You are on page 1of 16

PENGUATAN HAK PENGELOLAAN UNTUK PENGENDALIAN

PEMILIKAN, PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH MENUJU


UNDANG-UNDANG PERTANAHAN YANG RESPONSIF
oleh:
Dr. Ir.Tjahjo Arianto, SH.,M.Hum*1
A. PENDAHULUAN

Keadilan di bidang pertanahan sebenarnya berujud pengakuan


terhadap manusia yang berpijak tanah di atas tanah dan
memanfaatkan tanah untuk mempertahankan hidup, oleh karena
masalah pertanahan merupakan masalah yang sangat menyentuh
keadilan karena sifat tanah yang semakin lama semakin langka dan
terbatas, dan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Reforma
agraria merupakan salah satu kebijakan untuk menuju keadilan di
bidang penguasaan dan pemanfaatan atas tanah. Menurut Maria S.W.
Sumardjono, pusat perhatian dan kebijakan pertanahan merupakan
kemampuan untuk memenuhi keadilan bagi seluruh masyarakat di
dalamnya, upaya perolehan dan pemanfaatan tanah sebagai
kebutuhan yang esensial2.
Upaya dalam rangka mewujudkan keadilan menghadapi masalah
pertanahan, maka pemikiran untuk penerapan hukum responsif yang
bertumpu pada perjuangan mewujudkan keadilan substantif,
hendaknya harus dimulai dari struktur hukumnya3 dalam hal ini oleh
penegak hukum untuk mewujudkan keadilan hukum terhadap

*1 Dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional; Dosen Program Studi Magister Ilmu
Hukum Universitas Atmajaya Jogjakarta; mantan Kasi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah
Kab. Jember, Kab. Sidoarjo, Jakarta Timur tahun 1989 – 1999; Kasi Tata Pendaftaran Tanah
BPN Pusat tahun 1999 – 2001; Kepala Kantor Pertanahan Kab. Jember, Kabupaten Gresik,
Surabaya Timur tahun 2001 – 2009; Kepala Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan BPN
Provinsi Jawa Timur Tahun 2008 – 2010.
2
Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Kompas Media Nusantara, Jakarta
2005, hlm. 19-20.
3
Menurut teori Lawrence M. Friedman

1
penyelesaian masalah pertanahan di Indonesia. Reformasi hukum
pertanahan harus diupayakan dengan sekuat tenaga untuk menyusun
aturan perundangan yang responsif dan mulai meninggalkan cara-cara
yang dipaksakan atau penormaan represif dan otonom.
Hukum responsif akan dengan mudah menjadi norma
masyarakat, hukum adat berkaitan masalah pertanahan yang
merupakan norma masyarakat seharusnya dijadikan hukum positif
bukan dihilangkan.

B. KEBIJAKAN PERTANAHAN PADA MASA ORDE BARU


Ketentuan-ketentuan UUPA yang secara normatif
mengandung sila-sila Pancasila dalam tataran empiris tidak
diimplementasikan secara konsekuen dan konsisten. Hal itu
disebabkan karena kebijakan pertanahan pada masa Orde baru yang
lebih menekankan orientasi pada pertumbuhan ekonomi telah
merubah persepsi tentang fungsi tanah. Orientasi tersebut mendorong
kebijakan pertanahan yang lebih cenderung pro kapital ketimbang pro
rakyat.4
Pemerintahan pada masa orde baru sering mengabaikan hak
dan kepentingan rakyat dengan lebih mengutamakan menyediakan
fasilitas pada golongan ekonomi kuat, pada masa itu tanah yang
semestinya dapat dibagikan kepada petani miskin beralih pemilikan
tanahnya kepada investor dengan status Hak Guna Usaha. Tanpa
terasa semakin hari penguasaan dan pemilikan tanah pertanian
semakin terkonsentrasi pada pemilik modal, semakin luasnya
perkebunan Hak Guna Usaha menambah jumlah petani gurem.
Sejarah mengungkapkan bahwa Hak Erfpach yang merupakan hukum
positif yang pernah diterapkan pemerintah kolonial Belanda telah

4
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
Penerbit Kompas, Jakarta2008, halaman 102.

