You are on page 1of 37

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. T
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jalan Abdurrahman No.24, Penggilingan, Jakarta Timur
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Kewaarganegaraan : Indonesia
Masuk Rumah Sakit : 10 September 2018

1.2 Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 10 September 2018, pukul 11.00 WIB

a. Keluhan Utama
Mata kanan dan mata kiri sedikit merah dan terasa seperti berkabut sejak ± 4 hari
sebelum masuk Rumah Sakit.

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik mata RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan kedua mata
sedikit merah disertai penglihatan tiba-tiba seperti berkabut pada kedua matanya
sejak ± 4 hari SMRS. Pasien merasa penglihatan pada kedua matanya kabur. Pasien
juga mengeluh pandangan menjadi sedikit silau saat terpapar sinar dan sering berair.
Keluhan-keluhan tersebut dirasakan pasien terus menerus sepanjang hari. Kadang
pasien sering menggosok-gosok matanya jika merasa risih dengan penglihatan
berkabutnya. Lalu pasien memakai obat tetes mata, merah pada kedua mata pasien
berkurang, tetapi penglihatan tetap kabur. Nyeri perabaan, gatal, sakit kepala, mual,
muntah, demam, disangkal oleh pasien.

1
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mempunyai keluhan sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat
hipertensi (+), diabetes melitus (-), riwayat penyakit mata (-), pemakaian kaca
mata (-), trauma (-).

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan sama dengan pasien saat ini.

e. Riwayat Pengobatan
Selama sakit, pasien memakai obat tetes mata (insto) yang dibeli sendiri
oleh pasien. Setelah obat ini dipakai, keluhan mata merah berkurang, namun
keluhan penglihatan kabur tetap ada. Sehari-hari pasien meminum obat darah tinggi
amlodipine 5 mg sebanyak 1 kali sehari.

f. Riwayat Alergi
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca, debu.

g. Riwayat Psikososial
Pasien tinggal bersama suami dan anak pertamanya. Pasien merupakan
seorang ibu rumah tangga. Pasien juga sulit mengontrol asupan makanannya
sehingga tekanan darah pasien selalu tinggi.

1.3 Pemeriksaan Fisik


1.3.1 Status Generalisata
a. Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
b. Kesadaran : Compos Mentis
c. Tanda-tanda vital :
- Tekanan darah : 150/90 mmHg
- Nadi : 82x/menit, reguler kuat angkat
- Respirasi : 24x/menit
- Suhu : 36,8oC

2
d. Status Antopometri
- BB : 62 kg
- TB : 158 cm
- IMT : 24,84

e. Status Generalis
 Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
 Hidung : Simetris, deviasi septum (-), serumen -/-
 Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
 Telinga : Normotia, sekret -/-, perdarahan -/-
 Leher : Pembesaran KGB -/-
 Thorax :
Paru
 Inspeksi : Pergerakan dada simetris
 Palpasi : Vocal fremitus yang simetris
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Vesikular -/-, Ronki -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-).
 Abdomen :
 Inspeksi : Perut tampak datar
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : Timpani pada keempat kuadran
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 Ekstremitas :
- Atas : CRT < 2 detik, akral hangat -/-, edema -/-
- Bawah : CRT < 2 detik, akral hangat -/-, edema -/-

3
1.3.2 Status Oftalmologikus

Tabel 1.1 Status Ophtalmologi


OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
4/6 Visus 3/6
Ortoforia Kedudukan Bola Ortoforia
Mata
Baik Segala Arah Pergerakan Bola Baik Segala Arah
Mata

- Edema (-) - Edema (-)


- Hiperemis(-) - Hiperemis(-)
- Nyeri tekan (-) Palpebra Superior - Nyeri tekan (-)
- Blefarospasme (-) - Blefarospasme (-)
- Lagoftalmus (-) - Lagoftalmus (-)
- Ektropion (-) - Ektropion (-)
- Entropion (-) - Entropion (-)
- Edema (-) - Edema (-)
- Hiperemis(-) Palpebra Inferior - Hiperemis(-)
- Nyeri tekan (-) - Nyeri tekan (-)
- Ektropion (-) - Ektropion (-)
- Entropion (-) - Entropion (-)
- Injeksi silier (-), - Injeksi silier (-),
- Injeksi konjungtiva (-), Konjungtiva Tarsalis - Injeksi konjungtiva (-),
- Infiltrat (-), Superior - Infiltrat (-),
- Hiperemis (-) - Hiperemis (-)

4
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)

- Injeksi siliar (+) - Injeksi siliar (+)


- Injeksi konjungtiva(-) - Injeksi konjungtiva(-)
- Udem (- ) Konjungtiva Bulbi - Udem (- )
- Perdarahan (-) - Perdarahan (-)

- Hiperemis (-), - Hiperemis (-),


- Papil(-) Konjungtiva Tarsalis - Papil(-)
- Folikel (-) Inferior - Folikel (-)

- Keruh (+), Kornea - Keruh (+),


- Abrasi (-) - Abrasi (-)
- Sikatrik (-) - Sikatrik (-)
- Keratik presipitat (+) - Keratik presipitat (+)
- Infiltrat (+) - Infiltrat (+)
- Ulkus (-) - Ulkus (-)
- Arkus senilis (-) - Arkus senilis (-)

- Dalam normal Camera Oculi - Dalam normal


- Hifema (-), Anterior - Hifema (-),
- Hipopion (-) (COA) - Hipopion (-)
- Flare (+) - Flare (+)
- Warna coklat Iris - Warna coklat
- Kripte jelas - Kripte jelas ,
- Sinekia (+) posterior - Sinekia (+) posterior
Bulat, miosis, diameter 2 Bulat, miosis, diameter 2
mm, ireguler, refleks pupil Pupil mm, ireguler, refleks pupil
L/TL: +/+ L/TL: +/+
- Jernih - Jernih
- Dislokasi lensa (-) Lensa - Dislokasi lensa (-)

5
(a) (b)
Gambar 1.1 Okuli Pasien.
Okuli dekstra pasien (a), okuli sinistra pasien (b)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan

1.5 Resume

Ny.T, perempuan 45 tahun datang ke poliklinik mata RSIJ Pondok Kopi dengan
keluhan kedua mata sedikit merah disertai penglihatan tiba-tiba seperti berkabut dan
kabur pada kedua matanya sejak ± 4 hari SMRS. Pasien sering menggosok-gosok
matanya. Pasien memakai obat tetes mata (insto), merah pada kedua mata pasien
berkurang, tetapi penglihatan tetap kabur. Pasien memiliki riwayat hipertensi.

Pada status generalisata pasien dalam batas normal hanya saja tekanan darah
cukup tinggi yaitu 150/90 mmhg dan pasien mengkonsumsi obat amlodipine 5 mg
sekali sehari. Sedangkan untuk status oftalmologikus pasien ditemukan visus pada
okuli dekstra sebesar 4/6 dan pada okuli sinistra 3/6. Pada konjungtiva bulbi terdapat
injeksi siliar di kedua mata pasien. Didapatkan keadaan kornea yang keruh disertai
keratik presipitat dan infiltrate pada kornea kedua mata pasien. Terdapat flare pada
COA kedua mata pasien, sinekia posterior pada iris kedua mata pasien. Selain itu
pada pupil didapatkan keadaan bulat, miosis, diameter 2 mm, ireguler, refleks pupil
langsung dan tidak langsung +/+ pada kedua mata pasien.

