You are on page 1of 28

CASE REPORT

BRONKIEKTASIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Paru
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Riana Sari, Sp.P.

Diajukan Oleh :

Najmarani Devi Firdaus, S.Ked J510181030

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018

1
CASE REPORT

BRONKIEKTASIS

Disusun Oleh :

Najmarani Devi Firdaus, S.Ked


J510181030

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari, Kamis 5 Juli 2018

Pembimbing:
dr. Riana Sari, Sp.P ( )

dipresentasikan di hadapan
dr. Riana Sari, Sp.P ( )

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT PARU


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD KARANGANYAR
2018

2
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Bp. S
Umur : 48 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Suku : Jawa
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Joho Kidul, RT 002 RW 003, Joho,
Mojolaban, Sukoharjo
No. RM : 113***
Tanggal pemeriksaan : 3 Juli 2018

II. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli konsulen BBKPM Surakarta pada tanggal
3 Juli 2018 dengan keluhan sesak napas di dada kanan disertai
batuk berdahak berwarna hijau kental yang dirasakan di pagi
hari. Keluhan dirasakan sejak 2 bulan SMRS. Intensitas
dirasakan terus-menerus tiap pagi hari. Pasien masih dapat
beraktivitas. Pasien merasa lebih baik bila mekonsumsi obat,
tidak membaik hanya dengan istirahat. Pasien merasa keluhan
semakin berat dengan aktivitas. Pasien tidak mengeluhkan
gejala lain seperti batuk dengan dahak kemerahan maupun
keringat dingin di malam hari.

3
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengakui bahwa dulu bekerja di bengkel las, namun kini
pasien sudah bekerja di bengkel tambal ban. Pasien mengakui
bahwa sebelumnya pernah menderita penyakit serupa yaitu
batuk aktif selama kurang lebih 15 menit disertai keringat saat
bangun tidur pada sekitar tahun 1992. Keluhan tersebut lama
menghilang hingga akhirnya kini timbul kembali. Pasien juga
mengakui adanya riwayat pengobatan TB saat usia pasien
sekitar 24 tahun. Namun, pengobatan TB yang dilakukan pasien
tidak tuntas hingga akhir, pasien hanya mekonsumsi obat
selama 3 bulan dan berhenti karena dirasa sudah membaik. Satu
tahun setelah waktu berlalu, pasien mengeluhkan batuk kembali
namun saat itu tidak diberikan obat anti tuberkulosis. Pasien kini
mengeluhkan gejala serupa yaitu batuk aktif di pagi hari. Pasien
pernah dirawat inap di rumah sakit karena operasi tulang.
Riwayat keluhan serupa : diakui
Riwayat penyakit asma : diakui
Riwayat penyakit TB/minum OAT : diakui
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat diabetes melitus : disangkal
Riwayat pengobatan : diakui
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat sakit serupa : diakui
b. Riwayat hipertensi : diakui
c. Riwayat diabetes melitus : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat alergi obat : disangkal
f. Riwayat TB paru : disangkal
g. Riwayat merokok : diakui

4
5. Riwayat Penyakit di Lingkungan
a. Penyakit Serupa : disangkal
6. Riwayat Kebiasaan Sosial
a. Riwayat pajanan alergen : diakui
b. Riwayat pekerjaan : diakui
c. Riwayat merokok : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


1. Status General
a. Keadaan umum : Baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Gizi : Baik
2. Vital sign
a. Tekanan darah : 108/66 mmHg
b. Nadi : 64 x/menit
c. Suhu : 37,1ºC
d. Respirasi rate : 24 x/menit
3. Kulit
Ikterik (-), petekie (-), purpura (-), hiperpigmentasi (-), turgor
cukup, kulit kering (-), hiperemis (-), sikatriks (-).
4. Kepala
Normocephal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka (-)
a. Mata
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+), edema palpebra (-/-),
mata cekung (-/-).
b. Hidung
Napas cuping hidung (-), defomitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)
c. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).

5
d. Mulut
Sianosis (-), stomatitis (-) pada lidah, gusi berdarah (-),kering(-),
papil lidah atrofi (-), mukosa pucat (-), luka pada sudut bibir (-),
karies gigi (-).
e. Leher
Deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-), pembesaran kelenjar
limfe (-).
5. Thorak
a. Paru
 Inspeksi : kelainan bentuk (-), simetris kanan kiri,
ketinggalan gerak (-/-).
 Palpasi :
Ketertinggalan gerak
Depan Belakang
- - - -
- - - -
- - - -

Fremitus
Depan Belakang
Kanan Kiri Kanan kiri
Normal Normal Normal Normal
Normal Normal Normal Normal
Normal Normal Normal Normal

