Professional Documents
Culture Documents
SKRIPSI
NUR LAILI INDASARI
Nur Laili Indasari. D14080182. 2012. Kandungan Total Fenolat Tingkat Oksidasi
dan Karakteristik Organoleptik Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu
dengan Komposisi Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Instutut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Tuti Suryati, S.Pt., M.Si.
Pembimbing Anggota : Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging tradisional yang sudah
dikenal oleh masyarakat luas, dan umumnya terbuat dari daging sapi. Dendeng sapi
mempunyai bentuk seperti lempengan kering yang terbuat dari irisan atau gilingan
daging sapi segar yang diberi tambahan campuran gula, garam, serta bumbu atau
rempah-rempah. Dendeng memiliki ciri yang khas, yaitu berwarna coklat kemerahan
dengan flavor yang sedap. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari kandungan
total fenolat, tingkat oksidasi, dan karakteristik organoleptik dendeng sapi mentah
yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda. Perlakuan yang digunakan yaitu
pemberian bumbu dengan konsentrasi yang berbeda, yang terdiri atas: 1) tanpa
bumbu (kontrol), 2) komposisi bumbu I, 3) komposisi bumbu II, dengan
menggunakan tiga ulangan pada setiap perlakuan. Kedua komposisi bumbu yang
digunakan memiliki perbandingan ketumbar : bawang putih yang sama, yaitu 1 : 5.
Perbedaan antara komposisi bumbu yang pertama dan kedua adalah konsentrasi
ketumbar dan bawang putih yang ditambahkan. Penambahan ketumbar dan bawang
putih pada komposisi bumbu II konsentrasinya 2 kali lipat dari komposisi bumbu I.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Rancangan tersebut digunakan untuk seluruh peubah, kecuali pada analisis
organoleptik. Analisis organoleptik diolah dengan menggunakan uji nonparametrik
(Uji Kruskal-Wallis) dan menggunakan 25 orang panelis sebagai ulangan. Analisis
yang dilakukan antara lain analisis kandungan fenolat, bilangan peroksida,
organoleptik, kadar air, dan aktivitas air.
Perlakuan pemberian bumbu dengan konsentrasi yang berbeda ini tidak
memberikan perbedaan kandungan total fenolat, bilangan peroksida, rendemen, aw,
dan kadar air yang nyata antara formulasi bumbu I dengan formulasi bumbu II.
Namun jika dendeng komposisi bumbu I dan komposisi bumbu II dibandingkan
dengan kontrol, terlihat menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (P<0,05). Hasil
yang diperoleh dari analisis organoleptik menunjukkan bahwa intensitas aroma
bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan mempunyai perbedaan yang
nyata (P<0,05), kecuali pada mutu warna dendeng. Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemberian bumbu dengan konsentrasi berbeda
(komposisi I dan II) tidak menghasilkan perbedaan yang nyata pada kandungan total
fenolat dan tingkat oksidasi dendeng sapi mentah. Karakteristik organoleptik pada
dendeng komposisi bumbu II menghasilkan intensitas aroma bumbu yang lebih kuat,
dendeng yang lebih lembab dan lentur, serta berwarna coklat kehitaman. Intensitas
aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan dendeng yang mempunyai
mutu paling baik adalah dendeng dengan komposisi bumbu II.
Menyetujui,
Mengetahui:
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT untuk segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kandungan Total
Fenolat Tingkat Oksidasi dan Karakteristik Organoleptik Dendeng Sapi
Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi Berbeda” dibawah bimbingan
Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. dan Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si.
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging tradisional khas
Indonesia yang sudah dikenal oleh masyarakat, dan umumnya terbuat dari daging
sapi. Dendeng pada masing-masing wilayah di Indonesia memiliki perbedaan ciri
khas sesuai dengan selera masyarakat setempat, baik dalam hal rasa maupun cara
pembuatannya. Isu adanya senyawa berbahaya pada dendeng yang beredar di pasaran
seperti nitrosamin, malonaldehida, dan residu nitrit menyebabkan kekhawatiran di
kalangan konsumen. Senyawa-senyawa tersebut sebenarnya dapat direduksi dengan
adanya penambahan bumbu-bumbu pada pembuatan dendeng itu sendiri. Berbagai
penelitian mengenai dendeng sapi sudah banyak dilakukan, namun belum banyak
yang menggali lebih dalam mengenai peran bumbu pada dendeng sapi dalam
mereduksi senyawa-senyawa berbahaya tersebut. Skripsi ini merupakan bagian dari
serangkaian penelitian yang meneliti mengenai peran bumbu dalam mereduksi
senyawa-senyawa berbahaya. Skripsi ini menjelaskan tentang pengaruh pemberian
bumbu dengan konsentrasi berbeda terhadap karakteristik organoleptik, kandungan
total fenolat, dan tingkat oksidasi pada dendeng sapi. Analisis yang dilakukan
meliputi analisis organoleptik, kandungan fenolat total, bilangan peroksida,
rendemen, aktivitas air, dan kadar air.
Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi ini
dapat memberikan informasi yang berguna dalam dunia peternakan dan bermanfaat
bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Spesifikasi Persyaratan Mutu Dendeng Sapi ..................................... 3
2. Komposisi Bahan yang Digunakan pada Pembuatan Dendeng ...... 18
3. Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah yang Diberi
Bumbu dengan Komposisi Berbeda ................................................ 22
4. Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu
dengan Komposisi Berbeda ............................................................. 23
Nomor Halaman
1. Pengeringan Dendeng Sapi dengan Menggunakan Oven ............... 40
2. Dendeng Sapi setelah Pengeringan .................................................. 40
3. Analisis Ragam Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah .. 40
4. Uji Tukey Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah .......... 41
5. Analisis Ragam Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah ........... 41
6. Uji Tukey Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah .................... 41
7. Uji Kruskal-Wallis Warna Dendeng Sapi Mentah .......................... 41
8. Uji Pembandingan Berganda Warna Dendeng Sapi Mentah .......... 42
9. Uji Kruskal-Wallis Intensitas Aroma Bumbu Dendeng Sapi
Mentah ............................................................................................. 42
10. Uji Pembandingan Berganda Intensitas Aroma Bumbu Dendeng
Sapi Mentah ..................................................................................... 42
11. Uji Kruskal-Wallis Tingkat Kelembaban Dendeng Sapi Mentah ... 42
12. Uji Pembandingan Berganda Tingkat Kelembaban Dendeng Sapi
Mentah ............................................................................................. 43
13. Kruskal-Wallis Tingkat Kelenturan Dendeng Sapi Mentah ............ 43
14. Uji Pembandingan Berganda Tingkat Kelenturan Dendeng Sapi
Mentah ............................................................................................. 43
15. Format Formulir Analisis Organoleptik Dendeng Sapi Mentah ..... 44
16. Analisis Ragam Rendemen Dendeng Sapi Mentah ......................... 45
17. Uji Tukey Rendemen Dendeng Sapi Mentah .................................. 45
18. Analisis Ragam Aktivitas Air Dendeng Sapi Mentah ..................... 45
19. Uji Tukey aw Dendeng Sapi Mentah ............................................... 45
20. Analisis Ragam Kadar Air Dendeng Sapi Mentah .......................... 46
21. Uji Tukey Kadar Air Dendeng Sapi Mentah ................................... 46
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dendeng merupakan salah satu produk olahan daging tradisional yang sudah
dikenal oleh masyarakat luas, dan umumnya terbuat dari daging sapi. Dendeng
mempunyai kandungan protein yang tinggi, selain itu dalam dendeng terdapat
beberapa kandungan mineral seperti kalsium, fosfor, dan besi yang dapat
memperbaiki gizi masyarakat. Dendeng sapi mempunyai bentuk seperti lempengan
kering yang terbuat dari irisan atau gilingan daging sapi segar yang diberi tambahan
campuran gula, garam, serta rempah-rempah. Jenis rempah-rempah yang digunakan
dalam pembuatan dendeng sapi ini meliputi lengkuas, ketumbar, bawang merah, dan
bawang putih. Dendeng memiliki ciri yang khas, yaitu berwarna cokelat kemerahan,
tipis dan flavornya yang sedap. Pembuatan dendeng merupakan salah satu alternatif
pengolahan daging sapi yang dapat memperpanjang umur simpan.
