You are on page 1of 12

MANAJEMEN OBAT TERHADAP KEJADIAN STAGNAN OBAT

DI INSTALASI FARMASI RSUD KOTA MAKASSAR

DRUG MANAGEMENT OF STAGNANT DRUG EVENTS AT THE PHARMACY


INSTALLATION OF MAKASSAR CITY HOSPITAL

Nurfaisah¹, Noer Bahry Noor², Masni³


¹Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas
Hasanuddin
(email: icha.gf9814@gmail.com)
²Manajemen Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas
Hasanuddin
(email : noor_mars@yahoo.com)
³Bagian Biostatistik dan Kesehatan Reproduksi, Universtitas Hasanuddin, Makassar

Alamat Korespondensi:
Nurfaisah
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP: 085242879823
Email: icha.gf9814@gmail.com
ABSTRAK

Biaya yang diserap untuk penyediaan obat merupakan komponen terbesar untuk pengeluaran rumah sakit. Obat
harus dikelola dengan efetif dan efisien mengingat dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan
kebutuhan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manajemen obat terhadap kejadian stagnan obat.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Informan
penelitian terdiri dari 9 orang. Informan penelitian adalah orang-orang yang mengetahui permasalahan yang
diteliti. Data yang dikumpulkan dalam penelitian adalah data primer (wawancara dan observasi) dan data
sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perencanaan kebutuhan obat RSUD Kota Makassar menggunakan
metode konsumsi. Pengadaan obat melalui e-purchasing dan pembelian langsung. Pencatatan dan pelaporan obat
belum sesuai dengan standar yaitu indikator pelaporan keuangan dan penggunaan obat terbesar. Disimpulkan
bahwa perencanaan, pengadaan, penyimpanan serta pencatatan dan pelaporan berhubungan dengan kejadian
stagnan obat di RSUD Kota Makassar. Diharapkan penyusunan rencana kebutuhan obat dilakukan melalui kerja
sama lintas sektor di RS khususnya instalasi farmasi dan komite farmasi, proses pencatatan dan pelaporan obat
dilakukan dengan baik untuk memperoleh data obat yang akurat.

Kata kunci : manajemen, stagnan, farmasi, perencanaan, pengadaan.

ABSTRACT

Costs absorbed for the supply of drugs are the biggest component of hospital expenses. The drug must be managed
effectively and efficiently, considering that the funds needed for medicines in the hospital do not always according
to needs. This study aims to analyze drug management against the incidence of stagnant drugs. The research
design used is qualitative research with a phenomenological approach. The research informants consisted of 9
people. Research informants are people who know the problem under study. The data collected are primary data
(interviews and observations) and secondary data. The results of the study showed that the drug needs planning
at the Makassar City Hospital used the consumption method. Drug procurement through e-purchasing and direct
purchase. Drug recording and reporting are not in accordance with the standard, namely the largest financial
reporting and drug use indicators. It was concluded that planning, procuring, storing and recording and reporting
were related to the occurrence of drug stagnation in Makassar City Hospital. It is expected that the preparation of
drug needs is carried out through cross-sector cooperation in hospitals, especially pharmaceutical installations and
pharmacy committees, the process of recording and reporting drugs is done well to obtain accurate drug data.

