You are on page 1of 29

Hipertensi Sebagai Dasar Gagal Jantung

Reza Ainul Yaqin (102016077)

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Terusan Arjuna No. 6, Jakarta Barat 11510

Email: Rezaay97@gmail.com

Abstrak

Gagal jantung di definisikan sebagai keadaan sindrom klinis dengan adanya kelainan fungsi dan
struktur jantung yang bertanggung jawab atas kegagalan jantung memompa darah pada keadaan
yang harus sesuai dengan kebutuhan jaringan untuk metabolisme dan/atau kemampuan jantung
untuk memenuhi kebutuhan peningkatan abnormal tekanan pengisian. Di Eropa kejadian gagal
jantung bekisar 0,4-2% dan rata-rata meningkat pada usia lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun.
Sementara itu, prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis
dokter sebesar 0.13%. Etiologi dari gagal jantung dapat disebabkan berbagai macam hal, salah
satunya adalah hipertensi. Hipertensi yang tak terkontrol menyebabkan terjadinya perubahan pada
struktur dinding jantung akibat adanya pengaruh tekanan hemodinamik serta peranan RAAS dan
saraf simpatis dalam merubah struktur jantung, hingga terjadi gagal jantung. Pada terapi
tatalaksana gawat darurat pada pasien dengan edema akut harus dilaksanakan untuk mengurangi
angka kematian pada pasien. Setelah itu terapi dilanjutkan dengan terapi untuk gagal jantung
seperti pemberian ACE inhibitor, Beta Bloker, serta Antagonis aldosterone. Pada kasus infeksi
pemberian antibiotik digunakan untuk eradikasi penyebab.

kata kunci: gagal jantung, hipertensi

Abstract
Heart failure is defined as a clinical syndromic state with abnormalities in the function and
structure of the heart responsible for heart failure in pumping blood in a situation that must be
in accordance with tissue requirements for metabolism and / or the heart's ability to meet the
needs of abnormal increase in filling pressure. In Europe the incidence of heart failure ranged
from 0.4 to 2% and on average increased in old age, with an average age of 74 years.
Meanwhile, the prevalence of heart failure in Indonesia in 2013 was based on a doctor's
diagnosis of 0.13%. Etiology of heart failure can be caused by various things, one of which is
hypertension. Uncontrolled hypertension causes changes in the structure of the heart wall due to
the influence of hemodynamic pressure and the role of RAAS and sympathetic nerves in changing
the structure of the heart, until heart failure occurs. Emergency treatment in patients with acute
edema should be carried out to reduce mortality in patients. After that therapy is continued with
therapy for heart failure such as giving ACE inhibitors, Beta Blockers, and aldosterone

1
antagonists. In the case of infection antibiotic administration is used for eradication of the
cause.

key words: heart failure, hypertension

Pendahuluan

Pada dasarnya kecukupan darah pada seluruh organ manusia menunjang kehidupan karena
darah membawa oksigen dan zat-zat yang dipergunakan oleh tubuh untuk melakukan metabolisme
zat yang dibutuhkan untuk metabolisme contonya oksigen, asam amino, dan glukosa. Pada
dasarnya organ yang berperan dalam mengalirkan darah ke seluruh tubuh di pegang oleh jantung
dan pembuluh darah, jika terdapat kelainan pada salah satu organ tersebut dapat mempengaruhi
aliran darah ke seluruh tubuh. Pada kasus ini terjadi kelainanan pada jantung dimana terjadi gagal
jantung yang di sebabkan onset akut oleh infeksi pneumonie dan dasar terjadinya gagal jantung di
sebabkan oleh tidak terkontrolnya hipertensi. Dimana gagal jantung menyebabkan terjadinya
penurunan kecukupan darah ke perifer akibat jantung kurang dapat memompa darah ke seluruh
tubuh sehingga terjadi beberapa gejala yang akan di bahas pada artikel ini. Maka melalui makalah
ini maka akan di paparkan mengenai pendekatan kepada pasien yang datang dengan keluhan sesak,
patofisiologi gagal jantung, etiologi, dan penatalaksanaannya.

Anamnesis

Anamnesis adalah wawancara yang dilakukan dokter atau petugas kesehatan terhadap
pasien. hal ini juga berguna untuk menegakkan diagnosis yang ada. Pertanyaan dalam anamnesis
adalah meliputi indentitas (nama, alamat, umur, pekerjaan dan agama). Dilanjutkan dengan
menanyakan keluhan utamanya yaitu keluhan yang membuat pasien datang ke petugas kesehatan.
Kemudian riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga dan
riwayat pribadi.1

Diketahui pada skenario bahwa pasien datang dengan keluhan sesak nafas oleh sebab itu
diperlukan pendekatan diagnostik untuk membedakan pasien tersebut sakit yang disebabkan oleh
gangguan pernapasan atau dari penyakit kardiovaskular.

2
Sesak napas (dyspnea) merupakan keluhan subyektif yang timbul bila ada perasaan tidak
nyaman maupun gangguan atau kesulitan dalam bernapas. Pada pasien sesak dapat ditanyakan
sebagai berikut:2,3

 Mulai kapan keluhan sesak terjadi?


 Berapa lama sesak berlangsung?
 Apakah sesak terjadi secara mendadak dan semakin memberat sampai hari-hari berikutnya?
 Keadaan atau aktivitas apa yang dapat menimbulkan sesak? Seberapa berat aktivitas yang
menimbulkan rasa sesak? (dyspnea on effort)
 Apakah anda tertidur telentang tanpa merasa sesak? Jika tidak, biasanya berapa bantal yang
anda gunakan saat tidur? (orthopneu)
 Apakah anda pernah terbangun di malam hari karena sesak? Apakah disertai mengi atau
batuk?
Perlu ditanyakan hal ini sebab dapat dicurigai pasien tersebut mengalami Paroxysmal
nocturnal dyspnea (PND) adalah sesak napas yang terjadi tiba-tiba pada saat tengah malam
setelah penderita tidur selama beberapa jam, biasanya terjadi pada penderita penyakit
jantung. Hal ini dibedakan dengan asma yang pada umumnya terbangun diantara jam
03.00-05.00 dan disertai mengi. Sesak napas pada penderita asma juga berhubungan
dengan kondisi psikis penderitanya.1
 Apakah pasien juga ada gejala penyerta lain seperti demam, penurunan berat badan, dan
batuk?

