You are on page 1of 67

TESIS

TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR MELASMA DARIPADA


TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid
0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT

ALMOND WIBOWO
NIM: 1090761001

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

i
TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR MELASMA DARIPADA
TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon asetonid
0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT

Tesis untuk memperoleh Gelar Magister


Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana

ALMOND WIBOWO
NIM: 1090761001

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014

ii
Lembar Pengesahan Pembimbing

TESIS INI TELAH DI SETUJUI


TANGGAL 10 OKTOBER 2014

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.kes
NIP : 19461213971071001 NIP : 196105051990022001

Mengetahui

Ketua Program Studi ilmu Biomedik Direktur Program


Program Pascasarjana Universitas Pascasarjana
Udayana,
Universitas Udayana,

Prof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS Prof. Dr. Dr. A. A Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP : 19461213971071001 NIP: 195902151985102001

iii
ii
3

Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai


Oleh Panitia Penguji pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Pada Tanggal 10 OKTOBER 2014

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Penguji :
1. Prof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS
2. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.kes
3. Prof. DR. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And
4. Prof. Dr. IGM. Aman, Sp.FK
5. Prof. Dr.dr. N. Adiputra, M.OH
UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan


Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan
tesis yang berjudul “TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR
MELASMA DARIPADA TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin
0,05%, fluosinolon asetonid 0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT “ dengan
baik.
Tesis ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang dijalani penulis
untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran
Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar
besarnya kepada rof. Dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And, FAACS selaku ketua Program Studi
Ilmu Kedokteran Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Universitas Udayana dan
pembimbing I yang telah memberikan banyak sekali masukan dan bimbingan kepada penulis
selama penyusunan tesis ini. Terima kasih yang sebesar besarnya pula penulis sampaikan
kepada Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.kes selaku Pembimbing II yang dengan penuh
perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis
mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. Dr
I Ketut Swastika, Sp. PD (KEMD) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Magister di Universitas Udayana.
Ucapan terima kasih ini juga di tujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang dijabat oleh Prof. Dr. Dr. A. A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang
diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan yang baik ini penulis mengucakpan rasa
terima kasih kepada Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.SC., Sp.And., Prof. Dr. IGM. Aman,
Sp.FK. dan Prof. Dr.dr. N. Adiputra, M.OH yang telah memberikan saran, masukan dan
koreksi sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
TRANEXAMIC ACID LEBIH MENURUNKAN SKOR MELASMA
DARIPADA TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%,
fluosinolon asetonid 0,01%) PADA PROSES ANTI AGING KULIT

Abstrak
Melasma merupakan suatu penyakit kulit hipermelanosis, didapat, dan letaknya
simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah. Melasma sering
ditemukan pada wanita. Banyak modalitas terapi yang ada akan tetapi tidak satupun
memberikan hasil pengobatan yang memuaskan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberian Tranexamic acid menurunkan
skor MASI lebih banyak dibandingkan dengan Triple combination.
Penelitian ini merupakan eksperimental dengan pre and post test control group
design. Penelitian dilaksanakan pada bulan April – Agustus 2014, melibatkan 45 orang
penderita melasma yang diobati dengan tranexamic acid (dua kali seminggu) sebagai
kelompok terapi dan 45 orang penderita melasma yang diobati triple combination (sekali
sehari) sebagai kelompok kontrol, pengobatan diberikan selama 4 minggu. Terhadap subyek
penelitian dilakukan penilaian Melasma Area and Severity Index (MASI). Hasil pre and post
control pada kelompok tranexamic acid dan triple combination menggunakan uji t-paired.
Nilai MASI sebelum penelitian untuk kelompok Tranexamic acid 8,86 dan kelompok
triple combination 9,09 secara statistik tidak berbeda (p=0,681). Nilai MASI sesudah
penelitian untuk kelompok Tranexamic acid 6,45 dan kelompok triple combination 7,49
secara statistik berbeda secara bermakna (p=0,032). Tranexamic acidsecara statistik lebih
efektif bermakna dibandingkan triple combination dimana lesi melasma setelah 4 minggu
kedepan ditemukan penurunan sebanyak 27,22% pada kelompok terapi, dibandingkan
17.58% pada kelompok kontrol (p=0,032). Penurunan skor MASI baik kelompok terapi
maupun kelompok kontrol yang diukur mulai minggu ke 0 sampai minggu ke 4 secara
bermakna (p=0,001).
Tranexamic acid lebih efektif dibandingkan triple combination dalam pengobatan
melasma.
Kata kunci : Melasma, tranexamic triple combination

vii
6

TRANEXAMIC ACID REDUCE MELASMA SCORE BETTER THAN


TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon
asetonid 0,01%) IN ANTI AGING PROGRES

Abstract

Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis that occurs on sun-exposed


facial areas. Melasma is frequently observed among women. Many modalities of treatment are
available but none is satisfactory.

The aim of this study is to determine tranexamic acid administration lowered MASI scores
more than the triple combination.

This eksperiment use pre and post test control group design and was conducted from April to
August 2014, 90 female patients with epidermal melasma were divided into two groups of 45 each.
One group received tranexamic acid (twice a week). The other, a control group, received a topical
triple combination (once daily) for 4 weeks. Evaluation using Melasma Area and Severity Index
(MASI) score. The test is using t-paired for pre and post test both group.

Pre test score for tranexamic acid was 8,86 and triple combination group was 9,09 and
statistically not different (p=0,681). Post test score for tranexamic acid was 6,45 and for triple
combination group was 7,49 which means statistically different (p=0,032). Tranexamic acid was
significantly more effective than triple combination cream week 4 onwards. lesion were decrease in
27,22% of tranexamic acid, compared to 17,58% of those who used triple combination cream
(p=0,032). All 90 patients showed marked improvement, as calculated by the MASI score before and
after treatment, and the response was highly statistically significant (p=0,001).

Tranexamic acid was more effective than triple combination cream in the treatment of
melasma.
Keywords : Melasma, tranexamic acid, triple combination cream
7

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...........................................................................................
1.3 Tujuan penelitian ............................................................................................
1.4 Manfaat Penelitian .........................................................................................
1.4.1 Manfaat Ilmiah .................................................................................................
1.4.2 Manfaat Aplikasi ..............................................................................................
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................................
2.1 Melasma ...........................................................................................................
2.1.1 Pendahuluan ......................................................................................
2.1.2 Epidemiologi .....................................................................................
2.1.3 Etiologi ..............................................................................................
2.1.4 Patogenesis ........................................................................................
2.1.5 Gambaran klinis ................................................................................
2.1.6 Penunjang ..........................................................................................
2.1.7 Diagnosa banding ..............................................................................
2.1.8 Penatalaksanaan ................................................................................
2.2 Tranexamic acid ...............................................................................................
2.3 Triple combination ...........................................................................................
2.3.1 Mekanisme kerja ...............................................................................
2.3.2 Cara kerja ..........................................................................................
2.3.3 Efek samping ....................................................................................
2.4 Tabir surya .......................................................................................................
2.5 Evaluasi hasil pengobatan ................................................................................
2.5.1 Teknik Evaluasi subjektif .................................................................
2.5.2 Teknik Evaluasi Objektif ...................................................................
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN ..........
3.1 Kerangka berpikir .............................................................................................
3.2 Konsep .............................................................................................................
3.3 Hipotesis penelitian ..........................................................................................
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................................
4.1 Desain Penelitian .............................................................................................
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ..........................................................................
4.3 Populasi dan Basar Sampel ...............................................................................
4.3.1 Populasi Target .................................................................................
4.3.2 Populasi Terjangkau ..........................................................................
4.3.3 Sampel ...............................................................................................
4.4 Cara pengambilan sampel ................................................................................
4.5 Kriterian Inklusi Ekslusi ...................................................................................
4.5.1 Kriteria Inklusi ...................................................................................
4.5.2 Kriteria Ekslusi ..................................................................................
4.6 Variabel Penelitian ...........................................................................................
4.6.1 Klasifikasi Variabel ..........................................................................
4.6.2 Definisi Variabel ...............................................................................

ix
8

4.7 Prosedur Pelitian ..............................................................................................


4.7.1 Alat dan Bahan ..................................................................................
4.7.2 Perhitungan dosis ..............................................................................
4.7.3 Prosedur .............................................................................................
4.8 Alur Penelitian .................................................................................................
4.9 Analisis Data ....................................................................................................
BAB V HASIL PENELITIAN ..........................................................................................
5.1 Uji Normalitas Data .........................................................................................
5.2 Uji Homogenitas Data ......................................................................................
5.3 Skor MASI .......................................................................................................
5.3.1 Analisis Komparabilitas ....................................................................
5.3.2 Analisis efek pemberian tranexamic acid + tabir surya ....................
5.3.3 Analisis efek perlakuan pada masing-masing kelompok ..................
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ............................................................
6.1 Subyek Penelitian .............................................................................................
6.1.1 Kelompok usia....................................................................................
6.1.2 Pekerjaan ...........................................................................................
6.1.3 Faktor predisposisi .............................................................................
6.2 Distribusi Data Hasil Penelitian .......................................................................
6.3 Pengaruh Tranexamic Acid terhadap Penurunan Skor MASI .........................
6.4 Efek Samping ....................................................................................................
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................................
7.1 Simpulan………………………………………………………………………
7.2 Saran………………………………………………………………………… .
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………
LAMPIRAN ......................................................................................................................

x
9

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penuaan merupakan proses yang melibatkan faktor fisik, psikis, dan social
yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, tetapi bukan berarti proses penuaan
harus menurunkan kualitas hidup kita. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan
yang berkaitan dengan kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM),
diharapkan proses penuaan dapat dicegah, sehingga kesehatan dan kualitas hidup
manusia semakin bertambah baik.
Penuaan dapat didefinisikan sebagai suatu proses penurunan fungsi organisme
yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu. Penuaan merupakan hasil dari
perubahan struktur dan fungsi sel suatu organisme dalam suatu periode. Proses
penuaan menyebabkan meningkatnya kerentanan terhadap suatu penyakit bahkan
kematian (Wihandani, 2009). Penurunan fungsi berbagai organ tubuh tersebut
mengakibatkan muncul berbagai tanda dan gejala proses penuaan, baik itu tanda fisik
maupun psikis. Tanda fisik pada proses penuaan seperti pertumbuhan warna kulit
berlebih, massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, daya ingat
berkurang, fungsi seksual terganggu, kemampuan kerja menurun dan sakit tulang.
Penuaan kulit atau biasa disebut dengan skin aging memiliki berbagai tanda,
salah satunya adalah kelainan pigmentasi kulit. Kelainan paling banyak kita jumpai
adalah melasma. Tanda tanda proses penuaan kulit yang lainya dapat berupa kulit
menjadi lebih tipis, kering dan keriput pada daerah wajah.
Proses tidak meratanya pertumbuhan warna kulit atau melanogenesis paling
utama disebabkan karena proses penuaan kulit dan diperparah dengan kondisi iklim
di indonesia yang membuat proses melanogenesis makin tidak teratur.
Melasma berasal dari bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma
merupakan kelainan hiperpigmentasi, berupa makula coklat terang sampai kehitaman
dengan pinggir iregular, berbentuk simetris pada daerah yang sering terpapar sinar
matahari, terutama wajah (Lapeere , 2008). Melasma semakin banyak terbentuk pada
pria maupun wanita berusia lanjut, hal ini dikarenakan fungsi perlindungan kulit
terhadap paparan sinar matahari mulai berkurang.

1
10

Melasma paling sering diderita wanita usia reproduksi, sedangkan pria 10%
dari keseluruhan kasus. Melasma dapat terjadi pada semua ras, akan tetapi paling
sering mengenai individu berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV, V, VI), yaitu
bangsa Hispanik, Asia Timur dan Selatan yang merupakan daerah dengan radiasi
sinar ultraviolet (UV) yang tinggi (Chan, 2008).

Meskipun penyebab pasti melasma masih kurang dimengerti, terdapat banyak


faktor yang terlibat dalam etiopatogenesis melasma diantaranya faktor endokrin,
predisposisi genetik, radiasi sinar matahari dan faktor lainnya seperti pemakaian
bahan kosmetika tertentu, obat-obatan (bersifat fototoksik dan fotoalergik,
antikonvulsi), defisiensi nutrisi dan idiopatik (Cestari, 2007).

Ada tiga bentuk klinis berdasarkan distribusi pigmen pasien melasma. Bentuk
sentrofasial (63%), malar (21%) dan mandibular (16%). Jumlah makula
hiperpigmentasi bervariasi mulai dari lesi tunggal sampai multipel (Rigopoulos,
2007).

Meskipun melasma tidak mempunyai risiko secara medis, tetapi melasma


dapat mengganggu penampilan wajah, hal ini secara emosional sangat mengganggu
penderita dan juga menjadi masalah sosial di berbagai negara (Cestari, 2007). Apabila
seseorang mendapat melasma maka mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk
mengalami rekurensi (Bauman, 2003). Melasma juga merupakan kelainan yang sulit
diobati dengan pengobatan yang ada, meskipun salah satu kunci keberhasilan
pengobatan telah dilakukan (pemakaian tabir surya dan menghindari paparan sinar
matahari) (Bauman, 2003).Saat ini belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif
untuk pasien melasma secara keseluruhan. Pengobatan yang ada memiliki efektifitas
yang bervariasi terhadap depigmentasi (Rigopoulos, 2007).

