You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

Demam merupakan salah satu manifestasi klinis tersering yang menyebabkan anak
datang untuk mendapatkan pengobatan pada praktek sehari-hari. Pada peneliti beranggapan
bahwa masalah demam berawal dari suatu hipotesis yang menyatakan bahwa demam
merupakan suatu proses alamiah yang timbul sebagai suatu respon terhadap stimulus tertentu.
Ahli dari Mesir beranggapan bahwa demam diakibatkan oleh inflamasi lokal. Billroth (1868)
menyuntikkan pus pada binatang untuk membuktikan pendapat tersebut, ternyata demam
yang terjadi sebagai akibat adanya endotoksin, yaitu produk bakteri gram-negatif yang
mengkontaminasi bahan suntikan. Pada tahun 1943, Menkin melakukan penelitian yang sama
dan berhasil mengisolasi bahan penyebab demam yang disebut pyrexin. Hasil percobaannya
juga tercemar oleh endotoksin, karena sifatnya yang stabil terhadap pemanasan maka disebut
sebagai endotoxin-induced fever. Beeson (1948) menggunakan teknik antiseptik untuk
menghindari endotoksin dan berhasil mengisolasi fever-inducing substance yang berasal dari
leukosit pejamu, yang disebut pirogen endogen. Selanjutnya, Gery dan Waksman berhasil
mengidentifikasi Interleukin 1 (IL-1) dikenal sebagai sitokin yang terbukti identik dengan
pirogen endogen.
Demam adalah keadaan suhu diatas normal sebagai akibat peningkatan suhu di pusat
pengaturan suhu di hipotalamus, yang dipengaruhi oleh mediator inflamasi penginduksi
demam. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara
produksi dan pelepasan panas. Hipertermia merupakan peningkatan suhu tubuh yang tidak
diatur oleh pusat pengaturan suhu, tetapi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi
dan pembatasan panas. Mediator demam atau yang biasa disebut pirogen, dalam hal ini tidak
ikut terlibat. Oleh karena itu, pusat pengaturan suhu di hipotalamus berada dalam keadaan
normal.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam atau pireksia merupakan keadaan suhu tubuh diatas normal sebagai akibat
peningkatan pusat pengatur suhu di hipothalamus yang dipengaruhi oleh IL-1.
Hipertermi Peningkatan suhu tubuh yang tidak diatur, disebabkan ketidakseimbangan
antara produksi dan pembatasan panas. IL-1 tidak terlibat, pusat pengatur suhu di
hipothalamus normal
Batasan normal suhu tubuh antara lain sebagai berikut :
1. Temperatur oral berkisar antara 33,2 – 38,20 C
2. Temperatur rektal berkisar antara 34,4 – 37,80 C
3. Temperatur aksila berkisar antara 35,5 – 37,50 C
4. Temperatur membran timpani berkisar pada 35,4 – 37,80 C

Suhu tubuh bervariasi pada setiap individunya, tergantung pada berbagai faktor;
antara lain umur, jenis kelamin, lingkungan, temperatur ruangan, tingkat aktivitas, dan
sebagainya. Peningkatan suhu tubuh tidak selalu mengisyaratkan terjadinya demam. Sebagai
contoh, peningkatan suhu tubuh pada seseorang akan meningkat pada keadaan peningkatan
metabolisme tubuh (latihan fisik), tetapi hal tersebut tidak didefinisikan sebagai demam,
karena pusat pengaturan suhu tubuh di otak berada pada batas normal.

B. Etiologi

Demam dapat disebabkan oleh suatu substansi yang dinamakan pirogen, yaitu
substansi atau zat yang dapat memicu demam. Pirogen terbagi menjadi pirogen endogen dan
pirogen eksogen.
Pirogen endogen antara lain ialah sitokin yaitu molekul yang merupakan bagian dari
sistem imun innate. Pirogen tersebut diproduksi oleh sel fagosit dan menyebabkan
peningkatan pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus. Pirogen endogen mayor antara lain;
interleukin-1 (α dan β), interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor-α. Pirogen endogen minor
antara lain; interleukin-8, tumor nekrosis faktor-β, protein inflamatorik makrofag, dan
interferon. Sitokin tersebut dilepaskan ke sirkulasi sistemik, dimana substansi tersebut akan
2
bermigrasi ke organ sirkumventrikular dari otak melalui absorpsi berbantuan melalui sawar
darah otak. Sitokin tersebut akan berikatan dengan reseptor endotelial pada pembuluh darah,
atau berinteraksi dengan sel mikroglia lokal. Ketika sitokin tersebut telah berikatan, jalur
asam arakidonat kemudian diaktifkan, yang pada akhirnya menyebabkan perubahan pada
regulasi termostat hipotalamus.
Pirogen eksogen yang diketahui antara lain komponen dari dinding sel bakteri. Suatu
protein imunologis yang disebut lipopolysaccharide-binding protein (LBP) berikatan dengan
reseptor CD-14 dari makrofag. Hasil ikatan tersebut akan menyebabkan pelepasan berbagai
sitokin endogen, seperti interleukin-1, interleukin-6, dan tumor nekrosis faktor. Dengan kata
lain, faktor pirogen eksogen tersebut akan merangsang pengeluaran pirogen endogen, yang
kemudian pada akhirnya merangsang jalur asam arakidonat.
Berdasarkan kaitan pirogen dengan produk mikroba, maka dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu pirogen mikrobial dan non-mikrobial, pirogen-pirogen tersebut antara
lain :
1. Pirogen mikrobial
- Bakteri gram positif
Pirogen utama bakteri gram positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan
dinding sel. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini
menerangkan perbedaan prognosis lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri
gram negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang
disebabkan infeksi Pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang
melibatkan produksi eksotoksin oleh basil gram positif pada umumnya demam yang
ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram positif piogenik atau
bakteri gram negatif lainnya.
- Bakteri gram negatif
Pirogenitas bakteri gram negatif (misalnya E.coli dan Salmonela) disebabkan adanya
heat-stable factor yaitu endotoksin, suatu pirogen eksogen yang pertama kali
ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu
lipopolisakarida. Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif
tergantung dari dosis (dose-related). Endotoksin gram negatif tidak selalu merangsang
terjadinya demam; pada bayi dan anak yang lebih kecil, infeksi gram negatif sering
memberikan manifestasi hipotermia.

