You are on page 1of 8

Alergi

Alergi atau hipersensitivitas tipe I (1 dari 4) adalah kegagalan kekebalan tubuh di


mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan
yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan
kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh
dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik.
Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Simtomanya meliputi mata merah, gatal-gatal, rhinorrhea, eksem, urticaria, atau serangan asma. Pada
sebagian orang, alergi berat terhadap lingkungan, atau alergi makanan atau alergi obat-obatan atau
reaksi terhadap sengatan dari tawon mungkin dapat membahayakan jiwa dengan timbulnya anafilaksis.
Tidak semua reaksi dari hipersensivitas adalah alergi.[1]
Reaksi alergi dapat diduga dan berlangsung cepat. Alergi disebabkan oleh produksi antibodi berjenis
IgE.[2] Maka pembengkakan terjadi dari bersifat tidak nyaman hingga membahayakan.

Diagnosis[sunting | sunting sumber]


Terdapat banyak variasi tes untuk mendiagnosis kondisi alergi. Jika telah dilakukan, maka harus
dicocokkan dengan riwayat pasien, karena banyak hasil tes positif bukan berarti alergi tersebut pasti
terjadi dengan berat atau mudah terindikasi.[3] Tes meliputi peletakan alergen-alergen pada kulit dan
melihat pembengkakan yang terjadi atau melakukan tes darah untuk IgE spesifik alergen.

Pengobatan[sunting | sunting sumber]


Pengobatan alergi termasuk menghindari alergen penyebab alergi yang berbeda-beda pada setiap
orang, pemberian kortikosteroid, antihistamin, dan dekongestan untuk mengurangi gejala-gejala.
Banyak dari obat-obatan ini dilakukan secara per oral, kecuali injeksi epinefrin, untuk mengobati reaksi
anafilaksis. Imunoterapi alergen menggunakan injeksi alergen untuk menetralkan sesitivitas dari tubuh.

Tanda-tanda dan gejala[sunting | sunting sumber]


Gejala-gejala yang umum

Organ yang
Gejala
terkena

Hidung pembengkakan saluran hidung (rhinitis alergi), runny nose, bersin

Sinusitis sinusitis alergi


Mata merah dan gatal pada bola mata, berair

bersin, batuk, penyempitan cabang saluran paru-paru (bronchoconstriction), napasnya berisik (mengi) dan
napas pendek/tersengal-sengal (dyspnea), kadang-kadang terjadi asma, pada kasus yang berat saluran
Saluran pernafasan
pernapasan menyempit karena pembengkakan saluran ke dalam dan dikenal sebagai pembenkakan saluran
pernapasan (laryngeal edema)

terasa buntu, mungkin nyeri, dan berkurangnya pendengaran karena kurangnya drainase pada saluran
Telinga
eustachia.

Kulit gatal-gatal, seperti eksem dan urticaria

Saluran pencernaan sakit perut, perut teras penuh, muntah, diare

Kebanyakan alergen seperti debu dan serbuk sari bunga terbang bersama udara. Pada kasus ini, gejala
timbul di tubuh yang terkena udara, seperti mata, hidung, dan paru-paru. Rhinitis alergi timbul seketika,
dikenal juga sebagai Hay Fever, menyebabkan iritasi pada hidung, bersin, gatal-gatal, dan mata
merah.[4] Alergen yang terhirup dapat juga menyebabkan reaksi asma, karena penyempitan cabang
saluran paru-paru (bronkokonstriksi) dan peningkatan ingus/cairan di paru-paru, napas
pendek/tersengal-sengal (dyspnea), batuk dan mengi (wheezing).[5]
Reaksi alergi juga dapat timbul karena makanan, gigitan serangga, reaksi akan obat seperti
terhadap aspirin dan antibiotik (misalnya penisilin). Gejala-gejala alergi makanan termasuk nyeri
abdomen, perut terasa penuh, muntah, diare, gatal-gatal, dan pembengkakan kulit selama hives. Reaksi
makanan jarang menyebabkan gangguan pernapasan atau rhinitis.[6] Sengatan serangga, antibiotik, dan
obat tertentu dapat menyebabkan anafilaksis; beberapa organ dapat terkena, termasuk saluran
pencernaan, sistem pernapasan, dan sistem peredaran darah.[7][8][9] Tergantung dari tingkat beratnya,
alergi dapat menyebabkan reaksi-reaksi kutanea, penyempitan cabang saluran paru-
paru, edema, tekanan darah rendah (hipotensi), koma, dan bahkan kematian. Reaksi ini dapat terpicu
tiba-tiba atau dapat tertunda. Hal ini seringkali membutuhkan injeksi epinefrin, kadang-kadang melalui
alat EpiPen atau Twinject injeksi otomatis. Sifat dari anafilaksis adalah gejalanya tampaknya mudah
dihilangkan, tetapi penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama.[9]