Mengingat akan pentingnya bagi pasien dan para dokter untuk mengobati
kelainan ini, berbagai pengobatan terbaru telah digunakan untuk mengobati melasma
(Cestari, 2007). Sasaran pengobatan melasma harus bertujuan memperlambat
proliferasi melanosit, menghambat pembentukan melanosom dan meningkatkan
degradasi melanosom (Bauman, 2002). Hal ini dapat tercapai melalui inhibisi
aktivitas melanosit, inhibisi sintesis melanin, menghilangkan / mendestruksi melanin
dan mengganggu granul-granul melanin. Menghindari paparan langsung sinar
matahari dan pemakaian tabir surya berspektrum luas terhadap radiasi sinar UV
(UVA dan UVB), menghentikan pemakaian kontrasepsi oral, suntik, dan susuk, atau
bahan-bahan yang mengandung estrogen-progesteron dan menghindari produk-
produk kosmetika wajah yang mengandung pewangi. Selain dari penggunaan obat-
obat depigmentasi seperti hidrokuinon, tretinoin, kortikosteroid dan tranexamic acid,
pengelupasan secara kimia, dermabrasi, serta laser yang dapat digunakan sebagai
monoterapi atau kombinasi (Menter, 2004).

Efikasi pengobatan monoterapi yang kurang dan tidak dapat diprediksi pada
melasma menyebabkan berkembangnya bahan-bahan terapeutik kombinasi,
diantaranya formula Kligman. Pigmentary Disorders Academy (PDA) berpendapat
bahwa terapi triple combination (TC) topikal yang telah paten harus diberikan sebagai
terapi lini pertama untuk melasma. Saat ini, kebutuhan akan fixed combination
therapy yang stabil telah tercapai dengan ditemukannya krim TC yang mengandung
hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01% (Katsambas, 2002).
Tetapi pengobatan dengan krim TC ini juga tidak luput dari efek samping, seperti
kulit kemerahan, tingkat eksfoliasi kulit yang terkadang berlebihan. Hal ini akan
memberikan dampak kulit menjadi lebih fotosensitif terhadap cahaya matahari, yang
tidak menutup kemungkinan akan mempermudah orang mengalami melasma itu
sendiri.

Penelitian Chan (2005) terhadap pasien melasma derajat sedang sampai berat
yang diobati dengan terapi TC menunjukkan adanya perbaikan derajat keparahan
melasma berdasarkan investigator’s assessment of Global Severity Score dan
penurunan skor MASI (Melasma Area Severity Index). Penelitian ini juga melaporkan
adanya efek samping ringan seperti eritema, iritasi, eksfoliasi dan perasaan tidak
nyaman di kulit.

Pada awal 2011, terdapat berbagai teori dan penelitian penggunaan tranexamic
acid injeksi terhadap wanita dengan melasma tipe epidermal (wu, 2011). Ini yang
menjadi dasar untuk membandingkan pengobatan antara penggunaan Injeksi dan
penggunaan obat topikal, dimana akan terlihat perlakuan mana yang memberikan
perubahan yang lebih cepat pada area hiperpigmentasi yang diterapi.
Berbagai sumber teori mengungkapkan bahwa tranexamic acid bekerja sangat
baik untuk mengatasai masalah hiperpigmentasi. Tranexamic acid bekerja pada
tingkat pertama proses melanogenesis, yaitu pada proses menghambat hidroksilasi
tirosin menjadi DOPA. Dengan makin sedikitnya jumlah DOPA di kulit, proses
terbentuknya melanin yang berlebih di kulit akan sangat jauh berkurang. Ini kelebihan
tranexamic acid dibandingkan dengan triple combination yang bekerja pada tahap ke
2 melanogenesis, dimana telah terbentuk DOPA yang merupakan cikal bakal dari
melanin kulit. Tranexamic acid memberikan efek samping yang minimal, tanpa iritasi
dan tanpa proses eksfoliasi, sehingga lebih nyaman untuk digunakan tanpa
meningkatkan resiko fotosensitivitas kulit penderita (Chan , 2008).

Pengobatan yang ideal seharusnya mempunyai efek yang kuat, cepat, dan
permanen dan tanpa efek samping (Balkrishnan, 2003). Atas pertimbangan hal di atas
maka perlu kiranya dilakukan penelitian lanjutan tentang pengobatan melasma dengan
tranexamic acid

1.2 Rumusan masalah


Apakah pemberian tranexamic acid lebih menurunkan skor MASI daripada
triple combination?

1.3 Tujuan penelitian


Untuk mengetahui pemberian Tranexamic acid lebih menurunkan skor MASI
daripada Triple combination.

1.4 Manfaat penelitian


1.4.1Manfaat ilmiah
Akan menjadi data bagi penelitian selanjutnya dalam hal penanganan
melasma.
1.4.2Manfaat aplikasi
Akan membuka wawasan mengenai penanganan melasma yang lebih efektif..
13

BAB II KAJIAN
PUSTAKA

2.1 Melasma
2.1.1 Pendahuluan
Proses penunaan pada kulit dapat berupa berbagai macam permasalahan,
seperti warna kulit yang berlebih, kondisi kulit yang mengering dan menipis, kerutan,
bahkan atrofi kulit. Proses penuaan kulit yang paling banyak terdapat di Indonesia
adalah penimbunan warna kulit yang berlebih atau melasma. Sekarang ini makin
banyak orang yang semakin perduli terhadap masalah penuaan kulit ini terutama
melasma, sehingga harus diatasi dengan cara yang paling efektif.
Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang sangat sering dijumpai,
bersifat didapat, dengan distribusi simetris pada daerah yang sering terpapar sinar
matahari dan biasanya dijumpai pada wanita usia reproduksi. Melasma muncul dalam
bentuk makula berwarna coklat terang sampai gelap dengan pinggir yang iregular,
biasanya melibatkan daerah dahi, pelipis, pipi, hidung, di atas bibir, dagu, dan
kadang-kadang leher. Meskipun melasma dapat mengenai semua orang, akan tetapi
lebih sering pada wanita Asia dan Hispanik berkulit gelap (Lapeere, 2008).

2.1.2 Epidemiologi
Insiden pasti melasma masih belum diketahui. Banyaknya bahan-bahan
pemutih yang dijual bebas berpengaruh terhadap keterbatasan insiden pasti yang
sebenarnya (Chan, 2008). Diperkirakan di Amerika Serikat, sekitar 5-6 juta wanita
menderita kelainan ini. Prevalensi melasma pada kulit Asia tidak diketahui akan tetapi
diperkirakan berkisar 40% terjadi pada wanita dan 20% pada pria (Chan, 2008).

Melasma terutama mengenai wanita usia reproduksi, sedangkan pria hanya


10% dari keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran
yang sama seperti pada wanita (Rigopoulos, 2007). Penelitian oleh Goh (1999) di
Singapura mendapatkan rasio melasma antara wanita dan pria sebesar 21:1. Di
Indonesia perbandingan kasus melasma antara wanita dan pria adalah 24:1, terbanyak
pada wanita usia subur berusia 30-44 tahun dengan riwayat terpapar langsung sinar
matahari. Sudharmono (2004) di Jakarta, dari 145 pasien melasma hampir seluruh

5
pasien berjenis kelamin wanita (97,93%), kecuali 3 pasien berjenis kelamin pria
(2,07%).

Meskipun melasma dapat mengenai semua ras akan tetapi paling sering
dijumpai pada ras berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV-VI) terutama pada wanita
ras Asia dan Hispanik yang tinggal pada daerah dengan radiasi ultraviolet yang tinggi.
Pada wanita ras Latin, melasma lebih sering terjadi pada tipe kulit III-IV.

2.1.3 Etiologi

Etiologi melasma masih belum dimengerti. Adapun faktor-faktor yang


berperan dalam patogenesis melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi
genetik, paparan radiasi UV, dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor yang terlibat
lainnya adalah kandungan tertentu yang terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi,
obat-obat yang bersifat fototoksik, dan fotosensitif atau fotoalergik, dan obat-obatan
antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari akan ikut terlibat
dalam patogenesis melasma (Rigopoulos, 2007). Dari sekian banyak faktor etiologi
yang berhubungan dengan melasma, paparan sinar matahari terlihat sangat berperan
penting. Penelitian oleh Sanchez (2005) semua pasien yang bertempat tinggal di
Puerto Rico dan sebagian besar onset melasmanya terjadi selama musim panas, pasien
merasa pada musim dingin melasma mereka nyata berkurang. Pasien ini juga
mengatakan bahwa paparan sinar matahari akan memperparah melasma mereka.
Pathak (2006) memperkirakan bahwa pengaruh genetik dan paparan sinar matahari
adalah yang sangat berperan. Beberapa dari faktor-faktor tersebut telah diobservasi
sedangkan yang lainnya telah dilakukan uji klinis. Kira-kira sepertiga kasus melasma
pada wanita, dan sebagian besar pada pria adalah idiopatik.

2.1.4 Patogenesis

Patogenesis melasma selalu digunakan dalam pelaksanaan proses diagnosis


maupun proses pengobatan. Pengetahuan tentang patogenesis melasma banyak
berkaitan dengan biologi, biokimia, patofisiologi dan patologi dari proses pigmentasi
kulit, baik di tingkat selular, biomolekular dan jaringan kulit. Juga berhubungan
langsung dengan faktor penyebab melalui beberapa mekanisme yang bersifat spesifik.
15

A. Sistem Pigmentasi Kulit

Sistem pigmentasi manusia terdiri dari 2 (dua) tipe sel, yaitu melanosit dan
keratinosit beserta komponen selular yang berinteraksi membentuk hasil akhir yaitu
pigmen melanin (Jimbow, 2001). Melanosit yaitu suatu sel eksokrin, yang berada di
lapisan basal epidermis dan matriks bulbus rambut. Setiap melanosit lapisan basal
dihubungkan melalui dendrit-dendrit melanosit dengan 36 keratinosit yang berada
pada lapisan malphigi epidermis, ini yang disebut dengan unit melanin lapisan
epidermal. Melanosit memproduksi tirosinase dan melanosom. Di dalam melanosit di
produksi dua subtipe melanin, eumelanin dan feomelanin. Tirosinase berperan dalam
pembentukan dua subtipe melanin tersebut (Jimbow, 2001).
Tirosin

hidroksilasi

3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA)

oksidasi enzim tirosinase

DOPAquinon

Pembentukan melanin di dalam melanosom

Bermigrasi ke dalam dendrit-dendrit dari melanosit

setiap melanosit berhubungan dengan beberapa


keratinosit

Unit Melanin Epidermal


*
Skema 2.1. Pigmentasi kulit
16

Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dari


polimerisasi dan oksidasi pada proses melanogenesis. Terdapat 2 pigmen
melanin yaitu, eumelanin (coklat-hitam) dan feomelanin (kuning-merah).
Eumelanin bersifat lebih dominan (koesoema, 2005). Melanin ditransfer dari
melanosit ke epidermis melalui keratinosit. Degradasi melanosom dilakukan
oleh asam hidrolase lisosom selama keratinosit naik menuju permukaan
epidermis, dan akhirnya melanin hilang bersama lepasnya stratum korneum.
Jika terdapat inflamasi kulit dan kemudian kerusakan selular, beberapa
melanosom masuk ke dalam dermis dan ditangkap oleh makrofag, maka sel-
sel ini yang kemudian dikatakan sebagai melanofag.

Karakteristik keadaan untuk melasma yaitu terjadi kelainan proses


pigmentasi berupa hipermelanosis epidermal, yang disebabkan oleh
peningkatan produksi melanin tanpa perubahan jumlah melanosit, dengan
mekanisme peningkatan produksi melanosom, peningkatan melanisasi dari
melanosom, pembentukan melanosom yang lebih besar, peningkatan
pemindahan melanosom ke dalam keratinosit, dan peningkatan ketahanan
melanosom dalam keratinosit.

B. Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma

a). Faktor Endokrin

Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain :


Melanin Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan
progesteron (Koesoema, 2005).

Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis


melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas
adenylcyclase untuk membentuk c-AMP dan akan meningkatkan
pembentukan tirosinase melanin dan penyebaran melanin. Hipermelanosis
yang difus berhubungan dengan insufisiensi korteks adrenal. Peningkatan
MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari akan terjadi bila
17

kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme


inhibisi umpan balik.

Estrogen dan progesteron baik natural maupun sintetis diduga sebagai


penyebab terjadinya melasma oleh karena sering berhubungannya dengan
kehamilan, penggunaan obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan
progesteron, penggunaan estrogen konjugasi pada wanita postmenopause
dan pengobatan kanker prostat dengan dietilbestrol. Meskipun peran
estrogen dalam menginduksi melasma belum diketahui, namun dilaporkan
bahwa melanosit yang mengandung reseptor estrogen menstimulasi sel-sel
tersebut menjadi hiperaktif.

