You are on page 1of 9

DAFTAR ISI

COVER
…………………………………………………………………………………………..
i

KATA
PENGANTAR…………………………………………………………………….. ii

DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………… iii

BAB I
PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1

1. Latar Belakang…………………………………………………………………… 1
2. Rumusan Masalah……………………………………………………………….. 2

BAB II ISI
……………………………………………………………………………………. 2

1. Pengertian Warga Negara Dan Kewarganegaraan………………….. 2


2. Warga Negara ……………………………………………………………… 2
3. Pengertian Kewarganegaraan ………………………………………… 3
4. Konsep Dasar Tentang Negara ………………………………………. 3
5. Tujuan Negara …………………………………………………………….. 4
6. Unsure-Unsur Negara …………………………………………………… 5
7. Teori Terbentuknya Negara …………………………………………… 7
8. Teori Hubungan Agama Dan Negara ……………………………… 9
9. Relasi Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam ………….. 11

DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………………. 13

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Negara? Apa itu negara? Pada dasarnya negara adalah sebuah organisasi seperti layaknya
sebuah organisasi, Negara memiliki anggota, tujuan dan peraturan. Anggota negara adalah
warganya, tujuan Negara biasanya tercantum dalam pembukaan konstitusinya (Undang-
undang dasar), sedang peraturannya dikenal sebagai hokum. Bedanya dengan organisasi yang
lain, Negara berkuasa di atas individu-individu dan di atas organisasi-organisasi pada suatu
wilayah tertentu. Peraturan negara berhak mengatur seluruh individu dan organisasi yang ada
pada suatu wilayah tertentu, sedangkan peraturan organisasi hanya berhak mengatur fihak-
fihak yang menjadi anggotanya saja. Peraturan Negara bersifat memaksa, nila ada yang tidak
mematuhinya, mempunyai hak untuk memberikan sanksi yang bersifat kekerasan. Sepanjang
sejarah manusia hidup di atas permukaan bumi, manusia telah bernegara. Mulai dari Negara
dalam bentuknya yang paling primitive yaitu kesukuan, Negara kota, sampai Negara
kerajaan, Negara republic dan Negara demokrasi. Sampai saat ini tidak ada satupun ta’rif
negara yang diakui semua fihak. Ahli-ahli ilmu kenegaraan saling berbeda pendapat tentang
apa itu negara. Secara sederhana bisa kita katakan bahwa yang dimaksud dengan Negara
adalah organisasi yang menaungi semua fihak dalam suatu wilayah tertentu.

1. RUMUSAN MASALAH
2. Bagaimana konsep dasar tentang negara?
3. Apa saja tujuan negara?
4. Apa saja unsur-unsur negara?
5. Bagaimana teori terbentuknya negara?
6. Bagaimana hubungan agama dan negara?
7. Bagaimana relasi agama dan negara dalam perspektif Islam?

BAB II

ISI

A. Pengertian Warga Negara dan Kewarganegaraan

1. Warga Negara

Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang
menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu disebut hamba atau kawula. Istilah warga negara
lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang merdeka dibandingkan dengan istilah
hamba atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau
warga dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan
kekuatan bersama, atas dasar tanggung jawab bersama dan untuk kepentingan bersama.
Untuk itu, setiap warga negara empunyai persamaan hakk di hadapan hukuum. Semua warga
negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggung jawab.[1]

istilah warga negara merupakan terjemahan dari kata citizen (bahasa Ingggris) yang
mempunyai arti sebagai berikut;

1. Warga negara;
2. Petunjuk dari sebuah kota;
3. Sesama warga negara, sesama penduduk, orang setanah air;
4. Bawahan atau kawula.

Menurut As Hikam dalam Ghazalli (2004), warga negara sebagai sebagai terjemahan dari
citizen artinya adalah anggota dari suatu komunitas yang membentuk negara itu sendiri.[2]

Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota
negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya.

2. Pengertian Kewarganegaraan
Istilah kewarganegaraan (citizenship) memiliki arti keanggotaan yang menunjukkan
hubungan atau ikatan anatara negara dan warga negara. Menurut memori penjelasan dari
pasal II Peraturan Penutup Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganeraan
Republik Indonesia, kewarganegaraan diartikan segala jenis hubungan dengan suatu negara
yang mengakibatkan adanya kewajiban negara itu untuk melindungi orang ang bersangkutan.
Adapun menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, kewarganegaraan
adalh segala hal ihwal yang berhubungan dengan negara.[3]

3. Konsep Dasar Tentang Negara

Secara litral istilah negara merupakan terjemahan dari kata-kata asing, yakni state (bahasa
Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), dan etat (bahasa Prancis). Kata state, staat,
etat itu diambil dari kata bahasa Latin status atau statum, yang berarti keadaan yang tegak
dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.