2
berhasil mengeruk sumber daya alam bumi Indonesia, beberapa
bekas hak erfpach kini telah menjadi Hak Guna Usaha (HGU) yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960.
Apabila dikaji secara mendalam HGU bukan merupakan norma
kehidupan masyarakat Indonesia yang sosialis, HGU seringkali
menjadi akar permasalahan konflik agraria maupun konflik pertanahan
di beberapa daerah dan adanya kekerasan bersenjata terhadap
petani. Namun demikian pada masa orde reformasi masih terasa
nuansa represif pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang
Penanaman Modal.
Dampak kebijakan pertanahan pada masa orde baru dapat
dilihat dari tiga hal, yaitu:
1. Kemunduran kualitas tanah diperparah melalui alih fungsi tanah
pertanian menjadi non pertanian.
2. Fungsi tanah sebagai faktor produksi utama menjadi sarana
investasi dan spekulasi.
3. Perubahan nilai tanah sejalan dengan perkembangan kapitalisme.
Tanah hanya dilihat dari nilai ekonomisnya sebagai komoditas
dengan mengabaikan nilai-nilai non-ekonomis.5
Perubahan nilai dan fungsi tanah sebenarnya telah
diantisipasi oleh UUPA Pasal 13 ayat (2) dan (3) yang menyatakan
bahwa Pemerintah berkewajiban mencegah usaha-usaha dalam
lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta6. Mencegah
terjadinya terjadinya spekulan pemilikan tanah harus melalui sinergi
antara substansi peraturan perundang-undangan yang ada, aparatur
pelaksananya dan sikap masyarakat terhadap pelaksanaan substansi
peraturan perundang-undangan tersebut.

5
Ibid, halaman 103.
6
Ibid, halaman 103

3
C. HAK PENGELOLAAN UNTUK PENGENDALIAN PEMILIKAN
TANAH
Reforma Agraria belum sepenuhnya berjalan dengan baik,
masyarakat sering dengan mudah menyalahkan hukum sebagai
penyebab kegagalan menegakkan keadilan dan menciptakan
ketertiban, namun lupa hukum hanyalah salah satu dari sistem sosial
modern dari empat macam subsistem yang masing-masing terpisah
satu dengan lainnya. Talcott Parsons dan Neil J. Smelser melihat
hukum dari empat sub sistem yaitu: sub sistem ekonomi sebagai
adaptasi yang merupakan fungsi bagaimana masyarakat mengolah
dan memanfaatkan sumber daya di sekitarnya, sub sistem politik
berfungsi untuk pencapaian tujuan, sub sistem sosial sebagai integrasi
berbagai proses hubungan yang terjadi di masyarakat dan sub sistem
budaya sebagai pola pemeliharaan integrasi7.
Parsons dan Smelser dalam paradigma sosial melihat dimensi
keteraturan dari interaksi sosial di antara subsistem di atas, bisa terjadi
karena semua subsistem bersedia mematuhi serangkaian aturan atau
norma hukum yang dianut bersama. Solusi normatif bagi keteraturan
dikembangkan oleh Parsons tersebut mendapat penjelasan dari
Habermas yang menegaskan bahwa bahasa hukum membawa
komunikasi dari ranah publik dan privat ke dalam sebuah bentuk
dimana pesannya bisa diterima pula oleh aturan khusus sistem
tindakan yang dikendalikan oleh diri sendiri, dan begitu pula
sebaliknya8. Menurut perspektif sosial, hukum hanyalah salah satu
dari subsistem sosial yang juga memiliki ketergantungan dengan

7
Talcott Parsons dan Neil J. Smelser, Economy and Society, Routledge and Kegan
Paul, London, 1957, hlm. 14-19, sebagaimana dikutip dari, Jürgen Habermas, Legitimation
Crisis, Beacon Press, 1975, Edisi Indonesia, Krisis Legitimasi, diterjemahkan oleh Yudi
Santoso, Qalam, Yogyakarta, 2004, hlm. 4, 8-9.
8
Jürgen Habermas, Between Facts and Norm, diterjemahkan oleh William Rehg, MIT
Press, Cambridge, hlm. 429, sebagai mana dikutip dari karya Jürgen Habermas, ibid, hlm. 40.

