Professional Documents
Culture Documents
Batang Gram negative dari famili Enterobactericeae bertanggungjawab pada 90% ISK. E.
coli merupakan organisme tunggal terpenting, terdapat pada 80-90% infeksi yang tanpa
terkomplikasi. Bakteri lainnya : Klebsiela, Enterobacter, Serratia, Proteus, Pseudomonas,
Providensia, Marganella spp.
Pseudomonas Aeroginosa hampir selalu terdapat infeksi sekunder oleh
instrumentasi pada saluran kemih. Staphylococcus saprophytion penyebab tersering
kedua sistitis dan merupakan penyebab infeksi pada 10% wanita yang aktif secara
seksual. Staphylococcus epidermis sering terdapat pada infeksi nosokomial oleh
kateterisasi. Staphylococcus aureus lebih jarang ditemukan dan biasanya sekunder
terhadap infeksi ginjal.
Organisme Gram positif lain seperti Enterococcus dan streptococcus agulactiae
bertanggung jawab pada 3% kasus sistitis. Enterococcus faecalis bertanggungjawab pada
15% kasus ISK nosokomial. streptococcus agulactiae sering merupakan penyebab ISK
pada pasien DM. bakteri anaerob, walau banyak dijumpai pada fiber feces, jarang
menyebabkan ISK. Tekanan oksigen pada urin kemungkinan menghambat
pertumbuhannya pada saluran kemih. Candida albican dan jamur lainnya dapat
menyebabkan ISK pada pasien-pasien DM dan yang menggunakan kateter. Demikian
juga pada pasien dengan penekanan system imun dan resipien transplantasi ginjal sangat
rentan terhadap ISK. Viruria sering dihubungkan dengan berbagai virus namun sering
terdapat pada viremia. ISK oleh virus sering terjadi sebagai keadaan yang bersifat akut
(sistitis hemoragis akut pada anak-anak, infeksi virus polyoma setelah transplantasi
sumsum tulang), saat penyembuhan oleh infeksi virus (cacar, cytomegalovirus) dan pada
pasien asimtomatis (cytomegalovirus).
PATOGENESIS
Walaupun saluran kemih wanita relative tahan terhadap infeksi beberapa factor risiko
yang dapat mempermudah ISK pada wanita (BOX 32-1). Sebagian besar kasus ISK
bersifat ascending dimana pada awalnya flora feces membentuk koloni pada introitus
vagina, lalu ke jaringan periuretra dan akhirnya sampai pada vesika (BOX 32-2).
Terjadinya ISK merupakan interaksi antara susceptibilitas host dan factor-faktor
virulensia pathogen (32-3).
FAKTOR HOST
Terdapat beberapa mekanisme pertahanan penting dalam pencegahan ISK. pH rendah
pada secret vagina wanita premenopause, menghambat pertumbuhan enterobakteri seperti
E. coli dan merangsang pertumbuhan lactobasilus, diptheroid dan organisme/ Gram +
lainnya yang replikasinya sangat lambat didalam urin. Miksi yang bersifat periodic
dengan efek pengencerannya, serta tingginya konsentrasi urea dan asam organic pada pH
rendah merupakan mekanisme pertahanan kandung kemih yang penting.
Glikosaminoglikan pada tepi vesika serta immunoglobulin dalam urin merupakan
factor-faktor yang menghambat perlekatan bakteri. Defisiensi glikosaminoglican
mungkin memegang peranan pada ISK berulang. Sebagai tambahan, loop henle
mensekresi protein Tamm- horsfall, suatu uromucoid yang akan mannose yang dapat
menghambat perlekatan bakteri dalam urin sehingga akhirnya dapat dikeluarkan.
