You are on page 1of 7

PROYEK KONTROFERSI

REKLAMSI PANTAI UTARA JAKARTA

PEMBAHASAN

Reklamasi pantai utara Jakarta terancam setop. Ancaman terhadap kelanjutan rencana
yang sudah digagas 21 tahun lalu itu menguat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menangkap basah Ketua Komisi Pembangunan DPRD DKI Jakarta, M Sanusi menerima rasuah
pada akhir Maret lalu. Dua orang dari pengembang Agung Podomoro juga ditetapkan jadi
tersangka. Komisi juga mencegah dua orang dari swasta bepergian.

Proyek reklamasi pun teraduk dengan berbagai kasus hukum. Bagaimana sebenarnya
seluk-beluk reklamasi itu? Berikut ringkasan ihwal reklamasi di pantai utara Jakarta ini.

1. PENGERTIAN REKLAMASI
Reklamasi adalah pengurukan kawasan air dengan tanah hingga menjadi daratan yang
bisa digunakan sebagai lahan untuk berbagai keperluan, seperti kompleks perumahan,
perkantoran, atau tempat wisata.

2. KRONOLOGI REKLAMASI TELUK JAKARTA

Teluk Jakarta, atau dikenal juga dengan sebutan Pantai Utara Jakarta, berada di sebelah
utara Jakarta. Salah satu kawasan perairan di Jakarta ini secara geografis di sebelah barat
berbatasan dengan Tanjung Pasir, sebelah timur berbatasan dengan Tanjung Karawang, dan di
sebelah utara berbatasan dengan bagian luar Kepulauan Seribu. Tempat ini menjadi muara bagi
sungai besar yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane serta 13 sungai yang berhulu di Bogor.

Teluk Jakarta adalah sebuah kawasan perairan yang kaya dengan hasil lautnya berupa
hewan laut seperti ikan, kerang, kepiting, dan udang. Perairan Teluk Jakarta menjadi salah satu
pemasok ikan dan hewan lainnya di Jakarta.

Wilayah Teluk Jakarta juga menjadi tempat yang penting bagi masyarakat di pesisir
Utara Jakarta yang mata pencahariannya adalah nelayan. Perkampungan nelayan sudah berdiri
lama dan kehidupan mereka bergantung pada laut di Teluk Jakarta. Teluk Jakarta juga menjadi
habitat bagi burung laut Cikalang Christmas. Bahkan, Teluk Jakarta pernah diusulkan untuk
menjadi cagar alam karena menjadi habitat bagi burung laut Cikalang Christmas

Pada tahun 1995, pemerintah pusat memaksakan proyek Reklamasi Teluk Jakarta dengan
dikeluarkannya Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta yang
ditetapkan oleh Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995.

Keppres tersebut menetapkan Reklamasi Pantura sebagai satu-satunya jalan upaya


penataan dan pengembangan ruang daratan dan pantai untuk mewujudkan Kawasan Pantai Utara
sebagai Kawasan Andalan. Kawasan andalan diartikan sebagai kawasan yang mempunyai nilai
strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.

Pada tahun 2003, Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan No. 14
Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara
Jakarta pada 19 Februari 2003. Dalam keputusan tersebut dinyatakan bahwa hasil studi AMDAL
menunjukkan kegiatan reklamasi akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan.

Namun, Surat Keputusan tersebut kemudian digugat oleh 6 perusahaan pengembang yang
telah melakukan kerjasama dengan Badan Pengelola Pantai Utara untuk melakukan reklamasi
Pantura Jakarta. Perusahaan tersebut antara lain PT. Bakti Bangun Era Mulia, PT. Taman
Harapan Indah, PT. Manggala Krida Yudha, PT. Pelabuhan Indonesia II, PT. Pembangunan Jaya
Ancol dan PT. Jakarta Propertindo.

Gugatan tersebut mempermasalahkan dua hal pokok terhadap SK Menteri LH No. 14


Tahun 2003 yaitu Kewenangan Menteri LH menerbitkan keputusan ketidaklayakan lingkungan
rencana reklamasi pantura jakarta dan kewenangan Menteri LH untuk mewajibkan instansi yang
berwenang untuk tidak menerbitkan izin pelaksanaan Reklamasi Pantura.

Dalam persidangan di PTUN tingkat pertama dan kedua, Majelis Hakim mengabulkan
gugatan para pengusaha (Penggugat).Dalam tingkat kasasi, Majelis Hakim berhasil
memenangkan Menteri LH dan Penggugat Intervensi lainnya.Namun di tingkat peninjauan
kembali, Mahkamah Agung kembali memenangkan para pengusaha dan mencabut putusan
kasasi. Putusan PK menyatakan dicabutnya status hukum keberlakuan SK Menteri LH No. 14
Tahun 2003 sehingga proyek reklamasi tetap dilanjutkan.