6
1.6 Diagnosa Kerja

Uveitis Anterior ODS

1.7 Penatalaksanaan
a. Non medikamentosa
Menyarankan kepada pasien agar menghilangkan kebiasaan menggosok-
gosok mata pasien dan menghentikan penggunaan tetes mata yang dibeli pasien
sendiri serta menggunakan obat yang sudah diresepkan secara teratur.

b. Medikamentosa
- Polydex eyedrops, 6 dd gtt 1 ODS
- Cendo tropin eyedrops 5 ml, 4 dd gtt 1 ODS
- Metilprednisolon 8mg 3x1 p.o
- Amlodipine 5 mg, 1x1 p.o

1.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungtionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Bonam

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Uvea


Lapis vaskular di dalam bola mata yang terdiri atas bagian anterior (iris,
badan siliar) dan posterior (koroid). Berada diantara sklera dan retina.
Perdarahan uvea dibedakan antara bagian anterior yang diperdarahi oleh 2
buah arteri siliar posterior longus yang masuk menembus sclera di temporal dan
nasal dekat tempat masuk saraf optik dan 7 buah arteri siliar anterior yang terdapat
pada 2 otot superior, medial, inferior, dan 1 pada otot rektus lateral. Arteri siliar
anterior dan posterior ini bergabung menjadi satu membentuk arteri sirkularis
mayor pada badan siliar. Sementara uvea bagian posterior mendapat perdarahan
dari 15-20 buah arteri siliar posterior brevis yang menembus sclera di sekitar
tempat masuk saraf optik. Untuk persarafan uvea didapatkan dari ganglion siliar
yang terletak antara bola mata dengan otot rektus lateral, 1 cm di depan foramen
optik yang menerima 3 akar saraf di bagian posterior yaitu saraf sensoris, saraf
simpatis, dan akar saraf motorik.1

2.1.1 Iris
Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan stromal mesodermal anterior dan
lapisan epitel pigmen epidermal. Lapisan posteriornya melindungi mata
terhadap insiden yang berlebihan. Permukaan anterior lensa dan lapisan
berpigmen sangat berdekatan satu sama lain sehingga dapat dengan mudah
membentuk peradangan.2
Pada iris tedapat bagian pupil dan bagian tepi siliar. Reaksi puil ini
merupakan juga indikator untuk fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis
(miosis pupil). Iris mempunyai kemampuan untk mengatur secara otomaid
masuknya sinar ke dalam bola mata.1
Warna iris bervariasi pada masing-masing individu sesuai dengan
kandungan melanin dari melanosit dan sel pigmen di bagian bawah dan sisa
lapisan epitel. Mata dengan kandungan melanin yang tinggi berwarna coklat

8
gelap, sedangkan mata dengan sedikit melanin berwarna biru pekat.Suku
Kaukasian memiliki mata berwarna biru karena lapisan berpigmen hanya
berkembang secara bertahap selama tahun pertama kehidupan. Bahkan pada
albino, mata memiliki warna keabu-abuan karena penyebab dari defisiensi
melanin.2

2.1.2 Badan Siliar (Corps Cilliaris)

Badan siliar adalah struktur yang berbentuk penampangnya mirip segitiga


dengan apeks mengarah posterior ke ora serata dan memanjang ke depan dari
ujung anterior koroid ke akar iris dengan panjang sekitar 6 mm.3

Badan Siliar merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem


eksresi di belakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang
sampai koroid terdiri atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris. 1

Didalam badan siliar terdapat tiga lapisan otot, yaitu longitudinal, radier
dan sirkular. Fungsi serat sirkuler adalah untuk berkontraksi dan berelaksasi
serabut-serabut zonular, yang berasal dari lembah antara proses ciliary. Hal ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa, memberikan fokus lensa yang variabel
untuk objek dekat ataupun jauh di bidang visual (daya akomodasi). Serabut otot
longitudinal masuk ke dalam trabekular meshwork untuk ikut mempengaruhi
ukuran pori sehingga berperan pada pembuangan humor akuos. Selain itu,
badan siliar dilapisi oeh dua lapisan sel epitel, yaitu epitel non pigmented dan
epitel pigmented.3

Fungsi utama badan siliar adalah pembentukan humor akuos dan


akomodasi lensa, serta pembuangan akuos humor melalui jalur trabecular dan
uveosekral.3

2.1.3 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea. Koroid tersusun dari tiga lapisan
pembuluh darah koroid, besar, sedang dan kecil. Semakin ke dalam letak
pembuluh di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Koroid di sebelah dalam

9
dibatasi oleh membrana Bruch dan di sebelah luar dibatasi oleh sklera. Khoroid
melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid
bersambung dengan badan siliar. Fungsi dari koroid mengatur suhu dan
persediaan makanan untuk lapisan luar dari retina.2

Gambar 2.1 Anatomi Uvea4

Fungsi dari uvea antara lain sebagai regulasi sinar ke retina, imunologi
(bagian yang berperan dalam hal ini adalah koroid), produksi akuos humor oleh
korpus siliaris, nutrisi, filtrasi.2

2.2 Definisi Uveitis

Uveitis adalah inflamasi atau keradangan pada traktus uvea. Saat ini istilah uveitis
digunakan juga untuk menggambarkan berbagai macam inflamasi intraokuler yang
mengenai traktus uvea (iris, badan siliar, dan koroid), serta retina dan pembuluh
darah retina.3

2.3 Epidemiologi Uveitis

Di Amerika Serikat, uveitis merupakan 10% penyebab kebutaan, dengan angka


kejadian 15 kasus baru setiap 100.000 orang/tahun. Insiden paling rendah pada
kelompok pediatrik (prevalensi 30/100.000) dan tertinggi pada umur lebih dari 65
tahun (prevalensi 151,3/100.000). penderita perempuan sedikit lebih tinggi daripada

10
laki-laki. Paling banyak mengenai segmen anterior kemudian diikuti oleh panuveitis,
uveitis intermediate dan terakhir uveitis posterior. Penyebab idiopatik merupakan
penyebab terbanyak dari uveitis anterior, sedangkan infeksius merupakan penyebab
terbanyak uveitis posterior. Insidens uveitis di Indonesia belum ada data yang
akurat.3

2.4 Klasifikasi Uveitis


Klasifikasi uveitis berdasarkan Standardization of Uveitis Nomenclatur (SUN)
Working Group Tahun 2005.3
a. Berdasarkan Anatomi
Tabel 2.1 Klasifikasi Anatomi3
Tipe Tempat Utama Penyakit
Inflamasi
Uveitis Anterior Bilik Mata Depan Iritis
Iridosiklitis
Siklitis Anterior

Uveitis Intermediet Vitreus Pars Planitis


Siklitis Posterior
Hialitis

Uveitis Posterior Retina dan Koroid Koroiditis Fokal, Multifokal


atau difus
Korioretinitis
Retinokoroiditis
Retinitis
Neuroretinitis

Panuveitis Bilik mata depan, vitreus,


dan retina atau koroid

11
b. Berdasarkan Perjalanan Klinis
Tabel 2.2 Klasifikasi Perjalanan Klinis3

Tipe Keterangan

Akut Karakteristik Episodenya: onset tiba-tiba, durasi ≤


3 bulan.

