.
1. Proaktif memberikan pelayanan
terbaik melebihi harapan
pelanggan.
Customer First 2. Aktif mengembangkan solusi
sesuai dengan kebutuhan pasar.
3. Menjalin relasi yang harmonis
dengan pelanggan.
1. Memberikan penghargaan dan
konsekuensi secara konsisten dan
adil berdasarkan penilaian kinerja
yang obyektif.
Caring Meritocracy 2. Mengembangkan kompetensi
secara mandiri dan terus menerus
sesuai dengan tuntutan bisnis.
3. Memberikan penghargaan dan
konsekuensi sesuai hasil evaluasi
kemitraan yang obyektif dan
transparan.
1. Mengembangkan sinergi kemitraan
strategis dalam rangka mencapai
tujuan perusahaan.
2. Menjaga kualitas kemitraan
Co-creatin of win-win Partnership melalui kerjasama yang saling
menguntungkan.
3. Memberikan penghargaan dan
konsekuensi sesuai hasil evaluasi
kemitraan yang obyektif dan
transparan.
1. Berbagi peran dan sumber daya
dalam rangka meningkatkan sinergi
Telkom Group.
2. Melakukan koordinasi dan
Collaborative Innovation komunikasi yang efektif antara
sesama karyawan internal
perusahaan maupun Telkom
Group.
3. Membangun iklim kerja yang
positif dan kondusif dengan
semangat kerjasama, keterbukaan
dan saling percaya.
1.1.2 Gambaran Khusus Topik Kerja Praktek
Dalam laporan ini penulis memaparkan tentang kondisi existing dari tower
telekomunikasi di kawasan Noja Saraswati Denpasar. Hal tersebut meliputi near
end site, far end site, antena sectoral, antena microwave, dan juga dari Line of
Sight (LOS). Selain itu, dilakukan juga analisa perhitungan nilai Received Signal
Level (RSL) yang didapat berdasarkan data-data dari keadaan existing dan
menghitung parameter pendukung lainnya seperti loss propagasi, feeder loss,
penguatan antenna, dan juga nilai Effective Isotropic Radiated Power (EIRP).

1.1.3 Struktur Organisasi


Mitratel Regional Bali-Nusra dipimpin oleh seorang General Manager yang
membawahi beberapa divisi seperti divisi project, divisi operational maintenance
(OM), dan juga divisi staff. General manager memiliki tangan kanan yang
ditunjuk sebagai koordinator area Bali-Nusra yang dibagi lagi menjadi area Bali-
Nusra dan Sumba.

General Manager
Eko Santoso

Koor Area Balnus AM


Victor W Dini Alfiani

Area Bali Nusra Area Sumba Area Sumba AM


Fajrin Isnanto Dodi Yuliawan Putu Agus Ratna Timor

Gambar 1.1 Struktur umum organisasi


Sedangkan pada Divisi Project dipimpin oleh seorang project manager yang
membawahi beberapa bagian seperti sitac legal, sitac engineer, project admin,
dan juga project controller.

Project Manager
Herbert CM

Sitac Legal Sitac Engineer Project Admin Project Controller


Agung Armin Bambang Rejeki Made Winya

Project Admin Project Controller


Arri Kalut Purnomo

Project Admin Project Admin


Mertha S Yulia Dewi

Gambar 1.2 Struktur divisi project

Selanjutnya terdapat divisi Operational Maintenance (OM) yang dipimpin


oleh seorang manager yang membawahi beberapa bagian seperti gambar 1.3.

OM Manager
Zahedi Piliang

Offc OM Offc OA Admin OM Admin IT


Gede Arnaya Saiful Qudori Suresmiati Kadek Dwi

Gambar 1.3 Struktur divisi operational maintenance (OM)


Dan yang terakhir terdapat divisi staff yang dibagi menjadi beberapa bagian
seperti staff admin, staff finance, dan staff prokuremen.

Offc GS
Ketut Dadi

Staff Adm Staff Finance Staff Prokuremen


Anggaraningsih Subhawa Yoga

Gambar 1.4 Struktur divisi staff

1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan laporan ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah
sebuah tower telekomunikasi tersebut berdasarkan kondisi existing, yang meliputi
near end site, far end site, antena sectoral, antena microwave, dan juga Line of
Sight (LOS) serta menganalisa besarnya nilai Received Signal Level (RSL)
sehingga tower telekomunikasi tersebut dapat menjalankan fungsinya dengan baik
dan bermanfaat bagi pengguna jasa provider pada tower telekomunikasi yang
bersangkutan.

1.3 Ruang Lingkup


Adapun ruang lingkup pada laporan ini adalah pembahasan dari sebuah tower
telekomunikasi yang dijelaskan dari sisi telekomunikasinya dan tidak terlalu
mendalam (seperti proses transmisinya) untuk mengurangi adanya
kesalahpahaman dan hal-hal lain yang tidak diinginkan karena hal tersebut
merupakan kepemilikan dari provider yang menyewa jasa tower tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Base Transceiver Station (BTS)


BTS adalah kependekan dari Base Transceiver Station. Terminologi ini
termasuk baru dan mulai terkenal di dunia seluler saat ini. BTS berfungsi sebagai
jembatan perangkat komunikasi pengguna dari jaringan satu menuju jaringan lain.
Atau dengan kata lain bahwa BTS berfungsi sebagai pengirim (transceiver) dan
penerima (receiver) sinyal komunikasi dari/ke mobile station (MS) serta
menghubungkan MS dengan network element lain dengan menggunakan radio
interface.
Umumnya, BTS akan terhubung ke Base Station Controller (BSC), dalam hal
ini sebuah BSC akan mengontrol kerja beberapa BTS yang berada di bawahnya.
Karena fungsinya sebagai transceiver, maka bentuk fisik sebuah BTS pada
umumnya berupa tower dengan dilengkapi antena dan perangkat lainnya.