Pada tahun 2008 muncul Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang
Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur (masa Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono). Perpres No. 54 Tahun 2008 ini mencabut Kepres No. 52 Tahun 1995 dan
Keppres No. 73 Tahun 1995 soal reklamasi namun sepanjang yang terkait dengan penataan
ruang.

Kemudian pada tahun 2012 (masa Gubernur Fauzi Bowo/Foke), DPRD Jakarta
mengesahkan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030
(Perda No. 1 Tahun 2012) yang menggantikan Perda No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang habis masa berlakunya tahun 2010.

Dalam Perda ini, ditetapkan jika Kawasan Tengah Pantura akan dijadikan lokasi program
pengembangan baru di DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, Kawasan Tengah Pantura
dijadikan sebagai kawasan Pusat Kegiatan Primer yang berfungsi melayani kegiatan berskala
internasional, nasional atau beberapa provinsi. Kawasan Tengah Pantura akan menjadi pusat
niaga baru di bidang perdagangan, jasa, MICE (Meeting, Incentives, Convention, Exhibition),
dan lembaga keuangan.

Pada tahun 2015 (masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama/Ahok), pembangunan di


Teluk Jakarta mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin reklamasi Pulau G, Pulau F, Pulau I,
dan Pulau K. Masih ada sekitar 13 Pulau yang belum mendapat izin pelaksanaan reklamasi dari
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

3. TUJUAN REKLAMASI TELUK JAKARTA


Ada 17 pulau yang akan dibangun, mulai dari pulau A hingga Q. Tiga kawasan akan
membagi pulau ini Kawasan barat untuk pemukiman dan wisata. Kawasan tengah untuk
perdagangan jasa dan komersial. Sedang kawasan timur untuk distribusi barang, pelabuhan, dan
pergudangan.
Menurut data Badan Perencana Pembangunan Daerah DKI Jakarta yang dilansir
Kompas.com, ada 9 perusahan pengembang properti mendapat bagian pembangunan di lahan
reklamasi.

1. PT Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Marunda

2. PT Pelindo II

3. PT Manggala Krida Yudha

4. PT Pembangunan Jaya Ancol

5. PT Kapuk Naga Indah (anak perusahaan Agung Sedayu)

6. PT Jaladri Eka Pasti

7. PT Taman Harapan Indah

8. PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan Agung Podomoro)

9. PT Jakarta Propertindo.

Proyek reklamasi ini dinilai membahayakan dan merugikan oleh pegiat lingkungan.

4. NEGARA YANG PERNAH MELAKUKAN REKLAMASI PANTAI


Urusan reklamasi di negeri ini selalu saja ramai. Hal berbeda terjadi di negara-negara di
seberang lautan. Sejak dekade lalu, Uni Emirat Arab membangun lima proyek reklamasi seluas
170 juta meter persegi dengan nilai investasi 10 miliar dollar AS.

1. Proyek Reklamasi di Uni Emirat Arab


Lima proyek itu adalah Dubai Waterfront, Palm Jebel Ali, Palm Jumaeirah, The
World, dan Palm Deira. Palm Jebel Ali dan Jebel Jumaeirah bahkan dikenal dan dikenang
karena pulau yang menyerupai palem dan reklamasi dengan bentuk pulau-pulau utama di
dunia.
Pada tahun 2009, investasi properti di Dubai sempat terguncang sehingga proyek sempat
terhambat. Namun, guncangan serupa juga terjadi di belahan dunia lain, seperti di Eropa dan
Amerika. Setelah guncangan mereda, kemudian pembangunan terus dikerjakan.

2. Proyek Reklamasi di Singapura.


Di Singapura, reklamasi juga terus berlangsung. Seperti halnya Jakarta, reklamasi di
Singapura dimulai pada 1960-an. Luas Singapura bahkan telah bertambah sebesar 20 persen
akibat reklamasi dari 584 kilometer persegi dan kini menjadi 714 kilometer persegi.

Ketika kita mendarat di Bandara Internasional Changi, bandara tersebut didirikan pada
lahan hasil reklamasi. Berkat konsistensi Singapura dalam memberikan pelayanan, bandara
tersebut bahkan menjadi bandara hub di Asia Tenggara.

Terlepas dari suka atau tidak sukanya warga Jakarta dengan reklamasi, toh ketika berlibur
di Singapura, salah satu destinasi tujuan adalah kawasan wisata Marina Bay. Kawasan itu
ternyata juga hasil reklamasi dengan luas setara 17.000 lapangan sepak bola.

Sejak tahun 2008, Marina Bay bahkan menjadi magnet pertumbuhan Singapura. Tiga
menara dengan ”bahtera” di lantai 57 menjadi destinasi utama. Belum lagi, kawasan Marina tiap
bulan September menggelar ajang balap Formula 1, balap mobil paling bergengsi di muka bumi.

