You are on page 1of 62

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.

3, November 2015, hal 139-142


pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

EFEK LIFE REVIEW THERAPY TERHADAP DEPRESI PADA LANSIA

Nati Aswanira, Rumentalia*, Vausta

Prodi DIV Keperawatan, Jurusan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Palembang, Palembang 30126, Indonesia

*
E-mail: rumentalia@yahoo.com

Abstrak

Depresi dapat dialami oleh lanjut usia (lansia) di penghujung kehidupannya. Depresi bukan merupakan proses penuaan
yang normal, melainkan masalah psikososial yang dapat diatasi. Prevalensi depresi berkisar antara 10–15% pada lansia
di komunitas, 11–45% pada lansia yang membutuhkan rawat inap, dan sampai 50% pada residen panti jompo. Penelitian
ini adalah jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian pre-eksperimen dengan pendekatan one group pre-post
test design. Pengambilan sampel dilakukan secara metode total sampling, sebanyak 28 orang dengan kriteria inklusi
lansia yang mengalami depresi tingkat ringan dan sedang. Penelitian dilakukan di Panti Sosial Tresna Werdha
Palembang. Hasil penelitian diperoleh rerata skor depresi lansia sebelum life review therapy adalah 11,61 (SD= 2,061),
rerata skor depresi sesudah life review therapy 10,07 (SD= 2,035). Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan skor
depresi sebelum dan sesudah dilakukan life review therapy (p= 0,02). Life review therapy direkomendasikan sebagai
alternatif tindakan keperawatan jiwa untuk mengatasi depresi pada lansia.

Kata kunci: lansia, life review therapy, depresi

Abstract

The Effect of Life Review to the Depression in Elderly People. The Depression can be experienced by the elderly at
the end of his life. This is not a normal aging process, but a medical illness that can be treated. Its prevalence ranges
from 10–15% of the elderly at the community, 11–45% of the elderly age who require inpatient, and up to 50% in
nursing home residents. This research is a pre experiment study with one group pre-post test design. This design used a
sample group that was interviewed twice. Pretest and post test were done by using ratio scale. The total sample of 28
elderly people with mild and medium depression at Tresna werdha Elderly Social Institution Palembang. The result
showed an average depression score elderly people before life review therapy is 11,61 (SD= 2,061), the average
depression scores after the therapy 10,07 review life (SD= 2,035). The result showed that there is a significant
difference between before and after life review therapy with therapy for depression in elderly (p= 0,002). It is expected
for Tresna Werdha Teratai Social Institution in order to increase quality of services especially in an effort to reduce
depression in the elderly people in the home by using review life therapy.

Keywords: elderly, life review therapy, depression

Pendahuluan Amerika Serikat mengalami peningkatan lansia


pada tahun 2000, sebanyak 35 juta orang dewasa
Indonesia merupakan salah satu negara ber- yang berusia di atas 65 tahun jumlahnya mencapai
kembang dengan angka harapan hidup yang 12,4% dari total populasi (AOA, 2006). Jumlah
meningkat. Menurut WHO, populasi lansia di ini menunjukkan terjadinya peningkatan sebesar
Asia Tenggara sebesar 8% atau sekitar 142 juta 3,7 juta sejak tahun 1990. Pada populasi lansia
jiwa. Pada tahun 2000 jumlah lansia sekitar di tahun 2000, 18,4 juta orang berusia 65–74 tahun;
5.300.000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan 12,4 juta berusia di atas 85 tahun. Diperkirakan,
pada tahun 2010 jumlah lansia 24.000.000 (9,77%) pada tahun 2030 populasi lansia akan mencapai
dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan 70 juta orang. Peningkatan ini disebabkan ber-
jumlah lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari tambahnya usia harapan hidup. Menurut Badan
total populasi. Di Indonesia pada tahun 2020 Pusat Statistik Sumatera Selatan jumlah penduduk
diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000. lansia pada tahun 2009 adalah 7.222.635 orang,
140 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 139-142

dengan komposisi 3.650.615 orang laki-laki dan yang dapat membawa seseorang lebih akrab pada
3.572.020 orang perempuan, diantaranya penduduk realita kehidupan. Life review therapy membantu
yang berusia 60 tahun ke atas berjumlah 419.900 seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka
orang dengan komposisi 3.792.647 orang laki- panjang dimana akan terjadi mekanisme recall
laki dan 3.657.747 orang perempuan, diantaranya tentang kejadian pada kehidupan masa lalu
penduduk yang berusia 60 tahun keatas berjumlah hingga sekarang. Dengan cara ini lansia akan
466.033 orang. Pada tahun 2012 telah mencapai dapat memperbaiki kualitas hidupnya. Life review
464.554 orang atau 6,24% dari jumlah penduduk therapy akan mengurangi depresi dan meningkat-
lansia perempuan 245.852 orang dan jumlah pen- kan kepercayaan diri, kesejahteraan atau kesehatan
duduk lansia laki-laki 218.702 orang. Sedangkan psikologis, dan kepuasan hidup (Kusharyadi,
di Kota Palembang, jumlah lansia pada tahun 2011).
2009 sebesar 236.446 orang, pada tahun 2010
jumlah lansia sebesar 288.180 orang. Ini mengalami Metode
peningkatan jumlah lansia pada tahun 2011
sebesar 497.655 orang. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
kuantitatif dengan desain penelitian Kuasi Ekspe-
Lansia sangat rentan mengalami masalah kese- rimen dengan pendekatan One Group pre–post
hatan baik masalah fisik maupun psikologis test design. Penelitian ini dilakukan di Panti
akibat terjadinya perubahan dalam kehidupan. Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang yang
Perubahan tersebut meliputi pensiun, penyakit dilakukan pada bulan Juni 2014. Populasi peneli-
atau ketidakmampuan fisik, penempatan dalam tian adalah semua lansia yang tinggal di Panti
panti werda, kematian pasangan dan kebutuhan Sosial Tresna Werdha Teratai Km 6 Palembang
untuk merawat pasangan yang kesehatannya yang berjumlah 70 orang. Teknik pengambilan
menurun. Salah satu masalah psikologis adalah sampel pada penelitian ini yaitu total sampling,
depresi sebagai tahun emas. Tingginya stresor dimana sampel merupakan keseluruhan dari
dan peristiwa-peristiwa kehidupan yang tidak populasi, sampel dalam penelitian ini adalah
menyenangkan dapat menimbulkan kemungkinan semua lansia yang berada di Panti Sosial Tresna
lanjut usia mengalami kecemasan, kesepian, Werdha Km 6 Palembang dengan kriteria inklusi
sampai pada tahap depresi (Saputri, 2011). mengalami depresi ringan dan sedang, komunikasi
verbal dapat dipahami dan bersedia menjadi
Menurut Hawari (2001 dalam Saputri, 2011) responden.
depresi merupakan salah satu bentuk gangguan
kejiwaan pada alam perasaan (affective/mood Sejumlah 70 lansia yang tinggal di panti didapat-
disorder), yang ditandai dengan ketidakgairahan kan 28 lansia yang mengalami depresi ringan
hidup, kemurungan, kelesuan, putus asa dan dan sedang yang dijadikan yang pada akhirnya
perasaan tidak berguna. Gangguan depresi sendiri dijadikan sebagai sampel. Alat pengumpulan data
apabila tidak diobati maka akan mengakibatkan yang digunakan adalah Depression Anxiety and
kesulitan pada penderitanya yang terlihat dalam Stress Scale (DASS) yang diadopsi dari Livibond
pencapaian akademik yang buruk, keterlambatan dan Lovabond (2011). Kuesioner terdiri dari 14
dalam perkembangan psikososial, penyalahgunaan pertanyaan yang mengukur 14 pertanyaan dengan
zat adaptif, bahkan percobaan bunuh diri. Pre- skala 0 (jika tidak pernah), 1 (kadang-kadang),
valensinya depresi berkisar antara 10–15% pada 2 (jarang), 3 (sering), dan 4 (selalu).
lansia di komunitas; 11–45% pada lansia yang
membutuhkan rawat inap; dan sampai 50% pada Hasil
residen lansia yang tinggal di panti jompo (Patricia,
2009). Hasil penelitian menunjukkan skor depresi se-
belum life review therapy, skor depresi sesudah
Salah satu intervensi keperawatan dalam menga- life review therapy dan perubahan skor depresi
tasi depresi pada lansia adalah life review therapy sebelum dan sesudah life review therapy. Skor
Aswanira, et al., Efek Life Review Therapy terhadap Depresi pada Lansia 141

depresi sebelum life review therapy pada lansia Pembahasan


tergambar pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1
diketahui bahwa rerata skor depresi lansia Berdasarkan hasil penelitian diketahui rerata
sebelum dilakukan life review therapy adalah skor depresi lansia sebelum dilakukan life review
11 dengan standar deviasi sebesar 2,06. therapy adalah 11,00 dengan standar deviasi 2,061.
Rerata skor depresi lansia sesudah dilakukan
Skor depresi sesudah life review therapy pada life review therapy menjadi 10,00 dengan standar
lansia tergambar pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel deviasi 2,035. Hasil uji statistik didapatkan nilai
2 diketahui bahwa rerata skor depresi lansia p= 0,002, dimana dalam hal ini ada cukup bukti
setelah dilakukan life review therapy adalah 10 untuk menolak hipotesis null yang berarti bahwa
dengan standar deviasi sebesar 2,03. ada perbedaan bermakna antara skor depresi
lansia sebelum life review therapy dengan skor
Pengaruh life review therapy terhadap depresi depresi lansia sesudah life review therapy di Panti
pada lansia terlihat pada Tabel 3. Berdasarkan Sosial Tresna Werdha Teratai Km 6 Palembang
Tabel 3 diketahui bahwa skor depresi sebelum Tahun 2014.
pemberian life review therapy adalah 11 dan
setelah pemberian terapi 10. Hasil uji statistik Hasil ini sejalan dengan pendapat Kushariyadi
menunjukkan bahwa ada pengaruh life review (2011) yang mengatakan bahwa suatu proses
therapy terhadap skor depresi lansia di Panti life review therapy dengan Standar Prosedural
Tresna Wreda Teratai Palembang. Operasional yang baik akan mengurangi depresi

Tabel 1. Rerata Skor Depresi Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai Palembang Sebelum Life Review
Therapy

Variabel Median SD Min – Max 95%CI

Skor Depresi sebelum


11,00 2,061 9 – 19 10,81 – 12,41
intervensi

Tabel 2. Rerata Skor Depresi Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai Palembang Sesudah Life Review
Therapy

Variabel Median SD Min – Max 95%CI

Skor Depresi sesudah


10,00 2,035 5 – 14 9,28 – 10,86
intervensi

Tabel 3. Pengaruh Life Review Therapy Terhadap Depresi Pada Lansia di Panti Tresna Wreda Teratai
Palembang

Skor Depresi n Median Min – Max SD p


Sebelum life review therapy
28 11 (9 – 19) 2,061
0,002
Setelah life review therapy
28 10 (5 – 14) 2,035
142 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 139-142

dan meningkatkan kepercayaan diri, kesejahteraan didapatkan bahwa ada perbedaan rerata skor
atau kesehatan psikologis, dan kepuasan hidup. depresi yang signifikan sebelum dan sesudah
Terapi life review adalah upaya untuk membantu life review therapy yaitu dengan skor depresi
seseorang untuk mengaktifkan ingatan jangka sebelum life review therapy adalah 11.61. Rerata
panjang dimana akan terjadi mekanisme recall skor depresi sesudah life review therapy adalah
tentang kejadian pada kehidupan masa lalu hingga 10,07. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan
sekarang, dengan cara ini, lansia akan lebih menge- nilai p= 0.002, yang berarti ada pengaruh antara
nal siapa dirinya dan dengan recall tersebut, lansia sebelum diberikan life review therapy dan sesudah
akan mempertimbangkan untuk dapat mengubah life review therapy terhadap depresi pada lansia.
kualitas hidup menjadi lebih baik dibandingkan
dengan sebelumnya. Pihak Panti Sosial Tresna Werdha Teratai
Palembang diharapkan dapat meningkatkan mutu
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian pelayanan terutama dalam upaya untuk mengurangi
Rita (2013) dengan judul pengaruh intervensi depresi pada lansia yang ada di panti tersebut
musik gamelan terhadap depresi pada lasia di dengan menggunakan life review therapy (IC,
Panti Werdha Harapan Ibu Semarang, menyatakan INR, AM).
bahwa pengendalian dan penatalaksanaan depresi
khususnya pada lansia memerlukan perawatan Referensi
secara terus-menerus dan berkelanjutan agar tidak
terjadi bunuh diri karena perasaan bersalah, gagal,
dan kecewa yang dialami sebagai dampak depresi. Kushariyadi. (2011). Terapi modalitas keperawatan
pada klien psikogeriatrik. Jakarta: Salemba
Medika.
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyim-
pulkan bahwa terjadinya depresi dapat dikurangi Livibond, S.H., & Lovabond, P.F. (2012).
dengan cara melakukan pengendalian serta pera- Depression anxiety and stress scale (DASS).
watan pada lansia secara berkesinambungan. Diperoleh dari www.acpmh. unimelb.edu.
Hal ini bertujuan agar lansia terhindar dari bunuh au/site_resources/.../followup/DASS.pdf.
diri karena perasaan bersalah serta kecewa yang
dialami sebagai dampak depresi. Life review Rita, H. (2013). Pengaruh intervensi musik
therapy merupakan salah satu terapi yang dapat gamelan terhadap depresi pada lansia di
mengurangi depresi pada lansia. Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang
(online). Diperoleh dari www.bianpdf.org/
view_205909.php.
Kesimpulan
Saputri, W. (2011). Hubungan antara dukungan
Hasil penelitian dapat disimpulkan rerata skor sosial dengan depresi pada lanjut usia yang
depresi pada lansia sebelum dilakukan life review tinggak di Panti Wreda Wening Wardoyo
therapy adalah 11,61 dengan standar deviasi Jawa Tengah (online). Diperoleh dari
sebesar 2,061. Rerata skor depresi lansia sesudah www.ejournal.undip.ac.id/index.php/psikolo
dilakukan life review therapy adalah 10,07 dengan gi/article/download/2910/2592-2910-6323-
standar deviasi sebesar 2,035. Hasil penelitian 1- SM.pdf pada tanggal 4 Mei 2014.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 149-156
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

KARAKTERISTIK SUBJEKTIF TIDUR KLIEN RAWAT INAP DEWASA


DI RUMAH SAKIT X DEPOK
Rahma Marfiani1*, Hening Pujasari2

1. Program Studi Sarjana, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*
E-mail: rahma.marfiani@ui.ac.id

Abstrak

Penelitian ini mengenai karakteristik subjektif tidur pada klien rawat inap dewasa di Rumah Sakit X Depok. Desain
penelitian ini deskriptif sederhana dengan pendekatan cross-sectional. Sampel yang terlibat berjumlah 72 pasien dengan
teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Responden mengisi kuesioner berisi skala tidur Verran dan Snyder-
Halpern. Hasil penelitian didapatkan bahwa pasien mengalami gangguan tidur tingkat sedang (47,22%) hingga berat
(25%). Efektivitas tidur pasien juga hanya berada pada tingkat sedang (50%) hingga rendah (19,44%). Pasien juga
mensuplementasikan tidurnya dengan tingkatan sedang (38,88%) hingga tinggi (22%). Penelitian ini dapat digunakan
sebagai penelitian dasar untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi pola tidur pasien rawat inap.

Kata kunci: karakteristik subjektif tidur, klien dewasa, rawat inap, skala tidur Verran dan Snyder-Halpern

Abstract

Sleeping Subjective Characteristics of Adult Patient at X Hospital Depok. This research explored subjective sleep
characteristics of hospitalized adult patients in X Hospital Depok. Simple descriptive design was used in this research.
Consecutive sampling was applied on this study involving 72 patients. Patients were asked to fill the questionnaire
about Verran and Snyder Halpern sleep scale (VSH Sleep Scale). Results showed that patients experienced sleep
disturbance with moderate levels (47,22%), moreover (25%) patients experienced severe sleep disturbance. Patients
felt that sleep effectiveness in moderate levels (50%), moreover (19,44%) patients felt that sleep effectiveness only in
low levels. Sleep supplementation also experienced by patients with moderate levels (38,88%), moreover (22%) patients
experienced sleep supplementation in high levels. This research can be used as a pilot study to find out factors that
affecting how patients sleep in the hospital environment.

Keywords: adult patients, hospitalized, subjective sleep characteristics, VSH Sleep Scale

Pendahuluan sehingga pemenuhan kebutuhan tidur yang adekuat


harus tercapai pada tahap penyembuhan penyakit.
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar yang Menurut Benca dan Quintans (1997) seseorang
juga penting bagi kelangsungan hidup manusia. yang kurang tidur akan berdampak secara tidak
Seseorang yang sedang sakit dan dirawat di rumah langsung pada sistem pertahanan tubuhnya. Sel
sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya natural killer, yaitu salah satu komponen pada
sering kali dihadapkan pada dua keadaan yang sistem pertahanan non spesifik tubuh yang beres-
berlawanan, yaitu di satu sisi individu yang sakit pon untuk mengatasi stres akut, akan menurun
tersebut mengalami peningkatan kebutuhan tidur jumlahnya seiring dengan kurangnya kualitas dan
(Crisp & Taylor, 2001). Di sisi lain pola tidur kuantitas tidur (Wright, Erblich, Valdimarsdottir,
seseorang yang masuk dan dirawat di rumah & Bovbjerg, 2007).
sakit akan dengan mudah terganggu (DeLaune
& Ladner, 2011). Hal ini sangat disayangkan Pola tidur seseorang yang dirawat di rumah sakit
karena kekurangan tidur secara potensial dapat akan mudah terganggu oleh berbagai macam
mengganggu sistem pertahanan tubuh seseorang, faktor, seperti lingkungan rumah sakit yang baru
150 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

ditempati, penyakit yang dideritanya, tingkat atas. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti
stres, dan lain-lain. Perubahan pola tidur seseorang tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai
ditandai dengan buruknya karakteristik tidur yang karakteristik subjektif tidur pada klien rawat
hanya dirasakan oleh orang tersebut dan lebih inap dewasa di Rumah Sakit X Depok.
lanjut lagi akan menimbulkan gangguan tidur.
Gangguan tidur menurut pendapat para ahli dapat Metode
dikaitkan dengan penurunan fungsi imun sese-
orang, perubahan status mental, dan peningkatan Penelitian ini menggunakan desain penelitian
tingkat stres (Meerlo, Sgoifo, & Suchecki, 2008). deskriptif sederhana. Sampel penelitian berjumlah
Efek negatif tersebut dapat mengganggu proses 72 pasien yang ditentukan dengan menggunakan
penyembuhan pada klien dewasa yang sedang teknik consecutive sampling. Pengumpulan data
dirawat di ruang rawat akut rumah sakit (Patel, dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang
Chipman, Carlin, & Shade, 2008). Penelitian berisi 10 pertanyaan mengenai karakteristik res-
terhadap pasien dewasa di Amerika menemukan ponden dan 15 pernyataan yang berisi VSH
bahwa gangguan tidur memengaruhi proses Sleep Scale. Pernyataan yang ada di kuesioner
penyembuhan seseorang dari penyakit (Doering, berjumlah 15 terdiri dari 7 pernyataan yang
McGuire, & Rourke, 2002; Redeker, Ruggiero, menggambarkan komponen gangguan tidur, 5
& Hedges, 2004). pernyataan menggambarkan komponen efektivitas
tidur, dan 4 pernyataan lainnya menggambarkan
Karakteristik tidur yang dirasakan oleh pasien komponen suplementasi tidur yang dialami res-
terdiri dari beberapa komponen. Menurut kerangka ponden saat mencoba untuk tidur malam hingga
konsep taksonomi Snyder-Halpern dan Verran terjaga di pagi harinya. Pernyataan yang ada di
(1987) bahwa ada tiga komponen karakteristik kuesioner sejumlah 15, namun karakteristik yang
subjektif tidur, yaitu komponen gangguan tidur, harus diukur ada 16. Karakteristik keenam belas
efektivitas tidur, dan suplementasi tidur (Hum- akan diukur dengan cara menjumlahkan pernya-
phries, 2008). Komponen gangguan pada tidur taan nomor 1 dan 2.
terdiri dari tujuh komponen, yaitu terbangun di
sela-sela waktu tidur, terbangun saat hendak me- Kuesioner ini menggunakan visual analogue scale
mulai tidur, pergerakan saat tidur, kedalaman (VAS), yaitu rentang 0–100 dari sebelah kiri ke
tidur, latensi tidur, kualitas latensi tidur, dan kanan, dinyatakan dalam suatu garis, yang akan
kualitas gangguan tidur. Komponen efektivitas direfleksikan ke dalam kertas millimeter blocks
tidur memiliki lima karakteristik, yaitu perasaan sepanjang 10 cm. Kuesioner ini juga sudah baku
lelah saat sudah terjaga, kualitas tidur yang dirasa dalam Bahasa Inggris, lalu diterjemahkan ke
oleh klien, total periode tidur, total waktu tidur, dalam Bahasa Indonesia dan dinyatakan valid serta
dan evaluasi kecukupan tidur. Komponen supple- reliabel. Nilai alpha cronbach untuk kuesioner ini
mentasi tidur terdiri dari empat karakteristik, terbagi menjadi 3, disebabkan tiap komponen
yaitu terbangun setelah sadar sepenuhnya, tidur karakteristik subjektif tidur tidak dapat digabung
di siang hari, pagi hari, dan sore hari. satu sama lain. Komponen gangguan tidur me-
miliki nilai alpha cronbach sebesar 0,77, untuk
Penelitian terkait mengenai angka kejadian dan komponen efektivitas tidur sebesar 0,69, sedangkan
karakteristik subjektif tidur pada klien dewasa yang terakhir untuk komponen suplementasi tidur
yang dilakukan di Rumah Sakit Amerika Serikat nilai alpha cronbach yang dihasilkan yaitu 0,6,
mengungkapkan bahwa sebagian besar subjek sehingga kuesioner ini dinyatakan reliabel.
penelitian melaporkan telah mengalami gangguan
tidur berat, efektivitas tidur yang rendah, dan Polit dan Beck (2008) menjelaskan bahwa terdapat
suplementasi tidur tingkat sedang (Humphries, tiga acuan utama mengenai etika penelitian, yaitu
2008). Indonesia sendiri belum ada penelitian yang prinsip manfaat (beneficence), prinsip menghor-
meneliti karakteristik subjektif tidur pada klien mati harkat dan martabat orang lain (respect of
dewasa seperti penelitian yang telah disebutkan di human dignity), dan prinsip keadilan (justice).
Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa 151

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan obat tidur sebanyak 5 orang (6,9%). Sebanyak
cara prosedur administrasi yang diawali dengan 59,7% pasien yang memiliki kebiasaan tidur saat
izin pengambilan data awal dan izin penelitian. masih di rumah, didominasi dengan menonton
Pengolahan data dilakukan dengan empat tahap, TV sebagai kebiasaan sebelum tidurnya sebesar
yaitu editing, coding, processing, cleaning. Setelah 33 orang (76,74%). Sebanyak 63,9% pasien yang
melakukan pengolahan data, dilakukan analisis memiliki gangguan tidur di rumah sakit, didomi-
data. Penelitian ini menggunakan analisis univariat nasi dengan masalah yang terkait lingkungan
dengan menyajikan distribusi frekuensi dan ruang rawat inap sebesar 30 pasien (65,22%).
ditampilkan dalam bentuk tabel.
Karakteristik Subjektif Tidur Pasien. Hasil
Hasil penelitian menunjukan bahwa klien dewasa di
rumah sakit berada pada kategori sedang untuk
Karakteristik Responden. Pada Tabel 1 didapat- semua komponen karakteristik subjektif tidur.
kan bahwa rerata usia klien dewasa yang rawat Pada Tabel 3 didapatkan bahwa gangguan tidur
inap di rumah sakit yaitu 35 tahun dengan standar yang terjadi pada pasien berada pada tingkat
deviasi sebesar 11,55. Hasil pengakuan responden sedang yaitu sebanyak 34 orang (47,22%), mes-
mengenai jam tidurnya saat masih di rumah yaitu kipun demikian terjadi pula gangguan tidur berat
didapatkan rerata sebesar 8 jam dengan standar sebanyak 18 orang (25%) atau seperempatnya
deviasi 1,69. Nilai tengah lama hari rawat klien dari jumlah sampel yang ada. Efektivitas tidur
dewasa di rumah sakit yaitu selama 3 hari dengan yang diharapkan berada pada posisi tinggi tidak
rentang lama hari rawat minimal 1 hari dan yang tercapai pada klien dewasa di rumah sakit. Pasien
paling lama yaitu 9 hari. yang hanya mendapatkan efektivitas tidur tingkat
tinggi sebanyak 22 orang (30,56%), sedangkan
Pada Tabel 2 didapatkan bahwa perbandingan yang banyak dicapai oleh pasien yaitu efektivitas
jenis kelamin responden yang mengikuti penelitian tidur tingkat sedang sebanyak 36 orang (50%).
ini yaitu hampir seimbang antara laki-laki dan Lebih banyak pasien yang mengalami suplemen-
perempuan, terdiri dari perempuan 37 orang tasi tidur tingkat sedang sebesar 28 orang (38,88%).
(51,4%) sedangkan laki-laki 35 orang (48,6%). Suplementasi tidur ini seharusnya hanya berada
Pasien rawat inap di rumah sakit cenderung lebih pada tingkat rendah, akan tetapi terjadi pula
banyak yang bekerja tanpa shift yaitu berjumlah suplementasi tidur tinggi pada 22 orang pasien
20 orang (27,8%), meskipun demikian banyak di rumah sakit (30,56%).
pula yang memiliki pekerjaan dengan metode
shift sebesar 17 orang (23,6%). Status perkawinan Pada Tabel 4 didapatkan bahwa klien dewasa di
responden didominasi dengan status menikah rumah sakit sering sekali mengalami gangguan
berjumlah 47 orang (65,3%). Pasien cenderung tidur khususnya terbangun di sela-sela tidurnya
dirawat di rumah sakit karena diagnosis medis pada malam hari. Hal ini dapat dilihat dari
yang dikelompokan pada penyakit dalam non- rerata yang cukup tinggi dicapai yaitu sebesar
infeksius, yaitu berjumlah 54 orang (75%). 72,60 dari rentang 0–100. Banyak pasien yang
sering bergerak saat tidur rerata sebesar 60,53
Mayoritas responden dalam penelitian ini menga- dari rentang 0–100. Kedalaman tidur pasien
ku memiliki kebiasaan sebelum tidur saat masih selama dirawat inap di rumah sakit terbilang hanya
di rumah yaitu berjumlah 43 orang (59,7%). berada pada tingkat sedang yaitu reratanya
Pasien juga banyak yang mengaku mengalami sebanyak 59,74 dari rentang 0–100.
gangguan tidur saat dirawat di rumah sakit dengan
jumlah 46 orang (63,9%). Daftar pemberian obat Efektivitas tidur klien dewasa di rumah sakit
yang dimiliki oleh setiap pasien yang didominasi secara umum berada pada tingkat sedang, yang
dengan pasien yang tidak sedang menggunakan sebaiknya berada pada tingkat tinggi. Durasi
obat tidur dengan jumlah 67 orang (93,1%). Ter- total tidur yang didapat oleh pasien rerata
dapat pula pasien yang sedang menggunakan sebesar 54,61 dari rentang 0-100, yang berarti
152 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

hanya 5,46 jam durasi total tidur klien dewasa Klien dewasa yang mengalami kekurangan tidur
di rumah sakit. Penafsiran ini didapat karena ada pasti akan mengganti waktu tidurnya di lain
beberapa rentang garis pada kuesioner yang dapat waktu, seperti di waktu pagi, siang, ataupun sore
direfleksikan sebagai suatu waktu, yaitu dari 0–10 hari. Hal tersebut disebut dengan suplementasi
jam. Hal tersebut ternyata tidak seimbang dengan tidur. Suplementasi tidur secara umum pada klien
pencapaian periode total tidur pasien yaitu dewasa di rumah sakit reratanya berada pada
rerata sebesar 73,43 dari rentang 0–100, artinya tingkat sedang. Meskipun demikian suplementasi
klien dewasa yang rawat inap di rumah sakit tidur yang paling banyak terjadi yaitu saat di pagi
rerata memiliki periode total tidur sebanyak 7,34 hari dengan rerata sebesar 56,67 dari rentang 0–
jam. 100, yang berarti pasien rerata menghabiskan
waktu tidur di pagi hari sebanyak 5,7 jam.

