You are on page 1of 22

LAPORAN PORTOFOLIO

Topik : Medikolegal

Diajukan dalam rangka praktek klinis dokter internsip sekaligus bagian dari
persyaratan menyelesaikan program internsip dokter Indonesia
di RSUD Simo Boyolali

Disusun oleh :

dr. Nadia Ovianti

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAHSAKIT UMUM DAERAH SIMO

KABUPATEN BOYOLALI

2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN KASUS PORTOFOLIO

Medikolegal

Disusun oleh :
Nadia Ovianti

Telah dipresentasikan pada


Tanggal, 9 Mei 2018

Pembimbing,

dr. Yopie Ibrahim

2
BORANG PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Topik : Medikolegal
Tanggal MRS : -
Presenter : dr. Nadia Ovianti
Tanggal Periksa : 15 Maret 2018
Tanggal Presentasi Pendamping
9 Mei 2018 dr. Yopie Ibrahim
: :
Tempat Presentasi :
Objektif Presentasi :
□ Tinjauan
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran
Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa

□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia
Bumil
□ Deskripsi : Bayi, 4,5 bulan dengan keluhan digigit kelabang
□ Tujuan : Penegakkan diagnosa dan pengobatan yang tepat.
Bahan □ Tinjauan
□ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan : Pustaka
Cara □ Presentasi dan
□ Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas : Diskusi
Data Pasien
Nama : No. Registrasi : 110304xxxx
:
Nama RS : RSUD SIMO Telp : Terdaftar sejak:
Data Utama untuk Bahan Diskusi :
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Pasien datang bersama orang tua dengan keluhan digigit kelabang di bagian
pinggang dekat pantat sejak malam ini. Pasien rewel tetapi tidak didapatkan
demam. Keluarga mengetahui dengan pasti hewan yang menggigit adalah
kelabang dan langsung membawa pasien ke IGD. Pasien disarankan rawat
inap tetapi keluarga menolak.

3
2. Riwayat Pengobatan : Belum menggunakan obat-obatan apapun sebelum
dibawa ke IGD
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit: Pasien belum pernah mengalami keluhan
seperti ini sebelumnya
4. Riwayat Keluarga : Riwayat keluhan serupa disangkal.
5. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :Status ekonomi keluarga pasien
termasuk menengah.
6. Lain-lain :
Sosial ekonomi menengah, pasien menggunakan biaya sendiri

Daftar Pustaka :

Norris, RL. 2017. Centipede Envenomation.


https://emedicine.medscape.com/article/769448-overview. Diakses 26 April
2018.

Burns, BD. 2017. Insect Bites. https://emedicine.medscape.com/article/769067-


overview. Diakses 26 April 2018.

Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di Tingkat Provinsi. Dalam:
Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri
Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Accessed: 6th October 2013

Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik Indonesia.
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta. 1991. Accessed 7th October 2013.

Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun


2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004. Accessed 7 th October
2013

Tom L. Beauchamp and James F. Childress. Principles of Biomedical Ethics, 6th


Edition. Oxford: Oxford University Press, 2008. pp. 417. ISBN 978-0-19-
533570-5
Jeffrey W. Bulger. Teaching Ethics Vo.8, #1, Fall 2007. Society for Ethics Across the
Curriculum. pp. 81–100.

Hasil Pembelajaran :

4
1. Medikolegal melalui penolakan rawat inap

Keterangan Umum :
Nama : An. F
Usia : 4,5 bulan
No RM : 180311xxxx
Alamat : Sumber, Simo
Agama : Islam
Suku : Jawa
Warga Negara : Warga Negara Indonesia (WNI)
A. ANAMNESIS
SUBJEKTIF
Keluhan Utama : digigit kelabang
Pasien datang bersama orang tua dengan keluhan digigit kelabang di
bagian pinggang dekat pantat sejak malam ini. Pasien rewel tetapi tidak
didapatkan demam. Keluarga mengetahui dengan pasti hewan yang
menggigit adalah kelabang dan langsung membawa pasien ke IGD.
Pasien disarankan rawat inap tetapi keluarga menolak. Pasien belum
menggunakan obat-obatan apapun sebelum dibawa ke IGD. Pasien
belum pernah mengalami keluhan ini sebelumnya dan tidak ada keluarga
dengan keluhan yang sama. Pasien menggunakan biaya sendiri.
B. PEMERIKSAAN FISIK
OBJECTIVE
PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Vital sign
o Nadi: 112x/menit
o RR: 24x/menit
o Temp: 36,1 C
 Kepala leher:

5
o Mata : Reflek pupil +/+ , Pupil isokor 2mm/2mm , konjunctiva
anemis -/-, ikterus -/-.

o THT :

 Telinga: sekret (-)


 Hidung : nafas cuping hidung (-)
 Tenggorokan : dbn

o Bibir: sianosis (-)


o pembesaran KGB (-)
o tiroid dalam batas normal
 Thorax:
o Pulmo:
 Inspeksi : simetris, retraksi (-)
 Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri
 Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-,
o Cor:
 Inspeksi: tidak tampak ictus cordis
 Palpasi: ictus cordis di ICS 5 MCL S
 Perkusi: batas jantung normal
 Auskultasi: s1 s2 tunggal, murmur -, gallop-
 Abdomen:
o Inspeksi : flat, distensi (-)
o Auskultasi : bising usus (+) normal
o Palpasi : Hepar/lien tidak teraba
o Perkusi : timpani (+)

 Ekstrimitas : anemia -/-, edema -/-, Capillary Refill Time < 2

6
Kondisi Pasien

Status Lokalis:
L/ Gluteus S
D/ Terlokalisit
R/ Eritematus + edema ukuran 11x8 cm teraba hangat

C. DIAGNOSIS BANDING
Insect Bite

D. DIAGNOSIS KERJA
Insect Bite – Gigitan Kelabang

E. PENATALAKSANAAN
a) Planning Therapy
1. Ranitidin 30 mg mfla pulv dtd 2x1 PO
2. Cefadroxil syr fl 2x ¾ cth PO
3. Metilprednisolon 2 mg mfla pulv dtd 1x1 PO
4. Injeksi Ranitidin 1 amp & Metilprednisolon (rawat inap – konsul

7
dr Agnes, SpA)
5. Pemberian ABU (rawat inap – konsul dr Rahadian, SpB)
6. Rawat jalan karena menolak rawat inap:
a. Metilprednisolon 3 x 3 mg mfla pulv dtd
b. Ranitidin 3x 15 mg mfla pulv dtd
c. Paracetamol syr fl 3x1 cth
d. Cefadroxil 2 x ¾ cth

A. PEMBAHASAN KASUS
Pada kasus ini diagnosa pasien ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Setelah
dilakukan anamnesis kepada pasien, keluhan tersebut mengarah kepada
diagnosis insect bite, terutama gigitan kelabang. Bayi berusia 4,5 bulan
datang dengan bersama orang tuanya dengan keluhan digigit kelabang
pada daerah pinggang dekat pantat. Meski demikian, diagnosis pasti
dapat ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Keluhan kemerahan, panas, merah dan nyeri didapatkan pada
bagian gigitan.
Pasien belum pernah mengalami keluhan ini sebelumnya, dan dari
riwayat penyakit keluarga juga tidak didapatkan keluhan serupa.
Dari pemeriksaan fisik, didapatkan keadaan pasien sedang, rewel
dan gelisah. Tidak ada demam, tetapi pada pemeriksaan lokal didapatkan
bekas gigitan dengan eritema di sekelilingnya, teraba hangat dan edema
dengan ukuran 11x8 cm. Melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien
didiagnosis dengan gigitan kelabang.
Pasien kemudian dikonsulkan pada Dokter Spesialis Anak dan
Dokter Spesialis Bedah, dengan advis rawat inap dan pemberian
Metilprednisolon injeksi dan juga Ranitidin, Dokter Spesialis Bedah
menyarankan pemberian Anti Bisa Ular.
Hal tersebut dengan mempertimbangkan :

