You are on page 1of 22

 

 
BAB II
 
LANDASAN TEORI
 

 
II.1 Konsep Dasar Pembangkit Listrik Tenaga Uap
  PLTU adalah suatu pembangkit listrik tenaga termal yang menggunakan uap
  untuk fluida kerjanya. Uap yang digunakan adalah hasil dari proses pemanasan air
pada katel uap (boiler). Boiler di PLTU umumnya menggunakan bahan bakar fosil
 
sebagai bahan bakar untuk menghasilkan energi panasnya.
 
Boiler adalah bejana yang digunakan untuk memanaskan air menjadi uap
 
yang memiliki tekanan dan temperatur yang tinggi. Uap yang dihasilkan boiler tadi
 
digunakan untuk menggerakkan sudu-sudu turbin dimana turbin yang digerakkan
ini telah terkopling dengan generator dan generator ini mengubah energi gerak pada
turbin menjadi energi listrik. Selanjutnya uap sisa menggerakkan turbin ini
mengalami penurunan tekanan dan temperatur dan masuk ke kondensor untuk
dikondensasikan. Air kondensat sebagai hasil dari proses kondensasi di kondensor
dialirkan kembali menuju boiler dengan pompa air umpan (Boiler Feed Water
Pump), secara garis besarnya sistem di PLTU dapat dilihat pada Gambar II. 1. Di
bawah ini.

Gambar II.1Siklus PLTU


Sumber: (Moran, et al., 2003)

II-1
 
  II-2

 
Siklus Rankine ideal terdiri dari proses kompresi isentropik pada pompa,
 
penambahan kalor pada tekanan kontstan di boiler, dan pelepasan kalor pada
  tekanan tetap di kondensor.
 

 
Gambar II.2 Diagram T-S Siklus Rankine Ideal
Sumber: (Moran, et al., 2003)

Proses no 1 ke no 2 adalah proses ekspansi isentropik dari fluida kerja yang


menggerakkan turbin hingga uap tersebut berada pada tekanan kondensor.

Proses no 2 ke no 3 adalah proses pelepasan kalor yang dilakukan oleh


kondensor. Pada proses ini uap jenuh hasil ekspansi turbin dirubah fasanya menjadi
air kondensat.

Proses no 3 ke no 4 adalah proses kompresi isentropik pada pompa air umpan


balik. Dimana air kondensat tadi dipompa menuju boiler untuk dipanaskan kembali.

Proses no 4 ke no 1 adalah proses pemasukan kalor kepada fluida kerja yang


dilakukan oleh boiler untuk merubah fasa cair menjadi uap.

Untuk meningkatkan kinerja pembangkitan dari suatu PLTU, dilakukan


dengan penambahan superheater dan reheater. Penambahan superheater ini dapat
dilihat pada Gambar II.2 yaitu siklus Rankine ideal dengan uap keluaran
superheater atau uap superheat pada masukan turbin: tahapan siklusnya menjadi 1’
-2’ -3 -4 -1.

Penggunaan air menjadi kebutuhan utama untuk proses pembangkitan di


PLTU. Hal ini menjadikan kebutuhan air menjadi kebutuhan utama. PLTU
membutuhkan air dengan jumlah yang tidak sedikit untuk proses kerjanya tak

 
  II-3

 
jarang PLTU ditempatkan didekat laut atau dekat dengan sungai-sungai besar yang
 
ketersediaan airnya terjaga. Namun air dari laut ini tidak dapat digunakan secara
  langsung di PLTU karena salinitasnya yang tinggi akan menyebabkan beberapa
masalah
  seperti korosi, scaling, dan penyumbatan aliran pipa. Yang berakibat pada
penurunan
 
efisiensi sistem di PLTU dan bahkan menimbulkan kerusakan pada
komponen-komponen yang ada di PLTU.
 

  II.2 Kebutuhan Air di PLTU


II.2.1 Penggunaan Air di PLTU
 
Kebutuhan air di PLTU dengan bahan bakar batu bara tidak dapat ditentukan
 
hanya dengan menentukan ukuran pembangkit tersebut. Melainkan kualitas air,
 
karakteristik dari bahan bakar, dan tekanan desain pembangkit tenaga uap juga
mempengaruhi dari kebutuhan air pembangkit (Black & Veatch, 1996). Air di
PLTU digunakan untuk beberapa kebutuhan yang dikategorikan seperti air bersih
(service water), pendinginan (cooling water), untuk kebutuhan utama sebagai
fluida kerja, dan air dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Gambar 2. 3 merupakan
diagram alir dari kebutuhan air di suatu pembangkit.

Gambar II.3 Diagram alir kebutuhan air pembangkit


Sumber: (Black & Veatch, 1996)

 
  II-4

 
Untuk mengetahui penjelasan lebih lanjut mengenai kategori air yang
 
digunakan di PLTU dapat dilihat sebagai berikut:
 
a. Air bersih (service water)
 
Kategori air bersih disini biasanya digunakan untuk seal water
  pada pompa, air bersih, dan air tambahan untuk sistem scrubbing abu
  dan gas buang. Air bersih ini memiliki kriteria penting yaitu tidak
berbau, bebas dari padatan, tidak berwarna, dan tidak keruh. Nilai pH
 
untuk kebutuhan air bersih ini berkisar antara 6 hingga 8.5 dan total
 
padatan terlarut tidak lebih dari 1.000 mg/L. Untuk keperluan air
  minum sendiri, air harus dilakukan treatment seperti klorinasi terlebih
  dahulu sebelum digunakan.