Apabila pasien datang dengan keluhan berdebar-debar pada riwayat penyakit sekarang
dapat kita tanyakan sebagai berikut:3

 Apakah anda merasa nyeri atau perasaan tidak nyaman di bagian dada?
 Apakah nyerinya berhubungan dengan aktivitas?
 Aktivitas apa yang memicu nyeri?
 Seberapa intens nyeri yang di rasakan jika diberikan penilaian dari skala 1-10?
 Apakah rasa nyeri menjalar ke leher, bahu, punggung, atau turun ke tangan?
 Apakah ada gejala penyerta seperti sesak napas, berkeringat, palpitasi, atau mual?
 Apakah rasa nyeri sampai membangunkan waktu malam?
 Apakah yang biasanya dilakukan untuk membuat rasa nyerinya berkurang?

Pada riwayat pemyakit dahulu dapat ditanyakan:

3
 Apakah sebelumnya pernah menderita demam rematik, serangan jantung atau tekanan
darah tinggi?

Kemudian pada keluhan penyerta dapat ditanyakan sebagai berikut:

 Apakah ada rasa nyeri didaerah tungkai bawah saat aktivitas? (klaudikasio)
 Apakah tangan atau kaki anda terasa dingin atau biru? (sianosis)

Riwayat pribadi dapat ditanyakan:

 Riwayat merokok?
 Alergi terhadap obat, makanan, cuaca, hewan?
 Riwayat konsusmsi obat?

Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien memiliki riwayat pembesaran


jantung namun tidak control rutin. Pasien membeli obat-obatan sendiri di apotik 1 tahun yang lalu
berobat di spesialis penyakit dalam dengan keluhan sesak saat aktivitas ringan, dan mereda saat
istirahat, serta saat tidur terlentang. Pada umumnya pasien tidak mengalami sesak. Sejak 8 jam
pasien mengalami sesak yang makin memberat dan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan
disertai batuk berdahak kehijauan sejak 2 hari yang lalu disertai demam tinggi. Riwayat hipertensi
selama 10 tahun dan tidak diobati dengan rutin.

Pemeriksaan Fisik

Untuk bisa mengerucutkan pada suatu diagnosis penyebab sesak nafas, perlu dilakukan
pemeriksaan fisik lengkap. Sebelum masuk kepada inspeksi kita melakukan pemeriksaan terhadap
keadaan umumnya kemudian tanda-tanda vital pada pasien. Secara anatomis jantung terbagi atas
beberapa bagian yaitu batas paru-hati pada linea: midclavicularis kanan sela iga ke 4/5 dengan
pranjakan hati 2 jari di bawah batas paru hati, batas kanan jantung: sela iga ke-4 linea sternalis
kanan, batas atas jantung: sela iga ke 2 linea sternalis kiri, batas pinggang jantung: sela iga ke-3
linea parasternalis kiri, batas kiri jantung sela iga ke 4/5 linea midclavicularis kiri, batas bawah
jantung: sela iga 6 linea midclavicularis.

Inspeksi
4
Pada inspeksi dilakukan dengan memperhatikan kulit, jari, kuku, dan kepala pasien.
Mengamati bentuk thoraks untuk melihat ada pectus excavatum, pectus carinatum, scoliosis chest,
barrel chest, warna kulit, lesi kulit, sela iga cembung/cekung dan memperhatikan letak ictus cordis
yang akan tampak sebagai pulsasi dengan ventricular heaving yang kuat angkat dan cepat, pada
sela iga 3,4, dan 5, disekitar linea mediaklavikularis kiri.1

Palpasi

Palpasi dilakukan untuk mengkonfirmsi impuls apeks yang sebelumnya sudah dilihat pada
saat inspeksi, dan mengevaluasi ventrikel kanan, arteri pulmonal, serta pergerakan ventrikel kiri.
Pemeriksaan JVP(jugular venous pressure) merupakan hal penting pada pemeriksaan fisik karena
mencerminkan tekanan atrium kanan atau central venous pressure, yang paling baik diperiksa
melalui inspeksi pada pulsasi vena jugularis. Peningkatan tekanan mencurigai gagal jantung kanan
atau obstruksi vena kava superior. Pada pemeriksaan palpasi dalam keadaan patologis dapat teraba
adanya pulsasi yang keras dan bergelombang yang disebut ventricular heaving. Kelainan ini sering
dijumpai pada kasus mitral isufisiensi.2

Perkusi

Dengan perkusi dapat ditentukan batas-batas jantung, yang pada keadaan patologis seperti
pembesaran jantung kanan maupun kiri, maka pinggang jantung akan melebar ke arah kiri atau
kanan, disertai menghilangnya pinggang jantung

Auskultasi

Pemeriksaan auskultasi merupakan pemeriksaan fisik terpenting pada jantung. Dengan


auskultasi, pemeriksa dapat mendengarkan bunyi jantung, baik normal maupun tidak normal.
Lokasi titik pemeriksaan auskultasi adalah:

1. Apeks, bagian paling lateral dari impuls jantung yang teraba atau disebut juga area
mitral, untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral
5
2. Sela iga ke-4 parasternal kiri disebut area tricuspid, untuk mendengarkan bunyi
jantung yang berasal dari katup tricuspid.
3. Sela iga ke-2 kiri di samping sternum disebut juga area pulmonal untuk
mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup pulmonal.
4. Sela iga ke-2 kanan di samping sternum, disebut juga area aorta, untuk
mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup.

Adapun suara patologis yang mungkin dapat terdengar pada kelainan jantung adalah gallop
yaitu bunyi jantung seperti derap kaki kuda yang sedang berlari. 1 Gallop memiliki nada yang
rendah dan tumpul atau halus yang dihasilkan akibat pengisian darah diventrikel kiri dari atrium
kiri yang berlangsung dengan cepat dan mendadak berhenti pada fase awal diastolic. Penyebabnya
antara lain penurunan kontraktilitas miokardium, gagal jantung kongesti, dan overload volume
ventrikel. Selain itu suara jantung tambahan dapat berupa murmur merupakan bising jantung yang
harus didengar baik-baik dan dibedakan berdasarkan waktu.2,3

Hasil pemeriksaan fisik berdasarkan skenario adalah keadaan umum tampak sakit berat,
kesadaran kompos mentis, Tanda-tanda vital: tekanan darah 90/60mmHg, frekuensi nadi
120x/menit, frekuensi napas 32x/menit, suhu 38,5 oC, saturasi O2: 97%, kepala dan leher:
konjungtiva anemis, sclera tidak ikterik, JVP 5+2cmH2O, thoraks: suara napas vesicular, ronkhi
basah kasar diseluruh lapang paru, bunyi jantung 1-2 murni regular, mur-mur (-), gallop (+) S3.
Akral: hangat, tidak ada sianosis, tidak edema pada kedua tungkai.

Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis gagal jantung adalah berdasarkan simtom-simtom yang ada dan penemuan-
penemuan klinis. Konfirmasi dan pemantauan dari diagnosis diperoleh dari anamnesa yang teliti,
pemeriksaan jasmani, EKG (Ekokardiogram), foto thoraks dan penemuan laboratorium dan
analisis gas darah.

Pemeriksaan Darah Rutin

6
Pemeriksaaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah meliputi pemeriksaan darah
rutin hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit. Salah satu indikasinya untuk mengetahui
apakah ada terdapat infeksi yang disebabkan oleh bakteri dengan melihat kadar leukositnya.
Berdasarkan skenario didapatkan bahwa pasien menderita sesak nafas maka dapat dianjurkan
pemeriksaan analisa gas darah untuk menilai oksigenasi Po2, fungsi respirasi Pco2dan
keseimbangan asam basa selain itu analisa gas darah juga bisa untuk menyingkirkan diagnosis
banding terhadap PPOK dan apabila terjadi asidosis maka merupakan petanda perfusi jaringan
yang buruk atau retensi CO2.

Radiografi Toraks

Roentgenogram dada memberikan informasi tentang ukuran dan konfigurasi jantung dan
pembuluh darah besar serta tekanan dan aliran vena dan arteri pulmonalis. Dilatasi bilik jantung
biasanya menghasilkan perubahan ukuran dan kontur jantung. Hipertrofi miokard, sebaliknya,
seringkali mengakibatkan penebalan dinding pada ukuran kavitas, hanya menimbulkan
perubahan ringan dari bayangan jantung. Roentgenogram dada posteroanterior (PA) dan lateral
dilakukan secara rutin. Rangkaian jantung yang lengkap, juga termasuk pandangan oblik anterior
kiri dan kanan dan fluoroskopi intensifikasi-pencitraan mungkin digunakan lebih baik untuk
menilai ukuran ruang, bentuk, dan gerakan; mendeteksi kalsifikasi; mengetahui efusi perikardial
atau penebalan jika lemak epikard dapat didentifikasi; dan menilai gerakan prostesis katup yang
radioopak.4

Radiografi toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio kardiotorasik (CTR)


>50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis. Ukuran jantung yang normal tidak
menyingkirkan diagnosis dan bisa didapatkan pada gagal jantung kiri akut, seperti yang terjadi
pada infark miokard. regurgitasi katup akut, atau defek septum ventrikel (VSD) pasca infark.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan. LVH. atau kadang oleh
efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri. Normalnya,
perfusi paru terlihat lebih banyak di basis paru, namun dengan kongesti vena paru (gagal LV)
timbul diversi lobus atas dan ketika tekanan vena pulmonalis meningkat melebihi 20 mmHg,
terjadi edema interstisial yang menyebabkan garis septal terutama pada basis. Ketika tekanan
meningkat melebihi 25 mmHg, terjadi edema hilar dengan distribusi kupu-kupu atau sayap
7
kelelawar, dan edema perivaskular menyebabkan gambaran awan pada pembuluh darah.
Pembesaran vena kava superior dan vena azigos dapat terlihat. Bila gagal jantung menyebabkan
efusi pleura, maka biasanya bilateral namun bila unilateral cenderung lebih sering terjadi pada
sisi kanan. Efusi sisi kiri unilateral harus membuat seorang dokter berpikir mengenai
kemungkinan penyebab lain seperti keganasan atau infark paru.5

Elektrokardiogram (EKG)

Alat ini merekam aktivitas listrik di atrium dan ventrikel serta membentuk gelombang
dan komplek yang spesifik. Aktivitas listrik tersebut didapat dengan menggunakan elektroda
dikulit yang dihubungkan dengan kabel ke mesin EKG. Jadi EKG merupakan voltmeter yang
merekam aktivitas listrik akibat depolarisasi sel otot jantung. EKG memperlihatkan beberapa
abnormalitas pada sebagian besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T,
hipertrofi LV, gangguan konduksi, aritmia.5

Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang didapatkan laboratorium: Hb 16g/dl, Ht 48%,


leukosit 16.000/ul, trombosit 350.000/ul, dari hasil EKG didapatkan LVH (left ventrikel hipertrofi)
S V2+ R V5-V6> 35 kotak kecil, dan pada gambaran foto thorax didapatkan infiltrate pada middle
lobe paru kanan, cardio thoracis ratio lebih dari 50% (Gbr.1).

8
Gambar 1. Gambaran Foto Thoraks PA pada Pasien.

Working Diagnosis / Diagnosis Kerja

Working diagnosis dari skenario ini berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang adalah keadaan akut pada keadaan dekompensasi dari gagal jantung kronis yang
sebelumnya stabil dengan pemicu adalah infeksi pada paru, serta penyakit jantung hipertensi pada
pasien tersebut. Pada gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang komplek
yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatique, baik dalam keadaan istirahat atau
latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. 6 Pada gagal
jantung kronis didapatkan kardiomiopati dilatasi dan kongesti perifer sangat menyolok, namun
tekanan darah masih terpelihara dengan baik. Sedangkan gagal jantung akut didefinisikan sebagai
timbulnya gejala sesak nafas secara cepat <24 jam akibat kelainan fungsi jantung, gangguan fungsi
sistolik dan diastolik atau irama jantung, kelebihan beban awal (preload), beban akhir (afterload).

Selain itu terdapat pula kriteria Framingham yang dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis gagal jantung kongestif. Diagnosis di tegakkan dengan minimal terdapat 1 kriteria
major dan 2 kriteria minor.Kriteria Framingham dapat di lihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kriteria Framingham

Kriteria Major Kriteria Minor


Paroksismal nocturnal dyspnea Edema ekstremitas
Distensi vena leher Batuk malam hari
Ronki paru Dispnea d’effort
Kardiomegali Hepatomegali
Edema paru akut Efusi pleura
Gallop S3 Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Peninggian tekanan vena jugularis Takikardia (>120x/menit)
Refluks hepatojugular

9
Pada pasien diketahui sudah menderita kardiomegali adalah yaitu kondisi ketika jantung
mengalami pembesaran akibat penyakit tertentu, misalnya hipertensi, dan dapat terlihat melalui tes
pencitraan, seperti foto Rontgen. Pembesaran jantung terjadi saat otot bekerja terlalu keras
sehingga menebal, atau ketika ventrikel jantung melebar. Kondisi ini membuat darah tidak dapat
terpompa secara efektif, sehingga dapat memicu gagal jantung. Berdasarkan hasil EKG juga
terlihat adanya hipertrofi dari ventrikel kiri menunjukkan adanya kompensasi dari kerja jantung
untuk memenuhi kebutuhan darah diseluruh tubuh yang lama kelamaan bagian jantung akan
terlihat menciut dan hal ini dapat meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan menyebabkan sesak
pada pasien. Pada pasien gagal jantung dalam skenario menunjukkan pada kondisi yang stabil
walaupun dipengaruhi oleh keadaan aktivitas ringan pun dapat menimbulkan sesak (kapasitas
fungsional class II NYHA). Namun yang membuat keadaan pasien memburuk dan memasuki fase
akut adalah dicurigai oleh adanya infeksi bakteri, ditandai dengan kenaikan leukosit, demam, batuk
berdahak kehijauan, dan pada usia tua sistem imun kurang baik selain itu, terdapat gambaran
infiltrate pada gamban paru-paru pasien tersebut, diagnosis kerja yang bisa disimpulkan saat ini
adalah acute on chronic heart failure ec pneumonia.

