You are on page 1of 14

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stunting
2.1.1. Definisi
Stunting merupakan suatu keadaan dimana tinggi badan anak yang terlalu
rendah. Stunting atau terlalu pendek berdasarkan umur adalah tinggi badan yang
berada di bawah minus dua standar deviasi (<-2SD) dari tabel status gizi WHO
child growth standard (WHO, 2012).

2.1.2. Faktor – Faktor Penyebab Stunting


Stunting dapat disebabkan oleh berbagai faktor. WHO (2013) membagi
penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4 kategori besar yaitu faktor
keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan / komplementer yang tidak
adekuat, menyusui, dan infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi
menjadi faktor maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa
nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan
ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental,
Intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, Jarak kehamilan
yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan
aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang, sanitasi dan pasukan
air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan pangan yang kurang, alokasi
makanan dalam rumah tangga yang tidak sesuai, edukasi pengasuh yang rendah.
Faktor kedua penyebab stunting adalah makanan komplementer yang tidak
adekuat yang dibagi lagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah, cara
pemberian yang tidak adekuat, dan keamanan makanan dan minuman. Kualitas
makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah, keragaman
jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang rendah,
makanan yang tidak mengandung nutrisi, dan makanan komplementer yang
mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa frekuensi
pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak aadekuat ketika

Universitas Sumatera Utara


6

sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus, pemberian makan
yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan minuman dapat berupa
makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan yang rendah,
penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman. Faktor ketiga yang dapat
menyebabkan stunting adalah pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang salah bisa
karena inisiasi yang terlambat, tidak ASI eksklusif, penghentian menyusui yang
terlalu cepat. Faktor keempat adalah infeksi klinis dan subklinis seperti infeksi
pada usus : diare, environmental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan,
malaria, nafsu makan yang kurang akibat infeksi, inflamasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nasikhah (2012) pada anak
usia 24 – 36 bulan di Semarang menunjukkan terdapat beberapa faktor risiko yang
paling berpengaruh untuk terjadinya stunting, yaitu tinggi badan orang tua yang
rendah, pendidikan ayah yang rendah, dan pendapatan perkapita yang rendah.
Mamiro (2005) juga melakukan penelitian yang serupa kepada anak usia 3 – 23
bulan di Tanzania menunjukkan bahwa malaria, berat badan lahir rendah (BBLR),
pendapatan keluarga yang rendah, dan indeks massa tubuh (IMT) ibu yang rendah
berperan sebagai faktor risiko terjadinya stunting pada anak. Berat badan lahir
rendah dan indeks massa tubuh ibu yang rendah merupakan dua faktor risiko
terkuat untuk penyebab stunting.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Senbanjo (2011) pada anak usia 5
– 19 tahun di Abeokuta Nigeria ditemukan beberapa hal yang menjadi faktor
risiko terjadinya stunting, yaitu anak yang bersekolah di sekolah pemerintah,
keluarga poligami, pendidikan orang tua yang rendah, dan juga kelas sosial yang
rendah. Pendidikan ibu yang rendah merupakan faktor risiko terjadinya stunting
yang paling tinggi dibanding dengan faktor risiko lainnya. Menurutnya hal
tersebut bisa disebabkan karena ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung
memiliki finansial yang lebih baik dan dapat meningkatkan pendapatan keluarga.
Hal tersebut membuat keluarga di kelas sosial yang lebih tinggi dan memiliki
status gizi keluarga yang lebih baik, sedangkan menurut penelitian Olukamakaiye
(2013) terhadap anak sekolah di Nigeria, asupan makanan mempengaruhi
kejadian stunting. Penelitiannya menunjukkan bahwa anak dengan rendahnya

Universitas Sumatera Utara


7

keanekaragaman jenis makanan yang dikonsumsi menjadi faktor risiko terjadinya


stunting. Olukamakaiye juga mendukung bahwa anak dari sekolah pemerintah
lebih banyak yang menderita stunting dibanding dengan sekolah swasta. Hal
tersebut dikarenakan malnutrisi yang disebabkan oleh keanekaragaman jenis
makanan yang rendah.