Penyebab[sunting | sunting sumber]


Tes tusuk/gores pada lengan

Tes tusuk/gores pada punggung

Patch test/tes dengan koyo alergen

Faktor-faktor risiko alergi terbagi dalam dua kategori umum yaitu inang/penderita dan faktor-faktor
lingkungan.[10] Faktor inang meliputi keturunan, jenis kelamin, ras, dan umur, dengan keturunan
mengambil peranan yang paling besar. Bagaimanapun, akhir-akhir ini terjadi peningkatan kejadian alergi
yang tak dapat diterangkan hanya dengan faktor keturunan semata. Empat faktor lingkungan yang utama
adalah perubahan paparan dengan penyakit infeksi selama masa anak-anak, polusi, tingkat alergen, dan
perubahan diet.[11]
Makanan[sunting | sunting sumber]
Banyak jenis makanan menyebabkan alergi, tetapi 90 persen alergi disebakan oleh susu
sapi, kedelai, telur, gandum, kacang tanah, ikan, dan crustacea/udang/rajungan/kepiting.[12] Alergi
makanan lainnya terjadi kurang dari 1 per 10.000 orang, dapat dianggap jarang.[13]
Penduduk Amerika Serikat umumnya alergi terhadap crustaceae.[13] Meskipun alergi terhadap kacang
tanah terkenal karena tingkat beratnya, tetapi alergi kacang tanah bukanlah penyebab utama alergi pada
dewasa dan anak-anak. Reaksi berat yang mengancam nyawa mungkin dipicu oleh alergen-alergen
lainnya, dan lebih umum terjadi dengan kombinasi dengan asma.[12]
Tingkat alergi berbeda antara dewasa dan anak-anak. Alergi kacang tanah kadang-kadang berkembang
pada masa anak-anak. Alergi telur terjadi pada 1 hingga 2 persen anak-anak dan menjadi kira-kira 2/3
anak-anak pada usia 5 tahun.[14] Sensivitas biasanya terjadi terhadap putih telurnya dibandingkan
terhadap kuning telurnya.[15]
Alergi terhadap protein susu bukanlah reaksi Immunoglobulin E, dan biasanya adalah proctocolitis.
Banyak terjadi pada anak-anak.[16] Beberapa orang tidak dapat mentoleransi susu kambing maupun
domba juga sapi, dan banyak juga yang tak dapat mentoleransi hasil-hasil susu seperti keju. Sekitar 10%
anak-anak yang alergi susu, juga alergi terhadap daging hewan berkaki empat. Daging merah tersebut
mengandung sedikit protein seperti yang terdapat pada susu sapi.[17] Lactose intolerance, suatu reaksi
umum terhadap susu, bukanlah alergi sama sekali, tetapi dikarenakan tiadanya ensim tertentu
pada saluran pencernaan.
Alergi terhadap tree nut mungkin alergi terhadap salah satu atau banyak dari tree nut, termasuk pecans,
pistachios, pine nuts, dan walnuts.[15] Juga biji-bijian, temasuk biji wijen, dan poppy seeds, yang
mengandung minyak berprotein, yang bisa menimbulkan reaksi alergi.[15]
Balsam of Peru, yang banyak terdapat pada makanan, termasuk lima besar alergen yang terdeteksi
dengan patch test yang dirujuk ke klinik dermatologi.[18][19][20]
Alergen-alergen dapat dipindahkan dari satu makanan ke makanan lainnya melalui rekayasa genetika,
tetapi sebaliknya juga dapat menghilangkannya. Sedikit penelitian telah dilakukan terhadap konsentrasi
alergen pada tumbuh-tumbuhan pangan yang belum direkayasa.[21][22]
Bukan makanan[sunting | sunting sumber]
Zat-zat yang bersinggungan dengan kulit seperti latex, juga umum menyebabkan reaksi alergi, dikenal
sebagai contact dermatitis atau eksem.[23] Alergi-alergi kulit sering menyebabkan rashes, atau
pembengkakan dan panas di dalam kulit, dikenal sebagai reaksi "wheal dan flare" yang disebabkan oleh
hives and angioedema.[24]
Pada pasien di rumah sakit kejadiannya hanya 0,125 persen, tetapi pada tenaga medis meningkat hingga
mencapai 10 persen, karena sering terpaparnya dengan udara yang mengandung protein latex.[25]
Latex dan pisang memiliki reaksi silang. Siapa alergi terhadap latex, maka mungkin juga sensitif terhadap
avokad, buah kiwi, dan chestnut.[26]
Racun-racun yang berinteraksi dengan protein[sunting | sunting sumber]
Juga bukan makanan, menyebabkan, urushiol-induced contact dermatitis, timbul karena bersinggungan
dengan poison ivy, eastern poison oak, western poison oak, or poison sumac. Urushiol, bukan protein,
tetapi mengubah bentuk integral membrane protein dan mengenai sel kulit, sedangkan sistem kekebalan
tidak mengenalinya sebagai bagian dari badan dan timbullah alergi.[27] Of these poisonous plants, sumac
is the most virulent.[28]
Diperkirakan 25 persen orang peka terhadap urushiol, tetapi angka kejadiannya meningkat menjadi 80
hingga 90 person dewasa yang terpapar urushiol yang dimurnikan, misalnya parfum poison ivy (jangan
sampai terkena kulit).[29]
Faktor keturunan[sunting | sunting sumber]
Penyakit alergi timbul dalam keluarga, kembar identik akan sama alerginya sekitar 70 persen sepanjang
waktu, tetapi kembar non-identik hanya 40 persen.[30] Orang tua yang alergi biasanya anak-anaknya juga
alergi,[31] dan anak-anak tersebut akan menderita alergi lebih berat daripada anak-anak dari orang tua
yang tak alergi. Sejumlah alergi, bagaimanapun belum tentu konsisten, orangtuanya alergi terhadap
kacangtanah, tetapi anaknya alergi terhadap ragweed. Tampaknya perkembangan alergi tidak menurun
begitu saja, tetapi berhubungan dengan ketidakteraturan sistem kekebalan, jadi menurunkan alergi
terhadap alergen tertentu adalah tidak.[31]
Alergi (sistem kekebalan) diturunkan oleh kedua orangtuanya dengan tingkat risiko sebagai berikut:[32]