8
- Kondisi pasien yang masih rewel dan kesakitan, serta keadaan
bengkak pada pinggang
- Perlu dilakukan pemeriksaan penunjang :
 Darah rutin untuk mengetahui apakah ada infeksi sekunder
pada pasien.
- Resiko reaksi anafilaksis pada pemberian ABU maupun reaksi
inflamasi berkelanjutan pada pasien. Sehingga perlu monitoring
tanda vital dan keadaan umum pasien hingga keadaan telah stabil.
Dari pertimbangan kondisi pasien yang seperti ini, pasien harus
rawat inap untuk penanganan yang tepat dan sesuai untuk mengurangi
nyeri dan inflamasi. Namun ternyata pasien menolak untuk dilakukan
rawat inap dengan alasan tidak nyaman menginap dirumah sakit dan lebih
memilih untuk mendapatkan obat pulang. Oleh dokter sudah dijelaskan
mengenai kondisi pasien yang diharuskan untuk di rawat inap, tetapi
pasien tetap menolak. Dokter pun sudah menjelaskan kemungkinan-
kemungkinan yang bisa terjadi jika pasien tidak dirawat inap. Pasien serta
keluarga pun sudah mengerti dan tetap minta untuk berobat jalan.
Kemudian pasien kami minta untuk menandatangani pernyataan
penolakan rawat inap.
Adapun obat pulang yang diberikan pada pasien yakni Ranitidin 30
mg dalam bentuk puyer yang dikonsumsi 2x sehari, Cefadroxil sirup 2x3/4
cth, dan Metilprednisolon 2 mg dalam bentuk puyer 1x sehari. Oleh Dokter
Spesialis Anak diberikan advis Metilprednisolon 3mg dalam bentuk puyer
diminum 3x sehari, Ranitidin 3x15 mg puyer, Paracetamol 3x1 cth, dan
Cefadroxil 2x3/4 cth untuk mengurangi inflamasi dan rasa nyeri pada
pasien. Selain itu pada pasien juga kami berikan edukasi tanda-tanda
inflamasi yang memberat atau reaksi alergi.
Berdasarkan kasus diatas terdapat hak dan kewajiban untuk pasien
maupun dokter. Hak dan kewajiban tersebut bertujuan untuk
menyelaraskan dan menyeimbangkan persepsi antara hak dan kewajiban
serta mencegah terjadinya perbedaan. Pada sebagian besar hak dan

9
kewajiban seorang tenaga medis tercantum dalam perundang – undangan
kesehatan dan praktik kedokteran. Pada kasus ini pasien memiliki hak dan
kewajiban sebagai seorang pasien. Pasien mempunyai hak untuk
mendapatkan pengobatan dan pelayanan kesehatan komprehensif dari
pusat pelayanan kesehatan maupun tenaga medis. Sedangkan seorang
tenaga medis berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan sesuai
dengan strandar profesi dan kemampuan yang dimiliki untuk memberikan
pelayanan kesehatan terhadap seseorang pasien sesuai dengan
kebutuhan medis pasien.
Seorang pasien memiliki hak dan kewajiban, dimana hak pasien
tercantum dalam UU No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran pasal
52 serta tertuang juga dalam UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan
pasal 4 dan 5. Hak – hak pasien antara lain pasien berhak mendapatkan
penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis yang akan dilakukan,
pasien mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan medis sesuai
kebutuhan medisnya, pasien memiliki hak untuk menolak tindakan medis,
pasien memiliki hak untuk meminta pendapat dokter lain dan pasien
memiliki hak untuk mengetahui isi rekam medisnya. Selain itu seorang
pasien juga memiliki suatu kewajiban yang tertuang dalam pasal 53 UU
No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan pasal 9 serta 10 UU
No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, dimana seorang pasien memiliki
kewajiban untuk mematuhi ketetntuan yang berlaku disarana pelayanan
kesehatan, pasien memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang
lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya dan pasien memiliki
kewajiban untuk mematuhi nasihat petunjuk dari dokter.
Sebagai seorang dokter , dokter memiliki hak dan kewajiban yang
tertuang dalam pasal 50 dan 51 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran. Hak sesbagai seorang dokter diantara lain dokter memiliki hak
untuk memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
operasional prosedur dan dokter memiliki hak untuk memperoleh
perlindungan hukum dalam menjalankan tugasa sesuai standar profesi

10
dan standar prosedur operasional. Selain itu dokter juga memiliki
kewajiban untuk memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan
standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
Dalam hal ini pasien sudah mendapatkan haknya untuk menerima
pelayanan tatalaksana awal sesuai dengan tatalaksana gigitan kelabang
di IGD. Sedangkan dokter juga sudah melakukan kewajiban berupa
memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar
prosedur operasional sesuai kebutuhan medis pasien. Namun pada kasus
ini juga terdapat masalah bioetika dimana pasien disarankan oleh dokter
untuk melakukan perawatan di ruang rawat inap yang bertujuan untuk
mendapatkan pengobatan yang tepat dan intensif untuk mengatasi
kemungkinan keadaan gawat yang memperparah keadaan pasien.
Namun pasien dan keluarga pasien menolak untuk dilakukan perawatan di
ruang rawat inap dikarenakan merasa tidak nyaman berada di Rumah
Sakit.
Kaedah etika yang sesuai dengan masalah ini adalah otonomi.
Otonomi berarti menghormati martabat manusia (respect for
person/autonomy). Menghormati martabat manusia. Setiap individu
(pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak
untuk menentukan nasib diri sendiri) dan dalam hal ini hak orang tua untuk
menentukan nasib pasien.