2.1.3. Dampak Stunting


Stunting dapat memberikan dampak bagi kelangsungan hidup anak. WHO
(2013) membagi dampak yang diakibatkan oleh stunting menjadi dua yang terdiri
dari jangka pendek dan jangka panjang. Dampak jangka pendek dari stunting
adalah di bidang kesehatan yang dapat menyebabkan peningkatan mortalitas dan
morbiditas, di bidang perkembangan berupa penurunan perkembangan kognitif,
motorik, dan bahasa, dan di bidang ekonomi berupa peningkatan pengeluaran
untuk biaya kesehatan. Stunting juga dapat menyebabkan dampak jangka panjang
di bidang kesehatan berupa perawakan yang pendek, peningkatan risiko untuk
obesitas dan komorbidnya, dan penurunan kesehatan reproduksi, di bidang
perkembangan berupa penurunan prestasi dan kapasitas belajar, dan di bidang
ekonomi berupa penurunan kemampuan dan kapasitas kerja.
Menurut penelitian Hoddinott et al. (2013) menunjukkan bahwa stunting
pada usia 2 tahun memberikan dampak yang buruk berupa nilai sekolah yang
lebih rendah, berhenti sekolah, akan memiliki tinggi badan yang lebih pendek, dan
berkurangnya kekuatan genggaman tangan sebesar 22%. Stunting pada usia 2
tahun juga memberikan dampak ketika dewasa berupa pendapatan perkapita yang
rendah dan juga meningkatnya probabilitas untuk menjadi miskin. Stunting juga
berhubungan terhadap meningkatnya jumlah kehamilan dan anak dikemudian
hari, sehingga Hoddinott menyimpulan bahwa pertumbuhan yang terhambat di
kehidupan awal dapat memberikan dampak buruk terhadap kehidupan, sosial, dan
ekonomi seseorang.
Dampak stunting terhadap prestasi sekolah juga didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014) terhadap anak usia 6 – 16 tahun di
Kamboja. Perignon menemukan bahwa anak yang mengalami stunting moderate

Universitas Sumatera Utara


8

dan severe memiliki kecerdasan kognitif yang lebih rendah dibanding dengan
anak yang normal. Stunting juga dapat mempengaruhi kadar hemoglobin anak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mamiro (2005) terhadap anak di
Tanzania menunjukkan bahwa anak yang mengalami stunting memiliki kadar
hemoglobin darah yang rendah.

2.1.4. Metode Pengukuran


Pengukuran antropometri berdasarkan tinggi badan menurut umur berguna
untuk mengukur status nutrisi pada populasi, karena pengukuran pertumbuhan
tulang ini mencerminkan dampak kumulatif yang mempengaruhi status nutrisi
yang menyebabkan terjadinya stunting dan juga mengacu sebagai malnutrisi
kronis (Alderman, 2011).
Cara pengukuran antropometri pada anak dengan menggunakan grafik
standar panjang / tinggi badan menurut umur menurut WHO pada Training
Course on Child Growth Assessment yang diterbitkan pada tahun 2008. Data ini
menggunakan Z-score sebagai cut-off point untuk menentukan status antropometri
anak yang disusun dalam tabel dibawah ini :

Tabel 2.1 Indikator Pertumbuhan WHO


Z – score Panjang / Tinggi badan menurut umur
>3 Very tall
>2 Normal
>1 Normal
0 (median) Normal
<-1 Normal
<-2 Stunted
<-3 Severely Stunted
Sumber : Training Course on Child Growth Assessment (WHO, 2008)

Universitas Sumatera Utara


9

2.1.5. Epidemiologi
Menurut data Riskesdas (2013) prevalensi pendek secara nasional pada
balita adalah 37,2% yang terdiri dari sangat pendek sebesar 18% dan pendek
19,2%. Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi diatas nasional (37,2%) dengan
yang tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur, terendah di Jambi, dan Sumatera
Utara menempati urutan ke – 8 tertinggi.

Gambar 2.1 Kecenderungan Prevalensi Status Gizi TB/U <-2 SD Menurut


Provinsi, Indonesia 2007, 2010, dan 2013
Sumber : Riskesdas, 2013

Prevalensi pendek secara nasional pada anak usia 5 – 12 tahun adalah


30,7% dengan sangat pendek sebesar 12,3% dan pendek sebesar 18,4%. Terdapat
15 provinsi di Indonesia dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi
nasional (12,3%) dan Sumatera Utara termasuk salah satu dari provinsi tersebut
dengan prevalensi pendek dan sangat pendek diatas 37%.

Universitas Sumatera Utara


10

Gambar 2.2 Prevalensi Pendek Anak Umur 5–12 Tahun Menurut Provinsi,
Indonesia 2013
Sumber : Riskesdas, 2013

Prevalensi nasional pendek pada remaja usia 13 – 15 tahun adalah 35,1%


dengan sangat pendek sebesar 13,8% dan pendek sebesar 21,3%. Terdapat 16
provinsi dengan prevalensi sangat pendek diatas prevalensi nasional (13,8%).
Sumatera Utara juga termasuk salah satu dari provinsi tersebut dan prevalensi
tertinggi terdapat di papua. Prevalensi pendek dan sangat pendek di Sumatera
pada usia 13 – 15 tahun adalah diatas 40%.

