You are on page 1of 20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Geologi Regional

Secara geologi kota Sawahlunto terletak pada Formasi Sawahlunto, yang terbentuk
pada Kala Eosen sekitar 40-60 juta tahun yang lalu. Para ahli geologi berpendapat bahwa
kepulauan nusantara yang kita kenal sekarang ini terbentuk sekitar 4 juta tahun yang lalu.
Para peneliti menduga ketika Formasi Sawahlunto terbentuk, pulau Sumatra belum ada
seperti yang kita kenal saat ini.

Batuan dari Zaman Pra- Tersier yang terangkat ke permukaan dengan cara struktur
graben lalu diendapkan dengan batuan-batuan sedimen yang berumur Tersier pada
cekungan dan menghasilkan batuan intrusi tersier. Hasil erosi dari batuan intrusi terbawa
dan mengendap di sekitar aliran sungai lalu menghasilkan endapan alluvial. Satuan batuan
tersebut terdiri dari :

1. Batugamping – Argit
2. Granit
3. Konglomerat
4. Batulempung – Batupasir
5. Batulempung – Batulanau
6. Batupasir
7. Tuff

Berdasarkan bentuk topografi yang berkembang dapat ditafsirkan bahwa daerah


ini di pengaruhi oleh aktivitas tektonik baik lipatan maupun sesar. Hal ini dapat dilihat dari
bentuk sungai yang menyiku, menandakan bahwa sungai tersebut terbentuk akibat
terjadinya celah atau rekahan yang relatif merupakan zona lemah kemudian air mengerosi
sepanjang rekahan. Perbukitan yang terbentuk menggambarkan daerah ini telah
mengalami pengangkatan dan kemudian terbentuk lipatan (Koesomadinata dan Matasak,
1981).

8
2.1.1. Fisiografi

South West Bukit Barisan merupakan nama blok konsesi minyak dan gas bumi
yang terletak di daerah onshore di bagian tengah Sumatera Barat. Blok tersebut
sebelumnya bernama Blok Singkarak pada saat dikelola oleh PT. CPI dan Apache Oil
Sumatera Inc. Secara administratif blok tersebut masuk ke dalam wilayah empat
kabupaten yaitu Kabupaten Tanah Datar, Sijunjung, Solok dan Lima Puluh Kota dan dua
kotamadya yaitu Kota madya Sawahlunto dan Kota Solok. Daerah ini merupakan daerah
terbuka dengan luas sekitar 3.895 kilometer persegi (Koning, 1985).
Menurut Tobler (1922) dalam van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah
Sumatera Tengah dibagi menjadi tujuh zona fisiografi, yaitu Dataran Aluvial Pantai
Timur, Cekungan Tersier Sumatera Tengah, Zona Depresi Tengah dari Daerah Barisan,
Pegunungan Barisan Depan, Sekis Barisan atau Daerah Barisan Timur, Daerah Dataran
Tinggi Barisan, Dataran Aluvial Pantai Barat.Sebagai perkembangan lebih lanjut dari
pembagian Tobler (1922), van Bemmelen (1949) membagi fisiografi daerah Sumatera
Tengah, yaitu Zona Pegunungan Tiga Puluh, Zona Sesar Semangko, Zona Pegunungan
Bukit Barisan, Zona Dataran Rendah dan Zona Dataran Bergelombang (Gambar 2.1).

Gambar 1.3 Fisiografi Sumatera Tengah (van Bemmelen, 1949)

9
2.1.2 Stratigrafi Regional

Cekungan Ombilin merupakan suatu cekungan antar pegunungan yang


terbentuk karena terjadinya patahan-patahan blok batuan dasar yang sangat
kompleks pada akhir Pra-Tersier, Terban yang terbentuk dihasilkan oleh gerak
aktif mendatar. Gerak-gerak aktif mendatar itu kemudian menjadi tempat
pengendapan dari sedimen-sedimen Tersier berlingkungan darat.

