Professional Documents
Culture Documents
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
Autoanamnesis pada tanggal 10 September 2018, pukul 11.00 WIB
a. Keluhan Utama
Mata kanan dan mata kiri sedikit merah dan terasa seperti berkabut sejak ± 4 hari
sebelum masuk Rumah Sakit.
1
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mempunyai keluhan sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat
hipertensi (+), diabetes melitus (-), riwayat penyakit mata (-), pemakaian kaca
mata (-), trauma (-).
e. Riwayat Pengobatan
Selama sakit, pasien memakai obat tetes mata (insto) yang dibeli sendiri
oleh pasien. Setelah obat ini dipakai, keluhan mata merah berkurang, namun
keluhan penglihatan kabur tetap ada. Sehari-hari pasien meminum obat darah tinggi
amlodipine 5 mg sebanyak 1 kali sehari.
f. Riwayat Alergi
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca, debu.
g. Riwayat Psikososial
Pasien tinggal bersama suami dan anak pertamanya. Pasien merupakan
seorang ibu rumah tangga. Pasien juga sulit mengontrol asupan makanannya
sehingga tekanan darah pasien selalu tinggi.
2
d. Status Antopometri
- BB : 62 kg
- TB : 158 cm
- IMT : 24,84
e. Status Generalis
Kepala : Normocephal, rambut hitam, distribusi merata
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), serumen -/-
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Telinga : Normotia, sekret -/-, perdarahan -/-
Leher : Pembesaran KGB -/-
Thorax :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
Palpasi : Vocal fremitus yang simetris
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikular -/-, Ronki -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I & II reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
- Atas : CRT < 2 detik, akral hangat -/-, edema -/-
- Bawah : CRT < 2 detik, akral hangat -/-, edema -/-
3
1.3.2 Status Oftalmologikus
4
OCULI DEXTRA (OD) PEMERIKSAAN OCULI SINISTRA (OS)
5
(a) (b)
Gambar 1.1 Okuli Pasien.
Okuli dekstra pasien (a), okuli sinistra pasien (b)
1.5 Resume
Ny.T, perempuan 45 tahun datang ke poliklinik mata RSIJ Pondok Kopi dengan
keluhan kedua mata sedikit merah disertai penglihatan tiba-tiba seperti berkabut dan
kabur pada kedua matanya sejak ± 4 hari SMRS. Pasien sering menggosok-gosok
matanya. Pasien memakai obat tetes mata (insto), merah pada kedua mata pasien
berkurang, tetapi penglihatan tetap kabur. Pasien memiliki riwayat hipertensi.
Pada status generalisata pasien dalam batas normal hanya saja tekanan darah
cukup tinggi yaitu 150/90 mmhg dan pasien mengkonsumsi obat amlodipine 5 mg
sekali sehari. Sedangkan untuk status oftalmologikus pasien ditemukan visus pada
okuli dekstra sebesar 4/6 dan pada okuli sinistra 3/6. Pada konjungtiva bulbi terdapat
injeksi siliar di kedua mata pasien. Didapatkan keadaan kornea yang keruh disertai
keratik presipitat dan infiltrate pada kornea kedua mata pasien. Terdapat flare pada
COA kedua mata pasien, sinekia posterior pada iris kedua mata pasien. Selain itu
pada pupil didapatkan keadaan bulat, miosis, diameter 2 mm, ireguler, refleks pupil
langsung dan tidak langsung +/+ pada kedua mata pasien.
6
1.6 Diagnosa Kerja
1.7 Penatalaksanaan
a. Non medikamentosa
Menyarankan kepada pasien agar menghilangkan kebiasaan menggosok-
gosok mata pasien dan menghentikan penggunaan tetes mata yang dibeli pasien
sendiri serta menggunakan obat yang sudah diresepkan secara teratur.