Gambar 2.3 Prevalensi Pendek Remaja Umur 13–15 Tahun Menurut Provinsi,
Indonesia 2013
Sumber : Riskesdas, 2013

Universitas Sumatera Utara


11

Prevalensi pendek secara nasional di Indonesia pada remaja rentang usia


16 – 18 tahun adalah 31,4% dengan sangat pendek sebesar 7,5% dan pendek
sebesar 23,9%. Sebanyak 17 provinsi dengan pervalensi pendek diatas prevalensi
nasional (23,9%) dan Sumatera Utara juga termasuk dari salah satu provinsi
tersebut.

Gambar 2.4 Prevalensi Pendek Remaja Umur 16–18 Tahun Menurut Provinsi,
Indonesia 2013
Sumber : Riskesdas, 2013

2.2. Anemia Defisiensi Besi


2.2.1. Definisi
Anemia secara fungsional adalah penurunan jumlah massa eritrosit (red
cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity).
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya
penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron
store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang
(Bakta, 2009).

Universitas Sumatera Utara


12

2.2.2. Etiologi
Berat badan lahir rendah dan bayi dengan kehilangan darah perinatal dapat
menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi dikarenakan bayi tersebut
mempunyai cadangan zat besi yang lebih rendah sehingga simpanan zat besi akan
lebih cepat habis. Konsumsi zat besi yang kurang dalam makanan. Pola makan
yang diamati pada bayi dan anak kecil yang menderita anemia defisiensi besi pada
negara berkembang adalah konsumsi susu sapi yang berlebihan dimana
kandungan zat besinya rendah, dan juga penyerapan zat besi pada ASI 2 -3 kali
lebih baik dibandingan dengan susu sapi.
Kehilangan darah harus dipertimbangkan sebagai penyebab dari kasus
anemia defisiensi besi terutama pada anak yang lebih besar. Anemia defisiensi
besi kronis akibat pendarahan bisa disebabkan oleh lesi pada saluran pencernaan,
seperti ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip, hemangioma, atau penyakit
inflamasi pada usus.
Bayi dapat mengalami kehilangan darah kronis dari usus yang disebabkan
oleh terpapar oleh protein labil panas di susu sapi murni. Reaksi gastrointestinal
ini tidak berhubungan dengan abnormalitas enzim pada mukosa, seperti defisiensi
laktase, atau alergi susu yang khas. Pada negara berkembang, infeksi cacing
tambang, Trichuris trichiura, Plasmodium, dan Helicobacter pylori sering
berkontribusi terhadap terjadinya defisiensi besi.
Sekitar 2% dari remaja perempuan menderita anemia defisiensi besi
dikarenakan oleh kebutuhan yang besar untuk tumbuh pesat dan kehilangan darah
pada saat menstruasi. Risiko tinggi juga ditemukan pada remaja yang sedang atau
pernah hamil, ditemukan >30% dari remaja wanita ini mengalami anemia
defisiensi besi (Lerner, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Tandirerung (2013) pada murid sekolah dasar di Manado menunjukkan bahwa
anak yang tidak memiliki kebiasaan sarapan pagi mempunyai hubungan yang
bermakna dengan kejadian anemia.

Universitas Sumatera Utara


13

2.2.3. Diagnosis
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan
massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung
eritrosit. Pada umumnya ketiga parameter tersebut saling bersesuaian. Kadar
normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur,
jenis kelamin, adanya kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal (Bakta, 2009).
Cut – off point seseorang dikatakan sebagai anemia berbeda – beda
berdasarkan umur dan jenis kelamin. Anak balita 12 – 59 bulan adalah Hb <11,0
g/dL, anak sekolah usia 6 – 12 tahun adalah Hb <12,0 g/dL, laki – laki usia ≥15
tahun adalah Hb <13 g/dL, wanita usia subur 15 – 49 tahun adalah Hb <12,0 g/dL,
dan pada ibu hamil adalah Hb <11 g/dL (Riskesdas, 2013).