Kronik Uveitis persisten dengan relaps < 3 bulan setelah


terapi dihentikan.

Rekuren Episode berulang, dengan periode inaktivasi tanpa


terapi ≥ 3 bulan.

c. Berdasarkan Etiologi3

- Infeksius :

T.gondii, T.pallidum, HSV, Histoplasma capsulatum, Pneumocystischoroiditis,


Pneumocytis jirovecii, Cryptococcal choroiditis , Candida, dan Coccidioidomycosis.

- Non-infeksius : penyakit autoimun atau neoplasma di organ lain.

d. Berdasarkan Histologi3
1. Granulomatosa, umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organisme penyebab.
2. Non-granulomatosa, umumnya tidak ditemukan organisme patogen dan berespon
baik terhadap terapi kortikosteroid sehingga diduga peradangan ini merupakan
fenomena hipersensifitas.

2.5 Patofisiologi Uveitis


a. Respon Imun Bilik Mata Depan dan Uvea Anterior
Bilik mata depan merupakan suatu ruangan yang berisi cairan humor akuos serta
merupakan tempat untuk komunikasi interseluler dari sitokin, sel-sel imun, serta
merupakan tempat sel-sel jaringan iris, badan siliar, dan endotel kornea. Dalam

12
keadaan normal, humor akuos dapat mempengaruhi proses imunologi di dalam mata.
Iris dan badan siliar mengandung banyak sekali makrofag dan sel-sel dendritik yang
bertindak sebagai Antigen Presenting Cells (APCs) dan mungkin sebagai sel-sel
efektor. Di dalam mata tidak terdapat saluran limfa sehinga pembersihan bahan terlarut
tergantung pada saluran pembuangan humor akuos. Demikian juga pembersihan
partikel-partikel akibat proses inflamasi tergantung pada endositosis sel-sel
endothelial trabecular meshwork atau sel-sel makrofag.3

b. Sistem Imunoregulator
Pada saat antigen masuk ke dalam bilik mata depan maka dimulai fase aferen,
yaitu ketika makrofag spesifik yang berada di iris mengenali antigen tersebut lalu
mengambilnya. Fungsi APC makrofag yang ada di uvea tersebut dapat diubah fungsinya
oleh sitokin modulator yaitu TGF- β2 yang dalam keadaan normal berada dalam humor
akuos dan uvea. TGF- β2 menstimulasi makrofag okuler, keluar melalui trabecular
meshwork dn canal Schlemm lalu memasuki vena di sirkulasi tubuh untuk kemudian
migrasi ke lien. Di dalam lien, signal antigen diproses yang diaktivasi oleh limfosit T-
helper, limfosit B, dan limfosit T-regulator. Sel-sel CD8 regulator bertugas menguvah
CD4 limfoit T-helper agar merespon di dalam lien dan mengatur CD4 limfosit T untuk
merespon terhadap imunisasi antigen spesifik di seluruh tubuh.3

2.6 Diagnosis Uveitis

2.6.1 Anamnesis dan pemeriksaan mata

Merupakan hal yang bernilai tinggi dalam menentukan diagnosis klinis


kelainan mata. Klasifikasi uveitis yang disusun oleh SUN sangat membantu
menegakkan diagnosis uveitis. Pada klasifikasi tersebut, uveitis dibagi menjadi
uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior, dan panuveitis. Gejala uveitis
anterior dapat berupa nyeri, fotofobia, penglihatan kabur, injeksi siliar, dan
hipopion. Uveitis posterior dapat menurunkan tajam penglihatan namun tidak
disertai nyeri, mata merah, dan fotofobia bahkan sering asimtomatik. Gejala uveitis
intermediet umumnya ringan, mata tenang dan tidak nyeri namun dapat
menurunkan tajam penglihatan. Panuveitis merupakan peradangan seluruh uvea

13
yang menimbulkan koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior. Dalam menegakkan
diagnosis, perlu diperhatikan apakah uveitis terjadi di satu mata atau di kedua mata.
Selain itu, perlu diperhatikan usia, ras, onset, durasi, tingkat keparahan gejala,
riwayat penyakit mata dan penyakit sistemik sebelumnya.

2.6.2 Pemeriksaan penunjang4

a. Slit-lamp

Digunakan untuk menilai segmen anterior karena dapat memperlihatkan


injeksi siliar dan episklera, skleritis, edema kornea, presipitat keratik, bentuk dan
jumlah sel di bilik mata, hipopion serta kekeruhan lensa. Pemeriksaan
oftalmoskop indirek ditujukan untuk menilai kelainan di segmen posterior
seperti vitritis, retinitis, perdarahan retina, koroiditis dan kelainan papil nervus
optik.

b. Pemeriksaan laboratorium
Bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer lengkap, laju
endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody. Pemeriksaan
laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu misalnya uveitis ringan dan
trauma. Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat dilakukan pemeriksaan PCR,
kultur dan tes serologi. Sensitivitas serologi akan meningkat bila disertai
pemeriksaan koefisien goldmann-witmer yaitu membandingkan konsentrasi
hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi darah.

Diagnosis pasti toksoplasmosis ditegakkan jika pemeriksaan IgM


Toxoplasma memberikan hasil positif atau jika titer antibodi IgG Toxoplasma
meningkat secara bermakna (4x lipat) atau terjadi konversi IgG dari negatif ke
positif pada pemeriksaan kedua dengan interval 2-3 minggu. Pemeriksaan cairan
intraokular dengan PCR sangat spesifik. Perbandingan kadar IgG Toxoplasma
cairan akuos dan serum cukup sensitif (48–90%). Diagnosis tuberkulosis okular
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan mata, dan pemeriksaan
penunjang seperti rontgen toraks, tes tuberkulin, dan pemeriksaan sputum

14
dengan pewarnaan ziehl-neelsen. Pemeriksaan lainnya adalah PCR
(menggunakan spesimen dari aqueous tap atau biopsi vitreus), dan interferon-
gamma release assay (IGRA). PCR sangat spesifik untuk mendeteksi
Mycobacterium namun sensitivitasnya bervariasi. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan ditemukannya Mycobacterium dari spesimen
okular (kultur atau amplifikasi DNA).

c. Optical coherence tomography (OCT)


Merupakan pemeriksaan non-invasif yang dapat memperlihatkan edema
makula, membran epiretina, dan sindrom traksi vitreomakula. Saat ini telah
dikembangkan high-definition spectral-domain OCT yang memberikan resolusi
lebih tinggi dan waktu lebih singkat dibandingkan time-domain OCT. Spectral-
domain OCT bermanfaat pada uveitis dengan media keruh.

d. USG B-scan
Sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada keadaan media
keruh misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat membedakan ablasio
retinae eksudatif dengan regmatosa serta membedakan uveitis akibat neoplasma
atau abses. USG B-scan dapat menilai penebalan koroid seperti pada sindrom
VKH dan menilai pelebaran ruang tenon yang sangat khas pada skleritis posterior.

e. Fundus fluoresen angiografi (FFA)


Merupakan fotografi fundus yang dilakukan berurutan dengan cepat setelah
injeksi zat warna natrium fluoresen (FNa) intravena. FFA memberikan informasi
mengenai sirkulasi pembuluh darah retina dan koroid, detail epitel pigmen retina
dan sirkulasi retina serta menilai integritas pembuluh darah saat fluoresen
bersirkulasi di koroid dan retina. Fluoresen diekskresi dalam 24 jam dan pada
waktu tersebut dapat menyebabkan urin pasien berwarna oranye.