3
- Virus
Telah diketahui secara klinis bahwa virus menyebabkan demam. Pada tahun 1958,
dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam
setelah disuntikkan virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara
lain dengan cara melakukan invasi langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis
terhadap komponen virus termasuk diantaranya pembentukan antibodi, induksi oleh
interferon dan nekrosis sel akibat virus.
- Jamur
Produk jamur baik mati maupun hidup memproduksi pirogen eksogen yang akan
merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika mikroba berada
dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya
leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia mempunyai resiko
tinggi untuk terserang infeksi jamur invasif.

2.Pirog en non-mikrobial
- Fagositosis
Fagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk
terjadinya demam dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun. Sel
mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi IL-1 dan terjadinya demam.
Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai sel yang bertanggung jawab
dalam memproduksi IL-1, oleh karena demam dapat timbul dalam keadaan
agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam
darah perifer, juga tersebar dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus
limfatik, plasenta, ruang peritoneum, dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag
berasal dari granulocyte-monocyte colonyforming unit (GM-CFU) dalam sumsum
tulang, kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal beberapa hari sebagai
monosit yang beredar atau bermigrasi ke dalam jaringan yang akan berubah fungsi
dan morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan
penting dalam pertahanan tubuh termasuk diantaranya merusak dan memakan
mikroba, mengenal antigen, dan mempresentasikannya untuk menempel pada
limfosit, aktivasi limfosit-T, dan destruksi sel tumor. Keadaan yang berhubungan
dengan perubahan fungsi sistem monosit-makrofag diantaranya bayi baru lahir,
kortikosteroid dan terapi imunosupresif, lupus eritematosus sistemik. Dua produk
utama monosit-makrofag ialah IL-1 dan TNF.
4
- Kompleks antigen antibodi
Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas dapat timbul baik sebagai akibat
reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau
oleh antigen yang diaktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, yang sebaliknya
akan merangsang monosit dan makrofag untuk melepas IL-1. Contoh demam yang
disebabkan dimediasi oleh reaksi imunologis diantaranya lupus eritematosus sistemik,
dan reaksi obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap
penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi
dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1.
- Steroid
Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik
androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan IL-1. Ethiocolanolon memproduksi
demam hanya bila disuntikkan intramuskular (bukan intravena), maka diduga demam
tersebut diakibatkan oleh pelepasan IL-1 oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan.
Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan
sindrom adrenogenital dan demam yang tidak diketahui penyebabnya (fever of
unknown origin).

C. Patofisiologi Demam

Pengaturan suhu tubuh seluruhnya diatur di hipotalamus. Segala substansi pemicu


demam (pirogen) akan menyebabkan pelepasan mediator demam yaitu prostaglandin E2
(PGE2). PGE2 kemudian mempengaruhi set-point di hipotalamus, yang menyebabkan
perubahan respon secara sistemik, membentuk efek pembentukan panas tubuh untuk
menyesuaikan dengan level suhu yang telah diatur di hipotalamus.
PGE2 dilepaskan dari jalur sintesis asam arakidonat. Jalur tersebut dimediasi oleh
enzim fosfolipase A2 (PLA2), siklooksigenase (COX-2), dan prostaglandin E2 sintase.
Enzim tersebut seluruhnya menyebabkan sintesis dan pelepasan dari PGE2. PGE2 merupakan
mediator utama dalam respon demam. Pengaturan suhu tubuh akan tetap tinggi sampai PGE2
hilang dari peredaran sistemik. PGE2 mempengaruhi neuron pada daerah pre-optik (POA)
melalui reseptor-3 prostaglandin E (EP3). Neuron yang mengekspresikan EP3 di POA akan
menginervasi dorsomedial hipotalamus (DMH), nukleus rostral raphe pallidus di medula
oblongata (rRPa), dan nukleus paraventrikular (PVN) dari hipotalamus. Sinyal demam
dikirim ke DMH dan rRPa menyebabkan stimulasi dari sistem simpatis, yang kemudian akan
5
mencetuskan pembentukan panas tubuh dan vasokontriksi untuk menurunkan kehilangan
panas tubuh melalui kulit. Inervasi dari POA ke PVN 9
akann memediasi efek neuroendokrin dari demam melalui jalur yang melibatkan
kelenjar hipofisis dan organ endokrin lainnya
Sebagai perumpamaan, hipotalamus di otak berfungsi mirip dengan termostat pada
lemari pendingin. Ketika set-point suhu tubuh ditingkatkan, maka tubuh akan
mengkompensasi peningkatan tersebut dengan secara aktif memproduksi panas dan menahan
panas dalam tubuh agar tidak keluar dari tubuh. Vasokontriksi pembuluh darah akan
menurunkan proses kehilangan panas melalui kulit dan menyebabkan seseorang merasakan
dingin bahkan hingga menggigil. Jika proses penyesuaian tersebut tidak cukup untuk
menyebabkan suhu darah sesuai dengan setingan suhu di hipotalamus, maka proses
menggigil dimulai dengan tujuan menggerakkan otot-otot untuk menghasilkan lebih banyak
panas. Ketika demam berhenti, dan setingan suhu di hipotalamus menjadi lebih rendah, maka
akan terjadi proses kebalikan dari proses sebelumnya, dengan tujuan menyesuaikan suhu
tubuh dengan setingan termostat yang baru. Proses tersebut meliputi vasodilatasi pembuluh
darah untuk meningkatkan pengeluaran panas melalui kulit, dan berkeringat sebagai upaya
pendinginan tubuh dalam menyesuaikan setingan suhu yang baru.