 Perkusi :
Depan Belakang
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor
Sonor Sonor Sonor Sonor

6
 Auskultasi :
Depan Belakang
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler Vesikuler Vesikuler
Ronki Ronki Ronki Ronki

b. Jantung
 Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
 Perkusi : (batas jantung)
Batas kiri jantung
Atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung
Atas : SIC II linea parasternalis dextra
Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Kesan batas jantung tidak melebar
 Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, reguler,
murmur (-)
6. Abdomen
 Inspeksi :
Dinding abdomen sejajar dengan dinding dada,
distended (-), venektasi (-)
 Auskultasi :
Peristaltik normal
 Perkusi :
Timpani (+), undulasi (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-)

7
 Palpasi :
Hepar teraba normal, lien normal, defens muskular
(-), nyeri tekan 4 kuadran (-), nyeri tekan lepas 4
kuadran (-)
7. Ektremitas
 Superior : clubbing finger (-/-), edema (-/-), akral
hangat (+/+)
 Inferior : Clubing finger (-/-), edema (-/-), akral
hangat (+/+).

IV. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan Sputum menggunakan TCM (Tes Cepat Molekuler)
08 Mei 2018
Hasil : MTB tidak terdeteksi

8
Foto Rontgen :
Tanggal 30 April 2018

Jantung:
1.Normal
Paru-paru :
1. corakan vaskuler kasar
2. honey comb appearance (+) di kedua paru
3. diafragma kanan dan kiri agak mendatar
Diagnosis :
- Bronkiektasis

V. Daftar Abnormalitas
- Anamnesis
 Sesak napas di pagi hari
 Batuk berdahak berwarna putih kental

9
- Pemeriksaan fisik
 Auskultasi terdengan ronki pada lapang paru kanan dan kiri
- Pemeriksaan rontgen thorax :
 Pulmo : corakan vaskuler kasar, honey comb appearance pada kedua
lapang paru, diafragma kanan dan kiri agak mendatar
- Pemeriksaan laboratorium
 TCM  MTB tidak terdeteksi

VI. Penegakan Diagnosis


 Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
1. Anamnesis
- Sesak napas
- Batuk berdahak
2. Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan paru-paru  fremitus kanan dan kiri meningkat
3. Pemeriksaan penunjang
- Foto Thoraks : gambaran bronkiektasis
- Laboratorium : TCM  MTB (-)

VII. Diagnosis
Diagnosis : Bronkiektasis
Diagnosis Banding : Empisema, TB paru

VIII. Usul Pemeriksaan Penunjang


Foto Thoraks PA dan Pemeriksaan Sputum

IX. Penatalaksanaan
- Steroid : Spiruva 1x1
- Antibiotik : NAC 2x250mg
- PPI : Lanzoprazole 1x1
- Fisioterapi : latihan napas, Infra Red, Postural drainage, latihan exercise

10
Edukasi :
- Konsumsi obat teratur
- Kontrol rutin sesuai jadwal (3/8/2018)
- Batasi aktivitas dan exercise
- Konsumsi makanan sehat beragam
- Istirahat/tidur cukup sesuai kebutuhan
- Hindari asap rokok, debu, aktivitas berlebih atau pemicu sesak nafas
dan batuk
- Batuk secara efektif, buang dahak pada tempatnya, tetap pakai masker

X. Prognosis
Dubia ad bonam

XI. Pencegahan
- Vaksinasi (vaksin pneumokok dan vaksin influenza)
- Menjaga kebersihan tangan, penggunaan masker, menerapkan etika
batuk
- Menerapkan kewaspadaan standar dan isolasi pada kasus khusus

Follow Up

Tgl SOA P
08 S/ P/
Mei batuk (+), dahak (+), sesak napas (+), - Cetirizine 1x10mg
2018 tidur (-) - Aminophilin 75mg/
O/ Salbutamol 1mg/
KU : lemas Ambroxol 15mg (pulv da
KS : CM in caps) 2x1
TD : 120/78 mmHg
N : 82 x/mnt,
T : 37,1
RR : 24 x/mnt
SpO2 : 93 %
BB : 49,4 Kg

11
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-)
Thorax : Paru :
I: dada kanan : kiri simetris
P: fremitus normal,
P : sonor / sonor
A : SDV (+/+), wheezing (-/-), RBK
(+/+) ↓↓, crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