 Kedua orangtua tidak memiliki riwayat alergi (termasuk asma), maka anak tetap dapat terkena alergi
dengan tingkat risiko maksimum 15 persen
 Salah satu orangtua mengalami riwayat alergi, maka risiko anak mendapat alergi meningkat menjadi
20-40 persen
 Kedua orangtua mengalami riwayat alergi, maka risiko anak mendapat alergi meningkat lagi menjadi
60-80 persen
Risiko sensitivitas terhadap perkembangan alergi tergantung dari umur dengan anbak-anak lebih
berisiko.[33] Bberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat IgE tertinggi terjadi pada masa kanak-kanak
dan cepat turun antara umur 10 hingga 30 tahun.[33] Puncak terjadinya hay fever adalah pada anak-anak
dan dewasa muda dan kejadian terbanyak asama adalah pada anak berusia di bawah 10 tahun.[34]
Anak laki-laki memiliki tingkat risiko terhadap alergi yang lebih tinggi dibandingkan anak
wanita,[31] meskipun untuk beberapa penyakit lergi, misalnya asma pada dewasa muda, wanita lebih
berisiko.[35] Perbedaan ini berkurang ketika kedua jenis kelamin ini dewasa.[31]
Sehubungan dengan alergi, etnis dan ras susah dipisahkan dari faktor lingkungan, apalagi terjadi
migrasi.[31]
Alergi akibat keturunan dapat dicegah/dikurangi dengan pemberian ASI eksklusif pada 6 bulan pertama
setelah kelahiran.[36]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya alergi:

 Jagalah kebersihan lingkungan, baik di dalam maupun di luar rumah. Hal ini termasuk tidak
menumpuk banyak barang di dalam rumah ataupun kamar tidur yang dapat
menjadi sarang bertumpuknya debu sebagai rangsangan timbulnya reaksi alergi. Usahakan jangan
memelihara binatang di dalam rumah ataupun meletakkan kandang hewan peliharaan di sekitar
rumah anda.
 Kebersihan diri juga harus diperhatikan, untuk menghindari tertumpuknya daki yang dapat pula
menjadi sumber rangsangan terjadinya reaksi alergi. Untuk mandi, haruslah
menggunakan air hangat seumur hidup, dan usahakan mandi sore sebelum
PK.17.00'. Sabun dan shampoo yang digunakan sebaiknya adalah sabun dan shampoo untuk bayi.
Dilarang menggunakan cat rambut.
 Jangan menggunakan pewangi ruangan ataupun parfum, obat-obat anti nyamuk. Jika di rumah
terdapat banyak nyamuk, gunakanlah raket anti nyamuk.
 Gunakan kasur atau bantal dari bahan busa, bukan kapuk.
 Gunakan sprei dari bahan katun dan cucilah minimal seminggu sekali dengan air hangat akan
efektif.
 Hindari menggunakan pakaian dari bahan wool, gunakanlah pakaian dari bahan katun.
 Pendingin udara (AC) dapat digunakan, tetapi tidak boleh terlalu dingin dan tidak boleh lebih dari
PK.24.00'
 Awasi setiap makanan atau minuman maupun obat yang menimbulkan reaksi alergi. Hindari bahan
makanan, minuman, maupun obat-obatan tersebut. Harus mematuhi aturan diet alergi.
 Konsultasikan dengan spesialis. Alergi yang muncul membutuhkan perawatan yang berbeda-beda
pada masing-masing penderita alergi. Mintalah dokter anda untuk melakukan imunoterapi untuk
menurunkan kepekaan anda terhadap bahan-bahan pemicu reaksi alergi, misalnya: dengan
melakukan suntikan menggunakan ekstrak debu rumah atau dengan melakukan imunisasi Baccillus
Calmette Guirine (BCG) minimal sebanyak 3 kali (1 kali sebulan) berturut-turut, dan diulang setiap
6 bulan sekali.
Pada New England Journal of Medicine dipaparkan bahwa makan/asupan kacang sejak dini dapat
mengurangi kemungkinan timbulnya alergi akibat kacang secara mencolok. Pada mereka yang rentan
terhadap alergi kacang dan ditunjukkan dengan test tusuk kulit, maka balita yang mengkonsumsi kacang
dalam bentuk apapun termasuk dalam bentuk makanan ringan agar tidak tersedak, akan mengalami
kekebalan terhadap kacang. Biasanya pada usia 5 tahun, penderita alergi terhadap kacang berjumlah
14 persen, tetapi dengan makan kacang sejak usia dini, maka jumlah penderita menjadi hanya 2 persen.
Sebelumnya peneliti terinspirasi oleh anak Yahudi di Israel yang makan kacang sejak bayi, penderita
alergi terhadap kacang sangat sedikit, sedangkan di Inggris jumlahnya mencapai 10x lipat daripada di
Israel.[37]

References[sunting | sunting sumber]