Epidemologi

Di Eropa kejadian gagal jantung bekisar 0,4-2% dan rata-rata meningkat pada usia lanjut,
dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantun akan jelek apabila dasar atau
penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal
dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari50%
akan meninggal dalam tahun pertama.3Sementara itu, prevalensi penyakit gagal jantung di
Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter sebesar 0.13%.5

Definisi Gagal Jantung

Gagal jantung di definisikan sebagai keadaan sindrom klinis dengan adanya kelainan fungsi
dan struktur jantung yang bertanggung jawab atas kegagalan jantung memompa darah pada
keadaan yang harus sesuai dengan kebutuhan jaringan untuk metabolisme dan/atau kemampuan
jantung untuk memenuhi kebutuhan peningkatan abnormal tekanan pengisian.7

10
Etiologi Gagal Jantung

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah dekompensasi
dari gagal jantung menahun, sindroma koroner akut, hipertensi tidak terkontrol (krisis
hipertensi), aritmia akut, kardiomiopati, miokarditis, kebocoran katup, stenosis aorta, septikemia,
anemia, penyakit jantung bawaan, dan infeksi seperti pneumonia.7

Pada pasien usia lanjut dan dengan penyakit gagal jantung kronik maka hal ini menjadi
peluang peningkatan frekuensi infeksi pneumokokus, berikut adalah tiga kelompok pasien yang
rentan terhadap infeksi pneumokokus: (1) Pasien dengan penyakit kronik seperti gagal jantung
kronik, PPOK, atau diabetes; (2) pasien dengan efek immunoglobulin kongenital atau didapat/
acquired immune deficiency syndrome (AIDS); (3) pasien dengan fungsi limpa yang menurun
atau tidak ada, infeksi sering terjadi pada seseorang dengan gangguan pada limpa karena
diketahui fagosit pada limpa adalah yang terbesar, sehingga merupakan organ yanag berperan
untuk membuang pneumokokus dari darah.

Pada kasus skenario didapatkan adanya penyakit hipertensi kardiovaskular yang tidak
terkontrol dan berkepanjangan menyebabkan kenaikan tekanan darah dapat menyebabkan
perubahan pada struktur dari miokardium, vaskularisasi arteri koroner dan konduksi dari sistem
jantung.

Hipertensi

Menurut American Society of Hypertension (ASH) hipertensi adalah suatu sindrom atau
kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks
dan saling berhubungan. Hipertensi di dapatkan pada keadaan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Lebih jelas klasifikasi dari hipertensi
berdasarkan dari tekanan darah dapat dilhat Tabel 1.

11
Tabel 1. Klasifikasi dari kenaikan tekanan darah berdasarkan The Seventh Report of the
Joint National Committee (JNC7) on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High
Blood Pressure.8

Tekanan sistolik Tekanan diastolik


Klasifikasi (JNC7)
mmHg mmHg

Normal 90–119 60–79

Pra-hipertensi 120–139 80–89

Hipertensi Derajat 1 140–159 90–99

Hipertensi Derajat 2 ≥160 ≥100

Etiologi dan Patofisiologi Hipertensi

12
Secara fisiologis tekanan darah yang di hasilkan oleh jantung di pengaruhi oleh curah
jantung (cardiac output) dan resistensi perifer dapat dapat dilihat pada (Gbr.2). Dengan begitu
etiologi penyakit jantung hipertensi merupakan interaksi yang kompleks dari berbagai faktor
hemodinamik, struktural, neuroendokrin, seluler, molekuler, dan juga lingkungan yang
mempengaruhi cardiac output dan peripheral resictance (Gbr.3) dan (Gbr4). Faktor-faktor ini

memainkan peran dalam pengembangan hipertensi dan komplikasinya. Namun, peningkatan


tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor ini.

Gambar 2. Hal – Hal yang Berpengaruh terhadap Tekanan Darah.

Gambar 3. Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Tekanan darah

13
Gambar 4. Gambaran Bagaimana dapat Terjadi Hipertensi.

2 mekanisme utama yaitu, sistem simpatis dan sistem renin-angiotensin aldosterone


(RAAS) mempengaruhi terjadinya peningkatan tekanan darah. Aktivitas sistem simpatis terjadi
sebagai reaksi terhadap penurunan curah jantung yang dipresepsi oleh baroreseptor. Peningkatan
aktivitas simpatis menyebabkan peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi denyut jantung
melalui stimulasi reseptor adrenergic β1 di jantung. Akibatnya terjadi peningkatan curah jantung
sebagai kompensasi terhadap penurunan curah jantung. Aktivasi sistem RAAS di mulai dengan
sekresi renin oleh sel jukstaglomerular di ginjal melalui stimulasi reseptor adrenergic β 1 dan
sebagai reaksi terhadap berkurangnya perfusi ke ginjal. Sekresi renin akan menghasilkan
angiotensin II, yang memiliki 2 efek utama yaitu, sebagai vasokontriktor kuat dan sebagai
perangsang produksi aldosterone di korteks adrenal. Efek vasokontriksi oleh aktivitas simpatis dan
angiotensin II akan meningkatkan preload dan afterload jantung, sedangkan aldosterone
menyebabkan retensi air dan natrium yang akan menambah peningkatan preload jantung. Tekanan
pengisian ventrikel (preload) yang akan meningkatkan curah jantung sebagai mekanisme
kompensasi. 9

Akan tetapi perubahan maladaptif tersebut terutama peningkatan tekanan dinding ventrikel
yang berlebihan lama-kelamaan akan menyebabkan apoptosis sel jantung dan proliferasi jaringan
ikat (fibrosis), sehingga kontraktilitas miokard akan menurun. Proses yang menghasilkan
perubahan maladaptif dalam struktur dan fungsi jantung ini disebut remodeling jantung. 9

