You are on page 1of 8

ANALISA JURNAL

KESIAPAN PERAWAT GAWAT DARURAT RUMAH SAKIT UMUM DAERAH


KABUPATEN BANDUNG DALAM MENGHADAPI BENCANA
Mata Kuliah Disaster Management

Oleh

1. Anisha Yulianti 152121018

Progam Studi Ilmu Keperawatan


STIKes Widya Cipta Husada Malang
Semester V Tahun Akademik 2017-2018
BAB I
ANALISA JURNAL
1.1. Judul Jurnal
Kesiapan perawat gawat darurat rumah sakit umum daerah Kabupaten
bandung dalam menghadapi bencana
1.2. Tahun Jurnal
Jurnal ini diterbitkan tahun 2017
1.3. Peneliti
1. Diah Ayu Sri Lestari
2. Ayu Prawesti Priambodo
3. Valentina Belinda Marlianti Lumbantobing
1.4. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui kesiapan perawat gawat
darurat RSUD Kabupaten Bandung dalam menghadapi bencana.
1.5. Metode Penelitian
a. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kuantitatif.
b. Waktu dan Tempat
Desember 2017
c. Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah terhadap 33 perawat yang terdaftar sebagai
tenaga perawat di IGD RSUD Soreang dan RSUD Majalaya.
d. Sample Penelitian
Besar sampel penelitian berjumlah 33 perawat
e. Tehnik Sampling
Sampel penelitian yang digunakan adalah total sampling.
f. Instrumen yang digunakan
Instrumen yang digunakan kuesioner EPIQ (Emergency Preparedness
Information Questionnaire)
g. Tehnik Statistik
Tehnik statistik yang di gunakan uji validitas dan reliabilitas dari instrument
didapatkan nilai Cronbach Alpha 0,812.
1.6. Hasil Penelitian
Analisis karakteristik subyek penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 33
responden yang merupakan perawat gawat darurat diRSUD Soreang dan RSUD
Majalaya, sebanyak 1 responden (55%) berusia pada kisaran 31-40 tahun, sebanyak
18 responden (55%) berjenis kelamin pria, sebanyak 26 responden (79%) memiliki
pendidikan terakhir DIII Keperawatan, sebanyak 17 responden (52%) bekerja di
rumah sakit selama lebih dari 10 tahun, sebanyak 12 responden (36%) bekerja di IGD
selama 2-5 tahun, sebanyak 14 responden (42%) telah mengikuti pelatihan BTCLS.
Hal ini dapat dilihat pada table 1.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Perawat Gawat
Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bandung (n=33)

Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesiapan perawat gawat darurat


Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bandung dalam menghadapi bencana secara
keseluruhan dinilai dari 8 dimensi kesiapan yang ada: dari 33 responden, 85%
perawat (28 responden) memiliki tingkat kesiagaan yang sedang. Hal ini dapat dilihat
di tabel 2.
Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat kesiapan perawat gawat darurat Rumah Sakit
Umum Daerah Kabupaten Bandung dalam Menghadapi Bencana (n=33)

Diketahui subvariabel kesiapan perawat dari 8 dimensi didapatkan skor mean


tertinggi (3,16) yaitu sistem komando kejadian, dan skor mean terendah (2,80) yaitu
populasi khusus. Semakin tinggi skor mean maka dikatakan semakin siap dalam
subvariabel tersebut. Nilai standar deviasi menunjukkan semakin besar nilai standar
deviasinya maka keragaman sampelnya semakin besar. Hal ini dapat dilihat di tabel 3.
Tabel 3. Skor Mean dari 8 Dimensi Kesiapan Perawat Gawat Darurat Rumah
Sakit Umum Daerah Kabupaten Bandung dalam Menghadapi Bencana