b. Medikamentosa
- Polydex eyedrops, 6 dd gtt 1 ODS
- Cendo tropin eyedrops 5 ml, 4 dd gtt 1 ODS
- Metilprednisolon 8mg 3x1 p.o
- Amlodipine 5 mg, 1x1 p.o
1.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Fungtionam : Bonam
Quo ad Sanationam : Bonam
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Iris
Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan stromal mesodermal anterior dan
lapisan epitel pigmen epidermal. Lapisan posteriornya melindungi mata
terhadap insiden yang berlebihan. Permukaan anterior lensa dan lapisan
berpigmen sangat berdekatan satu sama lain sehingga dapat dengan mudah
membentuk peradangan.2
Pada iris tedapat bagian pupil dan bagian tepi siliar. Reaksi puil ini
merupakan juga indikator untuk fungsi simpatis (midriasis) dan parasimpatis
(miosis pupil). Iris mempunyai kemampuan untk mengatur secara otomaid
masuknya sinar ke dalam bola mata.1
Warna iris bervariasi pada masing-masing individu sesuai dengan
kandungan melanin dari melanosit dan sel pigmen di bagian bawah dan sisa
lapisan epitel. Mata dengan kandungan melanin yang tinggi berwarna coklat
8
gelap, sedangkan mata dengan sedikit melanin berwarna biru pekat.Suku
Kaukasian memiliki mata berwarna biru karena lapisan berpigmen hanya
berkembang secara bertahap selama tahun pertama kehidupan. Bahkan pada
albino, mata memiliki warna keabu-abuan karena penyebab dari defisiensi
melanin.2
Didalam badan siliar terdapat tiga lapisan otot, yaitu longitudinal, radier
dan sirkular. Fungsi serat sirkuler adalah untuk berkontraksi dan berelaksasi
serabut-serabut zonular, yang berasal dari lembah antara proses ciliary. Hal ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa, memberikan fokus lensa yang variabel
untuk objek dekat ataupun jauh di bidang visual (daya akomodasi). Serabut otot
longitudinal masuk ke dalam trabekular meshwork untuk ikut mempengaruhi
ukuran pori sehingga berperan pada pembuangan humor akuos. Selain itu,
badan siliar dilapisi oeh dua lapisan sel epitel, yaitu epitel non pigmented dan
epitel pigmented.3
2.1.3 Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea. Koroid tersusun dari tiga lapisan
pembuluh darah koroid, besar, sedang dan kecil. Semakin ke dalam letak
pembuluh di dalam koroid, semakin lebar lumennya. Koroid di sebelah dalam
9
dibatasi oleh membrana Bruch dan di sebelah luar dibatasi oleh sklera. Khoroid
melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid
bersambung dengan badan siliar. Fungsi dari koroid mengatur suhu dan
persediaan makanan untuk lapisan luar dari retina.2
Fungsi dari uvea antara lain sebagai regulasi sinar ke retina, imunologi
(bagian yang berperan dalam hal ini adalah koroid), produksi akuos humor oleh
korpus siliaris, nutrisi, filtrasi.2
Uveitis adalah inflamasi atau keradangan pada traktus uvea. Saat ini istilah uveitis
digunakan juga untuk menggambarkan berbagai macam inflamasi intraokuler yang
mengenai traktus uvea (iris, badan siliar, dan koroid), serta retina dan pembuluh
darah retina.3
10
laki-laki. Paling banyak mengenai segmen anterior kemudian diikuti oleh panuveitis,
uveitis intermediate dan terakhir uveitis posterior. Penyebab idiopatik merupakan
penyebab terbanyak dari uveitis anterior, sedangkan infeksius merupakan penyebab
terbanyak uveitis posterior. Insidens uveitis di Indonesia belum ada data yang
akurat.3
11
b. Berdasarkan Perjalanan Klinis
Tabel 2.2 Klasifikasi Perjalanan Klinis3
Tipe Keterangan
c. Berdasarkan Etiologi3
- Infeksius :
d. Berdasarkan Histologi3
1. Granulomatosa, umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh
organisme penyebab.
2. Non-granulomatosa, umumnya tidak ditemukan organisme patogen dan berespon
baik terhadap terapi kortikosteroid sehingga diduga peradangan ini merupakan
fenomena hipersensifitas.
12
keadaan normal, humor akuos dapat mempengaruhi proses imunologi di dalam mata.