Proses pembuatan dendeng sampai saat ini belum dibakukan, karena di setiap
daerah mempunyai komposisi resep yang berbeda-beda. Dendeng sebagai produk
pangan semi basah dengan kadar air sekitar 20% mempunyai peluang kerusakan
akibat proses pemanasan. Kerusakan yang sering terjadi pada dendeng adalah
oksidasi lemak dan pencoklatan non enzimatis, dimana kedua kerusakan tersebut
dapat menyebabkan penurunan gizi dan cita rasa produk tersebut.
Proses oksidasi lemak dapat terjadi jika ada kontak antara sejumlah oksigen
dengan lemak dan biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida. Terjadinya
oksidasi ini tidak hanya dipengaruhi oleh suhu, tetapi juga dipengaruhi oleh kadar air
dan aktivitas air. Tingkat oksidasi lemak pada dendeng dapat dicegah atau dikurangi
dengan adanya penambahan rempah-rempah sebagai bumbu. Rempah-rempah alami
mengandung antioksidan yang pada umumnya sifat antioksidan ini dimiliki oleh
senyawa fenolat. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat mengurangi, menahan,
dan mencegah proses oksidasi lipida. Pada penelitian ini dapat dilihat sejauh mana
peran bumbu yang ditambahkan pada pembuatan dendeng dalam mereduksi oksidasi
lemak, baik yang disebabkan oleh pemanasan, kadar air, maupun aktivitas air
dendeng. Pembuatan dendeng pada penelitian ini menggunakan penambahan bumbu
dengan konsentrasi bawang putih dan ketumbar yang berbeda, yang selanjutnya
diharapkan dengan semakin tingginya konsentrasi yang ditambahkan pada dendeng
maka semakin efektif dalam menghambat oksidasi lemak sebagai akibat dari
kandungan total fenolat yang tinggi. Selain itu juga diharapkan mutu organoleptiknya
lebih diminati oleh konsumen secara umum.
Tujuan
1. Mempelajari pengaruh penambahan bumbu dengan konsentrasi berbeda terhadap
kandungan total fenolat dan tingkat oksidasi lemak pada dendeng sapi mentah.
2. Mempelajari karakteristik organoleptik dendeng sapi mentah yang diberi bumbu
dengan konsentrasi berbeda.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Dendeng Sapi
Dendeng sapi adalah produk makanan berbentuk lempengan yang terbuat dari
irisan atau gilingan daging sapi segar berasal dari sapi sehat yang telah diberi bumbu
dan dikeringkan (Badan Standardisasi Nasional, 1992). Dendeng sapi digolongkan
menjadi dua bentuk, yaitu dendeng sapi irisan dan dendeng sapi giling yang masing-
masing digolongkan dalam dua jenis mutu. Spesifikasi persyaratan mutu dendeng
menurut Badan Standardisasi Nasional 01-2908-1992 ditampilkan pada Tabel 1.
Dendeng tergolong dalam produk pangan semi basah, menurut Huang dan Nip
(2001) produk pangan semi basah memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai a w
berkisar antara 0,60-0,92.
Persyaratan
No Jenis Uji Satuan
Mutu I Mutu II
1 Warna dan bau - Khas dendeng sapi Khas dendeng sapi
Daging Sapi
Daging sapi didefinisikan sebagai bagian otot skeletal dari karkas sapi yang
aman, layak dan lazim dikonsumsi oleh manusia, dapat berupa daging segar, daging
segar dingin, atau daging beku (Badan Standardisasi Nasional, 2008a). Berdasarkan
keadaan fisik, daging dapat dikelompokan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan
atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging
dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibeku (daging
beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 2005).
Bumbu
Garam
Garam dipergunakan manusia secara luas untuk mengawetkan berbagai
macam makanan. Garam berperan sebagai penghambat selektif pada mikroorganisme
pencemar tertentu. Mikroorganisme pembusuk atau proteolitik dan juga pembentuk
spora adalah yang paling mudah terpengaruh walau dengan kadar garam yang rendah
sekalipun (yaitu sampai 6%). Mikroorganisme patogenik, termasuk Clostridium
botulinum dengan pengecualian pada Staphylococcus aureus, dapat dihambat oleh
konsentrasi garam sampai 10%-12%. Walaupun begitu, beberapa mikroorganisme
terutama jenis Leuconostoc dan Lactobacillus, dapat tumbuh cepat dengan adanya
garam dan terbentuknya asam untuk menghambat organisme yang tidak dikehendaki
(Buckle et al., 2009).
Garam juga mempengaruhi aktivitas air (a w) dari bahan, jadi mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme dengan suatu metode yang bebas dari pengaruh
racunnya. Beberapa organisme seperti bakteri halofilik dapat tumbuh dalam larutan
garam yang hampir jenuh, tetapi mikroorganisme ini membutuhkan waktu
penyimpanan yang lama untuk tumbuh dan selanjutnya terjadi pembusukan (Buckle
et al., 2009).
Gula Kelapa
Gula kelapa atau gula merah adalah gula yang terbuat dari bahan baku utama
nira kelapa yang telah diolah. Gula kelapa memiliki ciri khusus baik rasa, aroma dan
bentuknya, yang sangat berbeda dengan gula putih yang terbuat dari bahan tebu (Heri
dan Lukman, 2007). Prinsip pembuatan gula merah adalah penguapan sebagian air
dalam nira sampai mencapai tingkat kekentalan tertentu sehingga gula dapat dicetak.
Kondisi kimia nira sangat menentukan warna gula merah karena pada dasarnya
reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada pembentukan gula merah
melibatkan reaktan-reaktan berupa senyawa-senyawa kimia seperti protein, lemak,
kadar gula, dan kadar air (Nurlela, 2002).
4
Gula merah yang terbuat dari nira kelapa berwarna lebih cerah dibanding gula
merah yang terbuat dari nira aren. Penampakan gula merah yang kering dan berair
sangat ditentukan oleh kondisi keasaman nira sebagai bahan baku. Pada kondisi
asam, kandungan gula pereduksi pada gula merah sangat tinggi. Gula pereduksi
menyebabkan gula merah menjadi lebih higroskopis (mudah menarik uap air)
sehingga penampakan produk menjadi basah dan mudah meleleh. Kekerasan gula
merah disebabkan oleh adanya kristal-kristal sukrosa. Pemanasan yang diperlukan
pada reaksi pencoklatan akan menyebabkan kandungan sukrosa gula dalam gula
merah menurun akibat terdegradasi menjadi gula pereduksi, sehingga kadar kristal
sukrosa dalam gula merah menjadi rendah (Nurlela, 2002).
Gula Pasir
Gula pasir merupakan hasil dari proses rekristalisasi ekstrak cairan tebu
dengan kandungan sukrosa yang sangat tinggi (Fitriadi, 2000). Gula sukrosa
termasuk ke dalam golongan disakarida yang terdiri atas dua unit monosakarida,
yaitu α-glukosa dan fruktosa yang terhubung melalui ikatan glikosida (Rizal et al.,
2007). Menurut Buckle et al. (2009), faktor utama yang mempengaruhi mutu
sukrosa adalah pemanasan. Penggunaan teknik konsentrasi hampa udara dalam
proses penggilingan dan pemurnian mengurangi inversi sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa, serta mengurangi pembentukan warna gelap oleh proses karamelisasi.
Lengkuas
Lengkuas (Alpinia galanga) digunakan untuk menambah citarasa makanan
seluruh Asia Selatan dan Tenggara. Rimpangnya memiliki berbagai aplikasi dalam
pengobatan tradisional (Yang dan Eilerman, 1999). Lengkuas sebagai minyak
esensial menunjukkan aktivitas antimikroba terhadap bakteri Gram positif, ragi, dan
dermatofit. Senyawa yang paling aktif adalah terpinen-4-ol (Janssen dan Scheffer,
1985). Selain itu, minyak esensial dari lengkuas dilaporkan berpotensi sebagai
antikarsinogen (Zheng et al., 1993).
Menurut Mahae dan Chaiseri (2009), ekstrak etanol lengkuas menunjukkan
potensi untuk digunakan sebagai antioksidan alami dalam produk makanan.
Lengkuas memiliki senyawa fenolik dan 1-acetoxychavicol asetate (ACA) dengan
bau ringan, yang membuatnya menguntungkan untuk digunakan dalam berbagai
5
jenis produk makanan bila dibandingkan dengan herbal lain. Menurut Tangkanakul
et al. (2009) lengkuas mempunyai aktivitas antioksidan sebesar 98,61 ± 2,13 mg
vitamin C equivalent (VCE)/100 g dan total fenolat sebesar 216,63 ± 3,33 mg gallic
acid equivalent (GAE)/100 g.