Selain itu, peningkatan stres hemodinamik pada ventrikel (peningkatan preload dan
afterload jantung), aktivasi sistem neurohormonal endogen seperti norepinefrin, epinefrin,
angiotensin II, aldosteron, dll) secara bersamaan juga mempunyai efek toksik langsung pada sel
jantung untuk terjadinya remodeling jantung. 9

Hubungan Hipertensi dan Gagal jantung

Hipertensi dapat memiliki beberapa target organ yang karena hipertensi target organ
tersebut dapat mengalami keruskan, salah satu dari organ target dari hipertensi adalah jantung
Gbr.5. Kompensasi jantung pada beban kerja yang berlebihan dibebankan dengan kenaikan
tekanan sistemik yang mula-mula dipertahankan dengan hipertrofi ventrikel kiri. ditandai oleh
14
ketebalan dinding yang bertambah. fungsi ruang ini memburuk, kavitas berdilatasi, dan timbul
gejala dan tanda gagal juntung. Pada pemeriksaan fisis. jantung membesar impuls ventrikel kiri
menonjol. Bunyi penutupan aorta menonjol, dan mungkin terdapat murmur lemah dari regurgitasi
aorta. Bunyi jantung protosistolik (atrium, keempat) sering terdengar pada penyakil jantung
hipertensi. dan bunyi jantung protodiastolik (ventrikel, ketiga) atau mungkin terdapat
penggabungan ritme gallop. Perubahan elektrokardiografik dari hipertrofi ventrikel kiri.10

Gambar 5. Target Organ pada Penyakit Hipertensi.

Patofisiologi Gagal Jantung

Gagal jantung terjadi ketika curah jantung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh
akan O2. Gagal jantung adalah suatu sindrom klinik yang kompleks akibat kelainan structural dan
fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk diisi dengan darah atau untuk
mengeluarkan darah. Manifestasi gagal jantung yang utama adalah (1) sesak nafas dan rasa lelah,
yang membatasi kemampuan melakukan kegiatan fisik, dan (2) retensi cairan, yang menyebabkan
kongesti paru dan edema perifer.

15
Pada pasien dengan kerusakan jantung akibat dari proses pengulangan dari hipertensi
yang tidak terkontrol menyebabkan perubahan berupa pembesaran ventrikel kiri,selain itu akibat
pembesaran terjadi dilatasi dan akan menyebabkan terjadinya gagal jantung sistolik. Pada
keadaan tersebut terjadi penurunan kardiak output yang mengakibatkan kurangnya pasokan
darah keseluruh tubuh mengakibatkan ginjal mengkompensasi dengan mekanisme RAAS dan
saraf simpatis. RAAS akan menimbulkan vasokontriksi, dan angiotensin II dapat mempengaruhi
hormone aldosteron selain mempunyai efek vasokontriksi juga untuk meretensi cairan, akibatnya
terjadi edema dan juga meningkatkan tekanan pengisian jantung. Pada kasus ini angiotensin II
dan aldosteron akan menyebabkan remodeling jantung lalu siklus (Gbr.6), akan terus
berlangsung hingga terjadi dekompesasi pada jantung. Pada paru terjadi edema disebabkan oleh
karena pengaruh gaya starling diakibatkan kegegalan ventrikel kiri dalam melaksanakan tugas
menyembabkan terjadinya peningkatan tekanan vena pulmonalis yang menimbukan kongesti
vascular pada vena pulmonalis yang pada kasus yang progresif dapat menyebabkan edema pada
paru.

Gambar 6. Bagan Patofisiologi Gagal Jantung.

16
Pada pasien usia lanjut, perubahan struktur jantung dan sistem kardiovaskular
merendahkan ambang rangsang untuk gagal jantung. Kolagen interstisial dalam miokardium
meningkat, miokardium menegang, dan relaksasi miokard menjadi lebih panjang. Perubahan ini
menyebabkan penurunan signifikan fungsi diastolik ventrikel kiri, bahkan pada orang tua sehat.
Penurunan fungsi sistolik juga terjadi seiring bertambahnya usia. Selain itu, terjadi penurunan
pada miokard dan respons vaskular terhadap stimulasi beta adrenergik yang akan merusak
kemampuan respons sistem kardiovaskular terhadap peningkatan kebutuhan kerja. Dengan
demikian, pasien lanjut usia lebih rentan terkena gagal jantung sebagai respons terhadap stres
atau kelainan sistemik. Stresor termasuk infeksi (paling sering pneumonia), hipotiroid,
hipertiroidi, anemia, iskemia miokard, hipoxia, hipotermia, hipertermia, gagal ginjal, obat-
obatan, (termasuk NSAID [nonsteroidal antiinfl ammatory drug), penyekat beta [beta blocker],
dan penyekat kanal kalsium [calcium channel blocker]).11

New York Heart Association (NYHA) membuat gradasi keparahan gagal jantung dalam 4
kelas fungsional berdasarkan jumlah aktivitas fisik yang diperlukan untuk menimbulkan gejala-
gejalanya.6,9,11

Kelas I: Tidak ada limitasi aktivasi fisik. Tidak timbul sesak napas, rasa lelah, atau palpitasi
dengan aktivitas biasa.

Kelas II: Sedikit limitasi aktivitas fisik. Timbul rasa lelah, palpitasi, dan sesak napas dengan
aktivitas fisik biasa, tetapi nyaman sewaktu istirahat.

Kelas III: Aktivitas fisik sangat terbatas. Aktivitas fisik kurang dari biasa sudah menimbulkan
gejala, tetapi nyaman sewaktu istirahat.

Kelas IV: Gejala-gejala sudah ada sewaktu istirahat, dan aktivitas fisik sedikit saja akan
memperberat gejala.

17
Differential Diagnosis / Diagnosis Banding

a. Cor Pulmonale

Cor Pulmonale, didefinisikan sebagai suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan


dilatasi ventrikel kanan tanpa atau adanya kejadian gagal jantung kanan. Timbul akibat
penyakit yang menyerang struktur atau fungsi paru atau pembuluh darahnya. Definisi ini
menyatakan bahwa penyakit jantung kiri maupun penyakit jantung bawaan tidak
bertanggung jawab atas pathogenesis kor pulmonale. Kor pulmonale dapat terjadi akut
atau kronik.