Beberapa studi menunjukkan bahwa wanita dengan golongan darah B dan AB memiliki
risiko lebih besar untuk menderita ISK, hal ini menunjukkan adanya factor genetic yang
berperan. Demikian juga terdapat prevalensi subtype HLA-A3 yang lebih tinggi pada
wanita dengan ISK berulang. Factor-faktor seperti aktivitas seksual, pemakaian
diafragma secara bwrmakna berhubungan dengan terjadinya ISK bawah. Frekuensi coitus
meningkatkan risiko sistitis yang berhubungan dengan inokulasi bakteri periuretra ke
dalam kandung kemih saat coitus. Peningkatan risiko berhubungan dengan pemakaian
diafragma oleh karena obstruksi uretra, dan juga kolonisasi vagina.
FAKTOR VIRULENSI
Perlekatan bakteri pada sel mukosa merupakan langkah terpenting pada kolonisasi dan
patogenesis terhadap tiga tipe adhesi : tipe 1 pili (fimbriae), P-fimbriae dan X-adhesins.
Tipe 1 pili memiliki afinitas yang kuat terhadap mannose, termasuk protein Tamm-
horsfall, dan mempermudah perlekatan E. Coli terhadap sel epitel, vagina, periuretra dan
kandung kemih. P-fimbriae dan X-adhesin penting pada infeksi asenden pada ginjal. P-
fimbriae memiliki afinitas terhadap antigen golongan darah P yang terdapat pada
eritrosis dan sel oroepitel.
Pili tipe 1 dan P fimbriae sering dimiliki oleh bakteri yang sama, estela masuk ginjal
terjadi ekspresi Pili 1 untuk menghindari fagositosis. Wanita dengan beberapa golongan
darah jenis Lewis Le (a-, b-), Le (a+ b-) fenotif memiliki rekurensi lebih tinggi terhadap
ISK dibandingkan dengan fenotif Le (a- b+). Wanita premenopause lebih rentan terhadap
perlekatan beberapa strain E coli dan lactobasilus pada saat-saat tertentu pada siklus
menstruasi dan awal kehamilan. Uropatogen memiliki daya rasistensi terutama melalui
“resistance transfer plasmad”. Resistansi plasmad telah ditemukan pada Beta lactam,
sulfonamid, aminoglikosida dan trimetroprim. Sampai saat ini belum ditemukan resisten
plasmid pada fluroquinolon sehingga obat ini sering didapatkan pada kasus-kasus
resistensi obat.
GAMBARAN KLINIS
Terdapat berbagai gejala dan tanda infeksi saluran kemih pada wanita. Gejala iritatif
seperti : cystitis, disuria, frekuensi, urgensi, nokturia dan ketidaknyamanan suprapubic.
Kadang terdapat inkontinensia sedang dan hematuria. Gejala sistemik biasanya tidak ada.
ISK atas biasanya memberikan gejala demam, menggigil, malaise, dan kadang-
kadang nausea dan muntah. Nyeri bersifat kolik jika terdapat pielonefritis akut
terkomplikasi oleh kalkulus.
DIAGNOSIS
Metode pengumpulan urine:
Untuk menekan kontaminasi, seorang wanita disarankan untuk meregangkan
labia, mengelap area periuretral dari depan ke belakang dengan spons yang bersih.
Pasien-pasien tertentu dnegan kelainan fisik atau obesitas tidak ampu mengambil
spesimen urine yang bersih sehingga diperlukan kateterisasi yang tentunya memiliki
resiko terjadi infeksi dimana 1 % terjadi pada wanita sehat dan 20 % terjadi pada wanita
rawat inap.
Mikroskopik
Pemeriksaan mikrosko[pik pada sampel urine tanpa sentrifugasi dapat ditemukan
bakteriuria, leukoit dan sel darah merah. Pada sampel urine acak, pyuria didefinisikan
bila ditemukan lebih dari 10 sel darah putih/ml urine dengan menggunakan
hemositometer pada keadaan klinis dimana terdapat gejala yang mengarah pada infeksi
saluran kemih. Adanya pyuria dan hematuria merupakan bukti tambahan untuk memulai
terapi antibiotik. Dan jika tidak ada pyuria maka diagnosa ISK harus dipertanyakan.