Perkiraan untuk kebutuhan service water adalah sebagai berikut :


 Kebutuhan umum 1% dari laju uap maksimum
 Air minum 189 L per hari per orang
 Air penambah siklus 1,5 % dari laju uap ditambah
kebutuhan sootblowing
 Kapur 3,785 L per 0,45 kg kapur
 Batu kapur 1,89 L per 0,45 kg batu kapur
 Makeup tergantung pada tingkat saturasi gas
buang
b. Air pendingin utama (Main Steam Cycle Cooling Water)
Untuk sistem pendinginan tipe once through, pada umumnya
trash track dan bar screen sudah mencukupi jika hanya untuk
menghilangkan padatan-padatan yang terbawa oleh air laut untuk air
pendinginan utama sehingga tidak diperlukan pengolahan kembali.
c. Air pendingin tambahan (Auxiliary Cooling Water)
Air pendingin ini adalah air untuk kebutuhan pendinginan
tertutup (close-loop cooling) seperti pada pendinginan minyak,
kompresor udara, bearing, dll.

 
  II-5

 
d. Air dengan kemurnian tinggi (High Purity Water)
 
Air ini adalah air yang digunakan sebagai tambahan pada siklus
  kondensat dan air umpan. Tingkat kemurnian yang tinggi dibutuhkan
  untuk menghindari kerak dan korosi pada komponen-komponen

 
utama yang ada di PLTU. Kuantitas air yang dibutuhkan tergantung
pada tekanan operasi boiler, semakin tinggi tekanan kerja boiler maka
 
akan membutuhkan kuantitas air lebih tinggi. Kapasitas dari
 
kebutuhan air ini adalah 1,5% dari laju uap ditambahkan dengan
  kebutuhan sootblowing.

 
II.2.2 Sistem Pengolahan Air di PLTU
 
Sistem pengolahan air sendiri biasa dikenal dengan WTP (Water Treatment
Plant) yaitu unit yang diperlukan untuk kebutuhan proses pemurnian air atau untuk
menghilangkan kandungan mineral yang terkandung pada air sehingga menjadi air
demin. Proses untuk merubah air laut menjadi air demin diawali dengan
pengambilan air laut oleh pompa dimana air laut tersebut telah diinjeksikan klorin
untuk membunuh biota-biota laut yang terbawa dan telah dilewatkan melalui
saringan kasar seperti bar screen dan saringan putar halus travelling band screen.

Sebagian air laut dipompakan menuju kondensor dan sebagainnya lagi


menuju WTP. Setelah itu air menuju settling basin. Pada settling basin ini
ditambahkan klorin pada masukan settling basin. Settling basin ini berfungsi untuk
mengurangi tingkat kekeruhan dari air laut. Air hasil dari settling basin \ ini
selanjutnya ditampung di sea water tank. Selanjutnya air dipompakan menuju ke
Desalination Plant.

II.3 Proses Desalinasi


Proses desalinasi adalah proses pemisahan air laut dengan garam yang
terkandung dalam air laut itu sendiri, sehingga air dapat digunakan untuk berbagai
macam kebutuhan di PLTU. Proses desalinasi ini melibatkan tiga aliran cairan,
yaitu umpan berupa air laut, produk bersalinitas rendah, dan konsentrat bersalinitas
tinggi. Produk dari proses desalinasi ini biasanya memiliki kandungan garam
terlarut tidak lebih dari 500 mg/L, yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan
sehari-hari dan industry. Hasil lain dari proses desalinasi adalah brine. Brine

 
  II-6

 
merupakan air sisa yang tidak dapat diuapkan yang memiliki konsetrasi yang tinggi
 
(lebih dari 34.000 mg/L garam terlarut).
 
Terdapat beberapa teknologi yang digunakan untuk proses desalinasi yang
 
berbasis pada pemisahan dengan membran dan secara termal (Thermal
 
Desalination).
  Pemilihan proses teknologi desalinasi didasarkan pada beberapa factor, antara lain:
  1. Salinitas
2. Kualitas air bersih yang dibutuhkan
 
3. Sumber energi yang digunakan.
 
II.4 Desalinasi Termal (Thermal Desalination)
 
Pada dasarnya proses desalinasi menggunakan prinsip-prinsip
termodinamika, perpindahan panas, dan kompresi gas. Suatu unit desalinasi termal
biasanya menggunakan uap hasil dari boiler auxiliary pada saat start-up dan
menggunakan uap hasil dari ekstraksi turbin intermediate pada saat beroperasi
(running).

II.5 Multi-Effect Desalination (MED)

MED ini merupakan salah satu dari sistem desalinasi yang memanfaatkan
panas untuk memisahkan kandungan garam dari air laut. Pada sistem MED ini, air
produk hasil dari pemisahan didapatkan dari proses evaporating dan condensing.
Air laut yang akan diolah disemprotkan ke permukaan pipa yang di dalamnya sudah
terdapat dan teraliri uap panas. Selanjutnya uap dalam pipa tersebut akan berubah
fasa menjadi air kondensat karena melepas panas latennya, sedangkan air laut yang
disemprotkan tadi menguap karena menerima panas laten dari uap dan digunakan
untuk proses evaporasi pada efek kedua.