Peranan hormon estrogen dan progesteron pada kehamilan yang


disertai melasma juga belum diketahui dengan pasti. Pathak (2006)
berpendapat bahwa melasma tidak akan hilang setelah proses kelahiran atau
penghentian penggunaan obat kontrasepsi. Kelainan ini dapat memudar
akan tetapi lebih sering persisten untuk jangka waktu yang lama, dan timbul
kembali pada kehamilan berikutnya. Dari penelitian ternyata 77% wanita
yang menderita melasma karena pemakaian pil kontrasepsi, juga menderita
melasma gravidarum. Pada penelitian Iraji di Iran menunjukkan dari 230
wanita hamil, 27,6% menderita melasma. Penelitian di Pakistan
menyatakan dari 140 wanita hamil, 46,4% menderita melasma dan pada
satu penelitian di Perancis oleh (Estev, 1994) pada 60 wanita hamil, di
laporkan prevalensi sebanyak 5% (n=3). Prevalensi melasma pada
penelitian lainnya dilaporkan sebanyak 50-70%. Pada mamalia, hormon
pituitari dan ovarium merangsang terjadinya melanogenesis.

Walaupun estrogen disangka memegang peranan penting dalam


etiologi melasma, terdapat insiden yang rendah diantara para wanita
postmenopause yang mendapat terapi pengganti (Torok, 2005).

Perez (2009) mengevaluasi profil endokrinologik pada 9 wanita


dengan melasma idiopatik dan menemukan adanya peningkatan level
leutinizing hormon (LH) dan level estradiol serum yang rendah,
abnormalitas diduga akibat adanya disfungsi ovarium ringan. Pada 15
pasien pria dengan melasma idiopatik juga menunjukkan profil hormon
18

yang abnormal, dengan peningkatan level sirkulasi LH dan level testosteron


serum yang rendah dibanding kontrol, mungkin oleh karena testicular
resistance.

Di samping itu juga terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit


autoimun tiroid dengan melasma. Penelitian oleh Lutfi pada tahun 2004
pada 108 wanita yang tidak hamil dan menemukan hubungan yang
bermakna antara penyakit tiroid autoimun dan melasma, terutama pada
wanita yang penyakit tersebut didapat pada saat hamil atau setelah
menggunakan obat kontrasepsi oral. Pada penelitian ini penderita penyakit
tiroid empat kali lebih besar menderita melasma (n=84) dibanding kontrol
(n=25).

b). Predisposisi Genetik

Faktor genetik dan ras mempunyai kontribusi bermakna terhadap


patogenesis melasma, seperti yang diduga pada kajadian melasma familial
bahwa penyakit ini jauh lebih sering ditemukan pada ras Hispanik, Latin,
Oriental dan Indo-Cina. Faktor predisposisi genetik pada melasma sering
dijumpai pada penderita dengan tipe kulit III-VI.

Orang-orang yang berkulit coklat terang dari daerah yang banyak


mengandung sinar matahari, menunjukkan lebih dari 30% penderita
melasma mempunyai riwayat keluarga dengan melasma juga. Pada kembar
identik pernah dilaporkan menderita melasma, sementara saudara kandung
lain dengan kondisi yang sama tidak menderita melasma. Penelitian
Rikyanto (2003), pasien melasma yang terjadi pada usia 21-30 tahun
kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik. Melasma terjadi pada usia
lebih muda bila terdapat riwayat melasma dalam keluarga. Meskipun telah
dilaporkan beberapa kasus yang familial, bukti bahwa melasma dapat
diturunkan sangat lemah.

Faktor genetik melibatkan migrasi melanoblas dan perkembangan serta


diferensiasinya di kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom,
aktivitas tirosinase dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah
kontrol genetik (Damayanti, 2004).
19

c). Faktor Paparan Sinar Matahari

Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini
berlaku untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah
parah apabila terpapar sinar matahari. Eksaserbasi melasma hampir pasti di
jumpai setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi
melasma akan memudar selama musim dingin. Lipid dan jaringan tubuh
(kulit) yang terpapar dengan sinar, terutama UV dapat menyebabkan
terbentuknya singlet oxygen dan radikal bebas yang merusak lipid dan
jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan menstimulasi melanosit untuk
memproduksi melanin yang berlebihan.

Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko


dalam pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320 nm dan UVA 320-400
nm. Semakin kuat UVB maka akan semakin menimbulkan reaksi di
epidermis, dengan perkiraan 10% dapat mencapai dermis, sementara 50%
UVA akan mencapai dermis. Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang
merupakan penghambat tirosinase sehingga dengan adanya sinar UV, enzim
tirosinase bekerja secara maksimal dan memicu proses melanogenesis
(Jimbow, 2001). Pada mekanisme perlindungan alami terjadi peningkatan
melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning
cepat dan lambat sebagai respon terhadap radiasi UV. Ultraviolet A
menimbulkan reaksi pigmentasi cepat. Reaksi cepat ini merupakan
fotooksidasi dari melanin yang telah ada, dan melanin hasil radiasi UVA
hanya tersebar pada stratum basalis. Pada reaksi pigmentasi lambat yang
disebabkan oleh UVB, melanosit mengalami proliferasi, terjadi sintesis dan
redistribusi melanin pada keratinosit disekitarnya. Melasma merupakan
proses adaptasi melanosit terhadap paparan sinar matahari yang kronis

Terjadinya melasma pada daerah wajah karena memiliki jumlah


melanosit epidermal yang lebih banyak dibanding bagian tubuh lainnya dan
merupakan daerah yang paling sering terpapar sinar matahari. Interaksi
antara faktor sinar matahari dan berbagai hormon terjadi di perifer,
kemudian bersama-sama mempengaruhi metabolisme melanin di dalam
melanoepidermal unit.
20

d). Faktor Kosmetika

Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan


faktor positif dan negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit
seseorang dapat menimbulkan efek kosmetik. Penelitian Tranggono pada
bulan Januari sampai Desember 1978 terhadap 244 pasien di RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta yang menderita noda-noda hitam, 18,3%
diantaranya disebabkan oleh kosmetik. Bahan kosmetika yang
menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal dari bahan iritan
atau photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak,
minyak mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III,
para-fenilen diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik. Melasma yang
terjadi biasanya difus dengan batas tidak jelas dan akan lebih jelas bila
terkena sinar matahari.

Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan


sinar matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian
terbentuk hapten yang akan bergabung dengan protein karier dan memicu
terjadinya respon imun. Mediator inflamasi yang mempunyai kemampuan
dan D4. Sedangkan
merangsang prolifersi melanosit yaitu leukotrien C4

sitokin dan interleukin (IL)-1 α, IL6, Tumor Necrosing Factor (TNF) α


menghambat proliferasi melanosit.

Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal


dan edema kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas
dan multiplikasi lamina basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap
pemberian bahan-bahan kimia ini menunjukkan adanya degenerasi dan
regenerasi sel basal. Dalam proses ini melanosom dalam keratinosit yang
mengalami degenerasi berpindah ke dermis dan terjadilah inkontinensia
pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal.
21

e). Faktor Obat-obatan

Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari


keseluruhan kasus hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi
yang diinduksi oleh obat ini bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab
pengobatan dan melibatkan akumulasi melanin, diikuti dengan peradangan
kutaneus yang non spesifik dan sering diperparah dengan paparan sinar
matahari. Biasanya obat-obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis
bagian atas secara kumulatif, dan juga dapat merangsang melanogenesis
(Nasution, 1998).

Beberapa obat yang dapat merangsang aktivitas melanosit dan


meningkatkan pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang sering
terpapar sinar matahari yaitu, obat-obat psikotropik seperti fenotiazin
(klorpromazin), amiodaron, tetrasiklin, minosiklin, klorokuin, sitostatika,
logam berat, arsen inorganik, dan obat antikonvulsan seperti hidantoin,
dilantin, fenitoin dan barbiturat.

2.1.5 Gambaran Klinis

Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan
pinggir iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan pola
retikular. Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu sentrofasial
(63%) mengenai daerah pipi, dahi, hidung, di atas bibir dan dagu, merupakan bentuk
yang paling sering ditemukan, malar (21%) mengenai pipi dan hidung, dan
mandibular (16%) mengenai ramus mandibula. Melasma tidak mengenai membran
mukosa. Jumlah makula hiperpigmentasi berkisar antara satu lesi sampai multipel
dengan distribusi simetris.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


A. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan
fungsi endokrin, tiroid dan hepatic.
22

B. Pemeriksaan histopatologis
Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal.
Terdapat tiga gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal, dan
campuran. Pada melasma tipe epidermal, yang terlihat berwarna kecoklatan, terdapat
peningkatan melanin di lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah dan aktivitas
melanosit masih diamati seiring dengan meningkatnya transfer melanosom ke
keratinosit. Tipe epidermal lebih responsif terhadap pengobatan. Pada melasma tipe
dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen melanin yang diproduksi
oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan diambil oleh makrofag
(melanofag), dimana sering berkumpul disekitar pembuluh darah kecil dan dilatasi.
Pada melasma tipe campuran ditandai dengan adanya deposisi pada lapisan dermal
dan epidermal.

C. Pemeriksaan lampu Wood

Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi


sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat menentukan
pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan lokalisasi
pigmen, sebelum diterapi maka pasien harus diperiksa dengan menggunakan lampu
Wood.

Lawrens (1997) berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak


dapat membantu meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada
melasma. Hal ini dikarenakan oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki
tipe melasma campuran dermal-epidermal. Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap
berguna untuk menentukan prognosis dari pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi
terlihat lebih jelas dengan pemeriksaan lampu Wood maka kesempatan lebih baik
bagi perbaikan klinis.

Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood, secara klasik melasma dapat


diklasifikasikan menjadi :
23

a). Tipe Epidermal

Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah


lampu biasa dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang
kontras antara daerah yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal. Sebagian
besar pasien melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan
hiperpigmentasi tipe epidermal memiliki respon yang lebih baik terhadap
bahan-bahan depigmentasi.

b). Tipe Dermal

Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan


apabila dilihat dibawah lampu biasa dan dengan lampu Wood tidak
memberikan warna kontras pada lesi. Pada tipe ini, eliminasi pigmen
bergantung pada transport melalui makrofag dan keadaan ini tidak mampu
dicapai oleh bahan-bahan depigmentasi.

c). Tipe Dermal-Epidermal (Campuran)

Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan


lampu biasa dan dengan lampu Wood terlihat pada beberapa daerah lesi akan
tampak warna yang kontras sedangkan pada daerah yang lain tidak.

d). Tipe Indeterminate

Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe
V danVI) dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna
abu-abu gelap namun sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang
timbul.

2.1.7 Diagnosis Banding

Melasma dapat didiagnosis banding dengan Hipermelanosis postinflamasi, Efelid,


Solar lentigo, Lentigo simpleks, Nevus ota, Acquired bilateral naevus of ota-like
macules, Erythose peribuccale pigmentaire of Brocq, Erythromelanosis follicularis
faciei et colli, Poikiloderma of civatte, Melanosis Riehl, Dermatitis Berloque, Makula
Café au lait, Keratoses seboroik, Liken planus aktinik, Hiperpigmentasi periorbita.
24

2.1.8 Penatalaksanaan

Pengobatan melasma dapat dilakukan dengan cara topikal menggunakan


bahan-bahan pemutih yang dibagi dalam tiga kategori yaitu senyawa fenolik
(hidrokuinon), senyawa non fenolik (asam azelaik, tretinoin, asam kojik, asam L-
askorbat, kortikosteroid, vitamin E, dan thrioctic acid) dan formula kombinasi
(formula Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof).

Selain itu pada kasus-kasus yang sulit diobati dapat digunakan pengobatan
dengan pengelupasan kimia yaitu dengan asam glikolik (GA), asam trikloroasetat
(TCA), asam salisilat, tretinoin dan resorsinol; dermabrasi, intense pulsed light
therapy (IPL) dan laser (Lapeere, 2008).

Oleh karena paparan sinar matahari merupakan faktor utama dalam


eksaserbasi melasma, maka diwajibkan pemakaian tabir surya berspektrum luas
(SPF>30) yang memiliki perlindungan terhadap UVA dan UVB, dan menghindari
paparan langsung sinar matahari serta menggunakan pakaian tertutup dan kain
pelindung seperti topi atau payung disiang hari. Secara umum ada dua jenis produk
tabir surya yaitu tabir surya organik dan inorganik.

2.2 Tranexamic acid


Asam traneksamat (trans-4-amino methyl cyclohexane carboxylic asam)
adalah analoglisin yang telah terbukti untuk mencegah hiperpigmentasi akibat UV.
TA mengurangi aktivitas tirosinase melanosit dengan mencegah pengikatan
plasminogen kekeratinosit, yang menghasilkan pengurangan prostaglandin dan asam
arakidonat, yang merupakan mediator inflamasi yang terlibat dalam melanogenesis.

penggunaan tranexamic acid untuk melasma yang diberikan secara lokal


dengan suntikan mikro, menunjukkan asam tranexamat merupakan preparat yang
menjanjikan untuk penanganan melasma (Lee, 2006). Studi tersebut melibatkan
sebanyak 100 wanita dengan melasma, yang diberikan tranexamic acid dengan
cara injeksi mikro, terapi ataupun pemberian tranexamic acid (0,05 mL – 4 mg/mL)
ini selama 8 minggu, sedangkan parameter evaluasi menggunakan MASI (Melasma
Area and Severity Index), yang dilakukan pada minggu ke 4 dan 8. Hasil dari studi
25

tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan MASI yang bermakna pada minggu
ke 8. Jika dibandingkan dengan nilai awal, yaitu: 13,22 ± 3,02 vs 9,02 ± 2,62 vs 7,57
± 2,54 (p <0,05), masing-masing pada 0 – 8.