2.2 Topologi Base Transceiver Station (BTS)


BTS & handphone sama-sama disebut transceiver karena sifatnya yang sama-
sama bisa mengirim informasi dan menerima informasi. Pada saat BTS mengirim
informasi kepada handphone, saat itu pula handphone juga bisa mengirim
informasi kepada BTS secara bersama-sama selayaknya saat sedang mengobrol
via telepon, kedua orang penelpon bisa berbicara dalam waktu yang bersamaan.
Dalam topologinya, BTS berfungsi untuk menyediakan jaringan (interface)
berupa sinyal radio gelembang elektromagnetik untuk penggunanya dalam hal ini
adalah handphone, modem, fax, dll. Frekuensinya mengikuti alokasi yang telah
diberikan pemerintah kepada operator masing-masing, ada yang di band 450Mhz,
800Mhz, 900Mhz, 1800 Mhz maupun frekuensi diatas itu. Komunikasi dari arah
BTS ke pengguna disebut downlink, sedangkan jalur frekuensi yang digunakan
mengirim informasi dari pengguna ke BTS disebut uplink.
Gambar 2.1 Garis besar proses pertukaran data

Koneksi dari handphone (MS) ke BTS dilakukan dengan radio interface


melalui antena-antena yang terdapat pada BTS itu sendiri. Koneksi dari BTS
menuju ke BSC itu dilakukan dengan menggunakan antenna microwave (MW).
Sedangkan dari BSC menuju ke MSC, biasanya dapat digunakan dengan antenna
microwave juga tetapi dengan kapasitas yang lebih besar, atau dengan
menggunakan koneksi fiber optik (untuk kota-kota besar).

2.3 Komponen Base Transceiver Station (BTS)


BTS memiliki beberapa komponen penting untuk menunjang kinerjanya,
diantaranya adalah:
1. Tower
Tower adalah menara yang terbuat dari rangkaian besi atau pipa yang
bertujuan untuk menempatkan semua perangkat-perangkat yang dibutuhkan,
misalnya antena. Tower BTS dimana tower tersebut merupakan tower
telekomunikasi sangat berbeda dengan tower SUTET (Saluran Udara
Tegangan Ekstra Tinggi) milik PLN baik dalam hal konstruksi, maupun resiko
yang ditanggung penduduk di sekitarnya.
Jadi bagian yang terpenting mengapa diperlukan pembangunan tower
adalah untuk penempatan antena-antena tersebut, dimana dibutuhkan
ketinggian tertentu untuk dipenuhinya syarat memancarkan dan menerima
sinyal.
2. Antena Sectoral
Antena sectoral sering disebut juga dengan antena patch panel yang pada
dasarnya tidak berbeda jauh dengan antenna omni. Biasanya digunakan untuk
Access Point bagi sambungan Point-to-Multi-Point (P2MP). Umumnya antena
sectoral mempunyai polarisasi vertical, beberapa diantaranya juga mempunyai
polarisasi horizontal.

Gambar 2.2 Antena sectoral


Antena sectoral umumnya mempunyai penguatan lebih tinggi dari antena
omni sekitar 10-19 dBi. Sangat baik untuk memberikan servis di daerah dalam
jarak 6-8 km. Tingginya penguatan pada antena sectoral biasanya di
kompensasi dengan lebar pola radiasi yang sempit 45-180 derajat. Jelas daerah
yang dapat di servis menjadi lebih sempit, dan ini sangat menguntungkan.

Gambar 2.3 Pola radiasi antenna sectoral


Secara umum radiasi antena lebih banyak ke muka antena, tidak banyak
radiasi di belakang antena sectoral. Radiasi potongan vertical tidak berbeda
jauh dengan antena omni. Antena sectoral biasanya di letakkan di atas tower
yang tinggi, oleh karena itu biasanya di tilt sedikit agar memberikan layanan
ke daerah di bawahnya.

3. Antena Microwave
Microwave system adalah sebuah sistem pemancaran dan penerimaan
gelombang mikro yang berfrekuensi sangat tinggi. Microwave system
digunakan untuk komunikasi antar BTS atau BTS-BSC.
Pada antena Microwave yang berbentuk seperti rebana genderang itu
termasuk jenis high performance antenna. Biasanya ada 2 brand, yaitu
Andrew and RFS. Ciri khas dari antena high performance ini adalah
bentuknya yang seperti gendang dan terdapat penutupnya, yang disebut
radome. Fungsi radome antara lain untuk melindungi komponen antena
tersebut dari perubahan cuaca sekitarnya.

Gambar 2.4 Antena microwave

4. Penangkal Petir
Penangkal petir itu semacam rangkaian jalur yang difungsikan sebagai
jalan bagi petir menuju ke permukaan bumi, tanpa merusak benda-benda yang
dilewatinya.