Ketumbar
Ketumbar merupakan tanaman asli dari daratan Eropa Timur, kemudian
menyebar ke India, Morocco, Pakistan, Rumania dan Rusia (Purseglove et al., 1981).
Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia
yang terdapat dalam minyak atsiri. Ketumbar mempunyai kandungan minyak atsiri
berkisar 0,4%-1,1%, minyak ketumbar termasuk senyawa hidrokarbon beroksigen,
komponen utama minyak ketumbar adalah linalool yang jumlahnya sekitar 60%-70%
dengan komponen pendukung yang lainnya adalah geraniol (1,6%-2,6%), geranil
asetat (2%-3%), kamfor (2%-4%), dan mengandung senyawa golongan hidrokarbon
berjumlah sekitar 20% (α-pinen, β-pinen, dipenten, p-simen, α-terpinen dan γ-
terpinen, terpinolen dan fellandren) (Guenther, 1990). Berdasarkan jenis unsur
penyusun senyawa minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa
hidrokarbon beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak
atsiri, serta lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi dan resinifikasi (Suhirman
dan Yuhono, 2007). Menurut Tangkanakul et al. (2009) biji ketumbar mempunyai
aktivitas antioksidan sebesar 53,54 ± 6,97 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar
97,26 ± 2,50 mg GAE/100 g.
Bawang Putih
Bawang putih mempunyai kadar air sebesar 37,87 ± 0,6%. Ekstrak bawang
putih dapat melindungi lemak tak jenuh dari oksidasi oleh radikal bebas yang telah
diuji dengan radiasi larutan asam linoleat (5 mM) dalam campuran etanol : air (1:1
v/v) pada konsentrasi rendah (Leelarungrayub et al., 2006). Umbi bawang putih
mengandung senyawa aktif allicin (diallyl thiosulfinate) yang berperan sebagai
antimikroba. Thiosulfinates memiliki derajat yang berbeda pada penghambatan
antibakteri dan antijamur (Benkeblia dan Lanzotti, 2007). Thiosulfinates mempunyai
sifat antioksidan yang nyata di bawah kondisi tertentu (Rabinkov et al., 1998).
Menurut Tangkanakul et al. (2009) bawang putih mempunyai aktivitas antioksidan
6
sebesar 8,77 ± 1,93 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 63,51 ± 3,67 mg
GAE/100 g.
Suharti et al. (2005) telah menguji aktivitas antibakteri bawang putih dengan
berbagai konsentrasi yaitu, 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%. Gambar 1 menunjukkan
bahwa aktivitas antibakteri bawang putih pada konsentasi 2,5%; 5%; 7,5%; dan l0%
berturut-turut adalah 4,0 mm; 7,0 mm; 7,5 mm; dan 8,0 mm. Aktivitas antibakteri
tertinggi diperoleh pada konsentrasi 10% (P<0,05). Gambar tersebut juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi bawang putih, maka aktivitasnya
cenderung meningkat. Hal ini diduga dengan semakin tingginya konsentrasi bawang
putih maka kandungan bahan aktif antibakterinya juga meningkat. Namun
konsentrasi bawang putih yang mempunyai aktivitas yang tidak berbeda nyata
(P<0,05) dengan antibiotik tetrasiklin 100 µg/ml adalah pada konsentrasi 5% dan
7,5%.
Aktivitas antibakteri serbuk bawang putih diduga disebabkan oleh dialil
tiosulfinat yang biasa disebut dengan alisin. Alisin tidak ditemukan pada tanaman
utuh tetapi terbentuk oleh aktivitas enzim alliin alkil sulfenat liase pada komponen
asam amino non protein S-allylcysteine S-oxide/aliin (Feldberg et al., 1998).
8
7,5
7,23
7
7
Asam Jawa
Asam jawa biasanya diproduksi di Jawa Timur termasuk Madura, Jawa
Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sumatra Utara, Bali, dan
Sulawesi Selatan. Tanaman ini biasa tumbuh di dataran rendah dan beriklim tropis.
Klasifikasi ilmiah dari asam jawa menurut Soemardji (2007) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Division : Spermatophyta
Sub division : Magniliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Risidae
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Tamarindus L.
Species : Tamarindus indica L.
8
Merica
Merica (Piper nigrum Linn) termasuk dalam famili Piperaceae, yang berasal
dari India dan merupakan rempah-rempah yang paling berharga sejak zaman dahulu.
Merica mengandung minyak volatil yang mempunyai aktivitas antimikroba (Dorman
dan Deans, 2000). Merica memiliki kandungan obat, sehingga sering digunakan
untuk mengobati vertigo, asma, obesitas, sinusitis, gangguan pencernaan kronis,
racun usus, demam, lumpuh, gangguan rematik, diare, dan juga kolera (Sashidhar,
2002).
Merica bubuk pada pembuatan sosis daging babi segar dapat memperpanjang
umur simpan, meskipun pada luasan yang berbeda tergantung pada rempah-rempah
dan konsentrasi yang digunakan. Selain itu, merica tampaknya paling sesuai untuk
memperpanjang umur simpan sosis segar karena efektif menunda perubahan warna
dan off-flavor. Merica juga mempunyai daya hambat yang cukup signifikan terhadap
oksidasi lemak, tergantung dari konsentrasi yang ditambahkan (Martinez et al.,
2006). Menurut Tangkanakul et al. (2009) merica mempunyai aktivitas antioksidan
sebesar 108,47 ± 5,46 mg VCE/100 g dan total fenolat sebesar 447,23 ± 10,38 mg
GAE/100 g.
Senyawa Fenolat
Salah satu jenis antioksidan dalam bahan pangan adalah senyawa fenolat.
Senyawa fenolat merupakan senyawa kimia yang mempunyai satu buah cincin
aromatik yang mengandung satu atau lebih gugus hidroksi. Beberapa penelitian telah
melaporkan hubungan antara kandungan fenolat dan aktivitas antioksidan.
Beberapa peneliti menemukan korelasi antara kandungan fenolat dan
aktivitas antioksidan (Soong dan Barlow, 2004). Velioglu et al. (1998) melaporkan
adanya hubungan yang kuat antara kandungan fenolat total dan aktivitas antioksidan
pada sayuran, buah-buahan, dan produk biji-bijian. Menurut Ismail et al. (2004)
setiap jenis sayuran memiliki aktivitas antioksidan yang berbeda, disumbangkan oleh
komponen antioksidan yang berbeda, seperti α-tokoferol, β-karoten, vitamin C,
selenium, atau senyawa fenolat. Struktur kimia beberapa senyawa antioksidan alami
yang bersal dari tanaman ditampilkan pada Gambar 2 berikut ini:
9
OH
1 1
6 2 2
5 3 3
4 4
3
2 4 1 7
6
2 8
5
HO
6
3 9
5
4
1
2’ 3’
8 o
7 2
4’
6’ 5’
6 3
4
5
o
Flavonoid
Oksidasi Lemak
Salah satu kerusakan pada produk makanan adalah oksidasi lemak dari asam
lemak tidak jenuh. Oksidasi lemak dapat berlangsung melalui jalan autoksidasi.
Menurut Cahyadi (2008) proses oksidasi lemak pada prinsipnya merupakan proses
pemecahan yang terjadi di sekitar ikatan rangkap (tidak jenuh) dalam molekul
gliserida penyusun lemak. Proses oksidasi lemak berlangsung dalam suatu seri reaksi
yang disebut mekanisme radikal bebas. Autoksidasi radikal bebas dari lemak ditandai
10
dengan tiga tahapan utama. Tahap permulaan disebut inisiasi yang kemudian diikuti
oleh tahap propagasi, dan tahap terminasi atau berhentinya reaksi.