2.3 Triple combination


Formula kombinasi merupakan sekumpulan bahan yang diharapkan dapat
memperbaiki efektivitas bahan pemutih tunggal dan mengurangi risiko terjadinya efek
samping. Formulasi kombinasi yang paling sering digunakan diantaranya formula
Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof.
Formula original dari Kligman dan Willis mengandung hidrokuinon 5%,
tretinoin 0,1%, dan deksametason 0,1% dan telah terbukti efektif dalam pengobatan
melasma, efelid, dan hiperpigmentasi postinflamasi. Formula Pathak mengandung
hidrokuinon 2% dan tretinoin 0,05-0,1%, tanpa steroid dan dianjurkan pemberiannya
apabila ditemukan adanya iritasi akibat hidrokuinon atau tretinoin. Formula
Westerhof mengandung N-acetylcystein 4,7%, hidrokuinon 2%, dan triamsinolon
asetonid 0,1%. Saat ini, fixed combination therapy telah dikembangkan yang
mengandung fluosinolon asetonid, merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI).
Formula dari terapi TC ini terdiri dari hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0,05% (RA),
dan fluosinolon asetonid 0,01% (FA). Kombinasi ini telah terbukti aman dan efektif
dalam pengobatan melasma selama 8 minggu.
Berbagai penelitian telah dilakukan, membandingkan krim TC dengan ketiga
bahan aktif yang berhubungan (FA + HQ, FA + RA, dan HQ + RA). Keseluruhan
penelitian ini telah memperlihatkan bahwa krim TC memiliki efikasi yang lebih baik.
Baru-baru ini the Pigmentary Disorders Academy (PDA) telah mengevaluasi seluruh
uji klinis pada melasma dalam 20 tahun terakhir dan telah mempublikasikan
pernyataan yang disetujui dalam pengobatan melasma. PDA berpendapat bahwa
topical fixed triple combination (TC) harus digunakan sebagai terapi lini pertama
untuk melasma. Dual therapies dan monoterapi mempunyai onset kerja dan efikasi
yang rendah, dan oleh karena itu hanya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap
triple therapy atau jika triple therapy tidak tersedia.
26

2.3.1 Mekanisme kerja


A. Hidrokuinon
Hidrokuinon adalah bahan pemutih yang sangat sering digunakan pada
saat ini, terutama untuk melasma dan kelainan hiperpigmentasi wajah lainnya.
Hidrokuinon merupakan senyawa kimia hidroksifenolik yang dapat
menginhibisi perubahan DOPA menjadi melanin melalui penghambatan
aktivitas enzim tirosinase (Balkrishnan, 2003). Mekanisme lainnya adalah
penghambatan sintesis DNA dan RNA, degradasi melanosom, dan
penghancuran melanosit. Kemiripan struktur kimia HQ dengan precursor
melanin menjelaskan kemampuannya untuk dapat dimetabolisme di dalam
melanosit begitu juga terhadap kerja HQ yang selektif pada proses
melanogenesis.
Derivat dari HQ yaitu the monobenzyl ether of HQ, 4-methoxyphenol,
4-isopropylcatechol, 4-hydroxyanisol, dan N-acetyl-4-S-cystaminylphenol.
Tidak seperti the monobenzylether of HQ, HQ tidak dimetabolisme menjadi
radikal bebas sitotoksik dan tidak merusak melanosit. Efek depigmentasi
biasanya terbatas pada daerah aplikasi dan bersifat reversibel (Rigopoulos,
2007).
Efektivitas HQ berhubungan secara langsung dengan konsentrasi
preparat, vehikulum yang digunakan, dan stabilitas hasil akhir dari bahan-
bahan kimia yang terkandung didalamnya. Konsentrasi HQ bervariasi mulai
dari 2%-5%, dimana konsentrasi yang lebih tinggi biasanya lebih iritatif dan
memiliki risiko yang lebih besar terhadap fototoksisitas, dengan peningkatan
efikasi yang lebih sedikit dan tidak direkomendasikan, terkecuali pada kasus
yang refrakterreversibel (Rigopoulos, 2007). Aplikasi topikal HQ 2%-4%
adalah pengobatan yang disetujui dan HQ 4% merupakan baku emas untuk
pengobatan melasma. Pemakaian HQ 2%, tanpa penambahan substansi
lainnya, hanya bermanfaat sebagai terapi pemeliharaan, sebagaimana yang
direkomendasikan oleh US Food and Drug Administration and European of
Cosmetics Products. Efikasi dan efek simpang HQ 4% telah dievaluasi oleh
Ennes (2000) pada penelitian buta ganda kontrol plasebo yang melibatkan 48
pasien melasma di wajah.
27

Berbagai penelitian uji klinis menganjurkan vehikulum solusio


hidroalkoholik atau salap hidrofilik atau gel yang mengandung AHA 10%,
yang lebih baik untuk formulasi HQ. Antioksidan, seperti sodium bisulfat
0,1% dan asam askorbat (vitamin C) 0,1%, harus digunakan untuk menjaga
stabilitas forrmulasi. Efek pemutih HQ didapatkan mulai dari beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah aplikasi (Cestari, 2007).
efek samping akut pemakaian HQ diantaranya dermatitis kontak iritan
dan alergik, hiperpigmentasi postinflamasi, dan perubahan warna kuku.
Okronosis eksogen, reticulated ripple-like sooty pigmentation yang permanen
pada wajah, biasanya mengenai pipi, dahi, daerah periorbital adalah efek
samping kronis yang utama. Resolusi biasanya terjadi perlahan setelah
penghentian obat. Hidrokuinon dapat menimbulkan depigmentasi permanen
apabila lesi diobati dengan konsentrasi yang tinggi dan dalam jangka waktu
lama.

B. Tretinoin
Tretinoin (asam retinoat atau asam vitamin A) juga terbukti efektif
untuk pengobatan melasma. Selain melasma, tretinoin juga digunakan untuk
mengobati hiperpigmentasi akibat penuaan dini dan hiperpigmentasi
postinflamasi. Tretinoin secara luas diyakini dapat menyebabkan penyebaran
granul-granul pigmen dalam keratinosit, dengan mengganggu transfer pigmen,
dan mempercepat transfer epidermis, sehingga pigmen hilang secara lebih
cepat (Chan, 2008). Tretinoin juga mempercepat turnover epidermis,
mempersingkat “transit time” di lapisan basal dan mempercepat hilangnya
pigmen melalui proses epidermopoesis (Victor, 2004). Asam retinoat (RA)
mereduksi melanin epidermis, kemungkinan dengan cara menurunkan jumlah
transfer melanosom ke keratinosit, selanjutnya meningkatkan proliferasi
epidermis dan penghambatan enzim tirosinase dan pada akhirnya terjadi
penurunan proses melanogenesis. Ketika digunakan sebagai monoterapi,
tretinoin cukup efektif akan tetapi membutuhkan waktu pengobatan selama 6
bulan atau lebih. Sehingga tretinoin sering dikombinasikan dengan satu atau
lebih bahan lainnya untuk mempercepat timbulnya efek yang diharapkan.
Tretinoin juga berpotensi untuk menginduksi sintesis DNA sel epidermal dan
28

dermal. Hal ini dianggap dapat membantu meniadakan efek atrofogenik


steroid topikal dengan meningkatkan ketebalan kulit (Torok, 2005). Tretinoin
mengesampingkan efek atrofi dan anti mitotik akibat penggunaan
kortikosteroid. Reaksi iritasi akibat tretinoin dapat memfasilitasi penetrasi
epidermal dari HQ dan juga mencegah HQ teroksidasi. Konsentrasi tretinoin
berkisar antara 0,05% sampai 0,1%.
Efek samping pemakaian tretinoin berupa eritema, deskuamasi dan
dermatitis kontak, akan tetapi tidak akan merubah efikasi pengobatan.

C. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal dapat mengurangi hiperpigmentasi pada pasien
melasma akan tetapi tidak dapat dipakai sebagai monoterapi oleh karena dapat
terjadi efek samping yang tidak diinginkan. Kortikosteroid memiliki efek anti
metabolik pada berbagai sistem sel. Ada yang bersifat sitotoksik atau sitostatik
terhadap epidermis dan menurunkan turnover epidermis (Menter, 2004).
Kortikosteroid dapat menghambat sintesis melanin melalui penurunan
aktivitas sel secara umum. Selain itu, kortikosteroid dapat mereduksi iritasi
atau inflamasi yang disebabkan oleh HQ dan tretinoin. Demikian juga,
komponen kortikosteroid tampaknya antagonis terhadap efek penipisan
stratum korneum akibat penggunaan tretinoin dan mereduksi iritasi yang
diinduksi oleh retinoid. Kligman dan Willis menduga bahwa komponen
kortikosteroid pada formulasi mereka dapat menekan fungsi biosintetik dan
sekresi melanosit, sehingga menekan produksi melanin tanpa menghancurkan
melanosit (Menter, 2004).
Efek samping pemakaian kortikosteroid potensi tinggi terutama dalam
jangka waktu lama diantaranya atrofi, telangiektasi, akne atau erupsi
akneformis, eritema mirip rosacea, dermatitis perioral, dan rasa gatal.

D.Tranexamic acid
Secara umum mekanisme tranexamic acid menurunkan derajat
pigementasi dari melasma, namun dari studi in-vitro diketahui plasminogen
banyak terdapat di bagian basal epidermis, dan keratinosit banyak
mengandung plasminogen activator (PA) khususnya PA tipe urokinase. PA
29

ini berguna untuk diferensiasi, pertumbuhan, migrasi dan juga tentunya untuk
pigementasi keratinosit, dan blokade dari efek ini mungkin merupakan
mekanisme kerja tranexamic acid dalam menurunkan hiperpigementasi
(Maeda, 2007).

2.3.2 Cara kerja


TC mempunyai sediaan dalam bentuk topikal yang mengandung hidrokuinon
4%, tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01% dan diaplikasikan sekali sehari,
kira-kira setengah jam sebelum tidur.
Tranexamic acid mempunyai sediaan bentuk injeksi dan akan di berikan
injeksi secara intradermal sebanyak 2x dalam 1 minggu

2.3.3 Efek samping


Efek samping pengobatan TC yang paling sering terjadi adalah eritema,
deskuamasi, rasa terbakar, kulit kering, dan rasa gatal.
Efek samping yang mungkin terjadi saat penyuntikan tranexamic acid adalah
rasa sakit dan oedema.

2.4 Tabir surya


Matahari merupakan faktor etiologi yang berperan penting dalam proses
penuaan kulit. Akibat dari paparan matahari akan menimbulkan proses
hipermelanogenesis pada lapisan epidermis dan dermis kulit. Menghindari paparan
sinar matahari (UVA dan UVB) dan penggunaan pelindung matahari termasuk
pemakaian tabir surya berspektrum luas, pelindung UVA pada kaca mobil dan rumah,
dan pakaian tertutup, seperti topi, adalah bagian dari pengobatan melasma yang
sangat menentukan.

Tabir surya telah ada sejak tahun 1928 dan saat ini berperan penting dalam
pencegahan kanker kulit dan proteksi terhadap sinar matahari. Saat ini, tolak ukur dan
pelaporan efikasi tabir surya ditentukan oleh sun protection factor (SPF). Tabir surya
sangat efektif mencegah terjadinya eritema. SPF merupakan pengukuran kemampuan
perlindungan suatu tabir surya terhadap eritema, terutama pengukuran proteksi
terhadap UVB, sebagaimana UVB 1000 kali lebih eritemogenik dibanding UVA. Sun
30

protection factor adalah perbandingan antara dosis radiasi UV yang dibutuhkan untuk
menghasilkan respon eritema minimal kulit yang dilindungi oleh tabir surya selama
24 jam setelah terpapar terhadap dosis yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkatan
eritema yang sama pada kulit yang tidak dilindungi. Protokol yang ada secara umum
dapat diterima, tetapi belum ada standart internasional yang sebenarnya. Saat
pemeriksaan SPF telah selesai, sumber radiasi (solar stimulator atau natural sunlight)
dan tipe kulit peserta harus ditentukan. Di Amerika Serikat, tabir surya diatur oleh
Food and Drug Administration (FDA).

Terdapat 17 bahan aktif terkandung dalam tabir surya yang disetujui FDA.
Komposisi tabir surya secara umum dibagi menjadi bahan inorganik dan organik,
sebelumnya secara berurutan dikenal dengan istilah tabir surya fisik dan tabir surya
kimia.

Tabir surya inorganik bekerja dengan merefleksikan atau menghamburkan


radiasi sinar tampak, UV, dan infrared lebih dari sekedar berspektrum luas. Bahan
inorganik utama yang digunakan saat ini adalah zinc oxide (ZnO) dan titanium dioxide
(TiO2), yang bersifat fotostabil dan memerlukan aplikasi yang tebal untuk mencapai
refleksi yang adekuat. Zinc oxide memberikan proteksi yang lebih baik terhadap UVA
memberikan proteksi yang lebih baik terhadap UVB
(sampai 380 nm), dimana TiO2

dan memiliki warna keputihan oleh karena indeks refraksi yang lebih tinggi.

