You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus
karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak. Berkaitan
dengan istilah disability, maka anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memiliki
keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti
tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD.
Istilah anak berkebutuhan khusus ini diterapkan karena dianggap baik dibandingkan
dengan sebutan anak cacat atau sebutan lainnya yang memberikan dampak pengaruh
buruk terhadap kejiwaan mereka. Anak berkebutuhan khusus juga diartikan sebagai
anak yang mengalami gangguan fisik, mental, intelegensi, dan emosi sehingga
membutuhkan pembelajaran secara khusus. (E. Kosasih, 2010 : 1).
Jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) di Indonesia dari tahun terus
meningkat. PBB memperkirakan bahwa paling sedikit ada 10% anak usia sekolah
yang memiliki kebutuhan khusus. Di Indonesia, jumlah anak usia sekolah, yaitu 5 –
14 tahun, ada sebanyak 42,8 juta jiwa. Jika mengikuti perkiraan tersebut, maka
diperkiraan tersebut, maka diperkirakan ada kurang lebih 4,2 juta anak Indonesia
yang berkebutuhan khusus.
Di Indonesia belum ada data resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Menurut
data terbaru jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia tercatat mencapai
1.544.184 anak, dengan 330.764 anak (21,42%) berada dalam rentang usia 5-18
tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 85.737 anak berkebutuhan khusus yang
bersekolah. Artinya, masih terdapat 245.607 anak berkebutuhan khusus yang belum
mengenyam pendidikan di sekolah, baik sekolah khusus ataupun sekolah inklusi.
Sedangkan dari asumsi PBB yang memperkirakan bahwa paling sedikit 10% anak
usia sekolah menyandang kebutuhan khusus. Jumlah anak berkebutuhan khusus pada
tahun 2011 tercatat sebanyak 356.192 anak, namun yang mendapat layanan baru
86.645 anak dan hingga tahun ini baru 10.185 anak, tahun 2012 pemerintah
mentargetkan minimal 50% anak berkebutuhan khusus sudah terkomodir.
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Anak berkebutuhan khusus aalah mereka yang memerlukan penanganan khusus
yang berkaitan dengan kekhususan (Fadhli, 2010). Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
diartikan sebagai individu-individu yang mempunyai karakteristik yang berbeda dari
individu lainnya yang dipandang normal oleh masyarakat pada umumnya. Secara lebih
khusus anak berkebutuhan khusus menunjukkan karakteristik fisik, intelektual, dan
emosional yang lebih rendah atau lebih tinggi dari anak normal sebayanya atau berada
diluar standar normal yang berlaku di masyarakat. sehingga mengalami kesulitan
dalam meraih sukses baik dari segi sosial, personal, maupun aktivitas pendidikan
(Bachri, 2010).
Heward (2003) mendefinisikan ABK sebagai anak dengan karakteristik khusus
yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada
ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik.
2.2 Klasifikasi Anak dengan Kebutuhan Khusus
Menurut IDEA atau Individuals with Disabilities Education Act Amandements
yang dibuat pada tahun 1997 dan ditinjau kembali pada tahun 2004, secara umum,
klasifikasi dari anak berkebutuhan khusus adalah :
1. Tunanetra / anak yang mengalami gangguan penglihatan
Tunanetra adalah anak yang indera penglihatannya tidak berfungsi
(bind/low vision) sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-
hari seperti orang awas.
2. Tunarungu / anak yang mengalami gangguan pendengaran
Tunarungu, yaitu anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara
verbal.
3. Tunadaksa / mengalami kelainan anggota tubuh / gerakan
Tunadaksa, yaitu anak yang mengalami kelainan atau cacat yang
menetap pada alat gerak (tulang, sendi, dan otot).
4. Berbakat / memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa
Anak yang memiliki potensi kecerdasan (intelegensi), kreativitas dan
tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) diatas anak-anak seusianya
(anak normal), sehingga untuk mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata,
memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
5. Tunagrahita atau retardasi mental
Tunagrahita diartikan sebagai anak-anak yang memiliki kecerdasan
dibawah rata-rata anak pada umumnya (Bandi, 2006).
6. Lamban belajar ( Slow learner )
Anak yang memiliki potensi intelektual sedikit dibawah normal tetapi