Iris dan badan siliar mengandung banyak sekali makrofag dan sel-sel dendritik yang
bertindak sebagai Antigen Presenting Cells (APCs) dan mungkin sebagai sel-sel
efektor. Di dalam mata tidak terdapat saluran limfa sehinga pembersihan bahan terlarut
tergantung pada saluran pembuangan humor akuos. Demikian juga pembersihan
partikel-partikel akibat proses inflamasi tergantung pada endositosis sel-sel
endothelial trabecular meshwork atau sel-sel makrofag.3
b. Sistem Imunoregulator
Pada saat antigen masuk ke dalam bilik mata depan maka dimulai fase aferen,
yaitu ketika makrofag spesifik yang berada di iris mengenali antigen tersebut lalu
mengambilnya. Fungsi APC makrofag yang ada di uvea tersebut dapat diubah fungsinya
oleh sitokin modulator yaitu TGF- β2 yang dalam keadaan normal berada dalam humor
akuos dan uvea. TGF- β2 menstimulasi makrofag okuler, keluar melalui trabecular
meshwork dn canal Schlemm lalu memasuki vena di sirkulasi tubuh untuk kemudian
migrasi ke lien. Di dalam lien, signal antigen diproses yang diaktivasi oleh limfosit T-
helper, limfosit B, dan limfosit T-regulator. Sel-sel CD8 regulator bertugas menguvah
CD4 limfoit T-helper agar merespon di dalam lien dan mengatur CD4 limfosit T untuk
merespon terhadap imunisasi antigen spesifik di seluruh tubuh.3
13
yang menimbulkan koroiditis, vitritis, dan uveitis anterior. Dalam menegakkan
diagnosis, perlu diperhatikan apakah uveitis terjadi di satu mata atau di kedua mata.
Selain itu, perlu diperhatikan usia, ras, onset, durasi, tingkat keparahan gejala,
riwayat penyakit mata dan penyakit sistemik sebelumnya.
a. Slit-lamp
b. Pemeriksaan laboratorium
Bermanfaat pada kelainan sistemik misalnya darah perifer lengkap, laju
endap darah, serologi, urinalisis, dan antinuclear antibody. Pemeriksaan
laboratorium tidak bermanfaat pada kondisi tertentu misalnya uveitis ringan dan
trauma. Untuk mendiagnosis infeksi virus dapat dilakukan pemeriksaan PCR,
kultur dan tes serologi. Sensitivitas serologi akan meningkat bila disertai
pemeriksaan koefisien goldmann-witmer yaitu membandingkan konsentrasi
hasil pemeriksaan cairan akuos dengan serologi darah.
14
dengan pewarnaan ziehl-neelsen. Pemeriksaan lainnya adalah PCR
(menggunakan spesimen dari aqueous tap atau biopsi vitreus), dan interferon-
gamma release assay (IGRA). PCR sangat spesifik untuk mendeteksi
Mycobacterium namun sensitivitasnya bervariasi. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan gejala klinis dan ditemukannya Mycobacterium dari spesimen
okular (kultur atau amplifikasi DNA).
d. USG B-scan
Sangat membantu memeriksa segmen posterior mata pada keadaan media
keruh misalnya pada katarak dan vitritis. USG B-scan dapat membedakan ablasio
retinae eksudatif dengan regmatosa serta membedakan uveitis akibat neoplasma
atau abses. USG B-scan dapat menilai penebalan koroid seperti pada sindrom
VKH dan menilai pelebaran ruang tenon yang sangat khas pada skleritis posterior.
15
dan memancarkan sinar kuning sehingga sinar kuning akan melewati filter dan
tervisualisasi. Hanya jaringan mengandung fluoresen yang dapat dilihat. Pada
keadaan normal, fluoresen tidak dapat melewati tight cellular junctions yaitu
endotel pembuluh darah retina dan epitel pigmen retina sedangkan di sirkulasi
koroid, fluoresen bebas keluar melalui kapiler koroid menuju membran bruch.
FFA dapat menggambarkan keadaan sawar darah-retina dan setiap kebocoran
fluoresen ke retina merupakan kondisi abnormal. Kapiler di prosesus siliaris
bersifat permeabel sehingga fluoresen segera terlihat di akuos setelah injeksi
intravena. Fluoresen di akuos dan vitreus memancarkan sinar kuning yang
merefleksikan struktur berwarna putih di dalam mata seperti diskus optik, serat
bermielin, dan eksudat kasar, sehingga struktur tersebut tampak seolah-olah
berfluoresensi (pseudofluoresen).
1. Fase koroid
Fluoresen masuk melalui arteri siliaris brevis dan mengisi lobus-lobus di
kapiler koroid yang akan terlihat sebagai gambaran bercak-bercak, diikuti
pengisian dan keluarnya fluoresen dari kapiler koroid kapilaris yang memberikan
gambaran kebocoran fluoresen difus. Pembuluh darah silioretina dan kapiler
diskus optik prelaminar terisi pada fase ini.
2. Fase arteri
Pengisian arteri retina sentral terjadi satu detik setelah pengisian koroid.