Purnomo (1995) menambahkan bahwa inisiasi terjadi dengan ditandai oleh
hilangnya radikal hidrogen pada gugus asam lemak tak jenuh dari molekul lemak
(RH) karena panas, cahaya, atau logam dalam jumlah kecil (trace metal). Pada tahap
propagasi radikal bebas (R*), lemak akan bereaksi dengan oksigen, dan membentuk
radikal peroksi tak stabil (ROO*) yang pada saatnya bereaksi dengan molekul lemak
lainnya untuk membentuk hidroperoksida (ROOH) dan radikal hidrokarbon baru
(R*). Radikal baru tersebut kemudian berperan dalam reaksi berantai karena
reaksinya dengan molekul oksigen lain. Tahap selanjutnya adalah terminasi yang
merupakan penggabungan dua radikal. Jika tidak ada lagi radikal yang tersedia untuk
reaksi lebih lanjut dengan oksigen, maka diperlukan reaksi inisiasi yang baru apabila
oksidasi akan berlangsung. Ketiga tahap reaksi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:
Inisiasi : RH R* + H *
Propagasi : R* + O2 ROO*
ROO* + RH ROOH* + R*
11
Air dapat mempengaruhi oksidasi lemak dengan mempengaruhi konsentrasi
dari tersedianya radikal inisiasi, tingkatan kontak dan mobilitas bahan pereaksi, dan
yang relatif penting adalah perpindahan radikal terhadap reaksi penggabungan
kembali. Air yang besar peranannya dalam mengendalikan struktur bahan pangan
juga merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak. Penambahan air pada emulsi
yang telah dikeringbekukan dapat meruntuhkan struktur metastabil. Apabila keadaan
ini terjadi, lemak yang tidak terselubung lagi akan mengalir dari matriks bagian
dalam ke permukaan. Jika terpapar udara, lemak pada permukaan telah siap
teroksidasi, dan lemak yang terselubung terlindungi dari oksigen. Kenaikan nilai a w
sampai batas nilai kritis tertentu mengkibatkan matriks pelindung hancur, dan lemak
yang tidak terselubung akan terdistribusikan ke permukaan serta akan mengalami
oksidasi (Purnomo, 1995).
Jika air cukup banyak untuk mengalami kondensasi dalam kapiler seperti
pada bahan pangan setengah basah, oksidasi lemak akan meningkat. Kenaikan
tingkat oksidasi lemak pada keadaan setengah basah disebabkan oleh mobilitas
logam dalam jumlah kecil, yang telah terdapat dalam sistem dan pemekaran matriks,
yang akan menonjolkan bagian katalis baru, sehingga tingkatan oksidasi menjadi
lebih tinggi daripada keadaan kering. Akan tetapi pengenceran katalis logam yang
terdapat dalam sistem sebagai akibat bertambahnya kadar air pada nilai a w yang
sangat tinggi akan menurunkan tingkat oksidasi lemak (Purnomo, 1995). Pengaruh
aw terhadap tingkat oksidasi bahan pangan digambarkan sebagai berikut:
Tingkat Oksidasi
12
Bilangan Peroksida
Pemanasan yang tinggi menyebabkan sebagian minyak atau lemak dalam
bahan pangan mengalami oksidasi. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi
kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi
oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Oksidasi
biasanya dimulai dengan pembentukan peroksida dan hidroperoksida (Ketaren,
1986).
Pengukuran angka peroksida pada dasarnya adalah mengukur kadar
peroksida dan hidroperoksida yang terbentuk pada tahap awal reaksi oksidasi lemak.
Bilangan peroksida yang tinggi mengindikasikan lemak atau minyak sudah
mengalami oksidasi, namun pada angka yang lebih rendah bukan selalu berarti
menunjukkan kondisi oksidasi yang masih dini. Angka peroksida rendah bisa
disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih kecil dibandingkan dengan laju
degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar peroksida cepat mengalami
degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006). Menurut Suharyanto et al.
(2008) bilangan peroksida pada dendeng sapi sebesar 169,51 meq/kg.
Peranan Antioksidan
Antioksidan adalah bahan yang digunakan untuk mencegah oksidasi lemak,
misalnya digunakan pada bahan pangan yang akan digoreng, makanan dari biji-
bijian, dan makanan-makanan lain yang mengandung banyak lemak dan mudah
tengik (Winarno et al., 1980). Antioksidan yang sering digunakan adalah senyawa
fenol atau amina aromatis. Beberapa senyawa belerang digunakan pada beberapa
bahan dan beberapa asam tertentu digunakan sebagai deaktivator logam. Antioksidan
dapat berperan sebagai inhibitor atau pemecah peroksida. Pada umumnya,
antioksidan dapat menghentikan rantai reaksi oksidatif sebagai berikut: 1) dengan
donasi elektron pada radikal peroksi, 2) dengan donasi atom hidrogen pada radikal
peroksi, 3) dengan adisi pada radikal peroksi sebelum atau sesudah terjadi oksidasi
parsial, 4) dengan metode lain yang belum diketahui dan memungkinkan berkaitan
dengan radikal hidrokarbon namun bukan radikal peroksi (Cahyadi, 2008).
Menurut Cahyadi (2008) senyawa sulfur merupakan pemecah peroksida yang
efektif. Peranan ini dapat berupa reaksi transfer satu elektron. Bila mula-mula tidak
ada peroksida, antioksidan yang berupa inhibit radikal bebas pada umumnya dapat
13
mempertahankan stabilitas selama waktu tertentu yang kira-kira sebanding dengan
konsentrasinya. Antioksidan yang berupa pemecah peroksida cenderung memiliki
ketergantungan konsentrasi yang relatif besar. Pada konsentrasi tinggi pemecah
peroksida menjadi relatif lebih efektif daripada inhibitor dan pada konsentrasi yang
rendah relatif kurang efektif. Prinsip kerja dari antioksidan oleh Winarno et al.
(1980) digambarkan sebagai berikut:
HO OH + *R HO −O* + RH
14
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau perkembangbiakan
bakteri (Winarno et al., 1980) .
Hubungan besarnya aw dan kadar air dalam bahan pangan pada suhu tertentu
diperlihatkan pada Gambar 5. Bentuk khas kurva sorpsi kadar air isotermis
tergantung pada cara tercapainya kadar air maupun aktivitas air bahan pangan
tersebut, apakah dicapai dengan desorpsi atau adsorpsi. Pengolahan bahan pangan
secara secara desorpsi yaitu bila dimulai dengan kadar air yang tinggi, dimana pada
akhir proses bahan pangan mencapai kadar air dan aktivitas air yang diharapkan,
sedang pada proses adsorpsi adalah sebaliknya.
Desorpsi
Kadar Air
Adsorpsi
B C
15
daerah kondensasi kapiler. Pada daerah ini air terkondensasi pada struktur bahan
pangan hingga kelarutan komponen menjadi lebih sempurna. Keadaan air dalam
kondisi bebas ini dapat membantu proses kerusakan (Purnomo, 1995).
16
MATERI DAN METODE
Materi
Bahan yang digunakan dalam pembuatan dendeng antara lain: daging sapi
lokal bagian knuckle (daging kelapa) yang telah dibekukan, garam, lengkuas,
ketumbar, bawang putih, gula merah, gula putih, asam jawa, dan merica, sedangkan
bahan yang digunakan untuk analisis yaitu metanol, Folin-Ciocalteu, Na2CO3 7,5%,
heksana, asam gallat, kloroform, asam asetat glasial, kalium iodida, etanol, natrium
tiosulfat 0,02 N, larutan kanji, dan air destilata. Peralatan yang digunakan antara lain
slicer, oven, food processor, blender, freezer, cawan porselen, refrigerator, labu
takar, waterbath, pipet volumetrik, pipetman, spectrofotometer, aw meter, soklet,
tabung erlenmeyer, buret, dan timbangan digital.
Prosedur
Prosedur Analisis
Analisis yang dilakukan meliputi analisis total fenolat, bilangan peroksida,
organoleptik, rendemen, nilai aw, dan kadar air.
18
Analisis Total Fenolat. Pengujian dilakukan pada dendeng yang sudah dihaluskan,
dengan menggunakan metode yang digunakan oleh Tangkanakul et al. (2009).
Sampel diekstraksi menggunakan 100% metanol pada suhu ruang, dengan rasio
sampel dan metanol 1 : 5. Supernatan dimasukkan ke dalam botol bertutup dan
disimpan pada suhu -20 oC hingga pengujian kandungan fenol siap dilakukan untuk
meminimalkan perubahan reaksi yang tidak diinginkan. Penentuan total fenolat
ditentukan dengan menggunakan pereaksi Folin-Ciocalteu. Sebanyak 2 ml ekstrak
sampel direaksikan dengan 10 ml Folin-Ciocalteu (sebelumnya diencerkan 10 kali
dengan air destilata) dalam 25 ml labu takar. Setelah 30 detik dan sebelum 8 menit, 8
ml Na2CO3 7,5% ditambahkan dan ditepatkan hingga tera labu dengan air destilata.