11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Identifikasi
Sekitar 3500 spesies kelabang ditemukan di kelas Chilopoda, filum
Arthropoda. Hewan ini termasuk artropoda yang kurang dipelajari.
Kelabang adalah artropoda multisegmen yang memanjang dengan
sepasang kaki di setiap segmen tubuh. Hewan ini ada di setiap benua
kecuali Antartika, dan sangat umum di daerah beriklim hangat dan tropis.
Kelabang menghabiskan banyak waktu di bawah tanah atau di tumpukan
batu dan biasanya keluar pada malam hari untuk secara aktif memburu
mangsanya. Spesies paling berbahaya milik genus Scolopendra, dengan
anggota terbesar (Scolopendra gigantea) mencapai panjang 26 cm.

2.2 Patofisiologi
Alat untuk memasukkan racun terdiri dari sepasang kaki depan
yang dimodifikasi (mis. Forcipule) tepat di belakang mandibula. Racun
diproduksi di kelenjar, umumnya terletak di dasar masing-masing
forcipule, dan disuntikkan melalui saluran ketika forcipules dimasukkan ke
dalam jaringan korban. Racun kelabang belum diteliti secara luas seperti
racun laba-laba dan kalajengking tetapi mengandung beragam komponen,
termasuk 5-hidroxitriptamin (serotonin), histamin, metaloprotease,
hialuronidase, protein CAP, dan saluran ion modulator. Selain itu,
beberapa racun kelabang dapat menyebabkan pelepasan histamin secara
endogen. Selain racun, beberapa spesies dapat mengeluarkan zat
defensif dari kelenjar yang ditemukan di sepanjang segmen tubuh. Sekresi
ini biasanya tidak beracun bagi manusia, meskipun setidaknya satu
spesies dari genus Otostigmus mengeluarkan zat iritan (Norris, 2017).
Jenis reaksi
Reaksi lokal dapat menyebabkan ketidaknyamanan, gatal, nyeri
sedang atau berat, eritema, nyeri tekan, dan edema jaringan di sekitar

12
lokasi. Meskipun mungkin melibatkan sendi yang dekat dengan lokasi,
reaksi lokal tidak menimbulkan gejala sistemik. Dalam reaksi lokal yang
parah, keluhan termasuk eritema luas, urtikaria, dan edema pruritus.
Reaksi lokal yang parah meningkatkan kemungkinan reaksi sistemik yang
serius jika pasien terpapar lagi pada kesempatan lain.
Dalam reaksi sistemik atau anafilaksis, pasien mungkin
mengeluhkan gejala lokal serta gejala yang berada di tempat lain selain
lokasi gigitan. Gejalanya bisa berkisar dari ringan hingga fatal. Keluhan
awal biasanya termasuk ruam luas, urtikaria, pruritus, dan angioedema.
Gejala-gejala ini dapat berkembang, dan pasien dapat mengalami
kecemasan, disorientasi, kelemahan, gangguan gastrointestinal (misalnya
kram, diare, muntah), kram uterus pada wanita, inkontinensia urin atau
alvi, pusing, sinkop, hipotensi, stridor, sesak nafas, atau batuk. Ketika
reaksi berlangsung, pasien mungkin mengalami kegagalan pernafasan
dan kolaps kardiovaskular. Reaksi yang tertunda mungkin muncul 10-14
hari setelah sengatan. Gejala reaksi yang tertunda menyerupai serum
sickness dan termasuk demam, malaise, sakit kepala, urtikaria,
limfadenopati, dan poliartritis (Burns, 2017).
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Riwayat gigitan kelabang biasanya mudah diperoleh. Korban
(seringkali tukang kebun) biasanya melihat makhluk yang menggigit.
Pasien dapat mencatat hal-hal berikut: Nyeri yang parah (lebih buruk
dengan spesimen yang lebih besar), pembengkakan jaringan lokal,
kemerahan, kelenjar getah bening yang bengkak dan nyeri, sakit kepala,
nyeri dada, palpitasi, mual dan / atau muntah, kegelisahan, pruritus lokal
Temuan fisik karena gigitan kelabang mungkin termasuk yang
berikut: Edema lokal, luka tusukan kecil (mungkin sulit dilihat), eritema,
ekimosis, limfangitis dan / atau limfadenopati, kadang-kadang vesikel atau
lepuh, kemungkinan nekrosis lokal, pasien mungkin merasa tidak nyaman
atau cemas.