Sebanyak 5 ml fluoresen 10% disuntikkan intravena kemudian mata pasien


disinari cahaya biru dan fundus dilihat melalui filter kuning. Pada keadaan normal,
fluoresen cahaya biru tidak dapat menembus filter kuning sehingga tidak terlihat
apapun. Fluoresen di dalam pembuluh koroid dan retina akan menyerap sinar biru

15
dan memancarkan sinar kuning sehingga sinar kuning akan melewati filter dan
tervisualisasi. Hanya jaringan mengandung fluoresen yang dapat dilihat. Pada
keadaan normal, fluoresen tidak dapat melewati tight cellular junctions yaitu
endotel pembuluh darah retina dan epitel pigmen retina sedangkan di sirkulasi
koroid, fluoresen bebas keluar melalui kapiler koroid menuju membran bruch.
FFA dapat menggambarkan keadaan sawar darah-retina dan setiap kebocoran
fluoresen ke retina merupakan kondisi abnormal. Kapiler di prosesus siliaris
bersifat permeabel sehingga fluoresen segera terlihat di akuos setelah injeksi
intravena. Fluoresen di akuos dan vitreus memancarkan sinar kuning yang
merefleksikan struktur berwarna putih di dalam mata seperti diskus optik, serat
bermielin, dan eksudat kasar, sehingga struktur tersebut tampak seolah-olah
berfluoresensi (pseudofluoresen).

Dalam keadaan normal fluoresen memerlukan waktu 10-15 detik untuk


mencapai arteri siliaris brevis. Sirkulasi koroid terjadi satu detik lebih awal
sebelum sirkulasi retina dan fluoresen berada di sirkulasi retina selama 15-20
detik. FFA dibagi menjadi lima fase:

1. Fase koroid
Fluoresen masuk melalui arteri siliaris brevis dan mengisi lobus-lobus di
kapiler koroid yang akan terlihat sebagai gambaran bercak-bercak, diikuti
pengisian dan keluarnya fluoresen dari kapiler koroid kapilaris yang memberikan
gambaran kebocoran fluoresen difus. Pembuluh darah silioretina dan kapiler
diskus optik prelaminar terisi pada fase ini.

2. Fase arteri
Pengisian arteri retina sentral terjadi satu detik setelah pengisian koroid.

3. Fase kapilaris
Fase kapiler terjadi dengan cepat setelah fase arteri. Jaringan kapiler
perifovea terlihat sangat mencolok karena sirkulasi koroid di bawahnya
tersamarkan oleh pigmen luteal di retina dan pigmen melanin di epitel pigmen
retina. Bagian tengah cincin kapiler merupakan zona avaskular fovea sehingga
tidak ada fluoresen yang mencapai daerah tersebut.

16
4. Fase vena
Pada pengisian awal vena, fluoresen tampak sebagai garis halus yang
menghilang setelah seluruh vena terisi.

5. Fase akhir
Setelah 10-15 menit, hanya sebagian kecil fluoresen yang tersisa di
sirkulasi darah. Fluoresen yang telah meninggalkan sirkulasi menuju ke struktur
okular tampak jelas pada fase ini.

Pada uveitis, pemeriksaan FFA bermanfaat mendokumentasikan fundus saat


awal dan selama perjalanan penyakit, mengikuti respons terapi, membedakan
uveitis aktif atau tidak aktif, mengonfirmasi kelainan yang terjadi seperti edema
makula sistoid, neovaskularisasi koroid, vaskulitis retina, mengidentifikasi daerah
kapiler non-perfusi dan neovaskularisasi retina.

Pewarnaan dan kebocoran fluoresen dari pembuluh darah retina (arteri, vena,
kapiler) fokal atau difus menunjukkan vaskulitis yang dapat terjadi pada
tuberkulosis, sarkoidosis, lupus eritematosus, penyakit behcet, dan lain-lain.

Efek samping FFA adalah perubahan warna kulit yang menjadi lebih gelap
akibat zat warna fluoresen, melihat bayangan merah setelah terpapar kilatan
cahaya kamera, perubahan warna urin, mual dan muntah pada 10% kasus yang
umumnya bersifat sementara dan tidak dibutuhkan tatalaksana khusus. Selain itu
dapat terjadi vasovagal syncope pada 1% kasus, reaksi anafilaksis seperti
bronkospasme, urtikaria, hipotensi (<1% kasus), henti jantung dan henti napas
(<0,01% kasus) yang memerlukan resusitasi jantung paru. Vasovagal syncope
umumnya tidak memerlukan terapi namun jika terjadi bradikardia berat diberikan
atropin intravena. Untuk mengatasi anafilaksis, diberikan klorfeniramin 10mg IV,
hidrokortison 100mg IV, dan oksigen sedangkan untuk hipotensi dan
bronkospasme diberikan adrenalin 1:1000 sebanyak 1ml IM.

17
2.7 Uveitis Anterior

2.7.1 Definisi

Merupakan peradangan pada traktus uvea, bilik mata depan merupakan tempat
utama terjadinya inflamasi. Disamping itu, juga disertai dengan inflamasi pada iris dan
badan siliar serta struktur disekitarnya yang meliputi kornea dan sklera. 3
Adapun penyakitnya meliputi :
- Iritis : inflamasi mengenai bilik mata depan dan iris
- Iridosilitis : inflamasi mengenai iris dan badan siliar
- Anterior siliklitis : inflamasi mengenai badan siliar bagian anterior
- Sklerouveitis : inflamasi mengenai traktus uvea dan sklera.

2.7.2 Epidemiologi
Iritis adalah yang paling banyak terjadi pada uveitis.3

2.7.3 Gejala Klinis


a. Uveitis Anterior Akut

- Keluhan :

1. Mata merah

Sebagai akibat adanya injeksi siliar oleh karena adanya inflamasi di daerah
iris dan atau badan siliar.

2. Nyeri
Akibat inflamasi akut pada daerah iris pada iritis akut atau dari glaukoma
sekunder atau bisa karena inervasi saraf trigeminus.
3. Fotofobia
Adanya cahaya akan merangsang spasme dari iris dan badan siliar yang
sedang dalam keadaan inflamasi.
4. Epifora
Mengeluarkan airmata yang berlebihan karena inflamasi yang mengenai
perifer kornea, iris dan badan siliar.