Cekungan yang didasari oleh batuan Pra-Tersier tersebut diisi oleh endapan
berumur Tersier dengan ketebalan kurang lebih 4600 meter dengan luas kurang
lebih 1500 km2. Tatanan Tersier ini secara resmi dibagi menjadi lima formasi,
yaitu:

Gambar 1.4 Tatanan stratigrafi cekungan Ombilin (Koesoemadinata dan Matasak,1981)

10
1. Formasi Brani

Terdiri dari konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil


sampai kerakal, dengan aneka fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak
dan argilit, granit, kuarsit, kadang-kadang “arkosic gritsand” yang berbutir kasar,
terpilah buruk, menyudut-membundar tanggung, padat, keras sampai dapat
diremas, umumnya tidak berlapis. Tebalnya mencapai lebih dari 646 meter. Umur
formasi ini diperkirakan samadengan Formasi Sangkarewang dengan hubungan
antar formasi berupa hubungan menjemari, dengan umur yaitu Paleosen hingga
Eosen. Formasi Brani dapat dibagi menjadi 2 anggota, yang dibedakan berdasarkan
lithofasiesnya, yaitu Anggota Selo dan Kulampi.

2. Formasi Sangkarewang

Formasi ini dikenal karena ditemukannya fosil ikan air tawar yang berumur
tersier awal. Formasi ini terdiri dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap
kecoklatan sampai hitam plastis gampingan mengandung materail karbon, mika,
pirit, dan sisa tumbuhan.

Formasi ini memiliki sisipan berupa lapisan-lapisan batupasir dengan tebal


yang umumnya kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan
berwarna abu-abu sampai hitam matriks lempung terpilah buruk mengandung mika
dan material karbon, dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir
ini menunjukan pola menghalus ke atas.

Hubungan antara Formasi Sangkarewang yang menjemari dengan endapan


kipas aluvial dengan Formasi Brani, terdapatnya struktur sedimen laminasi halus
dan hadirnya fosil ikan air tawar menunjukan lingkungan pengendapan danau.
Sisipan lapisan batupasir merupakan endapan turbidit yang diendapkan di danau
dan struktur slump menunjukan lereng yang curam di tepi danau.

11
3. Formasi Sawahlunto

Formasi ini terdiri dari sekuen serpih berwarna abu kecoklatan, serpih
lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa, coklat padat dan dicirikan
dengan hadirnya batubara. Serpih biasanya karbonan atau batubaraan. Batupasir
berciri sekuen menghalus ke atas, berlapis silang siur dan khususnya berlaminasi
dengan dasar erosi yang tegas menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara
kadang-kadang disisipi batulanau berwarna kelabu. Batupasirnya membentuk
lenticular, sedang batubara sering menyebar dan membaji. Di daerah Parambahan
dekat tinggian Tungkar, batubara dan batupasir lebih banyak jumlahnya.

Formasi Sawahlunto terletak selaras diatas Formasi Brani dan


setempatsetempat juga terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang, namun
seringkali terinterupsi oleh lidah dari Formasi Brani, juga diperkirakan menjemari
dengan Formasi Sangkarewang. Formasi Sawahtambang menindih selaras di atas
Formasi Sawahlunto. Hubungan menjemari dengan Formasi Sawahtambang
diperkirakan mengarah ke timur dimana Formasi Sawahtambang secara langsung
menindih Formasi Brani dengan kontak selaras, dan lensa-lensa dari Formasi
Sawahlunto terjadi di antara kedua formasi tersebut. Tebal Formasi Sawahlunto
kurang dari 500 meter. Formasi ini tidak mengandung fosil kecuali sisa tumbuhan
dan spora.

4. Formasi Sawahtambang

Formasi ini dicirikan oleh sekuen masif yang tebal dari batupasir
berstruktur silang siur. Serpih dan batulanau berkembang setempat-setempat.
Batupasir berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat
kasar, sebagian besar konglomeratan berupa fragmen kuarsa berukuran kerikil,
terpilah sangat buruk, menyudut tanggung, keras, masif. Setempat-setempat pada
bagian bawah, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan
yang membentuk unit tersendiri yaitu sebagai anggota Rasau. Pada bagian atas juga

12
dengan sisipan lapisanlapisan batulempung dengan kandungan “coal stringer”
yang terjadi setempat-setempat, membentuk Anggota Poro.

Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus-siklus dimana setiap


siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang
Geologi Daerah Tumpuk tengah dan Sekitarnya, Kecamatan Talawi, Kotamadya
Sawahlunto, Sumatera Barat berimbrikasi, bersilang siurdan laminasi paralel
dengan sekuen yang menghalus ke atas, dengan batupasir konglomeratan, serta
lensa-lensa batupasir yang bersilang-siur berskala besar yang membentuk
mangkok.