Berbeda dengan bahan tabir surya inorganik, bahan kimia organik


mengabsorbsi radiasi UV melalui struktur cincin aromatik konjugasi. Berdasarkan
aktivitasnya bahan tabir surya organik dibagi menjadi filter UVB dan UVA.
Komposisi tabir surya organik, khususnya filter UVB, bekerja dengan mengabsorbsi
radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas.

PABA merupakan bahan organik UVB yang paling poten, yang mana
kemampuannya mengikat keratinosit dapat mengotori kulit, tetapi membuatnya tahan
terhadap air dan keringat. Banyak laporan mengenai alergi kontak akibat PABA, dan
oleh sebab itu sering digantikan dengan derivat PABA yang kurang efektif seperti
padimate O Sinamat, termasuk octinoxate dan cinoxate, adalah filter UVB yang
sangat populer di AS karena tidak mengotori kulit dan jarang mengiritasi. Salisilat,
bahan organik UVB yang paling lemah, termasuk octisalate, homosalat ,dan
trolamine salicylate.
31

Benzophenone merupakan bahan organik UVA yang memberikan


perlindungan broad-spectrum terhadap UVB dan UVA. Namun demikian,
benzophenone bersifat fotolabil dan oksidasinya dapat menganggu sistem antioksidan.
FDA telah menyetujui 3 benzophenone: oxybenzone, sulisobenzone, dan
dioxybenzone. Avobenzone (butyl methoxydibenzoylmethane), filter UVA yang poten,
tetapi bersifat sangat fotolabil. Ecamsule (Mexoryl atau terephthalylidene dicamphor
sulphoic acid) merupakan bahan broad-spectrum terbaru dengan profil absorbsi
antara 290 dan 390 nm. Ecamsule dapat mencegah atau mereduksi pigmentasi yang di
induksi sinar matahari, pembentukan dimer pirimidin, akumulasi protein p53,
perubahan densitas sel Langerhans, dan fotodermatoses.

Filter organik dan inorganik juga bekerja secara sinergis untuk meningkatkan
SPF. Bahan inorganik menghamburkan sinar UV, meningkatkan the photons’optical
pathways dan mempertinggi absorbsi yang berikutnya oleh bahan organik.

Pakaian tertutup dan topi diyakini sebagai fotoproteksi yang sangat bermakna.
Dibanding tabir surya, cara fotoproteksi paling populer yang dipakai masyarakat
umum, pakaian memiliki banyak kelebihan. Pertama, pakaian dan topi memberikan
kenyamanan dan perlindungan yang sama terhadap UVA dan UVB. Kedua, pakaian
dan topi lebih memberi perlindungan yang dapat diandalkan selama pemakainya ingat
untuk menggunakannya. Terakhir, pakaian dan topi lebih murah dibanding tabir
surya, dan sama sekali tidak menimbulkan komplikasi seperti dermatitis kontak dan
fotoalergik. Untuk ukuran perlindungan UV pada baju yang lebih akurat dan
kuantitatif, sebagian besar perusahaan di seluruh dunia telah menyetujui UV
protection factor (UPF) sebagai alat ukur standart. Standart ini pertama kali di
kembangkan dan dipublikasikan di Australia tahun 1996, dan kemudian disetujui dan
disaring kembali oleh European Committee for Standardization tahun 2003.

2.5 Evaluasi hasil pengobatan (efikasi)


Evaluasi hasil pengobatan penelitian uji klinis pada melasma dapat di bagi
menjadi teknik evaluasi subjektif dan objektif.

2.5.1 Teknik evaluasi subjektif


Meskipun mutunya lebih rendah dibanding teknik evaluasi objektif, evaluasi
subjektif terutama sekali the physician’s global assessment (PGA) merupakan the
primary efficacy endpoint untuk mengevaluasi pengobatan terbaru. PGA adalah the
primary efficacy endpoint pada uji klinis melasma. Secara klinis, PGA merupakan
pengukuran subjektif yang relevan dari perubahan keparahan pigmentasi selama
pengobatan dibanding dengan awal pengobatan.
Sistem pengukuran yang paling sering digunakan adalah Melasma Area and
Severity Index (MASI) score dan pertama kali dipakai oleh Kimbrough-Green et al
untuk penilaian melasma. Melasma Area and Severity Index adalah suatu cara untuk
mengukur secara teliti keparahan melasma dan perubahan selama terapi. Skor MASI
dihitung pertama sekali dengan menilai area hiperpigmentasi di wajah. Empat area
yang di evaluasi: dahi (F), pipi kanan (MR), pipi kiri (ML), dan dagu (C), yang
disesuaikan secara berurutan dengan 30%, 30%, 30%, dan 10% dari seluruh wajah.
Melasma di masing-masing keempat area diberi nilai numerik: 0, tidak dijumpai lesi
hiperpigmentasi; 1, <10%; 2, 10-29%; 3, 30-49%; 4, 50-69%; 5, 70-89%; dan 6, 90-
100%. Kehitaman pigmen dibanding kulit normal (D) di nilai pada masing-masing
area dengan skala 0 (tidak ada) sampai 4 (maksimal), homogenitas (H) juga di ukur
berdasarkan skala 0 (minimal) sampai 4 (maksimal). Untuk mengukur skor MASI,
jumlah tingkatan keparahan D dan H di kalikan dengan nilai numerik area yang
terlibat (A); skor maksimal adalah 48 dan minimal 0.
The Melasma Severity Scale (MSS) merupakan sistem skoring empat tingkat
(skala kategorik) yang menilai keparahan melasma yaitu: 0, lesi melasma hampir
sama dengan kulit normal di sekitarnya atau dengan sedikit sisa pigmentasi; 1, ringan,
sedikit lebih gelap dibanding kulit normal di sekitarnya; 2, moderat, cukup gelap
dibanding kulit normal di sekitarnya; 3, berat, sangat mencolok/jelas kegelapan lesi
dibanding kulit normal di sekitarnya.

2.5.2 Teknik evaluasi objektif


Berbagai teknik evaluasi objektif telah digunakan pada penelitian uji klins
melasma, seperti reflectance spectroscopy, fotografi, fluorescent video recording dan
corneomelametry, dan histologi.
33

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Berpikir


Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang sangat sering dijumpai,
bersifat didapat, dengan distribusi simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari
dan biasanya dijumpai pada wanita usia reproduksi. Melasma muncul dalam bentuk makula
berwarna coklat terang sampai gelap dengan pinggir yang iregular, biasanya melibatkan
daerah dahi, pelipis, pipi, hidung, di atas bibir, dagu, dan kadang-kadang leher. Meskipun
melasma dapat mengenai semua orang, akan tetapi lebih sering pada wanita Asia dan
Hispanik berkulit gelap (Sharquie, 2005).
Melasma terutama mengenai wanita usia reproduksi, sedangkan pria hanya 10%
dari keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran yang sama
seperti pada wanita (Katsambas, 2002). Penelitian oleh Goh dan Dlova di Singapura
mendapatkan rasio melasma antara wanita dan pria sebesar 21:1. Di Indonesia perbandingan
kasus melasma antara wanita dan pria adalah 24:1, terbanyak pada wanita usia subur berusia
30-44 tahun dengan riwayat terpapar langsung sinar matahari (Shudarmono, 2006).

Triple combination
Formula kombinasi merupakan sekumpulan bahan yang diharapkan dapat
memperbaiki efektivitas bahan pemutih tunggal dan mengurangi risiko terjadinya efek
samping. Formulasi kombinasi yang paling sering digunakan diantaranya formula Kligman,
formula Pathak, dan formula Westerhof (Rigopoulos, 2007).

Formula original dari Kligman dan Willis mengandung hidrokuinon 5%, tretinoin
0,1%, dan deksametason 0,1% dan telah terbukti efektif dalam pengobatan melasma, efelid,
dan hiperpigmentasi postinflamasi (Rigopoulos, 2007). Formula Pathak mengandung
hidrokuinon 2% dan tretinoin 0,05-0,1%, tanpa steroid dan dianjurkan pemberiannya apabila
ditemukan adanya iritasi akibat hidrokuinon atau tretinoin. Formula Westerhof mengandung
N-acetylcystein 4,7%, hidrokuinon 2%, dan triamsinolon asetonid 0,1%.

25
34

Saat ini, fixed combination therapy telah dikembangkan yang mengandung


fluosinolon asetonid, merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI). Formula dari terapi
TC ini terdiri dari hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0,05% (RA), dan fluosinolon asetonid
0,01% (FA). Kombinasi ini telah terbukti aman dan efektif dalam pengobatan melasma
selama 8 minggu (Victor, 2004)

Berbagai penelitian telah dilakukan, membandingkan krim TC dengan ketiga bahan


aktif yang berhubungan (FA + HQ, FA + RA, dan HQ + RA). Keseluruhan penelitian ini
telah memperlihatkan bahwa krim TC memiliki efikasi yang lebih baik (Chan , 2006). Baru-
baru ini the Pigmentary Disorders Academy (PDA) telah mengevaluasi seluruh uji klinis pada
melasma dalam 20 tahun terakhir dan telah mempublikasikan pernyataan yang disetujui
dalam pengobatan melasma. PDA berpendapat bahwa topical fixed triple combination (TC)
harus digunakan sebagai terapi lini pertama untuk melasma. Dual therapies dan monoterapi
mempunyai onset kerja dan efikasi yang rendah, dan oleh karena itu hanya diberikan pada
pasien yang intoleran terhadap triple therapy atau jika triple therapy tidak tersedia (Chan,
2008).

Tranexamic acid
Asam traneksamat (trans-4-amino methyl cyclo hexane carboxylic asam) adalah
analog lisin yang telah terbukti untuk mencegah hiperpigmentasi akibat UV. TA mengurangi
aktivitas tirosinase melanosit dengan mencegah pengikatan plasminogen ke keratinosit, yang
menghasilkan pengurangan prostaglandin dan asam arakidonat, yang merupakan mediator
inflamasi yang terlibat dalam melanogenesis.

penggunaan tranexamic acid untuk melasma yang diberikan secara lokal dengan
suntikan mikro, menunjukkan asam tranexamat merupakan preparat yang menjanjikan untuk
penanganan melasma (Lee, 2006). Studi tersebut melibatkan sebanyak 100 wanita dengan
melasma, yang diberikan tranexamic acid dengan cara injeksi mikro, terapi ataupun
pemberian tranexamic acid (0,05 mL – 4 mg/mL) ini selama 8 minggu, sedangkan parameter
evaluasi menggunakan MASI (Melasma Area and Severity Index), yang dilakukan pada
minggu ke 4 dan 8. Hasil dari studi tersebut menunjukkan bahwa terjadi penurunan MASI
yang bermakna pada minggu ke8. Jika dibandingkan dengan nilai awal, yaitu: 13,22 ± 3,02
vs 9,02 ± 2,62 vs 7,57 ± 2,54 (p <0,05), masing-masing pada 0 – 8.
35

3.2 Konsep Penelitian

Triple combination / Faktor ekstrinsik


tranexamic acid  Sinar matahari
Faktor intrinsik  Kosmetika
 Endokrin  Obat obatan
 genetik

Epidermal melasma

Penilaian Skor MASI

3.3 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep, maka hipotesis yang dapat diajukan
sebagai berikut:
1. Pemberian tranexamic acid lebih efektif daripada pemberian triple
combination
36

BAB 4
METODE PENELITIAN.

4.1 Desain penelitian


Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan menggunakan
randomized pre-posttest control group design.
Skema rancangan penelitian adalah sebagai berikut :

Bagan 4.1 Rancangan Penelitian


Keterangan :
P = Populasi
S = Sampel
R = Random
O1 = penilaian MASI score sebelum P0 (triple combination) (pretest)
O3 = penilaian MASI sebelum P1 (tranexamic acid) (pretest)
P0 = Perlakuan dengan TC + Tabir surya selama 1 bulan
P1 = Perlakuan dengan tranexamic acid + Tabir surya selama 1 bulan (2x penyuntikan
dalam 1mgg)
O2 = penilaian MASI score sesudah P0 (triple combination) (posttest)
O4 = penilaian MASI score sesudah P1 (tranexamic acid) (posttest)

MASI Score

Melasma Area Severity Index telah banyak digunakan sebagai acuan untuk menilai
pengurangan Melanin yang terdapat di lapisan kulit (Pandya, 2002). MASI score menilai
keseluruhan dari wajah, mulai dari dahi, dagu, dan pipi. Tiap area akan diberi nilai dari 0
hingga 6, dimana angka ini mewakili luas area yang mengalami hiperpigmentasi. Tingkat
kegelapan (D) dari melasma sendiri akan diwakili dengan angka 0 hingga 4. Dengan adanya

28
37

score penilaian untuk melasma ini, kita dapat mengetahui seberapa efektif nya tindakan yang
akan dilakukan untuk mengurangi proses melanogenesis.

perumusan MASI score : 0.3 A(f) [D(f) + H(f)] + 0.3 A(rm) [D(rm) + H(rm)] + 0.3
A(lm) [D(lm) + H(lm)] + 0.1 A(c) [D(c) + H(c)].