Keywords: management, stagnation, pharmacy, planning, procurement


PENDAHULUAN

Menurut WHO pengadaan obat merupakan bagian terbesar dari anggaran kesehatan. Di
negara maju, biaya obat berkisar 10-15% dari anggaran kesehatan. Sementara di negara
berkembang, biaya ini lebih besar antara 35-65% sedangkan di Indonesia sekitar 39%.
Tanggung jawab pengadaan obat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar bukan lagi menjadi
tanggung jawab pemerintah pusat melainkan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah
(Satibi, 2014).
Menurut Suciati (2006), pelayanan farmasi merupakan pelayanan penunjang dan
sekaligus merupakan revenue center utama. Hal tersebut mengingat bahwa lebih dari 90%
pelayanan kesehatan di rumah sakit menggunakan perbekalan farmasi (obat-obatan, bahan
kimia, bahan radiologi, bahan alat kesehatan habis, alat kedokteran, dan gas medik), dan 50%
dari seluruh pemasukan rumah sakit berasal dari pengelolaan perbekalan farmasi. Aspek
terpenting dari pelayanan farmasi adalah mengoptimalkan penggunaan obat, ini harus termasuk
perencanaan untuk menjamin ketersediaan, keamanan dan keefektifan penggunaan obat. Untuk
itu, jika masalah perbekalan farmasi tidak dikelola secara cermat dan penuh tanggung jawab
maka dapat diprediksi bahwa pendapatan rumah sakit akan mengalami penurunan.
Persediaan yang tidak dikelola dengan baik sehingga mengalami kekurangan atau
kelebihan dapat menyebabkan kerugian pada rumah sakit. Persediaan yang terlalu banyak atau
berlebih dapat menyebabkan bertambah besarnya biaya yang harus dikeluarkan rumah sakit
dalam biaya penyimpanan. Selain itu, hal ini juga tidak efisien karena biaya tersebut
sebenarnya dapat digunakan untuk kepentingan rumah sakit yang lain atau dengan kata lain,
diinvestasikan untuk kepentingan lain rumah sakit. Persediaan yang terlalu banyak juga dapat
meningkatkan risiko kerusakan dan kadaluarsa (Gugum Pamungkas dan Dewi N, 2016)
Investasi berlebihan pada farmasi akan meningkatkan biaya penyimpanan yang
mungkin mempunyai opportunity cost. Sedangkan persediaan farmasi yang tidak mencukupi
dapat menyebabkan biaya kekurangan bahan, tertundanya keuntungan atau bahkan dapat
mengakibatkan hilangnya pelanggan (Mellen, R. C. and Pudjirahardjo, W. J., 2013)
Berdasarkan hasil pengambilan data awal di RSUD Kota Makassar diperoleh data
bahwa kerugian RSUD Kota Makassar akibat kejadian obat stagnan yang cukup besar. Terjadi
peningkatan nilai kerugian di RSUD Kota Makassar pada tahun 2016-2017 yakni Rp.
49.085.028 (tahun 2016 yang terdiri dari 21 item obat stagnan dan Rp. 107.785.291 (tahun
2017) yang terdiri dari 109 item obat. Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh informasi
tentang kejadian stagnan obat berdasarkan manajemen obat yang meliputi proses perencanaan,
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan pencatatan/pelaporan.

BAHAN DAN METODE


Lokasi dan Rancangan
Penelitian dilakukan di RSUD Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Rancangan penelitian
yang dilakukan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Informan Penelitian
Informan penelitian sebanyak 9 orang yaitu kepala instalasi farmasi, kepala gudang
farmasi , ketua komite farmasi dan terapi, pejabat pengadaan, kepala sub perencanaan dan
pengembangan penunjang pelayanan medik, kepala sub bagian keuangan, penanggung jawab
depo/unit pelayanan rawat jalan, penanggung jawab depo/unit pelayanan rawat inap dan
petugas logistik/gudang farmasi.
Teknik pengumpulan data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian terdiri dari data primer melalui wawancara
mendalam terhadap informan dan melakukan pengamatan (observasi) secara langsung
terhadap kondisi di lapangan.
Teknik Analisis data
Teknik analisis data kualitatif dengan metode analisis tematik (thematic analysis) yang
terdiri dari tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data dan verifikasi.