Tabel 1. Karakteristik Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit Berdasarkan Usia, Lama Hari Rawat, dan
Jam Tidur di Rumah

Mean Difference
Variabel Mean Median Standar Deviasi Min-Maks
(CI 95%)
Usia 34,99 32 11,55 18-55 32,27-37,70
Lama Hari Rawat 3,26 3 1,78 1-9 2,85-3,68
Jam Tidur di Rumah 7,68 7,75 1,69 1-13 7,28-8,08

Tabel 2. Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit Berdasarkan Jenis Kelamin, Pekerjaan, Status
Perkawinan, Diagnosis Medis, Kebiasaan Sebelum Tidur di Rumah, Masalah Tidur di RS, dan
Penggunaan Obat Tidur

Data Demografi Kategori Frekuensi Persentase (%)


Jenis Kelamin Perempuan 37 51,4
Laki-Laki 35 48,6

Pekerjaan Pelajar/mahasiswa 6 8,3


Bekerja tanpa shift 20 27,8
Bekerja dengan shift 17 23,6
Pensiun 0 0
Tidak bekerja 29 40,3

Status Perkawinan Belum menikah 20 27,8


Menikah 47 65,3
Janda/duda 5 6,9

Diagnosis Medis Penyakit dalam non-infeksius 54 75,0


Penyakit dalam infeksius 6 8,3
Penyakit bedah 12 16,7

Kebiasaan Sebelum Tidur di Tidak ada kebiasaan 29 40,3


Rumah Ada kebiasaan 43 59,7

Masalah Tidur di RS Tidak ada masalah tidur 26 36,1


Ada masalah tidur 46 63,9

Penggunaan Obat Tidur Tidak menggunakan obat tidur


67 93,1
Menggunakan obat tidur
5 6,9
Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa 153

Tabel 3. Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa di Rumah Sakit

Karakteristik Subjektif Tidur Kategori Frekuensi Persentase (%)


Gangguan Tidur Ringan 20 27,78
Sedang 34 47,22
Berat 18 25
Efektivitas Tidur Rendah 14 19,44
Sedang 36 50
Tinggi 22 30,56
Suplementasi Tidur Rendah 22 30,56
Sedang 28 38,88
Tinggi 22 30,56

Tabel 4. Nilai Rerata Semua Pernyataan Karakteristik Subjektif Tidur pada Klien Rawat Inap Dewasa di
Rumah Sakit

Standar
Sub Variabel Karakteristik Subjektif Tidur Mean Min-Maks
Deviasi
Gangguan Tidur:
a. Terbangun di sela-sela waktu tidur 72,60 26,96 0–100
b. Terjaga saat sudah mulai mengantuk 18,75 32,09 0–100
c. Pergerakan saat tidur 60,53 36,42 0–100
d. Kedalaman tidur 59,74 39,87 0–100
e. Kualitas gangguan tidur 43,68 37,15 0–100
f. Latensi tidur 38,21 38,07 0–100
g. Kualitas latensi tidur 48,67 38,02 0–100

Efektivitas Tidur:
a. Perasaan lelah saat sudah terjaga 40,94 37,86 0–100
b. Kualitas tidur yang dirasa oleh pasien 57,86 34,65 0–100
c. Evaluasi kecukupan tidur 53,94 40,94 0–100
d. Total waktu tidur 54,61 32,56 0–100
e. Periode total tidur 73,43 37,91 0–200

Suplementasi Tidur:
a. Tidur pada rentang pagi hingga sore hari 34,17 32,68 0–100
b. Tidur di pagi hari 56,67 42,29 0–100
c. Tidur di sore hari 49,35 41,68 0–100
d. Waktu terjaga setelah sadar sepenuhnya 50,19 41,56 0–100

Pembahasan pasien saat masih di rumah dengan reratanya


sebesar 7,7 jam per hari. Lama hari rawat pasien
Karakteristik responden yang dibahas pada pe- rerata sebanyak 3 hari. Rerata jenis kelamin
nelitian ini meliputi usia, jam tidur pasien saat pasien hampir sama jumlahnya antara laki-laki
masih di rumah, lama hari rawat pasien, jenis dan perempuan. Mayoritas pekerjaan pasien yaitu
kelamin, pekerjaan, status perkawinan, diagnosis bekerja tanpa shift, meskipun demikian jumlah
medis, masalah tidur di rumah sakit, kebiasaan pekerja dengan shift cukup banyak pula. Hal ini
sebelum tidur di rumah, dan penggunaan obat dapat memengaruhi pola tidur pasien. Kebanyakan
tidur. Hasil penelitian didapatkan bahwa rerata status perkawinan pasien yaitu berstatus menikah,
usia klien dewasa di RS X Depok yaitu 35 akan tetapi jumlah pasien yang masih sendiri
tahun, dengan rentang 18–55 tahun. Jam tidur serta yang berstatus janda/duda cukup banyak
154 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

pula. Menurut Humphries (2008) seseorang yang Gangguan tidur menurut pendapat para ahli
berstatus sudah menikah namun sekarang hidup dapat dikaitkan dengan penurunan fungsi imun
sendiri ataupun seseorang yang dari sejak awal seseorang, perubahan status mental, dan peningkat-
sudah hidup sendirian, mungkin akan mengalami an tingkat stres (Meerlo, et al., 2008). Efek negatif
stres yang berdampak pada pengurangan efektivitas tersebut dapat mengganggu proses penyembuhan
tidurnya. pada klien dewasa yang sedang dirawat di ruang
rawat akut rumah sakit (Patel, et al., 2008).
Mayoritas klien dewasa di RS X Depok dirawat Penelitian terhadap pasien dewasa di Amerika
inap karena diagnosis medis yang digolongkan menemukan bahwa gangguan tidur memengaruhi
pada penyakit dalam non-infeksius. Sebanyak proses penyembuhan seseorang dari penyakit
setengah lebih jumlah sampel di RS X Depok (Doering, et al., 2002; Redeker, et al., 2004).
menyatakan dirinya selalu melakukan kebiasaan Hal ini seharusnya sangat dihindari terjadi pada
sebelum tidur, yang rerata dilakukan yaitu suatu rumah sakit, karena dapat memperpanjang
menonton TV. Klien dewasa di RS X Depok masa penyembuhan pasien yang berarti memper-
banyak yang mengeluhkan adanya masalah tidur panjang proses rawat inap pasien (Patel, et al.,
saat dirawat inap di rumah sakit tersebut. Tiga 2008). Proses rawat inap yang memanjang dan
jenis masalah tidur yang dialami pasien secara berlarut-larut akan memperburuk mutu pelayanan
berturut-turut yaitu masalah tidur terkait ling- rumah sakit tersebut.
kungan, penyakit fisik, dan stres emosional.
Masalah lingkungan disini yaitu terkait dengan Komponen karakteristik subjektif tidur yang
suhu ruang rawat inap yang panas. Perawat kedua yaitu efektivitas tidur. Secara keseluruhan
pelaksana secara subjektif juga mengatakan semua komponen karakteristik efektivitas tidur
hal yang serupa seperti yang pasien rasakan berada pada tingkatan sedang. Akan tetapi, adanya
tersebut. Karakteristik responden yang terakhir gap/jarak antara total waktu tidur pasien dengan
yaitu penggunaan obat tidur. Hasil analisis uni- periode total tidur, menandakan pasien tidak
variat tentang penggunaan obat tidur didominasi langsung tidur saat sudah mengantuk. Penyebab-
dengan pasien yang tidak sedang menggunakan nya mungkin adalah faktor-faktor yang dibahas
obat tidur, akan tetapi terdapat pula beberapa pada karakteristik responden seperti faktor ling-
pasien yang sedang menggunakan obat tidur. kungan, penyakit fisik, stres emosional, dan
lain-lain. Seperti yang telah diketahui penyebab
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai karak- tertinggi masalah tidur pada klien dewasa di
teristik subjektif tidur klien dewasa di RS X RS X Depok adalah suhu ruang rawat inap yang
Depok. Komponen yang pertama yaitu gangguan panas, hal itulah yang menjadi alasan mengapa
tidur. Keseluruhan komponen gangguan tidur pasien tidak langsung tertidur meskipun sudah
pada karakteristik subjektif tidur menunjukkan mengantuk. Hal inilah yang menyebabkan kom-
bahwa klien dewasa di ruang rawat inap RS X ponen efektivitas tidur pasien hanya berada pada
Depok mengalami gangguan tidur tingkat sedang tingkatan sedang (50%), yang sebaiknya berada
(47,22%), akan tetapi terdapat (25%) pasien yang pada tingkatan tinggi. Pasien yang hanya menda-
mengalami gangguan tidur berat. Hal tersebut pat efektivitas tidur yang tinggi sebesar (30,56%)
tidak seharusnya terjadi, meskipun seseorang saja.
yang masuk dan di rawat di rumah sakit pasti
akan mengalami perubahan pola tidur (DeLaune Komponen karakteristik subjektif tidur yang
& Ladner, 2011), namun diharapkan hanya berada terakhir yaitu suplementasi tidur. Suplementasi
pada tingkatan yang rendah saja. Gangguan tidur tidur merupakan kegiatan dalam mengganti waktu
pada tingkatan sedang berarti gangguan tidur tidur malam seseorang di waktu pagi hingga sore
tersebut telah cukup dirasa mengganggu oleh hari. Seorang individu yang mengalami keku-
pasien. Hal ini akan memicu terjadinya gangguan rangan tidur tahap REM akan tertidur pada pagi
tidur akut yang selanjutnya akan mengganggu harinya, sebagai tambahan waktu tidurnya yang
proses penyembuhan pasien tersebut. kurang di malam hari. Hal tersebut karena menurut
Marfiani, et al., Karakteristik Subjektif Tidur Klien Rawat Inap Dewasa 155

Hayter (1980) tahap REM lebih banyak jumlah namun didominasi dengan status pekerjaan tidak
durasinya saat tidur di pagi hari (Humphries bekerja. Pasien saat masih di rumah rerata tidur
2008). Menurut teori dari Patel dan Gupta (2008) malam selama 8 jam, yang didahului dengan
bahwa pasien yang sering terbangun di malam kebiasaan sebelum tidur yaitu mayoritas menonton
hari membutuhkan waktu tidur di siang hari TV. Pasien masuk dan dirawat di RSUD Depok
sebagai kompensasi waktu total tidurnya yang rerata karena diagnosis medis penyakit dalam
kurang. Lebih lanjut dikemukakan bahwa tidur non-infeksius, dengan rerata lama hari rawat-nya
pada sore hari terjadi pada individu yang menga- sebesar 3 hari, mayoritas pasien tidak sedang
lami kekurangan tidur tahap NREM 3. Pasien di menggunakan obat tidur, dan pasien mengaku
RSUD Depok yang berada pada tahap perkem- mengalami gangguan tidur khususnya gangguan
bangan dewasa dan terbukti tidak terlalu dalam tidur karena lingkungan yang panas di ruang
tidurnya sudah pasti membutuhkan waktu tidur rawat inap RS X Depok.
pengganti di pagi hari.
Klien dewasa di RS X Depok mengalami gangguan
Klien dewasa di RS X Depok sudah mampu tidur dengan tingkatan sedang (47,22%), lebih
dalam tingkatan sedang untuk mensuplementasi- lanjut lagi ternyata terdapat beberapa pasien
kan waktu tidur malamnya yang kurang dengan (25%) yang mengalami gangguan tidur berat.
waktu tidur pada pagi hari. Seluruh komponen Klien dewasa di RS X Depok mengalami efek-
pada suplementasi tidur klien dewasa di RSUD tivitas tidur dengan tingkatan sedang (50%), lebih
Depok berada pada tingkatan sedang (38,88%), lanjut lagi ternyata terdapat beberapa pasien
akan tetapi terdapat (30,56%) pasien yang menga- (19,44%) yang hanya mengalami efektivitas
lami tingkat kejadian suplementasi tidur yang tidur rendah. Klien dewasa di RSUD Depok
tinggi. Hal ini seharusnya tidak terjadi, apabila mengalami suplementasi tidur dengan tingkatan
pasien telah cukup waktu tidurnya di malam sedang (38,88%), lebih lanjut lagi ternyata ter-
hari. Pola tidur pasien kenyataanya tidak adekuat dapat beberapa pasien (22%) yang mengalami
dalam hal kuantitas maupun kualitasnya, sehingga suplementasi tidur tinggi.
salah satu cara untuk menutupi kekurangan terse-
but adalah dengan mengganti waktu tidur malam Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
dengan waktu-waktu lain dari rentang pagi hingga sebagai penelitian dasar bagi penelitian kepera-
sore hari. Bila suplementasi tidur yang dibutuhkan watan selanjutnya yang berkaitan dengan tidur
oleh pasien untuk mengganti waktu tidurnya di pasien di rumah sakit, seperti mengenai faktor-
malam hari tidak didapatkan, maka pasien tersebut faktor yang memengaruhi tidur pasien rawat
akan sangat mengalami kekurangan waktu tidur, inap di rumah sakit terkait karakteristik demografi
yang akan selalu berujung pada kejadian gangguan pasien, serta angka kejadian berbagai jenis gang-
tidur. Lebih lanjut lagi, gangguan tidur tersebut guan tidur pada pasien rawat inap di rumah sakit.
akan memperlama proses penyembuhan pasien Penelitian ini juga dapat menjadi rencana edukasi
serta memperpanjang masa perawatan pasien di dan terapi dengan tujuan untuk meningkatkan
rumah sakit tersebut (Patel, et al., 2008). Proses kualitas dan kuantitas tidur pasien rawat inap,
rawat inap yang memanjang dan berlarut-larut salah satunya dengan modifikasi lingkungan,
akan memperburuk mutu pelayanan rumah sakit mengajarkan teknik relaksasi dan pijat, serta
tersebut. Hal tersebut tentunya sangatlah dihindari kolaborasi dengan pihak manajemen sarana dan
oleh pihak rumah sakit. prasarana di RS X Depok untuk menyediakan
AC di ruang rawat inap dan TV (MR, YU, AR).
Kesimpulan
Referensi
Klien dewasa di RS X Depok rerata berusia 35
tahun, dengan perbandingan jenis kelamin Benca, R.M., & Quintans, J. (1997). Sleep and host
antara laki-laki dan perempuan yaitu hampir sama defenses: A review. Sleep, 20 (11), 1027–
jumlahnya, mayoritas berstatus sudah menikah, 1037.
156 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 149-156

Crisp, J. & Tailor, C. (2001). Potter and perry’s Patel, P., & Gupta, R. (2008). Quality of sleep in
fundamentals of nursing. Sidney: Mosby. hospitalized patients. Medicine and Health
Rhode Island, 91 (11), 346–346.
DeLaune, S.C., & Ladner, P.K. (2011).
Fundamentals of nursing: Standards & Polit, D.F., & Beck, C.T. (2008). Nursing
practice. (4th Ed.). USA: Thomson Learning, research: generating and assessing evidence
Inc. for nursing practice. (8th Ed.). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Doering, L.V., McGuire, A.W., & Rourke, D.
(2002). Recovering from cardiac surgery: Redeker, N.S., Ruggiero, J.S., & Hedges, C.
What patients want you to know. American (2004). Sleep is related to physical function
Journal of Critical Care, 11 (4), 333–343. and emotional well-being after cardiac
surgery. Nursing Research, 53 (3), 154–162.
Humphries, J.D. (2008). Sleep disruption in
hospitalized adults. Medsurg Nursing, 17 Wright, C.E., Erblich, J., Valdimarsdottir, H.B., &
(6), 391–395. Bovbjerg, D.H. (2007). Poor sleep the night
before an experimental stressor predicts
Meerlo, P., Sgoifo, A., & Suchecki, D. (2008). reduced NK cell mobilization and slowed
Restricted and disrupted sleep: Effects on recovery in healthy women. Brain,
autonomic function, neuroendocrine stress Behavior, and Immunity, 21 (3), 358–363.
systems and stress responsivity. Sleep
Medicine Reviews, 12 (3), 197–210.

Patel, M., Chipman, J., Carlin, B., & Shade, D.


(2008). Sleep in the intensive care unit setting.
Critical Care Nursing Quarterly, 31, 309–318.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

KEPATUHAN DAN KOMITMEN KLIEN SKIZOFRENIA MENINGKAT


SETELAH DIBERIKAN ACCEPTANCE AND COMMITMENT THERAPY
DAN PENDIDIKAN KESEHATAN KEPATUHAN MINUM OBAT
Jek Amidos Pardede1,2*, Budi Anna Keliat3, Ice Yulia3

1. Universitas Sari Mutiara Indonesia, Medan 20123, Indonesia


2. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*
E-mail: jekpardedemi@rocketmail.com

Abstrak

Masalah keperawatan skizofrenia terbanyak adalah risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah, dengan
55% mengalami kekambuhan karena tidak patuh minum obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
Acceptance and Commitment Therapy (ACT) dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat terhadap gejala,
kemampuan menerima dan berkomitmen klien skizofrenia. Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental pre-
posttest with control group, dengan jumlah sampel 90 orang klien skizofrenia yang dibagi menjadi 3 kelompok. Hasil
penelitian ini ditemukan penurunan gejala risiko perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah serta peningkatan
kemampuan menerima dan berkomitmen pada pengobatan dan kepatuhan klien skizofrenia yang mendapatkan ACT dan
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok yang hanya
mendapatkan terapi ACT (p< 0,05). Terapi ACT dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat direkomendasikan
sebagai terapi keperawatan klien skizofrenia dengan risiko perilaku kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah.

Kata Kunci: Acceptance and Commitment Therapy (ACT), pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat, skizofrenia

Abstract

Compliance and Commitment to Clients Schizophrenia Increased After Given Acceptance and Commitment Therapy
(ACT) and Education Health Medication Adherence. Schizophrenia nursing problems most commonly found is the
risk of violent behavior, hallucinations, and low self esteem. Found 55% of client risk violent behavior, hallucinations,
and low self-esteem who have a relapse and medication adherence. This study aims to obtain the effects Acceptance and
Commitment Therapy and Health Education adherence to symptoms, ability to accept and commit to treatment and
compliance in schizophrenia clients Mental Hospital of Medan, North Sumatra. This research design quasi-
experimental pre-test post-test with control group. This sampling technique was purposive sampling, where the sample
is 90 clients with schizophrenia, 30 the intervention group were given Acceptance and Commitment Therapy and
medication adherence health education, intervention group were given 30 Acceptance and Commitment Therapy and 30
control group. Results of this study found a reduction in symptoms risk of violent behavior, hallucinations, and low self-
esteem and increased ability to accept and commit to the treatment of schizophrenia and compliance client who gets
Acceptance and Commitment Therapy and health education medication adherence was significantly greater than the
group that only get Acceptance and Commitment Therapy (p< 0,05). Acceptance and commitment therapy and
medication adherence health education recommended as a therapeutic nursing and therapy support advanced nursing
care for clients in the risk of schizophrenia with violent behavior, hallucinations, and low self esteem.

Keywords: Acceptance and Commitment Therapy (ACT), health education medication adherence, schizophrenia

Pendahuluan
nunjukkan emosi (Isaacs, 2005). Rhoads (2011)
Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik menambahkan definisi skizofrenia yaitu penyakit
yang memengaruhi berbagai area fungsi individu, kronis, parah, dan melumpuhkan, gangguan otak
termasuk berpikir, berkomunikasi, menerima, yang ditandai dengan pikiran kacau, waham,
menginterpretasikan realitas, merasakan dan me- halusinasi, dan perilaku aneh.
158 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166

Prevalensi skizofrenia diperkirakan 0,2% mening- skizofrenia tidak teratur meminum obat yaitu
kat menjadi 1,5% setara untuk pria dan wanita karena adanya gangguan realitas dan ketidak-
di semua tingkatan usia (Buchanan & Carpenter, mampuan mengambil keputusan, dan hospitalisasi
2005 dalam Barlow & Durand, 2011). National yang lama memberi konsekuensi kemunduran
Institute of Mental Health (2008, dalam Shives, pada klien (ditandai dengan hilangnya motivasi
2012), mengatakan 2–4 juta orang, atau 1,1% dari dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari
populasi di bumi menderita skizofrenia atau kegiatan dan hubungan sosial, kemampuan dasar
gangguan yang mirip dengan skizofrenia yang sering terganggu, seperti perawatan mandiri dan
merusak kesadaran diri bagi banyak individu tapi aktifitas hidup seharian) (Wardani, et al., 2009).
mereka tidak menyadari bahwa mereka sakit dan Oleh karena itu, perlu tindakan keperawatan yang
membutuhkan pengobatan. Statistik menunjukkan komprehensif untuk menangani klien skizofrenia
sekitar 40% jiwa (1,0 juta jiwa) tidak menerima ini.
perawatan psikiatri yang menyebabkan terjadinya
tuna wisma, penahanan atau kekerasan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk me-
nurunkan gejala perilaku kekerasan Pemberian
Klien skizofrenia 70% mengalami halusinasi Cognitive Behavior Therapy (CBT) pada klien
(Stuart, 2009). Halusinasi merupakan keadaan skizofrenia dengan perilaku kekerasan dapat
seseorang mengalami perubahan dalam pola dan meningkatkan kemampuan kognitif dan perilaku
jumlah stimulasi yang diprakarsai secara internal klien (Wahyuni, 2010). Hasil penelitian lain me-
atau eksternal di sekitar dengan pengurangan, nunjukkan adanya perbedaan penurunan tanda
berlebihan, distorsi, atau kelainan berespon ter- dan gejala klien perilaku kekerasan yang bermakna
hadap setiap stimulus (Townsend, 2009). Hal ini setelah diberikan CBT dan Rational Emotive
juga didukung oleh Fontaine (2009), menyatakan Behavior Therapy (REBT) (Sudiatmika, Keliat,
halusinasi dengar merupakan gejala skizofrenia & Wardani, 2011). Penelitian menggunakan
yang paling sering dijumpai mencakup 50–80% Acceptance and Commitment Therapy (ACT)
dari keseluruhan halusinasi. Halusinasi dapat sangat efektif dalam menciptakan penerimaan,
menjadi suatu alasan mengapa klien melakukan perhatian dan lebih terbuka dalam mengembang-
tindakan perilaku kekerasan karena suara-suara kan kemampuan yang dimiliki klien skizofrenia
yang memberinya perintah sehingga rentan me- (Hayes & Smith, 2005); dengan menurunkan
lakukan perilaku yang tidak adaptif. Perilaku gejala perilaku marah dan kekerasan (Twohig,
kekerasan merupakan respon maladaptif dari 2009; Sulistiowati, Keliat, & Wardani, 2012),
kemarahan, hasil dari kemarahan yang ekstrim serta memperbaiki gejala afektif, sosial halusinasi
atau panik. Perilaku kekerasan yang timbul pada yang terjadi pada klien skizofrenia (Gaudiano &
klien skizofrenia diawali dengan adanya perasaan Herbert, 2006). Hasil penelitian yang dilakukan
tidak berharga, takut, dan ditolak oleh lingkungan oleh Sasmita, Keliat, dan Budiharto (2007) di-
sehingga individu akan menyingkir dari hubungan dapatkan hasil bahwa CBT dapat meningkatkan
interpersonal dengan orang lain (Stuart, 2009). kemampuan kognitif 29,31% dan kemampuan
perilaku 22,4% pada klien skizofrenia dengan
Klien skizofrenia sering juga mengalami ke- harga diri rendah. Hidayat, Keliat, dan Wardani
kambuhan karena kekambuhan adalah keadaan (2011) menemukan penurunan gejala dan pening-
penyakit setelah berada pada periode pemulihan katan kemampuan klien harga diri rendah yang
yang disebabkan tiga faktor yaitu: aspek obat, mendapat CBT dan REBT lebih besar dari di-
aspek pasien, dan aspek keluarga (Wardani, banding yang tidak mendapatkan CBT dan REBT
Hamid, & Wiarsih, 2009). Klien menghentikan (p< 0,05). Beberapa penelitian yang dilakukan
pengobatan karena merasa pengobatan sudah tidak menunjukkan bahwa dengan menggunakan terapi
diperlukan. Kegagalan dan ketidakpatuhan dalam keperawatan mampu untuk mengatasi skizofrenia
meminum obat sesuai program adalah alasan dengan risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan
paling sering dalam kekambuhan skizofrenia harga diri rendah terutama dengan menggunakan
dan kembali masuk rumah sakit. Penyebab klien Acceptance and Commitment Therapy (ACT).
Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat 159

Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian ini perilaku amuk, klien dapat membaca dan menulis,
menunjukkan tindakan keperawatan spesialis dan klien bersedia menjadi responden dan me-
sudah terbukti mampu menangani klien skizo- ngikuti terapi serta pendidikan kesehatan yang
frenia seperti yang sudah dipaparkan tetapi diberikan.
perlu diantisipasi untuk menghindari kekambuhan
akibat ketidakpatuhan minum obat sehingga Teknik pengambilan sampel yang digunakan
terapi keperawatan perlu dikombinasikan dengan dalam penelitian ini dengan teknik purposive
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat. sampling dengan jumlah sampel 90 responden.
Pendidikan Kesehatan kepatuhan minum obat Sebanyak 30 reponden mendapatkan ACT dan
merupakan pemberian informasi kepada pasien pendidikan kesehatan minum obat (intervensi 1),
untuk memengaruhi pasien agar patuh meminum 30 responden mendapatkan ACT (intervensi 2),
obat sehingga tidak menimbulkan kekambuhan dan 30 responden kelompok kontrol.
dan tidak kembali lagi kerumah sakit untuk rawat
inap. Menurut Skiner (1938, dalam Notoatmodjo, Kelompok intervensi 1, intervensi 2, dan ke-
2007), kepatuhan minum obat pada penderita me- lompok kontrol sama-sama mendapatkan terapi
rupakan suatu perilaku terbuka. Dengan demikian generalis sesuai dengan standar yang berlaku
dapat dikatakan kepatuhan minum obat adalah di rumah sakit, dan untuk kelompok intervensi
mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan diberikan juga ACT sebanyak 4 sesi masing-
dokter pada waktu dan dosis yang tepat karena masing selama 30–45 menit. Pada sesi 1: Klien
pengobatan hanya akan efektif apabila penderita dibimbing untuk mengidentifikasi kejadian buruk
mematuhi aturan dalam penggunaan obat. Pem- dan mengungkapkan pikiran, perasaan dan pe-
berian obat yang teratur dan sesuai dengan dosis, rilaku yang muncul akibat kejadian tersebut.
klien mampu sembuh dari penyakit ditambah Sesi 2: Klien mengidentifikasi dan memilih nilai
dengan terapi keperawatan spesialis dan pendi- hidupnya berdasarkan pengalaman sehingga
dikan kesehatan yang mengubah kognitif dan dapat membantu menyelesaikan masalah yang
perilaku klien sehingga patuh minum obat. dihadapi dan merubah pola pikir yang salah men-
jadi benar. Pada sesi 3: Klien berlatih menerima
Metode kejadian berdasarkan nilai yang sudah dipilih
atau klien diajarkan mengklarifikasi nilai dan
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian kemampuan yang dimiliki. Sesi 4: Klien melaku-
ini adalah “Quasi Eksperiment Pre-Posttest with kan komitmen terhadap nilai yang dipilih untuk
Control Group” dengan memberikan ACT dan merubah perilaku untuk mencegah kekambuhan.
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat
pada kelompok intervensi 1, hanya ACT pada Kelompok intervensi 1 juga mendapatkan pen-
kelompok intervensi 2. Klien yang dijadikan didikan kesehatan kepatuhan minum obat yang
sampel adalah klien skizofrenia yang mengalami terdiri dari 2 sesi masing-masing selama 25–30
risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga menit. Sesi 1: Menjelaskan manajemen pengobatan
diri rendah di sebuah rumah sakit di Medan untuk pasien skizofrenia dengan risiko perilaku
yang memenuhi kriteria penelitian ini yakni: kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah. Sesi
klien terdiagnosa skizofrenia, klien skizofrenia 2: Penetapan tujuan dan bentuk rencana tindakan.
berusia 18–60 tahun, klien relaps/kambuh ≥1 kali,
klien masuk rumah sakit karena alasan perilaku Pengukuran gejala risiko perilaku kekerasan,
kekerasan (marah-marah, amuk, mencederai diri halusinasi dan harga diri rendah pada setiap klien
sendiri, orang lain maupun lingkungan), klien dilakukan pada awal. Penelitian menggunakan
dengan diagnosis keperawatan: risiko perilaku modifikasi versi Overt Aggression Scale (OAS),
kekerasan, halusinasi, dan harga diri rendah, serta Launay-Slade Hallucination Scale (LSHS), dan
telah mendapatkan terapi generalis keperawatan, Rosenberg Self Esteem Scale (RSES). Begitu
klien wajib screening untuk mengetahui tindakan juga untuk pengukuran kemampuan menerima
terapi generalis, klien tenang atau tidak dalam dan berkomitmen pada pengobatan menggunakan
160 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166