D. Fase Demam

Fase demam dibagi atas tiga stadium, yang menunjukkan proses dari perjalanan
demam (peningkatan dan penurunan demam). Stadium tersebut antara lain :
1. Stadium inkrementi
Stadium inkrementi ialah stadium dimana suhu tubuh mulai terjadi peningkatan, dapat
muncul mendadak atau perlahan-lahan.
2. Stadium fastigium
Stadium fastigium ialah puncak dari kejadian demam itu sendiri, dapat berupa puncak
yang berbentuk datar, tajam (peak), atau parabola. Bila didapat grafik suhu yang
bergelombang sedemikian rupa sehingga didapatkan 2 puncak gelombang dengan
variasi diantara 1-3 minggu, maka disebut demam undulans.
3. Stadium dekrementi
Stadium dekrementi yaitu stadium turunnya suhu tubuh. Apabila suhu turun dengan
mendadak maka keadaan tersebut disebut krisis, bila suhu turun perlahan disebut lisis.
Bila suhu turun mencapai normal kemudian meningkat kembali disebut residif,
6
sedangkan bila suhu meningkat sebelum suhu turun ke batas normal, maka disebut
rekrudensi.

E. Jenis dan Tipe Demam

1. Demam kontinyu
Merupakan demam yang terus-menerus tinggi dan memiliki toleransi fluktuasi yang
tidak lebih dari 1º C. Contoh penyakitnya antara lain; demam dengue, demam tifoid,
pneumonia, infeksi respiratorik, keadaan penurunan sistem imun, infeksi virus, sepsis,
gangguan sistem saraf pusat, malaria falciparum, dan lain-lain.

2. Demam intermiten
Demam yang peningkatan suhunya terjadi pada waktu tertentu dan kemudian kembali
ke suhu normal, kemudian meningkat kembali. Siklus tersebut berulang-ulang hingga
akhirnya demam teratasi, dengan variasi suhu diurnal > 1º C. Contoh penyakitnya
antara lain; demam tifoid, malaria, septikemia, kala-azar, pyaemia. Ada beberapa
subtipe dari demam intermiten, yaitu :
a) Demam quotidian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 24 jam, khas pada malaria falciparum dan
demam tifoid

7
b) Demam tertian
Demam dengan periodisitas siklus setiap 48 jam, khas pada malaria tertiana
(Plasmodium vivax)

c) Demam quartan
Demam dengan periodisitas siklus setiap 72 jam, khas pada malaria kuartana
(Plasmodium malariae)

8
3. Demam remiten
Demam terus menerus, terkadang turun namun tidak pernah mencapai suhu normal,
fluktuasi suhu yang terjadi lebih dari 10 C. Contoh penyakitnya antara lain; infeksi
virus, demam tifoid fase awal, endokarditis infektif, infeksi tuberkulosis paru.

4. Demam berjenjang (step ladder fever)


Demam yang naik secara perlahan setiap harinya, kemudian bertahan suhu selama
beberapa hari, hingga akhirnya turun mencapai suhu normal kembali. Contohnya pada
demam tifoid

9
5. Demam bifasik (pelana kuda/ saddleback)
Demam yang tinggi dalam beberapa hari kemudian disusul oleh penurunan suhu,
kurang lebih satu sampai dua hari, kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini
didapatkan pada beberapa penyakit, seperti demam dengue, yellow fever, Colorado
tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus seperti; influenza, poliomielitis, dan
koriomeningitis limfositik.

6. Demam Pel-Ebstein atau undulasi


Suatu jenis demam yang spesifik pada penyakit limfoma hodgkin, dimana terjadi
peningkatan suhu selama satu minggu dan turun pada minggu berikutnya, dan seperti
itu seterusnya. Demam tipe ini ditemukan juga pada kasus penyakit kolesistitis
bruselosis, dan pielonefritis kronik.