 Area of involvement (A): meliputi 4 areaforehead (f) 30%; right malar region (rm)
30%; left malar region (lm) 30%; and the chin (c) 10%. pemberian score 0 to 6.
o 0 = tidak terkena
o 1 = <10%
o 2 = 10% to 29%
o 3 = 30% to 49%
o 4 = 50% to 69%
o 5 = 70% to 89%
o 6 = 90% to 100%

 Darkness (D): tingkat kegelapanakan diberi score 0 to 4.


o 0 =tidak terkena
o 1 = ringan
o 2 = sedang
o 3 = berbatas tegas
o 4 = maximum

 Homogeneity (H) tingkat homogenitas akan diberi nilai yang sama sengan tingkat
kegelapan..
4.2 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan di Skin Act's clinic Alam Sutera Tangerang.

4.3 Populasi dan besar sample


Besar sampel yang diperlukan dalam penelitian dihitung dengan menggunakan rumus SJ
Pocock

p1 : persentase sukses yang diharapkan pada perlakuan tranexamic acid80%


p2 : persentase sukses yang diharapkan dengan perlakuan TC 60%

Jumlah sampel tiap kelompok adalah minimal 41. Untuk mengantisipasi drop out 10%
pada waktu penelitian maka sampel tiap kelompok adalah sebesar 45.

4.3.1 Populasi target


Wanita usia 21 – 35 yang menderita epidermal melasma.

4.3.2 Populasi terjangkau


Wanita usia 21 – 35 yang menderita melasma yang berobat ke Skin Act's clinic.

4.3.3 Sampel
Wanita yang menderita melasma yang berobat ke Skin Act's clinic yang memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil untuk dilakukan pengukuran dan jumlahnya
sesuai dengan rumusan besar sampel yang telah ditentukan.

4.4 Cara pengambilan sampel penelitian


Cara pemilihan sampel dilakukan secara konservatif.

4.5 Kriteria inklusi dan eksklusi


4.5.1 Kriteria Inklusi :
 Pasien melasma berjenis kelamin wanita.
 Pasien melasma tipe epidermal.
 Pasien melasma derajat sedang sampai berat (MASI ≥ 2).
 Usia pasien 21 - 35 tahun.
 Bersedia ikut serta dalam penelitian dan menandatangani informed consent.
 Tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi.

4.5.2 Kriteria eksklusi :


 Pasien sedang hamil.
 Pasien sedang menyusui.
 Pasien yang sedang mengkonsumsi obat-obat yang bersifat fotosensitif seperti
klorpromazin, amiodaron; tetrasiklin, minosiklin, klorokuin.
 Pasien yang bekerja dibawah paparan sinar matahari.
 Pasien yang telah mendapat pengobatan topikal (kortikosteroid, asam glikolat,
hidrokuinon, terapi sinar UV, retinoid) dalam waktu 2 minggu, obat kortikosteroid
sistemik dalam waktu 1 bulan, laser, dermabrasi atau peels dalam waktu 3 bulan, dan
atau obat sistemik asitretin, etretinat, isotretinoin, metotreksat) dalam waktu 4 bulan
sebelum datang.

4.6 Variable Penelitian


4.6.1 Klasifikasi Variable
A. Variabel bebas : Tranexamic acid, triple combination
B. Variabel tergantung : MASI skor
C. Variabel terkendali : Sinar matahari, Kontrasepsi
4.6.2 Definisi Operasional Variabel
 Melasma merupakan peningkatan produksi warna kulit terutama eumelanin yang
berwarna kecoklatan.
 Melasma epidermal yang diteliti ditentukan dengan menggunakan pemeriksaan lampu
woodlamp yang dilakukan oleh seorang dokter.
 Tranexamic acid yang digunakan adalahtranexamic acid buatan kalbe yang diberikan
secara intracutan sebesar 1mg per injeksi dengan luas area sebesar 1 cm x 1 cm
dalam sekali penyuntikan.
 Triple combination merupakan formula yang mengandung hidrokuinon 4%, tretinoin
0.05% dan fluosinolon asetonid 0,01%.
 Tingkat melasma diukur dengan skor MASI dan yang digunakan adalah melasma
dengan skor MASI > 2.
 Anti aging kulit merupakan proses untuk menahan penuaan kulit yang salah satu
tandanya adalah pembentukan warna kulit berlebih.

4.7 Prosedur Penelitian


4.7.1 Alat dan Bahan
1. Tranexamic acid
2. Triple combination
3. Woodlamp
4. Spuit 1cc
5. Nacl
6. Kenacort injeksi

4.7.2 Perhitungan dosis Tranexamic acid


Perhitungan dosis Tranexamic acid mengikuti percobaan lee pada tahun 2006,
yatu berupa pemberian injeksi 1mg untuk luas permukaan 1cm x 1cm.

4.7.3 Prosedur
1. Memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi
2. Sebelum penelitian dimulai, pasien dijelaskan tentang prosedur, tujuan dan efek
pengobatan dari peneltian ini (lampiran 2, 3 , 4).
3. Diagnosa melasma dengan cara inspeksi area hiperpigmentasi. Hiperpigmentasi
biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu biasa, kemudian
pasien diperiksa dengan menggunakan lampu Wood dan penilaian dengan lampu
Wood menunjukkan warna yang kontras antara daerah yang hiperpigmentasi
dibanding kulit normal.
4. Dilakukan penilaian skor MASI dan yang akan digunakan hanya skor MASI > 2.
5. Penelitian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama untuk perlakuan injeksi
Tranexamic acid (kelompok perlakuan), dan kelompok kedua untuk perlakuan Triple
combination (kelompok kontol).
6. Setelah itu diberi perlakuan :
a. P0 (kelompok perlakuan) diberi perlakuan berupa injeksi tranexamic acid
setiap 4 hari selama 30 hari (mengikuti fase regenerasi kulit dari sel basal).
b. P1 (kelompok control) diberi cream Triple combinationsetiap hari selama 30
hari.
7. Kemungkinan terjadinya efek samping berupa peradangan dan reaksi alergi pada
proses pemberian tranexamic acid dapat diatasi dengan pemberian kenacort injeksi
pada area yang mengalami peradangan.
8. Setelah 30 hari kedua kelompok akan dievaluasi kembali dengan menggunakan skor
MASI.

4.8 Alur penelitian


Epidermal  Melasma Epidermal
melasma melasma

Evaluasi MASI Evaluasi MASI


score score

Injeksi Pemberian
tranexamic topikal triple
acid combination

Evaluasi MASI Evaluasi MASI


score score

Alur penelitian Gambar 4.8

4.9. Analisis Data

Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan

program SPSS for windows Versi 16.0. Analisis data dalam penelitian meliputi:

1. Analisis Desriptif

Analisis deskriptif dilakukan sebagai dasar untuk statistik analitis (uji hipotesis) untuk

mengetahui karakteristik data yang dimiliki. Analisis deskriptif dilakukan dengan


program SPSS. Pemilihan penyajian data dan uji hipotesis tergantung dari normal

tidaknya distribusi data.

2. Analisis normalitas data

Uji normalitas data dilakukan dengan uji saphiro-Wilk. Data normal bila p>0,05.

3. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilakukan dengan Uji Levene.

4. Uji Komparasi

Uji untuk pre and post pada kelompok kontrol menggunakan paired-t test

Uji untuk pre and post pada kelompok perlakuan menggunakan paired-t test

Antar kelompok post test menggunakan independent t test


43

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian eksperimental dengan rancangan pretest posttest control group design,

melibatkan 90 orang wanita berusia 21 – 35 tahun yang menderita epidermal melasma dan

berobat ke Skin Act’s Clinic sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu

kelompok kontrol diberikan TC + Tabir surya selama 1 bulan dan kelompok perlakuan

diberikan tranexamic acid + Tabir surya selama 1 bulan. Dalam bab ini akan diuraikan uji

normalitas data, uji homogenitas data, uji komparabilitas, dan uji efek perlakuan.

5.1 Uji Normalitas Data

Data Skor MASI diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk.

Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.1.

Tabel 5.1
Hasil Uji Normalitas Data Skor MASI

Kelompok Subjek n p Ket.

Skor MASI
Skor MASI
Skor MASI
Skor MASI

5.2 Uji Homogenitas Data

Data Skor MASI diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene’s test.

Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Tabel 5.2 berikut.

35
Tabel 5.2
Homogenitas Data Skor MASIantar Kelompok Perlakuan

Variabel
Skor MASI pre
Skor MASI post

5.3Skor MASI

5.3.1 Analisis komparabilitas

Analisis komparabilitas bertujuan untuk mengetahui perbandingan rerata skor MASI

antar kelompok sebelum diberikan perlakuan berupa tranexamic acid + Tabir surya. Hasil

analisis kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.3 berikut.

Tabel 5.3
Perbedaan Rerata Skor MASIAntar Kelompok SebelumDiberikan Perlakuan
Rerata Skor SB t P
Kelompok Subjek n
MASI

Kontrol 45 9,09 2,34


0,41 0,681
Perlakuan 45 8,86 2,89

Tabel 5.3 di atas, menunjukkan bahwa rerata skor MASI kelompok kontrol adalah

9,092,34 dan rerata kelompok tranexamic adalah 8,862,89. Analisis kemaknaan dengan uji

t-independen menunjukkan bahwa nilai t = 0,41 dan nilai p = 0,681. Hal ini berarti bahwa

rerata skor MASI pada kedua kelompok sebelum diberikan perlakuan tidak berbeda (p>0,05).

5.3.2 Analisis efek pemberian tranexamic acid + tabir surya

Analisis efek perlakuan diuji berdasarkan rerata skor MASI antar kelompok sesudah

diberikan perlakuan berupa Triple combination dan tranexamic acid. Hasil analisis

kemaknaan dengan uji t-independent disajikan pada Tabel 5.4 berikut.


45

Tabel 5.4
Perbedaan Rerata Skor MASIAntar Kelompok Sesudah Diberikan Perlakuan
Rerata Skor SB t P
Kelompok Subjek n
MASI

Kontrol
Perlakuan 2,19 0,032

Tabel 5.4 di atas, menunjukkan bahwa rerata skor MASI kelompok kontrol adalah

7,492,30 dan rerata kelompok tranexamic acid + Tabir surya adalah 6,452,22. Analisis

kemaknaan dengan uji t-independent menunjukkan bahwa nilai t = 2,19 dan nilai p = 0,032.

Hal ini berarti bahwa rerata Skor MASI pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan

berbeda secara bermakna (p<0,05).

5.3.3 Analisis efek perlakuan pada masing-masing kelompok

Analisis efek perlakuan pada masing-masing kelompok diuji berdasarkan rerata Skor

MASI pada masing-masing kelompok antara sebelum dengan sesudah diberikan perlakuan

berupa Triple combination dan tranexamic acid. Hasil analisis kemaknaan dengan uji t-

paired disajikan pada Tabel 5.5 berikut.

Tabel 5.5
Perbedaan Rerata Skor MASIantaraSebelumdengan Sesudah Diberikan Triple
combination danTranexamic acidpada Masing-masing Kelompok

Kelompok

Kontrol
Perlakuan

Tabel 5.5 di atas, menunjukkan bahwa dengan uji t-paired didapatkan masing-masing

nilai t = 8,67 dan t = 8,08 dengan nilai kemaknaan yang sama yaitu nilai p = 0,001. Hal ini
46

berarti bahwa rerata Skor MASI pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan antara

sebelum dengan sesudah diberikan perlakuan berbeda secara bermakna (p<0,05).

9.09 8.86
10.00
7.49 6.45
8.00

6.00

4.00

2.00
0.00
Kontrol Perlakuan

Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Skor MASI Sebelum dan Sesudah Perlakuan antar
Kelompok
47

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

6.1. Subyek Penelitian

Untuk menguji pemberian tranexamic acid terhadap penurunan skor MASI, maka

dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan Pretest posttest control group design,

melibatkan 90 orang wanita berusia 21 – 35 tahun yang menderita epidermal melasma dan

berobat ke Skin Act’s Clinic.

Sebanyak 90 orang wanita berusia 21 – 35 tahun yang menderita epidermal melasma

dan berobat ke Skin Act’s Clinic sebagai sampel, yang terbagi menjadi 2 (dua) kelompok,

yaitu kelompok kontrol diberikan TC + tabir surya kelompok perlakuan diberikan tranexamic

acid + Tabir surya.

6.1.1 Kelompok usia

Kriteria pengelompokan usia berdasarkan klasifikasi Erikson’s Stages of

Physchosocial Development yang mengklasifikasikan usia 12-19 tahun sebagai subyek

kelompok remaja, usia 20-35 tahun sebagai dewasa muda dan usia 35-65 tahun sebagai

dewasa. Oleh karena subyek penelitian iniadalah pasien melasma dengan usia ≥ 21 hingga 35

tahun. Hal ini dilakukan untuk membatasi efek hormonal terhadap melasma, sehingga kita

bisa mendapatkan kondisi hormonal yang hampir sama.