Larutan dipanaskan pada water bath dengan suhu 40 oC selama 30 menit. Setelah
terbentuk warna, absorbansi diukur pada 765 nm. Kurva standar disiapkan
menggunakan 0; 0,5; 1,0; dan 1,5 ml larutan asam gallat (8 mg/100 ml) dalam 25 ml
campuran reaksi. Hasilnya dinyatakan sebagai mg ekivalen asam gallat (EAG)/100 g
dendeng.
19
ml Na2S2O3 x N Na2S2O3
Bilangan Peroksida (meq/kg) = x 1000
berat sampel (g)
Pengukuran Nilai aw (Syarief dan Halid, 1992). Aktivitas air (aw) diukur dengan
menggunakan aw meter Shibura WA-360. Alat harus dikalibrasikan dengan larutan
NaCl jenuh sebelum digunakan. Larutan NaCl jenuh dimasukkan ke dalam chamber
pengukuran, kemudian alat dinyalakan dengan menekan tombol start dan ditunggu
sampai aw terbaca 0,750-0,752. Sebanyak 5 g sampel dendeng mentah yang dipotong
kecil-kecil kemudian dimasukkan ke dalam chamber sampel, tombol start ditekan
dan sampel akan terukur dan terbaca oleh alat.
20
Rancangan dan Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Perlakuan yang digunakan untuk seluruh analisis ada tiga jenis, yaitu: 1) tanpa
bumbu (kontrol); 2) komposisi bumbu I; 3) komposisi bumbu II, dengan
menggunakan tiga ulangan. Rancangan tersebut digunakan untuk seluruh peubah,
kecuali pada analisis organoleptik. Hasil analisis organoleptik dianalisis dengan
menggunakan uji nonparametrik (Uji Kruskal-Wallis) dan menggunakan 25 orang
panelis sebagai ulangan. Model RAL menurut Gaspersz (1994) adalah sebagai
berikut :
Yij = µ + τi + ij
Keterangan :
Yij = Nilai Pengamatan pemberian bumbu pada konsentrasi ke-i dan ulangan ke-j
µ = Rataan umum
τi = Pengaruh pemberian bumbu pada konsentrasi ke-i (i = kontrol, bumbu I,
jjjjjbumbu II)
ij = Pengaruh Galat percobaan taraf ke-i pada ulangan ke-j
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 3. Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu
dengan Komposisi Berbeda
Konsentrasi Fenolat
Perlakuan
(mg EAG/100 g BK sampel)
Kontrol 438,24 ± 32,27a
Bumbu I 1191,65 ± 193,04b
Bumbu II 1022,09 ± 225,79b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).
Tingkat Oksidasi
Pemanasan yang tinggi menyebabkan sebagian minyak atau lemak dalam
bahan pangan mengalami oksidasi. Proses oksidasi dapat berlangsung bila terjadi
kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau lemak. Terjadinya reaksi
oksidasi ini akan mengakibatkan bau tengik pada minyak dan lemak. Bilangan
peroksida dapat digunakan sebagai petunjuk adanya kerusakan oksidatif pada minyak
atau lemak. Bilangan peroksida dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi
berbeda ditampilkan pada Tabel 4.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata
(P<0,05) terhadap bilangan peroksida antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu II,
namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara dendeng sapi kontrol dengan
bumbu I dan antara bumbu I dengan bumbu II. Menurut Suharyanto et al. (2008)
bilangan peroksida pada dendeng sapi sebesar 169,51 meq/kg. Angka peroksida
tersebut lebih tinggi daripada angka peroksida dendeng dalam penelitian ini (Tabel
4). Hal ini menunjukkan bahwa bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan
berperan dalam menurunkan tingkat oksidasi yang terjadi pada dendeng.
Tabel 4. Bilangan Peroksida Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan
Komposisi Berbeda
Bilangan Peroksida
Perlakuan
(meq/kg)
Kontrol 0,00 ± 0,00b
Bumbu I 2,72 ± 1,06ab
Bumbu II 6,11 ± 1,48a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).
23
Bilangan peroksida dendeng sapi pada dendeng sapi kontrol lebih rendah
daripada dendeng komposisi bumbu II (Tabel 4). Bilangan peroksida yang tinggi
mengindikasikan lemak atau minyak sudah mengalami oksidasi, namun pada angka
yang lebih rendah bukan selalu berarti menunjukkan kondisi oksidasi yang masih
dini. Angka peroksida rendah bisa disebabkan laju pembentukan peroksida baru lebih
kecil dibandingkan dengan laju degradasinya menjadi senyawa lain, mengingat kadar
peroksida cepat mengalami degradasi dan bereaksi dengan zat lain (Raharjo, 2006).
Dendeng sapi komposisi bumbu II pada penelitian ini mempunyai bilangan
peroksida lebih tinggi daripada kontrol (Tabel 4), seiring dengan semakin tingginya
kandungan fenolat total pada dendeng sapi bumbu II (Tabel 3). Tingginya bilangan
peroksida ini menunjukkan bahwa senyawa fenolat yang terkandung dalam rempah-
rempah yang ditambahkan pada pembuatan dendeng khususnya penambahan bawang
putih dan ketumbar, mampu mencegah terjadinya degradasi senyawa peroksil
menjadi senyawa lain. Sebaliknya rendahnya kandungan senyawa fenolat pada
dendeng sapi kontrol menyebabkan kandungan lemak atau minyak pada dendeng
sapi kontrol secara keseluruhan telah mengalami reaksi oksidasi lebih lanjut yang
mengubah senyawa peroksil menjadi senyawa malonaldehida sebagai produk
sekunder reaksi oksidasi. Menurut Suhairi (2007) meningkatnya kadar thiobarbituric
acid (TBA) dan menurunnya bilangan peroksida pada suatu produk dapat menjadi
salah satu tanda terjadinya ketengikan dan kerusakan produk. Ketengikan pada
produk pangan tidak hanya disebabkan oleh reksi oksidasi, namun dapat juga
disebabkan oleh rekasi hidrolisis. Menurut Kusnandar (2010) reaksi hidrolisis dapat
membebaskan ketiga asam lemak dari gliserin. Reaksi ini dapat terjadi jika ada air
dan pemanasan. Mula-mula lemak akan terhidrolisis membentuk gliserin dan asam
lemak bebas, kemudian akan terjadi reaksi lanjutan yang menyebabkan pemecahan
molekul gliserin dan asam lemak bebas.
Air juga dapat mempengaruhi oksidasi lemak dengan mempengaruhi
konsentrasi dari tersedianya radikal inisiasi, tingkatan kontak dan mobilitas bahan
pereaksi, dan yang relatif penting adalah perpindahan radikal terhadap reaksi
penggabungan kembali. Air yang besar peranannya dalam mengendalikan struktur
bahan pangan juga merupakan faktor utama dalam oksidasi lemak. Kenaikan nilai a w
sampai batas nilai kritis tertentu mengkibatkan matriks pelindung hancur, dan lemak
24
yang tidak terselubung akan terdistribusikan ke permukaan serta akan mengalami
oksidasi (Purnomo, 1995).
Jika air cukup banyak untuk mengalami kondensasi dalam kapiler seperti
pada bahan pangan semi basah (intermediate moisture food), oksidasi lemak akan
meningkat. Kenaikan tingkat oksidasi lemak pada keadaan setengah basah
disebabkan oleh mobilitas logam dalam jumlah kecil, yang telah terdapat dalam
sistem dan pemekaran matriks, yang akan menonjolkan bagian katalis baru, sehingga
tingkatan oksidasi menjadi lebih tinggi daripada keadaan kering. Akan tetapi
pengenceran katalis logam yang terdapat dalam sistem sebagai akibat bertambahnya
kadar air pada nilai aw yang sangat tinggi akan menurunkan tingkat oksidasi lemak
(Purnomo, 1995).
Karakteristik Organoleptik
Penilaian organoleptik merupakan suatu cara mengukur, menilai, atau
menguji mutu suatu produk dengan menggunakan kepekaan alat indra manusia.
Penilaian organoleptik telah banyak digunakan untuk menilai mutu suatu produk
dalam industri pangan. Data karakteristik organoleptik dendeng sapi yang diberi
bumbu dengan konsentrasi berbeda disajikan pada Tabel 5. Atribut mutu yang
digunakan meliputi warna, intensitas aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat
kelenturan.