belum termasuk tunagrahita ( biasanya memiliki IQ sekitar 70-90 ).
7. Anak yang mengalami kesulitan belajar spesifik.
Anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik khusus, terutama dalam hal kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung atau matematika.
8. Anak yang mengalami gangguan komunikasi (Tunawicara)
Anak mengalami kelainan suara, artikulasi (pengucapan), atau kelancaran
bicara, yang mengakibatkan terjadi penyimpangan bentuk, bahasa, isi bahasa,
atau fungsi bahasa.
9. Tunalaras / anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku
Anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dan bertingkah
laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.
10. Autisme
Mayoritas autisme disebabkan karena abnormalitas di otak (Coleman,
2008).
11. Hiperaktif
Gangguan tingkah laku yang tidak normal, disebabkan disfungsi
neurologis dengan gejala utama tidak mampu mengendalikan gerakan dan
memusatkan perhatian.
12. Indigo
Manusia yang sejak lahir mempunyai kelebihan khusus yang tidak
dimiliki manusia pada umumnya.
13. Tunaganda
Istilah ini digunakan untuk menyebut anak-anak yang mengalami cacat
ganda atau lebih dari satu.
2.3 Sikap Penerimaan Orang Tua
1. Definisi sikap penerimaan orang tua.
Manusia memiliki 2 keutuhan dasar, yaitu penerimaan positif (posistif
regard) dari orang lain dan self-worth. dua kebutuhan dasar ini merupakan
alamiyah yang muncul sejak masa kanak-kanak (infancy). Manusia butuh akan
perasaan dihargai, diperhatikan, diperlakukan dengan penuh perasaan dan cinta.
Penerimaan positif yang diberikan orang lain dapat terlihat dari agaimana cara
orang lain mengevaluasi dan menghakimi dalam proses interaksi sosial. Positive
regard dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu unconditional positive regard
(penerimaan tanpa syarat) adalah apabila penerimaan positif, pujian,
persetujuan/izin, yang diberikan tergantung pada kondisi/perilaku anak.
Unconditional positif regard berarti adanya penerimaan dan penghormatan dari
orang tua dan ari orang lain disekitar sebagai individu seutuhnya. Tanpa
menghakimi atau mengevaluasi
2.4 Batasan Tunarungu
Anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga
membutuhkan pelayanan pendidikan khusus. Bagi anak yang tipe gangguan
pendengaran lebih ringan dapat diatasi dengan alat bantu dengar dan dapat sekolah
biasa di sekolah formal.
Gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sesuai dengan frekuensi dan
intensitasnya. Frekuensi dijabarkan dalam bentuk cps (cycles per sound ) atau hertz
(Hz). Orang normal dapat mendengar dalam frekuensi 18-18.000 Hertz. Intensitas
diukur dalam desibel (dB). Kesemuanya itu diukur dengan audiometer yang dicatat
dalam audiogram.
Perbedaan antara ketulian dengan gangguan pendengaran menurut Hallahan dan
Kauffman (2006) yakni orang tuli adalah mereka yang ketidakmampuan
mendengarnya menghambat keberhasilan memproses informasi bahasa melalui
pendengaran, dengan ataupun tanpa alat bantu dengar.
Berdasarkan waktu mulainya terjadi ketulian dibagi menjadi 2, adalah:
a. Prelingual deafness, yaitu suatu kondisi seseorang dimana ketulian sudah ada
sejak lahir atau sebelum dimulainya perkembangan bicara dan bahasa.
b. Postlingual deafness, yaitu kondisi dimana seseorang mengalami ketulian
setelah ia menguasai wicara atau bahasa
Batasan lain bersifat kuantitatif yang menunjuk pada gangguan pendengaran
sesuai dengan hilangnya pendengaran dan diukur dengan alat audiometric. Audiometri
merupakan alat yang dapat mengukur seberapa jauh seseorang bisa mendengar atau
seberapa besar hilangnya pendengaran.
Kelompok Kategori Hilangnya Keterangan
Pendengaran
1. Ringan ( 20-30 dB ) Mampu berkomunikasi dengan menggunakan
pendengarannya. Gangguan ini merupakan
ambang batas (border line ) antara orang yang
suliy mendengar dengan orang normal.
2. Marginal ( 30-40 dB ) Sering mengalami kesulitan mengikuti suatu
pembicaraan pada jarak beberapa meter.
3. Sedang ( 40-60 dB ) Dengan alat bantu dengar atau bantuan mata,
orang ini masih bisa beljar berbicara.
4. Berat (60-75 dB ) Orang ini tidak bisa belajar berbicara tanpa
menggunakan teknik khusus. Gangguan ini
dianggap sebagai “tuli secara edukatif”.
5. Parah (> 75 dB ) Orang disini tidak dapat belajar bahasa dengan
mengandalkan telinga meskipun telah didukung
dengan alat bantu dengar.