7. Demam kebalikan pola demam diurnal (typhus inversus)


Demam dengan kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau
di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberkulosis milier, salmonelosis,
abses hepatik, dan endokarditis bakterial.
10
F. Diagnosis Banding Kasus Demam

Terdapat empat kategori utama demam pada anak, yang dibedakan menjadi :

1. Demam karena infeksi dengan tanda infeksi lokal


Demam dengan tanda lokal pada anak biasanya disebabkan oleh penyakit-penyakit berikut ini

a) Infeksi pernapasan bagian atas

− Gejala batuk dan pilek − Tonsil hiperemis dan membengkak

− Nyeri menelan − Detritus pada tonsil

− Rhinorhoea − Pembesaran kelenjar getah bening

− Faring hiperemis − dan lain-lain.

b) Otitis media dan eksterna

− Otorhoea − Membran timpani hiperemis, cembung


− Nyeri Telinga
− Kanalis akustikus eksternus hiperemis

c)Sinusitis

− Nyeri kepala sekitar orbita

− Rhinorhoea yang berbau atau purulen

− Nyeri perkusi pada daerah yang terkena

d) Mastoiditis

− Benjolan lunak dan nyeri sekitar daerah mastoid

− Tanda peradangan lokal

e) Abses tenggorokan

− Nyeri tenggorokan yang cukup hebat pada anak yang lebih besar, nyeri saat menelan

− Kesulitan menelan/ mendorong masuk air liur

− Pembesaran kelenjar getah bening servikal

11
f) Infeksi jaringan lunak dan kulit

− Tanda peradangan lokal pada kulit; dapat berupa eritema, kalor, dolor, rubor, pustula, dll.

− Selulitis, abses kulit, dan lain-lain.

g) Demam rematik akut

− Tanda peradangan lokal pada sendi

− Karditis, eritema marginatum, nodul subkutan, dan lain-lain.

− Peningkatan LED dan ASTO

2. Demam karena infeksi tanpa tanda infeksi lokal

Demam yang timbul tanpa disertai tanda-tanda infeksi lokal, dapat disebabkan oleh hal-hal
berikut ini :

a) Demam dengue, demam berdarah dengue

− Demam atau riwayat demam mendadak tinggi selama 2-7 hari

− Manifestasi perdarahan (sekurang-kurangnya uji bendung/ rumple leede positif)

− Pembesaran hati − Tanda-tanda gangguan sirkulasi

− Peningkatan nilai hematokrit dan hemoglobin, serta penurunan nilai trombosit dan leukosit

− Ada riwayat keluarga / tetangga sekitar menderita atau tersangka demam berdarah dengue

b) Demam malaria

− Demam tinggi khas bersifat intermiten

− Demam terus-menerus

− Menggigil, nyeri kepala, berkeringat, dan nyeri otot-sendi

− Anemia

− Hepatosplenomegali

− Hasil apus darah malaria positif

12
c) Demam tifoid

− Demam lebih dari 7 hari − Nyeri perut, kembung, mual, muntah

− Letargis atau terdapat penurunan − Diare atau konstipasi


kesadaran

d) Infeksi saluran kemih

− Demam terutama dibawah usia 2 tahun − Berkemih lebih sering dari biasanya

− Nyeri ketika berkemih − Mengompol (anak usia > 3 tahun)

− Urgensi (ketidakmampuan menahan berkemih yang sebelumnya mampu dilakukan)

− Nyeri ketok sudut kostovertebra atau nyeri tekan suprapubis

e) Sepsis

− Tampak sakit berat, tanpa sebab jelas − Takikardia, takipneu

− Penurunan kesadaran − Gangguan sirkulasi

− Hipotermia atau hipertermia − Leukositosis atau leukopenia

f) Keadaan penurunan sistem imun

− Infeksi HIV-AIDS − Diabetes mellitus

− Keganasan − Dan lain-lain

3. Demam yang disertai ruam

Demam dapat pula bermanifestasi membentuk ruam tertentu pada sistem integumen, adapun
demam yang memiliki manifestasi ruam, yang sering diderita oleh anak-anak antara lain :

a) Campak

− Ruam makula atau papul eritema yang mulai muncul di daerah leher, belakang telinga

menuju ke tubuh dan ektremitas

− Batuk, pilek, nyeri tenggorokan


13
− Konjungtivitis

− Bercak koplik

− Riwayat imunisasi campak (-)

b) Eksantema subitum

− Terutama pada bayi (6-18 bulan)

− Ruam muncul setelah suhu turun

− Ruam biasanya dimulai dari tubuh kemudian menyebar ke ekstremitas

c) Demam skarlet (Skarlatina)

- Demam tinggi, tampak sakit berat

- Ruam merah kasar seluruh tubuh, biasanya didahului di daerah lipatan (leher, ketiak, dan

lipat inguinal)

- Peradangan hebat pada tenggorokan dan kelainan lidah (strawberry tongue)