Hal ini sesuai dengan Penelitian Sudharmonopada 2004 di Jakarta, dari 145 pasien

diketahui bahwa kelompok usia tersering yang menderita kasus melasma adalah kelompok

usia 25-44 tahun sebanyak 74 orang (51,03%). Peringkat kedua adalah kelompok usia 45-64

tahun sebanyak 64 orang (46,21%), diikuti kelompok usia 65 tahun keatas dan selanjutnya

kelompok usia 15-24 tahun masing-masing sebanyak 2 orang (1,38%). Menurut kepustakaan

39
48

dikatakan melasma timbul pada usia reproduksi sekitar 25-55 tahun. Menurut Rigopoulos.,

umur yang dikenai biasanya wanita paruh baya ( 30 tahun)

Kelompok usia ini merupakan usia reproduksi sehingga hormon estrogen meningkat

dan usia mulai bekerja yang dihubungkan dengan aktivitas di luar ruangan, sering terpapar

sinar matahari serta penggunaan berbagai bahan kosmetika untuk mempercantik penampilan,

dan alat kontrasepsi (khususya hormonal) yang memicu terjadinya melasma.

6.1.2. Pekerjaan

Pada penelitian ini didapat bahwa pekerjaan dari pasien melasma yang terbanyak

adalah Ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 44 orang (48,9%), kemudian wiraswasta dan

pegawai swasta. Pada kelompok terapi, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga adalah 18 orang

(40,%) dan pada kelompok kontrol adalah 26 orang (57,7%)..

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sudharmono pada tahun 2004,

berdasarkan pekerjaan didapatkan bahwa 66 orang (45,52%) adalah Ibu Rumah Tangga. Jenis

pekerjaan lain seperti Pegawai Negeri Sipil, pegawai swasta, wiraswasta, bervariasi dengan

jumlah yang tidak terlalu banyak.

Sebaiknya jenis pekerjaan perlu dibedakan di dalam atau di luar ruangan, lama

pajanan sinar matahari dalam sehari, dan proteksi terhadap sinar matahari (misalnya jenis

pakaian, payung dan topi). Jenis pekerjaan penting diketahui untuk evaluasi kasus melasma

yang berhubungan dengan aktivitas diluar rumah. Jenis pekerjaan juga dapat menggambarkan

kebutuhan sehari-hari untuk selalu tampil cantik sehingga perlu mempercantik diri dengan

kosmetika yang kadang justru dapat merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya

melasma.
6.1.3. Faktor predisposisi

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa dari anamnesis pasien melasma, faktor

predisposisi timbulnya melasma adalah sering terpapar sinar matahari. Dimana pada

kelompok terapi terdapat 14 orang dan kelompok kontrol terdapat 9 orang. Penyebab kedua

adalah pemakaian kosmetika setiap hari, pada kelompok terapi terdapat 12 orang dan

kelompok kontrol terdapat 9 orang. Selanjutnya adanya riwayat pemakaian obat-obatan, pada

kelompok terapi terdapat 1 orang (3,8%). Penelitian Koesoema (2008), terlihat hubungan

yang bermakna antara paparan sinar matahari dengan terjadinya melasma, yaitu paparan sinar

matahari yang lebih dari 10 tahun. Penelitian Setyaningsih, melasma didapati pada subyek

dengan masa kerja rata-rata selama 13 tahun. Menurut kepustakaan, sinar matahari

merupakan faktor penyebab terjadinya melasma dengan puncak paparan yang harus dihindari

mulai pukul 10.00 sampai dengan 14.00. Berbeda dengan penelitian Moin dimana sinar

matahari menduduki peringkat kedua setelah kehamilan, yaitu 9,8%. Penelitian Koesoema

(2008), juga terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian kontrasepsi dengan

melasma, yaitu yang menggunakan kontrasepsi menderita melasma sebanyak 64% dimana

terbagi sebanyak 46% menggunakan kontrasepsi hormonal dan 18% menggunakan

kontrasepsi non hormonal. Menurut Lapeere (2008) dikatakan juga bahwa pengaruh

hormonal menyebabkan terjadinya melasma salah satunya adalah penggunaan kontrasepsi

oral. Menurut kepustakaan juga dikatakan bahwa kehamilan dapat menyebabkan terjadinya

melasma, 50-70% wanita hamil didapati menderita melasma

Pada penelitian Moin didapatkan bahwa mereka yang menggunakan bahan kosmetika

mempunyai prevalensi melasma yang rendah oleh karena kebanyakan kosmetika didaerah

mereka (Iran) mempunyai sifat sebagai tabir surya inorganik. Namun penelitian yang

dilakukan pada pria India didapatkan penggunaan kosmetik sebagai pemicu melasma yaitu
mereka yang memakai topikal minyak mustard. Hasil penelitian Koesoema (2008)

didapatkan bahwa kosmetika alas bedak sangat berisiko dalam menyebabkan melasma. Hal

ini berkaitan dengan bahan yang terkandung didalam alas bedak tersebut yaitu ekstrak

tumbuhan namun tidak dijelaskan lebih rinci tumbuhan apa saja yang terkandung

didalamnya. Berdasarkan kepustakaan ekstrak tumbuhan ini bila kontak dengan kulit

ditambah dengan paparan sinar matahari akan menyebabkan phytophotodermatitis sehingga

dapat menimbulkan hiperpigmentasi.

6.2 Distribusi Data Hasil Penelitian

Data hasil penelitian berupa skor MASI sebelum dinalisis lebih lanjut, terlebih dahulu

diuji distribusi dan variannya. Untuk uji distribusi digunakan uji Shapiro Wilk, yaitu untuk

mengetahui normalitas data dan uji homogenitas dengan uji Levene test. Berdasarkan hasil

analisis didapatkan bahwa masing-masing kelompok berdistribusi normal dan homogen (p >

0,05).

6.3 Pengaruh Tranexamic acidterhadap Penurunan Skor MASI

Uji perbandingan antara kedua kelompok sebelum dan sesudah perlakuan berupa

pemberian tranexamic acid menggunakan uji t-independent. Rerata skor MASI kelompok

kontrol adalah 9,092,34 dan rerata kelompok tranexamic acid + Tabir surya adalah

8,862,89. Analisis kemaknaan dengan uji t-independen menunjukkan bahwa nilai t = 0,41

dan nilai p = 0,681. Hal ini berarti bahwa rerata Skor MASI pada kedua kelompok sebelum

diberikan perlakuan tidak berbeda (p>0,05).

Rerata skor MASI kelompok kontrol adalah 7,492,30 dan rerata kelompok

tranexamic acid + Tabir surya adalah 6,452,22. Analisis kemaknaan dengan uji t-

independent menunjukkan bahwa nilai t = 2,19 dan nilai p = 0,032. Hal ini berarti bahwa
rerata Skor MASI pada kedua kelompok sesudah diberikan perlakuan berbeda secara

bermakna (p<0,05).

Berdasarkan hasil penelitian di atas, didapatkan bahwa pada kelompok tranexamic

acid terjadi penurunan Skor MASI sebesar 27,22%, sedangkan pada kelompok kontrol (TC)

hanya terjadi penurunan sebesar 17,58%. Berdasarkan hasil tersebut didapatkan bahwa

tranexamic acid lebih efektif dibandingkan TC dalam penurunan skor MASI. Hal ini

disebabkan karena tranexamic acid bekerja sangat baik untuk mengatasai masalah

hiperpigmentasi. Tranexamic acid bekerja pada tingkat pertama proses melanogenesis, yaitu

pada proses menghambat hidroksilasi tirosin menjadi DOPA. Dengan makin sedikitnya

jumlah DOPA di kulit, proses terbentuknya melanin yang berlebih dikulit akan sangat jauh

berkurang. Ini kelebihan tranexamic acid dibandingkan dengan triple combination yang

bekerja pada tahap ke 2 melanogenesis, dimana telah terbentuk DOPA yang merupakan cikal

bakal dari melanin kulit. Tranexamic acid memberikan efek samping yang minimal, tanpa

iritasi dan tanpa proses eksfoliasi, sehingga lebih nyaman untuk digunakan tanpa

meningkatkan resiko fotosensitivitas kulit penderita (Chan, 2008). Sedangkan TC juga dapat

menurunkan skor MASI, namun lebih kecil dibandingkan dengan tranexamic acid.

Terkait dengan penggunaan TC, hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian

Chan (2005) terhadap pasien melasma derajat sedang sampai berat yang diobati dengan terapi

TC menunjukkan adanya perbaikan derajat keparahan melasma berdasarkan investigator’s

assessment of Global Severity Score dan penurunan skor MASI (Melasma Area Severity

Index). Penelitian ini juga melaporkan adanya efek samping ringan seperti eritema, iritasi,

eksfoliasi dan perasaan tidak nyaman di kulit.


6.4 Efek Samping

Pada penelitian ini efek samping lebih banyak timbul pada kelompok kontrol, pada

kelompok perlakuan hanya terdapat 1 orang (2,2%) yang mengalami hiperpigmentasi setelah

3 minggu diberikan perlakuan tranxamic acid. Pada minggu pertama dan kedua keluhan yang

sering dilaporkan adalah eritema, rasa perih, rasa terbakar dan deskuamasi. Dimana keluhan

ini akan berangsur-angsur hilang seiring dengan penggunaan obat pada minggu berikutnya.

Pada minggu ke 3 sampai minggu ke 4 berupa atrofi dan hiperpigmentasi. Hipopigmentasi

terjadi bersamaan dengan hilangnya lesi melasma pada wajah. Pada penelitian ini didapati 2

orang (4,4%) dari kelompok kontrol yang tidak terjadi efek samping. Tidak dijumpai adanya

efek samping pada kelompok perlakuan.

Pada penelitian oleh Chan (2005) dilaporkan dari 129 pasien yang mendapatkan

pengobatan dengan TC selama 8 minggu, 63 orang (48,8%) diantaranya timbul efek samping

ringan. Adapun efek samping yang paling sering timbul adalah eritema (31/129 pasien,

24,0%), iritasi kulit (14/129 pasien, 10,9%), deskuamasi (7/129 pasien, 5,45) dan perasaan

tidak nyaman (8/129 pasien, 6,2%). Menurut kepustakaan efek samping yang paling sering

terjadi pada kelompok yang mendapat TC adalah eritema, deskuamasi, rasa panas, kulit

kering, dan gatal.


53

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian pemberian tranexamic acid didapatkan simpulan sebagai


berikut: Pemberian tranexamic acid lebih efektif dibandingkan dengan pemberian triple
combination.
.

7.2 Saran

Sebagai saran dalam penelitian ini adalah:

1. Perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi optimal

pemberian tranexamic acidterhadap penurunan skor MASI.

2. Disarankan untuk menggunakan tranexamic acid secara tepat untuk menurunkan Skor

MASI pada penderita epidermal melasma.

45
54

DAFTARPUSTAKA

Balkrishnan. 2003. Development and Validation of a Health-Related Quality of Life


Instrument for Women with Melasma. Br J Dermatol 149:572-77.

Bauman, L. 2002. disorder of Pigmentation. Dalam : Cosmetic Dermatology Principles and


Practice, Hongkong : Mc Graw-hill Company. h.63-7.

Bhor,U. a n d Pande, S. 2006. Scoring Systemin Dermatology. Indian J Dermatol Venereol


Leprol. 72(4):315-20.

Cestari, T., Adjadji, L., Hux, M., Shimizu, M.R., Rives, VP. 2007. Cost-Effectiveness of a
Fixed Combination of Hidroquinone/Tretinoin / Fluocinolone Cream Compared with
Hidroquinone Alone in the Treatment of Melasma. J Drugs Dermatol. 6(2):153-60.

Chan, R. A. 2008. Randomized Controlled Trial of the Efficacy and Safety of Fixed Triple
Combination (FluocinoloneAcetonide 0.01%, Hydroquinone4%, Tretinoin0.05% )
Compared with Hydroquinone 4% Cream in Asian Patient with Moderate to Severe
Melasma. Br J Dermatol. 159:697-703.

Cholis, M. 1995. Patogenesis Melasma. Majalah Kedokteran Indonesia Jakarta. 45(10):582-


7.

Damayanti, N., Listiawan, M.Y. 2004. Fisiologi dan Biokomia Pigmentasi Kulit Berkala Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 16(2):156-62.

Goh, Dlova, 1999 Hormonal interaction in Seluler. Available from :


th
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10560271.Accessed at June 29 2014.

Grimes, P.E. 1995. Melasma: Etiologic and Therapeutic Considerations. ArchDermatol.


131:1453-57.

Guerin, M., Huntley, M.E., Olaizola, M. 2003. Haematococcus Astaxanthin: Application for
Human Health and Nutrition. TRENDS in Biotechnology. 21(5):210-16.
Gulzar, K., Mujtaba, G., Hameed, S. 2010. Comparison between Efficacy of Serial Glycolic
Acid Peel and Triple Combination Cream vs Triple Combination Cream Alone in
Treatment Melasma. J Pak Assoc Dermatol. 2010;20:84-8.

Hexsel, D., Rendon, M., Arelano, I. 2007. Ethnic Considerationsin the Treatment of
Hispanic and Latin- American Patient with Hyperpigmentation. Br J Dermatol. 156
(suppl.1):7-12.