5. Lampu
Lampu digunakan untuk penerangan di sekitar lingkungan BTS.
6. Shelter
Shelter BTS adalah suatu tempat dimana terdapat perangkat-perangkat
telekomunikasi. Untuk letaknya, biasanya juga tidak akan jauh dari suatu
tower atau menara karena adanya ketergantungan sebuah fungsi diantara
keduanya, yakni shelter dan BTS.

7. Grounding
Grounding berfungsi untuk mengurangi atau menghindari bahaya yang
disebabkan oleh tegangan tinggi.misalnya bahaya petir dengan tegangan
tinggi.

Untuk lebih jelasnya, perangkat-perangkat yang terdapat pada BTS akan


dijelaskan dengan menggunakan gambar dan bisa dilihat pada gambar 2.6.

Penangkal petir

Antena sectoral

Antena microwave

tower

Gambar 2.5 Perangkat-perangkat pada BTS


2.4 Azimuth
Azimuth adalah pengarahan horizontal pada antena. Pada antena directional,
azimuth digunakan untuk menentukan arah pancar antena. Antena directional
memiliki pengaturan sudut sebesar 360 derajat. Pengarahan antena ditujukan pada
area daerah tingkat trafik yang tinggi. Arah pancar antena sebaiknya tidak
diarahkan langsung pada jalan lurus, sungai dan bangunan dengan tingkat
pemantulan yang tinggi.
Dalam azimuth, terdapat 2 istilah yang biasa digunakan yaitu azimuth true dan
azimuth magnetik.

2.4.1 Azimuth True


Azimuth true dapat diistilahkan sebagai azimuth yang sebenarnya. Bumi
berputar pada porosnya, dimana ujung poros atas adalah kutub utara bumi, dan
ujung poros bawah adalah kutub selatan bumi. Adapun dalam menghitung sudut
azimuth true, maka kutub utara bumi ini dianggap sebagai titik azimuth 0 derajat,
sedangkan kutub selatan bumi dianggap sebagai titik azimuth 180 derajat.
Bumi dibagi menjadi 360 garis bujur, yaitu garis yang berawal pada kutub
utara bumi dan berakhir pada kutub selatan bumi. Dengan demikian maka garis
bujur ini adalah merupakan garis yang menghubungkan azimuth true 0 derajat dan
azimuth true 180 derajat.
Dengan demikian dapat dikatakan jika garis yang menghubungkan azimuth
true 0 derajat dan azimuth true 180 derajat, maka garis tersebut akan sejajar
dengan garis bujur bumi. Dan akan sama jika akan menarik garis antara sudut
azimuth true 90 derajat dan azimuth true 270 derajat maka otomatis garis tersebut
akan sejajar dengan garis katulistiwa atau equator.

2.4.2 Azimuth Magnetik


Azimuth magnetik dapat diistilahkan sebagai azimuth yang dilihat dengan
menggunakan kompas, dan memiliki konsep yang sama dengan azimuth true
(azimuth yang sebenarnya).
Oleh karena pengaruh medan magnet, bentuk kelengkungan bumi dll, maka
terjadi selisih antara 0 derajat pada azimuth true dan 0 derajat pada azimuth
magnetik. Selisih dari keduanya itu disebut dengan "deklinasi kompas". Adapun
besarnya deklinasi kompas pada setiap daerah adalah berbeda-beda.

Gambar 2.6 Azimuth true dan azimuth magnetik

Dapat dilihat dari gambar 2.7 terdapat perbedaan beberapa derajat antara
azimuth true (yang lurus dengan kutub bumi) dan azimuth magnetik (yang
mengikuti medan magnet bumi).

2.5 Line of Sight (LOS)


Line of sight (LOS) adalah suatu teknik pentransmisian sinyal dimana antara
dua terminal yang saling berhubungan benar-benar tidak ada obstacle yang
menghalanginya (bebas pandang) sehingga sinyal dari pengirim dapat langsung
mengarah dan diterima di sisi penerima.
Line of Sight (LOS) microwave banyak digunakan untuk transmisi radio
broadband point-to-point. Di Eropa, LOS microwave disebut juga radio relay
atau radiolinks. Link yang dimaksud adalah hubungan antara near end transmitter
ke far end receiver. Sejauh mana kondisi LOS yang dapat dicapai adalah batas
maksimum dari sebuah link.
Gambar 2.7 Line of Sight antara NE dan FE

Dalam proses pentransmisian sinyal, faktor-faktor yang mempengaruhi


propagasi sinyal dalam sistem Los ini adalah redaman, refleksi, refraksi atmosfer,
fading, dan difraksi sepanjang permukaan bumi.
Secara sederhana LOS merupakan keadaan kasat mata, berarti antena
pemancar dan antena penerima ‘saling melihat’. Tetapi dalam sistem radio ‘saling
melihat’ saja tidak cukup. Sistem komunikasi radio dikatakan pada kondisi LOS
jika terpenuhi ‘syarat-syarat LOS’.