Acceptance and Action Questionnaire (AAQ II; Gambar 1 memperlihatkan gejala risiko perilaku
Hayes, Jason, Frank, Akihiko, & Jason 2006) kekerasan pada kelompok intervensi 1 sebelum
dan Kepatuhan pengukurannya menggunakan diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
Medication Adherence Rating Scale for the obat 39,23 (35,99%), intervensi 2 sebelum diberi-
psychoses (MARS; Thompson, Kulkarni, & kan ACT 39,17 (35,93%) dan kelompok kontrol
Sergejew, 2000). 36,67 (33,64%). Gejala risiko perilaku kekerasan
pada kelompok intervensi 1 setelah diberikan ACT
Pengukuran risiko perilaku kekerasan menggu- dan pendidikan kepatuhan minum obat 86,87
nakan OAS terdiri dari 26 item, pengukuran (79,70%), intervensi 2 setelah diberikan ACT
halusinasi menggunakan LSHS terdiri dari 12 item 79,33 (72,78%) dan kelompok kontrol 44,27
dan pengukuran harga diri rendah menggunakan (39,61%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
RSES terdiri dari 27 item yang didalamnya perbedaan yang bermakna antara kelompok in-
mengukur respon kognitif, afektif, psikomotor, tervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol
dan sosial. Pada pengukuran observasi terdiri dari setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan ri-
15 item yang mengukur respon fisik. Pengukuran siko perilaku kekerasan pada kelompok intervensi
kemampuan menerima dan berkomitmen pada 1 yang diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan
pengobatan menggunakan modifikasi dari (AAQ minum obat 47,63 (43,71%), intervensi 2 yang
II; Hayes, et al., 2006) yang terdiri dari 16 diberikan ACT 33,87 (36,85%), dan kelompok
pernyataan dan pengukuran kepatuhan minum kontrol 7,60 (5,94%).
obat menggunakan modifikasi MARS; (Thompson,
et al., 2000) yang terdiri dari 20 pernyataan. Gambar 2 memperlihatkan gejala halusinasi pada
Analisis gejala, kemampuan menerima dan kelompok intervensi 1 sebelum diberikan ACT
berkomitmen pada pengobatan dan kepatuhan dan pendidikan kepatuhan minum obat 17,40
dilakukan dengan menggunakan paired t-test, (32,83%), intervensi 2 sebelum diberikan ACT
Anova test dan correlation test. 19,97 (37,67%), dan kelompok kontrol 17,37
(32,77%). Gejala halusinasi pada kelompok inter-
Hasil vensi 1 setelah diberikan ACT dan pendidikan
kepatuhan minum obat 46,50 (87,73%), intervensi
Hasil penelitian ini menunjukkan rerata rentang 2 setelah diberikan ACT 42,47 (80,13%) dan
usia klien 35 tahun (19–58 tahun), memiliki kelompok kontrol 24,30 (43,33%). Hasil uji
frekuensi dirawat rerata 3 kali paling banyak statistik menunjukkan ada perbedaan yang ber-
12 kali dan paling sedikit 2 kali. Klien berjenis makna antara kelompok intervensi 1, intervensi
kelamin laki-laki 47 orang dan 43 orang perem- 2, dan kelompok kontrol setelah pemberian terapi
puan, berpendidikan tinggi 46 orang dan 44 (p< 0,05). Perubahan halusinasi pada kelompok
orang berpendidikan rendah, klien yang bekerja
70 orang dan tidak bekerja 20 orang, menikah 90%
40 orang dan 50 orang yang tidak menikah/cerai. 80% 79,70%
72,78%
Klien memiliki riwayat gangguan jiwa 79 orang 70%
dan 11 orang tidak memiliki riwayat gangguan 60%
jiwa. 50% 35,99%
39,61%
40% 35,93% 33,64%
Hasil uji kesetaraan menunjukkan variabel pendidik- 30%
an, pekerjaan, dan status perkawinan memengaruhi 20%
kemampuan menerima dan berkomitmen pada 10%
pengobatan dan kepatuhan klien (p> 0,05). Semen- 0%
tara untuk variabel jenis kelamin, dan riwayat Intervensi 1
Sebelum Setelah Intervensi 2
gangguan jiwa tidak memengaruhi kemampuan Kontrol
menerima dan berkomitmen pada pengobatan
dan kepatuhan klien (p< 0,05). Gambar 1. Perubahan Risiko Perilaku
Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat 161

intervensi 1 yang diberikan ACT dan pendidikan perbedaan yang bermakna antara kelompok in-
kepatuhan minum obat 29,10 (54,9%), intervensi tervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol
2 yang diberikan ACT 22,50 (42,46%), dan setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan
kelompok kontrol 2,83 (10,53%). harga diri rendah pada kelompok intervensi 1
yang diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan
Gambar 3 memperlihatkan gejala harga diri rendah minum obat 48,70 (41,63%), intervensi 2 yang
pada kelompok intervensi 1 sebelum diberikan diberikan ACT 6,58 (24,51%) dan kelompok
ACT dan pendidikan kepatuhan minum obat 45,70 kontrol 9,07 (7,74%).
(39,05%), intervensi 2 sebelum diberikan ACT
48,10 (41,02%), dan kelompok kontrol 44,37
Gambar 4 memperlihatkan kemampuan menerima
(37,92%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
dan berkomitmen pada pengobatan pada kelom-
ketidaksetaraan (p<0,05). Gejala harga diri rendah
pok intervensi 1 sebelum diberikan ACT dan
pada kelompok intervensi 1 setelah diberikan ACT
pendidikan kepatuhan minum obat 24,37 (38,08%),
dan pendidikan kepatuhan minum obat 94,40
intervensi 2 sebelum diberikan ACT 24,37 (38,08%)
(80,68%), intervensi 2 setelah diberikan ACT
dan kelompok kontrol 24,30 (37,97%). Hasil uji
76,67 (65,53%), dan kelompok kontrol 53,43
statistik menunjukkan ada kesetaraan (p> 0,05).
(45,66%). Hasil uji statistik menunjukkan ada
Kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan pada kelompok intervensi 1 setelah
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
100% obat 58,03 (90,67%), intervensi 2 setelah diberi-
87,73% kan ACT 50,47 (78,86%) dan kelompok kontrol
90%
80,13% 27,23 (42,55%). Hasil uji statistik menunjukkan
80% ada perbedaan yang bermakna antara kelompok
intervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol
70% setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan
60% kemampuan menerima dan berkomitmen pada
pengobatan pada kelompok intervensi 1 yang
50% 43,33%
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum
40% 37,67% obat 33,68 (52,71%), intervensi 2 yang diberikan
32,82% 32,77% ACT 26,10 (40,78%), dan kelompok kontrol 2,93
30% (4,58%).
20% Gambar 5 memperlihatkan kepatuhan pada ke-
Gambar 2. Perubahan Halusinasi
10% lompok intervensi 1 sebelum diberikan ACT dan
pendidikan kepatuhan minum obat 7,33 (36,65%),
0%
Sebelum Setelah Intervensi 1
90% Intervensi 2
80,68% 100%
80% Kontrol 90,67%
78,86%
70% 65,53% 80%
60%
50% 41,02% 45,66% 60% 42,55%
40% 39,05% 37,92% 38,08% 38,08%
40%
30% 37,97%
20% 20%
Gambar 4. Perubahan Kemampuan Menerima dan
10%
Gambar 3. Perubahan Harga Diri Rendah
0%
Berkomitmen pada Tritmen
In
0% Intervensi 1Sebelum In
Setelah
Sebelum Setelah Intervensi 2 Ko
Kontrol
162 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166

intervensi 2 sebelum diberikan ACT 7,30 (36,50%), hubungan dua variabel secara kualitatif dibagi
dan kelompok kontrol 7,37 (36,85%). Hasil uji dalam 4 area, meliputi: r= 0,00–0,25 dikatakan
statistik menunjukkan ada kesetaraan (p> 0,05). tidak ada hubungan/hubungan lemah, r= 0,26–
Kepatuhan pada kelompok intervensi 1 setelah 0,50 dikatakan hubungan sedang, r= 0,51–0,75
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum dikatakan hubungan kuat, dan r = 0,76–1,00
obat 18,07 (90,35%), intervensi 2 setelah diberi- dikatakan hubungan sangat kuat/sempurna. Hasil
kan ACT 13,00 (65%), dan kelompok kontrol analisis dapat dilihat pada Tabel 1.
9,70 (48,5%). Hasil uji statistik menunjukkan
ada perbedaan yang bermakna antara kelompok Berdasarkan analisis pada Tabel 1 didapatkan
intervensi 1, intervensi 2, dan kelompok kontrol ada hubungan yang kuat (r = 0,590) antara
setelah pemberian terapi (p< 0,05). Perubahan kemampuan menerima dan berkomitmen pada
kepatuhan pada kelompok intervensi 1 yang pengobatan dengan penurunan gejala risiko pe-
diberikan ACT dan pendidikan kepatuhan minum rilaku kekerasan. Ada hubungan yang sedang
obat 10,73 (53,7%), intervensi 2 yang diberikan (r= 0,489) antara kemampuan menerima dan
ACT 5,70 (28,5%), dan kelompok kontrol 2,33 berkomitmen pada pengobatan dengan penurunan
(11,65%). gejala halusinasi dan ada hubungan yang kuat
(r= 0,714) antara kemampuan menerima dan
Analisis hubungan antara kemampuan menerima berkomitmen pada pengobatan dengan penurunan
dan berkomitmen pada pengobatan dengan penu- gejala harga diri rendah. Hasil uji statistik di-
runan gejala risiko perilaku kekerasan, halusinasi, dapatkan ada hubungan yang signifikan antara
dan harga diri rendah dengan menggunakan uji kemampuan menerima dan berkomitmen pada
correlation. Menurut Colton, dimana kekuatan pengobatan dengan penurunan gejala harga diri
rendah (p< α= 0,05).
100%
90,35% Pembahasan
90%
Penelitian ini mendapatkan hasil yang meningkat
80% setelah diberikan ACT dan pendidikan kesehatan
70% 65% minum obat, yaitu terjadi peningkatan rata-rata
skor yang berarti membuktikan terjadi penurunan
60% gejala pada responden skizofrenia dengan risiko
48,50%
perilaku kekerasan. Hasil penelitian ini menun-
50%
36,50% jukkan terjadi penurunan antara sebelum dan
40% setelah diberikan terapi, gejala risiko perilaku
36,65% kekerasan pada kelompok yang diberikan ACT
30% 36,85% dan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat
20% menurun 43,71%, sedangkan kelompok yang
Gambar 5. Perubahan Kepatuhan hanya diberikan ACT gejala menurun 36,85% dan
10%
Tabel 1.
0% Hubungan Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan dengan Gejala Risiko
Intervensi
Perilaku Kekerasan, Halusinasi, dan Harga Diri Rendah 1
Klien Skizofrenia
Sebelum Setelah
Variabel Intervensi
n 2 r p
Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan Kontrol
*Gejala Risiko Perilaku Kekerasan (RPK) 60 0,590 0,000
Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan
*Gejala Halusinasi 60 0,489 0,000
Kemampuan Menerima dan Berkomitmen pada Pengobatan
*Gejala Harga Diri Rendah (HDR) 60 0,714 0,000
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

kelompok yang tidak diberikan terapi menurun berperilaku buruk atau tidak baik sehinggga
5,94%. Hasil penelitian menunjukkan ACT dan klien harus berkomitmen merubah perilakunya
pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih untuk mencegah kekambuhan.
ampuh untuk menurunkan gejala risiko perilaku
kekerasan klien skizofrenia. Penelitian ini mendapatkan hasil yang meningkat
setelah diberikan ACT dan Pendidikan kesehatan
Perilaku kekerasan merupakan masalah yang kepatuhan minum obat, dimana terjadi pening-
sering terjadi pada klien skizofrenia sehingga katan rata-rata skor berarti membuktikan terjadi
beberapa terapi keperawatan dalam beberapa penurunan gejala pada responden skizofrenia
penelitian dilakukan untuk mengatasinya. Putri, dengan halusinasi. Penurunan gejala halusinasi
Keliat, dan Nasution (2010) memberikan REBT pada responden kelompok intervensi 1 54,9%.
pada klien dengan perilaku kekerasan secara Untuk kelompok intervensi 2 yang hanya menda-
bermakna mempunyai pengaruh menurunkan patkan ACT saja 42,46% yang meliputi penurunan
gejala perilaku kekerasan 15,35%. Sudiatmika, gejala kognitif 45,58%, afektif 33,92%, psikomotor
et al. (2011) memberikan Rational Emotive 38,09%, sosial 44,17%, dan fisik 40,8%. Namun,
Cognitive Behavior Therapy (RECBT) pada klien kelompok yang tidak mendapatkan terapi juga
perilaku kekerasan yang menunjukkan adanya mengalami penurunan gejala 10,53% yang terdiri
penurunan gejala setelah diberikan RECBT dari respon kognitif 5,33%, afektif 4,75%, psiko-
30,06%. Sedangkan Sulistiowati, et al. (2012) motor 2,08%, sosial 1,16%, dan fisik 8,02%.
memberikan ACT pada klien skizofrenia dengan
risiko perilaku kekerasan mengalami penurunan Penelitian Sudiatmika, et al. (2011) dengan mem-
53,49%. Dalam hal ini terapi keperawatan sangat berikan RECBT pada klien halusinasi mampu
ampuh dalam penurunan gejala perilaku keke- menurunkan gejala 38,97% dalam hal ini klien
rasan sesuai dengan penelitian. Seperti terlihat diajarkan untuk merubah fungsi berfikir klien
di Gambar 6. ke arah yang positif yang akan membuat klien
berperilaku konstruktif. Akan tetapi, Sulistiowati,
Penurunan gejala perilaku kekerasan klien skizo- et al. (2012) dalam penelitiannya menerangkan
frenia berbeda-beda dari masing-masing terapi pemberian ACT pada klien skizofrenia dengan
yang diberikan oleh peneliti, dan dapat dilihat halusinasi mampu menurunkan gejala yang signi-
pengaruh ACT yang dilakukan oleh Sulistiowati, fikan yaitu 40,78%, yang meliputi gejala kognitif
et al. (2012) lebih besar penurunannya, begitu 53,67%, afektif 60,78%, psikomotor 54,785, sosial
juga dengan yang dilakukan peneliti sendiri 48,44%, dan fisik 27,40%.
lebih besar penurunannya dari terapi yang lain
karena peneliti sendiri menggunakan ACT. Hal Terapi keperawatan yang diberikan terbukti
ini dikarenakan ACT membantu klien menerima mampu menurunkan gejala halusinasi seperti
keadaannya dan kejadian yang membuat dirinya yang sudah dilakukan dari beberapa penelitian,
seperti terlihat pada Gambar 7. Hayes dan Smith
(2005) menegaskan ACT mengajarkan klien
53.49% 43.71% 36.85% untuk tidak menghindari tujuan hidupnya atau
30.06%
mampu menerima hidupnya dan berkomitmen
terhadap15.35%
dirinya sehingga mampu mengatasi
masalahnya. Hal ini di dukung oleh Stuart (2009)
yang mengatakan klien harus dapat bertahan
dengan apa yang sudah dipilihnya ketika sudah
berkomitmen sehingga dengan mampu menerima
ACT ACT + ACT RECBT REBT klien diharapkan tidak akan
dan berkomitmen
(2012)
Gambar PENKES
6. Pengaruh REBT, RECBT, (2013)
ACT dan(2011)
mengalami(2010)
kekambuhan lagi. Harapannya terapi
ACT + Penkes terhadap Penurunan keperawatan seperti ACT perlu diberikan pada
(2013)
Gejala Risiko Perilaku Kekerasan beberapa klien sehingga mampu menurunkan
164 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166

gejala penyakit, karena dapat dilihat ACT di-


tambah dengan pendidikan kesehatan kepatuhan
45%
minum obat mampu menurunkan gejala dengan 40%
baik. Penelitian ini mendapatkan hasil yang me- 35%
ningkat setelah diberikan ACT dan Pendidikan 30%
kesehatan kepatuhan minum obat, dimana terjadi 25%
peningkatan rata-rata skor berarti membuktikan 20%
terjadi penurunan gejala pada responden skizo- 15%
frenia dengan harga diri rendah. 10%
5%
Penurunan gejala harga diri rendah pada res- 0%
ponden kelompok intervensi 1 41,63% terdiri
dari penurunan gejala kognitif 40,97%, afektif
ACT + RECBT CBT
39,15%, psikomotor 38,93%, sosial 45,47%, dan PENKES
Gambar 8. Pengaruh (2011)ACT, dan
CBT, RECBT, (2007) (
fisik 52,8%. Untuk kelompok intervensi 2 yang ACT(2013)
+ Penkes terhadap Penurunan
hanya mendapatkan ACT saja 24,51%, yang Gejala Harga Diri Rendah ACT + P
meliputi penurunan gejala kognitif 22,5%, afektif
24,4%, psikomotor 22,86%, sosial 25,75%, dan
RECBT
fisik 32,6%. Namun, kelompok yang tidak menda- ruhi kognitif, afektif, psikomotor, sosial, dan fisik. CBT
patkan terapi juga mengalami penurunan gejala Hasil penelitian beberapa peneliti terbukti bahwa ACT
7,74% yang terdiri dari respon kognitif 9,32%, terapi keperawatan mampu untuk menurunkan
afektif 1,42%, psikomotor 5,72%, sosial 11,43%, gejala harga diri rendah, dapat dilihat pada Gambar
dan fisik 24,8%. 8.

Penelitian lain juga mampu menurunkan gejala Hal ini dapat dilihat dari pemaparan hasil pe-
harga diri rendah 37,83% dengan menggunakan nelitian di atas, ACT dan pendidikan kesehatan
CBT dan REBT atau RECBT yang dilakukan kepatuhan minum obat lebih besar pengaruhnya
oleh Hidayat, et al. (2011). Hasil yang sama juga dalam menurunkan gejala harga diri rendah diban-
ditemukan oleh Sasmita, et al. (2007), CBT dingkan dengan terapi lain. Sedangkan yang hanya
juga mampu memengaruhi respon kognitif dan menggunakan ACT tidak begitu berpengaruh
perilaku klien skizofrenia dengan harga diri rendah dalam menurunkan gejala harga diri rendah pada
dengan penurunan gejala 25,85%. Berdasarkan penelitian ini sehingga dapat dikatakan dengan
kedua penelitian ini, RECBT lebih mampu untuk kombinasi ACT dan pendidikan kesehatan lebih
menurunkan gejala harga diri rendah, karena baik dilakukan daripada hanya ACT saja.
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan
CBT hanya memengaruhi kognitif dan perilaku Kesimpulan
sedangkan penelitian dengan RECBT memenga-
Hasil penelitian membuktikan ACT yang diberi-
kan pada klien skizofrenia dapat meningkatkan
54.90% 42.46% 40.78% 38.97%
kemampuan
34.50%menerima dan berkomitmen pada
pengobatan. Hasil juga menunjukkan pendidikan
kesehatan kepatuhan minum obat dapat me-
ningkatkan kepatuhan klien untuk minum obat.
Keduanya mampu menurunkan gejala risiko
perilaku kekerasan, halusinasi, dan harga diri
ACT + ACT ACT RECBT rendah klien
CBTskizofrenia sehingga dapat diap-
Gambar 7. Pengaruh CBT, RECBT, ACT, dan likasikan sebagai terapi spesialis jiwa di rumah
PENKES ACT + (2013) (2012)
Penkes terhadap Penurunan(2011) (2010)
sakit maupun di komunitas.
Gejala Halusinasi
(2013)
Pardede, et al., Kepatuhan dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat 165

Hasil penelitian ini dapat dijadikan evidence based Notoatmodjo, S. (2007). Pengantar pendidikan
dalam membandingkan pengaruh beberapa terapi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta: EGC.
yang dapat diberikan pada klien skizofrenia mau-
pun klien dengan diagnosa lain. Penelitian ini Putri, D.E., Keliat, B.A., & Nasution, Y. (2010)
perlu dikembangkan dengan menggabungkan Pengaruh Rational Emotive Behaviour
Therapy (REBT) terhadap klien perilaku
ACT dengan FPE (Family Psychoeducation)
kekerasan di RSMM Bogor. Jurnal
karena klien perlu sistem pendukung dari keluarga Keperawatan Indonesia, Volume 15, No 3,
sebagai pemberi materiil maupun moril sehingga November, 2012. Diperoleh dari
klien mau menerima dan berkomitmen pada http://jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/view
pengobatan. Selain FPE, ACT juga dapat di- /27/27
kombinasikan dengan Logo terapi, Progressive
Muscle Relaxation (PMR), dan lainnya. Pendidikan Rhoads, J. (2011). Clinical consult for psychiatric
kesehatan kepatuhan minum obat juga perlu di- mental health care. New York: Springer
kombinasikan dengan BT, CBT, REBT, RECBT, Publishing Company.
dan terapi lainnya sehingga klien yang dirawat
mau patuh minum obat, yang artinya salah satu Sasmita, H., Keliat, B.A., & Budiharto. (2007).
Efektifitas Cognitive Behavioral Therapy
terapi yang disarankan perlu dikombinasikan
(CBT) pada klien harga diri rendah di
dengan pendidikan kesehatan kepatuhan minum RSMM Bogor (Tesis, tidak dipublikasikan).
obat (BA, TN, PN). FIK UI, Jakarta.

Referensi Shives, L.R. (2012). Basic concepts of psychiatric


mental health nursing (8th Ed.). Philadel-
Barlow, D.H., & Durand, V.M. (2011). Abnormal phia: Lippincott William & Wilkins.
psychology: An integrative approach (5th
Ed.). USA: Wadsworth Cengage Learning. Stuart, G.W. (2009). Principles & practice of
psychiatric nursing (9th Ed.) Philadelphia:
Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (6th Elsevier Mosby.
Ed.). New Jersey: Upper saddle River
Pearson Prentice Hall. Sudiatmika, I.K., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y.
(2011). Efektivitas CBT dan REBT
Gaudiano, B.A., & Herbert, J.D. (2006). Acute treat- terhadap klien dengan PK dan halusinasi
ment of in patients with psychotic symptoms di RSMM Bogor (Tesis, tidak
using ACT: Pilot result. Journal of Behavior dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Research and Therapy, 44, 415–437.
Sulistiowati, N.M.D., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y
Hayes, S.C., & Smith, S. (2005). Get out of your (2012). Pengaruh acceptance and
mind & into your life: The new acceptance commitment therapy terhadap gejala dan
and commitment therapy. Oakland: New kemampuan klien dengan perilaku kekerasan
Harbinger. dan halusinasi di RSMM Bogor (Tesis,
tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Hayes, S., Jason, B.L., Frank, W.B., Akihiko, M., &
Jason, L. (2006). ACT: Model, processes, Thompson, K.J., Kulkarni, A.A., & Sergejew.
and outcomes. Journal of Behaviour (2000). Reliability and validity of a new
Research and Therapy. 44, 1–25. Medication Adherence Rating Scale
(MARS) for psychoses. Schizophrenia
Hidayat, E., Keliat, B.A., & Wardani, I.Y. (2011). Research, 42, 241–247.
Pengaruh CBT dan REBT terhadap klien
dengan PK dan HDR di RSMM Bogor (Tesis, Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health
tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta. nursing: Concepts of care in evidence-
based practice. Philadelphia: F.A Davis
Isaacs, A. (2005). Keperawatan kesehatan jiwa & Company.
psikiatri (3th Ed.). Jakarta: EGC.
166 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 157-166

Twohig, M. (2009). The aplication of acceptance Wardani, I.Y., Hamid, A.Y., & Wiarsih,W. (2009).
and commitment therapy to OCD. Journal Pengalaman keluarga menghadapi ketidak-
of Cognitive and Behavioral, 16, 18–28. patuhan anggota keluarga dengan
skizoprenia dalam mengikuti regimen
Wahyuni, S.E. (2010). Pengaruh cognitive behaviour terapeutik: Pengobatan (Tesis, tidak
therapy terhadap halusinasi pasien di dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Rumah Sakit Jiwa Pempropsu Medan (Tesis,
tidak dipublikasikan). FIK UI, Jakarta.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 171-180
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT PASIEN


PASCAPASUNG

Wahyu Reknoningsih1*, Novy Helena Catharina Daulima2, Yossie Susanti Eka Putri2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*
E-mail: wahyu_rekno@yahoo.com

Abstrak

Pasien pasung yang telah pulang dari rumah sakit jiwa (RSJ) oleh keluarga akan berpotensi untuk dipasung kembali.
Tujuan penelitian menguraikan pengalaman keluarga dalam merawat pasien pascapasung. Desain penelitian kualitatif
dengan pendekatan fenomenologi. Teknik pengambilan purposive sampling dengan wawancara mendalam. Kriteria
inklusi caregiver yang mempunyai anggota keluarga pernah dipasung sebelum dan sesudah dirawat di RSJ dan mampu
berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga pasien pascapasung mengalami beban emosional dan
kelelahan fisik. Rekomendasi penelitian adalah berupa pengembangan pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat dan
pemberian pendidikan kesehatan dengan cara penanganan pasien gangguan jiwa dengan perilaku agresif.

Kata kunci: caregiver, pasung, perilaku agresif

Abstract

Phenomenology Study on the Family’s Experience in Caring for Client Post Restraint (Seclusion) in Central Java.
The seclusion or restraint’s client will send home to their family was experienced re restraint or re seclusion. The aim
of this study is to elaborate the family’s experience in caring for the client post restraint or seclusion through the
qualitative study with the phenomenology approach. The sampling technique is purposive sampling with in-depth
interview. The inclusion criteria are the caregiver who has a family member with the experience of being restraint or
seclusion before hospitalized, had been restraint, being restraint or being re-restraint, and being able to communicate
well. The results show that the family have emotional burden and physical exhausted. This study has suggested that
psychiatric nursing may develop a mental nurse psychiatric nursing services in the community by providing health
education on how to manage the aggressive behavior of the client with mental disorder.

Keywords: the experience, caregiver, restraint (seclusion)

Pendahuluan oleh masyarakat. Bahkan sebagian dari mereka


ada yang dipasung dengan kondisi yang sangat
Kementerian Kesehatan (2010) menjelaskan memprihatinkan, seperti dipasung dengan kayu,
seseorang dengan gangguan jiwa atau disebut dirantai, dikandangkan, atau diasingkan di tengah
dengan orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) hutan yang jauh dari masyarakat.
umumnya mengalami stigma, diskriminasi dan
marginalisasi. Diskriminasi dan marginalisasi pada Maramis (2006) menjelaskan pasung sebagai
ODMK berupa individu dipandang “sebelah mata” tindakan memasang sebuah balok kayu pada
atau mengalami ketidakadilan dalam memperoleh tangan dan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai
akses kehidupan, seperti pendidikan dan kesehat- lalu diasingkan pada suatu tempat tersendiri di
an. Stigma adalah pandangan negatif masyarakat dalam rumah ataupun di hutan. Istilah lain pasung
yang melihat ODMK sebagai aib karena kutukan adalah pengikatan (restrain). Menurut Councel
atau kemasukan roh, mengganggu, membahayakan and Care UK (2002) (dalam Royal Collage of
orang lain, dan membebani masyarakat. Dampak Nursing, 2008), restrain merupakan tindakan
ODMK, biasanya, keluarga seringkali dikucilkan membatasi atau mengekang seseorang dengan
172 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180

sengaja untuk bergerak sesuka hatinya atau berpe- (30-59 tahun). Partisipan memiliki anggota
rilaku. Menurut Dinas Kesehatan Bireuen (2008), keluarga yang menjalani dua kali perawatan di
jumlah pasien pasung di wilayah Bireuen dalam RSJ. Karakteristik partisipan secara lengkap
periode 2005 sampai dengan 2008 berjumlah 49 dapat dilihat pada Tabel 1.
orang. Di sisi lain, Nevi (2012) mengungkapkan
data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah Pengalaman keluarga merawat pasien pasca-
mencatat 200 orang gangguan jiwa telah menga- pasung, didapatkan lima tema sebagai berikut.
lami pasung.
Kelelahan fisik dan pergolakan emosi sebagai
Berdasarkan data rekam medik rumah sakit jiwa dampak merawat. Dampak merawat pasien
(RSJ) Amino Gondohutomo, Semarang pada pascapasung disikapi oleh partisipan dengan
Desember 2012, diketahui jumlah pasien pasung munculnya kelelahan fisik dan pergolakan emosi
yang telah dirawat sejak tahun 2011 sampai yang dirasakan keluarga. Dampak merawat pasien
dengan Desember 2012 sebanyak 343 orang pascapasung berupa kelelahan fisik, yaitu meng-
yang pulang ke rumah. Pasien pascapasung yang habiskan tenaga atau energi, pusing, dan tekanan
telah dirawat di RSJ dan dikembalikan pada darah rendah, seperti yang diungkapkan partisipan
keluarga adalah pasien dalam masa pengobatan berikut.
dan penyembuhan karena mereka masih terus
minum obat dan melakukan kontrol kesehatan, ”Ya capai terus, Bu...” (P2).
baik di rumah sakit maupun Pusat Kesehatan “Capai melayani terus..,sampai pikirannya
Masyarakat (Puskesmas), yang masih menunjuk- pusing, kadang tensi saya rendah …” (P1).
kan perilaku agresif seperti mudah marah dan
mengamuk sehingga berdampak pada keluarga Dampak merawat pasien pascapasung pada ke-
melakukan pemasungan kembali. luarga juga terjadi pergolakan emosi keluarga.
Sebagian besar partisipan mengeluhkan adanya
rasa marah dan jengkel, seperti dalam wawan-
Metode caranya berikut.
Desain penelitian menggunakan penelitian kuali- “Ya marah, jengkel, terus terang saja ya
tatif dengan pendekatan fenomenologi. Partisipan bu...”(P1).
penelitian ini adalah keluarga atau caregiver
pasien pascapasung yang pernah atau sedang Tidak jarang terjadi emosi marah dan jengkel
mengalami pemasungan ulang. Jumlah partisipan diungkapkan secara langsung pada pasien dengan
berjumlah tujuh orang hingga saturasi data. menyuruh pasien pergi dari rumah daripada mem-
Tempat penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten buat marah keluarga, seperti dalam penuturannya:
Pekalongan pada Mei 2013. Wawancara mendalam
dilakukan selama 30–35 menit. Analisis data “Ya bosan, jengkel sampai muncul ucapan
penelitian menggunakan langkah-langkah, yaitu pergi saja.”(P1).
membuat transkripsi verbatim, membaca trankripsi
secara berulang-ulang, mengumpulkan pernyataan Emosi marah juga disampaikan oleh partisipan
yang signifikan, menentukan kata kunci dari lain dengan memikirkannya di dalam hati seperti
setiap pernyataan yang penting, mengelompokkan dalam ungkapannya berikut.
ke dalam kategori, menyusun, dan mengelom-
pokkan menjadi tema yang sesuai dengan tujuan “Sampai saya berpikir, ya, Tuhan kalau mau
penelitian. meninggal, ya, jangan kelamaan…” (P4).