Beberapa contoh pyuria yang steril: Tuberculosis, kalkulus renalis, glomerulonefritis,
cystitis interstisial, uretritis klamidya.
Hematuria mikroskopis ditemukan pada 40-60% kasus cystitis akut dan spesifik
untuk wanita dengan disuria. Bakteriuria mikroskopik dengan pewarnaan Gram Negatif
ditemukan pada 90% ISK dengan jumlah 100.000 CFU/mL. Dan ini merupakan temuan
yang spesifik. Bakteri sering tidak dapat ditemukan bila jumlah koloni antara 10.000-
100.000 CFU/mL. Sehingga hematuria mikroskopik sensitifitasnya rendah namun tinggi
spesifisitasnya untuk ISK.
KULTUR URINE
Saat ini tidak diharapkan pada cystine yang tidak berkomplikasi. Dengan adanya terapi
antibiotik jangka panjang pendek terapi biasnya sudah selesai sebelum adanya hasil
kultur. Pada pasien-pasien dengan gejala-gejala yang menunjuk ke arah ISK yang tidak
terkomplikasi, maka hasil rapid test sudah cukup untuk memulai terapi Ab.
Kultur umum dikerjakan pada:
- Diagnosa sisitis masih dipertanyakan/meragukan
- Curiga ISK atas
- Adanya komplikasi lain
Dapat digunakan untuk membedakan infeksi berulang dengan yang persisten
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Digunakan pada keadaan:
- Respon yang kurang terhadap terapi antibiotik
- Bukti adanya persistensi bakteri
- Infekso oleh mikroba pengurai urea (proteus)
- Riwayat kalkulus
- Adanya potensi obstruksi urin
- Gejala ISK atas
- Pyelonefritis
- Hematuria yang tidak dapat dijelaskan
Radiologi abdomen dapat mendeteksi adanya kalkulus yang radioopaque namun sering
bersifat nonspesifik
DIAGNOSA BANDING
Gejala dari ISK dapat sama dengan keadaan lainnya seperti candidiasis, trichomonas
vaginitis dan PMS lainnya. Disuria bisa merupakan gejala dari infeksi yang disebabkan
oleh chlamidya, gonococcus dan virus herpes simplex. Pyuria dapat ditemukan pada
pasien dengan uretritis oleh chlamidya. Hematuria bukan merupakan gejala dari
vaginitis/STD lainnya dan keberadaannya dapat mengarah pada ISK.
Istilah sindroma uretral menggambarkan keadaan pada wanita yang tidak mengalami
defisiensi estrogen manun mengeluh adanya ISK bawah yang menetap (persisten).
Walaupun kultur urin, vagina dan uretra hasilnya negatif.
INFEKSI BERULANG
25% wanita yang menderita ISK menderita sebanyak 3x/ tahun dan wanita tersebut
merupakan 50% wanita-wanita penderita sistitis akut. Ketika urin sudah steril oleh terapi
antibiotik maka pola dari kekambuhan bermanfaat dalam penanganan pasien-pasien
tersebut, juga berguna didalam menentukan mereka yang memerlukan pemeriksaan
serologi lanjut, dan merencanakan terapi yang spesifik, tepat dan dapat diprediksi
hasilnya.
Jenis reinfeksi yang paling umum adalah: reinfeksi oleh bakteri yang berbeda dari
bakteri awal. Walaupun infeksi dapat disebabkan oleh spesies yang sama (E. Coli),
organisme-organisme biasanya dapat dibedakan berdasarkan bentuk koloni dan
sensitifitas terhadap antibiotika. Infeksi tersebut hampir selalu bersifat ascending yang
berasal dari daerah introitus vagina. Seperti yang telah disebutkan diatas, relaps ditandai
dengan timbunya jenis bakteri yang sama di dalam urin, namun tidak selalu, dimana
timbulnya dalam waktu 2 minggu setelah pengobatan. Relaps dapat disebabkan oleh
pengobatan ISK yang tidak tepat atau reinfeksi di daerah introitus. Relaps dari saluran
kencing bagian atas atau batu yang terinfeksi dicurigai bila : organisme yang sama secara
berulang ditemukan dalam 7-10 hari setelah pemberian antibiotika. Pada keadaan dimana
urin yang steril tidak dapat dikumpulkan , infeksi tersebut disebut sebagai persistensi
bakterial. Pemeriksaan endoskopi dan radiologis perlu dilakukan pada pasien dengan
relaps/infeksi persisten.