25
Nilai yang diperoleh di atas berasal dari nilai rata-rata hasil analisis
organoleptik pada 25 orang panelis. Hasil dari analisis organoleptik yang meliputi
atribut warna, intensitas aroma bumbu, tingkat kelembaban, dan tingkat kelenturan
dendeng sapi mentah dipaparkan lebih lanjut sebagai berikut.
Warna Dendeng
Warna merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi penerimaan
konsumen terhadap suatu produk makanan. Konsumen umumnya menyukai dendeng
yang mempunyai warna coklat kemerahan. Hasil analisis Kruskal-Wallis
menunjukkan bahwa dendeng sapi memiliki warna yang berbeda nyata antara kontrol
dengan bumbu I dan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata
antara bumbu I dengan bumbu II (P<0,05). Warna dendeng sapi kontrol mempunyai
nilai rata-rata 2,84 atau menunjukkan warna dendeng coklat agak kehitaman (Tabel
5). Dendeng sapi bumbu I dan bumbu II mempunyai rataan antara 2,32 sampai 1,72
atau menunjukkan warna dendeng coklat kehitaman. Dendeng sapi dengan
komposisi bumbu I dan II memiliki warna yang lebih gelap dibandingkan dengan
kontrol, hal ini disebabkan oleh gula yang ditambahkan pada dendeng tersebut
bereaksi dengan asam amino yang terdapat dalam daging yang menyebabkan
terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis sehingga memicu terbentuknya pigmen
melanoidin (Bailey, 1998).
Pencoklatan non enzimatis sering ditemukan pada produk pangan semi basah.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa makanan dapat mengalami proses pencoklatan
non enzimatis secara maksimum jika nilai aktivitas airnya berkisar antara 0,30-0,70;
namun beberapa peneliti yang lain menemukan kisaran nilai aktivitas air antara 0,60-
0,80 merupakan kisaran nilai aktivitas air dimana reaksi pencoklatan non enzimatis
dapat berlangsung secara maksimum (Labuza dan Saltmarch, 1981). Nilai aktivitas
air dendeng sapi pada penelitian ini berkisar antara 0,58-0,77 (Tabel 7). Hal ini
memungkinkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada dendeng sapi
dapat berlangsung secara maksimum. Oleh karena dendeng sapi kontrol tidak
mendapat penambahan gula, baik gula pasir maupun gula merah kelapa sehingga
menyebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi menjadi lebih rendah
dibandingkan dengan dendeng bumbu I dan II berdasarkan analisis organoleptiknya.
26
Intensitas Aroma Bumbu
Pengaruh pemberian konsentrasi bumbu yang berbeda pada dendeng
menunjukkan adanya perbedaan intensitas aroma bumbu yang nyata (P<0,05).
Intensitas aroma bumbu pada dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,04
atau menunjukkan intensitas aroma bumbu dendeng sapi yang sangat tidak kuat.
Dendeng sapi bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,00 atau menunjukkan intensitas
aroma bumbu yang agak kuat. Bumbu II mempunyai rataan 6,04 atau menunjukkan
intensitas aroma bumbu yang kuat. Intensitas aroma bumbu dendeng sapi pada
komposisi bumbu II lebih kuat daripada dendeng sapi bumbu I dan kontrolnya (Tabel
5). Konsentrasi bawang putih dan ketumbar pada bumbu II dua kali lebih banyak
daripada bumbu I sehingga menyebabkan intensitas aroma bumbu lebih kuat.
Ketumbar mempunyai aroma yang khas, aromanya disebabkan oleh komponen kimia
yang terdapat dalam minyak atsiri. Berdasarkan jenis unsur penyusun senyawa
minyak atsiri, minyak ketumbar termasuk golongan senyawa hidrokarbon
beroksigen. Senyawa tersebut menimbulkan aroma wangi dalam minyak atsiri, serta
lebih tahan dan stabil terhadap proses oksidasi (Suhirman dan Yuhono, 2007).
Tingkat Kelembaban
Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan tingkat
kelembaban yang nyata (P<0,05) pada setiap perlakuan. Tingkat kelembaban
dendeng sapi kontrol mempunyai nilai rata-rata 2,44 atau menunjukkan dendeng
yang sangat tidak lembab. Dendeng sapi bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,08
atau menunjukkan dendeng yang agak lembab, sedangkan bumbu II mempunyai
rataan 6,12 atau menunjukkan dendeng yang lembab. Dendeng sapi dengan
komposisi bumbu II lebih lembab daripada dendeng bumbu I dan kontrol (Tabel 5).
Kadar air yang terkandung dalam bumbu yang ditambahkan pada dendeng
menyebabkan permukaan dendeng menjadi lebih lembab terutama pada penambahan
bawang putih. Bawang putih yang ditambahkan pada komposisi bumbu II dua kali
lebih banyak dari pada bumbu I, hal ini yang menjadi penyebab dendeng pada
formulasi bumbu II lebih lembab daripada dendeng yang lain. Kandungan kadar air
bawang putih menurut Leelarungrayub et al. (2006), yaitu sebesar 37,87 ± 0,6%.
Selain itu penambahan gula pada dendeng dapat menyebabkan penampakan produk
yang tidak begitu kering sehingga lebih disukai konsumen (Soeparno, 2005).
27
Tingkat Kelenturan
Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan adanya perbedaan tingkat
kelenturan dendeng yang nyata (P<0,05). Tingkat kelenturan dendeng sapi kontrol
mempunyai nilai rata-rata 2,56 atau menunjukkan dendeng yang kaku. Dendeng sapi
bumbu I mempunyai nilai rata-rata 5,52 atau menunjukkan dendeng yang lentur,
sedangkan bumbu II mempunyai rataan 6,48 yang juga menunjukkan dendeng yang
lentur. Dendeng sapi dengan komposisi bumbu I dan II lebih lentur daripada dendeng
kontrol (Tabel 5). Kelenturan dendeng dipengaruhi oleh jumlah air yang terkandung
di dalam dendeng. Kadar air dendeng sapi bumbu I dan II lebih tinggi daripada
dendeng sapi kontrol (Tabel 8). Air tersebut dapat berasal dari daging maupun dari
bumbu yang ditambahkan. Semakin banyak air yang terkandung di dalam dendeng,
maka semakin berkurang tingkat kekakuan dendeng (Setyowati, 2002).
Rendemen
Rendemen merupakan presentase hasil bagi antara berat dendeng yang
dihasilkan dengan berat adonan dendeng sebelum dikeringkan dengan oven. Semakin
tinggi nilai rendemen produk dendeng maka semakin tinggi efektivitas dan efisiensi
dari produk dendeng yang dihasilkan, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang
tinggi. Dengan kata lain rendemen merupakan keuntungan atau kelebihan dalam
pendapatan, sebagai akibat daripada usaha kerja. Rataan rendemen dendeng yang
diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Rendemen Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan
Komposisi Berbeda
Perlakuan Rendemen Dendeng (%)
Kontrol 30,11 ± 3,32b
Bumbu I 46,37 ± 1,07a
Bumbu II 48,08 ± 3,77a
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).
28
30,11% sampai dengan 48,08% (Tabel 6). Rendemen dendeng sapi yang diberi
perlakuan tanpa bumbu (kontrol) memiliki rendemen yang lebih rendah daripada
dendeng yang diberi perlakuan bumbu I dan bumbu II. Hal ini disebabkan dendeng
sapi bumbu I dan bumbu II mendapat penambahan bumbu-bumbu berupa gula,
garam, dan rempah-rempah. Bumbu-bumbu tersebut menyebabkan persentase
penurunan kadar air menjadi lebih rendah, khususnya gula. Gula yang ditambahkan
pada pembuatan dendeng mampu mengikat air bebas yang terdapat pada dendeng,
selain itu gula juga berperan dalam mencegah penguapan air (Soeparno, 2005).
Rendahnya air yang hilang dari produk akibat penguapan menyebabkan berat produk
lebih tinggi sehingga nilai rendemen meningkat, sebaliknya tingginya air yang hilang
menyebabkan berat produk menjadi lebih rendah sehingga nilai rendemen menurun
(Setianingtias, 2005).
Aktivitas Air
Aktivitas air (aw) merupakan jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Salah satu cara yang umumnya digunakan
dalam menentukan masa simpan suatu produk pangan adalah aw. Aktivitas air yang
terkandung di dalam makanan dijadikan indikator pertumbuhan mikroba. Nilai
aktivitas air dendeng sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda
ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai aw Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi
Berbeda
Perlakuan Aktivitas Air
Kontrol 0,77 ± 0,07a
Bumbu I 0,58 ± 0,02b
Bumbu II 0,62 ± 0,03b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).