Pemeriksaan: TCM dan Kultur


Hasil: Not detected
A/
Bronkiektasis
15 S/ P/
Mei batuk (+), dahak (+), sesak napas (+), - Nebul Combivent +
2018 peningkatan BB (+) Flixotide 1/3 amp
O/ - Spiriva combo 1x1
KU : lemas - Aminophilin 75mg/
KS : CM Salbutamol 1mg/
Ambroxol 15mg (pulv da
TD : 111/66 mmHg
in caps) 2x1
N : 81 x/mnt,
T : 37,1
RR : 24 x/mnt
SpO2 : 93 %
BB : 49,8 Kg
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-)
Thorax : Paru :
I: dada kanan : kiri simetris
P: fremitus normal,
P : sonor / sonor
A : SDV (+/+), wheezing (-/-), RBK
(+/+), crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

12
A/
Bronkiektasis - PPOK
22 S/ P/
Mei Batuk (+), dahak (+), sesak napas (-) - Spiriva refill 1x1 (10)
2018 - Aminophilin 75mg/
O/ Salbutamol 1mg/
KU : Baik Ambroxol 15mg (pulv da
KS : CM in caps) 2x1
TD : 111/65 mmHg
N : 74 x/mnt,
T : 36,5
RR : 24 x/mnt
SpO2 : 97%
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB normal
Thorax : Paru : tidak ada ketinggalan
gerak, fremitus kanan kiri normal,
suara perkusi sonor dan SDV (+/+),
RBK (+/+)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

A/
Bronkiektasis – PPOK
5 S/ batuk (+) dahak (+) lengket, sesak P/
Juni napas (-) - Spiriva 1x1
2018 - NAC 2x200 mg
KU : baik - Aminophilin 75mg/
KS : CM Salbutamol 1mg/
TD : 134/55 mmHg Ambroxol 15mg (pulv da
in caps) 2x1
N : 77 x/mnt,
T : 36,5
RR : 24 x/mnt
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-) kepala dan leher
Thorax : Paru :
I : tidak ada ketinggalan gerak, dada
kanan=kiri
P : fremitus normal,
P : suara perkusi sonor / sonor

13
A: SDV (+/+), RBK (+/+), wheezing
(-/-), crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

A/
Bronkiektasis - PPOK
3 Juli S/ batuk berkurang, sesak (-), P/
2018 Dahak berkurang, demam (-) - Spiriva 1x1
- NAC 2x200mg
O/ - Lanzoprazole tab 500
KU : baik mg 1x1
KS : CM - Fisioterapi: IR, Latihan
TD : 108/66 mmHg napas, Latihan exercise
N : 64 x/mnt,
T : 37,1
RR : 24 x/mnt
SpO2 : 97%
K/L : normocephal, JVP normal,
KGB (-)
Thorax : Paru :
I : tidak ada ketinggalan gerak, dada
kanan=kiri
P :fremitus kanan depan meningkat,
P : suara perkusi sonor / sonor
A: SDV (+/+), rokhi (+/+), wheezing
(-/-), crackles (-/-)
Cor : dbn
Abdomen : dbn
Ekstremitas : dbn

A/
Bronkiektasis, PPOK

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Bronkiektasis secara klasik digambarkan sebagai salah satu penyakit
obstruksi bersama dengan PPOK dan asma, namun dengan sudut pandang
patologi yang berbeda. Bronkiektasis adalah diagnosis radiologis atau
patologis yang ditandai dengan dilatasi bronkus yang abnormal dan
ireversibel akibat inflamasi bronkus kronis. Bronkus yang mengalami
dilatasi adalah bronkus dengan diameter > 2 mm. Bronkiektasis dapat
bersifat lokal atau difus, dan umumnya dibagi menjadi bronkiektasis non
fibrosis kistik yang mengenai populasi yang heterogen dengan banyak
penyebab, dan bronkiektasis akibat fibrosis kistik.1
Bronkiektasis adalah inflamasi dan konsolidasi jaringan paru
disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, dan parasit). Non-kistik
fibrosis bronkiektasis merupakan suatu kondisi inflamasi kronik yang
menyebabkan obstruksi berulang pada bronkus yang berukuran kecil
maupun sedang sehingga mengakibatkan dilatasi permanen dan distorsi
struktur.2
Bronkhiektasis (BE) merupakan sebuah penyakit saluran napas
kronik yang dikarakteristik dengan adanya destruksi abnormal dan dilatasi
pada bronkus dan bronkhiolus 1. Hal ini mengakibatkan disfungsi fungsi
mucociliary clearance dan retensi sekresi mukus, infeksi bakteri berulang,
inflamasi kronik, dan destruksi jaringan yang bersifat progresif. 1–3

B. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab
a. Bronkiektasis akibat fibrosis kistik
b. Bronkiektasis akibat fibrosis non-kistik