18
5. Penglihatan menurun
Sebagai akibat adanya kekeruhan pada aksis visual akibat penumpukan
sel-sel inflamasi, fibrin, dan protein di bilik mata depan serta adanya keratic
precipitate (KPs) di endotel kornea.

- Pemeriksaan Fisik :

1. Tajam penglihatan menurun

Karena adanya kekeruhan di media refraksi baik itu di kornea, bilik mata
depan, dan di pupil.

2. Hiperemi perikornea/injeksi siliar


Akibat adanya inflamasi di iris dan badan siliar yang menyebabkan
terjadinya vasodilatasi pembuluh darah yang mensuplai struktur tersebut.
3. Pupil miosis
Sebagai akibat spasme iris dan badan siliar.
4. Endotel kornea kotor dan Keratic Precipitates (KPs)
Adanya tumpukan sel-sel radang di bilik mata depan yang melekat di
endotel kornea menyebabkan gangguan pada endotel kornea sehingga menjadi
seperti berdebu atau kotor.
5. Aqueous cells
Sel adalah kumpulan sel-sel radang yang berada di bilik mata depan.
Apabila sel radang ini sangat banyak, akan mengedap dibawah bilik mata
depan membentuk hipopion. Adanya hipopion menandakan uveitis yang berat.
6. Aqueous flare
Flare adalah protein plasma yang berada di bilik mata depan sebagai
akibat terjadinya kerusakan di blood-aqueous barrier, sehingga protein plasm
keluar dari pembuluh darah.
7. Eksudat fibrin di BMD
Reaksi inflamasi menyebabkan terbentuknya fibrin di bilik mata depan
yang apabila menumpuk dapat menyebabkan timbulnya sinekia maupun
seklusio dan oklusio pupil.

19
8. Sinekia anterior dan posterior
Sinekia adalah perlekatan antara iris dengan kapsul lensa (sinekia
posterior) atau perlekatan iris dengan kornea di dekat sudut bilik mata depan
(peripheral anterior synechiae/PAS). Sinekia terjadi akibat adanya reaksi
inflamasi yang kemudian terjadi
9. Penurunan tekanan intraokuli.

Gambar 2.2. Gejala Klinis Anterior Uveitis.


Injeksi Siliar (A), miosis (B), penggumpalan endothelial akibat sel (KPs)
(C), aqueous flare (D), eksudat firinous (E), hipopion (F).4

Untuk menilai atau membuat gradasi sel atau flare di bilik mata depan
dilakukan menggunakan slitlamp biomikroskop dengan cara menggunakan celah
lampu dengan panjang 2 mm dan lebar 1 mm dengan intensitas cahaya lampu

20
maksimal dan pembesaran maksimal yang ada. Sel tampak seperti titik putoh yang
melayang-layang di bilik mata depan.

Table 2.3 Gradasi sel di BMD4

Nilai Jumlah sel di BMD

0 <1

0,5 + 1-5

1+ 6-15

2+ 16-25

3+ 26-50

4+ >50

Table 2.4 Gradasi flare di BMD4

Nilai Deskripsi

0 Tidak ada flare

1+ Flare terlihat sedikit

2+ Moderate (flare terlihat, namun detail iris dan lensa masih terlihat jelas)

3+ Marked (flare terlihat jelas, detail iris dan lensa telihat samar-samar/ kabur)

4+ Intens (tampak eksudat, iris dan lensa tidak terlihat

21
b.Uveitis Anterior Kronik

Lebih jarang apabia dibandingkan dengan tipe akut. Biasanya ditandai


dengan keradangan yang menetap dan mudah kambuh dalam waktu kurang dari 3
bulan sesudah pennghentian pengobatan. 3

- Keluhan :

Pada umumnya tampak lebih tenang dibandingkan dengan uveitis akut.


Banyak penderita tidak mempunyai keluhan sampai dengan penyakitnya terus
berkembang, dan mulai mengeluh penglihatannya menurun akibat timbul
berbagai komplikasi seperti katarak.

- Pemeriksaan fisik :
1. Mata merah
Pada ummnya mata tidak terlalu merah atau kadang-kadang sedikit
kemerahan selama periode kekambuhan akibat proses inflamasi.
2. Flare dan sel di BMD
Pada uveitis kronis, flare lebih tampak jelas dibandingkan dengan sel pada
mata dengan proses inflamasi yang lama. Sedangkan sel didapatkan dalam gradasi
yang bervariasi, namun proses inflamasi yang lama ini sering tidak dirasakan oleh
penderita.
3. Keratic Precipitates (KPS)
Kumpulan dari deposit sel-sel yang menempel pada endotel kornea, yang
tersusun dari sel-sel epiteloid, limfosit, dan polimorfonuklear.
4. Iris nodul
Khas terjadi pada penyakit granulomatous. Biasanya ada 2 jenis iris nodul
yaitu koeppe nodules (berada di tepi iris) dan busaca nodules (di stroma iris).
5. Iris bombans
Yaitu iris yang menggelembung. Terjadi karena adanya sinekia posterior
yang mengenai seluruh kuadran pupil dan akhirnya terjadi blok pupil. Akibatnya
iris akan terdorong oleh aliran humor akuos sehingga menggelembung. Bila
dibiarkan terus menerus akan berakibat timbulnya glaucoma sekunder.

22
Gambar 2.3. Tanda-tanda Uveitis Pada Segmen Anterior. (a) Sinekia posterior iris
menempel pada lensa, (b) sinekia anterior, (c) iris nodul “Busaca nodules”, (d) Iris
nodul “koppe nodules”. 3

2.6.7 Penatalaksanaan Uveitis Anterior

a. Midriatikum3

Tujuannya adalah untuk membuat merasa nyaman, melepaskan sinekia


posterior, dan mencegah timbulnya sinekia posterior.

- Jangka waktu efek terapinya pendek :

1. Topicamide 0,5% dan 1%, durasi 6 jam

2. Cylopentolate 0,5% dan 1%, durasi 2 jam

3. Phenylephrine 2,5% dan 10%, durasi 3 jam

- Jangka waktu efek terapinya panjang

1. Homatropine 2%, durasi lebih dari 2 hari

23
2. Atropine 1%, durasi lebih dari 2 minggu.

b. Kortikosteroid3
Merupakan terapi utama uveitis anterior.
 Indikasi :
1. Pengobatan inflamasi yang masih aktif
2. Mencegah atau mengobati komplikasi seperti cystoid macular edema (CME)
3. Menurunkan atau mencegah infiltrasi ke koroid, retina dan saraf optik

 Kortikosteroid topikal
1. Prednison acetate 1%
2. Fluorometholone 0,1%
3. Dexamethasone phosphate 0,1%
4. Difluprednate 0,05%
Pada kasus uveitis anterior akut dengan gejala yang hebat dapat diberikan
1 tetes setiap 1 menit selama 5 menit pertama pada tiap jam. Diturunkan perlahan-
lahan hingga dilanjutkan sehari 4 kali sampai 1 tetes sehari dalam waktu beberapa
minggu. Pemberian salep sebaiknya saat malam hari sebelum tidur oleh karena
menyebabkan buram dan kurang nyaman.3
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari pemberian kortikosteroid topical
adalah berupa peningkatan tekanan intraokuli, katarak, gangguan pada kornea, dan
efek sistemik. 3