Beberapa partisipan mengungkapkan rasa malu


Hasil dengan adanya pasien pascapasung sebagai bagian
dari keluarga. Mereka malu mempunyai anggota
Partisipan terdiri atas satu orang laki-laki dan keluarga dengan gangguan mental, seperti dalam
enam orang perempuan dengan usia dewasa ungkapannya berikut.
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 173

Tabel 1. Karakteristik Partisipan

Partisipan
Jenis Penggolongan
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7
a. Jenis Kelamin Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Perempuan
b.Usia (tahun) 36 58 50 58 56 30 58
c.Hubungan dg Pasien Adik Ibu Ibu Ibu Bapak Adik Ibu
Kandung Kandung Kandung Kandung kandung Kandung
d.Agama Islam Islam Islam Islam Islam Islam Islam
e.Status Perkawinan Menikah Janda Menikah Menikah Menikah Menikah Menikah
f.Pendidikan SD Tidak Tidak SD Tidak SD Tidak
Sekolah Sekolah Sekolah Sekolah
g.Pekerjaan IRT IRT IRT Buruh Buruh Jahit IRT Jualan Sayur
h.Berapa kali pasien 2 kali 2 kali 2 kali 2 kali 3 kali 2 kali 1 kali
dirawat di RSJ
i.Bentuk pemasungan Dirantai Dikurung di Diikat Dirantai di Dikunci di Dirantai dgn Dikunci di
ulang terhadap pasien dan kamar dengan tali dalam kamar rantai dalam
dikunci di & dikunci di rumah panjang di kamar
kamar kamar dlm rumah

“Ya malu karena mengganggu orang “Ya, tidak ada yang mengawasi, tenaganya
lain...”(P5). tidak ada, pada kerja semua.”(P2).

Kesulitan keluarga dalam manajemen beban. Bentuk kesulitan keluarga dalam manajemen
Pada tema kedua ini, peneliti menemukan bahwa beban juga terlihat dari adanya risiko berat yang
keluarga pasien pascapasung mengalami kesulitan harus ditanggung oleh pasien apabila pasien dibiar-
manajemen beban dalam merawat keluarga yang kan keluar rumah tanpa pengawasan. Kehamilan
mengalami keterbatasan tenaga untuk menemani maupun pelecehan seksual dapat terjadi pada
atau mengawasi pasien. Kesulitan inilah yang pasien wanita pascapasung, seperti disampaikan
menjadikan keluarga memilih untuk kembali mela- partisipan dalam wawancaranya berikut.
kukan pemasungan terhadap pasien pascapasung.
“..Soalnya bahaya kalau hilang, takut diapa-
Keterbatasan keluarga dalam membagi bebannya apain orang (dihamili)”(P2).
dinyatakan oleh partisipan dengan menjelaskan
bahwa keluarga mengalami kesibukan karena Perilaku agresif sebagai alasan pemasungan
keluarga juga harus mengurus suami dan anaknya ulang. Pada tema ketiga ini, peneliti menemukan
di samping mengurus pasien, seperti dalam wa- alasan keluarga melakukan pemasungan ulang
wancaranya berikut ini. pada pasien adalah karena perilaku agresif pasien
yang mengganggu keluarga dan lingkungan.
“….Bagaimana lagi ya bu, saya sudah
sibuk jadi ya dirantai lagi.”(P1). Perilaku agresif pasien yang mengganggu ling-
kungan dinyatakan oleh sebagian besar partisipan
Keterbatasan juga dijelaskan lebih lanjut oleh dengan menjelaskan bahwa pasien mengganggu
partisipan karena tidak adanya anggota keluarga tetangga di sekitarnya dengan berteriak-teriak,
lain yang membantu merawat pasien, seperti makan jajanan di warung tidak membayar, memu-
wawancara di bawah ini. kul, mengejar orang yang lewat di sekitar pasien,
174 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180

mengamuk, dan merusak kaca, seperti dalam “Kalau isteri adik mengajak bicara bila
wawancaranya berikut. lagi nyambung…”(P2).

“...Kalau tidur tembok dicongkeli, kalau di Selain dukungan keluarga dalam bentuk peme-
warung banyak hutang, sama siapa saja nuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial
memukul, mengejar-kejar.”(P4). pasien, bantuan materiil berupa uang dan beras
juga diperoleh caregiver dari keluarga besar,
Selain perilaku agresif pasien yang mengganggu seperti dalam wawancaranya berikut.
lingkungan, ditemukan pula perilaku agresif pasien
yang mengganggu keluarga dengan selalu marah “Ya kadang memberi beras, uang tapi tidak
dan mengamuk bila keinginannya tidak dipenuhi rutin.”(P4).
keluarga, seperti dalam wawancaranya berikut.
Bentuk dukungan keluarga yang tidak kalah
“Ya, di rumah marahan, suka mengamuk…” penting juga diperoleh partisipan berupa doa
(P3). supaya pasien cepat sembuh dan keluarga diberi
kekuatan, seperti dalam wawancaranya berikut
Selain mengamuk dan merusak, pasien juga me- ini.
nunjukkan sikap kasar terhadap keluarga dengan
berbicara kurang sopan dan melemparkan makanan “ ..Nggih mereka juga mendoakan”(P7).
ke arah muka, seperti dalam ungkapannya sebagai
berikut. Selain bentuk dukungan internal, peneliti juga
menemukan bentuk dukungan eksternal pada
“…kalau memberi makan saya lewat jendela keluarga berupa dukungan dana dari pemerintah
tapi nanti dilemparkan ke saya.”(P4). dan dukungan lingkungan. Bentuk dukungan dana
pemerintah yang dimaksud dalam penelitian ini
Bentuk Dukungan Internal dan Eksternal adalah fasilitas pelayanan kesehatan gratis untuk
pada Keluarga dalam Merawat. Dukungan mengecek kondisi pasien dan pengobatan lanjutan
dalam me-rawat pasien pascapasung sangat gratis di puskesmas yang dekat dengan tempat
penting bagi keluarga. Berbagai bentuk dukungan tinggal pasien, seperti dalam wawancaranya
yang peneliti temukan pada penelitian ini berasal berikut.
dari dukungan internal dan dukungan eksternal.
Dukungan internal didapatkan dari dalam “…Alhamdulillah dibantu, biaya dirawat dari
keluarga besar pasien sendiri, sedangkan pemerintah, obat ya dari puskesmas.”(P7).
dukungan eksternal diperoleh dari luar keluarga,
yaitu dari pemerintah dan lingkungan. Sebagian besar partisipan menyatakan bahwa
tetangga sekitar sering menanyakan kondisi pasien,
Bentuk dukungan keluarga besar terhadap partisi- seperti dalam wawancarannya berikut.
pan dalam merawat pasien pascapasung dilakukan
dengan membantu memenuhi kebutuhan dasar “…Ya, mereka sering menanyakan kondisi
pasien, seperti dalam wawancara berikut. Mawar.”(P1).

“Ya memberi makan, membersihkan kotoran, Selain itu, dukungan lingkungan lainnya dinyata-
memakaikan baju, memandikan gitu, Bu.”(P6). kan oleh partisipan dengan mengingatkan pasien
untuk memakai baju bila tetangga mendapati
Selain memenuhi kebutuhan dasar pasien, bentuk pasien sedang tidak memakai baju di luar rumah,
dukungan internal juga diberikan dengan me- seperti dalam wawancaranya berikut.
menuhi kebutuhan sosial pasien, yaitu dengan
mengajak pasien bicara untuk mengajak berdoa “…kadang mereka mengingatkan bila tidak
atau berzikir, seperti dalam ungkapannya berikut. pakai baju untuk pulang ke rumah…”(P1).
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 175

Bentuk dukungan lingkungan lain yang tidak sebagai cobaan/ujian dari Tuhan diungkapkan
kalah penting adalah kepedulian aparat desa oleh dua partisipan serta lebih mendekatkan diri
yang berusaha mencarikan bantuan dana bagi kepada Tuhan diungkapkan oleh dua partisipan,
keluarga, meskipun sampai saat ini keluarga belum seperti dalam wawancaranya berikut.
menerima bantuan dari desa, seperti dinyatakan
partisipan berikut ini. “...ya gimana lagi sudah takdir, namanya
sakit ya harus diusahakan”(P5).
“…tidak ada yang menghina, perangkat
desa mengusahakan bantuan”(P7). Hubungan positif keluarga dengan lingkungan
diungkapkan oleh satu partisipan dengan bisa ikut
Peningkatan Pemahaman Spiritualitas sebagai pengajian serta perkumpulan ibu-ibu di wilayahnya,
Hikmah Merawat. Pengalaman keluarga seperti dalam ungkapannya :berikut.
dalam merawat pasien pascapasung merupakan
pembe-lajaran nyata yang telah dialami keluarga. “Nggih, jadi sering ikut pengajian sama
Hikmah merawat pasien pascapasung bagi kumpulan ibi-ibu, saya tidak apa-apa” (P7).
keluarga terlihat dari meningkatnya pemahaman
spiritualitas ke-luarga. Pemahaman spiritualitas Pembahasan
bersifat unik bagi setiap orang bergantung dari
budaya, per-kembangan, pengalaman hidup, Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh
kepercayaan, dan ide-ide tentang keluarga yang menjadi caregiver/partisipan pasien
kehidupannya. Spiritualitas dijelaskan dalam pascapasung berada pada rentang usia dewasa
dimensi keterhubungan sebagai keterhubungan penuh yaitu 30–59 tahun, sedangkan enam dari
dengan diri sendiri (intrapersonal), keterhubungan tujuh orang partisipan berjenis kelamin perempuan,
dengan orang lain (interpersonal), dan yaitu empat orang merupakan ibu kandung pasien
keterhubungan dengan Tuhan (transpersonal). dan dua orang adalah adik kandung pasien.

Meningkatkan pemahaman spiritualitas keluarga Lebih dominannya perempuan dibanding laki-


berupa penerimaan diri ditunjukkan oleh dua laki sebagai caregiver dalam penelitian ini,
partisipan dengan menjadi lebih sabar dan satu sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
partisipan menjadi tidak mudah marah, seperti oleh Jankovic, et al. (2011); Hou, Ke, Sue, Lung
dalam wawancaranya berikut ini. dan Huang (2008); Hanzawa, Tanaka, Inadomi
dan Urata (2008) yang menyatakan bahwa
“Ya, tidak apa-apa, lebih sabar, tidak cepat sebagian besar caregiver pasien schizophrenia
marah”(P2). di London, Taiwan, dan Jepang adalah orang tua
perempuan atau ibu pasien sendiri.
Selain lebih sabar dan tidak mudah marah, satu
partisipan merasakan banyak berkah yang diterima Penelitian ini juga menemukan bahwa usia care-
dalam merawat pasien pascapasung, seperti dalam giver bagi pasien pascapasung berada pada rentang
wawancaranya berikut. usia dewasa (30–59 tahun). Penelitian yang
dilakukan Hou, Ke, Sue, Lung dan Huang (2008)
“Hikmahnya, ya berkah, masih bisa berdoa, menjelaskan bahwa rata-rata usia keluarga yang
ikut pengajian, mengurus keluarga”(P7). menjadi caregiver bagi pasien schizophrenia
di Taiwan adalah 55 tahun, sedangkan Yusuf
Meningkatnya pemahaman spiritualitas keluarga dan Nuhu (2011) menjelaskan bahwa rata-rata
juga digambarkan dalam bentuk kedekatan keluar- usia caregiver pasien schizophrenia adalah 45
ga kepada Tuhan dengan menganggap merawat tahun dan rata-rata mempunyai stres emosional
pasien pascapasung sebagai takdir yang diung- yang tinggi.
kapkan oleh tiga partisipan, bersikap pasrah
diungkapkan oleh satu partisipan, dan menganggap
176 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180

Tema 1: Kelelahan Fisik dan Pergolakan Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
Emosi Keluarga sebagai Dampak Merawat. dilakukan oleh Hou, et al., (2008) yang menya-
Kelelahan fisik yang dialami keluarga berupa takan bahwa caregiver yang merawat pasien
keletihan berdampak pada munculnya keluhan schizophrenia di Taiwan mengalami ansietas,
pusing, tekanan darah menurun, lemas, demam, rasa malu dan berdosa serta terganggu selama
dan berat badan menurun. Selain itu, pergolakan merawat pasien.
emosi tergambar dari keberagaman emosi keluarga
saat merawat pasien pascapasung meliputi rasa Peneliti juga menemukan emosi berbeda yang
marah, bosan, jengkel, dan malu. dirasakan oleh satu orang partisipan dan bertolak
belakang dengan emosi yang dirasakan sebagian
Kelelahan fisik yang dialami keluarga dan emosi besar partisipan. Emosi berbeda itu adalah ke-
yang dirasakan keluarga merupakan dampak luarga tidak merasakan marah dan tidak malu
negatif yang dialami keluarga karena merawat terhadap pasien pascapasung, melainkan merasa
anggota keluarganya yang sakit atau lebih dikenal kasihan terhadap pasien. Kondisi ini terjadi karena
dengan beban keluarga. Hal ini didukung oleh keluarga dalam hal ini ibu kandung pasien sangat
penelitian yang dilakukan oleh Grad dan Sainsbury menyayangi pasien dan mempunyai koping diri
(1966 dalam Rafiyah & Sutharangsee, 2011) yang sangat baik. Di samping itu, caregiver
yang menyatakan beban adalah dampak negatif dalam hal ini ibu kandung pasien hanya memiliki
yang dirasakan keluarga karena merawat anggota tanggung jawab merawat pasien karena anak-
keluarganya yang sedang sakit. Chadda, Singh, anak yang lain sudah mempunyai keluarga sendiri.
dan Ganguly (2007) menjelaskan bahwa caregiver
atau keluarga yang bertanggung jawab merawat Tema 2: Kesulitan Keluarga dalam Mana-
anggota keluarganya yang mengalami schizo- jemen Beban. Tema kedua hasil penelitian ini
phrenia dan bipolar disorder akan mengalami menggambarkan adanya kesulitan keluarga dalam
beban hidup karena tanggungjawab yang kompleks mengatur beban selama merawat. Kesulitan ke-
dari caregiver pada pembiayaan, perawatan luarga dalam manajemen beban ini terlihat dari
kesehatan pasien dan kebebasan serta aktivitas keterbatasan keluarga dalam merawat serta
caregiver itu sendiri. Awad dan Voruganti (2008) risiko pada pasien bila tidak ada yang mengawasi
menjelaskan bahwa beban dalam merawat meru- mereka. Keterbatasan keluarga dalam merawat
pakan dampak dan konsekuensi yang diterima dialami keluarga karena keluarga merasa sibuk,
oleh caregiver yang meliputi aspek emosional, tidak ada anggota keluarga lain yang membantu
aspek fisik, psikologi dan dampak ekonomi. merawat pasien serta keluarga tidak dapat bekerja
Hoenig dan Hamilton (1966 dalam Rafiyah dan apabila terus mengawasi pasien. Kesulitan keluar-
Sutharangsee, 2011) dan Montgomery, Gonyea, ga juga berisiko terjadinya pelecehan seksual
dan Hooyman (1985) mendefinisikan beban dalam (dihamili) atau pasien hilang bila tidak ada yang
kategori obyektif dan subyektif dimana beban mengawasi.
obyektif merupakan kejadian atau aktivitas
yang berhubungan dengan pengalaman negatif Munculnya kesulitan manajemen beban keluarga
caregiver, sedangkan beban subyektif adalah saat merawat dapat dilihat dari beberapa faktor yang
perasaan yang dialami caregiver selama merawat. memengaruhi beban. Rafiyah dan Sutharangsee
Hasil penelitian kelelahan fisik keluarga yang (2011) menjelaskan adanya tiga faktor yang me-
diikuti dengan keluhan pusing, lemas, tekanan mengaruhi beban keluarga, yaitu faktor yang
darah menurun, dan badan kurus merupakan berasal dari keluarga atau caregiver sendiri,
dampak atau beban objektif, sedangkan pergolakan faktor dari pasien dan faktor lingkungan. Salah
emosi merupakan dampak atau beban subjektif satu faktor dari keluarga yang mampu menjelaskan
caregiver. kesulitan manajemen beban adalah “Time Spent
per Day” atau kebutuhan waktu perawatan pasien
Pergolakan emosi yang ditemukan pada penelitian setiap harinya. Semakin tinggi atau banyaknya
ini adalah rasa marah, jengkel, bosan, dan malu. waktu untuk merawat pasien, semakin besar pula
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 177

beban keluarga. Hasil penelitian ini juga didukung rapa perilaku yang mengganggu lingkungan dan
oleh Yi, Pin, dan Hsiu (2009 dalam Rafiyah dan keluarga sendiri. Perilaku pasien yang mengganggu
Sutharangsee, 2011) yang menjelaskan adanya lingkungan antara lain berteriak-teriak, memukul,
hubungan yang bermakna antara kebutuhan merusak, mengejar-ngejar, dan berhutang di
waktu perawatan pasien setiap harinya dengan warung sekitar rumah. Selain itu, perilaku pasien
beban keluarga. Li, Lambert, dan Lambert (2007) yang menggangu keluarga adalah mengamuk,
juga menjelaskan terdapat hubungan yang bermak- merusak perabotan, dan bersikap kasar terhadap
na antara jumlah waktu yang diperlukan caregiver keluarga.
untuk merawat dengan beban obyektif caregiver.
Perilaku pasien yang masih mengganggu keluarga
Pasien pascapasung yang kembali ke rumah dan lingkungan membuat keluarga memutuskan
setelah perawatan di RSJ masih menunjukkan kembali untuk melakukan pembatasan gerak
perilaku yang mengganggu lingkungan atau ke- berupa pemasungan, antara lain diikat, dirantai,
luarga dan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya ditali, dikurung di dalam kamar, atau di rumah
masih banyak dibantu oleh keluarga. Hal ini sendirian. Semua partisipan dalam penelitian
didukung oleh penelitian Fujino dan Okamura ini menyatakan bahwa pemasungan ulang terjadi
(2009) yang menjelaskan bahwa ketidakmampuan karena perilaku agresif dari pasien. Kondisi ini
pasien memenuhi kebutuhan dasarnya secara sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan
mandiri berpengaruh terhadap beban caregiver oleh Puteh, Marthoenis, dan Minas (2011) tentang
dimana caregiver mengalami keterbatasan waktu, karakteristik pasien pasung di Aceh yang men-
tenaga dan perhatian. Penelitian lain dilakukan jelaskan bahwa alasan terbanyak dilakukannya
oleh Hou, et al., (2008) menjelaskan bahwa gejala pemasungan adalah perilaku agresif dari pasien
klinis pasien yang mempengaruhi perilaku pasien di samping alasan keamanan dan alasan khusus
mengakibatkan beban pada caregiver. Pasien lainnya. Stewart, Bowers, Simpson, Ryan, dan
pascapasung yang dirawat partisipan dalam Tziggili (2009) juga menyatakan bahwa terjadinya
penelitian ini menunjukkan gejala klinis yang restraint atau pengekangan fisik lebih banyak
hampir sama dengan pasien schizophrenia. disebabkan karena perilaku agresif atau perilaku
yang membahayakan dibandingkan alasan mana-
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kesulitan jemen di ruang perawatan. Namun, hasil yang
keluarga dalam manajemen beban disebabkan berbeda didapatkan dari temuan Departemen
oleh keterbatasan berupa tidak adanya anggota Kesehatan (Depkes) (2005) yang menerangkan
keluarga lain yang ikut membantu merawat. alasan terjadinya pemasungan di Indonesia di-
Partisipan dalam penelitian ini adalah satu- sebabkan oleh kurangnya pemahaman keluarga
satunya caregiver bagi pasien pascapasung. akan kesehatan jiwa, rasa malu keluarga, beban
Penelitian yang dilakukan oleh Hou, et al., (2008) penyakit yang tidak kunjung sembuh serta tidak
menjelaskan bahwa dalam merawat pasien schizo- adanya biaya pengobatan. Perbedaan alasan
phrenia dibutuhkan 2 atau 3 anggota keluarga pemasungan ini dapat terjadi mengingat alasan
lain yang membantu merawat selain caregiver yang disampaikan oleh Depkes berkaitan dengan
itu sendiri. Hal inilah yang turut menjelaskan alasan pemasungan yang dilakukan keluarga
bahwa untuk merawat pasien dengan gangguan pertama kalinya, sedangkan alasan perilaku agresif
jiwa tidak cukup hanya seorang caregiver, namun pasien yang menjadi hasil temuan penelitian
juga anggota keluarga lain yang membantu tugas ini merupakan alasan terjadinya pemasungan
caregiver secara bergantian. ulang oleh keluarga.

Tema 3: Perilaku Agresif Pasien sebagai Tema 4: Bentuk Dukungan Internal dan
Alasan Pemasungan Ulang. Hasil penelitian Eksternal pada Keluarga dalam Merawat.
didapatkan bahwa pasien pascapasung setelah Dukungan Internal adalah dukungan yang berasal
pulang dari perawatan di RSJ masih mengalami dari dalam keluarga, sedangkan dukungan eks-
kekambuhan di rumah dengan menunjukkan bebe- ternal adalah dukungan yang berasal dari luar
178 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180

keluarga. Hasil penelitian diketahui bahwa tinggi untuk memberikan dukungan keuangan
keluarga yang merawat pasien pascapasung atau pada keluarga. Akan tetapi, bentuk dukungan
caregiver mendapatkan berbagai macam bentuk emosional juga diperoleh caregiver dari keluarga
dukungan yang berasal dari internal atau keluarga besar maupun lingkungan sekitar. Bentuk du-
besar pasien dan dukungan eksternal atau yang kungan informasi juga diperoleh keluarga pada
berasal dari luar keluarga. Bentuk dukungan saat memeriksakan pasien ke puskesmas.
internal keluarga besar yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah dengan membantu memenuhi Tema 5: Peningkatan Pemahaman Spiritualitas
kebutuhan dasar pasien, mengajak pasien berbicara, sebagai Hikmah Merawat. Hasil penelitian ini
mencari pasien bila hilang atau keluyuran, ikut menjelaskan bahwa keluarga sebagai caregiver
mendoakan, menjaga perasaan pasien, dan memberi pasien pascapasung mendapatkan hikmah merawat
bantuan beras atau uang kepada caregiver. dengan meningkatnya pemahaman spiritual ke-
luarga. Peningkatan pemahaman spiritual tersebut
Bentuk dukungan eksternal yang ditemukan terlihat dari penerimaan diri keluarga, kedekatan
dalam penelitian ini adalah dukungan dana dan keluarga kepada Tuhan, serta hubungan keluarga
dukungan lingkungan. Dukungan dana yang dengan lingkungan. Partisipan menunjukkan pene-
dimaksud dalam penelitian ini adalah bantuan rimaan diri dengan menjadi lebih sabar, tidak
pemerintah berupa fasilitas pelayanan kesehatan mudah marah, dan mendapatkan banyak berkah.
gratis untuk kontrol ulang dan pengobatan lanjutan Kedekatan keluarga terhadap Tuhan ditunjukkan
melalui puskesmas terdekat. Bentuk dukungan dengan menerima kehidupan yang dijalani sebagai
eksternal lain dalam merawat pasien pascapasung takdir Tuhan, pasrah, dan menganggapnya sebagai
adalah dukungan dari lingkungan antara lain cobaan atau ujian dari Tuhan.
mengingatkan pasien untuk memakai baju apabila
tidak memakai baju di luar rumah, menanyakan Menjadi lebih sabar, tidak mudah marah, dan
kondisi pasien, memberi saran untuk mencari mendapatkan banyak berkah merupakan bentuk
alternatif pengobatan lainnya, dan kepedulian penerimaan diri keluarga terhadap kondisi ke-
aparat desa turut mengusahakan bantuan dana hidupan yang dijalani, yaitu merawat pasien
dari desa meskipun sampai saat ini belum ter- pascapasung. Di sisi lain, dengan menganggap
wujud. merawat pasien pascapasung merupakan takdir,
cobaan dari Tuhan dan bersikap pasrah merupakan
Dukungan internal maupun eksternal pada wujud kedekatan keluarga terhadap Ilahi. Keluarga
keluarga dalam merawat pasien pascapasung mampu mencari arti kehidupan dengan merawat
sejalan dengan teori Friedman (2010) yang pasien pascapasung. Mauk dan Schmidt (2004
menjelaskan bahwa dukungan sosial keluarga dalam Potter dan Perry, 2010) menjelaskan spiri-
adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang tualitas sebagai konsep komplek yang unik untuk
masa kehidupan dan dapat berasal dari internal setiap orang yang tergantung dari pengalaman
seperti dukungan dari suami/istri atau saudara hidup, kepercayaan, budaya dan ide-ide tentang
kandung dan dukungan eksternal seperti budaya, kehidupan yang akan membuat seseorang dapat
agama, sosial ekonomi dan lingkungan. Friedman mencintai, memiliki kepercayaan dan harapan,
(2010) juga menjelaskan bahwa dukungan keluar- mencari arti dalam hidup dan memelihara hu-
ga terdiri dari dukungan emosional, penghargaan, bungan dengan orang lain. Pemahaman spiritual
materi serta informasi. Konsep tersebut menjelas- keluarga tidak hanya ditunjukkan dari sisi religi
kan bahwa dukungan materi diperoleh caregiver atau hubungan vertikal keluarga dengan Tuhan,
dari keluarga besar pasien berupa bantuan tenaga, tetapi juga ditunjukkan adanya hubungan ho-
uang dan beras, serta bantuan pemerintah berupa rizontal antara keluarga dan lingkungannya
fasilitas pelayanan kesehatan gratis bagi pasien melalui keikutsertaan keluarga dalam kegiatan
pascapasung sangat berarti bagi keluarga. Peneli- di masyarakat.
tian Lai dan Thomson (2011) juga menyatakan
bahwa penentu kebijakan pemerintah berpotensi
Reknoningsih, et al., Pengalaman Keluarga dalam Merawat Pasien Pascapasung 179

Kedekatan keluarga terhadap Tuhan menunjukkan


peningkatan spiritual keluarga dari dimensi Referensi
hubungan secara vertikal atau hubungan dengan
Tuhan (transpersonal), sedangkan penerimaan Awad, A.G., & Voruganti, L.N. (2008). The
diri keluarga merupakan bentuk keterhubungan burden of schizophrenia on caregivers.
keluarga dengan diri sendiri (intrapersonal), dan Pharmacoeconomics, 26 (2), 149–162.
hubungan positif keluarga dengan lingkungan
merupakan keterhubungan keluarga dengan ling- Creswell, J.W. (2010). Research design: pendekatan
kungan (interpersonal). Hal ini sejalan dengan kualitatif, kuantitatif dan mixed (Terj.
Achmad Fawaid). Yogyakarta. Pustaka
konsep teori Miner dan Williams (2006 dalam
Pelajar.
Potter dan Perry, 2010) yang menjelaskan bahwa
dimensi keterhubungan dalam spiritualitas terdiri Depkes RI. (2005). Masalah-masalah psikososial
dari keterhubungan dengan diri sendiri (intra- di Indonesia. Diperoleh dari http://www.
personal), keterhubungan dengan orang lain depkes.go.id.
(interpersonal) dan keterhubungan dengan Tuhan
(transpersonal). Hasil penelitian yang sejalan Dinas Kesehatan Bireuen. (2008). Laporan kesehatan
dengan temuan penelitian ini adalah penelitian tahun 2008. Tidak dipublikasikan. Nangro
kualitatif tentang pengalaman keluarga merawat Aceh Darussalam: Dinas Kesehatan
pasien halusinasi oleh Ngadiran, Hamid, dan Kabupaten Bireuen.
Daulima (2010) yang menjelaskan bahwa keluarga
Friedman, M.M. (2010). Keperawatan keluarga:
pasien halusinasi mampu merawat dengan baik,
Teori dan praktik (2rd Ed.). (Terjemahan).
tulus, ikhlas, menganggapnya sebagai cobaan dari Jakarta. EGC.
Tuhan, pasrah menerimanya dan menjadi lebih
sabar. Fujino, N., & Okumura, H. (2009). Factors
affecting the sense of burden felth by
Kesimpulan family members caring for patients with
mental illness. Archieves of Psychiatric
Keluarga atau caregiver pasien pascapasung Nursing, 23, 128–137.
mengalami kesulitan melakukan menajemen
beban yang kemudian menimbulkan dampak Hanzawa, S., Tanaka, G., Inadomi, H., Urata, M.,
berupa kelelahan fisik dan pergolakan emosi. & Ohta, Y. (2008). Burden and coping
strategies in mother of patients with
Pasien pascapasung yang kembali dirawat oleh
schizophrenia in Japan. Psychiatric and
keluarga menunjukkan penurunan kondisi berupa Clinical Neurosciences, 62, 256–263.
munculnya perilaku agresif yang kemudian men-
jadi alasan dilakukannya pemasungan ulang oleh Hou, S.Y., Ke, C.L., Su, Y.C., Lung, F.W., &
keluarga. Berbagai bentuk dukungan internal dan Huang, C.J. (2008). Exploring the burden
eksternal diperlukan keluarga dalam merawat of the primary family caregivers of
pasien pascapasung. Selain itu, diketahui pula schizophrenia patients in Taiwan. Psychiatry
bahwa hikmah merawat bagi keluarga atau care- Clinical Neurosciences, 62, 508–514.
giver adalah peningkatan pemahaman spiritual.
Saran penelitian adalah diadakannya pengembang- Jankovic, J., Yeeles, K., Katsakou, C., Amos, T.,
an pelayanan keperawatan jiwa di masyarakat dan Morriss, R., Rose, D., Nichol, P., McCabe,
R., & Priebe, S. (2011). Family caregivers’
pemberian pendidikan kesehatan dengan cara
experiences of involuntary psychiatric
penanganan pasien gangguan jiwa (DN, INR, hospital admissions of their relatives– a
MK). qualitative study. PLoS One 6 (10), e25425.
doi: 10.1371/journal.pone.0025425.