15
C. Etiologi
Bronkiektasis memiliki berbagai macam etiologi, termasuk idiopatik
(hingga 50% kasus), pasca (riwayat) infeksi saluran napas, gangguan
imunodefisiensi yang langka, abnormalitas genetik, kondisi autoimmune,
inflamasi kronik, dan onstruksi mekanik. Bronkiektasis juga dikenal sebagai
penyakit penyerta paru lain atau merupakan komplikasi penyakit paru yang
telah ada sebelumnya seperti seperti Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).
Fibrosis kistik adalah penyebab terbanyak bronkiektasis di Eropa
dan Amerika utara.4 Sedangkan penyebab bronkiektasis non-fibrosis kistik
disebutkan dalam Tabel 1. Dua penelitian di Inggris menunjukkan masing-
masing 53% dan 26% merupakan idiopatik. Infeksi pernapasan berulang
merupakan penyebab terbanyak bronkiektasis non-fibrosis kistik. Infeksi
tuberkulosis dan nontuberculous mycobacterial (NTM) dapat menyebabkan
bronkiektasis. Beberapa penelitian besar juga menunjukkan bahwa sebagian
besar pasien yang didiagnosis asma atau PPOK pada pemeriksaan HRCT
menunjukkan gambaran bronkiektasis.1
Penyebab bronkiektasis
Penyakit autoimun
Artritis Reumatoid
Sindrom Sjogren
Abnormalitas silia
Diskinesia silia primer
Penyakit jaringan ikat
Trakeobronkomegali (Sindrom Mounier-Khun)
Penyakit Marfan
Defisiensi kartilago (sindrom Williams-Campbell)
Hipersensitivitas
Aspergilosis bronkopulmoner alergika Defisiensi imun
Defisiensi imunoglobulin
Infeksi HIV
Sindrom Job

16
Penyakit usus inflamasi
Kolitis ulseratif
Penyakit Crohn
Injuri
Pneumonia/infeksi pada anak
Aspirasi
Inhalasi asap
Keganasan
Limfoma limfositik kronik
Transplantasi sel punca; graft-versus-host disease Obstruksi
Tumor
Benda asing
Limfadenopati
Defisiensi α-1antitripsin
Sindrom kuku kuning (Yellow nail syndrome)
Sindrom Young

D. Faktor risiko
Faktor Risiko seseorang dapat terkena Bronkiektasis adalah :
- Merokok
- infeksi Pseudomonas aeruginosa,
- indeks massa tubuh (IMT) yang rendah,
- jenis kelamin laki-laki,
- lanjut usia,
- dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
- riwayat asma
- fungsi paru yang buruk

E. Patogenesis
Model lingkaran setan Cole digunakan untuk menjelaskan evolusi
bronkiektasis (Gambar 2). Pada individu dengan predisposisi, infeksi paru
atau cedera jaringan akan menyebabkan respons inflamasi yang kuat.

17
Respons inflamasi yang melibatkan netrofil, limfosit, dan makrofag serta
produk inflamasi yang dikeluarkan oleh mikroorganisme dan pertahanan
tubuh (protease, kolagenase dan radikal bebas) akan membuat dinding
bronkus menjadi lemah karena kehilangan elemen muskuler dan elemen
elastisnya. Mediator inflamasi juga akan merusak bersihan mukosilier
dengan cara menghambat gerakan silia dan mengubah komposisi sekret.
Kerusakan struktural saluran napas dan bersihan ini akan memudahkan
stasis mukus, yang meningkatkan risiko infeksi kronis dan selanjutnya akan
berputar lagi seperti lingkaran setan. Permulaan lingkaran setan ini berbeda-
beda tergantung penyakit penyebab. Terapi difokuskan pada memotong
lingkaran setan pada statis mukus, infeksi, inflamasi, dan kerusakan saluran
napas.1

Gambar 2. Lingkaran setan bronkiektasis. Respons inflamasi yang dimediasi host terhadap materi asing dan
bakteri di saluran napas menyebabkan kerusakan jaringan sehingga terjadi bronkiektasis, yang menyebabkan
bersihan mukus yang abnormal dan kolonisasi bakteri.1

Stres oksidatif juga berperan penting pada patofosiologi bronkiektasis.


Faktor utama yang ber- peran pada peningkatan stres oksidatif pada pasien
dengan bronkiektasis adalah eksaserbasi berulang dan kolonisasi patogen
kronis. Inflamasi saluran napas atas kronis menyebabkan penglepasan
sitokin pro inflamasi yang dapat memicu penglepasan reactive oxygen
species (ROS) secara terus menerus dan meningkatkan tingkat petanda stres
oksidatif. Penelitian oleh Olviera dkk3 menunjukkan bahwa petanda stres

18
oksidatif di plasma dan intraseluler meningkat pada pasien dengan
bronkiektasis dibandingkan dengan kontrol.