4
subsistem sosial yang lain. Ketidak-mampuan hukum menjalankan
fungsi normatifnya, bukanlah semata-mata berasal dari hukum
tersebut, akan tetapi semuanya merupakan resultan dari kegagalan
berbagai subsistem sosial yang lain9.
Penerapan pandangan Parsons dan Smelser di bidang
pertanahan: Sub sistem ekonomi merupakan adaptasi bagaimana
masyarakat memelihara, memanfaatkan sumber daya tanah secara
efektif dan efisien; Sub sistem politik untuk tujuan tanah dimanfaatkan
secara adil untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tanah untuk
kepentingan investor tidak perlu dengan pengadaan tanah, pengadaan
tanah untuk kepentingan investor hanya akan merugikan pemilik tanah
asal, hal ini jelas jauh dari unsur keadilan, perlu perhatian khusus
terhadap pelaksanaan konsolidasi tanah diatur oleh undang-undang;
Sub sistem sosial sebagai integrasi berbagai peristiwa atau perbuatan
yang berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan tanah sehingga
ada unsur keadilan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
umum; Sub sistem budaya untuk memelihara dan mempertahankan
pola bahwa tanah tetap digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tidaklah adil apabila belum tuntasnya reforma agraria
sepenuhnya dibebankan pada subsistem hukum semata. Perlu
diingatkan kembali bahwa mesin penggerak utama bagi kemajuan
Ilmu Hukum manakala ia dihadapkan pada kenyataan kegagalan
penegakan hukum. Setiap pasal demi pasal dalam Rancangan
Undang-Undang Pertanahan harus secara cermat memperhitungkan
unsur keadilan tidak hanya kepastian hukum dan manfaat, Cita-cita
hukum merupakan jalan menuju kesempurnaan yang memungkinkan
terselenggaranya masyarakat yang tertib dan tercapainya keadilan,
kepastian hukum dan manfaat dalam semua proses hukum, oleh

9
Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia,
Malang, 2007., hlm. 22-23.

5
karena itu setiap dentang lonceng yang dibunyikan untuk menandai
kegagalan hukum mewujudkan cita-cita tersebut, merupakan sebuah
refleksi dan sarana untuk memacu hukum menuju kesempurnaan
yang diharapkan itu10.
Melihat gambaran kinerja berbagai subsistem sosial tersebut,
masyarakat tentu tidak harus berputus asa menghadapi lemahnya
penegakkan hukum pertanahan di Indonesia. Banyaknya sengketa
hukum di bidang pertanahan tidaklah semata-mata akibat kesalahan
sub sistem hukum, juga merupakan resultan dari sub sistem sosial
yang ada di masyarakat sebagaimana teori Parsons dan Smelser.
Fenomena konflik antara petani dan pengelola perkebunan
yang terjadi di beberapa daerah menciptakan ketidakadilan dan tidak
ada kepastian hukum hak atas tanah yang seharusnya diwujudkan
dalam negara hukum. Fenomena sengketa konflik pertanahan
merupakan tidak terpadunya sistem hukum menurut Lawrence M.
Friedman yaitu interaksi antara struktur, subtansi, dan kultur.
Struktur dalam hal ini pelaksana hukum pertanahan dalam hal
ini pejabat dan staf dari Badan Pertanahan Nasional dan instansi
terkait khususnya Kepala Desa atau Lurah. Subtansi merupakan isi
dari hukum yang mengaturnya, antara lain Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
antara lain mengatur tentang Hak Guna Usaha untuk memanfaatkan
tanah secara intensif, di lain pihak untuk maksud yang sama diatur
tentang Hak Pakai di atas Hak Milik.
Kultur dalam hal ini merupakan pandangan atau sikap dan
penilaian masyarakat terhadap hukum, kultur masyarakat Indonesia
masyarakat kalau melihat tanah kosong cenderung menduduki dan
menguasai seperti bantaran sungai dan tanah-tanah bekas