HASIL
Karakteristik Informan Penelitian
Tabel 1 memperlihatkan bahwa informan penelitian berjumlah 9 orang yakni kepala
instalasi farmasi, kepala gudang, ketua komite farmasi dan terapi, pejabat pengadaan, kepala
sub bidang perencanaan dan pengembangan penunjang pelayanan medik kepala sub bagian
keuangan, penanggung jawab dep/unit pelayanan rawat jalan, penanggung jawab dep/unit
pelayanan rawat inap dan petugas logistik/gudang obat.
Manajemen Obat di Instalasi Farmasi RSUD Kota Makassar
Tabel 2 menunjukkan bahwa alokasi dana untuk pengadaan obat di RSUD Kota
Makassar pada tahun 2015-2018 masih sangat rendah yakni rata-rata hanya 4,56% (standar
Depkes RI sebesar 40-50% dari total anggaran rumah sakit).
Tabel 3 menunjukkan hasil wawancara dan observasi terhadap sistem pengadaan obat
di RSUD Kota Makasar menunjukan bahwa frekuensi pengadaan obat rendah yakni rata-rata
4 kali setahun dan sering terjadi penundaan pembayaran oleh rumah sakit terhadap waktu yang
ditetapkan (120 hari setelah obat diterima). Hal ini menjadi kendala dalam proses pengadaan
obat selanjutnya karena sistem pengadaan tidak dapat diproses secara e-purchasing apabila
pembayaran belum dilakukan.
Hasil observasi sebagaimana yang tertera pada tabel 4 menunjukkan bahwa pencatatan
dan pelaporan obat di RSUD Kota Makassar sudah berjalan dengan baik namun pelaporan
keuangan dan pelaporan penggunaan obat terbesar belum dilakukan sebagaimana mestinya.