F. Patofisiologi
Berbagai mekanisme patogenesis bronkiektasis berakhir pada proses
patofisiologi yang serupa. Biasanya awalnya, epithellium bronkial rusak
akibat proses inflamasi; parenkim di sekitarnya terinfiltasi oleh sel
inflamasi. Kerusakan yang meluas hingga jaringan sekitar mengakibatkan
dilatasi epitellium bronkial sehingga berbentuk silindris, varicose, atau
dapat pula ditemukan distensi kistik, disertai kerusakan struktur sekitarnya.
Hal ini akan mengakibatkan penurunan daya mucociliary clearance
sehingga retensi produksi mukus yang memudahkan kolonisasi bakteri
disertai inflamasi kronik. (3). Lebih lanjut, mukosa bronkial akan menebal,
yang mana secara histologis menunjukkan metaplasis epithellium
squamosa.
Gejala hemoptysis yang dialami pasien bronkiektasis dapat terjadi akibat:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk
menyebabkan perdarahan
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronkhial dan pulmonal dan
juga terjadi aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus
yang mengalami ektasis.

G. Manifestasi
Gejala klasik bronkiektasis adalah batuk kronis dengan produksi sputum
mukopurulen yang banyak (umumnya 200 mL dalam 24 jam) atau infeksi
pernapasan yang berulang.1,2,4 Batuk juga bisa dengan sputum mukoid
atau bisa non produktif. Gejala lain antara lain rhinosinusitis, rasa lelah,
batuk darah, dispnea, nyeri dada pleuritik, mengi yang susah terkontrol,
bukan perokok yang didiagnosis PPOK, dan pasien dengan infeksi
Psudomonas aeruginosa atau NTM pada sputumnya. Pada eksaserbasi

19
bronkiektasis didapatkan peningkatan sputum (volume, kekentalan, dan
purulensi), peningkatan batuk, sesak napas, batuk darah, dan penurunan faal
paru.1. Pemeriksaan fisik pada penyakit yang lanjut terdapat kaheksia,
sianosis, jari tabuh, kor pulmonal, serta rhonki dan mengi yang difus. Pada
penyakit yang ringan pemeriksaan fisik dapat normal.1,2,4

H. Penegakkan diagnosis
1. Gambaran klinis
a. Anamnesis
Gejala klasik bronkiektasis adalah batuk kronis dengan produksi
sputum mukopurulen yang banyak (umumnya 200 mL dalam 24
jam) atau infeksi pernapasan yang berulang.1,2,4 Batuk juga bisa
dengan sputum mukoid atau bisa non produktif. Gejala lain antara
lain rhinosinusitis, rasa lelah, batuk darah, dispnea, nyeri dada
pleuritik, mengi yang susah terkontrol, bukan perokok yang
didiagnosis PPOK, dan pasien dengan infeksi Psudomonas
aeruginosa atau NTM pada sputumnya. Pada eksaserbasi
bronkiektasis didapatkan peningkatan sputum (volume,
kekentalan, dan purulensi), peningkatan batuk, sesak napas, batuk
darah, dan penurunan faal paru.1 Menurut Fjaellegard et al., gejala
klinik pada bronkiektasis adalah batuk produktif, dyspneau, dan
hemoptysis.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada penyakit yang lanjut terdapat kaheksia,
sianosis, jari tabuh, kor pulmonal, serta rhonki dan mengi yang
difus. Pada penyakit yang ringan pemeriksaan fisik dapat
normal.1,2,4
2. Pemeriksaan penunjang
a. Gambaran radiologis
Foto toraks (PA/lateral) Foto toraks berguna sebagai alat skrining
awal dan saat eksaserbasi, namun mempunyai keterbatasan