Uap hasil proses evaporasi tadi digunakan untuk proses pada efek kedua dan
seterusnya hingga efek terakhir. Air kondensat hasil dari efek kedua hingga efek
terakhir merupakan air produk dari sistem desalinasi ini. Dan uap hasil dari proses
penguapan pada efek terakhir ini dialirkan menuju kondensor untuk dikondensasi
kan dan menjadi air produk dari sistem desalinasi juga. Untuk lebih detailnya dapat
dilihat pada Gambar 2. 5 berikut ini.

 
  II-7

 
Gambar II.4 Proses Desalinasi
  Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

II.6 MED dengan TVC (Thermal Vapour Compression)


 

 
MED dengan TVC merupakan metode untuk meningkatkan kinerja
evaporator MED dengan memanfaatkan kembali sebagian uap yang diproduksi dari
efek terakhir dan dikembalikan ke effect pertama (Alimah & Feridian, 2009). MED
dengan TVC merupakan gabungan antara sistem MED dengan suatu alat yang
bernama steam jet ejector. Dimana steam jet ejector ini selain untuk menghisap
sebagian uap dari efek terakhir juga berfungsi untuk menghisap NCG yang berada
di dalam efek terakhir dan kondensor agar tekanan di dalam efek terakhir dan
kondensor tetap terjaga dalam kondisi vakum. Untuk melihat posisi dari ejector
sendiri dapat dilihat pada Gambar II.5.

Gambar II.5 Skema MED dengan TVC

 
  II-8

 
II.7 Tipe-tipe MED Berdasarkan Alirannya
 
Berdasarkan aliran air laut yang masuk ke dalam evaporator, MED dibedakan
  menjadi 3 aliran, yakni Forward Feed, Backward Feed, dan Parallel Feed.
 
1. Tipe Forward Feed
 

  Gambar II.6 Skema tipe Forward Feed


Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)
Dalam pengaturan Forward Feed seperti ditunjukkan pada Gambar II.6,
air umpan (air laut) disuplai ke efek pertama. Air laut diuapkan pada efek
pertama sedangkan bagian yang tidak menguap yang tersisa dikenal sebagai
Brine masuk ke efek kedua. Pada efek kedua, beberapa bagian air garam
menguap sementara sisanya masuk sebagai sumber umpan ke efek
selanjutnya dan proses ini berlanjut sampai efek terakhir. Air laut pendinginan
masuk ke dalam kondensor dimana ia menukar panas dengan uap yang keluar
dari efek terakhir. Pada tipe forward feed, air umpan (Brine) dan uap masuk
efek dan mengalir ke arah yang sama. pengaturan forward feed juga disebut
pengaturan co-current. Keuntungan utama dari konfigurasi feed forward
adalah kemampuannya untuk dioperasikan pada suhu air laut atas yang tinggi.

2. Tipe Backward Feed

Gambar II.7 Tipe Backward Feed


Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

 
  II-9

 
Pada konfigurasi backward feed, ditunjukkan pada Gambar II.7, air laut
 
(air umpan) setelah melewati bagian akhir kondensor, masuk ke efek terakhir
  dimana suhu dan tekanannya paling rendah di dalam sistem. Brine yang
  meninggalkan efek terakhir diarahkan melalui masing-masing efek sampai

 
efek pertama. Brine meninggalkan efek pertama dikirim kembali ke laut
sebagai air limbah. Suhu dan tekanan meningkat mulai dari efek pertama
 
hingga efek terakhir. Dalam tata letak ini air umpan dan uap yang masuk ke
 
efeknya memiliki arah aliran berlawanan, biasa juga disebut counter current
  cascade.

  3. Tipe Parallel Feed

Gambar II.8 Tipe Parallel Feed


Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)
Gambar II. 8 menunjukkan skema sistem MED tipe Parallel Feed.
Dalam konfigurasi ini, air umpan (air laut) didistribusikan merata untuk
semua efek. Untuk memanfaatkan energi air garam meninggalkan efek
pertama, efeknya diarahkan ke efek selanjutnya dan seterusnya, akan
berpengaruh pada tekanan yang lebih rendah daripada efek sebelumnya.
Umpan dan uap masuk ke efek dan mengalir ke arah yang sama dalam
konfigurasi ini. Pola alir sama seperti pada konfigurasi forward feed.
Konfigurasi paralel memiliki desain yang sederhana dibandingkan dengan
dua pengaturan lainnya. Fitur lain dari pengaturan ini adalah bahwa, tidak
diperlukan pompa untuk memindahkan brine yang tidak menguap pada
masing-masing efek karena brine mengalir dari yang tekanan yang lebih
tinggi ke efek tekanan yang rendah. Sistem umpan paralel merupakan tipe
yang paling sering digunakan di industri.

 
  II-10

 
II.8 Bagian-bagian pada MED TVC
 
II.8.1 Evaporator
  Evaporator adalah sebuah alat yang berfungsi mengubah sebagian atau
keseluruhan
  air umpan (air laut) menjadi uap. Evaporator merupakan komponen
utama
  dari sistem MED dimana air produk dihasilkan pada komponen ini. dalam
evaporator terdapat pipa-pipa yang di dalamnya telah teraliri uap panas. Selain
 
pipa-pipa terdapatjuga nozzle yang berfungsi untuk menyemprotkan air umpan (air
 
laut).
 