Kesulitan dalam berbicara akan semakin bertambah sejalan dengan semakin


bertambahnya kesulitan pendengaran. Misalnya pada gangguan pendengaran yang
parah, seseorang harus mengandalkan mata daripada telinganya. Jadi meskipun
dipaksakan untuk berkomunikasi secara oral, keterbatasan itu akan memaksa mereka
untuk mengandalkan bagian tubuh yang lain seperti : mata, gerakan tubuh, wajah,
isyarat tangan.

2.5 Karakteristik Anak Tunarungu

Anak dengan kehilangan pendengaran atau tunarungu memiliki kemampuan


intelektual yang normal, namun memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Keterlambatan dalam perkembangan bahasa karena kurangnya exposure


(paparan) terhadap bahasa lisan, khususnya apabila gangguan dialami saat lahir
atau terjadi pada awal kahidupan.
2. Mahir dalam bahasa sandi, seperti bahasa isyarat atau pengejaan dengan jari.
3. Memiliki kemampuan untuk membaca gerak bibir.
4. Bahasa lisan tidak berkembang dengan baik; kualitas bicara agak monoton atau
kaku.
5. Pengetahuan terbatas karena kurangnya exposure terhadap bahasa lisan.
6. Mengalami isolasi sosial, keterampilan sosial yang terbatas, dan kurangnya
kemampuan mem-pertimbangkan perspektif orang lain karena kemampuan
komunikasi terbatas.
2.6 Penyebab Tunarungu
Penyebab terbesar menurut Graham (2004), 75% tunarungu disebabkan oleh
abnormalitas genetik, bisa dominan atau resesif. Beberapa kondisi genetik
menyebabkan kondisi ketunarunguan sebagai abnormalitas primer; dan sekitar 30%
kasus tunarungu adalah bagian dari abnormalitas fisik dan menjadi sebuah sindrom,
seperti Waardenburg syndrome atau Usher syndrome.

Penyebab lain dari tunarungu adalah infeksi seperti cytomegalovirus (CMV),


toxoplasma, dan syphilis. Selain itu, lahir prematur juga menjadi penyebab signifikan
tunarungu dan sering dihubungkan dengan kelainan fisik lain, masalah kesehatan, dan
kesulitan belajar.

2.7 Identifikasi Tunarungu


I. Tes Behavioral
Pada tes ini, umur yang diberikan adalah perkiraan dan tergantung pada
tingkat perkembangan anak.Bentuk-bentuk tesnya, adalah:

a. Behavioural Observation Audiometry (BOA) untuk anak sekitar umur tujuh


bulan, atau lebih bila mereka tidak bisa merespon suara secara intensif.
Observasi dimulai dengan respon terhadap suara, dikejutkan dengan suara
keras atau digerak-gerakkan dari tidurnya.
b. Visual Response/ Reinforcement Audiometry (VRA) untuk anak antara tujuh
bulan hingga tiga tahun. Anak merespon suara dengan mengarahkan
kepalanya dekat loudspeaker, kemudian diarahkan ke arah kanan dan kiri
mereka, dan diberi reward berupa tampilan visual, seperti lampu berkelip,
mainan yang bergerak yang ada di atas loudspeaker.
c. Play Audiometry untuk anak umur dua-tiga tahun ke atas. Ketika suara
terdengar, anak diminta bergerak atau melakukan sesuatu seperti menaruh
kelereng, atau permainan lainnya.
II. Electrophysiological Test
Tes ini dapat digunakan untuk mendeteksi seberapa gangguan
pendengaran atau tunarungu yang ada pada individu. Bentuk tes dari
electrophysiological test ini, diantaranya:

a. Oto-Acoustic Emission (OAEs) (cochlear echoes), yaitu untuk


mengidentifikasi fungsi sel rambut pada koklea
b. Auditory Brainstem-evoked Response Audiometry (ABR); yaitu untuk
menggali informasi pada aktivitas elektikal sepanjang batang otak ke otak
dengan menggunakan electrodes yang ditempatkan di kepala. Tes ini
dilakukan saat anak dalam keadaan tidak sadar, seperti tidur, atau dibius.
c. Electrocochleography (EcoG); alat ini harus dilakukan di bawah pengaruh
bius, karena mengukur sinyal elektro yang ada di koklea dan saraf
pendengaran.
d. Tymanometry menganalisis fungsi telinga bagian tengah dan menyediakan
informasi mengenai gangguan pendengaran konduktif.
2.8 Dampak Gangguan Pendengaran dan Aspek Perkembangan Anak Tunarungu
Ketika anak telah terdiagnosa menderita kehilangan pendengaran, anak pada
awalnya akan kesulitan memunculkan emosi dalam perilaku seperti perilaku cemas,
takut, marah atau depresi. Self-esteem mereka akan rendah karena berkurangnya
komunikasi dan kemampuan bahasa mereka, dan tingkat kepercayaan diri mereka juga
ikut terpengaruh.
Dalam segi komunikasi dan bahasa, anak akan belajar untuk membangun
keterampilan komunikasi dalam bentuk lain, seperti bahasa tubuh, gerak tubuh, atau
ekspresi wajah, yang akan mewakili informasi tentang apa yang diinginkan seseoran
dan apa yang dirasakan.

You might also like