29
aw pada dendeng sapi bumbu I dan bumbu II ini dipengaruhi oleh gula dan garam
yang ditambahkan dalam pembuatan dendeng. Kegunaan gula dalam pengolahan
bahan makanan dengan konsentrasi tinggi menyebabkan sebagian air yang ada dalam
bahan menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroba, sehingga aw dari bahan
pangan menjadi menurun (Supardi dan Sukamto, 1999). Purnomo (1995)
menambahkan, bahwa sukrosa sebagai komponen utama dari gula kelapa yang
ditambahkan bersama garam dapur berperan sangat nyata dalam menurunkan nilai
aw. Gula dan garam memiliki kemampuan untuk mengikat air dari bahan.
Kemampuan mengikat air ini dipengaruhi osmosis. Osmosis adalah peresapan air
melalui sebuah membran tipis, dan terjadi pada dua larutan berbeda konsentrasi
(kepekatan). Air akan mengalir dari larutan kurang pekat ke larutan yang lebih pekat
melewati membran, sehingga air di dalam sel akan keluar menembus membran dan
mengalir ke dalam larutan gula atau garam (Winarno, et al., 1980). Pemberian
bumbu dengan konsentrasi yang berbeda antara bumbu I dan bumbu II ternyata tidak
memberikan pengaruh perlakuan terhadap a w, hal ini menunjukkan bahwa
konsentrasi bawang putih dan ketumbar yang ditambahkan pada pembuatan dendeng
tidak dapat menurunkan aw.
Menurut Scott (1957) bakteri tumbuh dari aw 0,75 sampai dengan 0,99,
sedangkan ragi dan fungi tumbuh lamban pada nilai a w 0,62. Aktivitas air dendeng
sapi pada penelitian ini berkisar antara 0,583 sampai dengan 0,767 (Tabel 7). Hal ini
menyebabkan dendeng rawan ditumbuhi oleh jamur maupun bakteri jika penanganan
penyimpanan tidak dilakukan dengan benar.
Kadar Air
Kadar air dalam bahan pangan sangat mempengaruhi kualitas dan daya
simpan dari suatu bahan pangan. Penentuan kadar air dari suatu bahan pangan sangat
penting agar dalam proses pengolahan maupun pendistribusian mendapat
penanganan yang tepat. Menurut Winarno (1997) air sangat berpengaruh terhadap
penampakan, tekstur, cita rasa, daya terima, kesegaran serta daya tahan suatu bahan
pangan. Kandungan air pada dendeng yang diberi bumbu dengan konsentrasi berbeda
ditunjukkan pada Tabel 8.
Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh perlakuan yang nyata
(P<0,05) terhadap kadar air antara dendeng sapi kontrol dengan bumbu I dan antara
30
kontrol dengan bumbu II, namun tidak ada pengaruh perlakuan yang nyata antara
bumbu I dengan bumbu II. Kadar air dendeng sapi kontrol lebih rendah (P<0,05)
daripada dendeng pada komposisi bumbu I dan bumbu II (Tabel 8). Hal ini
menunjukkan bahwa bumbu atau rempah-rempah yang ditambahkan tidak berperan
dalam menurunkan kadar air tetapi hanya berperan dalam pembentukan cita rasa
yang khas pada dendeng. Menurut Huang dan Nip (2001) produk pangan semi basah
memiliki kadar air sebesar 15%-50%, dan nilai aw berkisar antara 0,60-0,92,
spesifikasi ini sudah sesuai dengan kadar air dan aw dendeng sapi yang dibuat dalam
penelitian ini.
Tabel 8. Kadar Air Dendeng Sapi Mentah yang Diberi Bumbu dengan Komposisi
Berbeda
Perlakuan Kadar Air (%)
Kontrol 21,64 ± 3,57a
Bumbu I 30,48 ± 1,95b
Bumbu II 31,49 ± 2,30b
Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya pengaruh
perlakuan (P<0,05).
Kadar air pada produk akhir merupakan kadar air total dendeng setelah
dilakukan pengolahan. Kondisi kadar air ini salah satunya dipengaruhi oleh
kandungan air bahan serta air yang ditambahkan ke dalam produk. Rempah-rempah
yang ditambahkan dalam pembuatan dendeng mempunyai kandungan air yang cukup
tinggi sehingga menyebabkan kadar air total dendeng sapi bumbu I dan II menjadi
lebih tinggi daripada kontrol. Selain itu kadar air juga dipengaruhi oleh gula yang
ditambahkan. Menurut Soeparno (2005) gula berperan dalam mencegah penguapan
air, sehingga air yang hilang dari produk dendeng menjadi lebih sedikit.
Nilai kadar air dan aktivitas air pada penelitian ini berbanding terbalik. Kadar
air dendeng sapi kontrol lebih rendah daripada bumbu I dan bumbu II, namun
aktivitas air dendeng sapi kontrol lebih tinggi daripada bumbu I dan bumbu II. Hal
ini disebabkan air bebas (air tipe III) yang terdapat pada dendeng sapi kontrol lebih
tinggi daripada bumbu I dan bumbu II, walaupun kandungan airnya lebih sedikit.
Dendeng sapi bumbu I dan bumbu II memiliki kandungan air tipe II lebih tinggi
31
disebabkan adanya penambahan gula dan garam yang mengikat air bebas yang
terdapat dalam produk.
Air tipe II adalah molekul-molekul air yang membentuk ikatan hidrogen
dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya agak berbeda
dengan air minum. Air ini lebih sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan
mengakibatkan penurunan aw. Jika air tipe II dihilangkan seluruhnya, kadar air bahan
akan berkisar 3%-7% dan kestabilan optimum bahan makanan akan tercapai, kecuali
pada produk-produk yang dapat mengalami oksidasi akibat adanya kandungan lemak
tidak jenuh. Air tipe III adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks
bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain-lain. Air tipe III inilah yang sering
disebut dengan air bebas. Air tipe ini mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Apabila air tipe ini
diuapkan seluruhnya, kandungan air bahan berkisar antara 12%-25% dengan aw kira-
kira 0,8 tergantung dari jenis bahan dan suhu (Winarno,1997).
32
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Pemberian bumbu dengan konsentrasi berbeda (komposisi I dan II) tidak
menghasilkan perbedaan yang nyata pada kandungan total fenolat dan tingkat
oksidasi dendeng sapi mentah. Karakteristik organoleptik pada dendeng komposisi
bumbu II menghasilkan intensitas aroma bumbu yang lebih kuat, dendeng yang lebih
lembab dan lentur, serta berwarna coklat kehitaman. Intensitas aroma bumbu, tingkat
kelembaban, dan tingkat kelenturan dendeng yang mempunyai mutu paling baik
adalah dendeng dengan komposisi bumbu II.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui umur simpan dendeng
sapi yang diberi bumbu dengan konsentrasi yang berbeda.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia dan
nikmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan penyusunan skripsi ini.
Shalawat dan salam kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, keluarga, dan
para sahabatnya hingga akhir jaman. Bakti dan terima kasih yang tidak terhingga
kepada Ayahanda Muyitno dan Ibunda Siti Is’adah yang telah membimbing,
memberikan kasih sayang dan perhatian yang tulus ikhlas, serta dorongan moral
maupun materi. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya
penulis sampaikan kepada Tuti Suryati, S.Pt., M.Si. selaku pembimbing utama dan
kepada Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. selaku pembimbing anggota yang telah
mencurahkan segenap perhatian, bimbingan, waktu, motivasi, kesabaran, dan
senyuman kepada penulis selama penelitian hingga skripsi ini selesai disusun.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Dr. Ir. Salundik, M.Si.
selaku pembimbing akademik atas dorongan moral selama menempuh pendidikan di
Fakultas Peternakan. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada M. Sriduresta S.,
S.Pt., M.Sc. dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS., M.Sc. selaku penguji sidang,
serta Yuni Cahya E., S.Pt., M.Si. selaku panitia sidang, yang telah menguji,
mengkritik, dan memberikan sumbangan pemikiran serta masukan yang sangat baik
dalam penulisan skripsi ini.