Secara terminologi, negara diartikan dengan organisasi tertinggi diantara ssatu kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu yang
mempunyai pemerintah yang beraulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari
sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya
masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah) dan adanya pemerintah yang berdaulat.

Secara sederhana dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan negara adalah suatu daerah
teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut
dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalaui penguasaan
(kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.

4. Tujuan Negara

Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang mendiaminya, negara
harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. tujuan sebuah negara dapat bermaam-
macam, antara lain;

1. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan semata-mata;


2. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum;
3. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum

Dalam konsep dan ajaran plato, tujuan dengan adanya negara adalah untuk memajukan
kesusilaan manusia, sebagai perseorangann (individu) dan sebagai makhluk sosial.
Sedangkan menurut Roger H. Soltau tujuan negara adalah memungkinkan rakyatnya
berkembang serta menyelenggarakan daya ciptanya sebebas mungkin.

Dala islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabia, tujuan negara adalah agar manusia
dapat menjalakan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa dan menjaga intervensi
pihak-pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada konsep sosio-historis bahwa manusia
diciptakan oleh Allah dengan watak dan kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang
membawa konsekuensi antara individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan.
Sementara menurut Ibnu Khaldun, tujuan negara adalahh untuk kemaslahatan agama dan
dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.
Sementara itu, dalam konsep dan ajaran Negara Hukum, tujuan negara adalah
menelenggarakan ketertiban hukum, dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum.
Dalam negara hukum segala kekuasaan dai alat-alat pemerrintahannya didasarkan atas
hukum. Semua oarang tanpa kecuali harus tunduk dan taat pada hukum, hanya hukumlah
yang berkuasa dalam negara itu (government not by man but by low = the rule of law).

Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara (sesuai dengan pembukaan UUD 1945)
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamain abadi dan
keadilan sosial. Selain itu dalam pembukaan UUD 1945 ditetapkan bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (matchstaat). Dari
pembukaan dan penjelasan Uud 1945 tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan
suatu negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk
suatu masyarakat yang adil dan makmur.[4]

5. Unsur-unsur Negara

Sebuah negara mempunyai unsur-unsur yang harus ada di dalamnya yaitu sebagai berikut.

1. Rakyat (Masyarakat/Warga Negara)

Setiap negara tidak mungkin bisa ada tanpa adanya warga atau rakyatnya. Unsur rakyat ini
sangat penting dalam sebuah negara, karena secara konkret rakyatlah memiliki kepentingan
agar negara itu dapat berjalan dengan baik. Selain it, bagaimanapun juga manusialah yang
akan mengatur dan menentukan sebuah organisasa (negara).

Rakyat dalam konteks ini diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh
suatu rasa persamaan dan yang bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu. Mungkin
tidak dapat dibayangkan adanya suatu negara tanpa rakyat (warga negara). Rakyat
adalah substratum dari negara.

1. Wilayah

Wilayah dalam sebuah negara merupakan unsur yang harus ada, karena tidak mungkin ada
negara tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas. Secara mendasar, wilayah dalam sebuah
negara biasanya mencakup daratan (wilayah darat), peraiaran (wilayah laut/perairan) dan
udara (wilayah udara).

 Daratan (Wilayah Darat)

Wilayah darat suatu negara dibatasi oleh wilayah darat dan laut (perairan) negara lain.
Perbatasan wilayah sebuah negara biasanya ditentukan berdasarkan perjanjian yakni
perjanjian antara dua negara atau lebih.

 Peraiaran (Wilayah Laut/Perairan)

Perairan atau laut yang menjadi bagian atau termasuk wilayah suatu negara disebut perairan
atau laut teritorial dari negara yang bersangkutan. Adapun batas dari perairan teritorial itu
pada umumnya 3 mil laut (5,555 km) yang dihitung dari pantai ketika air surut. Laut yang
berada diluar perairan teritorial disebut Lautan Bebas (Mare Liberum). Disebut dengan
Lautan Bebas, karena wilayah perairan tersebut tidak termasuk wilayah kekuasaan suatu
negara sehingga siapapun bebas memanfaatkannnya.

 Udara (wilayah Udara)

Udara yang berada di atas wilayah darat (daratan) dan wilayah laut (perairan) teritorial suatu
negara merupakan bagian dari wilayah udara sebuah negara. Mengenai batas ketinggian
sebuah wilayah negara tidak memiliki batas yang pasti, asalkan negara yang bersangkutan
dapat mempeertahankannya.

1. Pemerintah

Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk
mencapai tujuan negara. Oleh karenanya, pemerintah seringkali menjadi personifikasi sebuah
negara.