2.6 Path Loss dan Free Space Loss


Path loss adalah suatu metode yang digunakan untuk mengukur suatu loss
yang disebabkan oleh cuaca, kontur tanah dan lain-lain, agar tidak menggangu
pemancaran antar 2 buah antenna yang saling berhubungan. Nilai path loss
menunjukkan level sinyal yang melemah (mengalami attenuation) yang
disebabkan oleh propagasi free space seperti refleksi, difraksi, dan scattering.
Path loss sangat penting dalam perhitungan Link Budget, ukuran cell, ataupun
perencanaan frekuensi. faktor-faktor yang mempengaruhi nilai level daya dan
pathloss adalah jarak pengukuran antara Tx dan Rx, tinggi antena (Tx dan Rx),
serta jenis area pengukuran.
Satuan yang digunakan pada path loss adalah dB (decibBell) yang merupakan
satuan perbedaan atau rasio antara kekuatan daya pancar sinyal. Penamaannya
juga untuk mengenang Alexander Graham Bell sehingga menggunakan besar
huruf “B”. Satuan ini digunakan untuk menunjukkan efek dari sebuah perangkat
terhadap kekuatan atau daya pancar suatu sinyal.
Sedangkan redaman ruang bebas (Free Space Loss) didefinisikan sebagai
redaman yang dihasilkan oleh suatu media transmisi, berupa ruang bebas, sebagai
akibat dari penyebaran energi sinyal yang dipancarkan.
Adanya pemantulan dari beberapa obyek dan pergerakan mobile station
menyebabkan kuat sinyal yang diterima oleh mobile station bervariasi dan sinyal
yang diterima tersebut mengalami path loss. Tanpa memperhitungkan kondisi
alam dan lokasi dimana pemancar dan penerima berada, besarnya path loss dapat
dihitung dengan menggunakan rumus .free space loss.
Propagasi loss mencakup semua perlemahan yang diperkirakan akan dialami
sinyal ketika berjalan dari Base station ke Mobile Station. Adanya pemantulan
dari beberapa obyek dan pergerakan mobile station menyebabkan kuat sinyal yang
diterima oleh mobile station bervariasi dan sinyal yang diterima tersebut
mengalami path loss. Path loss akan membatasi kinerja dari system komunikasi
bergerak sehingga memprediksikan Path loss merupakan bagian yang penting
dalam perencanaan system komunikasi bergerak. Path loss yang terjadi pada
sinyal yang diterima dapat ditentukan melalui model propagasi tertentu. Model
propagasi biasanya memprediksikan rata-rata kuat sinyal yang diterima oleh
mobile station.pada jarak tertentu dari base station ke mobile station. Disamping
itu model probagasi juga berguna untuk mempekirakan daerah cakupan sebuah
base station sehingga ukuran sel dari base station dapat ditentukan. Model
propagasi juga dapat menentukan daya maksimum yang dapat dipancarkan untuk
menghasilkan kualitas pelayanan yang sama pada frekuensi yang berbeda.

2.7 Model Propagasi


Transmisi radio dalam sistem komunikasi bergerak sering terjadi melalui
wilayah yang tidak beraturan. Untuk mengestimasi besarnya nilai redaman
lintasan sinyal, perlu diperhitungkan pula berbagai profil wilayah yang dilaluinya.
Profil wilayah ini dapat berubah dari yang sederhana seperti hanya berupa
kelengkungan bumi, sampai ke profil pegunungan yang ketinggiannya tidak
beraturan. Hadirnya pepohonan, bangunan dan penghalang-penghalang lainnya
harus juga diperhitungkan keberadaannya. Untuk itu, kondisi wilayah yang dilalui
perambatan gelombang juga sering diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu
daerah urban, daerah sub urban, daerah rural, dan daerah open area (terbuka).
Sejumlah model propagasi kini telah tersedia untuk memprediksi redaman
lintasan yang melalui wilayah yang sifatnya tidak beraturan. Model-model ini
ditujukan untuk memprediksi kekuatan sinyal di titik lokasi penerimaan tertentu,
atau di wilayah lokal tertentu yang disebut sektor, dengan metode yang bervariasi
secara luas dalam pendekatannya, kerumitannya maupun ketepatannya. Sebagian
besar model propagasi ini berlandaskan pada interpretasi sistematik dan
pengukuran data yang diperoleh dalam wilayah layanan yang dimiliki oleh
operator sistem komunikasi bergerak. Model propagasi bergantung pada terrain,
densitas pohon, beamwidth, tinggi antena, kecepatan angin dan musim.
Fokus utama permodelan perambatan sinyal (propagation model) adalah
memprediksi kekuatan rata-rata sinyal yang diterima pada sebuah titik dengan
jarak tertentu dari transmitter.
Terdapat beberapa model propagasi, diantaranya adalah:
1. Model Okumura
Model Okumura merupakan salah satu model yang terkenal dan paling
banyak digunakan untuk melakukan prediksi sinyal di daerah urban (kota).
Model ini cocok untuk range frekwensi antara 150 - 1920 MHz dan pada jarak
antara 1 - 100 km dengan ketinggian antenna base station (BS) berkisar 30 -
1000 m.

2. Model Hatta dan COST-231


Model Hatta merupakan bentuk persamaan empirik dari kurva redaman
lintasan yang dibuat oleh Okumura, karena itu model ini lebih sering disebut
sebagai model Okumura-Hatta. Model ini valid untuk daerah range frekuensi
antara 150 – 1500 MHz, tinggi effektif antena transmitter sekitar 30-200 m,
tinggi efektif antena receiver sekitar 1-10 m.
3. Model Lee
Model ini menggunakan parameter acuan frekuensi kerja 900 MHz, tinggi
antena base station 30,5 m dan tinggi antena mobile station 3 m , daya pancar
10 W, dan gain antena base station sebesar 6 dB terhadap dipole ½ lambda.

