You are on page 1of 2

ANA HALO

(Cerita Rakyat dari NTT)


ditulis oleh Pangkul Ferdinandus

Di sebuah kampung yang bernama Wolowio, Kabupaten Ngada, tinggallah dua orangh
kakak beradik yang sudah ditinggal mati kedua orang tuanya. Mereka bernama Moi dan Peba. Moi,
sang kakak berusia 7 tahun, sedangkan Peba, adiknya berusia 5 tahun. Mereka tinggal di rumah
adat, karena sudah menjadi tradisi setempat bahwa anak – anak yatim piatu diperkenankan tinggal
di rumah adat.
Hidup mereka sangat menyedihkan dan serba kekurangan. Untuk mempertahankan hidup
mereka hanya mengharapkan belas kasih para tetangga. Untuk mengolah kebun peninggalan orang
tuanya mereka tak mampu karena usia mereka yang teramat belia. Tiada hari yang mereka lewatkan
tanpa merasa lapar. Bukan karena tetangga yang tak mau berbagi, hasil kebun mereka hanya cukup
untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga, serta sesekali memberi makan Moa dan Peba.
Sebagai anak sulung, Moa merasa bertanggung jawab pada adiknya, Peba. Di usianya yang masih
belia, dia mulai berpikir bagaimana cara agar mereka bisa mandiri, tidak hanya mengharap belas
kasih orang, serta tidak merasa kekurangan lagi.
Suatu pagi, Moa mengajak adiknya ke kebun peninggalan orang tuanya. Bukan suatu
perjalanan yang mudah bagi anak seusia mereka, namun mereka tak kenal menyerah hingga
akhirnya tiba di kebun peninggalan orang tua mereka. Sesampainya di sana, sejenak mereka
mengamati kebun hasil peninggalan orang tua mereka. Sejauh mata memandang, mereka hanya
mendapati semak belukar kecuali sebuah pohon mangga yang berbuah lebat dan ranum, berdiri
tegak di tengah kebun. Bukan main senangnya mereka. Bergegas mereka memungut buah manga
yang telah jatuh ke tanah dan memakannya. Tak lupa mereka memetik lagi, guna persediaan mereka
selama beberapa hari mendatang.
Dua minggu kemudian, setelah persediaan mangga mereka menipis, mereka kembali pergi
ke kebun untuk memetik mangga lagi sebagai persediaan. Tapi, alangkah terkejutnya mereka,
setelah mendapati buah manga mereka yang ranum habis tak tersisa kecuali buahnya yang masih
kecil. Muncul tanya dalam hati mereka, siapa gerangan yang telah mencuri mangga mereka. Tal
lama kemudian mereka mendapati, seekor kera besar yang tengah bersantai di atas pohon sambil
menikmati buah mangga. Moi berusaha mengusirnya, namun kera itu tak kunjung mau pergi,
hingga membuat Moa putus asa dan tak bisa menahan tangis. Moa berkata kepada kera tersebut
mengapa dia begitu tega menghabiskan mangga mereka padahal itu adalah pengharapan mereka
selama sebulan ke depan. Tak disangkanya kera menjawab bahwa ia akan mengganti mangga yang
telah dimakannya dengan padi, jagung, jail, dan mentimun. Kedua kakak beradik tersebut tak dapat
memahami maksud sang kera. Tak seberapa lama, kera tersebut berusaha turun dari pohon,
sayangnya ia jatuh dan mati karena tersedak mangga yang dimakannya.
Melihat kera yang sudah mati, Moa dan Peba berniat menguburnya..Ketika mereka
memegang tangan si kera, mereka mendapati bulir padi, jagung, jali, dan mentimun dalam
genggaman tangan si kera. Mereka berpikir bahwa bulir – bulir tersebut dapat dijadikan bibit untuk
ditanam. Akhirnya mereka memutuskan untuk menanami kebun peninggalan orang tuanya. Mereka
menyadari bukanlah hal yang mudah bagi anak seusia mereka untuk bercocok tanam, tapi mereka
bertekad untuk melaksanakan rencana mereka. Mereka mulai menyiapkan lahan ketika musim
tanam belum tiba, dengan harapan sebelum musim angin sudah dapat dipanen hasilnya. Usaha
mereka tak sia – sia. Tanaman mereka tumbuh dengan suburnya, dan siap untuk dipanen ketika
musim angin belum datang. Melihat hasil panen yang melimpah, Mio meminta Kepala Kampung
untuk menyampaikan kepada warga kampung jika mereka memerlukan bantuan. Warga pun tak
segan untuk membantu, pun demikian Moa pun tak segan membagi hasil panen mereka. Kini
kehidupan Mio dan Peba tak seperti sebelumnya. Pun demikian dengan warga kampung. Dengan
mengikuti cara Mio dalam menyiapkan musim tanam, hasil pertanian mereka lebih banyak dari
sebelumnya. Mio dan Peba pun kembali tinggal di kampung Wolowio, karena bagi warga kampung
tersebut, Mio dan Peba adalah anak – anak mereka. Jadi mereka akan saling menjaga dan
menyayangi.

Karakter baik : Sikap saling menyayangi antar saudara, antar sesama, berbagi dengan yang
membutuhkan serta bekerja keras tanpa kenal menyerah.

Karakter jahat : mencuri sesuatu yang bukan hak kita, menjadi sebuah bencana bagi kita
Sendiri.

Kupang, 06 Agustus 2018

Desi Setyani, S.Pd

You might also like