20
sensitivitas dan spesifisitas. Gambaran bronkiektasis pada foto
toraks antara lain parallel linear densities, tram-track opacities,
honey comb appearance atau ring shadows yang menggambarkan
dinding bronkus yang tebal dan dilatasi abnormal.2,9
b. Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis adalah HRCT (High-
Resonance Computed Tomography). HRCT lebih sensitif untuk
menegakkan diagnosis bronkiektasis serta menilai keparahan dan
luasnya penyakit, ditandai dengan bronkus yang tidak meruncing
ke arah perifer, bronkus terlihat pada jarak 1 cm dari perifer paru,
dan peningkatan rasio bronkoarterial (diameter internal bronkus
lebih besar daripada pembuluh darah yang menyertainya) yang
disebut signet-ring sign.1,2,11. Berdasarkan gambaran pada
HRCT, bronkiektasis dapat diklasifikasikan menjadi silindrik
(dilatasi dengan bentuk yang teratur), varikose (dilatasi dengan
bentuk yang tidak teratur), dan sakuler/kistik (dilatasi berbentuk
kavitas yang berisi pus dengan destruksi saluran napas yang lebih
distal) (Gambar 3).4,10
c. Pemeriksaan kultur sputum
Bakteri gram negatif merupakan organisme yang paling sering
ditemukan pada sputum pasien bronkiektasis. Penelitian oleh King
dkk menunjukkan H. influenza didapatkan pada 47% pasien,
diikuti oleh P. aeruginosa 12% dan Moraxella catarrhalis 8%.
Penelitian lain menunjukkan P. aeruginosa lebih sering, yaitu
antara 25-58%. P. aeruginosa berhubungan dengan penyakit yang
berat, penurunan faal paru, eksaserbasi yang lebih sering, dan
penurunan kualitas hidup dibandingkan bakteri lain. Penelitian
oleh King dkk menunjukkan bakteri gram positif lebih jarang
ditemukan, yaitu S. pneumoniae 7% dan S. aureus 3%. Methicillin-
resistant S. aureus (MRSA) kadang dapat ditemukan secara
bersamaan dengan P. aeruginosa, atau menginfeksi secara tunggal.
d. Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA)

21
Infeksi NTM sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis.
Sebagian besar bakteri yang terlibat pada bronkiektasis, termasuk
spesies mycobacterium, membentuk biofilm yang mendukung
kemampuan bakteri untuk bertahan hidup dalam pejamu.1
e. Pemeriksaan faal paru
Pemeriksaan faal paru dapat normal atau menunjukkan restriksi,
obstruksi, atau kombinasi keduanya. Pada bronkiektasis yang dini,
obstruksi yang terjadi masih reversibel. Sedangkan bronkiektasis
yang lanjut, kelainan restriksi lebih dominan.4 Faal paru berguna
untuk menilai berat ringannya obstruksi saluran napas dan sebagai
pemantauan progresifitas penyakit.2

I. Penilaian derajat Keparahan penyakit Bronkiektasis


Dalam dua tahun terakhir, terdapat beberapa kuesioner yang dikembangkan
untuk menilai kualitas hidup pasien bronkiektasis. The Bronkiektasis
Quality of Life (QOL-B) merupakan kuesioner yang digunakan untuk
mengetahui gejala bronkiektasis pada pasien dan pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi score, semakin tinggi pula kualitas
hidup pasien. Scoring yang digunakan adalah BSI dan FACED. Namun,
berdasarkan penelitian cohort yang dilakukan di Europa, FACED
menunjukkan spesifisitas yang lebih tinggi. FACED diketahui lebih baik
dalam memprediksi mortalitas pasien pada 15 tahun yang akan datang.

22
J. Tatalaksana
Secara keseluruhan, tujuan terapi adalah mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi. 1 Perbaikan bersihan saluran
napas adalah penatalaksanaan yang utama pada bronkiektasis,2 karena
dapat memotong lingkaran setan inflamasi dan infeksi. Bersihan saluran
napas dapat dilakukan dengan obat inhalasi (misalnya salin hipertonik 7%)
dipadukan dengan fisioterapi dada, seperti alat oscillatory positive
expiratory pressure (PEP), high-frequency chest wall oscillation (HFCWO),
autogenic drainage, bernapas aktif dengan batuk yang efektif, atau perkusi
dada manual. Mukolitik digunakan untuk mengurangi kekentalan
sputum.1,4
Bronkodilator menunjukkan perbaikan yang signifikan terhadap FEV1
beberapa pasien dengan bronkiektasis. Namun, secara keseluruhan tidak
banyak data yang mendukung rekomendasi bronkodilator kerja cepat pada
bronkiektasis.1 Beta adrenergic agonis dan methylxanthine, selain
mempunyai efek bronkodilator, juga dapat merangsang bersihan mukosilier
pada pasien dengan penyakit saluran napas kronis, dengan cara
meningkatkan frekuensi gerakan silia, mengubah sekresi saluran napas, atau
keduanya.4
Rehabilitasi paru bermanfaat pada pasien dengan keluhan sesak saat
aktifitas. Tujuan latihan fisik adalah untuk bersihan saluran napas.
Penelitian pada 111 pasien dengan bronkiektasis non fibrosis kistik dan
sesak saat aktifitas dengan latihan fisik berjalan kaki 2 kali seminggu,
bersepeda, dan latihan penguatan, menunjukkan perbaikan yang signifikan
pada tes jalan 6 menit dan skor kualitas hidup. Pada penelitian lain
menunjukkan juga penurunan kunjungan ke instalasi gawat darurat dan poli
rawat jalan serta menurunkan kebutuhan bronkodilator kerja cepat.1
Anti inflamasi yang sering digunakan adalah kortikosteroid dan makrolid.
Kortikosteroid sistemik tidak mengubah penurunan FEV1 pada
bronkiektasis non fibrosis kistik dan menyebabkan efek samping lebih besar
dibandingkan manfaatnya. Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi (misalnya