3. Fase kapilaris
Fase kapiler terjadi dengan cepat setelah fase arteri. Jaringan kapiler
perifovea terlihat sangat mencolok karena sirkulasi koroid di bawahnya
tersamarkan oleh pigmen luteal di retina dan pigmen melanin di epitel pigmen
retina. Bagian tengah cincin kapiler merupakan zona avaskular fovea sehingga
tidak ada fluoresen yang mencapai daerah tersebut.
16
4. Fase vena
Pada pengisian awal vena, fluoresen tampak sebagai garis halus yang
menghilang setelah seluruh vena terisi.
5. Fase akhir
Setelah 10-15 menit, hanya sebagian kecil fluoresen yang tersisa di
sirkulasi darah. Fluoresen yang telah meninggalkan sirkulasi menuju ke struktur
okular tampak jelas pada fase ini.
Pewarnaan dan kebocoran fluoresen dari pembuluh darah retina (arteri, vena,
kapiler) fokal atau difus menunjukkan vaskulitis yang dapat terjadi pada
tuberkulosis, sarkoidosis, lupus eritematosus, penyakit behcet, dan lain-lain.
Efek samping FFA adalah perubahan warna kulit yang menjadi lebih gelap
akibat zat warna fluoresen, melihat bayangan merah setelah terpapar kilatan
cahaya kamera, perubahan warna urin, mual dan muntah pada 10% kasus yang
umumnya bersifat sementara dan tidak dibutuhkan tatalaksana khusus. Selain itu
dapat terjadi vasovagal syncope pada 1% kasus, reaksi anafilaksis seperti
bronkospasme, urtikaria, hipotensi (<1% kasus), henti jantung dan henti napas
(<0,01% kasus) yang memerlukan resusitasi jantung paru. Vasovagal syncope
umumnya tidak memerlukan terapi namun jika terjadi bradikardia berat diberikan
atropin intravena. Untuk mengatasi anafilaksis, diberikan klorfeniramin 10mg IV,
hidrokortison 100mg IV, dan oksigen sedangkan untuk hipotensi dan
bronkospasme diberikan adrenalin 1:1000 sebanyak 1ml IM.
17
2.7 Uveitis Anterior
2.7.1 Definisi
Merupakan peradangan pada traktus uvea, bilik mata depan merupakan tempat
utama terjadinya inflamasi. Disamping itu, juga disertai dengan inflamasi pada iris dan
badan siliar serta struktur disekitarnya yang meliputi kornea dan sklera. 3
Adapun penyakitnya meliputi :
- Iritis : inflamasi mengenai bilik mata depan dan iris
- Iridosilitis : inflamasi mengenai iris dan badan siliar
- Anterior siliklitis : inflamasi mengenai badan siliar bagian anterior
- Sklerouveitis : inflamasi mengenai traktus uvea dan sklera.
2.7.2 Epidemiologi
Iritis adalah yang paling banyak terjadi pada uveitis.3
- Keluhan :
1. Mata merah
Sebagai akibat adanya injeksi siliar oleh karena adanya inflamasi di daerah
iris dan atau badan siliar.
2. Nyeri
Akibat inflamasi akut pada daerah iris pada iritis akut atau dari glaukoma
sekunder atau bisa karena inervasi saraf trigeminus.
3. Fotofobia
Adanya cahaya akan merangsang spasme dari iris dan badan siliar yang
sedang dalam keadaan inflamasi.
4. Epifora
Mengeluarkan airmata yang berlebihan karena inflamasi yang mengenai
perifer kornea, iris dan badan siliar.
18
5. Penglihatan menurun
Sebagai akibat adanya kekeruhan pada aksis visual akibat penumpukan
sel-sel inflamasi, fibrin, dan protein di bilik mata depan serta adanya keratic
precipitate (KPs) di endotel kornea.
- Pemeriksaan Fisik :
Karena adanya kekeruhan di media refraksi baik itu di kornea, bilik mata
depan, dan di pupil.
19
8. Sinekia anterior dan posterior
Sinekia adalah perlekatan antara iris dengan kapsul lensa (sinekia
posterior) atau perlekatan iris dengan kornea di dekat sudut bilik mata depan
(peripheral anterior synechiae/PAS). Sinekia terjadi akibat adanya reaksi
inflamasi yang kemudian terjadi
9. Penurunan tekanan intraokuli.
Untuk menilai atau membuat gradasi sel atau flare di bilik mata depan
dilakukan menggunakan slitlamp biomikroskop dengan cara menggunakan celah
lampu dengan panjang 2 mm dan lebar 1 mm dengan intensitas cahaya lampu
20
maksimal dan pembesaran maksimal yang ada. Sel tampak seperti titik putoh yang
melayang-layang di bilik mata depan.