Li, J., Lambert, C.E., & Lambert, V.A (2007).


Predictors of family caregiver’s burden
180 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 171-180

and quality of life when providing care for Potter, P.A., & Perry, A.G. (2010). Fundamental of
a family member with schizophrenia in the nursing (7th Ed.). (Adrina Ferderika &
people’s republic of China. Nursing and Marina Albar, Penerjemah). Singapore:
Health Sciences, 9 (3), 192–198. doi: Elsevier.
10.1111/j.1442-2018.2007.00327.x
Puteh, I., Marthoenis, M., & Minas, H. (2011).
Lai, C., & Thomson, D. (2011). The impact of Aceh free pasung: Releasing the mentally
perceived adequacy of social support on ill from psysical restrain. International
caregiving burden of family caregivers. Journal of Mental Health Systems, 5 (10),
Families in Society: The Journal of 1–5. doi: 10.1186/1752-4458-5-10.
Contemporary Social Services, 92 (1), 99-
106. doi: http://dx.doi.org/10.1606/1044- Rafiyah, I., & Sutharangsee, W. (2011). Review:
3894.4063 Burden on family caregivers caring for
patients with schizophrenia and its related
Maramis, W.F. (2006). Catatan ilmu kedokteran factor. Nurse Media Journal of Nursing, 1
jiwa. Surabaya: Airlangga. (1), 29–41.

Montgomery, R.J.V., Gonyea, J.G., & Hooyman, Royal Collage of Nursing. (2008). Let’s talk about
N.R. (1985). Caregiving and the experience restraint. Diperoleh dari https://www2.rcn.
of subjective and objective burden. Family org.uk/__data/assets/pdf_file/0007/157723
Relation, 34, 19–26. doi: 10.2307/583753 /003208.pdf.

Ngadiran, A., Hamid, A.Y.S., & Daulima, N.H.C. Stewart, D., Bowers, L., Simpson, A., Ryan, C., &
(2010). Studi fenomenologi pengalaman Tziggili, M. (2009). Manual restrain of
keluarga tentang beban dan sumber adult psychiatric inpatients. J Psychiatr
dukungan keluarga dalam merawat anggota Ment Health Nurs, 16 (8), 749–757. doi:
keluarga dengan halusinasi di wilayah 10.1111/j.1365-2850.2009.01475.x.
Cimahi dan Bandung (Tesis, tidak dipub-
likasikan). Fakultas Ilmu Keperawatan Yusuf, A.J., & Nuhu, F.T. (2011). Factors
Universitas Indonesia, Jakarta. associated with emotional distress among
caregivers of patients with schizophrenia
Nevi. (2012). Jawa Tengah bebas pasung tahun in Katsina Nigeria. Soc psychiat epidemiol,
2012. December 20, 2012. Diperoleh dari 46, 11–16. doi: 10.1007/s00127-009-0166-6.
http://www.dinkesjatengprov.go.id/.../jaten
g_bebas_odm.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 188-191
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PERCEPATAN MASA PENGGUNAAN SONDE MELALUI


STIMULASI NON NUTRITIVE SUCKING DALAM PEMBERIAN MINUM
BAYI PREMATUR
Nurhayati1,2*, Dessie Wanda3, Elfi Syahreni3

1. Rumah Sakit Anak Bunda Harapan Kita, Jakarta Barat 11420, Indonesia
2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Kampus, Depok, 16424, Indonesia
*
E-mail: nur.eko36@yahoo.com

Abstrak

Kemampuan mengisap mengisapbayi prematur dapat ditingkatkan dengan pemberian stimulasi non nutritive sucking
(NNS) dengan menggunakan empeng. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh stimulasi NNS
menggunakan empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam pemberian minum bayi prematur. Desain penelitian
menggunakan kuasi eksperimen dengan post test only with control group design dengan sampel dua puluh responden
untuk dua kelompok yang dipilih secara purposive sampling di salah satu rumah sakit daerah Tangerang. Pengumpulan
data menggunakan kuesioner dan instrumen lembar observasi indikator pelepasan sonde dan dianalisis dengan uji t
tidak berpasangan. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan empeng
terhadap lama penggunaan sonde dalam pemberian minum bayi prematur (p= 0,379), tetapi masa penggunaan sonde
lebih pendek. Peneliti merekomendasikan agar stimulasi NNS dengan menggunakan empeng tetap dijadikan prosedur
alternatif untuk meningkatkan refleks mengisapmengisap pada bayi prematur.

Kata kunci: empeng, prematur, refleks mengisap, stimulasi non nutritive sucking, sonde

Abstract

Acceleration of Gastric Tube Usage through Non Nutritive Sucking Simulation for Premature Infant Feeding. An
adequate sucking can be improved a premature infant’s sucking reflex with non nutritive sucking stimulation (NNS)
with pacifier. The purpose of this research was to identify the influence of NNS stimulation with pacifier towards the
duration of gastric tube usage during premature infant feeding. The design of this research was quasi experimental with
post test only control group design with 20 respondents for two groups, then were chosen by purposive sampling in one
of Tangerang District Hospital. The data were collected using a questionnaire and an observation form. Data were
analized using independent t test. The result of this research showed that there was no influence of NNS with pacifier
towards the duration of gastric tube usage (p=0,379), however the duration of gastric tube usage was shortened. This
research recommends that non nutritive sucking stimulation with pacifier is an alternative procedures to improve a
premature infant’s sucking reflex.

Keywords: non nutritive sucking stimulation, preterm babies, pacifier, sucking reflex, gastric tube

Pendahuluan antar refleks mengisap, menelan dan bernapas,


sehingga dapat terjadi penundaan pemberian air
Prematuritas merupakan salah satu penyebab susu ibu (ASI). Pemberian ASI yang terlambat
kematian neonatus tertinggi (Blencowe, et al., 2012). dapat mengakibatkan berat badan bayi sulit naik
Kondisi prematur sering berdampak pada kesehatan dan dehidrasi pada minggu pertama kehidupannya.
anak di kemudian hari yaitu berupa gangguan per-
tumbuhan dan perkembangan (Judarwanto, 2012). Bayi prematur belum mempunyai kemampuan
Penelitian yang dilakukan oleh Gewolb dan Vice minum yang adekuat. Ketidakmampuan minum
(2006) melaporkan bahwa masa gestasi yang pada bayi prematur disebabkan oleh kemampuan
kurang dapat menyebabkan gangguan koordinasi otot mengisapmengisap masih lemah, kapasitas
Nurhayati, et al., Percepatan Masa Penggunaan Sonde Melalaui Stimulasi 189

oral belum stabil, dan penyebab yang berhubungan diambil dengan sekali pengukuran dan sampel
dengan gangguan neurologi. Keefektifan koordinasi ditentukan secara non probability sampling dengan
antara refleks mengisap, menelan, dan bernapas teknik purposif. Jumlah responden adalah dua
pada bayi prematur dipengaruhi oleh kematangan puluh bayi yang didapatkan dari penghitungan
struktur otak dan saraf kranial (Da Costa, van den besar sampel berdasarkan rumus uji hipotesis
Engel-Hoek, & Bos, 2008; Glass & Wolf, 1994). beda dua mean kelompok independen. Kriteria
inklusi penelitian ini adalah usia gestasi bayi
Kemampuan mengisap dan menelan bayi prematur antara tiga puluh satu sampai dengan tiga puluh
dapat ditingkatkan dengan melakukan stimulasi oral tujuh minggu, mendapat persetujuan dari orang
motor dini dan non nutritive sucking (NNS) (Lau, tua, bayi sudah tidak mendapat terapi infus total,
Alagugurusamy, Shulman, Smith, & Schanler, 2000). masih minum memakai sonde, suhu tubuh antara
NNS merupakan aktivitas mengisap bayi tanpa 36,5 sampai dengan 37,5 °C, serta bayi tidak dalam
adanya cairan atau nutrisi dan merupakan terapi kondisi gangguan napas dan kondisi sakit berat,
non farmakologis dengan menggunakan empeng seperti perdarahan otak, kelainan jantung, kelainan
yang bertujuan untuk merangsang kemampuan me- bedah serta kelainan kongenital. Penentuan kelom-
ngisap tanpa pemberian ASI atau formula (Kenner pok intervensi dan kelompok kontrol dilakukan
& McGrath, 2004; Merenstein & Gardner, 2002). secara acak sederhana.

Beberapa penelitian terkait stimulasi oral dan Alat pengumpul data yang digunakan dalam pene-
NNS telah dilakukan, antara lain penelitian yang litian ini adalah kuesioner dan lembar observasi
dilakukan Cevasco dan Grant (2005). Hasil indikator pelepasan sonde. Kuesioner digunakan
penelitian yang dilakukan Cevasco dan Grant untuk mendapatkan data karakteristik bayi prema-
menunjukkan bahwa intervensi NNS dan men- tur dan lembar observasi indikator pelepasan sonde
dengarkan musik lima belas menit sebanyak (berupa pencatatan hasil pengukuran berat badan
tiga kali pada enam puluh dua bayi usia gestasi bayi dan kemampuan minum bayi per oral). Ins-
32–36 minggu meningkatkan berat badan bayi trumen penelitian ini adalah lembar observasi
prematur. Penelitilain, Lessen (2011) melaporkan indikator pelepasan sonde, validitas isi instrumen
bahwa stimulasi oral (premature infant oral motor telah dikonsulkan kepada pakar di bidang ke-
intervention) telah membuktikan kemampuan perawatan neonatus. Uji reliabilitas instrumen
minum bayi lima hari lebih cepat dan dapat menggunakan uji Cronbach alpha dengan nilai
pulang dua sampai dengan tiga hari lebih cepat. alpha sebesar 0,74.
Stimulasi oral dilakukan lima menit sehari, selama
tujuh hari pada sembilan belas bayi prematur Uji interrater reliability menggunakan uji Cohen’s
dengan usia gestasi 26–29 minggu. Kappa menghasilkan nilai Kappa sebesar satu.
Peneliti melakukan stimulasi NNS menggunakan
Penggunaan empeng (NNS) yang telah banyak empeng lima menit sebelum bayi minum, seba-
dilakukan pada pelayanan keperawatan adalah nyak tiga kali sehari dan selama tujuh hari. Jumlah
untuk memberikan rasa nyaman pada bayi. Peng- ASI atau formula yang dapat diminum bayi
gunaan empeng sebagai cara meningkatkan refleks melalui oral dan hasil penimbangan berat badan
mengisap bayi masih jarang ditemukan. Penelitian dicatat pada lembar observasi. Intervensi stimulasi
ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana NNS telah dilakukan dengan memperhatikan
pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan prinsip-prinsip etik, yaitu respect for human
empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam dignity, beneficence, dan justice.
pemberian minum bayi prematur.
Analisis data dilakukan menggunakan program
Metode komputer dan uji yang dilakukan adalah uji t
tidak berpasangan untuk mengetahui pengaruh
Rancangan penelitian ini menggunakan eksperi- stimulasi NNS dengan menggunakan empeng
men semu menggunakan kelompok kontrol. Data terhadap lama penggunaan sonde. Tempat pene-
190 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 188-191

litian dilakukan di ruang perinatologi di salah tidak mendapat stimulasi. Stimulasi NNS dapat di-
satu rumah sakit daerah Kabupaten Tangerang. lakukan untuk meminimalkan terjadinya gangguan
refleks mengisap pada bayi prematur sehingga
Hasil pelepasan sonde dapat dipercepat.

Gambaran karakteristik responden pada penelitian Hubungan usia gestasi terhadap lama penggunaan
ini sebagian besar memiliki berat badan antara sonde pada penelitian ini menunjukkan hubungan
2.000 sampai dengan 2.500 gram (40%), rerata yang bermakna. Hasil penelitian sejalan dengan
usia gestasi tiga puluh tiga minggu dengan nilai penelitian yang dilakukan Raju, Higgins, Stark,
APGAR 4,9, dan jenis kelamin seimbang antara dan Levano (2006), yang menjelaskan bahwa usia
lelaki dan perempuan. gestasi memengaruhi kematangan organ. Da Costa,
Hoek, dan Bos (2008) juga menjelaskan bahwa
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak kematangan struktur otak dan saraf kranial meme-
ada pengaruh stimulasi NNS dengan menggu- ngaruhi keefektifan koordinasi refleks mengisap,
nakan empeng terhadap lama penggunaan sonde menelan dan bernapas pada bayi prematur. Refleks
dalam pemberian minum bayi prematur (p= 0,379). mengisap dipengaruhi oleh kematangan fungsi
Penelitian ini menunjukkan bahwa masa peng- otak, semakin muda usia gestasi, fungsi organ
gunaan sonde pada kelompok intervensi lebih tubuh semakin kurang, sehingga refleks mengisap
cepat dari pada kelompok kontrol (Tabel 1). juga belum adekuat.

Pembahasan Hubungan berat badan terhadap lama penggunaan


sonde pada penelitian ini bermakna. Hasil pe-
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada nelitian ini sejalan dengan Cevasco dan Grant
pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan (2005) yang melaporkan bahwa stimulasi NNS
empeng terhadap lama penggunaan sonde. Hal dengan mendengarkan musik dapat meningkatkan
ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan berat badan. Kenaikan berat badan merupakan
Cevasco dan Grant (2005), yang melaporkan bahwa salah satu indikator peningkatan status pertumbuh-
stimulasi NNS dan mendengarkan musik dapat an bayi. Peningkatan pertumbuhan ini membantu
meningkatkan berat badan. Lessen (2011) juga proses pematangan organ tubuh, termasuk kemam-
melaporkan bahwa stimulasi oral yang dilakukan puan refleks mengisap bayi.
telah dapat meningkatkan minum per oral lima
hari lebih cepat dan bayi dapat pulang 2,6 hari Selain itu, tidak ditemukan adanya hubungan
lebih cepat. Peneliti mengasumsikan bahwa keti- antara jenis kelamin terhadap lama penggunaan
daksesuaian hasil ini disebabkan oleh perbedaan sonde. Studi literatur yang mengatakan perbedaan
besarnya sampel yang sangat bervariasi, adanya refleks mengisap antara jenis kelamin laki dan
kombinasi stimulasi yang dilakukan, dan durasi perempuan belum ada.
serta frekuensi stimulasi yang berbeda.
Kesimpulan
Meskipun hasil penelitian menunjukkan tidak ada
pengaruh yang bermakna, namun secara kuantitas Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
terdapat perbedaan lama penggunaan sonde antara pengaruh stimulasi NNS dengan menggunakan
kelompok yang diberi stimulasi NNS dan yang empeng terhadap lama penggunaan sonde dalam
pemberian minum bayi prematur. Namun, lama
Tabel 1. Perbedaan Lama Penggunaan Sonde dalam penggunaan sonde pada Kelompok Intervensi
Pemberian Minum Bayi Prematur (n= 10) lebih pendek daripada Kelompok Kontrol. Ber-
Variabel Rerata p
dasarkan hal tersebut, perawat dapat dimotivasi
untuk lebih berperan dalam meningkatkan refleks
Lama penggunaan sonde
mengisap dengan cara melakukan sosialisasi dan
a. Kelompok Intervensi 4,7 0,379
edukasi pentingnya stimulasi NNS pada bayi
b. Kelompok Kontrol 6
prematur (NN, INR, AM).
Nurhayati, et al., Percepatan Masa Penggunaan Sonde Melalaui Stimulasi 191

Referensi Kenner, C., McGrath, J. M. (2004). Developmental


care of newborn and infants: A guide for
Blencowe, H., Cousens, S., Oestergaard, M., Chou, health professionals. New York: Elsevier.
D., Moller, A.B., Narwal, R., & Lawn, J.E.
(2012). National, regional, and worldwide Lau, C., Alagugurusamy, R., Schanler, R. J.,
estimates of preterm birth. The Lancet, 9, Smith, E. O., & Shulman, R. J. (2000).
2162–2172. Diperoleh dari http://www. Characterization of the developmental
WHO.Int.com. stages of sucking in preterm infant during
bottle feeding. Acta Paediatric, 89, 846–
Cevasco, A.M., & Grant, R.E. (2005). Effect of 852.
pacifier activated lullaby on weight gain of
premature infants. Journal of Music Lessen, B. S. (2011). Effect of the premature infant
Therapy, 42 (2), 123. oral motor intervention on feeding
progression and length of stay in preterm
Da Costa, S. P., van den Engel-Hoek, L., & Bos, infants. Advances in Neonatal Care, 11
A. F. (2008). Sucking and swallowing in (2), 129–139.
infants and diagnostic tools. Journal of
Perinatology, 28, 247–257. Merenstein, G.B., & Gardner, S.L. (2002).
Handbook of neonatal intensive care (5th
Gewolb, I., & Vice, F. (2006). Maturational Ed.). St. Louis, Missouri: Mosby.
changes in rhythms, patterning and
coordination of respiration and swallow Raju, T.N.K., Higgins, R.D., Stark, A.R., &
during feeding in preterm and infants. Dev Leveno, K.J. (2006). Optimizing care and
Med Child Neurol, 48, 568–594. outcome for late preterm (near term)
infants: A summary of the workshop
Glass, R.P., & Wolf, L.S. (1994). A global sponsored by the National Institute of
perspective on feeding assessment in the Child Health and Human Development.
neonatal intensive care unit. The American Pediatrics, 118, 1207–1214.
Journal of Occupational Therapy, 48 (6),
514–526.

Judarwanto, W. (2012). Bayi prematur beresiko


alergi dan hipersensitifitas saluran cerna.
Jakarta: Grow Up Clinic Information
Education Network.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 192-198
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PERILAKU CARING PERAWAT BERDASARKAN FAKTOR INDIVIDU


DAN ORGANISASI

Eva Supriatin*

Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas BSI Bandung, Bandung 40282, Indonesia


*
E-mail: eva_asata@yahoo.com

Abstrak

Perilaku caring perawat dapat meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan faktor individu dan organisasi dengan perilaku caring
perawat. Desain penelitian ini adalah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini
adalah seluruh perawat pelaksana di empat ruang rawat inap suatu rumah sakit. Sampel penelitian berjumlah empat
puluh tiga perawat secara total sampling. Hasil penelitian ini adalah ada hubungan usia (p= 0,027; α= 0,05), masa kerja
(p= 0,001; α= 0,05), kepemimpinan (p= 0,005; α= 0,05), struktur organisasi (p= 0,001; α= 0,05), imbalan (p= 0,037; α=
0,05), dan desain kerja (p= 0,006; α= 0,05) dengan perilaku caring perawat. Saran dari penelitian ini adalah perlunya
pembinaan yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pengorganisasian pada perawat untuk meningkatkan perilaku
caring perawat.

Kata kunci: perilaku caring perawat, faktor individu, faktor organisasi

Abstract

Nurse Caring Behavior based on Individual and Organization Factors. Nurse caring behavior will increase the
positive impacts on physical, psychological, spiritual, and social. The purpose of the study was to idetify how the
relationship of individual factors and organizational factors with the nurse caring behavior. The research design was a
descriptive correlation using cross sectional. The study population was all nurses practtisioners in 4 (four) wards.
Samples of this study were 43 nurses in total sampling. Results of this study was no related of age (p= 0,027; α= 0,05),
year (p= 0,001; α= 0,05), leadership (p= 0,005; α= 0,05), organizational structure (p= 0,001; α= 0,05), reward (p=
0,037; α= 0,05), and design work (p= 0,006; α= 0,05) with the nurse caring behavior. Suggestions from these findings
is related to the development of leadership and organization.

Keywords: individual factor, organisation factor, nurse caring behaviour

Pendahuluan cinta, percaya, melindungi, kehadiran, mendukung,


memberi sentuhan, menunjukkan siap membantu,
Caring sebagai inti keperawatan merupakan fokus/ dan mengunjungi klien. Perilaku caring perawat
sentral dari praktik keperawatan yang dilandaskan akan membantu menolong klien dalam me-
pada nilai-nilai kebaikan, perhatian, kasih terhadap ningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik,
diri sendiri dan orang lain, serta menghormati psikologis, spiritual, dan sosial.
keyakinan spiritual klien. Caring dikatakan sebagai
jantung dalam praktik keperawatan. Perilaku caring perawat pelaksana dalam asuhan
keperawatan merupakan kinerja perawat yang
Leinenger (1997) dalam Watson (2004) mengatakan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor individu,
bahwa caring dapat terlihat pada perilaku perawat. faktor organisasi, dan faktor psikologis (Gibson,
Perilaku tersebut antara lain memberi rasa nyaman, 1997). Faktor individu meliputi kemampuan, kete-
memberikan perhatian, kasih sayang, peduli, meme- rampilan, latar belakang pribadi, dan demografis.
lihara kesehatan, memberi dorongan, empati, minat, Faktor psikologis banyak dipengaruhi oleh keluarga,
Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 193

tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya, dan Hasil


demografis. Faktor organisasi menurut Gibson
(1997) terdiri atas variabel sumber daya, kepemim- Perilaku Caring Perawat. Penelitian ini meng-
pinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. gunakan enam indikator perilaku caring perawat
(Watson, 2004) adalah meliputi accessible,
Sebuah Rumah Sakit di Kota Bandung tipe C explain-fasilatates, comfort, anticipates, trusting
memiliki kapasitas tempat tidur sejumlah seratus relationship, dan monitors-follows. Alat ukur yang
lima pukuh tempat tidur. Laju penggunaan tempat digunakan untuk menilai perilaku caring perawat
tidur (BOR) 69,97%. Instalasi rawat inap terdiri menggunakan Care Q (The Nurse Behaviour
atas ruang rawat inap anak dengan rerata rasio Caring Study) Larson.
perawat dengan klien 1:12, di ruang penyakit
dalam 1:14, di ruang bedah 1:5, ruang kebidanan Hasil penelitian pada Tabel 1 menunjukkan se-
1:18, dan ruang perinatal 1:18. Rasio tersebut bagian besar (58,1%) perilaku caring perawat
menunjukkan adanya ketidakseimbangan rasio pelaksana masih kurang.
perawat dengan klien dan distribusi perawat yang
tidak merata di setiap ruang rawat inap. Faktor Individu dengan Caring Perawat. Sub-
variabel kemampuan dan keterampilan merupakan
Evaluasi kinerja perawat ditinjau dari perilaku faktor utama yang memengaruhi perilaku dan
caring dalam asuhan keperawatan melalui hasil individu. Subvariabel demografis, menurut (Gibson,
kotak saran klien di antaranya perawat hendaknya 1997), mempunyai efek tidak langsung pada
lebih gesit dalam memenuhi panggilan klien, perilaku dan kinerja individu, namun karakteristik
lebih ramah, dan lebih sopan dalam berhadapan demografik merupakan hal yang penting diketahui
dengan klien. Hasil wawancara dengan beberapa oleh pimpinan atau seorang dalam memotivasi
perawat di ruang rawat inap didapatkan bahwa dan meningkatkan kinerjanya. Karakteristik de-
perawat bekerja sebatas rutinitas, jenjang karier mografi meliputi usia, jenis kelamin, latar belakang
yang tidak jelas, sistem insentif yang kurang pendidikan, masa kerja, dan status perkawinan.
memadai, dan kurang mendapatkan perhatian dari
pimpinan. Peneliti belum menemukan adanya Rerata usia perawat pelaksana adalah 28,7
hubungan faktor individu (usia dan pengalaman) tahun dengan usia termuda 22 tahun dan tertua
dan faktor organisasi (kepemimpinan, imbalan, 43 tahun. Rerata masa kerja perawat adalah
struktur organisasi, dan jenjang karier) dengan 6,05 tahun dengan lama kerja tersingkat 2 tahun
perilaku caring perawat. dan terlama 16 tahun, sebagian besar perawat
berjenis kelamin perempuan (74,4%), berpendi-
Metode dikan D-3 (90,7%), dan telah menikah (79,1%).
Hasil dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
dengan pendekatan cross sectional. Populasi Tabel 1. Perilaku Caring Perawat
penelitian ini adalah empat puluh tiga perawat
pelaksana pada instalasi rawat inap rumah sakit Perilaku Caring f %
(RS) di Kota Bandung pada 22–30 Juni 2009 (total a. Kurang Baik 25 58,1
b. Baik 18 41,9
sampling). Instrumen penelitian berupa kuesioner
yang disusun berdasarkan skala Likert. Instrumen
Tabel 2. Karakteristik Responden berdasarkan
dikembangkan berdasarkan konsep faktor individu, Umur dan Masa Kerja
faktor organisasi, dan perilaku caring. Hasil uji
coba kuesioner menunjukkan kuesioner valid Min–
Variabel Mean SD 95%CI
(0,3705–0,9266) dan reliabel (0,9615–0,9709) Mak
untuk seluruh kuesioner. Data dianalisis secara a.Umur 28,70 3,66 22–43 27,57–29,82
univariat dan bivariat (uji t-independent dan Kai b.Masa 6,05 3,10 2–16 5,09–7,00
Kerja
kuadrat).
194 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan Tabel 5. Hubungan Pendidikan dan Jenis Kelamin
antara usia perawat yang perilaku caring perawat dengan Perilaku Caring Perawat
(p= 0,027; = 0,05). Masa kerja perawat juga
Perilaku Caring
berhubungan dengan perilaku caring perawat
Variabel Kurang Baik N p
(p= 0,001; = 0,05). Tampak pada Tabel 4. n % n %
Pendidikan
Pendidikan dan jenis kelamin tidak berhubungan a.SPK/D-3 23 59,0 17 41,0 40 0,39
dengan perilaku caring perawat pelaksana (p= b.S-1 8
Keperawtan 2 66,7 1 33,3 3
0,398; = 0,05) tergambar pada Tabel 5.
Jenis
Faktor Organisasi dengan Perilaku Caring Kelamin
Perawat. Variabel organisasi menurut Gibson a.Laki-Laki 6 54,5 5 45,5 11 0,52
(1997) berefek tidak langsung terhadap perilaku dan b.Perempuan 19 59,5 13 40,6 32 5
kinerja individu. Variabel organisasi digolongkan
dalam subvariabel sumber daya, kepemimpinan,
imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. Tabel 6. Faktor Organisasi

Hasil penelitian didapatkan persepsi perawat pe- Variabel f (%)


laksana kurang tentang kepemimpinan (58,1%), Faktor Organisasi
struktur organisasi (51,2%), dan desain kerja Subvariabel
1. Kepemimpinan
(62,8%). Akan tetapi, yang dipersepsikan baik o a. Kurang 25 58,1
oleh perawat pelaksana adalah imbalan (53,5%). o b. Baik 18 41,9
Hasil tampak pada Tabel 6. o
Struktur organisasi
Tabel 3. Karakteristik Responden berdasarkan o a. Kurang 22 51,2
Pendidikan dan Jenis Kelamin o b. Baik 21 48,8
o
Variabel F % Imbalan
Pendidikan o a. Kurang 20 46,5
- a.Surat Perintah Kerja 1 2,3 o b. Baik 23 53,5
(SPK) o
- bD-3 Keperawatan 39 90,7 Desain kerja
- c.S-1 Keperawatan 3 7 o a. Kurang 27 62,8
o b. Baik 16 37,2
Jenis Kelamin:
- a.Laki-Laki 11 25,6
- b.Perempuan 32 74,4 Hasil penelitian pada faktor organisasi menunjuk-
kan terdapat hubungan bermakna antara persepsi
perawat terhadap kepemimpinan kepala ruangan,
struktur organisasi, imbalan, dan desain kerja
Tabel 4. Hubungan Umur dan Masa Kerja Perawat dengan perilaku caring perawat pelaksana (p≤
dengan Perilaku Caring Perawat
0,05 (= 0,05). Hasil tersebut dapat dilihat pada
Variabel Tabel 7.
Variabel Mean SD p N
dependen
a. Umur Perilaku Pembahasan
caring
- Kurang 27,5 2,06 0,137 66
- Baik 30,3 4,71 75 Perilaku Caring Perawat. Hasil penelitian menun-
jukkan sebagian besar perilaku caring perawat
b. Masa Perilaku
Kerja caring pelaksana masih kurang. Hal ini dapat terjadi
- Kurang 4,6 1,5 0,066 66 karena kebanyakan perawat terlibat secara aktif
- Baik 8,0 3,7 75 dan memusatkan diri pada fenomena medik,
Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 195

Tabel 7. Hubungan Kepemimpinan, Struktur Organisasi, Imbalan, dan Desain kerja dengan Perilaku Caring
Perawat

Perilaku Caring
Total p
Variabel Kurang Baik
n % n % N
Kepemimpinan
a. Kurang 19 76,033,3 6 41,0 40 0,005
b. Baik 6 12 33,3 3

Struktur organisasi
a. Kurang 18 81,8 4 18,2 22 0,001
b. Baik 7 33,3 14 66,7 21
Imbalan
a. Kurang 15 75 5 25 20 0,037
b. Baik 10 43,5 13 56,5 23

Desain pekerjaan
a. Kurang 20 74,1 7 25,9 27 0,006
b. Baik 5 31,3 11 68,8 16

seperti cara diagnostik dan cara pengobatan. menekankan bahwa umur produktif adalah usia
Akibatnya, perawat kekurangan waktu dalam 25–30 tahun di mana pada tahap ini merupakan
memberikan perhatian pada tugas care klien. penentu seseorang untuk memilih bidang pekerjaan
yang sesuai bagi karir individu tersebut. Umur
Beberapa bukti empirik yang mendukung kurang- 30–40 tahun merupakan tahap pemantapan pilihan
nya perilaku caring perawat, yaitu hasil penelitian karier untuk mencapai tujuan. Namun, puncak
Greenhalgh, Vanhanen, dan Kyngas (1998). Peneli- karier terjadi pada umur 40 tahun. Menurut Siagian
tian yang bertujuan menelaah perilaku perawat yang (1999), semakin lanjut umur seseorang semakin
bekerja di ruang perawatan umum menunjukkan meningkat pula kedewasaan teknisnya, demikian
bahwa perawat lebih menekankan perilaku caring pula psikologis, menunjukkan kematangan jiwa.
fisik daripada afektif. Pemenuhan kebutuhan Perawat di RS ini menjadi modal dasar dalam
biologis menjadi fokus utama perawat sehingga mengembangkan sumber daya manusia (SDM)
kebutuhan lainnya seperti kebutuhan psikologis, dilihat secara umur.
sosial, dan spiritual klien kurang mendapat per-
hatian. Masa kerja perawat di RS tersebut berhubungan
dan bermakna dengan perilaku caring-nya. Robbins
Perilaku caring perawat yang kurang menurut (1998) menguraikan bahwa semakin lama sese-
Greenhalgh, Vanhanen, dan Kyngas (1998) di- orang bekerja semakin terampil dan akan lebih
sebabkan jumlah perawat yang sangat terbatas berpengalaman dalam melaksanakan pekerjaannya.
dengan jumlah klien yang banyak (rasio perawat: Masa kerja perawat RS tersebut berpengaruh
klien adalah 1:12-18). Perawat juga belum mema- terhadap pengalaman kerja. Hal ini dapat dilihat
hami makna caring, baik arti caring, spirit caring, dari adanya perawat senior berdasarkan lama kerja
maupun tindakan atau wujud nyata dari perilaku yang dijadikan role model dan dijadikan acuan
caring. bagi perawat muda dalam berperilaku caring.