 Kortikosteroid periokuler
Pemberiannya melalui injeksi periokuler dapat dilakukan melalui injeksi
sub-Tenon posterior atau injeksi transeptal ineferior.
Indikasinya adalah :
1. Uveitis anterior yang tidak memberikan respon dengan kotikosteroid topical.
2. Uveitis anterior yang disertai komplikasi berupa CME atau uveitis posterior.
3. Uveitis anterior yang harus diberikan melalui sistemik namun tidak
memungkinkan diberikan melalui sistemik.
4. Mata dengan uveitis saat dilakukan pembedahan.
Jenis-jenisnya adalah :

24
1. Triamcinolon acetonide 40 mg
2. Methylprednisolone acetate 40-80 mg
Dilakukan setiap 1-2 minggu sebanyak 2-4 kali injeksi. Bila dilakukan
pada pasien rawat jalan setelah dilakukan injeksi ditunggu selama 2 jam. Jika tidak
terlihat adanya komplikasi berupa ptosis, paresis muskulus ekstraokuli, kerusakan
saraf optik, maka diperbolehkan pulang. 3

 Kortikosteroid sistemik3
Diberikan secara oral ataupun intravena, dengan indikasi :
1. Uveitis yang mengancam penglihatan, yang dengan pemberian kortikosteroid
topical ataupun periokuler tidak memberikan respon.
2. Uveitis yang disertai dengan penyakit sistemik, yang memerlukan pengobatan
kortikosteroid sistemik.
Jenis kortikosteroid sistemik :
Oral :
1. Prednison 1-2 mg/kg/hari
2. Methylprednisolone 2-60 mg/hari.
Injeksi :
1. Methylprednisolone 1 g/hari.

c. Immune Modulators Therapy (IMT)3


Cara kerjanya adalah membunuh bakteri dengan cepat melalui
pembelahan limfosit yang bertanggung jawab terhadap reaksi inflamasi.

Indikasi :

3. Uveitis/ inflamasi intraokuler yang mengancam penglihatan.


4. Ada kekambuhan dari proses penyakitnya.
5. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi kortikosteroid
6. Kontraindikasi pemberian kortikosteroid.

Beberapa golongannya adalah :


1. Antimetabolies

25
- Azathioprine dengan dosis awal 1 mg/kg/hari (tablet 50 mg)
- Methotrexate, 7,5-10 mg/minggu
- Mycophenolate, dosis 1 g, 2x/hari
2. Inhibitors of T-cell signalling
- Siklosporin, dosis awal 5 mg/kg/hari, 1x/hari
- Takrolimus, dosis 0,1-0,15/kg/hari.
3. Alkylating agents
- Siklofospamid, dosis 2 mg/kg/hari
- Klorambusil, 0,1-0,2 mg/kg
4. Biologic respons modifier
- Anti-tumour necrotic factor α : inflizimab, adalimumab
- IL-2 receptor antagonis : daclizumab

2.8 Uveitis intermediet


a. Definisi
Menurut SUN Working Group, uveitis intermediet adalah uveitis yang
inflamasinya terutama terjadi di vitreus dan retina perifer. Merupakan penyakit yang
insidious, kronis dan sering mengalami kekambuhan. Ditandai dengan inflamasi
okuler yang terkonsentrasi di vitreus anterior dan yang berdekatan dengan badan
siliar serta retina peripheral-pars plana complex.3

b. Gejala klinis3
 Keluhan
Awalnya unilateral lalu bisa menjadi bilateral yang derajat keparahannya berbeda
antara mata kiri dan mata kanan.
1. Foaters
Penderita mengeluh melihat bentukan seperti bintik-bintik hitam kecil atau
sedang yang melayang-layang pada area penglihatannya saat matanya
digerakkan. Ini disebabkan karena adanya inflamasi yang terjadi di vitreus,
retina dan koroid.
2. Penglihatan kabur

26
Pada kasus penurunan penglihatan berat yang terjadi secara mendadak,
biasanya diakibatkan oleh perdarahan korpus vitreus.

 Tanda klinis
1. Segmen anterior
Pada pars planitis tampak tanda-tanda uveitis anterior ringan yang ditandai
dengan adanya KPs yang kadang-kadang menyebar bentuk linier di inferior
kornea.
2. Korpus vitreus
Terdapat sel-sel radang di vitreus, terdapat juga vitreous snowball yaitu
sel-sel radang yang berkumpul di vitreus yang berwarna putih kekuningan.
3. Segmen posterior
Perifeblitis dibagian peifer dan perivascular sheating. Edema papil
kadang-kadang ditemukan terutama pada pasien muda.
Uveitis intermediet kronis akan dapat berbentuk cyclitic membrane, secondary
ciliary body detachment dan hypotoni.

c. Penatalaksanaan
Karena sering berkaitan dengan penyakit sistemik maka tahap pertama adalah
menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit infeksi (missal : Lyme disease) atau
keganasan (misal : intraocular lymphoma). Tahap kedua adalah menentukan
penobatan yang diperlukan. Kadang-kadang uveiis intermediate dengan visus yang
baik masih belum memerlukan pengobatan, namun harus tetap dievaluasi perjalanan
penyakitnya, apakah membaik, tetap, atau justru memburuk. Penanganannya adalah
dengan obat-obatan atau pembedahan.3
1. Terapi medikamentosa
 Kortikosteroid
a. Injeksi triamcinolone 40 mg
b. Prednison 0,5-1,0 mg/kg/hari
 Pemberian IMT
Diberikasn siklosporin, atau dapat juga diberikan azathioprine,
methotrexate, dan siklofospamid.

27
2. Pembedahan
 Virektomi
Sanagat baik untuk mengatasi CME.
 Cryotherapy
Biasanya digunakan pada eksudatif retinal detachment yang berkaitan dengan
telangangia tactic dan vasoprolifertif tumor.

3. Fotokoagulasi
Dilakukan pada retina perifer dan bermanfaat juga digunakan pada mata
dengan neovaskularisasi pada vitreus.3

2.9 Uveitis Posterior


a. Definisi
Menurut SUN Classification System, uveitis poserio didefinisikan sebagai
inflamasi intraokuler yang tempat utama terjadinya adalaha di retina dan atau
koroid. Sel-sel inflamasi tersebar secara difus ke dalam rongga vitreus, melapisi
vokus inflamasi yang masih aktif atau permukaan vitreus posterior.3

b. Gejala klinis3
 Keluhan
Sesuai dengan lokasi dari fokus inflamasinya dan ada atau tidaknya vitritis.
1. Penglihatan menurun tanpa disertai rasa nyeri
2. Floaters
3. Scotomata
Yaitu gangguan penglihatan sentral (bulatan hitam atau gelap di sentral)
sebagai akibat lesi yang mengenai makula.
4. Photopsia
Yaitu melihat kilatan cahaya akibat lesi di retina.
5. Metamorphosia
Yaitu melihat benda yang bentuknya bergelombang sehingga berbeda
dengan bentuk aslinya sebagai akibat lesi ayang berada di makula.