Cara kerja dari evaporator ini adalah dengan cara menyemprotkan air
  ke permukaan pipa yang teraliri uap panas. Uap yang digunakan bertekanan
umpan
  rendah (0,2-0,4 atm) (IAEA No.19, 2006). Selanjutnya kalor laten yang dimiliki
oleh uap berpindah ke air umpan yang telah bersentuhan dengan permukaan pipa
dalam evaporator. Dan uap yang berada dalam pipa akan berubah fasa atau
terkondensasi.

II.8.2 Kondensor
Kondensor pada sistem MED ini berfungsi sebagai pemindah panas laten
dari distilat efek terakhir sehingga uap distilat ini berubah fasa menjadi air
kondensat atau air produk. Kondesor yang digunakan adalah tipe surface Shell and
Tube. Fluida pada sisi shell (fluida panas) adalah uap panas hasil evaporasi dari
efek terakhir (distilat). Sedangkan fluida yang ada di dalam tube (fluida dingin)
adalah air laut yang akan menjadi air umpan. Gambar II.9 merupakan skema
kondensor pada sistem MED.

Gambar II.9 Kondensor


Sumber: (Al-Mutaz & Wazeer, 2014)

 
  II-11

 
II.8.3 Thermal Vapor Compressor (Steam Jet Ejector)
 
TVC adalah jenis dari ejektor uap (Steam Jet Ejector), yang bekerja untuk
  mengkompresi sejumlah gas atau uap tekanan rendah. Rasio perbandingan antara
tekanan
  discharge dan suction pada operasi kerja dari TVC ini berkisar antara 1,9
- 3,3
  (Park, et al., 2005). TVC ini akan bekerja apabila motive inlet dialiri uap
bertekanan tinggi dan masuk ke suction chamber melalui nozzle.
 

Gambar II.10 Ejektor


Sumber: (Ettouney & El-Dessouky, 2004)
Gambar II.10 merupakan diagram skematik dari TVC yang
menggambarkan variasi kecepatan dan tekanan pada motive steam dan entrained
vapor. ejektor digunakan untuk meningkatkan tekanan uap (𝑀𝑒𝑣 ) entrained vapor
dari tekanan (𝑃𝑒𝑣 ) ke tekanan yang lebih tinggi (𝑃𝑠 ). Proses ini terjadi dengan
mengubah energi tekanan dari motive steam (𝑀𝑚 ) untuk menghasilkan vakum dan
memampatkan entrained vapor ke tekanan (𝑃𝑠 ) yang dibutuhkan. Laju alir dari
motive steam (𝑀𝑚 ) mengembang di dalam nozzle dari (𝑃1 ) ke (𝑃2 ), pada kondisi ini
energi tekanan statis diubah menjadi energi kinetik. Nozzle ini memiliki bentuk
konvergen (memusat) dan divergen (meluas) untuk memperluas uap ke kecepatan
yang lebih besar dari kecepatan suara (kecepatan supersonik) (Ettouney & El-
Dessouky, 2004).

 
  II-12

 
II.9 Perhitungan Perancangan MED-TVC tipe Backward Feed
 
II.9.1 Evaporator
  II.9.1.1 Menghitung Kalor Laten Uap dan Vapor pada efek terakhir
  Sebelum melakukan iterasi kalor laten dari motive steam dan vapor yang
dibentuk
  pada efek terakhir didapatkan dari steam table atau dengan menggunakan
persamaan dari lampiran B (Ettouney & El-Dessouky, 2004) sebagai berikut:
 

  𝜆𝑠 = 2499,5698 − 2,204864 ∙ 𝑇𝑠 − 2,304 ∙ 10−3 ∙ 𝑇𝑠 2 ...................... (II.1)

𝜆𝑣5 = 2499,5698 − 2,204864 ∙ 𝑇𝑣5 − 2,304 ∙ 10−3 ∙ 𝑇𝑣5 2 ................ (II.2)


 
Keterangan:
 
𝜆𝑠 = Kalor laten steam, kJ/kg
 
𝜆𝑣5 = Kalor laten vapor yang dihasilkan pada efek ke-5, kJ/kg
𝑇𝑠 = Temperatur Steam, oC
𝑇𝑣5 = Temperatur vapor yang dihasilkan pada efek ke-5, oC
II.9.1.2 Menentukan Laju Alir Massa Brine Efek Pertama
Laju alir massa yang keluar dari efek pertama pada MED tipe aliran
backward merupakan brine out atau brine dengan tingkat kepekatan yang tinggi
yang merupakan air limbah dari proses desalinasi. Untuk menentukan besarnya laju
alir brine yang meninggalkan efek pertama ditentukan dengan persamaan berikut:

𝑋𝑓
𝐵1 = (𝑋 )𝑀𝑑 .................................................................................. (II.3)
1 −𝑋𝑓

Dimana,

𝐵1 = Laju alir massa brine efek pertama [𝑘𝑔/𝑠]

𝑋𝑓 = Konsentrasi garam feed [𝑝𝑝𝑚]

𝑋1 = Konsentrasi garam pada efek pertama [𝑝𝑝𝑚]