Faktor Individu dengan Caring Perawat. Umur Jenis kelamin perawat tidak berhubungan dengan
perawat yang berada pada masa produktif di RS perilaku caring-nya. Penelitian ini didukung
ini berhubungan dengan perilaku caring-nya. Pada Aminuddin (2004) yang menyatakan bahwa
umur ini memungkinkan perawat dalam masa tidak ada perbedaan kinerja perawat laki-laki
kedewasaan dan kematangan. Dessler (1997) dengan perempuan.
196 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198

Hasil penelitian ini tidak didukung oleh hasil Swansburg, 1999). Seorang kepala ruangan yang
penelitian Greenhalgh, Vanhanen dan Kyngas merupakan firts line manager berfungsi sebagai
(1998) yang mendapatkan hubungan antara jenis seorang pemimpin yang akan memengaruhi staf-
kelamin perawat dengan perilaku caring. Adanya nya dalam berperilaku dan bekerja. Setiap kepala
perbedaan ini dapat disebabkan oleh adanya ruangan harus memiliki pengetahuan, sikap, dan
perbedaan budaya, kebiasaan, nilai, dan faktor berperilaku sebagai seorang pemimpin dengan
lainnya. Saat ini perbedaan gender sudah tidak mengetahui prinsip dari kepemimpinan.
berlaku di masyarakat. Perawat perempuan me-
miliki tugas dan kewajiban yang sama dengan Persepsi perawat pelaksana terhadap struktur
perawat laki-laki. organisasi ruangan berhubungan dengan perilaku
caring perawat pelaksana. Kondisi ini terjadi ka-
Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan rena Robbins (1998) menekankan bahwa struktur
perilaku caring perawat pelaksana di RS ini. organisasi menunjukkan cara suatu kelompok
Hasil ini tidak sependapat dengan Siagian (1999) dibentuk, garis komunikasi, dan hubungan otoritas,
yang mengatakan bahwa tingkat pendidikan me- serta pembuatan keputusan. Struktur organisasi
mengaruhi kinerja perawat yang bersangkutan. ini menunjukkan garis kewenangan dan rentang
Tenaga keperawatan yang berpendidikan tinggi kendali dari suatu organisasi yang akan menen-
kinerjanya akan lebih baik karena telah memiliki tukan kegiatan dan hubungan serta ruang lingkup
pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. tanggung jawab dan peran setiap individu.

Pendapat peneliti berdasarkan identifikasi dan Belum adanya desain kerja, menimbulkan setiap
referensi, caring merupakan ilmu tentang manusia, orang tidak mengetahui tupoksinya sehingga tugas
bukan hanya sebagai perilaku, melainkan juga dan kewenangan masing-masing individu tidak
suatu cara sehingga sesuatu menjadi berarti dan jelas. Kepala ruangan memberikan tugas belum
memberi motivasi untuk berbuat kepedulian ter- berdasarkan kemampuan dan kesanggupan perawat
hadap klien. RS ini baru selesai menyekolahkan pelaksana. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya
perawat berpendidikan SPK sehingga belum ada jumlah perawat pelaksana yang ada di setiap rawat
tampak perbedaan perawat berpendidikan SPK inap. Standar Operasional Prosedur (SOP) dan
dengan D-3 Keperawatan. Standar Akuntansi Keuangan (SAK) pun belum
dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pelayan-
Status perkawinan tidak berhubungan dengan an keperawatan. Hal ini terlihat dalam melakukan
perilaku caring perawat pelaksana. Hasil ini tindakan keperawatan banyak yang tidak sesuai
sesuai dengan penelitian Rusmiati (2008) yang dengan SOP dan SAK rumah sakit.
menyatakan tidak ada hubungan status pernikahan
dengan kinerja. Persepsi perawat pelaksana terhadap imbalan
berhubungan dengan perilaku caring perawat
Perilaku Caring Perawat Berdasarkan Faktor pelaksana. Desler dalam Samsudin (2005), Hasibuan
Organisasi (Kepemimpinan, Struktur Orga- (2003), dan Wibowo (2007) mengutarakan imbalan/
nisasi, Imbalan, dan Desain Kerja). Persepsi kompensasi mengandung makna pembayaran/
perawat pelaksana terhadap kepemimpinan kepala imbalan baik langsung maupun tidak langsung
ruangan berhubungan dengan perilaku caring-nya. yang diterima karyawan sebagai hasil dari kinerja.
Hasil ini didukung Aminudin (2004) yang men-
dapatkan adanya hubungan antara kepemimpinan Hasibuan (2003) dan Wibowo (2007) menjelaskan
dengan kinerja. bahwa status kepegawaian sangat berkaitan dengan
besarnya imbalan pegawai. Imbalan tersebut men-
Pada organisasi, kepemimpinan terletak pada usaha jadi salah satu motivasi pegawai untuk bekerja
memengaruhi aktivitas orang lain individu atau dan menunjukkan kinerja. Perawat RS dengan
kelompok melalui komunikasi untuk mencapai status pegawai negeri merupakan kekuatan dan
tujuan organisasi dan prestasi (Swansburg dan motivasi perawat untuk meningkatkan kinerja
Supriatin, Perilaku Caring Perawat berdasarkan Faktor Individu 197

dari aspek finansial. Imbalan dalam nonfinansial pelayanan keperawatan. caring perawat perlu
pun dibutuhkan untuk memotivasi dan mening- dimasukkan ke dalam penilaian kinerja perawat
katkan kinerja. Kurangnya penghargaan kepada dalam rangka meningkatkan motivasi perawat
perawat berprestasi dan perawat yang caring dapat dalam bekerja (MS, HH, TN).
menurunkan motivasi perawat untuk caring pada
klien. Referensi
Pemberian kompensasi yang baik akan mendorong Aminudin, T.Y. (2004). Hubungan iklim kerja
karyawan bekerja secara produktif dan organisasi dengan kinerja perawat pelaksana di Ruang
yang sukses dapat terlihat dari besarnya kompensasi Rawat Inap RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu.
yang diberikan oleh organisasi. Jika seseorang (Tesis, tidak dipublikasikan). Program Studi
menggunakan pengetahuan, keterampilan, tenaga, Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Indonesia, Depok, Jawa Barat.
dan sebagian waktunya untuk berkarya pada suatu
organisasi, ia akan mengharapkan kompensasi/ Dessler, G. (1997). Manajemen sumber daya
imbalan tertentu. manusia. Terjemahan (1st Ed.). Jakarta: PT
Prentallindo.
Persepsi perawat pelaksana terhadap desain peker-
jaan berhubungan dengan perilaku caring perawat Gibson, J.L. (1997). Organisasi: Perilaku, struktur,
pelaksana. Hal ini disebabkan oleh kurangnya proses (Edisi kedelapan). (Nunuk. A,
pemberian otonomi kepada perawat, kurangnya Penerjemah). Jakarta: Binarupa Aksara.
kewenangan, kurangnya bimbingan kepada pera-
wat, dan faktor senioritas menjadi penghambat Greenhalgh, J., Kyngas, H., & Vanhanen, L.
bagi perawat dalam berperilaku caring. (1998). Nurse caring behavior. Journal of
Advanced Nursing, 27 (5), 927–932.
Penelitian ini dapat berdampak positif dan menjadi
masukan bagi pelayanan keperawatan khususnya Hasibuan, M.S.P. (2003). Manajemen sumber daya
dalam meningkatkan perilaku caring perawat. manusia (edisi revisi). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Kompetensi pemimpin, seperti kepala ruangan
juga memengaruhi perilaku caring perawat pelak-
Robbins, S.P. (1998). Perilaku Organisasi, konsep,
sana. Pihak RS perlu lebih memperhatikan dan kontroversi, dan aplikasi (Edisi kedelapan).
memprioritaskan kompetensi kepala ruangan, Jakarta: PT. Prenhallindo.
sebagai manajer first line yang harus dapat
berperan sebagai pemimpin. Kepala ruangan yang Rusmiati. (2008). Hubungan lingkungan organisasi
mampu berperan sebagai role model dapat me- dan karakteristik perawat dengan kinerja
motivasi perawat pelaksana berperilaku caring. perawat pelaksana di ruangan rawat inap
Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan
Kesimpulan Jakarta (Tesis, tidak dipublikasikan). Program
Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu
Perawat pelaksana di instalasi rawat inap RS Keperawatan Universitas Indonesia, Depok,
tersebut sebagian besar kurang berperilaku caring. Jawa Barat.
Faktor individu (umur dan masa kerja) serta
faktor organisasi (kepemimpinan kepala ruangan, Samsudin, S. (2005). Manajemen sumber daya
manusia. Bandung: CV Pustaka Setia.
struktur organisasi, imbalan, dan desain kerja)
berhubungan perilaku caring perawat pelaksana. Siagian, S.P. (1999). Manajemen sumber daya
manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Peneliti menyarankan perlu dukungan kebijakan
atas perilaku caring perawat oleh pihak RS ke Siagian, S.P. (2000). Teori dan Praktek
dalam pelayanan asuhan keperawatan dalam Kepemimpinan (Cetakan kelima). Jakarta: PT
upaya meningkatkan kinerja perawat dan mutu Rineke Cipta.
198 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 192-198

Swansburg, R.C., & Swansburg, R.J. (1999). Wibowo. (2007). Manajemen kinerja. Jakarta: PT
Introductory management and leadership for Raja Grufindo Persada.
nurse (2nd Ed.). Boston: Jones and Bartlet
Publishers.

Watson, J. (2004). Assessing and measuring caring


in nursing and health science (2nd Ed.). New
York: Springer Publication Company.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 167-170
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

MADU MENURUNKAN FREKUENSI BATUK PADA MALAM HARI


DAN MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR BALITA PNEUMONIA

Rokhaidah1*, Nani Nurhaeni2, Nur Agustini2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*
E-mail: rokhaidah@yahoo.com

Abstrak

Gejala umum yang sering dirasakan balita pneumonia adalah batuk. Intervensi keperawatan mandiri yang dapat
dilakukan untuk mengatasi masalah batuk pada malam hari dan kualitas tidur anak di antaranya adalah dengan
memberikan terapi komplementer madu. Madu bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung antibiotik alami,
antiinflamasi, dan antioksidan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi efektivitas pemberian madu terhadap batuk
pada malam hari dan kualitas tidur balita yang mengidap pneumonia. Desain penelitian ini menggunakan rancangan
eksperimen semu pretest posttest with non equivalent control group dengan tiga puluh enam responden yang diambil
secara consecutive sampling. Hasil analisis data menggunakan independent t-test yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan penurunan skor batuk (p< 0,001; CI 95% 1,82–3,37) dan peningkatan kualitas tidur yang bermakna (p<
0,001; CI 95% 0,66–1,67) saat posttest pada kelompok yang mendapatkan madu dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Peneliti merekomendasikan pemberian madu bagi balita pneumonia sebagai terapi komplementer yang aman
untuk mengatasi batuk.

Kata kunci: batuk, kualitas tidur, madu, pneumonia

Abstract

Honey for Decreasing Cough at Night and Increasing the Sleep Quality of Children with Pneumonia. A common
symptom of pneumonia in toddler is coughing. Coughing is the body's natural mechanism in response to the
inflammation that occurs in the lungs. Coughing that occurs at night can disrupt sleep quality of toddler with
pneumonia. Independent nursing interventions that can be done to overcome this problem is to provide honey as a
complementary therapy. Honey is very beneficial for health because it contains natural antibiotic, anti-inflammation,
and antioxidant. This study aimed to identify the effectiveness of honey to decrease night time cough and to increase
sleep quality of toddler with pneumonia. This study used a quasi-experimental pretest-posttest design with non-
equivalent control group with 36 respondents taken by consecutive sampling. Results of data analysis using
independent t-test showed differences decrease cough scores (p< 0,001; CI 95% 1,82–3,37) and a significant increase
in sleep quality (p< 0,001; CI 95% 0,66–1,67). It is recommended to give honey to toddlers with pneumonia as a safe
complementary therapy for treating coughs.

Keywords: cough, honey, pneumonia, quality of sleep

Pendahuluan Gejala klinis yang sering dirasakan balita atau


anak dengan pneumonia adalah batuk. Batuk
Pneumonia saat ini masih menjadi masalah dapat terjadi sepanjang hari dan dapat meng-
kesehatan utama di beberapa negara di dunia, ganggu kenyamanan anak dalam beraktivitas.
termasuk Indonesia. Hal ini dapat dilihat masih Batuk pada malam hari dapat menyebabkan
tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneu- kualitas tidur anak terganggu. Perawat sebagai
monia, terutama pada balita. Upaya penanganan pemberi asuhan utama dapat memberikan inter-
pneumonia difasilitasi oleh kesehatan tingkat vensi keperawatan yang aman dan efektif untuk
dasar terintegrasi dalam Manajemen Terpadu membantu anak pneumonia yang mengalami
Balita Sakit (MTBS). batuk. Madu adalah salah satu terapi komple-
168 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 167-170

menter yang dapat digunakan untuk membantu plikasi penyakit lain sehingga anak membutuhkan
meredakan batuk pada malam hari sehingga dapat perawatan intensif. Instrumen yang digunakan
meningkatkan kualitas tidur anak. adalah berupa kuesioner untuk data karekteristik
responden dan lembar observasi orang tua/wali
Madu dapat diberikan kepada anak karena aman untuk skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur
dan efektif menurunkan skor frekuensi batuk anak. Data awal diambil pada hari pertama anak
dan meningkatkan kualitas tidur anak seperti dirawat dan data akhir atau post test diambil pada
yang dijelaskan pleh Evans, Tuleu, dan Sutcliffe hari keempat.
(2010), pengobatan dengan madu efektif untuk
batukdan tidur anak. Penelitian oleh Shadkam, Analisis data dilakukan dengan analisis univariat
Mozafari-Khosravi, dan Mazayan (2010) menye- dan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan
butkan bahwa madu dapat mengontrol batuk, dengan menggunakan uji parametrik (paired t
lebih murah, mudah didapatkan dan aman untuk test dan independent t test). Penelitian ini telah
anak-anak. Penelitian Paul, Beiler, Mc Monagle, mendapatkan izin dari tim kaji etik Fakultas Ilmu
Shaffer, Duda, dan Berlin (2007) menemukan Keperawatan Universitas Indonesia.
fakta bahwa madu adalah alternatif yang efektif
dan aman untuk meredakan batuk pada malam Hasil
hari dan mengatasi kesulitan tidur anak, madu
bekerja sangat baik dalam mengurangi gangguan Penelitian ini mengidentifikasi beberapa karak-
tidur akibat keparahan dan frekuensi batuk malam teristik responden, yaitu usia anak pneumonia
hari pada anak dengan infeksi saluran pernafasan berkisar 17,7 bulan sampai 19,4 bulan. Mayoritas
atas dibandingkan dengan dextromethorphan berjenis kelamin laki-laki (58,3%), status gizi
maupun tanpa treatment. sebagian besar (63,8%) normal, mayoritas (69,5%)
tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
Cohen, et al., (2012) menemukan ada perbedaan dan mayoritas (63,9%) anak pneumonia menda-
yang signifikan dari penurunan skor batuk dan patkan imunisasi Difteri, Pertusis, dan Tetanus
skor kualitas tidur anak pada kelompok yang (DPT) dan campak.
diberikan madu dibandingkan dengan kelompok
plasebo. Tujuan penelitian ini untuk mengiden- Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa ada perbedaan
tifikasi efektivitas pemberian madu terhadap yang bermakna antara rerata selisih skor fre-
batuk pada malam hari dan kualitas tidur balita kuensi batuk dan skor kualitas tidur kelompok
dengan pneumonia.
Tabel 1. Selisih Skor Frekuensi Batuk dan Skor
Metode Kualitas Tidur antara Kelompok Intervensi
(n=18) dan Kelompok Kontrol (n=18)
Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi
eksperimen dengan pendekatan nonequivalent Interval
Rerata ±
Variabel Kepercayaan p
control group before after design. Responden s.d.
(CI 95%)
dipilih dengan teknik consecutive sampling. Selisih Skor
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah (1) Frekuensi Batuk
anak yang sedang dirawat inap, (2) anak usia a. Kelompok 2,78
6,22-1,76 <0,001
1-5 tahun yang didiagnosis pneumonia/bron- Intervensi (1,82–3,73)
b. Kelompok
kopneumonia, (3) anak mendapat terapi medis Kontrol
5,05-1,62
berupa antibiotik, mukolitik, dan inhalasi, (4)
anak dirawat pada hari pertama saat penetapan Selisih Skor
Kualitas Tidur
sebagai responden, (5) orang tua atau wali dapat a. Kelompok 1,17
2,27 ± 0,82 <0,001
diajak bekerja sama dan menyetujui anaknya Intervensi (0,66–1,67)
menjadi responden penelitian. Kriteria ekslusi b. Kelompok
1,50 ± 0,51
adalah anak pneumonia berat dan disertai kom- Kontrol
Rokhaidah, et al., Madu Menurunkan Frekuensi Batuk Pada Malam Hari 169

intervensi dengan kelompok kontrol. Selisih skor Penurunan skor frekuensi batuk pada anak setelah
frekuensi batuk dan skor kualitas tidur kelompok diberikan madu terjadi karena madu mempunyai
intervensi lebih tinggi secara bermakna diban- kandungan antibiotik alami, antioksidan, dan
dingkan dengan kelompok kontrol (p< 0.001). kombinasi zat-zat lain. Selain itu, madu merupakan
komponen penting yang dapat membantu me-
Pembahasan ringankan batuk anak-anak. Madu berfungsi
melapisi tenggorokan dan memicu mekanisme
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian menelan, rasa manis pada madu akan mengubah
Cohen, et al., (2012) yang menemukan skor sensitivitas serabut sensori. Ada interaksi antara
frekuensi batuk dan skor kualitas tidur anak yang saraf sensori lokal dengan sistem saraf pusat
mengalami infeksi saluran pernafasan akut pada yang terlibat dalam regulasi mekanisme batuk
kelompok yang diberikan madu menunjukkan sehingga mampu meredakan batuk (McCoy dan
penurunan yang bermakna pada saat post test Chang, 2013).
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Warren,
Pont, Barkin, Callahan, Caples, Carol, dan Di Indonesia, penyebab tersering pneumonia pada
Plemmons (2007) juga menemukan bahwa anak adalah dari jenis bakteri. Menurut Bogdanov
terdapat perbedaan penurunan skor batuk yang (2011), madu mempunyai efek antimikroba lang-
signifikan antara kelompok yang diberikan madu sung dan tidak langsung. Efek madu sebagai
dengan kelompok kontrol, penurunan skor batuk antimikroba langsung adalah dengan menghambat
pada kelompok intervensi lebih besar dibanding- pertumbuhan mikroorganisme, madu memiliki
kan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain efek bakteriostatik dan bakterisida. Oksidase
dari Paul, et al., (2007) tentang efek madu, dex- glukosa madu menghasilkan agen antibakteri
tromethorphan, dan tanpa intervensi terhadap hidrogen peroksida, sedangkan agen antibakteri
batuk malam hari dan kualitas tidur anak dan nonhidrogen peroksida antara lain kandungan
orang tua, didapatkan hasil terdapat perbedaan gula yang tinggi pada madu menyebabkan efek
penurunan skor frekuensi batuk yang signifikan osmotik gula, pH bersifat asam, kandungan
pada kelompok yang diberikan madu dibanding- fenolat dan flavonoid, serta kandungan protein
kan dengan kelompok lainnya. Rerata penurunan dan karbohidrat madu yang semuanya bertang-
skor frekuensi batuk dan skor kualitas tidur pada gung jawab atas aktivitas antibakteri sehingga
kelompok yang diberikan madu lebih tinggi di- madu dapat membantu melawan agen penyebab
bandingkan dengan kelompok dextromethorphan pneumonia anak. Ajibola (2012) menjelaskan
dan kelompok tanpa intervensi. Hasil penelitian bahwa madu dapat merangsang dan meningkatkan
ini dan penelitian serupa tentang efek madu produksi antibodi selama proses pembentukan
terhadap batuk pada malam hari dan kualitas imunitas primer dan sekunder.
tidur anak telah membuktikan bahwa madu
efektif untuk mengurangi frekuensi batuk dan Peningkatan kualitas tidur yang signifikan pada
memperbaiki kualitas tidur. Manfaat ini terkait saat posttest kelompok yang diberikan madu
dengan komposisi madu yang mengandung zat-zat sebelum tidur disebabkan oleh madu dapat
unik yang sangat bermanfaat untuk kesehatan. merangsang pengeluaran hormon melatonin yang
Alquran surah An-Nahl (lebah) ayat 69 men- berfungsi memicu pelepasan hormon pertumbuhan
jelaskan tentang manfaat madu, yang artinya yang mengatur pemulihan fungsi fisiologis tubuh,
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) memelihara dan membangun kembali tulang,
buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang serta otot dan jaringan tubuh lainnya. Semua itu
telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah terjadi pada waktu malam. Melatonin berdampak
itu keluar minuman (madu) yang bermacam- pada konsolidasi memori dengan pembentukan
macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang molekul adhesi sel saraf selama tidur rapid eye
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya movement (REM). Bersamaan dengan itu,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat fruktosa dalam madu diserap oleh hati untuk
tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang diubah menjadi glukosa kemudian menjadi
berpikir.”
170 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 167-170

glikogen sehingga mampu memasok kebutuhan Bogdanov, S. (2011). Honey as nutrient and
glukosa otak dengan cepat pada waktu malam. functional food: A review. Bee Product
Selain itu, fruktosa mengatur penyerapan glukosa Science, 3(2), 1–33. Diperoleh dari www.bee-
ke dalam hati dengan merangsang pelepasan glu- hexagon.net.
kokinase. Fruktosa memastikan pasokan glikogen
Cohen, H.A., Rozen, J., Kristal, H., Laks, Y.,
hati selama semalam dan mencegah lonjakan Berkovitch, M., Uziel, Y., et al. (2012). Effect
glukosa, insulin, dan pelepasan hormon stres of honey on nocturnal cough and sleep
(McInnis, 2008). quality: A doubleblind, randomized placebo-
controlled study. Pediatrics, 130 (3), 1–9.
Kesimpulan
Evans. H., Tuleu. C., & Sutcliffe. A. (2010). Is
Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa honey a well-evidenced alternative ti over-
madu terbukti efektif menurunkan skor frekuensi the-counter cough medicines? Journal of R
batuk malam hari dan meningkatkan kualitas tidur Social Medicine, 103, 164–165.
anak balita dengan penumonia. Hasil penelitian Paul, I.M., Beiler, J., Mc Monagle, A., Shaffer,
ini juga dapat menjadi bahan masukan atau per- M.L., Duda, L., & Berlin C.M. (2007). Effect
timbangan bagi perawat anak untuk dijadikan of honey, dextromethorphan, and no treatment
sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam on nocturnal cough and sleep quality for
merawat anak yang mengalami pneumonia. Pe- coughing children and their parent. Archive of
nelitian berikutnya perlu dikembangkan kembali, Pediatrics Adolescent Medicine, 161 (12),
yaitu penelitian manfaat madu terhadap batuk 1140-1160.
pada malam hari serta kualitas tidur anak dan
orang tua yang mengidap pneumonia (YR, INR, Shadkam, M.N., Mozaffari-Khosravi, H., &
AM). Mozayan, M.R. (2009). A comparison ofthe
effect of honey, Dextromethorphan,and
Diphenhydramine on nightly coughand sleep
Referensi quality in children and their parents. The
Journal of Alternative and Complementary
Alquran, Surah An-Nahl, ayat 69. Medicine, 16 (7), 787–793.

Ajibola, A., Chamunorwa, J. P. & Erlwanger, K. Warren, M.D., Pont, S.J., Barkin, S.L., Callahan,
H. (2012). Nutraceutical values of natural S.T., et al., (2007). The effect of honey on
honey and its contribution to human health nocturnal cough and sleep quality for children
and wealth. Nutrition metabolism, 9, 61. and their parents. Archives of pediatrics &
doi:10.1186/1743-7075-9-61. adolescent medicine, 161 (12), 1149–1153.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 181-187
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

PENGALAMAN ORANG TUA MENERIMA PERILAKU CARING


PERAWAT DALAM MEMFASILITASI BONDING ATTACHMENT BAYI
PREMATUR

Laviana Nita Ludyanti1*, Yeni Rustina2, Yati Afiyanti2

1. Program Studi Magister, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
2. Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
*
E-mail: laviananl@gmail.com

Abstrak

Perpisahan dengan orang tua akibat perawatan pada bayi prematur berpengaruh terhadap proses bonding attachment.
Penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif pada tujuh partisipan ini menggunakan teknik
purpossives sampling yang bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam pengalaman orang tua menerima perilaku
caring perawat dalam memfasilitasi bonding attachment bayi prematur di Ruang NICU. Pengumpulan data dilakukan
dengan wawancara mendalam dan dianalisis dengan metode Colaizzi. Hasil analisis data mendapatkan tujuh tema, yaitu
proses peningkatan pengetahuan, mampu melakukan perawatan terhadap bayinya, respons ibu terhadap tindakan
perawatan yang diberikan, termotivasi dalam melakukan perawatan bayi prematur, terpenuhinya kebutuhan bayi selama
dilakukan perawatan, keterlibatan dalam asuhan keperawatan, dan kepuasan terhadap perawatan. Penelitian ini
diharapkan dapat meningkatkan asuhan keperawatan dan bonding attachment pada bayi prematur.