10
Ibid.

6
perkebunan. Banyak terjadi tanah yang diduduki milik pihak lain dan
terkadang sudah terdaftar dengan suatu hak atas tanah. Masyarakat
masih menganggap dengan habisnya Hak Guna Usaha maka tanah
tersebut menjadi tanah yang bebas untuk dimiliki oleh siapa saja yang
menguasai. Sengketa, konflik pertanahan apabila dikaji dengan teori
hukum Lawrence Friedman, merupakan muara tidak terpadunya
sistem hukum, struktur, substansi dan budaya masyarakat.
Kewajiban pemegang Hak Guna Usaha untuk pengembangan
lingkungan (community development) seringkali tidak dipenuhi, hal ini
menjadi embrio pemicu konflik pertanahan. Tidak dijalankannya
pengembangan lingkungan oleh pemegang HGU, salah satu
sebabnya karena adanya unsur spekulan pemilikan tanah, hal ini
dapat dihindari apabila investor di bidang usaha perkebunan ini tidak
perlu pengadaan tanah, cukup dengan perjanjian penggunaan tanah
antara investor dengan pemilik tanah.
Hak Pengelolaan (HPL) menurut A.P Parlindungan sudah ada
sebelum UUPA, bila dikaji dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun
1953 maka HPL sebenarnya merupakan Hak Penguasaan atas tanah
negara yang memberikan kewajiban pemegangnya mempergunakan
tanah sesuai peruntukannya dan pemegang hak dapat memberi ijin
kepada pihak lain untuk mempergunakan dan memanfaatkan tanah
yang setiap waktu dapat dicabut.
Istilah HPL pertama kali disebut dalam Peraturan Menteri
Agraria Nomor 9 Tahun 1965 yang mengatur tentang pelaksanaan
konversi hak penguasaan atas tanah negara dan tanah-tanah
pemerintah yang dikuasai oleh instansi pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah yaitu menjadi hak pakai bila tanah tersebut
digunakan sendiri instansi tersebut dan menjadi hak pengelolaan bila
selain dipergunakan sendiri oleh instansi tersebut dapat diberikan

7
dengan sesuatu hak tertentu kepada pihak ketiga dengan persyaratan
tertentu melalui perjanjian.
Hak Pengelolaan yang semula dimaksudkan sebagai
fungsi/wewenang yang beaspek publik, dalam perjalanan waktu
karena berbagai faktor, antara lain kebutuhan praktis untuk
memberikan landasan pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga
melalui perjanjian dengan pemegang Hak Pengelolaan, maka aspek
publik menjadi kurang menonjol dibandingkan aspek perdatanya.11
Menurut pengamatan penulis HPL dalam pelaksanaannya
sampai saat ini dapat dibagi dalam 2 (dua) kriteria:
1. HPL yang sifatnya sementara artinya setelah di atas HPL
diberikan sesuatu hak kepada pihak ketiga maka selanjutnya
pemegang HPL melepaskan hak keperdataannya sepenuhnya
kepada pihak ketiga tersebut, contohnya HPL untuk mengelola
daerah transmigrasi dan HPL PERUMNAS yang tujuannya
memang untuk penyediaan pemukiman.
2. HPL yang sifatnya merupakan usaha untuk memperoleh
keuntungan dengan adanya perjanjian penggunaan tanah dengan
pihak ketiga, contohnya HPL nya badan usaha milik pemerintah
yaitu PT. JIEP (Jakarta Industrial Estate Pulogadung) dan PT.
SIER (Surabaya Industrial Estate Rungkut) dan beberapa
pertokoan susun ( strata title) dalam hal ini tanah bersamanya di
atas HPL Pemerintah Daerah atau Badan Usaha Milik Negara.
Dua kriteria tersebut jelas dan nyata sekali perbedaannya,
kriteria kedua sering kurang dipahami pembeli toko susun atau
dikenal dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMSRS), karena
Kantor Pertanahan kurang mempertegas informasi pada buku
tanah dan sertipikatnya bahwa tanah bersamanya Hak Guna