PEMBAHASAN
Perencanaan kebutuhan obat di RSUD Kota Makasar dibuat dalam dokumen RKO
dengan menggunakan metode konsumsi yakni berdasarkan pemakaian tahun lalu ditambah
dengan buffer stok dan leadtime rata-rata 6 bulan. Perhitungan kebutuhan obat dengan metode
konsumsi merupakan metode yang mudah dan cukup akurat. Akan tetapi yang menjadi masalah
dalam perencanaan kebutuhan obat di RSUD Kota Makassar yaitu perencanaan obat tahun
2015 yang belum didukung oleh ketersediaan data yang akurat mengenai total penggunaan obat
selama setahun (pencatatan kurang baik dan SIM RS belum mengakomodir rekapan data
penggunaan obat)
Hal ini sejalan dengan penelitian Suryantini dkk (2016) yang menemukan bahwa
perencanaan kebutuhan persediaan obat antibiotik di Instalasi Farmasi RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou didasarkan pada jumlah pemakaian obat sebelumnya yang dijadikan sebagai dasar
untuk perencanaan/pemesanan obat selanjutnya. Peran komite farmasi dalam penyusunan
formularium kurang maksimal yang ditandai dengan belum adanya revisi formularium RS.
Peran komite farmasi di rumah sakit sangatlah penting yaitu dalam menyusun formularium
nasional, meningkatkan pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional serta memantau dan
menganalisa kerasionalan penggunaan obat melakukan analisis efektifitas dan efisiensi
penggunaan obat di rumah sakit dalam hal ini untuk menghindari kejadian stagnan obat
maupun kekosongan obat (Priyatna (2010). Selain itu, komite farmasi harus mengevaluasi
peresepan obat oleh dokter sesuai dengan forularium RS. Dokter yang meresepkan di luar
formularium RS akan berimbas pada perencanaan yang terkendala maupun pelayanan kepada
pasien (Murtafi’ah, dkk (2014)
Pengadaan obat pada tahun 2015 yang hanya pada satu distributor dan tidak bersedia
menerima pengembalian obat apabila ditemukan obat yang mendekati masa expired menjadi
salah satu faktor yang menyebabkan resiko kejadian stagnan obat. Sistem pengadaan melalui
e-purchasing dan pembelian secara langsung. Penelitian Haryanti (2011) juga menyebutkan
bahwa manfaat dari pengadaan melalui e-purchasing adalah membuat efisiensi dari sisi biaya
yang dibutuhkan relatif tidak banyak, dan membutuhkan lebih sedikit waktu, tenaga, dan biaya.
Penerimaan obat di instalasi farmasi RSUD Kota Makassar sudah berjalan dengan
baik sesuai dengan standar penerimaan obat menurut Permenkes 72 Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah sakit dan tidak menjadi faktor penyebab terjadinya
kejadian stagnan obat di instalasi farmasi RSUD Kota Makassar.
Penyimpanan obat di RSUD Kota Makassar berdasarkan sistem penyimpanan FIFO
dan FEFO. Penyimpanan dan penyusunan obat di gudang Instalasi Farmasi RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta Unit I menggunakan metode FIFO (First In First Out) dan FEFO
(First Expired First Out) dan berdasarkan abjad, metode ini digunakan agar mempermudah
petugas dalam pengambilan obat- obatan dan menjaga mutu obat-obatan (Sheina, dkk (2010).
Hasil penelitian oleh Tien Wahyu Handayani di RSU Anutapura Palu juga sejalan dengan
penelitian di RSUD Kota Makassar. Dari hasil wawancara terkait penerimaan obat dengan
indikator prosedur penerimaan obat dalam pengelolaan obat dapat disimpulkan bahwa proses
penerimaan obat di RSU Anutapura Palu sudah sesuai SOP rumah sakit yang telah ditetapkan
oleh direktur yaitu diperiksa olah panitia pemeriksa barang kemudian diterima oleh panitia
penerima barang dan selanjutnya diserahkan kepada Instalasi Farmasi RSU Anutapura Palu.
Sistem pendistribusian obat di instalasi farmasi RSUD Kota Makkassar sudah berjalan
dengan baik yakni dilakukan secara desentralisasi dan terjadwal dari gudang obat ke depo/unit
layanan dan tidak menjadi faktor yang dapat menyebabkan kejadian stagnan obat. Pencatatan
dan pelaporan obat stagnan di instalasi farmasi RSUD Kota Makassar dinilai kurang baik dan
lamban dalam mengidentifikasi kejadian obat stagnan. Pencatatan dan pelaporan obat stagnan
dilakukan per enam bulan sementara menurut standar Depkes RI (2008) pencatatan dan
pelaporan obat stagnan dilakukan per 3 bulan. Dengan lambatnya proses pencatatan dan
pelaporan obat stagnan di rumah sakit maka tindakan ataupun kebijakan dalam mengatasi
kejadian stagnan obat juga menjadi terlambat. Hal tersebut dapat menjadi salah satu hal yang
beresiko menyebabkan kejadian stagnan obat di RSUD Kota Makassar. Hal ini sejalan dengan
pencatatan dan pelaporan obat di Dr. Sam Ratulangi Tondano yang menunjukkan bahwa
evaluasi penggunaan obat maupun pemusnahan obat masih belum sesuai dengan standar.
Administrasi dalam hal pencatatan dan pelaporan belum berjalan dengan optimal. Hal ini,
terjadi karena kurangnya pengontrolan dan evaluasi dari manajemen rumah sakit (Malinggas,
2014).
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian stagnan obat di instalasi farmasi RSUD
Kota Makassar dipengaruhi oleh perencanaan, pengadaan, dan proses pencatatan dan pelaporan
obat. Sebaliknya, proses penerimaan, penyimpanan dan pendistribusian obat tidak
mempengaruhi kejadian stagnan obat. Agar kejadian stagnan obat dapat diminimalisir,
sebaiknya perencanaan kebutuhan obat dilakukan dengan baik melalui kerjasama antar bidang
khususnya instalasi farmasi dan komite farmasi dan terapi serta didukung oleh ketersediaan
data yang akurat mengenai penggunaan obat. Pencatatan dan pelaporan obat sebaiknya
dilakukan dengan baik dan mengidentiikasi obat stagnan sesuai dengan standar yakni
dilakukan per tiga bulan.
DAFTAR PUSTAKA