- Pada penyembuhan terdapat kulit bersisik

d) Demam berdarah dengue

e) Infeksi virus lain

Chikunguya Gangguan sistemik dari ringan hingga


berat
Enterovirus

4. Demam lebih dari tujuh hari

a) Demam tifoid

Demam lebih dari tujuh hari

Letargis / terdapat penurunan kesadaran

Nyeri perut, kembung, mual, muntah

Diare atau konstipasi


14
b) TB milier

Demam lama (> 2 minggu) Batuk

Berat badan menurun Tes tuberkulin positif

Anoreksia Riwayat kontak dengan penderita TB

Pembesaran hati dan/atau limpa Gambaran milier pada foto thorax dada

c) Endokarditis infektif

Berat badan turun Pembesaran limpa

Pucat Petekie

Jari tabuh Splinter haemorrhages pada kuku

Bising jantung Hematuria mikroskopik

d) Demam rematik akut

Bising jantung yang dapat berubah-ubah Takikardia


sewaktu-waktu
Pericardial friction rub
Artritis/ atralgia
Fokus infeksi streptokokal
Gagal jantung

e) Abses dalam

Demam tanpa fokus infeksi yang jelas

Radang setempat atau nyeri

Tanda-tanda spesifik tergantung tempatnya (otak, paru, hepar, ginjal, dll)

f) Demam malaria

g) Infeksi respiratorik akut

15
G. Pengukuran Suhu Tubuh

Pengukuran suhu tubuh sesungguhnya ditujukan untuk mengukur suhu inti tubuh.
Nilai suhu tubuh akan sangat dipengaruhi metabolisme tubuh dan aliran darah, serta hasil
pengukuran akan berbeda sesuai dengan tempat pengukuran. Secara umum organ yang
mendekati ke arah permukaan tubuh mempunyai suhu tubuh lebih rendah dibandingkan
organ yang lebih dalam. Beberapa pengukuran suhu tubuh menurut tempat pengukuran
adalah sebagai berikut :
1. Arteri pulmonalis
Suhu tubuh yang dianggap paling mendekati suhu tubuh yang terukur oleh pusat
pengaturan suhu tubuh di hipotalamus ialah suhu darah arteri pulmonalis, tetapi
pengukuran tersebut merupakan cara yang invasif, menggunakan kateter arteri
pulmonal sehingga hanya sesuai digunakan untuk perawatan intensif atau pasien
bedah tertentu.
2. Esofagus
Suhu esofagus dianggap suhu yang mendekati suhu inti karena dekat dengan arteri
yang membawa darah dari jantung ke otak, dan lebih tidak invasif dibandingkan
dengan pengukuran suhu arteri pulmonalis. Namun suhu esofagus tidak sama
disepanjang esofagus. Pada esofagus bagian atas dipengaruhi oleh suhu udara trakeal
sedangkan bagian sepertiga bawah paralel dengan suhu aliran darah arteri pulmonalis.
3. Kandung kemih
Kandung kemih merupakan tempat lain yang digunakan untuk pengukuran suhu tubuh
karena diasumsikan bahwa urin merupakan hasil filtrasi darah yang ekivalen dengan
20% curah jantung dan merefleksikan suhu rata-rata aliran darah yang melalui ginjal
pada satuan waktu tertentu. Namun tingkat keakuratan pengukuran suhu sangat
tergantung dari jumlah urin yang keluar.
4. Rektal
Suhu rektal dianggap sebagai baku emas dalam pengukuran suhu karena bersifat
praktis dan akurat dalam estimasi rutin suhu tubuh. Namun demikian ditemukan
beberapa kelemahan. Benzinger menyatakan pada rektum tidak ditemukan sistem
termoregulasi. Suhu rektal lebih tinggi dibandingkan tempat lain (arteri pulmonalis),
hal ini mungkin akibat aktivitas metabolik bakteri feces. Suhu rektal berubah sangat
lambat dibandingkan dengan penurunan suhu inti tubuh, sehingga tidak dipakai
sebagai salah satu alat untuk deteksi hipoperfusi seperti pada keadaan syok. Nilai
16
suhu rektal dipengaruhi oleh kedalaman insersi termometer, kondisi aliran darah
rektum, aktivitas bakteri feses, dan sebagainya.
5. Oral
Pengukuran oral lebih disukai karena kemudahan dalam teknik pengukurannya,
demikian juga responnya terhadap perubahan suhu inti tubuh. Suhu sublingual cukup
relevan secara klinis karena arteri utamanya merupakan cabang dari arteri karotis
eksterna dan mempunyairespon yang cepat terhadap perubahan suhu inti tubuh.
Beberapa kelemahannya yaitu :
Memerlukan kerjasama yang baik dengan pasien sehingga tidak dapat dilakukan
pada anak kecil, penderita dengan intubasi, penurunan kesadaran, dan lain-lain.

Sangat dipengaruhi suhu makanan/ minuman dan merokok.

Pengaruh takipnea terhadap suhu oral masih kontroversi.

6. Aksila
Pengukuran suhu aksila relatif mudah bagi pemeriksa, nyaman bagi pasien, dan
mempunyai resiko yang paling kecil untuk penyebaran penyakit dari satu pasien ke
pasien lainnya. Kelemahan pengukuran suhu aksila terletak pada sensitivitasnya yang
rendah dan mempunyai variasi suhu yang tinggi dan sangat dipengaruhi suhu
lingkungan. Rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) untuk pengukuran
suhu pada neonatus adalah suhu aksila, karena resiko perforasi rektal dapat
diturunkan. Selain itu penelitian Mayfield dan Buntain seperti dikutip Mackowiak
mendapatkan bahwa pengukuran suhu aksila pada neonatus mempunyai hasil yang
akurat dan berkorelasi baik dengan pengukuran suhu rektal. Sedangkan untuk anak
yang lebih besar atau dewasa hal ini tidak berlaku karena perbedaan suhu inti tubuh
yang cukup besar dibandingkan dengan suhu rektal.
7. Membran timpani
Teoritis membran timpani merupakan tempat yang idela untuk pengukuran suhu inti
tubuh karena terdapat arteri yang berhubungan dengan pusat termoregulasi.
Termometer membran timpani menggunakan metode infrared radiation emitted
detector (IRED). Menurut penelitian Chamberlain, Terndrup, dan Childs metode ini
cukup akurat dalam mengestimasi suhu inti. Walaupun dari segi kenyamanan cukup
baik, pengukuran suhu membran timpani hingga saat ini jarang dipergunakan karena
variasi nilai suhu yang besar, berkorelasi dengan suhu oral dan suhu rektal.