𝑀𝑑 = Laju alir massa distilat yang dibutuhkan [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.1.3 Menentukan Feed water yang dibutuhkan


Setelah didapatkan laju alir massa dari brine yang meninggalkan sistem dan
laju alir massa distilat yang dibutuhkan sebagai air produk. Maka selanjutnya dapat

 
  II-13

 
ditentukan laju alir massa feed water yang dibutuhkan dengan menggunakan
 
persamaan berikut:
 
𝑀𝑓 = 𝐵1 + 𝑀𝑑 ...................................................................................... (II.4)
 
Dimana,
 

  𝑀𝑓 = Laju alir massa feed water yang dibutuhkan [𝑘𝑔/𝑠]

  II.9.1.4 Menghitung Koefisien Perpindahan Panas Keseluruhan (U)

  Nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek pertama hingga


efek terakhir ditentukan dan diasumsikan tetap konstan selama iterasi (Ettouney &
 
El-Dessouky, 2004). Adapun nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan pada
 
efek pertama dapat dihitung dengan persamaan (II.5) sesuai dengan lampiran C
sebagai berikut:

𝑈1 = 1 × 10−3 (1939,4 + 1,40562∆𝑇𝑡 − 0,0207525∆𝑇𝑡 2 + 0,0023186∆𝑇𝑡 3 ...... (II.5)

Untuk menghitung koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek ke-


dua hingga efek terakhir digunakan persamaan berikut:

𝑈𝑖+1 = 0,95𝑈𝑖 ...................................................................................... (II.6)

Setelah didapatkan nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek


pertama hingga efek terakhir, selanjutnya melakukan penjumlahan invers untuk
koefisien perpindahan panas secara keseluruhan. Ini diperlukan untuk menghitung
penurunan suhu tiap efek.

1 1 1 1 1
∑5𝑖−1 𝑈𝑖
= 𝑈 + 𝑈 + ⋯+ 𝑈 + 𝑈 ........................................................ (II.7)
1 𝑖 𝑛−1 𝑛

Dimana,

𝑈1 = koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek ke-1, [𝑘𝑊/𝑚2 °C]

𝑈𝑖 = koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek ke-i, [𝑘𝑊/𝑚2 °C]

𝑈𝑛 = koefisien perpindahan panas keseluruhan pada efek terakhir, [𝑘𝑊/


𝑚2 °C]

 
  II-14

 
II.9.1.5 Menghitung Penurunan Temperatur Setiap Efek
 
Setelah mendapatkan nilai koefisien perpindahan panas keseluruhan hasil
  dari penjumlahan invers. Selanjutnya menghitung penurunan temperatur yang
terjadi
  pada setiap efek dengan menggunakan persamaan berikut:

  ∆𝑇1 = 𝑈
∆𝑇𝑡
..................................................................................... (II.8)
5
1 ∑𝑖−1 𝑈𝑖
 
Sedangkan untuk menghitung penurunan temperatur pada efek ke 2 hingga
 
efek terakhir menggunakan persamaan berikut:
 
𝑈
∆𝑇𝑖 = ∆𝑇1 ( 𝑈1 ) ..................................................................................... (II.9)
  𝑖

  Dimana,

∆𝑇𝑡 = Perbedaan temperatur steam dengan efek terakhir, [°𝐶]

∆𝑇𝑖 = Penurunan temperatur pada efek ke-i, [°𝐶]

Perlu dicatat bahwa penurunan temperatur setiap efek meningkat ketika


suhu efek berkurang. Ini disebabkan karena heat transfer area dibuat konstan,
koefisien perpindahan panas keseluruhan yang lebih rendah, dan beban thermal
setiap efek dibuat konstan.

II.9.1.6 Menghitung Temperatur Profil Setiap Efek


Setelah menghitung penurunan temperatur yang terjadi pada setiap efek
selanjutnya adalah menghitung temperature profil tiap efek. Untuk menghitung
temperatur efek pertama digunakan persamaan (II.10) sebagai berikut:

𝑇1 = 𝑇𝑠 − ∆𝑇1 .................................................................................... (II.10)

Sedangkan untuk menghitung temperatur efek ke dua hingga ke efek


terakhir digunakan persamaan (II.11) sebagai berikut:

𝑈
𝑇𝑖 = 𝑇𝑖−1 − ∆𝑇1 ( 1⁄𝑈 ) .................................................................. (II.11)
𝑖

Dimana,

𝑇𝑠 = Temperatur steam, [°𝐶]

𝑇𝑖 = Temperatur profil pada efek ke-i, [°𝐶]

 
  II-15

 
II.9.1.7 Menghitung Temperatur Vapor
 
Temperatur vapor didapatkan dari hasil pengurangan dari temperatur brine
  dengan Thermodynamic Losses pada semua efek. Untuk mendapatkan nilai
temperatur
  vapor digunakan persamaan (II.12) sebagai berikut:

  𝑇𝑣𝑖 = 𝑇𝑖 − ∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 .............................................................................. (II.12)


 
II.9.1.8 Menghitung Kalor Laten Vapor
  Untuk menghitung kalor laten vapor setiap efek, digunakan persamaan
(II.12)
  sesuai dengan lampiran C sebagai berikut:

  𝜆𝑖 = 2499,5698 − 2,204864 ∙ 𝑇𝑣𝑖 − 2,304 ∙ 10−3 ∙ 𝑇𝑣𝑖 2 ................ (II.13)


  Dimana,

𝑇𝑣𝑖 = 𝑇𝑖 − ∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 ............................................................................... (II.14)

Dimana,

𝑇𝑣𝑖 = Temperatur vapor efek ke-i, [°𝐶]

𝜆𝑖 = Kalor laten pada efek ke-i, [𝑘𝐽/𝑘𝑔]

II.9.1.9 Menghitung Laju Alir Distilat Setiap Efek


Laju alir distilat setiap efek merupakan air produk yang dihasilkan setiap
efek pada MED yang dirancang. Penentuan besarnya laju alir distilat dimulai dari
efek terakhir hingga efek pertama. Hal ini karena aliran feed water pada MED tipe
aliran backward feed pertama masuk melalui efek terakhir dan keluar sebagai
limbah pada efek pertama. Untuk menghitung lajur alir distilat pada efek terakhir
digunakan persamaan berikut:

𝑀𝑑
𝐷𝑛 = .............................................................. (II.15)
1 1 1 1
(𝜆𝑣𝑛 ( + +⋯+ + ))
𝜆1 𝜆2 𝜆𝑛−1 𝜆𝑛

Kemudian distilat pada efek yang lainnya didapatkan dengan persamaan


berikut:

𝜆𝑣𝑛
𝐷𝑖 = 𝐷𝑛 ( ⁄𝜆 ) .............................................................................. (II.16)
𝑣𝑖

Dimana,

 
  II-16

 
𝐷𝑖 = Laju alir distilat pada efek ke-i, [𝑘𝑔/𝑠]
 
𝐷𝑛 = Laju alir distilat pada efek terakhir, [𝑘𝑔/𝑠]
 
II.9.1.10
  Menghitung Laju Alir Brine
Setelah didapatkan nilai distilat yang dihasilkan pada setiap efek maka
 
besarnya brine pada efek terakhir dapat ditentukan dengan persamaan berikut:
 
𝐵𝑛 = 𝑀𝑓 − 𝐷𝑛 ..................................................................................... (II.17)
 

 
Selanjutnya menentukan brine pada efek yang lainnya dengan
menggunakan persamaan berikut:
 
𝐵𝑖 = 𝐵𝑖+1 − 𝐷𝑖 .................................................................................... (II.18)
 

Dimana,

𝐵𝑖 = Laju alir brine pada efek ke-i, [𝑘𝑔/𝑠]

𝐵𝑛 = Laju alir brine pada efek terakhir, [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.1.11 Menghitung Konsenstrasi Garam Pada Brine


Setelah mendapatkan nilai brine pada semua efek. Nilai tersebut diperiksa
dengan kesetimbangan material atau dengan kata lain kadar garam yang terkandung
pada brine pada masing-masing efek dihitung kesesuaiannya dengan data
parameter pertama terutama pada konsentrasi garam pada brine out. Untuk
menentukan kadar garam pada efek terakhir digunakan persamaan berikut:

𝑋𝑓 𝑀𝑓
𝑋𝑛 = ........................................................................................... (II.19)
𝐵𝑛

Sedangkan untuk menentukan nilai konsentrasi garam pada efek lainnya


digunakan persamaan berikut:

𝑋𝑖+1 𝐵𝑖+1
𝑋𝑖 = ....................................................................................... (II.20)
𝐵𝑖

Dimana,

𝑋𝑖 = Konsentrasi garam pada brine efek ke-i, [𝑝𝑝𝑚]

𝑋𝑛 = Konsentrasi garam pada brine efek terakhir, [𝑝𝑝𝑚]

 
  II-17

 
II.9.1.12 Menghitung Luas Perpindahan Panas Pada Evaporator
 
Setelah mendapatkan beberapa parameter seperti temperatur, kalor laten,
  distilat pada masing-masing efek. Maka selanjutnya menghitung luas perpindahan
panas
  pada masing-masing efek. Untuk menghitung luas perpindahan panas pada
efek  pertama digunakan persamaan berikut:

𝐷1 𝜆1
  𝐴1 = 𝑈 ...................................................................................... (II.21)
1 (𝑇𝑠 −𝑇1 )

 
Sedangkan untuk menghitung luas perpindahan panas pada efek lainnya
 
digunakan persamaan berikut:
  𝐷𝜆
𝑖 𝑖
𝐴𝑖 = 𝑈 (∆𝑇 −∆𝑇 ................................................................................ (II.22)
𝑖 𝑖 𝑙𝑜𝑠𝑠 )
 
Dimana,

𝐴𝑖 = Luas perpindahan panas pada efek ke-i, [𝑚2 ]

𝐴1 = Luas perpindahan panas pada efek pertama, [𝑚2 ]

II.9.1.13 Menghitung Luas Perpindahan Panas Rata-rata


Setelah mendapatkan nilai perpindahan panas dari masing-masing efek,
selanjutnya menghitung luas perpindahan panas rata-rata. Luas perpindahan panas
rata-rata dilakukan untuk mendapatkan nilai penurunan temperatur yang baru agar
dapat dilakukan iterasi. Iterasi dilakukan sampai mendapatkan nilai luas
perpindahan panas pada masing-masing efek yang konstan. Dengan kriteria
kesalahan perbedaan panas pada area maksimum dan area minimum berkisar
1 𝑚2 hingga 1 × 10−2 𝑚2. (Ettouney & El-Dessouky, 2004). Untuk menghitung
luas perpindahan panas rata-rata digunakan persamaan berikut:

∑𝑛
𝑖=1 𝐴𝑖
𝐴𝑚 = ....................................................................................... (II.23)
𝑛

Dimana,

𝐴𝑚 = Luas perpindahan panas rata-rata, [𝑚2 ]

II.9.1.14 Menghitung Penurunan Temperatur yang Baru


Iterasi dimulai dengan menentukan perpindahan panas rata-rata dan
dilanjutkan menghitung penurunan temperatur pada masing-masing efek. Untuk

 
  II-18

 
menghitung penurunan temperatur dilakukan dengan menggunakan persamaan
 
berikut:
 
𝐴
∆𝑇′𝑖 = ∆𝑇𝑖 ( 𝑖⁄𝐴 ) ........................................................................... (II.24)
  𝑚

Dimana,
 
∆𝑇′𝑖 = Penurunan temperature yang baru untuk iterasi, [℃]
 
II.9.1.15 Menghitung Total Luas Perpindahan Panas Pada Evaporator
 
Total luas perpindahan panas pada evaporator merupakan penjumlahan dari
 
luas perpindahan panas yang terjadi pada masing-masing efek. Luas perpindahan
  yang dijumlahkan adalah luas perpindahan panas hasil dari iterasi. Untuk
panas
  mendapatkan total luas perpindahan panas digunakan persamaan berikut:

𝐴𝑒 = 𝐴1 + 𝐴2 + 𝐴3 +. . . +𝐴𝑛 = ∑𝑛𝑖=1 𝐴𝑖 ............................................ (II.25)


Dimana,
𝐴𝑒 = Total Luas perpindahan panas pada evaporator, [𝑚2 ]
𝐴𝑛 = luas perpindahan panas efffect ke n, [𝑚2 ] 𝑖 = 1, 2, 3, … , 𝑛
II.9.1.16 Menghitung Laju Alir Uap
Langkah selanjutnya adalah menghitung laju alir massa uap yang
dibutuhkan untuk MED-TVC tipe backward feed. Untuk mendapatkan nilai laju alir
massa dari uap dapat dengan menggunakan persamaan (II.26) berikut:

𝐷1 𝜆𝑣1
𝑀𝑠 = ......................................................................................... (II.26)
𝜆𝑠

Dimana,
𝑀𝑠 = Laju alir massa uap , [𝑘𝑔/𝑠]
II.9.1.17 Menghitung Jumlah Tube
Setelah didapatkan nilai luas perpindahan panas pada masing-masing efek
selanjutnya adalah menentukan jumlah tube yang dibutuhkan sebagai media
perpindahan panas dari uap ke air feed yang akan diuapkan. Untuk menghitung
jumlah tube yang dibutuhkan pada evaporator digunakan persamaan (II.27) sebagai
berikut:

𝐴
𝑁𝑡 = 𝜋∙𝐷𝑖 ∙𝐿 ......................................................................................... (II.27)
𝑜

 
  II-19

 
Dimana,
 
𝑁𝑡 = Jumlah tube, [m2]
 
L = Panjang pipa, [m]
 
𝐷𝑜 = Diameter luar pipa [m]
 
II.9.2 Kondensor
  II.9.2.1 Menghitung Luas Perpindahan Panas Kondensor
  Dalam sistem MED-TVC tipe backward feed, selain evaporator ada juga
kondensor yang berfungsi untuk mengkondensasi uap hasil dari efek terakhir
 
menjadi air produk (distilat). Berikut merupakan perhitungan untuk kondensor
 
 Menghitung LMTD
 
(𝑇𝑓 −𝑇𝑐𝑤 )
(𝐿𝑀𝑇𝐷)𝐶 = 𝑇 −∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 −𝑇𝑐𝑤
.............................................................. (II.28)
ln[ 6 ]
𝑇6 −∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 −𝑇𝑓

Dimana,
(𝐿𝑀𝑇𝐷)𝐶 = Logarithmic Mean Temperature Difference
𝑇𝑐𝑤 = Temperatur air pendingin, , [℃]
𝑇6 = Temperatur uap efek terakhir, , [℃]
𝑇𝑓 = Temperatur feed, ,[℃]
∆𝑇𝑙𝑜𝑠𝑠 = Thermodynamic loses , [℃]
 Menentukan luas perpindahan panas pada kondensor
𝐷5 ∙𝜆5
𝐴𝐶 = 𝑈 ................................................................................... (II.29)
𝐶 ∙(𝐿𝑀𝑇𝐷)𝐶

Dimana,
𝐴𝐶 = Luas perpindahan panas kondensor, [𝑚2 ]
𝐷5 = Uap yang dihasilkan pada effect terakhir, [𝑘𝑔/𝑠]
𝑈𝐶 = Koefisien perpindahan panas pada konsensor, [𝑘𝑊/𝑚2 ℃]
𝜆𝑣5 = panas laten efek terakhir, [𝑘𝐽/𝑘𝑔]
II.9.3 Ejektor
II.9.3.1 Penentuan Entraintment Ratio pada Ejektor
Setelah mendapatkan laju alir massa dari uap yang dibutuhkan maka
selanjutnya adalah menghitung nilai Entrainment ratio. Entrainment ratio ini