Cor pulmonale dapat digolongkan dalam 4 kelompok; (1) penyakit pembuluh


darah paru (2) tekanan darah pada arteri pulmonal oleh karena tumor mediastinum,
aneurisma, granuloma atau fibrosis (3) penyakit neuromuscular dan dinding dada (4)
penyakit yang mengenai aliran darah paru, alveoli, termasuk PPOK. Manifestasi yang
dapat ditemui adalah adanya keluhan lesu, takipneu,dan batuk-batuk, dyspnea timbul
sebagai gejala emfisema dengan atau tanpa kor pulmonale. Penatalaksanaan (1)
mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2) menurunkan hipertensi pulmonal; (3)
meningkatkan kelangsungan hidup; (4) pengobatan penyakit berdasarkan komplikaisnya.

b. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)


ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas
membrane aveolar kapiler terhadap air, larutan, dan protein plasma, disertai kerusakan
alveolar difus dan akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkim paru.
Patogenesis ARDS muncul sebagai respon terhadap berbagai trauma dan penyakit
yang mempengaruhi paru, dapat diakibatkan secara sistemik seperti sepsis, luka bakar,
overdosis, dan yang diakibatkan oleh paru sendiri seperti aspirasi asam lambung, ekspose
radiasi,pneumonia berat dan trauma paru. Kedua hal tersebut dapat mengaktifkan kaskade
inflamasi dan pada akhirnya dapat terbentuk jaringan fibrosis pada paru-paru.
Gambaran klinisnya ialah takipnea, retraksi intrakostal,adanya ronki basah kasar
yang jelas, gambaran hipoksia/sianosis yang tidak respon dengan pemberian oksigen.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan foto thoraks terdapat infiltrate difus bilateral.12
c. PPOK

18
Penyakit paru obstruktif terjadi karena adanya hambatan jalan nafas, ditandai oleh
terhambatnya aliran udara, biasanya terjadi akibat meningkatnya resistensi yang
disebabkan oleh hambatan parsial atau total pada berbagai tahap. Gejala klinis nya berupa
sesak napas kronis, batuk produktif kronis, mudah lelah. Faktor resikonya antara lain
adalah pajanan asap rokok, polusi udara didalam ruangan, pekerjaan yang berkaitan dengan
paparan bahan kimia dan partikel yang lama dan terus-menerus. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemui barrel chest, penggunaan otot bantu nafas, pelebaran sela iga, fremitus
melemah, ekpirasi memanjang. Pada pemeriksaan penunjang nya pada foto thoraks
terdapat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, diafragma mendatar dan setelah penggunaan
bronkodilator hasil VEP1/KVP <70 %(0,70) menjelaskan bahwa pasien mengalami
PPOK.13

Penatalaksanaan Emergency Gagal Jantung dengan Edema Paru

Pada penatalaksanaan keadaan darurat pasien gagal jantung dapat dilihat pada Gbr.7. pada
keadaan darurat penanganan yang cepat dan tepat dapat menurunkan mortalitas pada pasien
dengan keadaan gagal jantung akut dengan edema paru akut.

19
Gambar 7. Algoritma untuk Tatalaksana Gagal Jantung Akut dengan Edema Paru.6

Penatalaksanaan
20
Target terapi awal adalah secepatnya memperbaiki gejala-gejala atau keluhan dan
menstabilkan kondisi hemodinamika. Walaupun tidak semua tatalaksana memiliki evidence based
yang sama, tetapi terapi yang penting adalah oksigen, diuretic, dan vasodilator. Sebagai tatalaksana
pada masa akut atau sesak maka dapat diberikan: 6,9,11

Oksigen

Diberikan secepat mungkin pada pasien hipoksemia untuk memperoleh saturasi O 2 arterial>
95% atau >90% pada pasien PPOK. Harus hati-hati pada pasien obstruksi saluran napas berat
untuk mencegah hiperkapnia. Tidak diberikan rutin pada pasien yang non hipoksemia karena efek
vasokontriksi dan penurunan curah jantung.

Ventilasi Non Invasif (NIV)

Ventilasi non infasif digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengatasi gejala pasien
edema paru dan distress pernapasan yang berat atau yang gagal dengan terapi farmakologi.
Indikasi: ventilasi non invasive merujuk ke semua upaya untuk membantu pernapasan, tanpa
memakai endotracheal tube, tetapi lebih jauh dari pemasangan masker penutup wajah. NIV dengan
positif end expiratory pressure (PEE) harus dipertimbangkan secepat mungkin pada semua pasien
dengan edema paru kardiogenik akut dan GJA hipertensif akan segera memperbaiki parameter
klinis termasuk gagal napas. Kontraindikasi pada pasien tidak kooperatif (tidak sadar, gangguan
kognitif berat, ansietas, muntah, hipotensi dan kemungkinan pneumotoraks), hati-hati pada
penyakit obstruksi saluran napas berat. Efek sampingnya antara lain perburukan jantung kanan,
mukosa membrane yang jadi kering akibat pemakaian yang lama, hiperkapnia, asfiksia.

Morfin

Morfin harus dipertimbangkan pada stadium awal GJA, terutama bila pasien gelisah, sesak
napas, ansietas atau nyeri dada. Morfin sebagai venodilator, menurunkan preload juga menurunkan
rangsangan saraf simpatis. Morfin diberikan bolus 2,5-5 mg IU dan dapat diulang seperlunya
respirasi harus dimonitor, kadang timbul nausea dan bila perlu boleh pakai anti emetic. Hati-hati
pada hipotensi, bradikardia AV block dan retansi CO2

21
Vasodilator

Vasodilator dapat berupa nitrogliserin (NGT) isososrbid dirurat (ISDN) nitroprusside dan
nesiritid. Vasodilator direkomendasikan pada tahap awal dari GJA apabila tidak ada tanda-tanda
hipotensi yang simtomatik, tekanan sistolik <110mmHg atau penyakit valvular obstruktif yang
serius. Penurunan tekanan darah yang drastissebaiknya dihindari karena hipotensi berkaitan
dengan mortalitas yang tinggi pada pasien gagal jantung. Indikasi pemberian vasodilator:

Pemberian IV nitrat atau nitroprusid direkomendasikan bila tekanan sistolik >100 mmHg dan
hati-hati bila tekanan darah sistolik antara 90 dan 110 mmHg. Vasodilator dapat menurunkan
tekanan sistolik, mengurangi tekanan pengisian jantung kiri dan sisi kanan dan tekanan vascular
sistemik dan memperbaiki sesak napas.

 Vasodilator mengatasi kongesti paru tanpa mempengaruhi strok volume atau meningkatkan
konsusmi oksigen pada miokardium, terutama pada pasien SKA.
 Pada GJA calcium antagonis tidak dianjurkan.
 Vasodilator tidak diberikan apabila tekanan darah sistolik < 110mmHg, dapat mengurangi
perfusi organ
 Efek samping yang potensial adalah sakit kepala pada pemberian nitrat, takipilaksis sering
sesudah pemberian 24-48 jam.