17
H. Penatalaksanaan Demam

Tidak semua kasus demam harus diturunkan dengan segera, tidak sedikit kasus
demam yang turun dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Walau begitu, demam tentu
saja tidak membuat pasien merasa nyaman, bahkan terkadang jika tidak diturunkan dapat
meningkat tiba-tiba ke level yang membahayakan. Menurut data statistik yang ada, kerusakan
pada otak pada umumnya terjadi jika suhu tubuh mendekati 42º C (107,6º F).
Secara umum, pasien yang mengalami demam akan disarankan untuk meningkatkan
hidrasi, karena demam juga dapat merupakan salah satu manifestasi dari dehidrasi tubuh,
selain itu peningkatan hidrasi terbukti dapat membantu menurunkan demam. Resiko
hiponatremia relatif yang disebabkan oleh peningkatan masukan cairan dapat dikurangi
dengan menggunakan formula cairan rehidrasi oral yang sesuai, dengan kadar elektrolit
seimbang.
Penanganan sederhana lain yang dapat dilakukan ialah dengan memberikan kompres
hangat pada daerah peredaran darah besar; misalnya di leher, ketiak, dan lipat inguinal.
Tujuan kompres hangat pada daerah tersebut ialah untuk membuat hangat daerah sekitar
pembuluh darah besar tersebut, dan kemudian akan menghangatkan darah itu sendiri.
Keadaan tersebut akan merangsang pusat pengaturan suhu untuk menurunkan termostat ke
titik yang lebih rendah dari sebelum, sehingga manifestasi yang dapat kita lihat pada pasien
yaitu proses berkeringat dan kulit yang memerah (flushing) karena vasodilatasi pembuluh
darah, sebagai upaya pembuangan panas tubuh.

18
Medikasi yang utama untuk penatalaksanaan demam ialah dengan pemberian
antipiretik. Contoh antipiretik yang sering digunakan untuk kasus demam antara lain;
parasetamol, ibuprofen, dan asam asetilsalisilat. Pada beberapa sumber mengatakan
antipiretik asam asetilsalisilat dan ibuprofen lebih efektif untuk penatalaksanaan demam pada
anak, sekaligus mengurangi gejala prodromal lain yang menyertai demam, karena efek
analgetiknya lebih kuat dibandingkan dengan parasetamol. Namun begitu, asam asetilsalisilat
dan ibuprofen memiliki resiko perdarahan lambung dan gangguan agregasi trombosit yang
lebih tinggi dibandingkan dengan parasetamol. Oleh karena itu, obat tersebut tidak dianjurkan
untuk diberikan pada kasus demam yang disertai perdarahan, misalnya pada demam berdarah
dengue, purpura trombositopenik idiopatik, ulkus peptikum, dan lain-lain.
Pada umumnya antipiretik digunakan bila suhu tubuh anak lebih dari 38º C. Orang tua
dan sebagian besar dokter memberikan antipiretik pada setiap keadaan demam. Seharusnya
antipiretik tidak diberikan secara otomatis, tetapi memerlukan pertimbangan. Pemberian
antipiretik harus berdasarkan kenyamanan anak, bukan dari suhu yang tertera pada angka
termometer saja. Saat ini pemberian resep antipiretik terlalu berlebihan, antipiretik diberikan
untuk keuntungan orang tua daripada si anak. Meski tidak ada efek samping antipiretik pada
perjalanan penyakit, namun terdapat beberapa bukti yang memperlihatkan efek yang
merugikan.
Indikasi pemberian antipiretik, antara lain :
1. Demam lebih dari 39º C yang berhubungan dengan gejala nyeri atau tidak nyaman,
biasa timbul pada keadaan otitis media atau mialgia.

2. Demam lebih dari 40,5º C

3. Demam berhubungan dengan peningkatan kebutuhan metabolisme. Keadaan gizi

kurang, penyakit jantung, luka bakar, atau pasca operasi, memerlukan antipiretik.

4. Anak dengan riwayat kejang atau delirium yang disebabkan demam.

I. Klasifikasi Antipiretik
Obat antipiretik dalam dikelompokkan dalam empat golongan; yaitu para aminofenol
(parasetamol), derivat asam propionat (ibuprofen dan naproksen), salisilat (aspirin,
salisilamid), dan asam asetik (indometasin). Namun yang akan dibahas pada bagian ini ialah
antipiretik yang sering dipakai pada penatalaksanaan demam pada anak; yaitu parasetamol,
ibuprofen, dan aspirin.