Gugum Pamungkas & Dewi N. (2016). Analisis Penyebab Kekosongan Obat Kusta di RS X
Tahun 2014. Jurnal Ilmu Kesehatan, 10(1), 627–638.
Handayani, Tien Wahyu., Asiah Hamzah & Saifudin. (2015). Analisis Pengelolaan Obat di RS
Umum Anuta Pura Palu. Jurnal Perspektif, 1(2).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Pedoman Pengelolaan Perbekalan
Farmasi Rumah Sakit. Jakarta: Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Depkes
RI Bekerja Sama dengan Japan Internatinal Cooperation Agency.
Malinggas, Novianne E, R. (2014). Analysis of Logistics Management Drugs In Pharmacy
Installation District General Hospital Dr. Sam Ratulangi Tondano. JIKMU, 5(2b), 448–
460.
Mellen, R. C. & Pudjirahardjo, W. J. (2013). Faktor Penyebab dan Kerugian Akibat Stockout
dan Stagnant Obat di Unit Logistik RSU Haji Surabaya. Jurnal Administrasi Kesehatan
Indonesia, 1(1), 99–107.
Murtafi'ah, Lailatul., Fitriana, Juliastuti & Imron Wahyu Hidayat. (2014). Analisis
Perencanaan Obat BPJS Dengan Metode Konsumsi di RSUD Tidar Magelang Periode
Juni-Agustus 2014. Jurnal Farmasi Sains dan Praktis. 1(2).
Permenkes. (2016). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2016
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Rumah Sakit.
Priyatna, H. (2010). Analisis Perencanaan dan Pengendalian Obat Kelompok A Pada Analisis
ABC di RS Melati Tangerang. Jurnal Kesmas, 1(17), 27-33.
Satibi. (2014). Manajemen Obat di Rumah Sakit. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sheina, B., Umam, M.R.& Solikhah. (2010). Penyimpanan Obat di Gudang Instalasi Farmasi
RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Unit I. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 4(1), 1-
75.
Suciati, S. (2006). Analisis Perencanaan Obat Berdasarkan ABC Indeks Kritis di Instalasi
Farmasi. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 9(1), 19–26.
Suryantini., Gayatri Citraningtyaz & Sri Sudevi. (2016). Evaluasi Perencanaan dan Pengadaan
Obat Antibiotik Menggunakan Analisis ABC Terhadap Nilai Persediaan di Instalasi
Farmasi RSUP Prof.Dr.R.Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi Unsrat, 5(3).
Haryanti, Dwi., Anugrah Anditya & Richo Andi Wibowo. (2011). Pelaksanaan Pengadaan
Barang/Jasa Secara Elektronik (E- Procarement) Pada Pemerintah Kota Yogyakarta.
Jurnal UGM. 23( 2).
Tabel 1 Karakteristik Informan Penelitian
Umur
No Inisial Pendidikan Jabatan
(Tahun)
Informan
1 KB 56 S2 Kepala Instalasi Farmasi
2 UK 36 S1 Kepala Gudang Obat
3 DH 53 S2 Ketua Komite Farmasi dan
Terapi
4 MS 46 S1 Pejabat Pengadaan
5 AI 40 S2 Kepala Sub Bidang Perencanaan
dan Pengembangan Penunjang
Pelayanan Medik
6 HT 44 S2 Kepala Sub Bagian Keuangan
7 MF 40 S1 Penanggung Jawab Depo/Unit
Pelayanan Rawat Jalan
8 SP 34 S1 Penanggung Jawab Depo/Unit
Pelayanan Rawat Inap
9 AS 33 D3 Petugas Logistik/ Gudang Obat
Sumber : Data Primer, Tahun 2018

Tabel 2 Persentase Dana Yang Tersedia Untuk Anggaran Belanja Obat RSUD Kota
Makassar Tahun 2015-2018
Total Persentase
Anggaran Anggaran Anggaran Obat
No Tahun Belanja Obat RS Belanja RS Dari Total
(Rp) (Rp) Anggaran RS
(%)
1 2015 8.008.097.572 115.850.529.254 6,91%
2 2016 5.204.916.000 132.620.497.000 3,92%
3 2017 5.615.700.000 131.650.190.984 4,27%
4 2018 4.353.580.000 128.712.965.665 3,38%