13
2.3 Komplikasi
Infeksi sekunder, nekrosis luka (tidak umum), sindrom
kompartemen (jarang), rabdomiolisis, mioglobinuria, dan gagal ginjal akut,
kemungkinan vasospasme koroner dan infark miokard akut, anafilaksis
(Pasien dengan riwayat sensitivitas terhadap himenoptera mungkin
berisiko lebih tinggi).

2.4 Studi Laboratorium


Tes urin di samping tempat tidur untuk proteinuria, mioglobinuria
sekunder akibat rabdomiolisis pada pasien dengan pembengkakan dan
nyeri yang signifikan pada ekstremitas yang terkena. Jika ada
rabdomiolisis, serum elektrolit dan fungsi ginjal harus diperiksa. Hitung sel
darah lengkap, jika dilakukan, dapat mengungkapkan leukositosis
neutrofilik. Jika pembengkakan ekstremitas yang terkena parah dan
sindrom kompartemen dicurigai, tekanan intrakompartemen harus dinilai
secara obyektif. Jika didiagnosis sindrom kompartemen, ekstremitas harus
dilakukan elevasi dan dirancangkan fasiotomi. Pemberian mannitol
intravena dapat dilakukan dalam upaya untuk mengurangi tekanan
sebelum operasi (Norris, 2017).
Terapi
Manajemen gigitan kelabang sepenuhnya suportif untuk
mengurangi gejala. Nyeri dapat dikelola dengan analgesik sistemik, bila
perlu. Nyeri dapat dikelola dengan anestesi suntik lokal (misalnya,
lidocaine, bupivacaine). Ini dapat disuntikkan secara lokal atau digunakan
dalam melakukan blok saraf regional. Antibiotik profilaksis tidak
diperlukan, tetapi infeksi sekunder harus dilakukan kultur dan diobati
dengan antibiotik yang tepat (untuk melawan bakteri gram positif).
Antihistamin dapat digunakan untuk pasien dengan pruritus yang
signifikan. Pasien harus diamati selama sekitar 4 jam untuk bukti toksisitas
sistemik. Pasien yang mengalami anafilaksis harus dikelola dengan
algoritme anafilaksis. Jika pembengkakan jaringan lunak yang parah atau

14
rabdomiolisis jelas didapatkan setelah gigitan kelabang, pasien harus
dirawat dan diamati untuk risiko sindrom kompartemen dan manajemen
mioglobinuria yang diperlukan.
Analgesik sebagai kontrol nyeri sangat penting untuk perawatan
pasien yang berkualitas. Analgesik memastikan kenyamanan pasien dan
memiliki sifat penenang, yang bermanfaat untuk pasien terutama dengan
komplikasi gigitan kelabang yang berkelanjutan.
Asetaminofen adalah obat pilihan untuk mengobati rasa sakit pada
pasien dengan hipersensitivitas terhadap aspirin atau NSAID, dengan
penyakit GI atas, atau yang menggunakan antikoagulan oral.
Asetaminofen dengan kodein diindikasikan untuk pengobatan nyeri ringan
hingga sedang pada orang dewasa. Kodein harus dihindari pada anak-
anak karena variabel metabolisme dan peningkatan risiko efek samping.
Antihistamin mencegah respons histamin di ujung saraf sensoris
dan pembuluh darah; lebih efektif dalam mencegah respons histamin
daripada membalikkannya. Antihistamin H2 berguna dalam pengobatan
reaksi anafilaktik bila digunakan bersamaan dengan antagonis H1.
Banyak H2 blocker tersedia. Difenhidramin (Benedryl) digunakan untuk
meredakan gejala alergi yang disebabkan oleh histamin yang dilepaskan
sebagai respons terhadap alergen.
Obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) paling sering digunakan
untuk meredakan nyeri ringan hingga sedang. Meskipun efek NSAID
dalam pengobatan nyeri tergantung pasien, ibuprofen biasanya
merupakan obat pilihan untuk terapi awal. Pilihan lain termasuk
fenoprofen, flurbiprofen, asam mefenamat, ketoprofen, indometasin, dan
piroksikam.
Ibuprofen (Ibuprin, Advil, Motrin) umumnya digunakan sebagai obat
pilihan untuk pengobatan nyeri ringan hingga sedang jika tidak ada
kontraindikasi. Obat ini menghambat reaksi inflamasi dan rasa sakit,
dengan menurunkan sintesis prostaglandin. Ketoprofen (Oruvail, Orudis,
Actron) digunakan untuk menghilangkan nyeri dan peradangan ringan