Tabel 2.2 Derajat Anemia


Derajat Hb
Ringan sekali Hb 10g/dl – cut off point
Ringan Hb 8 g/dl – Hb 9,9 g/dl
Sedang Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl
Berat Hb <6 g/dl
Sumber : Hematologi Klinik Ringkas (Bakta, 2014)

2.2.4. Dampak Anemia pada Anak


Pengaruh defisiensi besi terutama melalui gangguan fungsi hemoglobin
yang berfungsi sebagai penghantar oksigen yang dibutuhkan untuk reaksi
metabolisme di dalam tubuh. Anemia memberikan dampak kepada anak sekolah
berupa penurunan daya konsentrasi anak dalam belajar dan juga kepada pekerja
yang menunjukkan penurunan kesanggupan dan daya kerja yang bermakna
(Sediaoetama, 2009).
Anemia defisiensi besi memiliki dampak terhadap kecerdasaan anak. Hal
tersebut dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014)
terhadap anak usia 6 – 16 tahun di Kamboja. Perignon menemukan bahwa anak
laki – laki yang mengalami anemia defisiensi besi memiliki kecerdasan kognitif

Universitas Sumatera Utara


14

yang lebih rendah dibanding anak yang normal. Penelitian yang dilakukan oleh
Kishawi (2015) pada anak usia 2 – 5 tahun di Gaza Palestina menunjukkan bahwa
anak yang menderita anemia memiliki hubungan yang signifikan terhadap berat
badan yang rendah (underweight).

2.3. Prestasi Belajar


2.3.1. Definisi
Prestasi belajar menurut Ridwan (2008) dalam Picauly (2013) adalah
penilaian hasil usaha kegiatan yang dinyatakan dalam bentuk simbol, angka,
huruf, maupun kalimat yang dapat mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh
setiap anak dalam periode tertentu.

2.3.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Belajar


Menurut Slameto (2013) faktor – faktor yang mempengaruhi belajar dapat
digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar.
 Faktor jasmaniah
 Faktor kesehatan :
Sakit dapat menyebabkan cepat lelah, kurang semangat, mudah pusing,
ngantuk, kurang darah, gangguan fungsi indera dan tubuh yang akan
menganggu proses belajar.
 Cacat tubuh :
Keadaan ini dapat mempengaruhi belajar, dan sebaiknya anak belajar
pada lembaga pendidikan khusus atau dengan bantuan alat bantu untuk
mengurangi pengaruh dari kecacatan.
 Faktor psikologis
 Faktor inteligensi :
Siswa dengan tingkat inteligensi yang tinggi akan lebih berhasil
daripada yang tingkat inteligensinya lebih rendah.

Universitas Sumatera Utara


15

 Perhatian :
Siswa yang mempunyai perhatian terhadap bahan pelajarannya dapat
mencegah terjadinya kebosanan.
 Minat :
Bila pelajaran tidak sesuai dengan minatnya, siswa tidak akan belajar
dengan sebaik – baiknya karena tidak ada daya tarik baginya.
 Bakat :
Jika pelajaran sesuai dengan bakatnya, siswa akan senang dan lebih
giat dalam belajar pelajaran tersebut sehingga hasil belajar lebih baik.
 Motif :
Motif untuk berpikir dan memusatkan perhatian, merencanakan, dan
melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan belajar.
 Kematangan :
Belajar lebih berhasil jika anak sudah siap (matang).
 Kesiapan :
Siswa yang sudah ada kesiapan akan mempunyai hasil belajar yang
lebih baik.
 Faktor kelelahan
 Kelelahan jasmani terlihat dengan lemah lunglai tubuh dan kelelahan
rohani berupa kelesuan dan kebosanan.
Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu.
 Faktor keluarga
 Cara orang tua mendidik :
Orang tua yang kurang / tidak memperhatikan pendidikan anaknya
akan menyebabkan anak tidak / kurang berhasil dalam belajarnya.
 Relasi antar anggota keluarga :
Relasi yang tidak baik dapat menyebabkan perkembangan anak
terhambat, belajar terganggu, dan bahkan dapat menimbulkan masalah
psikologis yang lain.