23
fluticasone 1000 µg/ hari) menurunkan volume sputum dan petanda
inflamasi dalam sputum, namun tidak memperbaiki faal paru dan tidak
menurunkan frekuensi eksaserbasi bronkiektasis serta lebih sering
menyebabkan efek samping seperti katarak dan osteoporosis. Bude- sonide
dosis medium (640 µg/hari) dan formoterol dibandingkan dengan
budesonide dosis tinggi (1600 µg) pada pasien dengan bronkiektasis non
fibrosis kistik menurunkan keluhan sesak, menu- runkan kebutuhan inhalasi
beta agonis kerja cepat, meningkatkan jumlah hari bebas batuk, dan
memperbaiki skor kualitas hidup.1
Macrolide mempunyai efek anti inflamasi dan imunomodulator pada
inflamasi saluran napas dan stres oksidatif, antara lain dengan memodifikasi
produksi mukus, menghambat produksi biofilm, supresi mediator inflamasi,
menurunkan rekruitmen dan fungsi lekosit, serta menghambat produksi
superoxide dan nitric oxide.1,7 Penelitian EMBRACE (Effectiveness of
Macrolides in patients with Bronchiectasis using Azithroymycin to Control
Exacerbations) menunjukkan bahwa azitromisin 500 mg 3 kali seminggu
selama 6 bulan menurunkan eksaserbasi, meningkatkan kualitas hidup, serta
menurunkan petanda inflamasi seperti C-reactive protein dan lekosit.
Penelitian BAT (Bronchiectasis and long-term Azythromycin Treatment)
menunjukkan bahwa azitromisin 250 mg setiap hari selama 12 bulan
menurunkan eksaserbasi, meningkatkan kualitas hidup, dan memperbaiki
FEV1. Penelitian BLESS (Bronchiectasis and Low dose Erythromycin
Study) menunjukkan bahwa eritromisin etilsuksinat 400 mg (erythromycin
base 250 mg) menurunkan eksaserbasi, menurunkan volume sputum, dan
memperbaiki FEV1.1
Antibiotik digunakan untuk eradikasi Pseudo- monas dan/atau MRSA,
supresi kolonisasi bakteri kronis, atau untuk penatalaksanaan eksaser-basi.
Pedoman British Thoracic Society (BTS) merekomen- dasikan eradikasi
Pseudomonas dan MRSA dengan antibiotik saat pertama kali
teridentifikasi, dengan tujuan memotong lingkaran setan infeksi, inflamasi,
dan kerusakan saluran napas. White dkk melakukan penelitian dengan

24
memberikan terapi eradikasi yang awal dan agresif pada pasien
bronkiektasis non fibrosis kistik dengan infeksi Pseudomonas. Pasien
menerima siprofloksasin oral 500 mg 2 kali sehari selama 3 bulan atau
kombinasi ceftazidim dan aminoglikosida iv selama 2 minggu. Kedua
kelompok kemudian menerima nebul colistin selama 3 bulan setelah terapi
sistemik. Pseudomonas awalnya mengalami eradikasi sebanyak 80%
pasien. Pada pemantauan terakhir (median 14,3 bulan), 50% pasien tetap
bebas Pseudomonas.1
Tujuan terapi antibiotik supresi adalah untuk menurunkan beban bakteri
pada pasien dengan eradikasi yang gagal, memperbaiki gejala, dan menu-
runkan frekuensi eksaserbasi. Antibiotik inhalasi aman dan efektif dalam
menurunkan muatan bakteri sputum untuk jangka panjang. Beberapa
penelitian pada bronkiektasis non fibrosis kistik menunjukkan bahwa
antibiotik inhalasi seperti tobramycin, gentamycin, aztreonam, atau
ciprofloxacin menurunkan kepa- datan Pseudomonas, eksaserbasi, dan
rawat inap.1 Penelitian oleh Kiran dkk menunjukkan bahwa
aminoglikosida, cephalosporin, dan fluroquinolone merupakan antibiotik
yang paling sering digunakan untuk bronkiektasis akibat tuberkulosis.16
Pembedahan pada bronkiektasis dilakukan pada kasus yang gagal dengan
pengobatan medis,8 penyakit lokal dengan gejala yang berat, penyakit yang
dapat dibedah dengan batuk darah masif yang berasal dari satu segmen atau
lobus, penyakit yang dapat dibedah yang menyebabkan episode infeksi akut
yang berulang.4 Prosedur bedah antara lain lobektomi, segmentektomi, atau
pneumektomi. Penelitian menunjukkan bahwa 75% pasien asim- tomatik
setelah pembedahan, 21% terdapat perbaikan gejala, dan 4% tidak ada
perubahan atau memburuk.8 Pada batuk darah yang membahayakan jiwa
dapat dilakukan embolisasi arteri bronkus.4,8 Transplantasi paru yang
dilakukan pada pasien bronkiektasis difus (terutama fibrosis kistik) pada
dekade terakhir menunjukkan perbaikan ketahanan hidup yang signifikan.
Kandidat transplantasi adalah pasien dengan risiko meninggal dalam 2
tahun terakhir jika tidak dilakukan transplantasi.4
K.