28
6. Nyctalopia
Yaitu berkurangnya kemampuan melihat pada tempat dengan cahaya yang
kurang, namun masih baik apabila cahaya cukup.

 Tanda-tanda Klinis
1. Retinitis
Dapat terjadi fokal (soliter) atau multifocal berupa suatu lesi di retina. Lesi
aktif ditandai dengan kekeruhan atau infiltrat di retina yang berwarna keputihan
dngan batas tidak jelas akibat adanya edema di sekeliling lesi tersebut.
2. Koroiditis
Dapat fokal, multifocal, atau geografis. Ditandai dengan adanya lesi
berupa infiltrat atau nodul yang bulat berwarna kekuningan di fundus okuli.
3. Vaskulitis
Dapat terjadi primer atau sekunder akibat retinitis. Ditandai dengan
adanya inflammatory sheating dari arteri dan vena.
4. Retinal detachment
Baik eksudatif, traksional, ataupun regmatogenus.3

Gambar 2.4 Tanda Uveitis Posterior.


Retinitis (A), koroiditis (B), vasculitis (C)4

29
c. Penatalaksanaan
1. Midriatikum
Berfungsi untuk mengurangi nyeri dan mencegah sinekia posterior, juga
sangat diperlukan untuk evaluasi segmen posterior. Dapat diberikan long acting
berupa atropin 1%.
2. Kortikosteroid
- Topikal : prednisolone asetat 1%, fluorometholone 0,1%, dexamethasone fosfat
0,1% atau difluprednate 0,05%.
- Periokuler : injeksi periokuler triamsinolon asetonid 40 mg atau metilprednisolon
asetat 40-80 mg.
- Sistemik : diberikan dengan prednisone atau intravenous dengan
metilprednisolon.

3. Immuno Modulatory Therapy (IMT)


Berupa siklosporin, azathiporin, metotrexat, mikopenolat, klorambusil,
siklofosfamid dan infliximab.

d. Komplikasi
Jika tidak ditatalaksana dengan baik akan timbul komplikasi yang ditandai dengan
adanya :3
1. Hipertrofi dan atrofi retinal pigmen epithelium
2. Atrofi atau edema retina, koroid dan papil saraf optik
3. Fibrosis preretina dan subretina
4. Neovaskularisasi retina dan koroid

30
Gambar 2.5 . Anatomi Uveitis4

2.10 Komplikasi Uveitis


1. Katarak
Mata dengan uveitis kronis dan rekuren dapat terkena katarak sebagai dari
inflamasinya itu sendiri maupun akibat pengobatan dengan kortikosteroid. Proses
inflamasi dengan pemberian kortikosteroid jangka panjang akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme lensa pada tingkat molekuler dan seluler
sehingga lensa mengalami kekeruhan. Biasanya diawali dengan kekeruhan bagian
posterior lensa. Kunci keberhasilan operasi katarak pada mata yang uveitis adalah
kontrol inflamasi jangka panjang dengan cermat baik preoperasi maupun pasca
operasi dengan kortikosteroid atau jika perlu dengan IMT bila kortikosteroid tidak
adekuat. Tidak adanya inflamasi selama tiga bulan atau lebih adalah syarat utama
operasi intraokuler elektif pada mata dengan uveitis. Saat ini disarankan dilakukan
dengan teknik operasi fakoemulsifikasi dengan implantasi intra-ocular lens (IOL)
di dalam kantong kapsula lensa. Hal ini akan menghasilkan tajam penglihatan
yang baik pada mata dengan uveitis.3

2. Glaukoma
Peningkatan TIO pada mata dengan uveitis dapat terjadi secara akut,
kronis, atau rekuren. Adanya inflamasi yang lama pada badan siliar menyebabkan
TIO menjadi tinggi melebihi normal atau rendah secara fluktuatif sehingga bisa
menyebabkan uveitic glaucoma dan ocular hypertension. Pemeriksaan dan
evaluasi yang cermat dari gonioskopi sudut BMD perifer, saraf optik, dan

31
pemeriksaan lapang pandang adalah sangat penting dikerjakan untuk penanganan
glaukoma pada uveitis.
Penatalaksanaannya memerlukan kontrol yang agresif terhadap inflamasi
intraokuler dan TIO, serta mencegah kerusakan glaucomatous optic nerve dan
hilangnya lapang pandangan. Dapat diberikan analog prostaglandin latanoprost,
travoprost dan bimatropost. Obat-obat tersebut diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid dan IMT. Jika dengan pengobatan gagal, dilakukan operasi filtrasi
trabekulektomi dengan peberian mitomycin C dan kortikosteroid intensif karena
risiko kegagalan tinggi apabila dilakukan tindakan trabekulektomi standar.
Prosedur operasi lain adalah menggunakan tube-shunt yang menciptakan saluran
dari BMD diarahkan langsung menuju ke ruang vitreus.

3. Cystoid Macular Edema


Ini merupakan penyebab terbanyak hilangnya penglihatan pada mata
dengan uveitis. Kondisi ini disebabkan oleh inflamasi intraokuler aktif yang
muncul oleh karena dimediasi oleh proinflamatory cytokine yang disebut vascular
endothelial growth factor (VEGF) dan interleukin-6 (IL-6) sehingga menyebabkan
retina vascular leakage dan retinal pigment endothelium dysfunction.
Pengobatan pertamanya adalah dengan mengontrol menggunakan
kortikosteroid dan IMT. Apabila CME menetap walauun inflamasi telah terkontrol
dengan baik, maka diperlukan pemberian kortikosteroid periokuler yang agresif
berupa injeksi sub-tenon triamcinolone acetonide 20-40 mg dan injeksi tersebut
diulang setiap sebulan sekali. Bila masih belum mendapatkan efek yang adekuat,
maka dilakukan injeksi intraviteral preservative-free triamcinolone 2-4 mg atau
bisa juga dilakukan denga implantasi kortikosteroid di dalam badan siliar yaitu
intravitreal sustained-release dexamethasone.

4. Rhegmatogenous Retinal Detachment (RRD)


Panuveitis dan uveitis infeksius merupakan penyakit yang paling sering
berhubungan dengan RRD. Penanganannya adalah dengan scleral buckling dan
cryoretinopexy.

32
5. Vitritis dan kekeruhan vitreus
Biasanya terjadi pada mata dengan retinitis toxoplasma dan pars planitis.
Pada kasus vitritis sulit untuk menentukan dignosi karena visualisasi yang
terganggu oleh kekeruhan di vitreus. Dalam hal ini, pars plana virektomi bertujuan
untuk terapi dan diagnostik.