0 <1
0,5 + 1-5
1+ 6-15
2+ 16-25
3+ 26-50
4+ >50
Nilai Deskripsi
2+ Moderate (flare terlihat, namun detail iris dan lensa masih terlihat jelas)
3+ Marked (flare terlihat jelas, detail iris dan lensa telihat samar-samar/ kabur)
21
b.Uveitis Anterior Kronik
- Keluhan :
- Pemeriksaan fisik :
1. Mata merah
Pada ummnya mata tidak terlalu merah atau kadang-kadang sedikit
kemerahan selama periode kekambuhan akibat proses inflamasi.
2. Flare dan sel di BMD
Pada uveitis kronis, flare lebih tampak jelas dibandingkan dengan sel pada
mata dengan proses inflamasi yang lama. Sedangkan sel didapatkan dalam gradasi
yang bervariasi, namun proses inflamasi yang lama ini sering tidak dirasakan oleh
penderita.
3. Keratic Precipitates (KPS)
Kumpulan dari deposit sel-sel yang menempel pada endotel kornea, yang
tersusun dari sel-sel epiteloid, limfosit, dan polimorfonuklear.
4. Iris nodul
Khas terjadi pada penyakit granulomatous. Biasanya ada 2 jenis iris nodul
yaitu koeppe nodules (berada di tepi iris) dan busaca nodules (di stroma iris).
5. Iris bombans
Yaitu iris yang menggelembung. Terjadi karena adanya sinekia posterior
yang mengenai seluruh kuadran pupil dan akhirnya terjadi blok pupil. Akibatnya
iris akan terdorong oleh aliran humor akuos sehingga menggelembung. Bila
dibiarkan terus menerus akan berakibat timbulnya glaucoma sekunder.
22
Gambar 2.3. Tanda-tanda Uveitis Pada Segmen Anterior. (a) Sinekia posterior iris
menempel pada lensa, (b) sinekia anterior, (c) iris nodul “Busaca nodules”, (d) Iris
nodul “koppe nodules”. 3
a. Midriatikum3
23
2. Atropine 1%, durasi lebih dari 2 minggu.
b. Kortikosteroid3
Merupakan terapi utama uveitis anterior.
Indikasi :
1. Pengobatan inflamasi yang masih aktif
2. Mencegah atau mengobati komplikasi seperti cystoid macular edema (CME)
3. Menurunkan atau mencegah infiltrasi ke koroid, retina dan saraf optik
Kortikosteroid topikal
1. Prednison acetate 1%
2. Fluorometholone 0,1%
3. Dexamethasone phosphate 0,1%
4. Difluprednate 0,05%
Pada kasus uveitis anterior akut dengan gejala yang hebat dapat diberikan
1 tetes setiap 1 menit selama 5 menit pertama pada tiap jam. Diturunkan perlahan-
lahan hingga dilanjutkan sehari 4 kali sampai 1 tetes sehari dalam waktu beberapa
minggu. Pemberian salep sebaiknya saat malam hari sebelum tidur oleh karena
menyebabkan buram dan kurang nyaman.3
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari pemberian kortikosteroid topical
adalah berupa peningkatan tekanan intraokuli, katarak, gangguan pada kornea, dan
efek sistemik. 3
Kortikosteroid periokuler
Pemberiannya melalui injeksi periokuler dapat dilakukan melalui injeksi
sub-Tenon posterior atau injeksi transeptal ineferior.
Indikasinya adalah :
1. Uveitis anterior yang tidak memberikan respon dengan kotikosteroid topical.
2. Uveitis anterior yang disertai komplikasi berupa CME atau uveitis posterior.
3. Uveitis anterior yang harus diberikan melalui sistemik namun tidak
memungkinkan diberikan melalui sistemik.
4. Mata dengan uveitis saat dilakukan pembedahan.
Jenis-jenisnya adalah :
24
1. Triamcinolon acetonide 40 mg
2. Methylprednisolone acetate 40-80 mg
Dilakukan setiap 1-2 minggu sebanyak 2-4 kali injeksi. Bila dilakukan
pada pasien rawat jalan setelah dilakukan injeksi ditunggu selama 2 jam. Jika tidak
terlihat adanya komplikasi berupa ptosis, paresis muskulus ekstraokuli, kerusakan
saraf optik, maka diperbolehkan pulang. 3
Kortikosteroid sistemik3
Diberikan secara oral ataupun intravena, dengan indikasi :
1. Uveitis yang mengancam penglihatan, yang dengan pemberian kortikosteroid
topical ataupun periokuler tidak memberikan respon.