Penghambat ACE

Penghambat ACE menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Penghambat


ACE dengan mengurangi pembentukan Ang II akan menghambat aktivitas Ang II di reseptor AT 1
maupun AT2. Maka terjadi pengurangan hipertrofi miokard dan penurunan preload jantung akan
menghambat progesi remodeling jntung. Enzim ACE adalah kininase II, maka penghambat ACE
akan menghambat degradasi bradikinin sehingga kadar bradikinin yang terbentuk lokal diendotel
vascular akan meningkat.

Sehingga efek samping dari ACE inhibitor adalah batuk kering. Penghambat ACE
merupakan terapi lini pertama untuk pasien dengan fungsi sistolik menurun, pada pasien tanpa

22
gejala, obat ini diberikan untuk menunda atau mencegah terjadinya gagal jantung, dan juga
mengurangi resiko infark miokard dan kematian mendadak.

Pada pasien tanpa retensi cairan ACE inhibitor diberikan sebagai terapi awal;pada pasien dengan
retensi cairan obat ini harus diberikan bersama diuretic. Efek samping yang penting adalah batuk,
hipotensi, gangguan fungsi ginjal, hyperkalemia, dan angioedema. Pasien yang tidak dapat
mentoleransi obat ini karena batuk. Dapat menggunakan AT1 bloker sebagai alternative yang
efektif. Pemberian ACE inhibitor selalu diberikan dari dosis terkecil sampai dosis pemeliharaan
yang telah terbukti efektif. Sediaan yang biasa dipakai adalah kaptopril dengan dosis awal 6,25mg
tid dengan dosis pemeliharaan 25-50mg tid.

Β-Bloker

Mekanisme kerja B-bloker berkja terutama dengan mengambat efek merugikan dari
aktivitas simpatis pada pasien gagal jantung, efek ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan
dengan efek intropik negatifnya. B-bloker mencegah aktivitas simpatis yang berkepanjangan pada
jantung yang telah mengalami disfungsi. Pemberian B-bloker pada gagal jantung akan mengurangi
kejadian iskemia miokard, mengurangi stimulasi sel-sel automatic jantung, sehingga mengurangi
resiko terjadinya aritmia jantung. B-bloker juga menghambat pelepasan renin sehingga
menghambat aktivasi sistem RAA, sehingga progesi gagal jantung akan terhambat. Sekarang ini
B-bloker direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada pasien gagal jantung ringan dan sedang
(NYHA II-III). Pemberian B-bloker kepada pasien pada saat tenang.

Indikasi pemberian penyekat β


 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai sedang (kelas fungsional II - III NYHA)
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada kebutuhan inotropik
i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi pemberian penyekat β


 Asma

23
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung
permanen), sinus bradikardia (nadi < 50x/menit)

Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung


 Inisiasi pemberian penyekat β
 Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakitpada pasien dekompensasi secara
hati-hati.
Efek samping berupa hipotensi simptomatik , perburukan gagal jantung dan bradikardi

Antagonis Aldosteron

Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus


dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik
berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosterone mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan
meningkatkan kelangsungan hidup.

Indikasi pemberian antagonis aldosteron


 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA)
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)

Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron


 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB
Efek samping dapat berupa ; hiperkalemia, gagal ginjal dan nyeri atau pembesaran payudarah

Antagonis Angiotensin II (AT1-Bloker)

24
Antagonis angiotensin II menghambat aktivitas Ang II hanya pada reseptor AT1 dan tidak di
reseptor AT2, maka disebut AT1-bloker. Tidak adanya hambatan kinase II menyebabkan bradikinin
dipecah menjadi kinin inaktif, sehingga vasodilator NO dan PGl2 tidak terbentuk. Karena itu AT1-
bloker tidak menimbulkan efek samping batuk kering. Efek samping yang dapat ditimbulkan
adalah angioedema. Pada pasien dengan riwayat angioedema setelah penggunaan ACE inhibitor
sebaiknya tidak diberika antagonis angiotensin.

 Antagonis angiotensin dapat digunakan sebagai alternative penghambat ACE pada pasien
gagal jantung sistolik dengan fraksi ejeksi ≤40% yang tidak dapat mentoleransi
penghambat ACE (batuk) untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas.
 Antagonis angiotensin dapat dipertimbangkan dalam kombinasi dengan penghambat ACE
pada pasien yang masih simtomatik, untuk mengurangi mortalitas dan hospitalisasi karena
gagal jantung.
 Contoh obat dari golongan ini adalah kandesartan dengan dosis awal 4-8mg od dan dosis
maksimal 32mg od, losartan dosis awal 25-50mg od dosis maksimal 50-100mg od, dan
valsartan dengan dosis awal 20-40mg od dan dosis maksimalnya 160mg od.
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,dan hipotensi simtomatik
sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
 Kontraindikasi pemberian ARB: sama seperti ACEI, kecuali angioedema, Pasien yang
diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan, Monitor fungsi ginjal dan serum
elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI. Pada Tabel 2 menjelaskan pilihan
obat pada pasien dengan gagal jantung.
Tabel 2. Pilihan Obat pada Pasien Gagal Jantung.6

25
Loop Diuretik

Pemberian diuretic intravena direkomendasikan pada GJA bila terdapat symptom akibat kongesti
atau volume overload (kelebihan cairan) yang bermanifestasi pada edem perifer. Beberapa hal
yang perlu diingat:

 Pasien dengan hipotensi (sistolik<90mmHg) hiponatremia berat dan asidosis tidak sama
responsivenya terhadap terapi diuretic.
 Dosis tinggi diuretic dapat memicu hipoalbuminemia dan hiponatremia dan meningkatkan
kemungkianan hipotensi apabila bersamaan dengan ACE1 atau ARB.
 Pada retensi sedang dapat diberikan furosemide 20-40mg IV atau bumetanid 0,5-1mg;
torasemid 10-20mg.
 Pada pasien dengan bukti adanya volume overload dosis furosemide IV dapt di tingkatkan,
sesusai dengan fungsi renal dan pemakaian oral diuretik yang sudah lama sebelumnya.
Pemakaian furosemide tidak boleh melebihi 100mg untuk 6 jam pertama, dan 240 mg pada 24
jam pertama.
 Efek samping: hypokalemia, hiponatremia, hiperurisemia hypovolemia, dehidrasi, hipotensi
apabila sebelumnya dapat ACE-1/ARB.
 Tidak boleh diberikan pada gagal jantung asimtomatik maupun yang tidak ada overload cairan.