Rata-Rata 5.795.573.393 127.208.545.726 4,56%

Sumber : Data Primer, Tahun 2018

Tabel 3 Wawancara dan Observasi Sistem Pengadaan Obat RSUD Kota Makassar
Tahun 2018
Hasil
No
Item Observasi Observasi Standar Keterangan
1 Persentase kesesuaian 100% 100% Obat yang
pengadaan dengan digunakan
kenyataan pakai untuk sesuai dengan
masing-masing item obat obat yang
(Indikator Pudjaningsih, diadakan oleh
1996) RS
2 Frekuensi pengadaan tiap rata-rata 4 Rendah < Rendah < 12
item obat (Indikator kali dalam 12 kali/thn kali/thn
Pudjaningsih, 1996) setahun
Hasil
No
Item Observasi Observasi Standar Keterangan
Sedang (rata-rata obat
12-24 diadakan per
kali/thn triwulan hanya
Tinggi jenis obat
>24 tertentu yang
kali/thn diadakan diluar
jadwal
triwulanan
3 Frekuensi kesalahan 0% 0% faktur dikoreksi
faktur (Indikator pada saat
Pudjaningsih, 1996) penerimaan
barang
4 Frekuensi tertundanya tidak 0% sering terjadi
pembayaran oleh rumah sesuai tertundanya
sakit terhadap waktu yang pembayaran
ditetapkan (Indikator untuk obat
Pudjaningsih, 1996) pasien BPJS
karena klaim
lambat
dibayarkan.
Pada tahun
2018
pembayaran
terakhir
dilakukan pada
bulan Januari.
Sumber : Data primer, Tahun 2018

Tabel 4 Observasi Pencatatan dan Pelaporan Obat Menurut Depkes 2010 di RSUD Kota
Makassar Tahun 2018
No Hasil Observasi
Item Observasi Keterangan
Ya Tidak
I Pencatatan
1 Pencatatan √ dilakukan per faktur
penerimaan penerimaan barang dalam
barang buku penerimaan obat dan
SIM RS
2 Pencatatan √ dilakukan untuk per item
dengan kartu obat
stok induk
3 Pelaporan √ tidak dilakukan pelaporan
keuangan obat ke bagian keuangan
4 Mutasi √ dilakukan dalam buku
perbekalan obat catatan SBBK
No Hasil Observasi
Item Observasi Keterangan
Ya Tidak
II Pelaporan
1 Pelaporan √ tidak dilakukan pelaporan
keuangan obat ke bagian keuangan
2 Mutasi √ secara manual maupun
perbekalan obat dalam SIM RS
3 Penulisan resep √ pelaporan tiap hari di unit
generik dan non layanan / depo
generic
4 Pelaporan √ dilakukan setiap bulan
narkotik dan
psikotropik
5 Stok opname √ dilakukan per 3 bulan
6 Pendistribusian, √ dilakukan oleh petugas
berupa jumlah gudang obat secara manual
dan rupiah maupun dalam SIM RS
7 Penggunaan √ dilakukan oleh penanggung
obat program jawab program
8 Pemakaian √ dilakukan pelaporan
perbekalan bagi rekapan resep untuk pasien
masyarakat Jamkesda
miskin

9 Jumlah resep √ dilakukan setiap hari oleh


petugas depo / unit layanan
10 Kepatuhan √ merupakan bentuk supervisi
terhadap kepala instalasi ke petugas
formularium farmasi
11 Penggunaan √ tidak dilakukan tetapi dapat
obat terbesar dilihat pada laporan stok
opname
12 Penggunaan √ laporan harian
antibiotik
13 Kinerja √ dilaporkan setiap bulan ke
bagian mutu
Sumber : Data primer, Tahun 2018
Nama mahasiswa Nurfaisah
Nama program studi Manajemen Administrasi Rumah Sakit
Nama pembimbing/ 1.Dr.dr H. Noer Bahry Noor, M.Sc.
promotor 2. Dr. Masni, Apt.MSPH
3.
Judul Manajemen Obat Terhadap Kejadian Stagnan Obatt d di
Instalasi Farmasi RSUD Kota Makassar
Tanggal pemasukan I
Tanggal pemasukan II
Tanggal pemasukan III

You might also like