2. Uveitis yang disertai dengan penyakit sistemik, yang memerlukan pengobatan
kortikosteroid sistemik.
Jenis kortikosteroid sistemik :
Oral :
1. Prednison 1-2 mg/kg/hari
2. Methylprednisolone 2-60 mg/hari.
Injeksi :
1. Methylprednisolone 1 g/hari.
Indikasi :
25
- Azathioprine dengan dosis awal 1 mg/kg/hari (tablet 50 mg)
- Methotrexate, 7,5-10 mg/minggu
- Mycophenolate, dosis 1 g, 2x/hari
2. Inhibitors of T-cell signalling
- Siklosporin, dosis awal 5 mg/kg/hari, 1x/hari
- Takrolimus, dosis 0,1-0,15/kg/hari.
3. Alkylating agents
- Siklofospamid, dosis 2 mg/kg/hari
- Klorambusil, 0,1-0,2 mg/kg
4. Biologic respons modifier
- Anti-tumour necrotic factor α : inflizimab, adalimumab
- IL-2 receptor antagonis : daclizumab
b. Gejala klinis3
Keluhan
Awalnya unilateral lalu bisa menjadi bilateral yang derajat keparahannya berbeda
antara mata kiri dan mata kanan.
1. Foaters
Penderita mengeluh melihat bentukan seperti bintik-bintik hitam kecil atau
sedang yang melayang-layang pada area penglihatannya saat matanya
digerakkan. Ini disebabkan karena adanya inflamasi yang terjadi di vitreus,
retina dan koroid.
2. Penglihatan kabur
26
Pada kasus penurunan penglihatan berat yang terjadi secara mendadak,
biasanya diakibatkan oleh perdarahan korpus vitreus.
Tanda klinis
1. Segmen anterior
Pada pars planitis tampak tanda-tanda uveitis anterior ringan yang ditandai
dengan adanya KPs yang kadang-kadang menyebar bentuk linier di inferior
kornea.
2. Korpus vitreus
Terdapat sel-sel radang di vitreus, terdapat juga vitreous snowball yaitu
sel-sel radang yang berkumpul di vitreus yang berwarna putih kekuningan.
3. Segmen posterior
Perifeblitis dibagian peifer dan perivascular sheating. Edema papil
kadang-kadang ditemukan terutama pada pasien muda.
Uveitis intermediet kronis akan dapat berbentuk cyclitic membrane, secondary
ciliary body detachment dan hypotoni.
c. Penatalaksanaan
Karena sering berkaitan dengan penyakit sistemik maka tahap pertama adalah
menyingkirkan kemungkinan adanya penyakit infeksi (missal : Lyme disease) atau
keganasan (misal : intraocular lymphoma). Tahap kedua adalah menentukan
penobatan yang diperlukan. Kadang-kadang uveiis intermediate dengan visus yang
baik masih belum memerlukan pengobatan, namun harus tetap dievaluasi perjalanan
penyakitnya, apakah membaik, tetap, atau justru memburuk. Penanganannya adalah
dengan obat-obatan atau pembedahan.3
1. Terapi medikamentosa
Kortikosteroid
a. Injeksi triamcinolone 40 mg
b. Prednison 0,5-1,0 mg/kg/hari
Pemberian IMT
Diberikasn siklosporin, atau dapat juga diberikan azathioprine,
methotrexate, dan siklofospamid.
27
2. Pembedahan
Virektomi
Sanagat baik untuk mengatasi CME.
Cryotherapy
Biasanya digunakan pada eksudatif retinal detachment yang berkaitan dengan
telangangia tactic dan vasoprolifertif tumor.
3. Fotokoagulasi
Dilakukan pada retina perifer dan bermanfaat juga digunakan pada mata
dengan neovaskularisasi pada vitreus.3
b. Gejala klinis3
Keluhan
Sesuai dengan lokasi dari fokus inflamasinya dan ada atau tidaknya vitritis.
1. Penglihatan menurun tanpa disertai rasa nyeri
2. Floaters
3. Scotomata
Yaitu gangguan penglihatan sentral (bulatan hitam atau gelap di sentral)
sebagai akibat lesi yang mengenai makula.
4. Photopsia
Yaitu melihat kilatan cahaya akibat lesi di retina.
5. Metamorphosia
Yaitu melihat benda yang bentuknya bergelombang sehingga berbeda
dengan bentuk aslinya sebagai akibat lesi ayang berada di makula.