Glikosida Jantung

Glikosida jantung yang digunakan saat ini hanya digoksin. Digoksin mempunyai efek
inotropik positif dan kronotropik negatif (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardi
atau fibrilasi atrium) serta nebgurangi aktivasi saraf simpatis. Pada gagal jantung akut glikosida
jantung hanya menaikkan sedikit kardiak output dan penurunan dari tekanan pengisian ventrikel
pada keadaan fibrilasi atrial cepat

Antibiotik

Berdasarkan skenario diketahui bahwa pasien dalam keadaan demam, batuk dan
mengeluarkan sputum berwarna kehijauan, dengan leukositosis, diketahui bahwa pasien dengan
lanjut usia dan gangguan pada gagal jantung beresiko untuk terkena pneumonia. Berdasarkan
tempat perawatan (rawat jalan, rawat inap dan ICU) terapi pneumonia di bagi dalam empat
26
kelompok serta adanya penyakit penyerta kardiopulmonal (PPOK, penyakit jantung kongestif)
dan berdasarkan faktor perubah yang mencakup adanya faktor resiko terhadap pneumokokus
resisten, infeksi patogen gram negatif dan infeksi Pseudomonas aeruginosa. Kelompok I yaitu
pasien berobat jalan tanpa riwayat penyakit jantung paru dan tanpa adanya faktor perubah berupa
faktor resiko terhadap Streptococcus pneumoniae resisten antiobiotik atau gram negatif.
Kelompok II yaitu pasien berobat jalan dengan penyakit jantung paru, dengan/tanpa faktor
perubah. Kelompok IIIa yaitu pasien rawat rumah sakit di luar ICU, yang menderita penyakit
jantung paru dan/atau faktor perubah. Kelompok IIIb yaitu pasien tidak disertai penyakit jantung
paru atau faktor perubah lainnya. kelompok IV yaitu pasien di rawat di ICU : a. tanpa resiko
untuk Pseudomonas aeruginosa b. dengan resiko terhadap Pseudomonas aeruginosa. Pada
prinsipnya sistem ini menunjukkan patogen yang umum dijumpai secara berurutan.9,14

Kelompok I diberikan antibiotik golongan makrolid baru atau doksisiklin. Kelompok II


diberikan terapi laktam (Sefuroksim, amoksisilin dosis besar, amoksisilin klavulanat atau
seftriakson IV di teruskan dengan Sefadoksin PO di tambah makrolid baru atau Floroquinolon
saja). Kelompok IIIa diberikan Laktam IV ( Sefotaksim amp/ Sulbaktam, seftriakson di tambah
Makrolid IV/PO). Kelompok IIIb Azitromisin IV atau Dosisiklin dan Laktam atau Flourokuinolon
saja. Kelompok IV diberikan Laktam antipseudomonas IV; ditambah Siprofloksasin IV atau
Laktam IV ditambah Aminoglikosida dan di tambah salah satu Azitromisin IV atau Siprofloksasin
IV.1

Penatalaksanaan Non Farmakologi

 Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari


 Edukasi pola diet, control asupan garam, dan kebiasaan merokok
 Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba
Prognosis
Prognosis gagal jantung dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti menghilangkan faktor
pencetus, faktor respon dari terapi serta dari waktu exercise. Jika faktor pencetus serangan dapat di
obati dengan baik maka dapat meningkatkan prognosis akibat gagal jantung dari pada faktor
pencetusnya sulit ditemukan. Kelangsungan hidup pada penderita gagal jantung berkisar antara 6
bulan sampai 4 tahun bergantung tingkat keparahan. Selain itu pada pasien dengan respon terapi

27
yang baik dapat menunjukkan prognosis yang baik. Pada faktor waktu exercise makin pendek
maka semakin buruk prognosis dari gagal jantung tersebut.7

Kesimpulan

Gagal jantung merupakan penyakit yang di dasari akibat adanya perubahan struktur dan
fungsi. Dimana pada keadaan hipertensi tak terkontrol dengan baik menyebabkan tekanan pada
ventrikel semakin berat menyebabkan perubahan struktur dan kemampuan dari ventrikel
sehingga dapat terjadi gagal jantung, pada keadaan asimptomatis gagal jantung dapat terjadi akut
akibat dari infeksi pada paru-paru . menyebabkan terjadinya gejala yang harus di terapi secara
darurat dengan tujuan menghilangkan faktor pencetus dan memperbaiki kerja jantung.

Daftar Pustaka

1. Widodo D. Demam tifoid. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editors. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Edisi 6 Jilid I. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 549-558
2. Kurnia Y, Santoso M, Sumadikarya IK. Buku panduan keterampilan klinik. 5 th ed. Jakarta:
Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana; 2015
3. Salim S, Makmun LH. Pemeriksaan jantung. in: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, editors.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jilib 1. Jakarta: Interna Publishing; 2017. p.166.
4. Come PC, Lee RT, Braunwald E. Metode pemeriksaan jantung noninvasif. Dalam: Wilson
JD, Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Martin JB, Isselbacher KJ, editor. Harrison
Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13. Asdie AH, penyunting. Jakarta: EGC; 2016.
H.1093
5. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture notes kardiologi. 4 th ed.
Jakarta: Erlangga; 2003.p.80-8.
6. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, Lubis AC.
Pedoman tatalaksana gagal jantung. Edisi 1. Indonesia: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2015.
7. Braunwald E. Gagal Jantung. Dalam: Wilson JD, Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS,
Martin JB, Isselbacher KJ, editor. Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Edisi 13.
Asdie AH, penyunting. Jakarta: EGC; 2016. H.1128-

28
8. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure:
the JNC 7 report. JAMA. 2003 May 21. 289(19):2560-72.
9. Nafrialdi, Setiawati A. Obat gagal jantung.in: Gunawan SG, editors. Farmakologi dan
terapi. 6th ed. Jilib 6. Jakarta: Badan penerbit FKUI; 2016. p. 304
10. Williams GH. Penyakit vaskuler hipertensif. Dalam: Wilson JD, Kasper DL, Braunwald E,
Fauci AS, Martin JB, Isselbacher KJ, editor. Harrison Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam.
Edisi 13. Asdie AH, penyunting. Jakarta: EGC; 2016. h.1261
11. Imaligy EU. Gagal jantung pada geriatric. CDK-212. 2014;1(41)
12. Purwoto J, Amin Z. Acute repiratory distress syndrome. In: Setiati S, Alwi I, editors. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. 6th ed. Jilib I. Jakarta: Intern Publishing; 2017. h. 4074
13. Uyainah A, Wardhani DP. Penyakit paru obstruktif kronis. In: soemasto AS, Amelz H,
Junadi P, editors. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jilib II. Jakarta: Media Aesculapius;
2016. p. 824
14. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi dasar dan klinik. Volume 2. Edisi 12.
Jakarta; Penerbit EGC.2012.h.949-55

29

You might also like