Terima kasih kepada Devi Murtini, S.Pt. dan Dwi Febriantini selaku teknisi
Laboratorium Terpadu Fakultas Peternakan IPB. Terima kasih kepada Dian
Hidayatulloh yang selalu setia memberikan cinta, kasih sayang, dan motivasi kepada
penulis. Kepada Dwi Wahyu, Dewi Irmawati, Siti Aminah, Nawangwulan, Hesti
Indri, Nurul Jannah, Angritia V., dan Sindya Erti, terima kasih atas persahabatan dan
bantuan yang tulus kepada penulis. Terima kasih juga kepada tim dendeng Yenni R.
dan Novita L., serta seluruh teman-teman IPTP 45 yang telah memberikan banyak
bantuan dan masukan yang tentunya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepada penulis
dengan balasan pahala yang lebih baik dan berlipat ganda. Amin. Akhir kata, mudah-
mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
36
Raharjo, S. 2006. Kerusakan oksidatif pada makanan. Dalam: S. Aminah. Bilangan
peroksida minyak goreng curah dan sifat organoleptik tempe pada
pengulangan penggorengan. J. Pangan dan Gizi. 1(1): 7-14.
Rizal, M., Herdis, Yulnawati, & H. Maheshwari. 2007. Peningkatan kualitas
spermatozoa epididimis kerbau belang yang dikriopreservasi dengan
beberapa konsentrasi sukrosa. J. Vet.: 188-197
Rohman, A. & Sumantri. 2007. Analisis Makanan. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sashidhar, N. S. 2002. Studies on bioactive natural compounds for their
antimicrobial and antioxidant properties, Ph. D Thesis. Submitted to
Osmania University, Hyderabad, India.
Scott, W. J. 1957. Water relations of food spoilage microorganisms. Adv. Food Res.
7: 83-127.
Setianingtias, P. A. 2005. Sifat fisik dan organoleptik dendeng giling daging domba
dengan suhu dan waktu pengeringan yang berbeda. Skripsi. Jurusan
Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Setyowati, M. T. 2002. Sifat fisik, kimia, dan palatabilitas nugget kelinci sapi ayam
yang menggunakan berbagai tingkat konsentrasi tepung maizena. Skripsi.
Fakultas peternakan. Institut pertanian Bogor, Bogor.
Soemardji, A. A. 2007. Tamarindus indica L. or “asam jawa”: the sour but sweet and
useful. The Institute of Natural Medicine, University of Toyama, Japan.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Soong, Y. Y. & P. J. Barlow. 2004. Antioxidant activity and phenolic content of
selected fruit seeds. Food Chem. 88: 411-417.
Souto, X. C., J. C. Balano, L. Gonzales, & X. X. Santos. 2001. HPLC techniques-
phenolics. Dalam: Aktivitas nitrogenase bintil akar dan kadar klorofil daun
kacang hijau (Phaseolus radiatus L.) pada berbagai jenis dan kadar asam
fenolat. Berita Biologi. 9(3): 305-311.
Suhairi, L. 2007. Pemanasan berulang terhadap kandungan gizi “sie reuboh”
makanan tradisional Aceh. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Suharti, S., K. G. Wiryawan, & M. Bintang. 2005. Kajian antibakteri temulawak,
jahe dan bawang putih terhadap Salmonella typhimurium serta pengaruh
bawang putih terhadap performans dan respon imun ayam pedaging. Med.
Pet. 28(2): 52-62.
Suharyanto, R. Priyanto, & E. Gurnadi. 2008. Sifat fisiko-kimia dendeng daging
giling terkait cara pencucian (leaching) dan jenis daging yang berbeda. Med.
Pet. 31(2): 99-106.
37
Suhirman, S. & J. T. Yuhono. 2007. Penyulingan dan kemungkinan pengembangan
ketumbar (Coriandrum sativum Linn) di Indonesia. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik. Hal 48-62.
Supardi, I. & M. Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan
Pangan. Bandung: Alumni Bandung.
Syarif, R & H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan,
Jakarta.
Tangkanakul, P., P. Auttaviboonkul, B. Niyomwit, N. Lowvitoon, P.
Charoenthamawat, & G. Trakoontivakorn. 2009. Antioxidant capacity, total
phenolic content and nutritional composition of Asian foods after thermal
processing. Intern. Food Res. J. 16: 571-580.
Velioglu, Y. S., G. Mazza, L. Gao, & B. D. Oomah. 1998. Antioxidant activity and
total phenolics in selected fruits, vegetables, and grain products. J. Agric.
Food Chem. 46: 4113-4117.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Winarno, F. G., S. Fardiaz, & D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yang, X. & R. G. Eilerman. 1999. Pungent principle of Alpinia galanga (L.) Swartz
and its application. J. Agric. Food Chem. 47:1657-1662.
Zheng, G. Q., P. M. Kenney & L. K. T. Lam. 1993. Potential anticarcinogenic
natural products isolated from lemongrass oil and galanga root oil. J. Agric.
Food Chem. 41: 153-156.
38
LAMPIRAN
Lampiran 1. Pengeringan Dendeng Sapi dengan Menggunakan Oven
40
Lampiran 4. Uji Tukey Kandungan Total Fenolat Dendeng Sapi Mentah
Perlakuan Kontrol Bumbu I Bumbu II
Bumbu II 583,90* 169,60 -
Bumbu I 753,50* -
Kontrol -
Keterangan :
w = 432,41
* = berbeda nyata
41
Lampiran 8. Uji Pembandingan Berganda Warna Dendeng Sapi Mentah
Kode R0 RI R II
R0 - 13,40* 23,92*
RI - - 10,52
R II - - -
Keterangan :
Z0,975 = 1,96 R0 = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu 0
Zhitung = 12,08 RI = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu I
N = 75 R II = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu II
k =3 * = Berbeda nyata
Lampiran 10. Uji Pembandingan Berganda Intensitas Aroma Bumbu Dendeng Sapi
Mentah
Kode R0 RI R II
R0 - 28,92* 41,82*
RI - - 12,90*
R II - - -
Keterangan :
Z0,975 = 1,96 R0 = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu 0
Zhitung = 12,08 RI = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu I
N = 75 R II = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu II
k =3 * = Berbeda nyata
42
Lampiran 12. Uji Pembandingan Berganda Tingkat Kelembaban Dendeng Sapi
Mentah
Kode R0 RI R II
R0 - 27,96* 40,50*
RI - - 12,54*
R II - - -
Keterangan :
Z0,975 = 1,96 R0 = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu 0
Zhitung = 12,08 RI = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu I
N = 75 R II = Rata-rata nilai rangking perlakuan bumbu II
k =3 * = Berbeda nyata
43
Lampiran 15. Format Fomulir Analisis Organoleptik Dendeng Sapi Mentah
Nama panelis :
Tanggal :
Nama produk : Dendeng Sapi Mentah
Instruksi : Berilah penilaian pada produk dendeng sapi mentah yang disajikan
tanpa membandingkan satu sampel dengan sampel lainnya,
kemudian isilah kolom-kolom di bawah ini dengan skor yang telah
ditentukan.
Kode Sampel
Atribut Mutu
123 324 567 876 432 657 768 305 354
Warna
Tingkat kelembaban
Tingkat kelenturan
Keterangan :
Warna / Intensitas aroma bumbu / Tingkat kelembaban / Tingkat kelenturan
1 = Hitam / Amat sangat tidak kuat / Amat sangat tidak lembab / Amat sangat kaku
2 = Coklat kehitaman / Sangat tidak kuat / Sangat tidak lembab / Amat kaku
3 = Coklat agak kehitaman / Tidak kuat / Tidak lembab / kaku
4 = Coklat agak kemerahan / Agak tidak kuat / Agak tidak lembab / Agak kaku
5 = Coklat kemerahan / Agak kuat / Amat lembab / Agak lentur
6 = Merah kecoklatan / Kuat / Lembab / Lentur
7 = Merah agak kecoklatan / Amat kuat / Sangat lembab / Sangat lentur
8 = Merah / Amat sangat kuat / Amat sangat lembab / Amat sangat lentur
44
Lampiran 16. Analisis Ragam Rendemen Dendeng Sapi Mentah
SK Db JK KT F hit Pr > F
Perlakuan 2 590,358 295,179 33,63 0,0005*
Galat 6 52,665 8,777
Total 8 643,022
Keterangan :
* = berbeda nyata
45
Lampiran 20. Analisis Ragam Kadar Air Dendeng Sapi Mentah
SK Db JK KT F hit Pr > F
Perlakuan 2 182,00 91,00 13,00 0,0066*
Galat 6 42,00 7,00
Total 8 224,00
Keterangan :
* = berbeda nyata
46