Kata kunci: bayi prematur, pengalaman ibu, perilaku caring perawat, perawatan intensif neonatus

Abstract

Experience Caring Parents Receive The Behavior of Nurses in Premature Infants Facilitate Bonding Attachment.
Separation between parents and premature babies in intensive care unit affects in bonding attachment process. This
study was a qualitative research design with descriptive phenomenology approach took 7 participants used Purpossive
Sampling Technique. This study aims to explore mother’s experience received nursing caring in facilitated bonding
attachment of premature babies. Data were collected with indepht interview and analized with Colaizzi method. The
results of data analysis got seven themes: knowledge improving process; capable to cared their babies; mother’s
respons with nursing care; was motivated to cared their premature babies, the premature babies needed was fullfiled
well; participated in nursing care; and nursing care satisfaction. The result is expectedto be inputin improvingnursing
care and bonding attachment in premature babies.

Keywords: premature babies, mother’s experiences, nursing caring, neonatus intensive care

Pendahuluan sistem respirasi (Juretschke, 2007; Lopez,


Anderson, & Fentchinger, 2012),
Usia gestasi dan berat badan lahir merupakan
hal yang sangat penting dalam memprediksi kardiovaskuler, penyakit infeksi, pertumbuhan,
kesehatan dan kematian bayi. Bayi dengan usia dan nutrisi (Juretschke, 2007), jaundice serta lama
gestasi kurang dari 32 minggu (prematur) perawatan di rumah sakit (Lopez, Anderson, &
berisiko tinggi mengalami kematian atau Fentchinger, 2012). Menurut Potts dan Mandleco
kecacatan baik dalam jangka panjang maupun (2012), komplikasi bayi prematur semakin me-
pendek (Cloherty, Eichen-wald, & Stark, 2008). ningkat seperti Intraventricular Haemorrhage
Masalah kesehatan yang banyak muncul pada (IVH) (15–20%) pada bayi dengan usia gestasi
bayi prematur diantaranya adalah gangguan pada kurang dari 32 minggu, kematian akibat Necro-
tizing Enterocolitis (NEC) (28%) dan Retinopathy
182 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187

of Prematurity (ROP) (65%) pada bayi yang ditetapkan peneliti adalah orang tua yang memiliki
lahir kurang dari 1250 gram. bayi prematur dan memiliki pengalaman mem-
peroleh perilaku caring dari perawat, orang tua
Peningkatan komplikasi pada bayi prematur adalah ibu dengan bayi prematur yang dirawat di
menyebabkan perlunya perawatan yang maksimal ruang NICU dan yang akan menjalani perawatan
dan intensif (Montanholli, Merighi, & Pinto de di rumah serta orang tua mampu menceritakan
Jesus, 2011) di Neonatal Intensive Care Unit dengan baik pengalamannya dan bersedia menjadi
(NICU). Bayi akan mendapatkan berbagai macam partisipan.
tindakan dan prosedur selama menjalani perawatan
di ruang intensif. Selain itu, lingkungan eksternal Pedoman penentuan jumlah sampel berdasarkan
termasuk kondisi perpisahan dengan orang tua adanya saturasi data. Penelitian ini dilakukan di
terutama ibu dan sibling (Goldson, 1999; Boxwell, ruang NICU Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
2007), memberikan dampak secara emosional dr. Iskak Tulungagung dan dilakukan bulan April-
dan psikologis pada bayi dan orang tua yang Juni 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui
mungkin saja menimbulkan kekhawatiran ter- wawancara mendalam. Analisis data menggu-
hadap kemampuan orang tua dalam merawat bayi nakan Metode Colaizzi. Peneliti mengolah dan
dan dapat memunculkan juga depresi maternal mempersiapkan data, membaca keseluruhan data,
(Davis, Edwards, Mohay, & Wollin, 2003). Hal melakukan coding data, mendeskripsikan data,
ini tentunya akan menambah faktor risiko yang menyajikan data dalam bentuk narasi, dan mengin-
dapat memperburuk interaksi antara ibu dengan terpretasi data.
bayi (Guillaume, et al., 2013).
Penelitian ini telah melalui kaji etik Komite Etik
Kualitas bonding attachment yang dilakukan lebih Riset Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
awal akan memengaruhi perkembangan fisik dan Indonesia.
emosional bayi di masa yang akan datang ketika
mereka dewasa dan memiliki anak. Interaksi Hasil
ini akan menjadikan orang tua dan anak lebih
mengenal dan lebih sensitif terhadap perilaku Pengalaman orang tua (ibu) menerima perilaku
satu sama lain (Willinger, Diendorfer-Radner, caring perawat dalam memfasilitasi bonding
Wilnauer, Jorgl, & Hager, 2005; Chapman & attachment pada bayi prematur memiliki pan-
Durham, 2010) yang merefleksikan tingkat ke- dangan yang berbeda dari setiap partisipan.
percayaan diri anak, meningkatkan kemampuan Tema pertama yang teridentifikasi adalah proses
berinteraksi sosial, dan kemampuan koping dalam peningkatan pengetahuan yang tergambar dalam
menghadapi stress (Willinger, Diendorfer-Radner, kalimat berikut.
Wilnauer, Jorgl & Hager, 2005). Berdasarkan hal
tersebut, bonding attachment merupakan hal yang “Tapi ya paling tidak sedikit-sedikit saya
sangat penting dan perlu difasilitasi oleh perawat sudah tau. Ganti-ganti pampers gitu.”(P3).
di ruang intensif secepat mungkin setelah bayi
lahir (White, Duncan, & Baumle, 2011). ”Ya, dibilangi gitu, kalau sudah ada
perubahan, sudah bagus gitu, minumnya
Metode juga sudah bagus. Saya jadinya ngerti
gitu….”(P4).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi “Enggak terlalu tau, Bu. Makanya, kan,
deskriptif. Partisipan dalam penelitian ini adalah enggak ngerti, kan, Mbak. Soalnya saya
orang tua dengan bayi prematur yang bayinya enggak dibilangi. Saya juga enggak tahu,
dirawat di ruang NICU sebanyak tujuh partisipan. kok, Mbak bagaimana caranya merawat
Partisipan diambil dengan menggunakan teknik bayi.”(P6).
purposive sampling. Adapun kriteria inklusi yang
Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 183

Tema berikutnya adalah mampu melakukan “Iya, jadi semangat melihat perkembangan
perawatan terhadap bayinya setelah diajari dan adiknya.” (P2).
diberikan informasi oleh perawat. Pernyataan
ibu yang mendukung tema tersebut dapat dilihat Perawat melakukan pemenuhan kebutuhan nutrisi
dalam kutipan berikut ini. dengan memberikan susu, membersihkan bayi
saat buang air kecil (BAK) maupun buang air
“Kalau memang pengen tahu, waktu besar (BAB), serta memfasilitasi ibu untuk dekat
susternya apa itu…mandiin atau ganti dengan bayinya. Tema kelima ini digambarkan
popok gitu, ya melihat sekali gitu, ya sudah dalam pernyataan berikut.
bias.”(P1).
“Ya, perawatnya semua yang melakukan,
“Iya insyaallah bisa, yakin bisalah, ngasih minum, ganti pampers, ganti baju.
Bu…”(P4). Semua ya, sudah dipakaikan ke bayinya
oleh perawatnya.”(P7).
“Terus sekarang mengerjakan sendiri
semakin berani.“(P5). Terdapat lima partisipan yang mengatakan perawat
mengikutsertakan ibu dalam perawatan bayinya.
Ibu menyatakan senang, tenang, dan bersyukur Perawat memberi kesempatan kepada ibu untuk
terhadap perawatan yang telah diberikan. Tema melihat dan belajar dalam memberikan perawatan
ketiga ini didukung pernyataan ibu sebagai terhadap bayinya. Tema keenam ini dapat digam-
berikut. barkan dalam pernyataan ibu sebagai berikut.

“Ya anaknya sudah dalam keadaan “Pekerjaan gitu saya dilibatkan…ya


bersih. Itu yang saya suka.”(P4). seneng…sambil belajar…”(P1).

“Iya saya bersyukur banget. Sama Mbak- “…Ya ikut…ikut melihat gitu biar tahu,
Mbaknya (perawat) juga dibilangi sambil belajar…”(P3).
gitu….”(P1).
“…ya kalau pas pasang bedong,
“Tapi sekarang alhamdulilah sudah ada memakaikan pampers gitu saya ikut
perubahannya”(P4). melihat, boleh ikut.”(P7).

“Tapi kalau sekarang sudah tidak berpikir Kepuasan pasien juga diungkapkan oleh ibu
macam-macam”(P1). melalui pernyataan-pernyataan sebagai berikut.
Ibu menyatakan bahwa perawat telah melakukan
“Ya kalau sudah dikasih tahu perawatnya penanganan dan perawatan yang terampil. Per-
gitu, ya sudah agak tenang.”(P3). nyataan yang mendukung tema terakhir ini ada
di bawah ini.
Ibu menyatakan termotivasi dengan adanya
perilaku caring perawat. Hal ini nampak pada “Tapi kalau di sini langsung, cakcek (gesit,
usaha ibu untuk mendapatkan informasi yang segera ditangani) gitu lho, pokoknya cepat
lebih banyak terhadap kondisi dan cara merawat terus alat-alat juga komplit. Itu mudahnya
bayinya. Tema keempat ini ditunjukkan oleh ya di situ itu” (P1).
pernyataan ibu sebagai berikut.
“Kan sudah dipercaya anaknya dirawat
“Iya…. Nanti setidak-tidaknya bertanyalah, disini, percaya supaya anaknya cepat
pokoknya berusaha”(P4). sembuh.”(P4).
184 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187

“Ya obat-obatnya untuk bayi-bayi segitu, orang lain dengan tepat, prioritas perawatan,
kan, ya bagus. Buktinya mereka yang teknologi, dan situasi kritis. Selain itu, keteram-
dirawat di sini, ya bisa sehat-sehat.”(P7). pilan perawat meliputi interaksi perawat dan
pasien, advokat, fisik, dorongan, dan hambatan
Pembahasan dalam perawatan.

Teori caring Watson dalam salah satu faktor Orang tua dengan bayi prematur tentunya lebih
karatifnya menyatakan bahwa perawat memiliki banyak membutuhkan hal-hal yang harus dipe-
kemampuan untuk meningkatkan sistem pem- lajari dan disiapkan dalam perawatan bayinya.
belajaran interpersonal. Perawat hendaknya Peran perawat adalah memampukan orang tua
melakukan proses pembelajaran yang menarik terutama ibu. Hal ini sesuai dengan komponen
dan sungguh-sungguh termasuk diantaranya caring yang diungkapkan oleh Arnold dan Boggs
adalah memberikan informasi pada pasien dan (2003), yaitu empowerment (pemberdayaan).
keluarganya, memberikan pengertian tentang Pemberdayaan bertujuan untuk mengurangi ke-
kesehatan, serta berbagi pengalaman dengan gagalan ibu dalam merawat bayinya di rumah
pasien dan keluarga (Alligood, 2010). Pemberian setelah bayi dipulangkan. Teori caring Swanson
informasi yang mudah dimengerti oleh keluarga (1995) dalam enabling human being menyatakan
menunjukkan sensitivitas dan penghargaan ter- bahwa perawat memfasilitasi kemampuan orang
hadap orang tua serta dapat mengurangi adanya lain untuk melakukan perawatan terhadap dirinya
kebingungan pada saat merencanakan asuhan sendiri maupun anggota keluarganya.
keperawatan dan mengetahui kondisi anaknya
(Gillespie, et al., 2012). Berdasarkan konsep Becoming a mother, pada
tahap pengenalan, proses belajar dan keberadaan
Keluarga maupun tenaga kesehatan, yaitu perawat secara fisik, ibu mulai mengenal bayinya dan
merupakan faktor yang dapat memengaruhi proses mulai belajar berbagai hal tentang bayi dan
belajar tersebut. Kemampuan perawat dalam mem- perawatannya (Hushmilo, 2013). Hal ini dapat
berikan informasi kepada ibu serta karakteristik digambarkan dalam hasil penelitian bahwa orang
ibu yang berbeda mempunyai pengaruh yang tua (ibu) berusaha untuk mengerti dan memahami
besar terhadap proses peningkatan pengetahuan kondisi bayinya serta belajar untuk merawat
terutama dalam menjalin bonding attachment dan bayi. Orang tua (ibu) mempunyai keinginan
memberikan perawatan kepada bayi prematur. untuk belajar agar dapat melakukan perawatan
Partisipan mengungkapkan bahwa perawat secara mandiri dan bayinya mencapai derajat
memberikan informasi tentang perkembangan kesehatan yang lebih optimal. Perawat mem-
bayinya, cara perawatan, pemberian nutrisi, serta fasilitasi kebutuhan orang tua tersebut dengan
kedekatan orang tua dan bayi. Karakteristik par- memberi kesempatan pada ibu untuk belajar
tisipan dengan tingkat pendidikan yang berbeda memahami bayinya dan melakukan perawatan.
memengaruhi proses peningkatan pengetahuan.
Demikian pula dengan pengalaman sebelumnya Hasil penelitian ini menggambarkan perawat
yang dimiliki oleh partisipan. telah melakukan perilaku caring dalam mening-
katkan kemampuan orang tua untuk bonding
Penelitian yang seiring dengan penelitian ini attachment maupun perawatan bayi prematur
adalah penelitian Wilkin dan Slevin (2004) yang yang diungkapkan partisipan dalam tema mampu
mengeksplorasi makna caring di ruang ICU melakukan perawatan terhadap bayinya. Perawat
(Intensive Care Unit). Hasil penelitian mengiden- mengajari orang tua (ibu) berbagai hal, seperti
tifikasi adanya beberapa tema, yaitu perasaan mengajari cara menyusui yang benar, mengajari
perawat, pengetahuan perawat, dan keterampilan cara menjalin kedekatan dengan bayi, mengajari
perawat. Pengetahuan perawat meliputi kom- perawatan metode kanguru, mengajari perawatan
petensi teknik, pengalaman pengetahuan dan bayi, serta mengajari untuk mengetahui adanya
profesionalitas, memahami pasien, merawat tanda-tanda kegawatan terhadap bayi sehingga
Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 185

orang tua merasa mampu melakukan perawatan logis dengan baik. Tindakan perawat tersebut
terhadap bayinya yang prematur. menggambarkan perilaku caring perawat dalam
melakukan pemenuhan kebutuhan dasar.
Masa transisi, kondisi bayi yang prematur, dan
lingkungan perawatan akan meningkatkan ke- Keluarga merupakan bagian terpenting dalam
khawatiran, kecemasan, dan ketakutan terhadap perawatan pasien. Anggota keluarga diharapkan
orang tua. Hal ini perlu menjadi perhatian bagi ikut bertanggung jawab dalam memenuhi
seorang perawat dalam melakukan asuhan kepe- kebutuhan pelayanan yang kompleks (Lewis,
rawatan terhadap pasien. Kondisi bayi prematur Gundwarden, & Saadawi, 2005). Watson juga
memotivasi perawat maupun orang tua untuk menjelaskan bahwa melibatkan anggota keluarga
melakukan perawatan yang optimal. Perawat dalam memotivasi pasien dan mengambil ke-
mengajarkan orang tua cara merawat bayi pre- putusan adalah suatu hal yang penting dalam
matur yang meliputi aspek pemenuhan kebutuhan perawatan (Watson & Foster, 2003).
dasar, seperti pemberian nutrisi dan menjaga
kebersihan. Selain itu, perawat juga memotivasi Keterlibatan ibu dalam perawatan juga akan
orang tua (ibu) untuk selalu menjalin kedekatan meningkatkan kemampuan ibu dalam belajar
dengan bayinya, sabar dan teliti dalam melakukan melakukan perawatan kepada bayi prematur.
merawat bayi agar bayi cepat sehat. Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak semua
perawat di ruang perawatan intensif melibatkan
Pada dimensi caring Swanson tentang maintaining ibu dalam perawatan bayinya. Ibu menyatakan
belief in, proses caring memfasilitasi pasien atau bahwa perawat melakukan perawatan bayi sendiri
orang tua untuk meningkatkan kepercayaan dan hanya melibatkan ibu saat pemberian nutrisi
diri sesuai dengan kemampuannya untuk menge- saja. Ibu lainnya menyatakan bahwa perawat
tahui arti hidupnya, lebih optimis dan teguh memfasilitasi keterlibatan ibu dalam perawatan.
pendirian (Swanson, 1995). Caring yang dilaku- Hal ini berarti bahwa perawat belum benar-
kan oleh perawat menjadikan ibu lebih termotivasi benar melibatkan ibu dalam perawatan bayi
untuk belajar dan melakukan perawatan terhadap prematur.
bayinya yang prematur.
Kehadiran orang tua (ibu) di dekat bayinya
Perilaku caring yang paling pokok dalam pem- memberikan efek yang positif terhadap perkem-
berian asuhan keperawatan adalah membantu bangan bayi prematur yang dirawat di ruang
memenuhi kebutuhan pasien dan sensitif pada NICU. Perawat selalu berusaha meminta ibu untuk
diri sendiri dan orang lain (Gillespie, et al., datang ke ruang perawatan pada setiap jam me-
2012). Hal ini juga diungkapkan oleh Watson nyusui, meskipun bayi yang sedang dirawat belum
dalam Aligood, 2010, melalui sepuluh karatif bisa disusui secara langsung dengan tujuan agar
caring yang salah satunya adalah kepuasan dalam ibu dapat lebih dekat dan menunggui bayinya.
memenuhi kebutuhan dasar manusia. Perawat Kedekatan antara orang tua dan anak dapat
selalu membantu memenuhi kebutuhan dasar terjalin melalui sentuhan, eksplorasi perasaan,
pasien. baik secara fisik maupun psikologis untuk berbicara, dan menggunakan kontak mata (White,
memberikan kenyamanan kepada pasien. Pada Duncan, & Baumle, 2011). Bonding akan semakin
penelitian ini, ibu menyatakan bahwa bayinya meningkat pada saat orang tua melakukan sen-
yang menjalani perawatan selalu dalam keadaan tuhan dan interaksi dengan bayinya (Bowden,
bersih dan rapi saat diberikan kepada ibunya. Pada Dickey, & Greenberg, 1998). Jadi ketika orang tua
waktunya minum susu, perawat juga memberikan (ibu) merasa takut melakukan kontak fisik dan
susu kepada bayi, serta memberi kesempatan komunikasi verbal dengan bayinya, kedekatan
kepada ibu untuk menyusui. Perawat juga mem- antara orang tua dan bayi juga akan mengalami
fasilitasi kedekatan ibu dengan bayinya. Hal hambatan. Hal ini tentunya juga akan berpengaruh
ini menunjukkan bahwa perawat memenuhi terhadap perkembangan bayi di masa yang akan
kebutuhan bayi, baik secara fisik maupun psiko- datang karena bonding attachment tidak dapat
186 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 181-187

terjalin dengan baik. Oleh sebab itu, keterlibatan bantu orang tua serta cepat merespons terhadap
ibu dalam perawatan merupakan hal yang sangat pasien dan keluarganya juga diungkapkan oleh
penting dalam menjalin bonding attachment. ibu.

Perawat NICU sebaiknya mendampingi orang Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa
tua saat bersama dengan bayinya, memberi secara umum para ibu merasa puas terhadap
kesempatan untuk menyentuh, memegang, dan perawatan yang diberikan di ruang NICU terutama
mendampingi bayinya lebih dekat. Hal ini me- dalam memfasilitasi kedekatan orang tua dan
rupakan tindakan yang dapat membantu orang bayinya. Menurut para ibu perawatan yang dila-
tua untuk menguatkan ikatan emosional dengan kukan di ruang NICU sudah baik, meskipun ada
bayinya (Merighi, Pinto de Jesus, Santin, & juga ibu yang mengatakan bahwa ada perawat
Oliveira, 2011). Hasil penelitian ini juga me- yang memberikan asuhan tidak sesuai dengan
nyatakan bahwa perawat memberi kesempatan harapan orang tua. Hal ini menunjukkan kepuasan
kepada ibu untuk menyentuh, memegang, berada orang tua terhadap caring yang dilakukan perawat.
di dekat bayi, mengajak berbicara bahkan menya-
nyi untuk bayinya sebagai bentuk keterlibatan Kesimpulan
ibu dalam perawatan.
Pengalaman orang tua menerima perilaku caring
Kepuasan orang tua merupakan indikator penting perawat dalam memfasilitasi bonding attachment
dalam perawatan di NICU dalam mencapai derajat bayi prematur tergambar dalam tujuh tema, yaitu
kesembuhan dan kesehatan bayi (Hawes, 2009). proses peningkatan pengetahuan, mampu mela-
Menurut Cunningham, et al., (2005), harapan kukan perawatan terhadap bayinya, respons ibu
pasien terhadap perawatan meliputi adanya staff terhadap tindakan perawatan yang diberikan,
yang kompeten, perawatan atau penanganan yang termotivasi dalam melakukan perawatan bayi
cepat, perawatan yang menyenangkan, perawatan prematur, terpenuhinya kebutuhan selama pera-
yang efektif, lama perawatan yang lebih cepat, watan, keterlibatan dalam asuhan keperawatan,
dan kesembuhan pasien lebih cepat. dan kepuasan terhadap perawatan. Rekomendasi
hasil penelitian ini adalah institusi perlu memfasi-
Berdasarkan studi kualitatif yang dilakukan oleh litasi perawat dalam menerapkan proses bonding
Harbaugh, Tomlinson, dan Kirschbaum (2004), attachment bayi prematur dengan orang tua
harapan orang tua terhadap perawat dalam mem- terutama ibu. Hasil penelitian dijadikan bahan
berikan asuhan keperawatan adalah menunjukkan masukan dalam mempersiapkan lulusan untuk
kualitas keterlibatan, pengawasan dan perlin- melatih sensitifitas kebutuhan orang tua terutama
dungan. Perilaku caring yang dilakukan perawat bayi prematur dan dapat digunakan dalam me-
termasuk memberikan informasi pada orang tua ngembangkan riset keperawatan terutama yang
dan keluarga, menghargai keunikan dari anak, berkaitan dengan perilaku caring perawat dalam
dan memberikan perawatan yang kompeten. memfasilitasi bonding attachment terhadap bayi
premature (NN, INR, AM).
Keberhasilan perawat dalam melakukan asuhan
keperawatan dapat dilihat dari kemampuan dan
kompetensi perawat dalam memberikan asuhan. Referensi
Kompetensi klinik perawat merupakan penilaian
tertinggi dari pendidikan, interpretasi, dan penga- Alligood, M.R. (2010). Nursing theory: Utilization
laman dari berbagai situasi klinik. Kompetensi and application (4th Ed.). Philadelphia: Mosby
klinik menjadi hal yang penting bagi orang tua Elsevier.
karena ada ketakutan dan kekhawatiran orangtua
Bowden, V.R., Dickey, S.B., & Greenberg, C.S.
tentang perawat yang mungkin akan menyakiti (1998). Children and their families: The
atau melukai anaknya (Gillespie, et al., 2012). continuum of care. Philadelpia: W.B. Saunders
Perawat yang tanggap dan responsif dalam mem- Company.
Ludyanti, et al., Pengalaman Orang Tua Menerima Perilaku Caring Perawat 187

Proquest database.
Boxwell, G. (2007). Neonatal intensive care
nursing. New York: Routledge. Lopez, G.L., Anderson, K.H., & Feutchinger, J.
(2012). Transition of premature infants from
Cloherty, J.P., Eichenwald, E.C., & Stark, A.R. hospital to home life. Neonatal Network, 31
(2008). Manual of neonatal care (6th Ed.). (4), 207–214.
Philadelphia: Lippincotts Williams and
Wilkins. Merighi, M.A.B., Pinto de Jesus, M.C., Santin,
K.R., & Moura de Oliveira, D. (2011). Caring
Cunningham, T.T., Carpenter, C.C., Charlip, R.B., for newborn in the presence of their parents:
Goodloe, J.L., Griffin, L.D., Maccione, N. The experience of nurses in the neonatal
Zuckerman, A.M. (2005). Patient satisfaction: intensive care unit. Rev. Latino-Am
Understanding and managing the experience Enfermagem, 19 (6), 1398–1404.
of care. Second Edition. Chicago: Irwin Press.
Potts, N.L., & Mandleco, B.L. (2012). Pediatric
Davis, L., Edwards, H., Mohay, H. & Wollin, J. nursing: Caring for children and their
(2003). “The course of depression in mothers families (3rd Ed.). New York: Delmar
of premature infants in hospital and at home”. Cengage Learning.
Australian Journal of Advance Nursing, 21
(2), 20–26. Swanson, K.M. (1995). Response to “The power of
human caring: Early recognition of patient
Gillespie, L.D., Robertson, M.C., Gillespie, problem”. Scholarly Inquiry for Nursing
W.J., Sherrington, C., Gates, S., Clemson, Practice: An International Journal, 9 (4),
L.M., & Lamb, S.E. (2012). Interventions for 319–321.
preventing falls in older people living in the
community. Cochrane Database Syst Rev., 12 Watson, J., & Foster, R. (2003). “The attending
(9), CD007146. doi: 10.1002/14651858. nurse caring model: Integrating theory,
CD007146.pub3. evidence and advanced caring–healing
therapeutics for transforming professional
Guillaume, S., Natacha, M., Amrani, E., Benier, practice”. Journal of Clinical Nursing, 12,
B., Durrmeyer, X., Lescure, S., Ceymaex, L. 360–365.
(2013). Parent’s expectations of staff in the
early bonding process with their premature White, L., Duncan, G., & Baumle, W. (2011).
babies in the intensive care setting: A Foundations of maternal and pediatric
qualitative multicenter study with 60 parents. nursing (3rd Ed.). New York: Delmar
BMC Pediatrics, 13 (18), 1–9. Cengage Learning.

Harbaugh, B.L., Tomlinson, P.S., & Kirschbaum, Wilkin, K., & Slevin, E. (2004). The meaning of
M. (2004). Parents' perceptions of nurses' caring to nurses: An investigation into the
caregiving behaviors in the pediatric intensive nature of caring work in an intensive care
care unit. Issues Comprehensive Pediatric unit. Journal of Clinical Nursing, 13 (1), 50–
Nursing, 27 (3), 163–178. doi: 10.1080/0146 59. Doi: 10.1111/j.1365-2702.2004.00814.x.
0860490497985.
Willinger, U., Diendorfer-Radner, G., Wilnauer,
Juretschke, L.J. (2007). Do parents of premature R., Jorgl, G., & Hager, V. (2005). Parenting
infants perceive neonatal nurse practitioners stress and parental bonding. Behavioral
as Caring? (Unpublished doctoral Medicine, 31 (2), 63–80.
dissertation). Loyola University Chicago.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 143-150
pISSN 1410-4490, eISSN 2354-9203

EFEKTIVITAS RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOUR THERAPY


BERDASARKAN PROFILE MULTIMODAL THERAPY PADA KLIEN
SKIZOFRENIA DENGAN MASALAH KEPERAWATAN PERILAKU
KEKERASAN DAN HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA
Retno Yuli Hastuti1*, Budi Anna Keliat2, Mustikasari2

1. STIKes Muhammadiyah Klaten, Jawa Tengah 57419, Indonesia


2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*Email: retno_yh@yahoo.co.id

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) berdasarkan profile
multimodal therapy terhadap kemampuan klien dan perubahan gejala perilaku kekerasan dan halusinasi di RS Jiwa.
Desain penelitian quasi eksperimental dengan jumlah sampel 56 responden. Sebanyak 28 responden memiliki Profile
Multimodal Therapy untuk mendapatkan REBT sebagai kelompok intervensi, 28 responden sebagai kelompok non
intervensi. Hasil penelitian ditemukan penurunan gejala perilaku kekerasan dan halusinasi lebih besar daripada yang
tidak mendapatkan REBT berdasarkan profile multimodal therapy (p< 0,05). Kemampuan kognitif, afektif dan perilaku
klien yang mendapatkan REBT berdasarkan profile multimodal therapy meningkat secara bermakna (p< 0,05) Hasil
penelitian ini efektif meningkatkan kemampuan klien kognitif, afektif dan perilaku hingga 57% dan penurunan gejala
perilaku kekerasan 48%, penurunan gejala halusinasi 47%. Profile multimodal therapy direkomendasikan sebagai
screening klien yang akan diberikan terapi spesialis dalam hal ini khususnya rational emotive behavior therapy.