15
sampai sedang. Dosis kecil pada awalnya diindikasikan pada pasien anak
atau lanjut usia dan pada mereka dengan penyakit ginjal atau hati. Dosis
lebih dari 75 mg tidak meningkatkan efek terapeutik. Berikan dosis tinggi
dengan hati-hati dan amati pasien dengan saksama. Flurbiprofen (Ansaid)
dapat menghambat siklooksigenase, menyebabkan penghambatan
biosintesis prostaglandin. Efek ini dapat menyebabkan aktivitas analgesik,
antipiretik, dan anti-inflamasi. Pilihan lain menggunakan Naproxen
(Anaprox, Naprelan, Naprosyn) (Norris, 2017).

2.5 HAK DAN KEWAJIBAN DOKTER


Dalam melaksanakan praktik kedokteran, Dokter atau dokter gigi
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan
kewajiban ini diatur dalam Paragraf 6 Pasal 50-51 UU RI No.29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut
ialah :
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai hak :
a. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;
b. Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar
prosedur operasional;
c. Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau
keluarganya; dan
d. Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dlam melaksanakan praktik kedokteran
mempunyai kewajiban :
a. Memberikan pelayanan medis
b. sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;

16
c. Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai
keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
d. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
e. Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
f. Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.

2.6 HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN


Dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, pasien pun
mempunyai hak serta kewajiban yang harus diperhatikan. Hak dan
kewajiban ini diatur dalam Paragraf 7 Pasal 52-53 UU RI No.29 Tahun
2004 Tentang Praktik Kedokteran. Adapun hak dan kewajiban tersebut
ialah :
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak:
a. Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3);
b. Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. Menolak tindakan medis; dan
e. Mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban;
a. Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah
kesehatannya;

17
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan;
dan memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

2.7 KAEDAH ETIK


1. Beneficence
Tindakan berbuat baik (beneficence). Terdapat dua macam
klasifikasi beneficence, yaitu:
 General beneficence :
a. melindungi & mempertahankan hak yang lain
b. mencegah terjadi kerugian pada yang lain,
c. menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain,
 Specific beneficence :
a. menolong orang cacat,
b. menyelamatkan orang dari bahaya.
c. Mengutamakan kepentingan pasien
d. Memandang pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh
menguntungkan dokter/rumah sakit/pihak lain
e. Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlahnya > akibat-
buruk)
f. Menjamin nilai pokok : “apa saja yang ada, pantas (elok) kita
bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada yg hidup).
Kaidah beneficence menegaskan peran dokter untuk menyediakan
kemudahan dan kesenangan kepada pasien mengambil langkah
positif untuk memaksimalisasi akibat baik daripada hal yang
buruk. Prinsip- prinsip yang terkandung didalam kaidah ini adalah;
a. Mengutamakan Altruisme
b. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
c. Memandang pasien atau keluarga bukanlah suatu tindakan tidak
hanya menguntungkan seorang dokter
d. Tidak ada pembatasan “goal based”

18
e. Mengusahakan agar kebaikan atau manfaatnya lebih banyak
dibandingkan dengan suatu keburukannya
f. Paternalisme bertanggung jawab/kasih sayang
g. Menjamin kehidupan baik-minimal manusia
h. Memaksimalisasi hak-hak pasien secara keseluruhan
i. Menerapkan Golden Rule Principle, yaitu melakukan hal yang baik
seperti yang orang lain inginkan
j. Memberi suatu resep berkhasiat namun murah
k. Mengembangkan profesi secara terus menerus
l. Minimalisasi akibat buruk

2. Non Maleficence
Tidak berbuat yang merugikan (non-maleficence).Praktik Kedokteran
haruslah memilih pengobatan yang paling kecil risikonya dan paling
besar manfaatnya. Pernyataan kuno: first, do no harm, tetap berlaku
dan harus diikuti. Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang
pasien, seperti :
a. Tidak boleh berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm)
pasien
b. Minimalisasi akibat buruk
c. Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal :
Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya
sesuatu yang penting
Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko
minimal).
Norma tunggal, isinya larangan.