 
  II-20

 
digunakan untuk mengetahui jumlah laju alir massa yang dibutuhkan untuk motive
 
steam. Untuk mendapatkan nilai Entrainment ratio (Ettouney & El-Dessouky,
  2004) ini menggunakan persamaan (II.30) berikut:
  0,015 𝑃𝐶𝐹
(𝑃 )1,19 𝑃
𝑅𝑎 = 0,296 (𝑃𝑑)1,04 ( 𝑃𝑚 ) (𝑇𝐶𝐹 ) .................................................... (II.30)
𝑠 𝑠
 

  Dimana untuk menghitung PCF dan TCF digunakan persamaan (II.31) dan
persamaan (II.30)
 

  𝑃𝐶𝐹 = 3 × 10−7 (𝑃𝑚 )2 − 0,0009(𝑃𝑚 ) + 1,6101 .............................. (II.31)

  𝑇𝐶𝐹 = 2 × 10−8 (𝑇𝑣5 )2 − 0,0006(𝑇𝑣5 ) + 1,0047 ............................ (II.32)

  Dimana,
𝑅𝑎 = Entrainment Ratio,
𝑃𝑑 = Tekanan discharge ejektor, [𝑘𝑃𝑎]
𝑃𝑚 = Tekanan motive steam ejektor, [𝑘𝑃𝑎]
𝑃𝑠 = Tekanan suction ejektor, [𝑘𝑃𝑎]
PCF = Pressure Correction Factor
TCF = Temperature Correction Factor
II.9.3.2 Menghitung Laju Alir Massa Motive Steam
Setelah didapatkan nilai Ra, maka selanjutnya adalah menghitung laju alir
motive steam yang dibutuhkan. Untuk menghitung laju alir motive steam
digunakaan persamaan (II.33) berikut:

𝑀𝑚 = 𝑀𝑠 ⁄(1 + (1⁄𝑅𝑎)).................................................................. (II.33)

Dimana,
𝑀𝑚 = Laju alir motive steam, [𝑘𝑔/𝑠]

II.9.3.3 Menghitung Laju Alir Massa Entraintment Vapor


Laju alir massa entraintment vapor merupakan uap hasil dari penguapan
pada efek terakhir yang dimanfaatkan sebagai heating steam dan bercampur dengan
motive steam untuk mendapatkan besarnya nilai laju alir massa dari entraintment
vapor digunakan persamaan (II.34) berikut:

 
  II-21

 
𝑀𝑒𝑣 = 𝑀𝑠 − 𝑀𝑚 ................................................................................. (II.34)
 
II.9.4 Menghitung Performa
 
 Menghitung Performance ratio
 
Performance ratio merupakan parameter yang penting untuk melihat
  kinerja dari MED yang telah dirancang. Untuk mengetahui nilai
  performance ratio tersebut dihitung dengan persamaan (II.34) sebagai

 
berikut:
𝑀
𝑃𝑅 = 𝑀 𝑑 ............................................................................................. (II.35)
  𝑚

  Dimana,

  PR = Performance Ratio
𝑀𝑑 = Total distilat yang dihasilkan, [𝑘𝑔/𝑠]
𝑀𝑚 = Laju alir massa motive steam, [𝑘𝑔/𝑠]
 Menghitung laju alir massa cooling water
(𝐷5 ∙𝜆5 )
𝑀𝑐𝑤 = ((𝐶 ) − 𝑀𝑓 ................................................................. (II.36)
𝑝 ∙(𝑇𝑓 −𝑇𝑐𝑤 )

Dimana,
𝑀𝑐𝑤 = Laju alir massa dari cooling water, [𝑘𝑔/𝑠]
𝐶𝑝 = Panas spesifik dari cooling water pada tekanan konstan [𝑘𝐽/𝑘𝑔 ℃]
 Menghitung laju alir spesifik cooling water
Untuk menghitung besarnya laju alir spesifik dari cooling water digunakan
persamaan (II.36) berikut ini:
𝑠𝑀𝑐𝑤 = 𝑀𝑑 ⁄𝑀𝑐𝑤 ................................................................................ (II.37)

Dimana,
𝑠𝑀𝑐𝑤 = Laju alir massa spesifik dari cooling water, [𝑘𝑔/𝑠]
 Menghitung luas perpindahan panas spesifik
Untuk menghitung besarnya luas perpindahan panas spesifik didapatkan
dari beberapa parameter yaitu, total perpindahan panas pada evaporator,
perpindahan panas pada kondensor, dan laju alir massa dari distilat yang
dihasilkan. Untuk mendapatkan nilai luas perpindahan panas spesifik dapat
digunakan dengan persamaan berikut:

 
  II-22

 
𝐴𝑒 +𝐴𝐶
𝑠𝐴 = .......................................................................................... (II.38)
  𝑀𝑑

  Dimana,
𝑠𝐴 = Luas Perpindahan panas spesifik, m2
 
𝐴𝑒 = Luas Perpindahan panas evaporator, m2
 
𝐴𝐶 = Luas Perpindahan panas kondensor, m2
 

You might also like