Singapura ternyata belum akan berhenti. Kini, Singapura sedang mengerjakan reklamasi
seluas 50 hektar untuk pembangunan industri dan permukiman. Reklamasi itu untuk menjamin
ketersediaan lahan bagi perumahan warga Singapura untuk 20 tahun mendatang.

Di atas lahan itu direncanakan pembangunan 21.000 unit hunian dan apartemen. Ini untuk
menambah portofolio Housing and Development Board (HDB) Singapura yang sebelumnya
telah membangun 1 juta unit hunian.

Apakah reklamasi itu hanya untuk orang kaya? Manajer Komunikasi HDB Singapura
Tay Boon Sun, dikutip dari Kompas, Kamis (5/9/2013), menjawab, ”Tidak!” Kata Tay,
Pemerintah Singapura memberikan subsidi 40 persen dari nilai hunian bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
Justru pada lahan hasil reklamasi tersebut tidak hanya berdiri apartemen mewah, tetapi
juga apartemen-apartemen yang dapat dihuni oleh kebanyakan warga Singapura.

Konsep HDB Singapura, yang memberikan subsidi untuk pembelian hunian, ternyata
pula telah mendorong persentase kepemilikan rumah warga Singapura mencapai 87 persen.

Itulah angka kepemilikan rumah tertinggi di Asia. Hal berbeda terjadi di Indonesia ketika
lokasi-lokasi program rumah sejuta rumah berada justru jauh dari Ibu Kota menuju kawasan
penyangga atau suburban.

3. Reklamasi di Indonesia
UEA dan Singapura tak punya pilihan selain melakukan reklamasi karena adanya
kebutuhan. Di Indonesia, reklamasi juga dilakukan meski sudah dikaruniai oleh ribuan pulau.
Indonesia saat ini tercatat memilik luas daratan Indonesia 1,9 juta km dihuni oleh 249 juta
penduduk. Perlu diingat, luas wilayah itu tidak terbentang dalam satu wilayah, melainkan pulau-
pulai. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2004, jumlah pulau di Indonesia
adalah 17.504. Dengan rincian 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634
belum memiliki nama. Data ini menunjukkan bahwa betapa kayanya Indonesia dengan ribuan
pulau-pulau yang tersebar diseluruh nusantara. Itulah mengapa ide reklamasi kemudian
memunculkan beragam kritikan.

"Mengapa reklamasi seolah menjadi agenda pembangunan yang urgent dilaksanakan


sedangkan Indonesia kaya ribuan pulau? Tidakkah sebaiknya memanfaatkan pulau-pulau yang
sudah ada dengan sedikit biaya dan sentuhan inovasi," kata Agus Puji Prasetyono, Staf Ahli
Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Bidang Relevansi dan Produktivitas dalam
laman resmi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, (20/4/2016).

Selain itu, reklamasi di Indonesia dianggap berisiko tinggi terhadap lingkungan. Tak
hanya itu, reklamasi sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan. Menurut data dari Kiara, 14
wilayah reklamasi di Indonesia, minus Bali, akan mengakibatkan 107.361 kepala keluarga (KK)
nelayan terusir dari tempat penghidupannya.
Penghasilan nelayan juga turun drastis. Muhammad Taher, nelayan Muara Angke
sekaligus Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta mengatakan, hasil
tangkapan menurun drastis setelah reklamasi. Padahal, biaya melautnya semakin tinggi.

"Nelayan dengan kapal di bawah 5 GT bermesin Honda etek-etek biasanya mencari ikan
dengan berbekal bahan bakar 3 liter. Kini, kata Taher, untuk pulang-pergi bisa menghabiskan
bensin 6-7 liter. Jika memutar bahkan, bisa menghabiskan 10 liter," kata taher kepada tirto.id.

Sebelum reklamasi, nelayan bisa mendapatkan penghasilan bersih hingga Rp 200 ribu.
Itu sudah termasuk biaya ransum dan bahan bakar. Setelah reklamasi, nelayan kerap hanya
mendapat Rp15-20ribu. Mendapat penghasilan bersih Rp50 ribu sudah dianggap berhasil.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menegaskan nasib nelayan merupakan
salah satu hal yang harus betul-betul menjadi perhatian terkait reklamasi ini. "Memang,
pemerintah menyediakan tempat baru, tapi yang namanya relokasi itu memulai sesuatu baru dari
lahan yang kosong dan itu membuang waktu yang banyak. Kasihan mereka," kata Susi
kepada tirto.id, Jakarta, Jumat, (15/4/2016).

"Ini harus ada solusi jangka panjang. Kita juga harus memastikan, kepentingan pemerintah dan
publik harus dinomor satukan."

You might also like