Pemerintah menegakkan hukum dan memberantas kekacauan, mengadakan perdamaian dan


menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang bertantangan. Pemerintah yang menetapkan,
menyatakan dan menjalankan kemauan individu-individu yang tergabung dalam organisasi
politik yang disebut negara. Pemerintah adalah badan yang mengatur urusan sehari-hari, yang
menjalankan kepentingan-kepentingan bersama. Pemerintah melaksanakan tujuan-tujuan
negara, menjalankan fungsi-fungsi kesejahteraan bersama-sama.[5]

6. Teori Terbentuknya Negara

Adapun beberapa teori tentang terbentuknya suatu Negara yakni sebagai berikut.

1. Teori kontrak sosial (social contract)/ Teori Perjanjian Masyarakat

Teori ini beranggapan bahwa Negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat.


Beberapa pakar penganut teori kontrak sosial yang menjelaskan teori asal-mula Negara,
diantaranya:

 Thomas Hobbes (1588-1679)

Menurutnya syarat membentuk Negara adalah dengan mengadakan perjanjian bersama


individu-individu yang tadinya dalam keadaan alamiah berjanji akan menyerahkan semua
hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada seseorang atau sebuah badan. Teknik perjanjian
masyarakat yang dibuat Hobbes sebagai berikut setiap individu mengatakan kepada individu
lainnya bahwa “Saya memberikan kekuasaan dan menyerahkan hak memerintah kepada
orang ini atau kepada orang-orang yang ada di dalam dewan ini dengan syarat bahwa saya
memberikan hak kepadanya dan memberikan keabsahan seluruh tindakan dalam suatu cara
tertentu.

 John locke (1632-1704)

Dasar kontraktual dan Negara dikemukakan Locke sebagai peringatan bahwa kekuasaan
penguasa tidak pernah mutlak tetapi selalu terbatas, sebab dalam mengadakan perjanjian
dengan seseorang atau sekelompok orang, individu-individu tidak menyerahkan seluruh hak-
hak alamiah mereka.
 Jean Jacques Rousseau (1712-1778)

Keadaan alamiah diumapamakannya sebagai keadaan alamiah, hidup individu bebas dan
sederajat, semuanya dihasilkan sendiri oleh individu dan individu itu puas. Menurut “Negara”
atau “badan korporatif” dibentuk untuk menyatakan “kemauan umumnya” (general will) dan
ditujukan pada kebahagiaan besama. Selain itu Negara juga memperhatikan kepentingan-
kepentingan individual (particular interest). Kedaulatannya berada dalam tangan rakyat
melalui kemauan umumnya.

1. Teori Ketuhanan

Negara dibentuk oleh Tuhan dan pemimpin-pemimpin Negara ditunjuk oleh Tuhan Raja dan
pemimpin-pemimpin Negara hanya bertanggung jawab pada Tuhan dan tidak pada siapapun.
Penganut teori ini adalah Agustinus, Yulius Stahi, Haller, Kranenburg dan Thomas Aquinas.

1. Teori kekuatan

Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari komunikasi yang kuat terhadap kelompok
yang lemah, Negara terbentuk dengan penaklukan dan pendudukan. Dengan penaklukan dan
pendudukan dari suatu kelompok etnis yang lebih kuat atas kelompok etnis yang lebih lemah,
dimulailah proses pembentukan Negara. Penganut teori ini adalah H.J. Laski, L. Duguit, Karl
Marx, Oppenheimer dan Kollikles.

1. Teori Organis

Menurut Dede Rosyada, dkk (2005: 54) mengemukakan konsepsi organis tentang hakikat dan
asal mula negara adalah suatu konsep bilogis yang melukiskan negara dengan istilah-istilah
ilmu alam. Negara dianggap atau disamakan dengan makhluk hidup, manusia atau binatang
individu yang merupakan komponen-komponen Negara dianggap sebagai sel-sel dari
makhluk hidup itu. Kehidupan corporal dari Negara dapat disamakan sebagai tulang belulang
manusia, undang-undang sebagai urat syaraf, raja (kaisar) sebagai kepala dan para individu
sebagai daging makhluk itu.

1. Teori Historis

Teori ini menyatakan bahwa lembaga-lambaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara
evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia.

1. Teori kedaulatan hukum

Teori kedaulatan hukum (Rechts souvereiniteit) (Mienu, 2010) menyatakan semua kekuasaan
dalam negara berdasar atas hukum. Pelopor teori ini adalah H. Krabbe dalam buku Die
Moderne Staats Idee.