4. Model Longley-Rice
Model Longley-Rice ini cocok untuk diterapkan pada system komunikasi
titik ke titik didalam frekuensi dari 400 MHz sampai 100 GHz. Model
Longley-Rice juga dapat digunakana dengan menggunakan program komputer
untuk menghitung redaman media transmisi dibandingkan terhadap redaman
ruang bebas (free space loss) pada daerah permukaan tidak teratur untuk
selang frekuensi antara 20 MHz sampai 10 GHz. Parameter-parameter sebagai
masukan dari program komputer tersebut adalah frekuensi operasi, panjang
lintasan, polarisasi, tinggi antenna, refraksi permukaan, radius effektif bumi,
konduktivitas tanah, konstanta dielektrik bumi, dan cuaca. Program juga dapat
dioperasikan pada parameter khusus seperti jarak horizon antenna, sudut
elevasi horizon, jarak angular antar horizon, ketidakteraturan permukann
bumi, dan parameter-parameter khusus lainnya.

5. Model Durkin
Model Durkin merupakan salah satu model propagasi klasik yang hampir
memiliki kesamaan dalam penggunaannya dengan model Longley-Rice.
Model yang pertama kali diterbitkan dalam paper oleh Edwards dan Durkin ini

6. Model Walfisch Ikegami


Dalam perhitungannya, model ini hanya memperhitungkan jalur transmisi
secara lurus pada bidang vertikal antara pemancar-penerima. Jadi yang
diperhitungkan hanyalah efek dari benda-benda yang segaris dengan jalur
transmisi. Pada daerah perkotaan dimana terdapat banyak gedung-gedung maka
yang diperhitungkan hanyalah gedung-gedung yang dilalui bidang vertikal jalur
transmisi.
Gambar 2.8 Penampang vertikal jalur gelombang berdasar model Walfisch
Ikegami

Tingkat ketepatan dari model empiris ini sangat tinggi karena, pada daerah
perkotaan perambatan yang terjadi melalui atap gedung (multiple diffraction)
merupakan faktor yang sangatlah dominan dan paling berpengaruh. Hanya saja
efek akibat refleksi yang berulang-ulang (Multiple reflection) tidak
diperhitungkan.
Model ini bisa digunakan secara akurat pada parameter frekuensi 800-2000
MHz, ketinggian pemancar 4-50 m, ketinggian penerima 1-3 m, dan jarak antara
pemancar dan penerima 20-5000 m. Model ini memiliki 2 jenis perhitungan, yaitu
dalam kondisi Line of Sight dan Non Line of Sight yang memiliki rumus
perhitungan yang berbeda juga.

Gambar 2.9 Kondisi non line of sight berdasar model Walfisch Ikegami
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 KONDISI EXISTING


Kondisi existing adalah suatu kondisi yang sudah ada atau telah terjadi di
lapangan. Dalam Base Transceiver Station (BTS) di daerah Noja Saraswati
Denpasar ini, kondisi existing yang akan dianalisa diantaranya adalah near end
site, far end site, antena sectoral, antena microwave, dan minimum Line of Sight
(LOS).

3.1.1 NEAR END (NE) SITE


Near End site yang dimaksud adalah site baru atau site yang akan
direncanakan untuk dibangun. Dan site yang menjadi Near End dalam laporan ini
adalah site milik PT. Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel) yang disewa oleh
provider Telkomsel (T-Sel). Site ini bernama Noja Saraswati DMT dengan site ID
DPR725.
Pembangunan site ini berawal dari permintaan Telkomsel itu sendiri dengan
alasan capacity (kapasitas). Maksud dari capacity disini ialah untuk
mengantisipasi adanya lonjakan traffic baik itu voice, sms, mms, dan saat ini yang
menjadi trend baru adalah data, dan untuk mengantisipasinya biasanya operator
melakukan upgrade kapasitas pada Trunk Capacity, Air Interface Capacity, dan
Power Capacity. Semua harus diperbesar, semua harus diperlebar karena yang
akan melewati juga besar dan diperkirakan akan semakin bertambah (sesuai
survey dari pihak provider).
Tower ini merupakan tower pole yang berada pada lintang (lattitude) -8.63310
dan pada busur (longitude) 115.23206, yang bisa diketahui keberadaannya melalui
Global Positioning System (GPS) atau aplikasi lain seperti google map dan google
earth yang sudah sering digunakan.
Gambar 3.1 Letak site dilihat melalui Google earth

Tower tersebut berdiri diatas rumah dengan tinggi 7 meter, dengan ketinggian
tower pole sendiri adalah 9 meter, sehingga ketinggian tower menjadi 16 meter
dari permukaan tanah.

Gambar 3.2 Ilustrasi BTS


Site tersebut memiliki daya listrik sebesar 13,2 kVA, bertipe outdoor site
karena memang berada di ruangan yang terbuka, dan dengan landasan shelter
(baseframe) adalah single row. Tujuan dari adanya baseframe ialah agar shelter
tidak bersentuhan langsung dengan tanah dan terhindar dari korosi.