1. ^ Bahna SL (Dec 2002). "Cow's milk allergy versus cow milk intolerance". Annals of allergy, asthma &
immunology : official publication of the American College of Allergy, Asthma, & Immunology. 89 (6 Suppl
1): 56–60. doi:10.1016/S1081-1206(10)62124-2. PMID 12487206.
2. ^ (Inggris)[http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/br.fcgi? book=imm&part=A1322 "Immunobiology,
chapter 10-7. The nature and amount of antigenic peptide can also affect the differentiation of CD4 T
cells"] Periksa nilai |url= (bantuan). Charles A. Janeway, et al. Diakses tanggal 2010-03-20. line feed
character di |url= pada posisi 47 (bantuan); line feed character di |title= pada posisi 82
(bantuan)second paragraph.
3. ^ Cox L, Williams B, Sicherer S, Oppenheimer J, Sher L, Hamilton R, Golden D (December 2008). "Pearls
and pitfalls of allergy diagnostic testing: report from the American College of Allergy, Asthma and
Immunology/American Academy of Allergy, Asthma and Immunology Specific IgE Test Task
Force". Annals of Allergy, Asthma & Immunology. 101 (6): 580–92. doi:10.1016/S1081-1206(10)60220-
7. PMID 19119701.
4. ^ Bope, Edward T.; Rakel, Robert E. (2005). Conn's Current Therapy 2005. Philadelphia, PA: W.B.
Saunders Company. hlm. 880. ISBN 0-7216-3864-3.
5. ^ Holgate ST (1998). "Asthma and allergy—disorders of civilization?". QJM. 91 (3): 171–
84. doi:10.1093/qjmed/91.3.171. PMID 9604069.
6. ^ Rusznak C, Davies RJ (1998). "ABC of allergies. Diagnosing allergy". BMJ. 316 (7132): 686–
9. doi:10.1136/bmj.316.7132.686. PMC 1112683  . PMID 9522798.
7. ^ Golden DB (2007). "Insect sting anaphylaxis". Immunol Allergy Clin North Am. 27 (2): 261–72,
vii. doi:10.1016/j.iac.2007.03.008. PMC 1961691  . PMID 17493502.
8. ^ Schafer JA, Mateo N, Parlier GL, Rotschafer JC (2007). "Penicillin allergy skin testing: what do we do
now?". Pharmacotherapy. 27 (4): 542–5. doi:10.1592/phco.27.4.542. PMID 17381381.
9. ^ a b Tang AW (2003). "A practical guide to anaphylaxis". Am Fam Physician. 68 (7): 1325–
32. PMID 14567487.
10. ^ Grammatikos AP (2008). "The genetic and environmental basis of atopic diseases". Annals of
Medicine. 40 (7): 482–95. doi:10.1080/07853890802082096. PMID 18608118.
11. ^ Janeway, Charles; Paul Travers; Mark Walport; Mark Shlomchik (2001). Immunobiology; Fifth Edition.
New York and London: Garland Science. hlm. e–book. ISBN 978-0-8153-4101-7.
12. ^ a b "Asthma and Allergy Foundation of America". Diakses tanggal 23 December 2012.
13. ^ a b Maleki, Soheilia J; Burks, A. Wesley; Helm, Ricki M. (2006). Food Allergy. Blackwell Publishing.
hlm. 39–41. ISBN 1-55581-375-5.
14. ^ Järvinen KM, Beyer K, Vila L, Bardina L, Mishoe M, Sampson HA (July 2007). "Specificity of IgE
antibodies to sequential epitopes of hen's egg ovomucoid as a marker for persistence of egg allergy". J.
Allergy. 62 (7): 758–65. doi:[//doi.org/10.1111%2Fj.1398-%0A9995.2007.01332.x 10.1111/j.1398-
9995.2007.01332.x] Periksa nilai |doi= (bantuan). PMID 17573723. line feed character
di |journal= pada posisi 4 (bantuan); line feed character di |doi= pada posisi 16 (bantuan)
15. ^ a b c Sicherer 63
16. ^ Maleki, Burks & Helm 2006, hlm. 41
17. ^ Sicherer 64
18. ^ Gottfried Schmalz, Dorthe Arenholt Bindslev (2008). [http://books.google.com/books?
id=mrreTHuo54wC&pg=PA352&dq=balsam+of+peru
+allergy&hl=en&sa=X&ei=m18XU46XMI7QkQfTvYGIDw&ved=0CEQQ6AEwAQ#v=onepage&q=balsam
%20of%20peru%20allergy&f=false Biocompatibility of Dental Materials] Periksa nilai |url= (bantuan).
Springer. Diakses tanggal March 5, 2014. line feed character di |url=pada posisi 31 (bantuan)
19. ^ Thomas P. Habif (2009). [http://books.google.com/books?
id=kDWlWR5UbqQC&pg=PT530&dq=%22balsam+of+peru
%22+allergy&hl=en&sa=X&ei=UGoXU_CfL5TLkAelvYCQCg&ved=0CIIBEOgBMAw#v=onepage&q=%22