19
1. Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol merupakan metabolit aktif asetanilid dan fenasetin. Saat ini parasetamol
merupakan antipiretik yang biasa dipakai sebagai antipiretik dan analgesik dalam pengobatan
demam pada anak. Keuntungannya, terdapat dalam sediaan sirup, tablet, infus, dan
supositoria. Cara terakhir ini merupakan alternatif bila obat tidak dapat diberikan per oral;
misalnya anak muntah, menolak pemberian cairan, mengantuk, atau tidak sadar. Beberapa
penelitian menunjukkan efektivitas yang setara antara parasetamol oral dan supositoria.
Dengan dosis yang sama daya terapeutik antipiretiknya setara dengan aspirin, hanya
parasetamol tidak mempunyai daya antiinflamasi, oleh karena itu tidak digunakan pada
penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatodi. Parasetamol juga efektif menurunkan suhu
dan efek samping lain yang berasal dari pengobatan dengan sitokin, seperti interferon dan
pada pasien keganasan yang menderita infeksi. Dosis parasetamol lazim yang digunakan
untuk menurunkan suhu ialah 10-15 mg/kgBB per dosis, maka akan tercapai konsentrasi efek
antipiretik dan direkomendasikan diberikan setiap 4 jam. Dosis parasetamol 20 mg/kgBB
tidak akan menambah daya penurunan suhu tetapi memperpanjang efek antipiretik sampai 6-
8 jam.
Setelah pemberian dosis terapeutik, penurunan demam terjadi setelah 30 menit,
puncaknya sekitar 3 jam, dan demam akan rekuren dalam 3-4 jam setelah pemberian. Kadar
puncak plasma dicapai dalam waktu 30 menit. Makanan yang mengandung karbohidrat tinggi
akan mengurangi absorpsi sehingga menghalangi penurunan demam.
Parasetamol mempunyai efek samping ringan bila diberikan dalam dosis biasa. Tidak
akan timbul perdarahan saluran cerna, nefropati, maupun koagulopati. Obat yang dilaporkan
mempunyai interaksi dengan parasetamol, diantaranya adalah warfarin, metoklopramid, beta
bloker, dan klopromazin.

20
2. Ibuprofen

Ibuprofen ialah suatu derivat asam propionat yang mempunyai kemampuan


antipiretik, analgesik, dan antiinflamasi. Seperti antipiretik lain dan NSAID (Non Steroid Anti
Inflammatory Drug), ibuprofen beraksi dengan memblokade sintesis PGE-2 melalui
penghambatan siklooksigenasi. Sejak tahun 1984 satu-satunya NSAID yang
direkomendasikan sebagai antipiretik di Amerika Serikat adalah ibuprofen, sedangkan di
Inggris sejak tahun 1990. Obat ini diserap dengan baik oleh saluran cerna, mencapai puncak
konsentrasi serum dalam 1 jam. Kadar efek maksimal untuk antipiretik (sekitar 10 mg/L)
dapat dicapai dengan dosis 5 mg/kgBB, yang akan menurunkan suhu tubuh 2º C selama 3-4
jam. Dosis 10 mg/kgBB/hari dilaporkan lebih poten dan mempunyai efek supresi demam
lebih lama dibandingkan dengan dosis setara parasetamol. Awitan antipiretik tampak lebih
dini dan efek lebih besar pada bayi daripada anak yang lebih tua. Ibuprofen merupakan obat
antipiretik kedua yang paling banyak dipakai setelah parasetamol.
Efek antiinflamasi serta analgesik ibuprofen menambah keunggulan dibandingkan
dengan parasetamol dalam pengobatan beberapa penyakit infeksi yang berhubungan dengan
demam. Indikasi kedua pemakaian ibuprofen adalah artritis reumatoid. Dengan dosis 20-40
mg/kgBB/hari, efeknya sama dengan dosis aspirin 60-80 mg/kgBB/hari disertai efek samping
yang lebih rendah. Pemberian sitokin (misalnya GM-CSF) seringkali menyebabkan demam
dan mialgia, ibuprofen ternyata obat yang efektif untuk mengatasi efek samping tersebut.
Ibuprofen mempunyai keuntungan pengobatan dengan efek samping ringan dalam
penggunaan yang luas. Beberapa efek samping yang dilaporkan disebabkan adanya penyakit
yang sebelumnya telah ada pada anak tersebut dan bukan disebabkan oleh pengobatannya. Di
pihak lain efek samping biasanya berhubungan dengan dosis dan sedikit lebih sering
dibandingkan dengan parasetamol dalam dosis antipiretik. Reaksi samping ibuprofen lebih
rendah daripada aspirin. Anak yang menelan 100 mg/kgBB tidak menunjukkan gejala,
bahkan sampai dosis 300 mg/kgBB seringkali asimptomatik. Tatalaksana kasus keracunan
ibuprofen, dilakukan pengeluaran obat dengan muntah (kumbah lambung), arang aktif, dan
perawatan suportif secara umum. Tidak ada antidotum spesifik terhadap keracunan ibuprofen.