1. Teori Hukum Alam

Filsufgaul (2012) menuliskan teori hukum alam yakni negara terjadi karena kehendak alam
yang merupakanlembaga alamiah yang diperlukan manusia untuk menyelenggarakan
kepentingan umum. Penganut teori ini adalah Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas
Aquino.[6]
7. Teori Hubungan Agama dan Negara

Dalam memahami hubungan agama dan negara dapat dijelaskan dengan beberapa konsep
hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran, yaitu paham teokrasi, paham sekuler
dan paham komunis.

1. Paham Teokrasi

Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena pemerintahan menurut paham ini
diajalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat,
bangsa, dan negara dilakukan atas titah tuhan. Dengan demikian, urusan kenegaraan atau
politik, dalam paham teokrasi juga diyakini sebagai menifestasi firman Tuhan.

Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi
langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung,
pemerintahan diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya negara di dunia
ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula.
Sedangkan menurut sistem pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah
Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala negara yang memiliki
otoritas atas nama Tuhan. Kepala negara atau raja diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.
Dalam kata lain dalam paham teokrasi ini sistem dan norma-norma dalam negara dirumuskan
berdasarkan firman-firman Tuhan.

1. Paham Sekuler

Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara. Dalam negara
sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini,
negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia. Sedangkan
agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini, menurut paham ini tidak dapat
disatukan.

1. Paham Komunis

Paham ini menimbulkan paham atheis, paham yang dipelopori oleh Karl Mark ini,
memandang agama sebagai candu masyarakat (Mark, dalam Louis Leahy, 1992:97-98).
Menurutnya manusia ditentukan oleh dirinya sendiri. Sementara agama dalam paham ini,
dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya sendiri.

Kehidupan manusia adalah dunia menusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan
masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantasi makhluk manusia,
dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Oleh karena itu, agama harus ditekan,
bahkan dilarang. Nilai yang tertinggi dalam negara adalah materi, karena manusia sendiri
pada hakekatnya adalah materi.[7]

8. Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam


Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritis politik Islam, ditemukan beberapa pendapat
yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan negara, antara lain dapat dirangkum ke
dalam tiga paradigma, yakni integralistik, simbiotik, sekularistik.

1. Paradigma Integralistik

merupakan paham dan konsep hubungan agama dan negara yang menganggap bahwa agama
dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua
lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa negara
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan
kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Konsep ini sama seperti konsep teokrasi.

Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa
kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari
sinilah kemudian paradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam (Din wa Dawlah),
yang sumber hukum positifnya adalah hukum agama. Paradigma Integralistik ini antara lain
dianut oleh kelompok Islam Syi’ah. Hanya saja Syi’ah tidak menggunakan term
dawlah tetapi dengan term imamah.

1. Paradigma Simbiotik

Menurut konsep ini, hubungan agama dan negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat
timbal balik. Dan dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan
agama, karena agama juga membantu negara dalam membina moral, etika, dan spiritualitas.

Dalam konteks ini paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya
kekuasaan yang mengatur kehidupam manusia merupakan kewajiban agama yang paling
besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al
Siyasah al Syar’iyyah: 162). Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut meligitimasi bahwa antara
agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh
karena itu, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social
contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at)

1. Paradigma Sekularistik

Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara agama dan
negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki
garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh
satu sama lain melakukan intervensi. Berdasarkan pada pemahaman yang dikotomis ini,
maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan
manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum agama (syari’at).

Konsep ini bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah
kenabian Rasulullah saw. pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad Saw. untuk
mendirikan agama. Rasulullah saw. hanya menyampaikan risalah kepada manusia dan
mendakwahkan ajaran agama kepada manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: ICCE UIN Syarif


Hidayatullah,

Wahab, Abdul Aziz. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung:
Alfabeta.

Winarso. 2009. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Kansil. 2001. Ilmu Negara Umum Dan Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Wibowo, Dwi Cahyadi. Konsep Teori dan Proses terbentuknya Negara, Dalam
laman http://dwicahyadiwibowo.blogspot.com

Muhammad, Hussein. 2000. Islam dan Negara Kebangsaan. Yogyakarta: LKIS.

[1]Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah,


2003), hal. 73

[2] Abdul Aziz Wahab, Teori dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan, (Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2011) hal. 201

[3]Winarso, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: PT Bumi Aksara,


2009), hal. 49

[4]Azyumardi Azra, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah,


2003), hal. 43-44

[5]Kansil, Ilmu Negara Umum Dan Indonesia, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2001), hal. 69-
70

[6]Dwi Cahyadi Wibowo, Konsep Teori dan Proses terbentuknya Negara, Dalam
laman http://dwicahyadiwibowo.blogspot.com, diunduh pada 18 Maret 2015.

[7] Hussein Muhammad, Islam dan Negara Kebangsaan, (Yogyakarta: LKIS, 2000), hal 69.

You might also like