Flora feses merupakan sumber utama ISK yang berulang, namun antibiotik oral
untuk pengobatan hal diatas seharusnya tidak menggangu floral rectal. Sulfonamid,
penicilin, tetrasiklin dan cephalosporin dengan dosis penuh dapat menyebabkan flora
feses menjadi resisten tidak hanya dapat pada antibiotik tersebut namun juga terhadap
mikroba lainnya melalui pemindahan plasmid ekstrakromosal.
Quinolon dan Nitroflurantuin memiliki efek minimal terhadap flora feses dan
menyebabkan resistensi yang minimal. Tujuan pengelolaan reinfeksi adalah untuk
memperoleh urine yang steril, sehingga pemberian antibiotik haruslah melebihi batas
minimum yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan. Jika dosis yang tidak tepat,
maka resistensi dapat terjadi pada 10 % pasien. Sebagian besar pasien dengan ISK
brulang dapat diobati dengan profilaksis dosis rendah yang terus menerus. Regimen di
atas sangat murah dan cocok bagi wanita dengan reinfeksi yang sering. Jika urine sudah
steril dengan pemberian dosis penuh, maka profilaksis malam hari dapat dimulai dengan
beberapa orang sepeti box 32-3.
Secara umum, obat-obatan sebaiknya diminum sebelum tidur setelah
pengosongan kandung kemih. Percoban telah menunjukkan bahwa pengobatan berselang
eling pada malam hari atau 3 malam dalam seminggu adalah sama efektifnya.
Pengobatan pada vaginitis atropi sebaiknya dipertimbangkan pada wanita postmenopause
degan sistitis berulang. Pada suatu percobaan dengan randomisasi dengan double blind
dan dikontrol dengan placebo, dari pemberian krim estriol intravagina, kepada 93 wanita
postmenopause. Raz dan Stamn 1993 menunjukkan penurunan yang signifikan pada
insiden ISK berulang. Dengan kultur vagina, mereka menunjukkan bahwa estrogen
memicu pertumbuhan spesies lactobacillus yang dapat menyebebkan pengasaman sekresi
vagina dan menurunkan tingkat kolonisasi vagina oleh Enterobactericeae.
Mayoritas pasien tetap menjaga urinnya tetap steril saat menjalani terapi
profilaksis, walaupun infeksi kadang-kadang dapat terjadi dan sebaiknya diobati dengan
terapi antibiotik dosis penuh. Kami melanjutkan pemberian terapi profilaksis untuk
selama kira-kira enam bulan dan mengikuti pasien yang telah selesai terapi dengan kultur
berulang. Kira-kira 30% wanita bebas infeksi untuk setidaknya selama enam bulan
berikutnya. Jika terjadi reinfeksi, harus diikuti dengan pemberian kembali obat profilaksis
di malam hari.
Terapi self start intermitten adalah tambahan yang bermanfaat pada pasien
tertentu dengan sistitis bakteri episode berulang yang tidak mau untuk mengusahakan
profilaksis dosis rendah jangka panjang. Dengan bentuk terapi seperti ini, pasien
diberikan deep slide dan diberitahu cara membuat kultur urin ketika ia memiliki gejala
ISK berulang. Ia kemudian memulai secara empiris terapi antibiotik selama tiga hari.
Norfloksasin, siprofloksasin, nitrofurantoin atau TMP-SMX biasanya efektif untuk terapi
self start intermitten. Fluorokuinolon nampaknya pilihan yang ideal dengan aktivitas
antibiotik spektrum luas dan tingkat mutasi spontan menjadi organisme resisten yang
rendah.