28
6. Nyctalopia
Yaitu berkurangnya kemampuan melihat pada tempat dengan cahaya yang
kurang, namun masih baik apabila cahaya cukup.
Tanda-tanda Klinis
1. Retinitis
Dapat terjadi fokal (soliter) atau multifocal berupa suatu lesi di retina. Lesi
aktif ditandai dengan kekeruhan atau infiltrat di retina yang berwarna keputihan
dngan batas tidak jelas akibat adanya edema di sekeliling lesi tersebut.
2. Koroiditis
Dapat fokal, multifocal, atau geografis. Ditandai dengan adanya lesi
berupa infiltrat atau nodul yang bulat berwarna kekuningan di fundus okuli.
3. Vaskulitis
Dapat terjadi primer atau sekunder akibat retinitis. Ditandai dengan
adanya inflammatory sheating dari arteri dan vena.
4. Retinal detachment
Baik eksudatif, traksional, ataupun regmatogenus.3
29
c. Penatalaksanaan
1. Midriatikum
Berfungsi untuk mengurangi nyeri dan mencegah sinekia posterior, juga
sangat diperlukan untuk evaluasi segmen posterior. Dapat diberikan long acting
berupa atropin 1%.
2. Kortikosteroid
- Topikal : prednisolone asetat 1%, fluorometholone 0,1%, dexamethasone fosfat
0,1% atau difluprednate 0,05%.
- Periokuler : injeksi periokuler triamsinolon asetonid 40 mg atau metilprednisolon
asetat 40-80 mg.
- Sistemik : diberikan dengan prednisone atau intravenous dengan
metilprednisolon.
d. Komplikasi
Jika tidak ditatalaksana dengan baik akan timbul komplikasi yang ditandai dengan
adanya :3
1. Hipertrofi dan atrofi retinal pigmen epithelium
2. Atrofi atau edema retina, koroid dan papil saraf optik
3. Fibrosis preretina dan subretina
4. Neovaskularisasi retina dan koroid
30
Gambar 2.5 . Anatomi Uveitis4
2. Glaukoma
Peningkatan TIO pada mata dengan uveitis dapat terjadi secara akut,
kronis, atau rekuren. Adanya inflamasi yang lama pada badan siliar menyebabkan
TIO menjadi tinggi melebihi normal atau rendah secara fluktuatif sehingga bisa
menyebabkan uveitic glaucoma dan ocular hypertension. Pemeriksaan dan
evaluasi yang cermat dari gonioskopi sudut BMD perifer, saraf optik, dan
31
pemeriksaan lapang pandang adalah sangat penting dikerjakan untuk penanganan
glaukoma pada uveitis.
Penatalaksanaannya memerlukan kontrol yang agresif terhadap inflamasi
intraokuler dan TIO, serta mencegah kerusakan glaucomatous optic nerve dan
hilangnya lapang pandangan. Dapat diberikan analog prostaglandin latanoprost,
travoprost dan bimatropost. Obat-obat tersebut diberikan bersama-sama dengan
kortikosteroid dan IMT. Jika dengan pengobatan gagal, dilakukan operasi filtrasi
trabekulektomi dengan peberian mitomycin C dan kortikosteroid intensif karena
risiko kegagalan tinggi apabila dilakukan tindakan trabekulektomi standar.
Prosedur operasi lain adalah menggunakan tube-shunt yang menciptakan saluran
dari BMD diarahkan langsung menuju ke ruang vitreus.
32
5. Vitritis dan kekeruhan vitreus
Biasanya terjadi pada mata dengan retinitis toxoplasma dan pars planitis.
Pada kasus vitritis sulit untuk menentukan dignosi karena visualisasi yang
terganggu oleh kekeruhan di vitreus. Dalam hal ini, pars plana virektomi bertujuan
untuk terapi dan diagnostik.
7. Hipotoni
Hipotoni pada uveitis disebabkan oleh penurunan produksi humor akuos
dari badan siliar dan mungkin akibat pembedahan intraokuli pada pasien dengan
uveitis. Hipotoni yang terjadi pada awal perjalanan uveitis pada umumnya sebagai
respons pemberian kortikosteroid yang intensif dan sikoplegik. Inflamasi akut
pada badan siliar akan menyebabkan hiposekresi humor akuos yang bersifat
sementara, namun inflamasi dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan
badan siliar kronis, berupa atrofi atau hilangnya prosesus siliaris yang berakibat
terjadinya hipotoni yang permanen. Biasanya juga diikuti dengan terjadinya
serous choroidal detachment yang mengakibatkan penanganannya menjadi sulit.