Universitas Sumatera Utara


16

 Suasana rumah :
Suasana rumah yang gaduh tidak memberikan ketenangan kepada anak
untuk belajar.
 Keadaan ekonomi keluarga :
Kebutuhan pokok anak akan kurang terpenuhi pada keluarga yang
miskin, sehingga kesehatan dan belajar anak akan terganggu.
 Pengertian orang tua :
Orang tua wajib memberi pengertian dan dorongan untuk membantu
kesulitan anak di sekolah.
 Latar belakang kebudayaan :
Penanaman kebiasaan yang baik agar mendorong semangat anak untuk
belajar.
 Faktor sekolah
 Metode mengajar :
Metode mengajar guru yang kurang baik menyebabkan siswa menjadi
kurang senang dan malas belajar.
 Kurikulum :
Kurikulum tidak baik jika terlalu padat, diatas kemampuan siswa, tidak
sesuai dengan bakat, minat, dan perhatian siswa.
 Relasi guru dengan siswa :
Relasi guru dengan siswa yang baik membuat siswa menyukai mata
pelajaran yang diberikan.
 Relasi siswa dengan siswa :
Relasi yang baik dapat memberi pengaruh positif terhadap belajar.
 Disiplin sekolah :
Kedisiplinan berhubungan erat dengan kerajinan siswa dalam sekolah
dan belajar.
 Alat pelajaran :
Alat pelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar siswa dalam
menerima bahan pelajaran.

Universitas Sumatera Utara


17

 Waktu sekolah :
Sebaiknya siswa belajar dipagi hari dengan pikiran yang masih segar
dan jasmani dalam kondisi yang baik.
 Standar pelajaran di atas ukuran
 Keadaan gedung
 Metode belajar :
Belajar secara teratur setiap hari, pembagian waktu yang baik, cara
belajar yang tepat, dan cukup istirahat.
 Tugas rumah :
Diharapkan guru jangan terlalu banyak memberi tugas karena dapat
membuat anak tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.
 Faktor masyarakat
 Kegiatan siswa dalam masyarakat :
Belajar dapat terganggu jika siswa terlalu banyak ambil bagian dalam
kegiatan masyarakat, terutama jika tidak bijaksana dalam mengatur
waktu.
 Media massa :
Seperti bioskop, radio, sukat kabar, majalah, dan sebagainya dapat
memberi pengaruh yang baik ataupun buruk, tergantung dari media
massa tersebut.
 Teman bergaul :
Teman bergaul yang tidak baik seperti suka begadang, keluyuran,
pecandu rokok, film, dan sebagainya dapat menyeret siswa ke ambang
bahaya dan belajar akan jadi berantakan.
 Bentuk kehidupan masyarakat :
Masyarakat yang terdiri dari orang yang tidak terpelajar, penjudi, suka
mencuri, dan mempunyai kebiasaan tidak baik akan memberi pengaruh
jelek karena anak tertarik untuk melakukan yang dilakukan orang –
orang disekitarnya dan dapat mengganggu belajarnya.

Universitas Sumatera Utara


18

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Perignon et al. (2014) pada anak
usia 6 – 16 tahun di Kamboja menunjukan beberapa faktor risiko yang
mempengaruhi kecerdasan anak. Anak yang mengalami stunting, anemia
defisiensi besi, dan infeksi parasit mempunyai nilai yang lebih rendah pada tes
kecerdasan kognitif dibanding dengan anak yang normal.
Picauly (2013) juga melakukan penelitian terhadap anak sekolah di
Kupang dan Sumba Timur NTT tentang pengaruh stunting terhadap prestasi
belajar. Picauly mendapatkan bahwa setiap penurunan status gizi tinggi badan
menurut umur sebesar 1 SD dapat menyebabkan penurunan prestasi belajar.
Menurut Semba et al. (2008) dan Yustika (2006) dalam Picauly (2013) siswa
yang mempunyai prestasi belajar yang rendah disebabkan oleh dua masalah, yaitu
absensi yang tinggi dan kualitas penyerapan dan penguasaan materi pembelajaran
yang rendah.
Penelitian Olukamakaiye (2013) juga mengatakan bahwa energi makanan
yang rendah, konsumsi daging, buah, dan sayur yang rendah memberikan dampak
negatif terhadap perkembangan, kesehatan, dan belajar. Penelitian yang dilakukan
oleh Gajre (2008) pada anak sekolah di Kota Hiderabad menunjukkan bahwa
kebiasaan sarapan berpengaruh terhadap memori dan kecerdasan anak di sekolah.
Tingkat pendidikan ibu juga memberikan pengaruh terhadap kecerdasan anak
dalam pelajaran Bahasa Inggris.
Pengaruh sarapan pagi terhadap prestasi belajar juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh So (2013) pada anak sekolah di Korea. Hubungan
antara sarapan pagi dan prestasi sekolah yang baik pada murid laki – laki didapati
signifikan jika sarapan pagi minimal 5 kali per minggu, sedangkan pada murid
perempuan ditemukan bahwa sarapan pagi sebanyak minimal 2 kali seminggu
sudah menunjukkan hubungan yang signifikan.

Universitas Sumatera Utara

You might also like