3. Justice

19
Perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik,
agama dan faham kepercayaan, kebangsaan dan kewarganegaraan,
status perkawinan, serta perbedaan gender tidak boleh dan tidak
dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada
pertimbangan lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian
utama dokter.
a. Treat similar cases in a similar way = justice within morality.
b. Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai
fairness) yakni :
1) Memberi sumbangan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur
dari kebutuhan mereka (kesamaan sumbangan sesuai
kebutuhan pasien yang memerlukan/membahagiakannya)
2) Menuntut pengorbanan relatif sama, diukur dengan
kemampuan mereka (kesamaan beban sesuai dengan
kemampuan pasien).
Jenis keadilan :
a. Komparatif (perbandingan antar kebutuhan penerima)
b. Distributif (membagi sumber)
Kebajikan membagikan sumber-sumber kenikmatan dan beban
bersama, dengan cara rata/merata, sesuai keselarasan sifat dan
tingkat perbedaan jasmani-rohani; secara material kepada setiap
orang andil yang sama, sesuai dengan kebutuhannya, sesuai
upayanya, sesuai kontribusinya, sesuai jasanya, sesuai bursa
pasar bebas.

4. Autonomy
Menghormati martabat manusia (respect for
person/autonomy).Menghormati martabat manusia.Pertama, setiap
individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki
otonomi (hak untuk menentukan nasib diri sendiri), dan kedua, setiap

20
manusia yang otonominya berkurang atau hilang perlu mendapatkan
perlindungan.
a. PandanganKant : otonomi kehendak = otonomi moral yakni :
kebebasan bertindak, memutuskan (memilih) dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang ditentukan
sendiri tanpa hambatan, paksaan atau campur-tangan pihak luar
(heteronomi), suatu motivasi dari dalam berdasar prinsip rasional
atau self-legislation dari manusia.
b. PandanganJ. Stuart Mill : otonomi tindakan/pemikiran = otonomi
individu, yakni kemampuan melakukan pemikiran dan tindakan
(merealisasikan keputusan dan kemampuan melaksanakannya), hak
penentuan diri dari sisi pandang pribadi.
c. Menghendaki,menyetujui, membenarkan, mendukung, membela,
membiarkan pasien demi dirinya sendiri = otonom (sebagai mahluk
bermartabat).
d. Didewa-dewakan di Anglo-American yang individualismenya tinggi.
e. Kaidahikutannya ialah : Tell the truth, hormatilah hak privasi, lindungi
informasi konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting.
f. Eratterkait dengan doktrin informed-consent, kompetensi (termasuk
untuk kepentingan peradilan), penggunaan teknologi baru, dampak
yang dimaksudkan (intended) atau dampak tak laik-bayang (foreseen
effects), letting die.

21
DAFTAR PUSTAKA

Norris, RL. 2017. Centipede Envenomation.


https://emedicine.medscape.com/article/769448-overview. Diakses
26 April 2018.

Burns, BD. 2017. Insect Bites.


https://emedicine.medscape.com/article/769067-overview. Diakses
26 April 2018.

Organisasi dan Tata Kerja Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran


Indonesia dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia di
Tingkat Provinsi. Dalam: Peraturan Konsil Kodekteran Indonesia
Nomor 15/KKI/PER/VIII/2006. Menteri Kesehatan Republik
Indonesia. 2006. Accessed: 6th October 2013

Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksana Kode Etik


Indonesia. Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. Ikatan
Dokter Indonesia. Jakarta. 1991. Accessed 7th October 2013.

Praktik Kedokteran. Dalam : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor


29 Tahun 2004. Dewan Perwakilan Republik Indonesia. 2004.
Accessed 7th October 2013

Tom L. Beauchamp and James F. Childress. Principles of Biomedical


Ethics, 6th Edition. Oxford: Oxford University Press, 2008. pp. 417.
ISBN 978-0-19-533570-5
Jeffrey W. Bulger. Teaching Ethics Vo.8, #1, Fall 2007. Society for Ethics
Across the Curriculum. pp. 81–100.

22

You might also like