Diketahui skor mean terendah (3,06) dari subvariabel sistem komando


kejadian adalah pernyataan “Bila bencana mengakibatkan tidak berjalannya fungsi
pelayanan kesehatan di tempat anda bekerja, kendali operasional diambil alih secara
berjenjang ke tempat yang lebih tinggi”. Skor mean terendah (2,52) subvariabel triase
ada pada pernyataan “Pemberian pelayanan dapat dibedakan berdasarkan etnik, legal,
budaya, dan keamanan saat terjadi bencana”. Skor mean terendah (2,82) subvariabel
epidemiologi dan pengawasan ada pada pernyataan “Memberikan pedoman dan
pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana serta penanganan tanggap
darurat kepada tenaga kesehatan adalah tugas BPBD Kabupaten Bandung”. Skor
mean terendah (2,67) subvariabel dekontaminasi ada pada pernyataan “Pengelolaan
lingkungan, pengendalian insektisida, serta pengawasan makanan dan minuman di
tempat pengungsian bukan merupakan tugas tenaga kesehatan yang bertugas di pos
pelayanan kesehatan tempat terjadinya bencana”. Skor mean terendah (2,52)
subvariabel komunikasi dan konektivitas ada pada pernyataan “Bantuan kesehatan
dari dalam maupun luar negeritidak perlu mengikuti standar dan prosedur yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia”. Skor mean terendah
(2,97) subvariabel masalah psikologi ada pada pernyataan “Pos kesehatan untuk
pelayanan kesehatan jiwa hanya diperuntukkan bagi korban bencana dengan kasus
berat dirujuk ke Rumah Sakit terdekat yang melayani kesehatan jiwa”. Skor mean
terendah (2,30) subvariabel populasi khusus ada pada pernyataan “Menyediakan
perawatan bagi pasien kelompok sensitif/rentan (seperti lansia, wanita hamil, wanita,
dan orang cacat) selama terjadinya bencana yang tidak dipungut biaya”. Skor mean
terendah (2,27) subvariabel akses sumber daya kritis ada pada pernyataan “Tempat
penerimaan korban di rumah sakit adalah tempat dimana langsung diberi pelayanan
lanjutan dan tidak dilakukan triase ulang”. Hal ini dapat dilihat ditabel 4.
Tabel 4. Skor Mean Terendah dari Setiap Pernyataan 8 Dimensi Kesiapan Perawat
Gawat Darurat
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Bandung dalam Menghadapi Bencana

Berdasarkan hasil penelitian kepada 33 responden yang merupakan perawat Instalasi