Huh, S.Y., Shin, J., Na, J., Huh, C., Youn, S. 2010. The Efficacy and Safety of 4-n-
butylresorcinol 0.1% Creamforthe Treatment of Melasma: A Randomized Controlled
Split-Face Trial. Ann Dermatol. 22(1):21-5.

Hurley, M.E., Guevara, I.L., Gonzales, R.M., Pandya GA. 2002. Efficacy of Glycolyc Acid
Peels in the Treatment of Melasma. Arch Dermatology. 138:1578-82.

Jimbow, K., Minamitsuji, Y. 2001. Topical Therapies for Melasma and Disorders of
Hyperpigmentation. Dermatologic Therapy. 14:35-45.

Kang, W.H., 2002. Melasma: Histopathological Characteristicin 56 Korean Patients. Br J


Dermatol. 146:228-37.

Katsambas, A., Stefanaki, C. 2002. Disorders of Pigmentation: Unapproved Treatments.


Clinics in Dermatology. 20:649-59.

Kim, S.M., Oh, B.H., Lee, Y.W., Choe, Y.B., Ahn, K.J. 2002. The Relation between the
Amount of Sunscreen Applied and the Sun Protection Factor in Asian Skin. J Am Acad
Dermatol; 62(2):218-22.

Koesoema, L. 2008. Faktor - faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya Melasma pada
Pekerja Perempuan di Perkebunan Tebu PTPNII Klumpang. Tesis. Medan Universitas
Sumatera Utara.
Lapeere, H. 2008. Hypomelanoses and Hypermelanoses. Dalam: Fitzpatrick's Dermatology
in GeneralMedicine (Wolff K, GoldsmithL A, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS,
LeffellDJ ), Vol.1.Edisi ke-7. New York: McGraw-Hill. h.622-40.

Lawrence, N., Cox S.E., Brody, H.J. 1997. Treatment of Melasma with Jessner’s Solution
versus Glycolic Acid: A Comparison of Clinical Efficacy and Evaluation of the
Predictive Ability of Wood’s Light Examination. J Am Acad Dermatol. 36(4):589-93.

Lee, J., Yaar, M. 2006. Biology of Melanocytes. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Palter AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine; edisi ke-7. New York: McGraw-Hill. 591-608.

Maeda, K., Naganuma, M., Fukuda, M., Matsunaga, J., Tomita, Y. 1996. Effect of Pituitary
and Ovarian Hormones on Human Melanocytes In Vitro. Pigment Cell Res. 9:204-12.

Menter, A. 2004. Rational for the Use of Topical Coticosteroids in Melasma. J Drugs
Dermatol. 3(2):169-174.

Moertolo. 2009. Pengaruh Astaxanthin (3,3’-dihydroxy-β, β’-carotene-4, 4’-dione ) Topikal


dan Sistemik terhadap Melasma Tipe Epidermal. Makalah Simposium The Natural
Astaxanthin Symposium 2009: AnUpdate on Clinic Research. 1-14.

Nasution, D. 1998. Kelainan Hiperpigmentasi dan Melasma. Disampaikan dalam


Symposium Kelainan Pigmentasi Kulit dan Penanggulangannya. PERDOSKI, Jakarta 6
Januari.

Park, H.Y., Pongpudpunth, M., Lee, J., Yaar, M. 2008. Biology of Melanocytes. Dalam:
Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Palter AS, Leffell DJ, editors.
Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine; edis ike-7. New York: McGraw-Hill.
591-608.
Pandya, A.G. 2010. Reliability Assessmentand Validation of the Melasma Area and Severity
Index (MASI) and a New Modified MASI Scoring Method. J Am Acad Dermatol. 1-8.

Pandya, A., Bemeburg, M., Ortonne, J.P., Picardo, §.M. 2007. Guidelines for Clinical Trials
in Melasma. Br J Dermatol. 156(suppl1):2-28.

Perez-Bernal, A., Munoz-Perez, M.A., Camacho, F. 2000. Management of Facial


Hyperpigmentation. Am J Clin Dermatol. 1(5):261-8.

Pirma, Siburian. 2009. The Role of Astaxanthin for An Aging and Related Diseases. Makalah
Simposium The Natural Astaxanthin Symposium 2009: An Updateon Clinic Research.
1-9.

Rendon, M., Berneburg, M., Arellano, I., Picardo, M. 2008. Treatment of Melasma. J Am
Acad Dermatol. 54(5):S272-81.

Rigopoulos, D., Gregoriou, S., Katsambas, A. 2007. Hyperpigmentation and Melasma. J


Cosmet Dermatol. 6:195-202.

Rosen, C.F. 2003. Topical and Systemic Photoprotection. Dermatologic Therapy. 16:8-15.

Rikyanto. 2006. Profil Kasus Melasma Pelanggan Klinik Kosmetik di RSUD Kota
Yogyakarta. Media Dermato Venerologi Indonesia. 33(1).

Sambandan, D.R., Ratner, D. 2010. Sunscreens: An Overview and Update. J Am Acad


Dermatol. 1-8

Scherdin, U. 2008. Skin-Lightening Effect of a New Face Care Product in Patients with
Melasma. J Cosmet Dermatol. 7:68-75.

Setyaningsih, K.L.S. 1997. Prevalensi melasma dan Pengaruh Pajanan Sinar Matahari
terhadap timbulnya Melasma pada Polisi Wanita di Wilayah Polda Metro Jaya, Tesis.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Sharquie, K.E., Al-Tikreety, M.M., Al-Mashhadani, SA., 2005. Lactic Acid as a New
Therapeutic Peeling Agent in Melasma. Dermatol Surg. 31:149-54.

Shudarmono, A., Febrianti, A., Rata, I., Bernadette, I. 2006. Epidemiologi Melasma di
Poliklinik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RS. Dr. Cipto
Mangunkusumo Tahun 2004. Media Dermato Venereologi Indonesia. 33(1)

Solano, F., Briganti, S., Picardo, M., Ghanem, G. 2006. Hypopigmentation Agents: An Up
date Reviewon Biological,Chemical and Clinical Aspect. Pigment Cell Res. 19:550-71.

Taylor, S., Westerhof, W., Im, S., Lim, J. 2006. Non invasive Techniques for Evaluation of
Skin Color. J Am Acad Dermatol. 54(5):S282-90.

Tirado-Sanchez, A., Santamaria-Roman, A., Ponce-Olivera, R.M. 2009. Efficacy of Dioic


Acid Compared with Hydroquinonein theTreatmentof Melasma. Int J Dermatol. 48:89

Torok, H.M., Jones, T., Rich, P., Smith, S., Tschen, E. 2005. Hydroquinone 4%, Tretinoin
0,05%, Fluocinolone Acetonide 0,01%: A Safe and Efficacious 12-Month Treatment
for Melasma. Therapeutic for the Clinician, Cutis. 75:57-62.

Tork, H.M. 2006. A Comprehensive Review of the Long-Term and Short-Term Treatment
of Melasma with a Triple Combination Cream. Am J Clin Dermatol. 7(4):223-30.

Tjokroprawiro, A., Lea, Y. 2002. Astaxanthin,The Only Strongest and Safest Antioxidant
without Any Pro-Oxydant .Disampaikan dalam Symposium PERKENI, Surabaya 25
Agustus.

Victor, F.C., Gelber J., Rao, B. 2004. Melasma: A Review. J Cutan Med and Surg. 8(2):97-
10

Wu, 2011 Melasma Management and theraphy Available from


th
:http://emedicine.medscape.com/article/1068640-treatment A ccessed at June 29 2014
Zawar, V.P., Mhaskar, S.T. 2004. Exogenous Ochronosis Following Hydroquinone for
Melasma. J Cosmet Dermatol. 3:234-6.
Lampiran 1

Penjelasan kepada pasien di berikan secara lisan pada saat pasien dating untuk berobat
dengan keterangan sebagai berikut :

Selamat pagi / siang Ibu.

Perkenalkan nama saya dr. Almond Wibowo, saat ini saya sedang menjalani pendidikan
magister Anti Aging Medicine dan sedang melakukan penelitian yang berjudul
“TRANEXAMIC ACID MENURUNKAN SKOR MELASMA LEBIH BANYAK
DARIPADATRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon
asetonid 0,01%) DALAM PROSES ANTI AGING KULIT”.

Melasma adalah bercak kecoklatan sampai kehitaman yang terdapat pada wajah terutama
pipi, dahi, hidung, atas bibir, dan dagu.

Manfaat penelitian saya adalah untuk membuka wawasan mengenai penanganan melasma,
menjadi manfaat bagi klinisi dalam penanganan melasma dan menjadi data bagi penelitian
selanjutnya.

Pertama kami akan melakukan pemeriksaan pada penyakit Ibu ini. Nanti Ibu akan di periksa
apakah terdapat bercak-bercak kecoklatan sampai kehitaman pada wajah seperti yang Ibu
keluhkan, kemudian kami akan menilai tingkat keparahan melasma Ibu dengan menggunakan
alat seperti lampu dan menghitung jumlah dan jenis bercak kecoklatan sampai kehitaman
yang terdapat di dahi, pelipis, hidung, pipi, di atas bibir, dan dagu. Bila Ibu izinkan kami akan
mengambil gambar pada saat Ibu diperiksa. Setelah itu Ibu akan kami beri pengobatan berupa
obat yang di oles dan di injeksi, akan tetapi hanya satu macam saja yang akan kami beri dan
diambil secara acak.
Lampiran 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA SUBYEK (PASIEN)

Ibu kami minta untuk dating control sesuai dengan waktu yang di tentukan sampai selesai
pengobatan. Obat oles akan menimbulkan efek samping yang mungkin terjadi akan tetapi hal
ini sangat jarang terjadi dan biasanya dapat menghilang setelah pemakaian obat secara
teratur. Efek samping obat injeksi mungkin berupa perasaan tidak nyaman saat penyuntikan,
sedangkan obat oles mungkin berupa rasa gatal, rasa panas, rasa mencucuk, kulit kering, kulit
bersisik, kulit kemerahan, kulit menipis, bercak-bercak putih pada kulit, bercak-bercak
kecoklatan sampai kehitaman pada kulit, bintil-bintil seperti jerawat, dan kelainan kulit di
sekitar mulut. Apabila terjadi Ibu dapat menghubungi saya di 08179580817 atau di Skin
Acts clinic Alamsutera. Kami akan memberikan pengobatan terhadap efek samping yang
berkelanjutan tersebut pada Ibu sesuai dengan yang Ibu keluhkan.

Ibu tidak akan di kenakan biaya apapun dalam penelitian ini karena biaya ditanggung
sepenuhnya oleh peneliti. Peneliti menjaga kerahasiaan data Ibu dalam penelitian ini. Apabila
Ibu mau mengundurkan diri dari penelitian ini kami tidak bias memaksa Ibu.

Terima kasih saya ucapkan kepada Ibu yang telah berpartisipasi pada penelitian ini.
Demikian penjelasan yang akan di berikan kepada pasien sehingga pasien mengerti tindakan
apa saja yang nanti akan di lakukan dan apa manfaat tindakan tersebut bagi pasien.

Tangerang, ……. 2014

Peneliti

(dr. Almond Wibowo)


Lampiran 3

PERSETUJUAN IKUT SERTA DALAM PENELITIAN

Setelah mendapat penjelasan, saya yang bertandatangan di bawahini :

Nama :

Umur :

Alamat :

.......................................................................................
.......................................................................................
......................................................................................,

Dengan ini menyatakan secara sukarela SETUJU untuk ikut serta dalam penelitian dan
mengikuti berbagai prosedur pemeriksaan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Demikianlah surat pernyataan persetujuan ini dibuat dengan sebenarnya dalam keadaan sadar
tanpa adanya paksaan dari siapapun.

Tangerang, ……. 2014

Dokter pemeriksa Yang menyetujui

(dr.Almond Wibowo )
Lampiran 4
UjiNormalitas Data

Tests of Normality

Kelompok
Masi_pre Kontrol
Perlakuan Kontrol P
Masi_post

a. Lilliefors Significance Correction


*. This is a lower bound of the true significance.

Ujit-independentSkor MASISebelumdanSesudahPerlakuanantarKelompok

Group Statistics
Kelompok
Masi_pre Kontrol
Perlakuan
Masi_post Kontrol
Perlakuan

Independent Samples Test

Masi_ Equal variances pre assumed


Equal variances not assumed

Masi_ Equal variances assumed


post Equal variances not assumed
Lampiran 5
Uji t-paired Skor MASIantaraSebelumdenganSesudahPerlakuan

Kelompok = Perlakuan
a
Paired Samples Statistics

Pair 1 Masi_pre
Masi_post
a. Kelompok = Perlakuan

a
Paired Samples Correlations

Pair 1 Masi_pre&Masi_post
a. Kelompok = Perlakuan

a
Paired Samples Test

Pair Masi_pre -
1 Masi_post
a. Kelompok =
Perlakuan

Kelompok = Kontrol
a
Paired Samples Statistics

Pair 1 Masi_pre
Masi_post
a. Kelompok = Kontrol

a
Paired Samples Correlations

Pair 1 Masi_pre&Masi_post
a. Kelompok = Kontrol
Lampiran 6
a
Paired Samples Test

Pair Masi_pre -
1 Masi_post
a. Kelompok =
Kontrol

You might also like