Jika gejala pasien tidak berespon terhadap obat antibiotik awal atau inisial,
dilakukan kultur ulang dan sensitivitas dan terapi disesuaikan menurut hasilnya. Bila
kultur awal negatif, penyebeb lain dari ISK bawah harus dipikirkan. Teknik ini menarik
untuk wanita-wanita dengan frekuensi infeksi yang lebih jarang yang ingin terlibat secara
aktif dalam diagnosis dan penanganan penyakitnya.
Akhirnya, sejumlah kecil peresentase dari pasien denga ISK berulang memiliki
resiko tinggi untuk morbiditas serius dan jaringan parut ginjal yang disebabkan bakteriuri
karena kehamilan, diabetes melitus, kelainan kongenital, atau uropati obstruktif. Dokter
sebaiknya mengenali pasien-pasien seperti ini, terapi awal rujukan yang tepat dan kontrol
secara teratur sangatlah penting.
Bakteriuri Asimptomatik
Bakteriuri asimptomatik didefinisikan sebagai pertumbuhan spesies bakteri
tunggal lebih dari 100.000 CFU/ml dalam dua spesimen urin clean catch dalam kondisi
tidak adanya gejala klinis. Meskipun 80% pasien dengan kondisi ini bisa disembuhkan
dengan terapi antibiotik dalam jangka waktu tujuh hari. Tingkat eradikasi jangka panjang
tidak lebih baik dari terapi plasebo karena reinfeksi berulang dan remisi spontan. Terlebih
lagi, pengobatan bakteriuri asimptomatik sering menggantikan E. coli yang kaya antigen
permukaan O, dengan E. coli antigen O intak yang bisa menyebabkan gejala akut.
Perjalanan alamiah infeksi ini tidak diketahui dengan pasti, yapi tampaknya tidak ada
hubungan dengan jaringan pusat ginkal, hipertensi, atau penyakit ginjal kronis. Secara
umum, pengobatan tidak dianggap perlu. Bagaimanapun pada kondisi tertentu, misal
wanita hamil dan infeksi karena spesies Proteus dan diabetes berat, terapi antibiotik telah
terbukti menguntungkan. Terapi bakteriuri asimptomatik pada wanita dewasa adalah
kontroversial.
PIELONEFRITIS
Pasien-pasien tertentu yang memiliki gejala sesistis akut memiliki ISK atas. Pasien-
pasien tersebut memerlukan terapi yang agresif, biasanya paling sedikit dengan
pengobatan antibiotika selama 10 hari. Mirip dengan sesistis maka sebagian besar kasus
pielonefritis disebabkan oleh infeksi kuman E.coli. pasien-pasien dengan pielonefritis
akut biasanya memiliki titer bakteri urea yang tinggi; kecuali terdapat obstruksi, maka
pemeriksaan mikroskopis dari urine akan ditemukan adanya bakteri dan leukosit.
Jika pasien memenuhi syarat dan gejalanya ringan maka pielonefritis dapat
ditangani dengan rawat jalan dengan pemberian antibiotika oral. Tidak terdapat bukti
bahwa terapi parentral lebih efektif dibandingkan dengan terapi oral. TMP-SMX
merupakan terapi orang yang sangat baik bagi pasien dengan peilonefritis karena
memiliki sprektrum antimikroba yang luas dan memiliki kemampuan untuk mencapai
konsentrasi yang tinggi didalam jaringan. Antibiotika lainya yang dpat digunakan secara
oral termasuk ciprofloxacin ( 500mg setiap 12 jam ) dan norfloxacin ( 400mg 2 kali
sehari). Pasien- pasien yang tidak dapat mentoleransi pengobatan oral, memiliki faktor-
faktor komplikasi harus mendapatkan perawatan dirumah sakit. Awalnya diberikan
antibiotika parentral baru setelah stabil dilanjutkan dengan terapi oral selama 7-14 hari.