25
L. Komplikasi
Komplikasi bronkiektasis antara lain:
- pneumonia berulang,
- abses paru,
- empiema,
- batuk darah,
- pneumothoraks,
- gagal napas,
- kor pulmonal,
- dan infeksi intrakranial (abses serebral atau ventrikulitis).
- Bronkiektasis yang lama dan luas dapat menyebabkan amiloidosis.
- Infeksi pada eksaserbasi bronkiektasis dapat berlanjut menjadi sepsis.

M. Prognosis

Prognosis pada pasien bronkiektasis beragam tergantung penyebab spesifik


dari penyakit tersebut. Namun dengan terapi yang tepat, kebanyakan pasien
dapat hidup normal kembali tanpa disabilitas yang berarti (jtd).

N. Pencegahan
• Pola hidup sehat
• Tidak merokok dan menghindari asap rokok
• Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin influenza)
• Istirahat yang cukup untuk meningkatkan imunitas tubuh
• Mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

26
BAB III
KESIMPULAN

1. Bronkiektasis adalah diagnosis radiologis atau patologis yang ditandai


dengan dilatasi bronkus yang abnormal dan ireversibel akibat inflamasi
bronkus kronis. Bronkus yang mengalami dilatasi adalah bronkus dengan
diameter > 2 mm.
2. Gejala klinik pada bronkiektasis adalah batuk produktif, dyspneau, dan
hemoptysis.
3. Foto toraks (PA/lateral) berguna sebagai alat skrining awal dan saat
eksaserbasi, namun mempunyai keterbatasan sensitivitas dan spesifisitas.
Gambaran bronkiektasis pada foto toraks antara lain parallel linear
densities, tram-track opacities, honey comb appearance atau ring shadows
yang menggambarkan dinding bronkus yang tebal dan dilatasi abnormal.2,9
4. Gold standart pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis bronkiektasis serta
menilai keparahan dan luasnya penyakit HRCT (High Resonance CT)
karena lebih sensitive yang dapat menunjukkan bronkus yang tidak
meruncing ke arah perifer, bronkus terlihat pada jarak 1 cm dari perifer
paruPada umumnya prognosis adalah baik.
5. Penatalaksanaan bronkiektasis termasuk tatalaksana non famakologi dan
famakologis.
6. Pencegahan dengan cara atur pola hidup termasuk dengan tidak merokok,
istirahat yang cukup untuk meningkatkan imunitas tubuh, mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan, hindari merokok dan menghirup asap rokok.

DAFTAR PUSTAKA

27
Ahmad, A. A. & Ayman, E., 2018. History, Virulence Genes, Identification and
antimicrobial Resistance Enterococcus faecalis Isolated from Diabetic
Foot Patients. Excellent Publishers, Volume 7, p. 1.
Akter, S., Shamsuzzaman & Jahan, F., 2015. Community Acquired Pneumnia.
Respiratory and Pulmonary Medicine, Volume 2, p. 1.
Budasastra, I. N., Saidi, P. P. & Subanada, I. B., 2007. Pneumonia Atipikal. Sari
Pediatri, Volume 9, p. 2.
Citia, C., Ignacio, M. & Carolina, G., 2016. Microbial Etiology of Pneumonia :
Epidemiology, DIagnosis and Resistance Patterns. Molecular Sciences,
Volume 17, p. 2120.
Djojodibroto, D. 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta : EGC.
Elisabeth, G., Marion, K., Fernand, M. & Adriana, J. M., 2014. The Value of
signs and symptoms in defferentiating between bacterial, viral and mixed
aetiology in patients with community-acquired pneumonia. Medical
Microbiology, Volume 63, pp. 441-452.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penumonia Komunitas, Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
Zul, D., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. In: B. S. Aru W. Sudoyono, ed.
Pneumonia. Jakarta: InternaPublishing, pp. 2196-2210.

28

You might also like