Tabel 3.1 Site Noja Sarawati DMT


Site ID Nama Longitude Lattitude Tinggi Tipe Baseframe
Site (m) Site
DPR275 Noja 115.23206 -8.63310 16 Outdoor Single Row
Saraswati
DMT

3.1.2 FAR END (FE) SITE


Far End site dalam hal ini dimaksudkan sebagai site yang telah ada
sebelumnya (existing) dan memungkinkan untuk digunakan. Apabila Far End site
yang sebelumnya direncanakan tersebut tidak memungkinkan untuk digunakan,
maka harus mencari site lain lagi yang bisa digunakan yang dengan otomatis
azimuth, ketinggian antenna, dan min LOS dari Near End Site pun ikut berubah.
Far End site yang digunakan pada laporan ini berada pada lintang (lattitude) -
8.63267, dan berada pada bujur (longitude) 115.22660. Site tersebut bernama Site
Nindya Indah dengan Far End ID yaitu DPR726. Jarak dari near end hingga ke
far end jika melalui jalur udara atau ditarik dengan garis lurus adalah 600 meter.
Gambar 3.3 Letak NE site dan FE site dilihat melalui Google earth

Seperti yang telah ditampilkan pada gambar 3.2 bahwa penunjuk sebelah
kanan merupakan near end site yaitu site Noja Saraswati sedangkan penunjuk
sebelah kiri merupakan far end site yaitu Nindya Indah. Jarak antara kedua tempat
tersebut cukup jauh jika ditempuh melalui jalur darat, namun hanya 600 meter jika
ditarik dengan garis lurus.

Tabel 3.2 Site Nindya Indah


FE ID Nama Longitude Lattitude Jarak NE - FE
Site FE (km)
DPR726 Nindya 115.22660 -8.63267 0.60
Indah
3.1.3 Antena Sectoral
Pada tower ini, telah terpasang antena yang berfungsi sebagai penerima serta
pengirim informasi. Salah satu antena tersebut merupakan antena sectoral. Antena
ini merupakan antena 3G milik Telkomsel. Ketinggian antena 3G tidak terlalu
tinggi dan tidak setinggi tower yang berfungsi untuk memasang antena voice yang
biasanya memiliki tinggi hingga 42 meter. Seperti antena sectoral pada tower
kebanyakan, antena pada tower ini juga memiliki 3 sisi yaitu alpha, beta, dan
gamma dengan azimuth 0/140/240. Azimuth tersebut merupakan derajat elevasi
dari masing-masing antena sectoral yang ada.

270 o 90o

Gambar 3.4 Letak penempatan antena sectoral

Ketiga antena tersebut berada sejajar pada ketinggian 16 meter (dihitung


berdasarkan sumbunya) dan tidak semua penyedia tower menggunakan standar
seperti itu. Masing-masing antena tidak selalu berada pada ketinggian yang sama
dan bisa saja berbeda, namun dalam hal ini ketinggiannya adalah sama. Antena
tersebut juga termasuk dalam cluster urban.
Tabel 3.3 Antena sectoral
Band Azimuth Tinggi Antenna Feeder Cluster
(m)
3G 0/140/240 3G: 16/16/16 Feederless Urban all
all sector sector

3.1.4 Antena Microwave


Pada masing-masing Site, yaitu Near End site dan juga Far End site memiliki
1 buah antena sectoral (alpha, beta, gamma) dan juga 1 buah antena microwave.
Untuk Azimuth dari NE/FE adalah 274.52/94.53. Ini berarti pada Near End site
berada pada elevasi kemiringan 274.52 derajat, sedangkan pada Far End site
berada pada elevasi kemiringan 94.53 derajat.

Gambar 3.5 Antena microwave FE

Gambar 3.6 Antena microwave NE

Sesuai pada gambar 3.5 dan gambar 3.6 dapat terlihat jika masing-masing
antena tersebut berhadapan. Azimuth yang digunakan adalah azimuth magnetik
(azimuth yang terlihat pada kompas) dan tidak menggunakan azimuth true, karena
penggunaan azimuth true tersebut hanya dipergunakan dalam penentuan
penempatan antena yang menggunakan satelit geostasioner sebagai patokannya.
3.1.5 Minimum Line of Sight (Min LOS)
Min LOS dimaksudkan sebagai tinggi minimum dari Line of Sight suatu
antena agar terhindar dari obstacle-obstacle disekitar site baik itu berupa gedung
tinggi, pepohonan, bukit, gunung, dan sebagainya.
Dari data yang didapat, min LOS NE/FE adalah bernilai 16/20 meter. Ini
berarti pada Near End site, minimum tinggi dari antena haruslah berada pada
ketinggian 16 meter. Sedangkan pada Far End site, minimum tinggi untuk
antenanya harus berada pada ketinggian 20 meter.
Penentuan angka 16 meter dan juga 20 meter tersebut didapat berdasarkan
hasil LOS survey. Sebelum perencanaan link, antenna dan seterusnya kita harus
melakukan aktivitas ini untuk memprediksi bagaimana kita dapat menempatkan
ketinggian antenna dari hambatan yang terlihat. Sebelum melakukan aktivitas ini
dan untuk meminimalisir kesalahan biasanya team survey berangkat ke lokasi
akan diberikan data berupa koordinat titik nominal untuk Near End site dan juga
Far End site-nya dari provider yang memesan BTS tersebut.
Apabila salah satu site tersebut ada yang melanggar ketinggian min LOS yang
telah ditentukan tersebut, maka kinerja dari antena microwave tersebut tidak akan
sempurna, karena cakupan yang seharusnya bisa lebih lebar tersebut terhalang
oleh obstacle tadi.