11
Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2008, halaman 197

8
Bangunan berada di atas tanah milik Pemerintah DKI Jakarta
dengan Hak Pengelolaan Nomor 123XX dst.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun
meneguhkan kedudukan HPL sebagai hak atas tanah12. Hal ini diatur
pada Pasal 7 ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa:
1) Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah hak milik, hak
guna bangunan, hak pakai atas tanah Negara atau hak
pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2) Penyelenggara pembangunan yang membangun rumah susun di
atas tanah yang dikuasai dengan hak pengelolaan, wajib
menyelesaikan status hak guna banguna di atas hak pengelolaan
tersebut dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
sebelum menjual satuan rumah susun yang bersangkutan.

HPL diakui oleh peraturan perundang-undangan sebagai hak


atas tanah, karena terdapat unsur keperdataan atau kepemilikan
apalagi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara.
Analogi Hak Pakai di atas Hak Milik untuk usaha pertanian dapat
dikembangkan Hak Pakai di atas Hak Pengelolaan (HPL), untuk itu
analogi dengan Hak Milik untuk pemilikan tanah perorangan maka Hak
Pengelolaan dapat ditingkatkan menjadi hak atas tanah karena pada
kenyataannya sementara ini HPL merupakan tanah milik atau aset
pemerintah. Hak Pengelolaan (HPL) yang sering diperdebatkan justru
harus dipertegas menjadi hak atas tanah dengan undang-undang,
demikian juga dengan bank tanah, HPL dapat diberikan kepada
lembaga bank tanah milik Pemerintah. Pemerintah melalui bank tanah
dengan HPLnya akan dapat mengendalikan harga tanah dan
mencegah spekulan-spekulan tanah. Permasalahan yang sering

12
Ibid, halaman 205

9
timbul pada HGB di atas HPL karena HPL oleh beberapa pihak tidak
diakui sebagai hak atas tanah. Usaha pertanian dengan lembaga Hak
Pakai di atas HPL akan mempunyai beberapa keuntungan antara lain:
Meringankan biaya investasi; mencegah investor menjadi spekulan
tanah; memudahkan pengendalian penggunaan tanah dan mencegah
tanah diterlantarkan.
Hapusnya Hak Guna Usaha dari UUPA atau pembatasan HGU
hanya untuk Badan Usaha Milik Negara merupakan solusi untuk
mencapai keadilan di bidang penggunaan, pemanfatan dan pemilikan
tanah. Fenomena yang terjadi tanah pertanian yang di redistribusikan
ke petani dengan hak milik banyak yang dijual, akhirnya tanah tersebut
dibeli investor dan kembali menjadi perkebunan dengan Hak Guna
Usaha, apakah kita akan tetap tidak mau merubah UUPA ?. Apakah
kita tetap membiarkan petani sebagai buruh perkebunan bukan
sebagai pemilik tanah perkebunan?
Tanah pertanian yang diredistribusikan ke petani seyogyanya
dikembalikan menjadi tanah komunal atau pemilikan bersama yang
hanya dapat dimanfaatkan oleh petani setempat dan tidak dapat
dijual atau dilakukan pola kemitraan dengan investor.
Investasi di bidang pertanian diatur dalam UUPA dengan Hak
Pakai di atas Hak Milik dan Hak Guna Usaha. Hak Pakai di atas Hak
Milik untuk usaha pertanian atau perkebunan merupakan alternatif
keadilan di bidang penguasaan, pemanfaatan dan pemilikan tanah,
selama ini Hak Pakai di atas Hak Milik tidak pernah dilaksanakan
karena adanya Hak Guna Usaha.