21
3. Salisilat
Aspirin sampai dengan tahun 1980 merupakan antipiretik-analgetik yang luas dipakai
dalam bidang kesehatan anak. Di Amerika Serikat pangsa pasar salisilat mencapai 70%
sedangkan parasetamol hanya mencapai 30%, di Inggris kecenderungannya terbalik. Dalam
penelitian perbandingan antara aspirin dan parasetamol dengan dosis setara terbukti kedua
kelompok mempunyai efektivitas antipiretik yang sama tetapi aspirin lebih efektif sebagai
analgesik. Setelah dilaporkan adanya hubungan antara sindrom Reye dan aspirin, Committee
on Infectious Diseases of the American Academy of Pediatrics, berkesimpulan pada
laporannya tahun 1982, bahwa aspirin tidak dapat diberikan pada anak dengan cacar air atau
dengan kemungkinan influenza. Walaupun demikian, aspirin masih digunakan secara luas di
berbagai tempat di dunia, terutama di negara berkembang. Kekurangan utama aspirin adalah
tidak stabil dalam bentuk larutan (oleh karena itu hanya tersedia dalam bentuk tablet), dan
efek samping lebih tinggi daripada parasetamol dan ibuprofen. Adapula peningkatan
insidensi interaksi dengan obat lain, termasuk antikoagulan oral (menyebabkan peningkatan
resiko perdarahan), metoklopramid dan kafein, serta natrium valproat (menyebabkan
terhambatnya metabolisme natrium valproat).

22
Adapun indikasi pemakaian aspirin ialah sebagai berikut :
1. Sebagai antipiretik/ analgetik, aspirin tidak lagi direkomendasikan. Dosis 10-15
mg/kgBB memberikan efek antipiretik yang efektif. Dapat diberikan 4-5 kali per hari,
oleh karena waktu paruh di dalam darah sekitar 3-4 jam.

2. Pada penyakit jaringan ikat seperti artritis reumatoid dan demam reumatik, dosis
awal ialah 80 mg/kgBB/hari dibagi 3-4 dosis. Dosis ini kemudian disesuaikan untuk
mempertahankan kadar salisilat dalam darah sekitar 20-30 mg/dL. Oleh karena akhir-
akhir dilaporkan adanya sindrom Reye pada kasus artrtis reumatoid yang mendapat
aspirin, maka aspirin tidak lagi dipakai pada pengobatan artritis reumatoid.

3. Thromboxane A2 merupakan vasokonstriktor poten dan sebagai platelet


aggregation agent yang terbentuk dari asam arakidonat melalui siklus
siklooksigenase. Aspirin menghambat siklooksigenase sehingga mempunyai aktivitas
antitrombosit dan fibrinolitik rendah, direkomendasikan bagi anak dengan penyakit
kawasaki, penyakit jantung bawaan sianotik, dan penyakit jantung koroner.

Kontraindikasi pemberian aspirin antara lain sebagai berikut :


1. Infeksi virus, khususnya infeksi saluran napas bagian atas atau cacar air. Aspirin
dapat menyebabkan sindrom Reye.

2. Defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD), pada keadaan ini aspirin dapat


menyebabkan anemia hemolitik.

3. Anak yang menderita asma, dapat menginduksi hipersensitifitas karena penggunaan


aspirin (aspirin-induced hypersensitivity), berupa urtikaria, angioedema, rhinitis, dan
hiperreaktivitas bronkus. Aspirin dapat menghambat sintesis, yang mempengaruhi
efek dilatasi bronkus. Akhir-akhir ini terbukti adanya peningkatan pembentukan
leukotrien pada keadaan asma yang diinduksi aspirin. Leukotrien merupakan
vasokonstriktor poten terhadap otot-otot polos saluran napas.

4. Pada pasien yang akan mengalami pembedahan atau pasien yang memiliki
kecenderungan untuk mengalami perdarahan, aspirin dapat menghambat agregasi
trombosit yang bersifat reversibel.

23
Efek samping yang timbul pada kadar salisilat darah < 20 mg/100 mL, umumnya
dianggap sebagai efek samping sedangkan gejala yang timbul pada kadar yang lebih tinggi
disebut keracunan. Gambaran yang saling tumpang tindih timbul diantara kedua kelompok
tersebut. Efek samping berasal dari efek langsung terhadap berbagai organ atau menghambat
sintesis prostaglandin pada organ-organ terkena. Pada anak besar gambaran klinis
menunjukkan alkalosis respiratorik, sedangkan pada anak yang lebih muda fase alkalosis
respiratorik terjadi singkat dan ketika anak tiba di rumah sakit sudah terjadi asidosis
metabolik bercampur dengan alkalosis respiratorik.

Pada bayi atau keracunan salisilat berat, keseimbangan asam-basa sangat terganggu
ditandai dengan penurunan pH (dapat kurang dari 7,0). Alkalosis respiratorik menunjukkan
adanya keracunan ringan atau tanda awal keracunan berat. Pemeriksaan laboratorium yang
harus dilakukan adalah; darah perifer lengkap, kadar salisilat, gula dalam darah, enzim hati,
waktu protrombin, analisis gas darah, bikarbonat serum, ureum dan elektrolit.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Roespandi H, dr., Nurhamzah W, dr. Buku Saku Panduan Pelayanan Kesehatan Anak
di Rumah Sakit, Cetakan I. Jakarta : Tim Adaptasi Indonesia-WHO ; 2009.

2. Anonim. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Cetakan ke-dua belas. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI ; 2007.

3. Soedarmo S, Garna H. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi 2. Cetakan ke-3.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2012

4. Fever. Accessed on 17th June 2013. Available at:


http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003090.htm

5. Sindrom Reye. Accessed on 17th June 2013. Available at:


http://kamuskesehatan.com/arti/sindrom-reye/

6. Fever In Children. Accessed on 17th June 2013. Available at:


http://www.emedicinehealth.com/fever_in_children/article_em.htm

25

You might also like