6. Calcific Band-Shaped Keratopathy


Pasien dengan uveitis kronis yang terjadi selama bertahun-tahun, terutama
yang dimulai sejak anak-anak, dapat terjadi deposit kalsium di epitel basement
membrane dan Bowman layer. Deposit kalsium ini pada umumnya ditemukan
pada area interpalpebra dan sering menyebar ke aksis visual, hal ini disebut
sebagai calcific band-shaped keratopathy. Kalau sudah tampak jelas, calcific
band-shaped keratopathy ini dapat dilakukan eksisi. Kalsium yang terletak di sub
epitel diambil setelah sebelumnya dilakuka debridement. Sesudah dilakukan
debridement, penglihatan akan mengalami kemajuan.

7. Hipotoni
Hipotoni pada uveitis disebabkan oleh penurunan produksi humor akuos
dari badan siliar dan mungkin akibat pembedahan intraokuli pada pasien dengan
uveitis. Hipotoni yang terjadi pada awal perjalanan uveitis pada umumnya sebagai
respons pemberian kortikosteroid yang intensif dan sikoplegik. Inflamasi akut
pada badan siliar akan menyebabkan hiposekresi humor akuos yang bersifat
sementara, namun inflamasi dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan
badan siliar kronis, berupa atrofi atau hilangnya prosesus siliaris yang berakibat
terjadinya hipotoni yang permanen. Biasanya juga diikuti dengan terjadinya
serous choroidal detachment yang mengakibatkan penanganannya menjadi sulit.
Hipotoni kronis pada long-standing uveitis denga ciliary body traction
akibat cylitic membrane atau atrofi, biasanya dengan pars plana vitrectomy dan
membranectomy akan mempebaiki TIO kembali normal. Apabila prosesus siliaris
masih ada, maka virektomi dan silicon oil intraokuli dapat mempertahankan
anatomi okuli dan meningkatkan TIO dan dapat memperbaiki tajam penglihatan

33
8. Neovaskularisasi Retina dan Koroid
Dapat terjadi pada kondisi uveitis kronis khususnya banyak terjadi pada
pars planitis, sarkoid panuveitis, dan retinal vaskulitis. Terjadi akibat inflamasi
kronis atau capillary nonperfusion.
Pengobatan ditujukan pada etiologic penyakitnya. Adanya nevaskularisasi
retinal pada uveitis tidakselalu memerlukan panretinal photocoagulation. Bahkan
dapat hilang total dengan pemberian kortikosteroid dan IMT.
Choroidal neovascularization (CNV) dapat terjadi pada uveitis posterior dan
panuveitis. Terjadi karena kerusakan bruch membrane akibat inflamasi koroid dan
adanya inflamasi sitokin yang meningkatkan angiogenesis. Pengobatan ditujukan
pada penurunan inflamasi serta anatomical ablation dari CNV. Kortikosteroid dan
IMT diberikan untuk meningkatkan terjadinya involusi dari CNV dengan cara
mengontrol inflamasi intraokuli. Disamping itu dilakukan laser fotokoagulasi fokal
pada neovaskularisasi koroid di daerah peripapiler, ekstrafovea, dan juxtavoveal.3

2.11 Prognosis Uveitis

Pada umumnya prognosis pasien dengan uveitis anterior akan berespon baik jika
sudah didiagnosis dari awal dan diberikan pengobatan yang adekuat. Uveitis anterior
ini akan berulang terutama jika ada penyebab sistemik. Prognosis uveitis posterior
lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena menurunkan tajam penglihatan dan
kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan baik.5

34
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pasien datang ke poliklinik mata RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan kedua
mata sedikit merah disertai penglihatan tiba-tiba seperti berkabut dan kabur pada
kedua matanya sejak ± 4 hari SMRS. Pasien sering menggosok-gosok matanya.
Pasien memakai obat tetes mata (insto), merah pada kedua mata pasien berkurang,
tetapi penglihatan tetap kabur. Pasien memiliki riwayat hipertensi. Pada status
generalisata pasien dalam batas normal hanya saja tekanan darah cukup tinggi
yaitu 150/90 mmhg. Sedangkan untuk status oftalmologikus pasien ditemukan
visus pada okuli dekstra sebesar 4/6 dan pada okuli sinistra 3/6. Pada konjungtiva
bulbi terdapat injeksi siliar di kedua mata pasien. Didapatkan keadaan kornea
yang keruh disertai keratik presipitat dan infiltrate pada kornea kedua mata pasien.
Terdapat flare pada COA kedua mata pasien, sinekia posterior pada iris kedua
mata pasien. Selain itu pada pupil didapatkan keadaan bulat, miosis, diameter 2
mm, ireguler, refleks pupil langsung dan tidak langsung +/+ pada kedua mata
pasien.

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien tersebut


maka pasien di diagnosis dengan uveitis anterior ODS, sesuai dengan tinjauan
pustaka dimana gejala yang dialami pasien berupa merah disertai penglihatan tiba-
tiba seperti berkabut. Selain itu terdapat visus yang menurun, konjungtiva bulbi
terdapat injeksi siliar, kornea yang keruh disertai keratik presipitat dan infiltrat
flare pada COA, sinekia posterior pada iris dan pupil miosis, pada kedua mata
pasien. Hal tersebut sesuai dengan gejala klinis dari uveitis anterior ODS.

Untuk penatalaksanaan, pada pasien diberikan penatalaksanaan berupa


non medikamentosa dan medikamentosa.

Nonmedikamentosa :

- Menghilangkan kebiasaan menggosok-gosok mata pasien

35
- Menghentikan penggunaan tetes mata yang dibeli pasien sendiri
- Menggunakan obat yang sudah diresepkan secara teratur.

Medikamentosa :

- Polydex eyedrops, 6 dd gtt 1 ODS (sebagai anti inflamasi)


- Cendo tropin eyedrops, 4 dd gtt 1 ODS (sebagai midriatikum)
- Metilprednisolon 8mg 3x1 p.o (sebagai kortikosteroid)
- Amlodipine 5 mg, 1x1 p.o (sebagai anti hipertensi)

Penatalaksanaan medikamentosa tersebut sudah sesuai dengan tinjauan


pustaka yang berlaku untuk uveitis anterior yaitu diberikan midriatikum dan
kortikosteroid. Pada pasien diberikan juga obat antihipertensi karena pasien
memiliki riwayat tekanan darh tinggi.
Pada umumnya prognosis pasien dengan uveitis anterior akan berespon baik
jika sudah didiagnosis dari awal dan diberikan pengobatan yang adekuat.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Liyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : FKUI. 2013. p.7-8
2. Gerhard K. Lang and Gabriele E. Lang. Opthalmology. New York : Thieme
Stuttgart. 2012. p.348-69.
3. Soewono W, Budiono S, Eddyanto, Zuhria I, Montana R. Penyakit Mata Luar dan
Kornea. In : Budiono S, Saleh TT, Moestijb, Eddyanto. (eds). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata. Surabaya ; 2013. p.121 -2.
4. Nischal K, Pearson A. Clinical Ophtalmology : A Systematic Approach. 7th
ed. Saunders : Elsevier ; 2011.p.402-62.
5. Ming AL, John I. Color Atlas of Opthalmology. 3rd ed. World Science : Elsevier;
2012. p.65-74.

37

You might also like