Kata kunci: gejala haluasinasi; gejala perilaku kekerasan; kemampuan kognitif, afektif dan perilaku; profile
multimodal therapy; rational emotive behavior therapy

Abstract

The Effectiveness of Rational Emotive Behavior Therapy Based on Profile Multimodal Therapy for Client’s
Schizophrenia with Violence and Hallucination Nursing Diagnoses at Mental Hospital. This study aims to determine
the effectiveness of rational emotive behavior therapy (REBT) profile of multimodal therapy based on the client's ability
and changes in symptoms violent behavior and hallucinations in Psychiatric Hospital. Quasi-experimental research
design with a number of 56 respondents. 28 respondents had to get a Profile Multimodal Therapy REBT therapy as the
intervention group, 28 respondents as a group of non intervention. The research found a decrease symptom of violent
behavior and hallucinations bigger than not getting REBT based profile of multimodal therapy (p<0.05). Cognitive,
affective and behavioral clients who get REBT based profile of multimodal therapy increased significantly (p<0.05).
Results clients experience an effectively improve cognitive, affective and behavioral to 57% and reduction in symptoms
of violent behavior 48%, reduction in symptoms of hallucinations 47%. Profile multimodal therapy is recommended as
screening client will be given specialist treatment in this particular rational emotive behavior therapy

Keywords: cognitive, affective and behavioral; hallucination symptoms; profile multimodal therapy; rational emotive
behavior therapy; symptoms of violent behavior

Pendahuluan Serikat sekitar 1 dari 100 orang mengalami


skizofrenia. Departemen Kesehatan RI (2009)
Skizofrenia merupakan salah satu jenis gang- mencatat bahwa 70% gangguan jiwa terbesar
guan jiwa berat yang paling banyak ditemu- di Indonesia adalah skizofrenia. Jumlah klien
kan. Stuart (2009) menyebutkan di Amerika skizofrenia juga menempati 90% klien di ru-
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 144

mah sakit jiwa di seluruh Indonesia (Jalil, bungan dengan keadaan biokimia dan fisi-
2006). Hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional ologis tubuh (drugs). Konsep penanganan holi-
di Indonesia disebutkan bahwa prevalensi stik ini dalam psikoterapi kemudian disebut
gangguan jiwa berat (Skizofrenia) adalah sebagai multimodal therapy.
4,6 % dimana untuk jumlah yang tertinggi di
propinsi DKI Jakarta yaitu 20,3% sedangkan Putri (2010) dalam penelitiannya terhadap 28
untuk wilayah propinsi Jawa Barat klien skizofrenia yang mengalami perilaku
kekerasan menyatakan bahwa terapi Rational
mencapai 2,2% (DepKes, 2008). Melihat Emotive Behavior Therapy (REBT) mampu
banyaknya klien skizofrenia menjadi pemiki- meningkatkan kemampuan kognitif sebesar
ran perlunya meningkatkan pemahaman indi- 9,6% dan sosial 47%. REBT juga mampu
vidu tentang gangguan jiwa berat yang satu menurunkan respon emosi 43%, fisiologis
ini, agar mampu memberikan penanganan 76%, dan perilaku 47%. REBT dan CBT yang
yang tepat jika terjadi pada salah satu anggota dilakukan secara bersama-sama pada klien yang
keluarga maupun masyarakat. memiliki lebih dari satu gejala menurut
penelitian Lelono (2011) efektif menurunkan
Perilaku yang sering muncul pada klien perilaku kekerasan sebesar 61%, menurunkan
skizofrenia menurut Keliat (2006) antara lain; tanda dan gejala munculnya halusinasi sebesar
motivasi kurang (81%), isolasi sosial (72%), 52,1% dan menurunkan gejala harga diri rendah
perilaku makan dan tidur yang buruk (72%), sebesar 66,2%. Juga menunjukan hasil 74,53%
sukar menyelesaikan tugas (72%), sukar me- untuk meningkatkan kemampuan kognitif,
ngatur keuangan (72%), penampilan yang afektif dan perilaku pada klien perilaku keke-
tidak rapi/bersih (64%), lupa melakukan sesu- rasan, halusinasi dan harga diri rendah. Hal ini
atu (64%), kurang perhatian pada orang lain juga didukung oleh penelitian dari Sudiatmika
(56%), sering bertengkar (47%), bicara pada (2011) menunjukan hasil efektif menurunkan
diri sendiri (41%), dan tidak teratur makan perilaku kekerasan hingga 77% dan penurunan
obat (40%). Berdasarkan paparan diatas me- gejala halusinasi mencapai 85%. Untuk ke-
nunjukkan bahwa pada klien skizofrenia mampuan kognitif meningkat 74%, afektif
banyak ditemukan masalah yang memerlukan 76% dan perilaku 77%. Sedangkan hasil pene-
pemberian terapi yang mengacu pada konsep litian Hidayat (2011) menunjukan hasil mam-
penyembuhan secara holistik, yang tidak pu menurunkan gejala perilaku kekerasan yang
hanya mengobati aspek psikis (kognisi, afeksi terdiri atas kognitif, emosi, perilaku, sosial,
dan psikomotorik) dari klien namun juga fisiologi secara bermakna dari kategori sedang
memperhatikan aspek kesehatan fisik serta menjadi rendah dimana secara keseluruhan
kualitas lingkungan hidup disekitar klien yang terjadi penurunan sebesar 44,45%. Penelitian
memengaruhi kehidupannya. yang dilakukan para peneliti belum pernah
menambahkan dengan profile multimodal the-
Lazarus (1992) menyatakan bahwa konsep rapy dimana penambahan PMT dapat menjadi
penyembuhan penyakit didasarkan secara lebih baik guna meningkatkan kemampuan
holistik yang tidak hanya mengobati aspek klien selain menurunkan gejala perilaku.
psikis (kognisi, afeksi dan psikomotor) dari
klien saja namun juga memperhatikan tujuh Metode
aspek yang membentuk kepribadian dari
manusia, yang meliputi perilaku (behaviour), Penelitian ini adalah penelitian quasi experi-
perasaan (affect), pengindraan (sensation), mental dengan metode kuantitatif dengan
angan-angan (imagery), pikiran (cognitition), menggunakan desain penelitian “Quasi
hubungan interpersonal (interpersonal rela- Experimental Pre-Post Test with Control
tionship) dan semua faktor-faktor yang berhu- Group” dengan intervensi Rational Emotive
145 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150

Behavior Therapy (REBT) yang berdasarkan bekerja yaitu 16 orang (57,1%), sebagian besar
Profile Multimodal Therapy (REBT & PMT) tidak kawin 15 orang (53,6%). Sedangkan
dan kontrol Rational Emotive Cognitive pada kelompok kontrol jenis kelamin lebih ba-
Behavior Therapy (RECBT). Teknik pengam- nyak laki-laki 19 orang (67,9%), jenjang pen-
bilan sampel menggunakan Consecutive Sam- didikan paling banyak PT 12 orang (42,9%)
pling. Penelitian ini dilakukan untuk menge- yang meliputi D3 10 orang S1 2 orang, lebih
tahui efektivitas Rational Emotive Behavior banyak yang bekerja 16 orang (57,1%), untuk
Therapy berdasarkan profile multimodal thera- status perkawinan jumlah sama antara yang
py terhadap perubahan gejala dan kemampuan kawin dengan tidak kawin yaitu 14 orang
kognitif, afektif dan perilaku klien dengan (50%)
perilaku kekerasan dan halusinasi yang dira-
wat di ruang rawat inap Rumah Sakit Jiwa. Pengaruh REBT berdasarkan profile multimo-
dal therapy terhadap perubahan gejala pada
Responden berjumlah 56 orang yang terdiri perilaku kekerasan yang dibandingkan dengan
atas 28 orang menjadi kelompok kontrol dan hasil penelitian sebelumnya yaitu pemberian
28 orang yang memiliki profile multimodal RECBT (Sudiatmika, 2011).
therapy sebagai kelompok intervensi. Analisis
statistik yang digunakan adalah univariat, Hasil penelitian menunjukkan perubahan
bivariat dengan analisis dependen dan inde- gejala perilaku kekerasan pada klien yang
pendent sample t-Test, Chi-square dengan diberikan REBT berdasarkan profile multi-
tampilan dalam bentuk tabel dan distribusi modal therapy lebih baik dibandingkan dengan
frekuensi. hasil penelitian sebelumnya yaitu pemberian
RECBT. Uji statistik menunjukkan ada hubu-
ngan yang signifikan pemberian REBT ber-
Hasil dasarkan PMT dibandingkan dengan RECBT
Karakteristik klien dengan perilaku kekerasan (p= 0,000).
dan halusinasi dalam penelitian ini adalah pada
kelompok intervensi jenis kelamin lebih ba- Pengaruh REBT berdasarkan profile multi-
nyak laki-laki 24 orang (85,7%), jenjang modal therapy terhadap perubahan gejala pada
pendidikan paling banyak adalah PT 11 orang halusinasi yang dibandingkan dengan hasil
(39,4%) yang meliputi D3 9 orang dan S1 2 penelitian sebelumnya yaitu pemberian
orang, pada pekerjaan lebih banyak yang tidak RECBT (Sudiatmika, 2011).

Tabel 1. Perubahan gejala perilaku kekerasan klien yang diberikan REBT & PMT dengan RECBT

REBT & PMT (N= 56) RECBT (N= 60)


Gejala Kelompok Mean Mean p
Sblm Ssdh Slsih Sblm Ssdh Slsih
Kognitif Intervensi 15,25 10,29 4,96 13,87 10,53 3,34 0,000
Kontrol 15,64 12,36 3,28 14,40 12,30 2,10 0,000
Emosi Intervensi 18,68 11,25 7,43 15,83 10,77 5,06 0,000
Kontrol 18,68 15,00 3,68 14,97 13,00 1,97 0,000
Perilaku Intervensi 16,00 10,36 5,64 13,73 10,20 3,53 0,000
Kontrol 15,82 13,36 2,46 14,47 12,50 1,97 0,000
Sosial Intervensi 19,46 12,68 6,78 19,37 12,73 6,63 0,000
Kontrol 18,89 15,36 3,53 18,60 14,77 3,83 0,000
Fisiologis Intervensi 8,46 5,21 3,25 8,70 5,77 2,93 0,000
Kontrol 8,54 6,96 1,58 8,53 6,47 1,06 0,000
PK Intervensi 77,86 49,79 28,07 71,50 50,00 21,50 0,000
Kontrol 77,57 63,04 14,53 70,97 59,03 11,93 0,000
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 146

Tabel 2. Perubahan gejala halusinasi klien yang diberikan REBT & PMT dengan RECBT
REBT & PMT (N= 56) RECBT (N= 60)
Gejala Kelompok Mean Mean p
Sblm Ssdh Slsih Sblm Ssdh Slsih
Kognitif Intervensi 8,25 5,07 3,18 7,60 4,20 3,40 0,000
Kontrol 8,14 6,39 1,75 6,83 5,47 1,37 0,000
Emosi Intervensi 8,29 4,18 4,11 7,83 4,57 3,26 0,000
Kontrol 7,96 5,75 2,21 6,90 5,47 1,43 0,000
Perilaku Intervensi 7,79 4,79 3,00 7,00 4,33 2,67 0,000
Kontrol 7,57 5,86 1,71 6,43 5,57 0,86 0,000
Sosial Intervensi 7,93 4,00 3,39 7,50 4,13 3,37 0,000
Kontrol 7,64 5,57 2,07 6,97 5,63 1,33 0,000
Fisiologis Intervensi 8,39 5,71 2,68 7,97 5,90 2,07 0,000
Kontrol 8,50 7,25 1,25 7,47 6,90 0,57 0,000
Halusinasi Intervensi 40,64 23,75 16,89 37,90 23,13 14,77 0,000
Kontrol 39,82 30,82 9,00 34,60 29,03 5,57 0,000

Hasil penelitian menunjukkan perubahan Perubahan Afektif. Pada penelitian ini


gejala halusinasi pada klien yang diberikan pemberian REBT dan PMT mampu mening-
REBT berdasarkan profile multimodal therapy katkan kemampuan afektif dari 17,14 menjadi
lebih baik dibandingkan dengan hasil pene- 29,93 sedangkan pemberian RECBT mening-
litian sebelumnya yaitu pemberian RECBT. katkan kemampuan afektif dari 33,13 menjadi
Hanya gejala kognitif pada klien yang menda- 66,03 (lihat Gambar 4).
patkan RECBT lebih baik dibandingkan de-
ngan pemberian REBT dan PMT. Uji statistik
menunjukkan ada hubungan yang signifikan
pemberian REBT berdasarkan PMT diban-
dingkan dengan RECBT (p= 0,000).

Perubahan kemampuan kognitif, afektif dan


perilaku pada klien skizofrenia dengan maslah
keperawatan perilaku kekerasan dan halusinasi
setelah diberikan REBT berdasarkan profile Gambar 4. Perubahan kemampuan afektif
multimodal therapy.
Perubahan Perilaku. Pada penelitian ini pem-
Perubahan Kognitif. Pada penelitian ini pem- berian REBT dan PMT mampu mening-katkan
berian REBT dan PMT mampu mening-katkan kemampuan perilaku dari 22,32 menjadi 37,32
kemampuan kognitif dari 23,32 menjadi 41,07 sedangkan pemberian RECBT meningkatkan
sedangkan pemberian RECBT meningkatkan kemampuan perilaku dari 33,87 menjadi 66,90
kemampuan kognitif ddari 33,63 menjadi (lihat Gambar 5).
65,87 (lihat Gambar 3).

Gambar 3. Perubahan kemampuan kognitif Gambar 5. Perubahan kemampuan perilaku


147 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150

Efektifitas Terapi REBT berdasarkan Profile lah satu aspek akan memengaruhi aspek yang
Multimodal Therapy terhadap peningkatan ke- lain (Lazarus, 1992). REBT menjadi salah satu
mampuan kognitif, afektif, dan perilaku REBT pilihan terapi pada klien yang mengalami
pada klien skizofrenia dengan masalah kepera- gangguan karena kebanyakan orang di saat se-
watan perilaku kekerasan dan halusinasi de- dang ada masalah perilaku yang muncul cen-
ngan dibandingkan hasil penelitian terdahulu derung menghindari atau mengalihkan obyek
dapat dilihat efektivitas terapi REBT berda- yang menimbulkan masalah, perasaan khawa-
sarkan profile multimodal therapy dalam me- tir dan kegelisahan terus menerus, rasa bersa-
ningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan lah dan konsep diri yang bruruk yang disertai
perilaku sebesar 57%. Sedangkan penelitian dengan keyakinan-keyakinan yang salah atau
sebelumnya (Sudiatmika, 2011) RECBT mem- tidak rasional, sehingga dengan diberikan tera-
berikan hasil dapat meningkatkan kemampuan pi yang mengajarkan pada klien untuk menge-
kognitif, afektif dan perilaku sebesar 41%. nali peristiwa yang rasional dan tidak rasional
diharapkan klien akan dapat mengatasi masa-
Pembahasan lah yang muncul.

Efektifitas Terapi REBT berdasarkan Profile Efektifitas Terapi REBT berdasarkan Profile
Multimodal Therapy untuk menurunkan gejala Multimodal Therapy untuk menurunkan gejala
perilaku kekerasan sebesar 48% sedangkan halusinasi dengan dibandingkan hasil peneli-
yang diberikan RECBT mampu menurunkan tian terdahulu dapat dilihat bahwa efektivitas
gejala perilaku kekerasan sebesar 45%. Hal ini terapi REBT berdasarkan profile multimodal
menunjukan bahwa klien dengan perilaku therapy dalam menurunkan halusinasi sebesar
kekerasan dan halusinasi jika diberikan terapi 47%. Sedangkan penelitian yang dilakukan
REBT akan lebih baik yang dengan profile oleh Sudiatmika (2011) bahwa RECBT menu-
multimodal therapy dengan RECBT meskipun runkan tanda gejala halusinasi sebesar 62%.
hampir sama nilainya
Kondisi perpecahan pada pikiran, terutama
Jensen (2008) yang menyatakan bahwa res- pada persepsi klien yang mengalami skizofre-
pon-respon perilaku kekerasan mengalami pe- nia sering dikaitkan dengan halusinasi. Hal ini
rubahan yang bermakna disebabkan karena diperkuat pendapat Stuart dan Laraia (2005);
terapi REBT yang diberikan menggunakan Stuart (2009); Townsend (2009); Fontaine
pendekatan kognitif dan perilaku dengan (2009) ketika terjadi perubahan persepsi pada
mengemukakan fakta-fakta bahwa perilaku klien skizofrenia, bersamaan gangguan dalam
yang dihasilkan bukan berasal dari kejadian fungsi kognitif secara umum, ditemukan
yang dialami namun dari keyakinan-keyakinan bahwa 90% klien mengalami halusinasi dan
yang tidak rasional. REBT diberikan bertujuan delusi dimana halusinasi pendengaran diala-
untuk mengurangi keyakinan irrasional dan mi 50–80% klien dengan skizofrenia. Halusi-
menguatkan keyakinan rasional yang dapat nasi merupakan perubahan dalam jumlah dan
efektif untuk dewasa yang marah dan agresif pola stimulus yang diterima disertai dengan
(Ellis, 1997; Ellis, 2003). penurunan berlebih distorsi atau kerusakan
respon beberapa stimulus NANDA-I
REBT juga merupakan bagian dari pilihan (2009-2011). Klien dengan skizofrenia yang
terapi dalam Multimodal Therapy yang diberi- mengalami halusinasi akibat kesalahan persep-
kan dengan memperhatikan tujuh aspek pem- sinya sering kehilangan kontrol dan mengikuti
bentukan kepribadian seseorang (Lazarus, perintah dari halusinasinya yang mengaki-
1992). Multimodal Therapy melihat bahwa batkan klien berperilaku di luar kendali dan
manusia merupakan satu kesatuan yang unik melakukan perilaku kekerasan.
oleh karenanya jika adanya gangguan pada sa-
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 148

Penggunaan terapi REBT mempunyai target wa 90% klien mengalami halusinasi dan delusi
dimana bahwa pada dasarnya pola pemikiran dimana halusinasi pendengaran dialami
manusia terbentuk melalui serangkaian proses 50–80% klien dengan skizofrenia. Klien
stimulus–kognitif–respon. Peneliti sebagai te- dengan skizofrenia yang mengalami halusinasi
rapis diharapkan mampu berfungsi sebagai akibat kesalahan persepsinya sering kehi-
guru/tranier dan mengajarkan kepada klien langan kontrol dan mengikuti perintah dari
strategi pembelajaran dalam perubahan kog- halusinasinya yang mengakibatkan klien ber-
nitif yang berdampak pada afektif dan perilaku perilaku di luar kendali dan melakukan perila-
yang adaptif. Sedangkan halusinasi merupakan ku kekerasan. Perilaku ini terjadi disebabkan
salah satu gejala positif pada klien skizofrenia karena klien merasakan adanya ancaman yang
yang merupakan suatu penyakit yang meme- dipersepsikan menganggu konsep diri dan
ngaruhi otak yang menyebabkan timbulnya integritas diri.
fikiran, persepsi, emosi, gerakan dan perilaku
yang aneh dan terganggu (Videbeck, 2006; Pemberian REBT, klien dilatih untuk bisa
2008). Sehingga dapat dinyatakan bahwa ski- mengenali pikiran atau persepsi yang salah
zofrenia sebagai penyakit mental serius yang atau distorsi kognitif dari kejadian yang dira-
memengaruhi otak dengan ciri adanya perpe- sakan yang mengancam atau juga bisa dari
cahan antara pikiran, emosi dan perilaku penyebab perilaku kekerasan, malu dan rendah
sehingga klien menunjukan perilaku aneh yang diri yang dialami serta apa yang klien rasakan
dianggap tidak sesuai dengan standar di mas- dari suara-suara yang muncul, kemudian klien
yarakat. diarahkan untuk bisa menilai akibat dari keja-
dian tadi yang berdampak pada perasaan de-
Multimodal Therapy terhadap peningkatan ke- ngan mengukur menggunakan termometer
mampuan kognitif, afektif dan perilaku REBT perasaan dan dampak terhadap perilaku berupa
pada klien skizofrenia dengan masalah kepe- perilaku maladaptif yang sering muncul.
rawatan perilaku kekerasan dan halusinasi Kejadian atau peristiwa itu klien diajarkan
dengan dibandingkan hasil penelitian terda- untuk menilai kejadian berdasarkan keyakinan
hulu dapat dilihat efektivitas terapi REBT klien anggap tepat, namun keyakinan klien
berdasarkan profile multimodal therapy dalam sering sering berupa keyakinan yang tidak
meningkatkan kemampuan kognitif, afektif nyata atau berdasar opini bukan fakta-fakta
dan perilaku sebesar 57%. Sedangkan, pene- yang ada, maka klien dilatih untuk melawan
litian sebelumnya (Sudiatmika, 2011) RECBT opini-opini yang tidak nyata tadi dengan fakta-
memberikan hasil dapat meningkatkan ke- fakta yang nyata hingga klien mulai mengatasi
mampuan kognitif, afektif dan perilaku sebesar distorsi kognitifnya dan dapat berpikir rasi-
41%. onal, dimana berdampak pada perasaan nya-
man, tenang, berharga, dibutuhkan, merasa
Hasil di atas dapat terjadi karena pada klien terlindungi dan perilaku yang asertif, tidak
skizofrenia dengan perilaku kekerasan dan menyendiri, dan lainnya.
halusinasi terjadi masalah berupa gangguan
pada pengontrolan perilaku yang dapat mence- Profile Multimodal Therapy yang dimiliki
derai diri maupun orang lain. Perilaku yang klien juga dapat memberikan pengaruh
muncul pada skizofrenia dengan perilaku ke- terhadap keberhasilan REBT meningkatkan
kerasan berupa agresif dan hostile. Menurut kemampuan secara kognitif, afektif dan
Stuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009; psikomotor dari klien dikarenakan dalam
Townsend, 2005; Townsend, 2009; Fontaine, menetapkan terapi berdasarkan hasil analisis
2009) ketika terjadi perubahan persepsi pada dari tujuh aspek yang dimiliki klien yang
klien skizofrenia, bersamaan gangguan dalam dalam hal ini adalah pada behaviour, affect,
fungsi kognitif secara umum, ditemukan bah- sensation, imagery, cognition, interpersonal
149 Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 18, No. 3, November 2015, hal 143-150

relationship and drugs yang hal tersbut berada emosi, perilaku, sosial, dan fisiologis) dari
pada diri seseorang yang merupakan satu tingkat sedang ke rendah. Rational emotive
kesatuan yang unik oleh karenanya adanya behaviour therapy berdasarkan profile multi-
gangguan pada salah satu modalitas diatas modal therapy efektif meningkatkan kemam-
akan mempengaruhi modalitas yang lainnya puan klien yaitu kognitif, afektif dan perilaku
(Lazarus,1992; Dryden, David, & Ellis, dari tingkat rendah ke tingkat tinggi.
2010).
Perawat jiwa di rumah sakit diharapkan dapat
Berdasarkan paparan di atas penggunaan terapi melakukan screning klien dengan profile
REBT mempunyai target yang berdasar pada multimodal therapy guna menentukan indikasi
konsep bahwa emosi dan perilaku merupakan pemberian terapi terutama terapi keperawatan
hasil dari proses pikir yang memungkinkan spesialis dan selalu memotivasi klien serta
bagi manusia untuk memodifikasinya seperti mengevaluasi kemampuan-kemampuan yang
proses untuk mencapai cara yang berbeda telah dipelajari dan dimiliki oleh klien
dalam merasakan dan bertindak (Froggatt, sehingga latihan yang diberikan membudaya.
2005). Reaksi emosional seseorang sebagian Apabila terjadi kemunduran pada klien
besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, hendaknya perawat mengkonsultasikan per-
dan filosofi yang disadari maupun tidak kembangan kliennya yang telah mendapat
disadari. Hambatan psikologis atau emosional terapi spesialis kepada perawat spesialis yang
tersebut merupakan akibat dari cara berpikir dimiliki rumah sakit. Hasil penelitian ini dapat
yang tidak logis dan irrasional, dimana emosi digunakan sebagai evidence based pengemba-
yang menyertai individu dalam berpikir penuh ngan profile multimodal therapy guna penen-
dengan prasangka, sangat personal dan irra- tuan indikasi pemberian terapi REBT baik
sional. Menurut Ellis (2003), manusia pada pada individu maupun kelompok. Perlu pene-
dasarnya adalah unik yang memiliki kecende- litian lanjut tentang pengaruh profile multi-
rungan untuk berpikir rasional dan irrasional. modal therapy dengan terapi spesialis lainnya;
Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional pengaruh peningkatan kemampuan klien se-
manusia akan efektif, bahagia, dan memiliki telah terapi REBT terhadap penurunan gejala
kemampuan. perilaku kekerasan dan halusinasi pada klien
skizofrenia (BA, INR, MK).
Kesimpulan
Referensi
Karakterisitik dari 56 orang klien yang men-
jadi responden yang dilakukan dalam peneli- Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
tian ini rata-rata berusia 33,21 tahun dengan (2008). Riset kesehatan dasar 2007.
usia termuda 18 tahun dan tertua 55 tahun, http://www.litbang.depkes.go.id/LaporanRKD/
jenis kelamin lebih banyak laki-laki, status IndonesiaNasional.pdf.
pekerjaan adalah yang tidak bekerja, status
Dryden, W., David, D., & Ellis, A. (2010).
pendidikan paling banyak di jenjang Pergu-
Rational emotive behaviour therapy:
ruan Tinggi, status perkawinan sebagian besar Handbook of Cognitive-behavioral therapies
tidak kawin, frekuensi dirawat di rumah sakit (3rd ed). New York, US: Guilford Press.
rata-rata 2 kali. Hasil screening dari 56 klien
yang menjadi responden hanya 28 orang yang Ellis, A. (1997). REBT and its application to
dapat diberikan REBT berdasarkan profile Group Therapy, In Special Applications of
multimodal therapy. Rational emotive beha- REBT: A. therapit’s casebook, Yankura, J., and
viour therapy berdasarkan profile multimodal Dryden, W. (eds). New York: Springer
therapy efektif menurunkan gejala perilaku Publishing Company. pp 131–161.
kekerasan dan gejala halusinasi (kognitif,
Hastuti, et al., Efektivitas Rational Emotive Behaviour Therapy Berdasarkan Profile Multimodal Therapy 150

Ellis, A. (2003). Reasons why rational emotive RSMM Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).
behaviour therapy is relatively neglected in the Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
professional and scientific literature. Journal Indonesia, Jakarta.
of Rational Emotive & cognitive – behaviour
therapy, 21 (3/4), 245–252. NANDA. (2009). Nursing diagnoses: Definitions
& classification 2009-2011. Philadelphia:
Ellis, A. (2004). Why rational emotive behaviour NANDA International.
therapy is the most comprehensive and
effective from of behaviour therapy. Journal of Putri, D.W. (2010) Pengaruh rational emotive
Rational emotive behaviour therapy, 22 (2), behaviour therapy (REBT) terhadap klien
85–92. perilaku kekerasan di Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).
Fontaine, K.L. (2009). Mental health nursing (7th Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Indonesia, Jakarta.

Froggatt, W. (2005). A brief introduction to Sudiatmika, I.K. (2011). Pengaruh cognitive


rational emotive behaviour therapy (3rd Ed.). behaviour therapy dan rational emotive
Diperoleh dari www.rational.org.nz/prof- behaviour therapy pada perilaku kekerasan
docs/Intro-REBT.pdf. dan halusinasi di Rumah Sakit Marzoeki
Mahdi Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan).
Hidayat, E. (2011). Pengaruh cognitive behaviour Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
therapy dan rational emotive behaviour Indonesia, Jakarta.
therapy pada perilaku kekerasan dan harga
diri rendah di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Stuart, G.W., & Laraia, M.T. (2005). Principles
Bogor (Tesis, Tidak dipublikasikan). Fakultas and practice of psychiatric nursing (8th Ed.).
Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Missouri: Mosby, Inc.
Jakarta.
Stuart, G.W. (2009). Principles and practice of
Jalil, M. (2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi psychiatric nursing (9th Ed.). Missouri:
kekambuhan penderita skizoprenia di RSJ Mosby, Inc.
Prof. Dr. Soeroyo Magelang. (Skripsi. Tidak
dipublikasikan) Townsend, M.C. (2005). Essentials of psychiatric
mental health nursing (3rd Ed.). Philadelphia:
Jensen. (2010). Evaluating the ABC models of F.A. Davis Company.
rational emotive behaviour therapy theory: An
analysis of the relationship between irrational Townsend, M.C. (2009). Psychiatric mental health
thinking and guilt (Thesis of Science in nursing concepts of care in evidence-based
Psychology). The Faculty of Department practice (6th Ed.). Philadelphia: F.A. Davis
Psychology Villanova University, United Company.
State. ProQuest LLC.
Videbeck, S.L. (2006). Psychiatric-mental health
Keliat, B.A. (2006). Peran serta keluarga dalam nursing (4th Ed.). Philadelphia: Lippincott
perawatan klien gangguan jiwa. Jakarta: EGC. Williams & Wilkins.

Lazarus, A.A. (1992). Multimodal therapy: Videbeck, S.L. (2008). Buku ajar keperawatan
Technical eclecticism with minimal jiwa. Jakarta: EGC.
integration. New York: Basic Books.

Lelono, S.K. (2011). Efektifitas cognitive


behaviour therapy dan rational emotive
behaviour therapy terhadap klien perilaku
kekerasan, halusinasi dan harga diri rendah di

You might also like