Gawat Darurat RSUD Soreang dan Majalaya dapat diketahui bahwa sebanyak 28 responden
(85%) memiliki kesiapan sedang dalam menghadapi bencana. Pada kesiapan sedang, perawat
dikatakan sudah cukup siap meskipun ada beberapa dimensi yang masih kurang, pada
penelitian ini dimensi yang masih kurang adalah pada penanganan populasi khusus.
Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Hidayati pada tahun 2008 dengan
judul Pengetahuan Perawat Instalasi Rawat Darurat RSUP Dr. Sardjito dalam Kesiapan
Menghadapi Bencana pada Tahap Preparednessmengemukakan bahwa dari 45 perawat
yang dijadikan sampel penelitian didapatkan hasil pengetahuan perawat dalam menghadapi
bencana dikategorikan baik yaitu sekitar 82%. Kesiapan perawat dalam menghadapi bencana
tentu tidak sama satu sama lainnya, kesiapan perawat kemungkinan dapat dipengaruhi
berbagai aspekkesiapan. Penelitian lain di Negara Filipina juga menunjukkan tiga perempat
dari responden (n = 136, 80%) menunjukkan perawat tidak sepenuhnya siap dalam merespon
bencana. Lebih dari separuh responden (n = 98, 57,7%) tidak menyadari protokol
penanggulangan bencana yang ada di tempat kerja (Labrague, Yboa, M., Lobrino,& Brennan,
2015).
Hasil penelitian tersebut juga berbanding terbalik dengan penelitian ini, yang mana
subvariabel sistem komando kejadian memiliki skor mean paling tinggi diantara subvariabel
lainnya. Sistem komando kejadian adalah standar sistem manajemen yang dirancang efektif,
manajemen insiden yang efisien dalam sebuah struktur organisasi. Hal ini menunjukkan
bahwa sebagian besar responden pada penelitian ini mengetahui protokol serta koordinasi
ketika terjadinya bencana.
Berdasarkan usia, hasil penelitian menunjukkan bahwa (55%) atau 18 perawat berada
pada rentang usia 31-40 tahun. Rentang usia tersebut menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
merupakan usia yang sangat produktif. Perawat yang berada di usia tersebut diharapkan
berkualitas tinggi sehingga dapat menguntungkan negara khususnya dalam penanganan
kebencanaan di Indonesia. Berdasarkan faktor lama kerja, hasil penelitian Wahidah (2016)
tentang kesiapan perawat di Puskesmas Kecamatan Gumukmas Kabupaten Jember
memperkuat bahwa faktor paling dominan yang mempengaruhi kesiapsiagaan perawat adalah
faktor lama kerja. Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 12 perawat (36%) telah bekerja
selama 2-5 tahun di IGD. Menurut Mulyaningsih (2013) masa kerja yang lebih lama pada
seseorang menunjukkan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan rekan kerjanya yang
lain. Perawat yang telah bekerja 2-5 tahun di IGD tentu sudah memiliki pengalaman yang
cukup banyak dalam bidang gawat darurat, dan dirasa sudah cukup kompeten di bidangnya.
Dari keseluruhan responden, perawat laki-laki pada penelitian ini lebih mendominasi yaitu
55% atau sebanyak 18 responden. Perawat laki-laki dalam situasi bencana kemungkinan lebih
diperlukan dari pada perawat perempuan. Sebagian besar pendidikan terakhir adalah perawat
lulusan DIII Keperawatan sebanyak 25 perawat (76%), perawat lulusan S1 Keperawatan
sebanyak 6 perawat (15%), perawat lulusan S1 Ners sebanyak 2 (6%). Pendidikan adalah
indikator yang dapat mencerminkan kemampuan seseorang untuk dapat menyelesaikan
pekerjaan (Astuty, 2011). Pendidikan memang mempengaruhi pengetahuan seorang perawat
dalam manajemen bencana.
Berdasarkan hal tersebut, hasil penelitian perawat yang berada dalam kesiapan sedang
juga dapat dikarenakan perawat pelaksana di IGD RSUD Soreang dan Majalaya telah
mendapatkan pelatihan-pelatihan. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.1 didapatkan
sebanyak 14 perawat (42%) sudah mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiovascular Life
Support (BTCLS). Beberapa kemampuan yang harus dimiliki yaitu manajemen bencana,
manajemen rumah sakit lapangan, emergency nursing, Advanced Trauma Life Support
(ATLS), serta Advanced Cardiovascular Life Support (ACLS) (Raharja, 2010). Pengetahuan
dan kemampuan yang ada hubungannya dengan BTCLS merupakan suatu syarat yang harus
dimiliki perawat saat bekerja di layanan kesehatan (Nihayati, 2017).
Peran perawat menjadi lebih kritis ketika menghadapi sebuah bencana, atau dapat di
artikan ketika harus menghadapi suatu situasi yang paling rentan dari biasanya. Perawat
merupakan tenaga kesehatan yang paling dipercaya dari semua profesi kesehatan lainnya, hal
ini didukung dengan penelitian Knebel, Toomey, & Libby, (2012) bahwa para korban melihat
perawat tidak hanya melakukan bantuan klinis selama bencana, tetapi juga memberikan
support. Red Cross and Red Crescent (dalam Nilsson, et al., 2015) menyatakan bahwa
perawat tidak sepenuhnya menunjukkan kompetensi yang siap dalam menghadapi atau
merespon bencana. Penelitian ini menunjukkan meski sudah dilakukan pelatihan, namun
tetap saja terdapat kekurangan pada salah satu dimensi yaitu populasi khusus yang
mendapatkan nilai mean paling rendah yaitu 2,80. Populasi khusus termasuk didalamnya
adalah individu dengan kecacatan fisik serta mental, lansia, wanita hamil, anak-anak,
tahanan, orang dengan ekonomi yang rendah, pekerja yang tidak tetap, dan orang-orang yang
kesulitan berbahasa. Selama keadaan darurat, populasi khusus adalah yang paling banyak
memerlukan perhatian. Kenyataannya kemajuan dalam kebutuhan populasi khusus masih
lambat dan kurang siap. Kegagalan dalam penanganan populasi khusus ketika bencana akan
berdampak pada hilangnya kemampuan untuk bekerja atau hidup mandiri, cedera permanen,
bahkan kematian (Hoffman, 2009).

1.7. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa 85% perawat memiliki kesiapan sedang dalam
menghadai bencana. Nilai mean tertinggi (3,16) berada pada subvariabel sistem
komando kejadian dan skor mean terendah (2,80) terdapat pada subvariabel populasi
khusus. Nilai mean tersebut menunjukkan semakin besar nilai yang diperoleh pada
setiap dimensi, maka dapat dikatakan dimensi tersebut semakin siap menghadapi
bencana.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Implikasi terhadap Keperawatan


1. Perawat dalam ranah keperawatan gawat darurat diharapkan meningkatkan
kemampuan
2. Perawat dapat menggunakan sistem komando yang memiliki nilai tertinggi
untuk lebih meningkatkan kualitasnya dalam sistem komando dilapangan
ketika terjadinya bencana
3. Diharapkan perawat mampu memberikan penatalaksanaan yang tepat dal am
hal pemberian pertolongan saat bencana.
2.2. Kelemahan
1. Tehnik statistik yang digunakan tidak dijelaskan secara terperinci.
2.3. Kelebihan
1. Jurnal tersebut menggunakan bahasa yang mudah dimengerti.
2. Di dalam abstrak sudah dijelaskan secara singkat dan jelas isi jurnal
3. Di dalam jurnal ini peneliti membahas hal-hal penting yang pembaca harus
ketahui secara jelas

You might also like