Hipotoni kronis pada long-standing uveitis denga ciliary body traction
akibat cylitic membrane atau atrofi, biasanya dengan pars plana vitrectomy dan
membranectomy akan mempebaiki TIO kembali normal. Apabila prosesus siliaris
masih ada, maka virektomi dan silicon oil intraokuli dapat mempertahankan
anatomi okuli dan meningkatkan TIO dan dapat memperbaiki tajam penglihatan
33
8. Neovaskularisasi Retina dan Koroid
Dapat terjadi pada kondisi uveitis kronis khususnya banyak terjadi pada
pars planitis, sarkoid panuveitis, dan retinal vaskulitis. Terjadi akibat inflamasi
kronis atau capillary nonperfusion.
Pengobatan ditujukan pada etiologic penyakitnya. Adanya nevaskularisasi
retinal pada uveitis tidakselalu memerlukan panretinal photocoagulation. Bahkan
dapat hilang total dengan pemberian kortikosteroid dan IMT.
Choroidal neovascularization (CNV) dapat terjadi pada uveitis posterior dan
panuveitis. Terjadi karena kerusakan bruch membrane akibat inflamasi koroid dan
adanya inflamasi sitokin yang meningkatkan angiogenesis. Pengobatan ditujukan
pada penurunan inflamasi serta anatomical ablation dari CNV. Kortikosteroid dan
IMT diberikan untuk meningkatkan terjadinya involusi dari CNV dengan cara
mengontrol inflamasi intraokuli. Disamping itu dilakukan laser fotokoagulasi fokal
pada neovaskularisasi koroid di daerah peripapiler, ekstrafovea, dan juxtavoveal.3
Pada umumnya prognosis pasien dengan uveitis anterior akan berespon baik jika
sudah didiagnosis dari awal dan diberikan pengobatan yang adekuat. Uveitis anterior
ini akan berulang terutama jika ada penyebab sistemik. Prognosis uveitis posterior
lebih buruk dibandingkan uveitis anterior karena menurunkan tajam penglihatan dan
kebutaan apabila tidak ditatalaksana dengan baik.5
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pasien datang ke poliklinik mata RSIJ Pondok Kopi dengan keluhan kedua
mata sedikit merah disertai penglihatan tiba-tiba seperti berkabut dan kabur pada
kedua matanya sejak ± 4 hari SMRS. Pasien sering menggosok-gosok matanya.
Pasien memakai obat tetes mata (insto), merah pada kedua mata pasien berkurang,
tetapi penglihatan tetap kabur. Pasien memiliki riwayat hipertensi. Pada status
generalisata pasien dalam batas normal hanya saja tekanan darah cukup tinggi
yaitu 150/90 mmhg. Sedangkan untuk status oftalmologikus pasien ditemukan
visus pada okuli dekstra sebesar 4/6 dan pada okuli sinistra 3/6. Pada konjungtiva
bulbi terdapat injeksi siliar di kedua mata pasien. Didapatkan keadaan kornea
yang keruh disertai keratik presipitat dan infiltrate pada kornea kedua mata pasien.
Terdapat flare pada COA kedua mata pasien, sinekia posterior pada iris kedua
mata pasien. Selain itu pada pupil didapatkan keadaan bulat, miosis, diameter 2
mm, ireguler, refleks pupil langsung dan tidak langsung +/+ pada kedua mata
pasien.
Nonmedikamentosa :
35
- Menghentikan penggunaan tetes mata yang dibeli pasien sendiri
- Menggunakan obat yang sudah diresepkan secara teratur.
Medikamentosa :
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Liyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 4. Jakarta : FKUI. 2013. p.7-8
2. Gerhard K. Lang and Gabriele E. Lang. Opthalmology. New York : Thieme
Stuttgart. 2012. p.348-69.
3. Soewono W, Budiono S, Eddyanto, Zuhria I, Montana R. Penyakit Mata Luar dan
Kornea. In : Budiono S, Saleh TT, Moestijb, Eddyanto. (eds). Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Mata. Surabaya ; 2013. p.121 -2.
4. Nischal K, Pearson A. Clinical Ophtalmology : A Systematic Approach. 7th
ed. Saunders : Elsevier ; 2011.p.402-62.
5. Ming AL, John I. Color Atlas of Opthalmology. 3rd ed. World Science : Elsevier;
2012. p.65-74.
37