3.2 Analisis Nilai Received Signal Level (RSL)


Receive Signal Level (RSL) adalah level sinyal yang diterima di penerima.
Nilai dari RSL tersebut haruslah lebih besar daripada sensitivitas perangkat di
penerima. Dari kondisi existing yang sudah ada di lapangan, analisa nilai Received
Signal Level (RSL) bisa ditemukan. Selain membutuhkan data-data dari kondisi
existing, hal lain yang harus dicari terlebih dahulu adalah loss propagasi, Effective
Isotropic Radiated Power (EIRP), penguatan antena, dan loss pada feeder.
3.2.1 Path Loss dan Free Space Loss
Pada kondisi ini, model propagasi outdoor yang digunakan untuk menghitung
path loss –nya adalah dengan menggunakan Model Walfisch Ikegami. Walfisch
Ikegami dipilih karena model ini akurat untuk parameter-parameter sebagai
berikut:
 Frekuensi = f (800...2000 MHz)
 Ketinggian pemancar = hTX (4...50 m)
 Ketinggian penerima = hRX (1...3 m)
 Jarak antara pemancar dan penerima = d (20...5000 m)

Dan parameter yang terdapat di lapangan adalah sebagai berikut:


 Frekuensi = 1800 MHz
 Ketinggian pemancar = 16 m
 Ketinggian penerima = 2 m (diibaratkan sebagai seseorang yang sedang
menelpon dengan menggunakan handphone)
 Jarak antara pemancar dan penerima = 500 m (ditentukan sendiri)

Dalam perhitungan dengan menggunakan Walfisch Ikegami, perhitungan


dibagi menjadi 2 kondisi. Yaitu kondisi saat Line of Sight dan Non Line of Sight.
Untuk percobaan dalam perhitungan di laporan ini digunakan jarak antara
pemancar dengan penerima sejauh 500 m yang juga dalam keadaan Line of Sight.
Dan berikut adalah persamaannya:

Path loss (dB) = 42,6 + 26 log (d) + 20 log (f)


Jadi,

Path loss = 42,6 + 26 log (d) + 20 log (f)


= 42,6 + 26 log (0,5) + 20 log (1800)
= 42,6 + (-7.826) + 65,105
Path loss = 99.878 dB
Sedangkan persamaan dalam menghitung free space loss adalah sebagai berikut:

Free space loss (dB) = 32,5 + 20 log (d) + 20 log (f)


Jadi,

Free space loss = 32,5 + 20 log (d) + 20 log (f)


= 32,5 + 20 log (0,5) + 20 log (1800)
= 32,5 + (-6.020) + 65,105
Free space loss = 91,584 dB

Berdasarkan perhitungan diatas, dapat dilihat jika path loss lebih besar
daripada free space loss karena dalam free space loss adanya loss hanya
disebabkan faktor jarak dimana semakin lama maka kekuatan sinyal akan
menurun. Sedangkan nilai path loss dengan berdasarkan teori bisa saja lebih kecil
atau lebih besar namun cenderung lebih kecil dari kenyataan di lapangan jika
dilakukan perhitungan dengan menggunakan alat yang disebabkan oleh adanya
perambatan dari gedung dan pepohonan yang ada disekitarnya.
Besarnya perbandingan antara path loss dan free space loss adalah bernilai
sebesar 8,293 dB.

3.2.2 Penguatan Antena


Berikut adalah persamaan untuk mencari gain (penguatan) antena:
4πDF
G= λ²

Dimana,
G = Gain (penguatan)
π = 3,14
D = Diameter (meter), sebesar 0.4 meter
F = Fokus (meter)
λ = Panjang gelombang (meter)
Untuk menghitung panjang gelombang digunakan persamaan sebagai berikut:
300
λ=
f
Dimana,
λ = panjang gelombang (meter)
f = frekuensi (MHz)

300
Jadi, λ = 1800 = 0.17

Untuk menentukan jarak titik fokus yaitu dari titik nol ke F (dimana driven
antena diletakkan) ditentukan oleh persamaan berikut:

QD²
F=√
16
Dimana,
F = jarak titik F dari titik nol (meter)
Q = faktor kualitas berkisar antara 2-4 (ambil 2,6)
D = diameter (meter)

(2.6)(0.14)
Jadi, F = √ = √0.026 = 0.16
16

4πDF 4(3.14)(0.4)(0.16) 0.80384


Oleh karena itu, didapat G = = = = 28.708
λ² 0.028 0.028

Dan di konversikan ke dalam dB yaitu: 10 log 28.708 = 10 × 1.4580 = 14.580 dB.

3.2.3 Feeder Loss


Feeder loss merupakan loss (hilangnya) daya akibat redaman pada saluran
transmisi yg di gunakan. Besarnya loss yang disebabkan oleh feeder adalah
sebesar 0 dBm, karena pada penjelasan sebelumnya telah dikatakan jika keadaan
dilapangan adalah feederless.
3.2.4 Effective Isotropic Radiated Power (EIRP)
Persamaan yang digunakan untuk mencari nilai EIRP adalah sebagai berikut:

EIRP = PTX + GTX – LTX

Dimana,
PTX = daya pancar (dBm) telah ditentukan sebesar 27 dBm
GTX = penguatan antena pemancar (dB) sebesar 14.580 dB
LTX = rugi-rugi pada pemancar / feeder loss (dB) sebesar 0 dBm karena
feederless