balsam%20of%20peru%22%20allergy&f=false Clinical Dermatology] Periksa nilai |url= (bantuan).
Elsevier Health Sciences. Diakses tanggal March 6, 2014. line feed character di |url= pada posisi 31
(bantuan)
20. ^ Edward T. Bope, Rick D. Kellerman (2013).
[http://books.google.com/books?id=fmwYAgAAQBAJ&pg=PT264&dq=%22balsam+of+peru%22+allergy&
hl=en&sa=X&ei=UGoXU_CfL5TLkAelvYCQCg&ved=0CIwBEOgBMA4#v=onepage&q=%22balsam%20of
%20peru%22%20allergy&f=false Conn's Current Therapy 2014: Expert Consult] Periksa
nilai |url= (bantuan). Elsevier Health Sciences. Diakses tanggal March 6,2014. line feed character
di |url= pada posisi 76 (bantuan)
21. ^ Herman, Eliot (2003). "Genetically modified soybeans and food allergies". Journal of Experimental
Botany. 54 (356): 1317–1319. doi:10.1093/jxb/erg164. PMID 12709477.
22. ^ Panda R, Ariyarathna H, Amnuaycheewa P, Tetteh A, Pramod SN, Taylor SL, Ballmer-Weber BK,
Goodman RE (Feb 2013). "Challenges in testing genetically modified crops for potential increases in
endogenous allergen expression for safety". Allergy. 68 (2): 142–
51. doi:10.1111/all.12076. PMID 23205714.
23. ^ Brehler R, Kütting B (2001). "Natural rubber latex allergy: a problem of interdisciplinary concern in
medicine". Arch. Intern. Med. 161 (8): 1057–64. doi:10.1001/archinte.161.8.1057. PMID 11322839.
24. ^ Muller BA (2004). "Urticaria and angioedema: a practical approach". Am Fam Physician. 69 (5): 1123–
8. PMID 15023012.
25. ^ Sussman GL, Beezhold DH (1995). "Allergy to Latex Rubber". Annals of Internal Medicine. 122 (1): 43–
46. doi:10.7326/0003-4819-122-1-199501010-00007. PMID 7985895.
26. ^ Fernández de Corres L, Moneo I, Muñoz D, Bernaola G, Fernández E, Audicana M, Urrutia I (January
1993). "Sensitization from chestnuts and bananas in patients with urticaria and anaphylaxis from contact
with latex". Ann Allergy. 70 (1): 35–9. PMID 7678724.
27. ^ C. Michael Hogan. Western poison-oak: Toxicodendron diversilobum. GlobalTwitcher, ed. Nicklas
Stromberg. 2008. Retrieved 30 April 2010.
28. ^ Keeler, Harriet L. (1900). Our Native Trees and How to Identify Them.New York: Charles Scriber's Sons.
pp. 94–96; Frankel, Edward, Ph.D. Poison Ivy, Poison Oak, Poison Sumac and Their Relatives; Pistachios,
Mangoes and Cashews. The Boxwood Press. Pacific Grove, Calif. 1991. ISBN 978-0-940168-18-3.
29. ^ Armstrong W.P., Epstein W.L. (1995). Herbalgram. American Botanical Council. 34: 36–42. Tidak
memiliki atau tanpa |title= (bantuan) cited in http://waynesword.palomar.edu/ww0802.htm
30. ^ Galli SJ (2000). "Allergy". Curr. Biol. 10 (3): R93–5. doi:10.1016/S0960-9822(00)00322-
5. PMID 10679332.
31. ^ a b c d e De Swert LF (1999). "Risk factors for allergy". Eur. J. Pediatr. 158 (2): 89–
94. doi:10.1007/s004310051024. PMID 10048601.
32. ^ "Bagaimana mencegah risiko alergi". Diakses tanggal June 24,2014.
33. ^ a b Croner S (1992). "Prediction and detection of allergy development: influence of genetic and
environmental factors". J. Pediatr. 121 (5 Pt 2): S58–63. doi:10.1016/S0022-3476(05)81408-
8. PMID 1447635.
34. ^ Jarvis D, Burney P (1997). "Epidemiology of atopy and atopic disease". Dalam Kay AB. Allergy and
allergic diseases. 2. London: Blackwell Science. hlm. 1208–24.
35. ^ Anderson HR, Pottier AC, Strachan DP (1992). "Asthma from birth to age 23: incidence and relation to
prior and concurrent atopic disease". Thorax. 47 (7): 537–42. doi:10.1136/thx.47.7.537. PMC 463865 
. PMID 1412098.
36. ^ Lia Wanadriani Santosa (17 Februari 2015). "Cara cegah alergi usia dini".
37. ^ "Penelitian Membuktikan Konsumsi Kacang Sejak Bayi Bisa Cegah Alergi". 24 Februari 2015.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]


 (Indonesia) "Kenali Alergi Kulit pada Anak"
 Men's Health Indonesia Maret 2005
 WARDHANA-Manado@2008

You might also like