10
D. PENEGASAN HAK PENGELOLAAN (HPL) MERUPAKAN HAK
ATAS TANAH OLEH PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN

Beberapa pakar hukum agraria, praktisi pejabat Badan


Pertanahan Nasional, advokat ada yang menyatakan bahwa Hak
Pengelolaan bukan hak atas tanah, kajian terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku justru menyatakan sebaliknya.
Penegasan HPL merupakan hak atas tanah antara lain terurai di
peraturan perundang-undangan sebagai berilkut:

PMA 9/1965 mengatur bahwa tanah yang dikuasai oleh instansi


pemerintah terbagi dua yang untuk keperluan sendiri diberikan dengan
Hak Pakai diuraikan pada Pasal 1 sebagai berikut:

Pasal 1

Hak penguasaan atas tanah Negara sebagai dimaksud dalam


Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953, yang diberikan kepada
Departemen-departemen, Direktorat-direktorat dan daerah-daerah
Swatantra sebelum berlakunya Peraturan ini sepanjang tanah-tanah
tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu
sendiri dikonversi menjadi hak pakai, sebagai dimaksud dalam
Undang-Undang Pokok Agraria, yang berlangsung selama tanah
tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang
bersangkutan.

Sedang bila ingin diberikan sesuatu hak kepada pihak ke tiga maka
kepada instansi itu diberikan dengan Hak Pengelolaan diuraikan pada
Pasal 2.

Pasal 2

Jika tanah Negara sebagai dimaksud pasal 1, selain dipergunakan


untuk kepentingan instansi-instansi itu sendiri, dimaksudkan juga
untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka
hak penguasaan tersebut di atas dikonversi menjadi hak pengelolaan

11
sebagai dimaksud dalam pasal 5 dan 6, yang berlangsung selama
tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang
bersangkutan.

Apabila kita perhatikan dalam diktum menimbang PMA no.9/1965


tercantum kalimat :

“maka perlu diberikan penegasan mengenai status tanah-tanah


Negara yang dikuasai dengan hak penguasaan sebagai dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 dan ditentukan pula
kebijaksanaan selanjutnya mengenai hak-hak atas tanah semacam
itu”

Kalimat “hak -hak atas semacam itu” merupakan penegasan terhadap


hak pakai dan hak pengelolaan yang diberikan merupakan hak atas
tanah.

Berikutnya di Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1987


dalam Bab IV tentang PEMBERIAN HAK ATAS TANAH Pasal 12
mengatur sebagai berikut:

Pasal 12

1) Kepada Perusahaan yang seluruh modalnya berasal dari


Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dapat diberikan tanah
Negara dengan Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai menurut kebutuhan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Agraria yang berlaku.
2) Kepada Perusahaan yang didirikan dengan modal Swasta
dapat diberikan tanah dengan Hak Guna Bangunan atau Hak
Pakai menurut kebutuhan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan Agraria yang berlaku.
Judul Bab IV adalah “ PEMBERIAN HAK ATAS TANAH”, Pasal 12
merupakan bagian dari Bab IV dengan demikian bunyi kalimat:
“kepada Perusahaan yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah
dan/atau Pemerintah Daerah dapat diberikan tanah Negara dengan
Hak Pengelolaan” , .......kalimat judul BAB IV dan isi dari Pasal 1 ini

12
menunjukkan dengan jelas dan tegas pengakuan bahwa Hak
Pengelolaan sebagai “hak atas tanah”.

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun


1973 lebih mempertegas lagi tentang Hak Pengelolaan sebagai
berikut:

Pasal 1

Yang dimaksud dalam Peraturan ini dengan:

1. “Hak atas tanah” adalah HAK MILIK, HAK GUNA USAHA,


HAK GUNA BANGUNAN, HAK PAKAI DAN HAK
PENGELOLAAN seperti yang dimaksud dalam Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 6 tahun 1972, tentang Pelimpahan
wewenang Pemberian Hak atas Tanah.
2. “Tanah Negara” adalah tanah yang langsung dikuasai Negara
seperti dimaksud dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
(Lembaran Negara 1960 No. 104);
3. “Tanah Hak” adalah tanah yang telah dipunyai dengan sesuatu
hak sebagai dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.
4. “Pejabat yang berwenang” adalah pejabat-pejabat sebagai
dimaksud dalam Surat
5. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 88/1972 dan Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. /1972.
6. “Pemberian hak atas tanah” adalah pemberian, perpanjangan
jangka waktu dan pembaharuan hak atas tanah.
Di atas Hak Milik dapat diberikan Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai, demikian juga di atas Hak Pengelolaan dapat diberikan
Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Secara analogi hukum bila
pemegang Hak Milik adalah yang punya tanah maka pemegang Hak
Pengelolaan demikian juga yang punya tanah (hak keperdataan).
Secara tidak langsung HPL adalah juga Hak Atas Tanah. Perbedaan
Hak Milik dengan HPL terletak di subjek hukumnya.

13
E. KESIMPULAN
1. Hak Pengelolaan merupakan hak atas tanah yang di dalamnya
terdapat aspek keperdataan;
2. HPL yang bertujuan untuk usaha pemerintah hendaknya
ditingkatkan menjadi Bank Tanah;
3. Ketimpangan struktur pemilikan dan penguasan tanah antara
lain dapat diatasi dengan penghapusan HGU dari UUPA,
sedang investor swasta untuk usaha pertanian cukup dengan
Hak Pakai di atas HPL dari Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, BUMN atau BUMD atau Hak Pakai di atas Hak Milik
banyak petani dengan pola kemitraan.

DAFTAR BACAAN

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum., Chandra Pratama,


Jakarta 1966

Brian H. Bix, A Dictionary of Legal Theory, Oxford University


Press, 2004

Dennis Lloyd, The Idea of Law, Penguin Books,


Harmondsworth, 1964.

Diane Chappelle, Land Law, Pitman, London, 1985

Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, The Philosophy and The


Method of the Law, Harvard University Press, Cambridge,
Massachusetts, 1962.

Edward H. Levy, An Introduction to Legal Reasoning, The


University of Chicago Press, 1974

14
F.H. Lawson & Bernard Rudden, The Law of Property,
Clarendon Press, Oxford, 1982,

Harold J. Berman, Latar Belakang Sejarah Hukum Amerika


Serikat, dalam Talks on American Law, Random House, Inc., Edisi
Indonesia, Ceramah-Ceramah Tentang Hukum Amerika Serikat,
diterjemahkan oleh Gregory Churchill, P.T. Tatanusa, Jakarta, 1996, hl

Iredell Jenkins, Social Order and the Limits of Law, Princeton


University Press, 1986, New Yersey,

Jürgen Habermas, Between Facts and Norm, diterjemahkan


oleh William Rehg, MIT Press, Cambridge, hlm. 429, sebagai mana
dikutip dari karya Jürgen Habermas, ibid, hlm. 40.

J.W. Harris, Law and Legal Science, Clarendon Press,


Oxford,1982,

Jimmy Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers,


Jakarta 2010.

Lawrence M. Friedman, The Legal System : A Social Science


Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975,

Lord Denning, What Next in the Law, Butterworths, London,


1982

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, Antara


Regulasi dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2005

Maria S.W. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak


Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2008,

Philippe Nonet & Philip Selznick, Law and Society in Transition


: Toward Responsible Law, Harper & Row Publisher, New York 1978,

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat,


Perkembangan dan Masalah, Bayumedia, Malang, 2008,.

15
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta,
2002

Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab Tentang Penemuan


Hukum, PT. Citra Aditya Bakti 1993,

Talcott Parsons dan Neil J. Smelser, Economy and Society,


Routledge and Kegan Paul, London, 1957, hlm. 14-19, sebagaimana
dikutip dari, Jürgen Habermas, Legitimation Crisis, Beacon Press,
1975, Edisi Indonesia, Krisis Legitimasi, diterjemahkan oleh Yudi
Santoso, Qalam, Yogyakarta, 2004

Yeheskiel Dror, Law as a Tool of Directed Social Change, A


Framework for Policy-Making, dalam Law and Social Change, Editor :
Stuart S. Nagel, Sage Publications, London, 1970,

16

You might also like