Jadi, EIRP = 27 dBm + 14.580 dB – 0 dBm = 41.580 dBm

3.2.5 Received Signal Level (RSL)


Oleh karena semua parameter yang diperlukan untuk menghitung RSL telah
ditemukan, maka nilai RSL sudah bisa didapat dan dengan menggunakan
persamaan sebagai berikut:
RSL = EIRP – Lpropagasi + GRX– LRX

Dimana,
EIRP = Effective Isotropic Radiated Power (dBm)
Lpropagasi = rugi-rugi gelombang saat berpropagasi (dB)
GRX = penguatan antena penerima (dB)
LRX = rugi-rugi saluran penerima/feeder loss (dB)

Jadi, RSL = EIRP – Lpropagasi + GRX– LRX


= 41.580 - 99.878 + 14.580 – 0
= -43.718 dBm
BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
Simpulan yang didapat dari penulisan laporan ini diantaranya adalah:
1. Sebelum perencanaan pembuatan BTS, kegiatan survey sangatlah penting
untuk dilakukan karena hasil survey tersebut sangat mempengaruhi kinerja
dari BTS itu sendiri nantinya.
2. Antena sectoral yang terdapat pada Site Noja Saraswati tersebut mengarah
ke beberapa sudut daerah tertentu untuk menanggulangi masalah capacity.
3. Antena microwave pada masing-masing site dipasang berdasarkan azimuth
magnetik (yang ditunjukkan pada kompas), tidak berdasarkan azimuth true
karena azimuth true hanya digunakan untuk antenna yang berpatokan pada
satelit geostasioner.
4. Pencarian site yang bisa digunakan sebagai Far End site dilakukan dengan
mencari site terdekat yang masih dapat dianggap memungkinkan.
5. Line of Sight (LOS) memiliki peran yang sangat penting, apabila pancaran
dari antena microwave terhalang obstacle maka otomatis kinerjanya tidak
akan maksimal.
6. Perhitungan path loss sangat menentukan dalam perhitungan Link Budget,
ukuran cell, ataupun perencanaan frekuensi.
7. Beberapa faktor yang mempengaruhi besar nilai RSL antara lain Gain
pemancar, rugi-rugi kabel, rugi-rugi medium rambat, faktor kelengkungan
bumi, rugi-rugi kabel sisi penerima, dan gain sisi penerima.

4.2 Saran
Saran dari penulis adalah pada saat melakukan kegiatan survey untuk
perencanaan pembangunan BTS haruslah sangat teliti dan dengan hati-hati.
Karena ketinggian min LOS, azimuth antena sectoral, azimuth antena
microwave, ketinggian antena, dan semuanya yang berhubungan dengan BTS
tersebut berawal dari survey. Agar apa yang diharapkan bisa berjalan dengan
maksimal, dan provider yang menyewa puas maka hal tersebut harus
dijalankan dengan baik.
Selain Line of Sight (LOS), path loss juga sangatlah penting untuk
diperhatikan karena redaman-redaman yang timbul akibat obstacle seperti
gedung, bukit, dan pepohonan sangat berpengaruh terhadap kekuatan sinyal.
Jadi link budget nantinya akan dibuat berdasarkan perhitungan path loss agar
antena pada tower yang dibangun dapat bekerja dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abditech. 2013. Pengertian Azimuth Pada Pemasangan Dish. Diperoleh dari


http://abditech.blogspot.com/2013/08/pengertian-azimuth-pada-
pemasangan-dish.html diakses pada 19 November 2013.
Amru, A. 2009. Menentukan Sudut Azimuth dan Elevasi. Diperoleh dari
http://abimanyu-amru.blogspot.com/2009/07/menentukan-sudut-azimuth-
dan-elevasi.html diakses pada 19 November 2013.
Joko, M. 2011. Model Propagasi. Diperoleh dari
http://blogmasjoko.blogspot.com/2011/12/model-propagasi.html diakses
pada 27 November 2013.
Singgih, C. 2010. Tower Telekomunikasi. Diperoleh dari
http://catursinggih.blogspot.com/2010/02/tower-telekomunikasi_24.html
diakses pada 20 Oktober 2013.
Chullax. 2010. Menentukan Sudut Azimuth dan Elevasi.
http://chullaxmasadepan.blogspot.com/2010/01/menentukan-sudut-
azimuth-dan-elevasi.html diakses pada 19 November 2013.
Cyberart. 2012. Kumpulan Rumus-Rumus Kalkulasi Wireless. Diperoleh dari
http://www.cyber4rt.com/2012/06/kumpulan-rumus-kalkulasi-
wireless.html diakses pada 20 November 2013.
Batubara, J. 2012. Site Investigation Survey. Diperoleh dari http://joan-
batubara.blogspot.com/2012/12/site-investigation-survey.html diakses
pada 26 Oktober 2013.
Mashuri, SI. 2010. Model Propagasi Gelombang Radio Luar Ruangan.
Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, Fakultas Teknik,
Universitas Gadjah Mada.
Speedy, T. 2010. Antenna Sektoral. Diperoleh dari
http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Antenna_sektoral
diakses pada 20 Oktober 2013.
Pambudhi, HT. 2012. Analisis Kekuatan Daya Receive Signal Level (RSL)
Menggunakan Piranti Sagem Link Terminal. Jurusan Teknik Elektro,
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Purba, M. 2012. Pathloss dan Link Budget. Diperoleh dari
http://telekomunikasibymichaelpurba.blogspot.com/2012/01/pathloss-dan-
link-budget.html diakses pada 27 November 2013.

You might also like