Fosil tidak diketemukan, kecuali sisa-sisa tumbuhan. Analisis palinologi


dari perconto batuan teras inti menunjukkan kemungkinan umur Eosen sampai
Oligosen. Berdasarkan posisi stratigrafinya yang berada di bawah Formasi
Ombilin yang berumur Miosen Awal dan terletak di atas Formasi Sawahlunto,
kemungkinan Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen.

2.1.3. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional


Perkembangan struktur pada cekungan Ombilin dikontrol oleh pergerakan
Sistem Sesar Sumatera yang membuat sesar tua yang telah terbentuk ditimpa oleh
sesar yang lebih muda oleh sistem sesar yang sama (Situmorang, dkk., 1991)
Keseluruhan geometri cekungan Ombilin memanjang dengan arah umum
barat laut – tenggara, dibatasi oleh sesar berarah barat laut - tenggara Sitangkai
di utara dan sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang lebih paralel
terhadap Sistem Sesar Sumatra (Gambar 2.5).(Situmorang, dkk., 1991).

13
Gambar 1.5 Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatera Barat
(Situmorang,dkk, 1991).
Secara umum, cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur Paleogen dan
Neogen dibatasi oleh Sesar Tanjung Ampalu berarah utara- selatan (Situmorang,
dkk,1991).
Secara lokal ada tiga bagian struktur yang bisa dikenal pada cekungan Ombilin.
a. Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian dari
sistem sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh Sesar
Sitangkai dan Sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah
tenggara menjadi sesan Takung. Bagian selatan dari cekungan dibatasi oleh
Sesar Silungkang.
b. Sistem sesar dengan arah umum utara-selatan dengan jelas terlihat pada
timur laut dari cekungan. Sistem sesar ini membentuk sesar berpola tangga
(step-like fault), dari utara ke selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan
Sesar Tanjung Ampalu. Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan
fase tensional selama tahap awal dari pembentukan cekungan dan terlihat

14
memiliki peranan utama dalam evolusi cekungan.
c. Jurus sesar dengan arah timur-barat membentuk sesar antitetik mengiri dengan
komponen dominan dip-slip. (Situmorang, dkk., 1991)
Pola struktur keseluruhan dari cekungan Ombilin menunjukkan sistem
transtensional atau pull-apart yang terbentuk di antara offset lepasan dari Sesar Sitangkai
dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-tenggara yang mana sistem sesar yang
berarah utara-selatan dapat berbaur dengan sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.
(Situmorang, dkk., 1991)
Adanya fase ekstensional dan kompresional yang ditemukan pada jarak yang
sangat dekat merupakan fenomena umum untuk cekungan Ombilin yang merupakan
cekungan strike-slip. Cekungan ini mengalami pergantian fase ekstensional pada satu
sisi yang diikuti oleh pemendekkan pada sisi yang lain. (Situmorang, dkk., 1991)
mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang bekerja pada Cekungan Ombilin yang
mempengaruhi pola struktur pada Cekungan Ombilin (Gambar 2.6 dan Gambar 2.7). Lima
fase tektonik yang terjadi pada cekungan Ombilin menurut yaitu:
a) Fase tektonik pertama berlangsung awal Tersier berupa fase tektonik ekstensif
bersamaan dengan terbentuknya sistem tarik pisah berarah baratlaut-tenggara yang
merupakan awal terbentuknya cekungan Ombilin. Bersamaan dengan
membukanya cekungan, terbentuk endapan kipas aluvium Formasi Brani
menempati lereng-lereng. Tinggian batuan dasar dan terbentuk endapan rawa
Formasi Sangkarewang di bagian tengah cekungan. (Hastuti, dkk, 2001)
b) Fase tektonik ke dua berlangsung sejak Eosen berupa fase kompresif dengan
terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase kompresif dibeberapa
tempat terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan penurunan dasar cekungan
yang cepat dan diimbangi pula oleh pengendapan sedimen yang seimbang,
menyebabkan pelongsoran-pelongsoran endapan aluvium Formasi Brani pada tepi
cekungan dan sebagian masuk ke dalam endapan rawa Formasi Sangkarewang,
sehingga kedua formasi berhubungan menjari- jemari. (Hastuti, dkk, 2001).
c) Fase tektonik ketiga berupa fase kompresif. Fase ini mengakibatkan proses
pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi Sawahlunt.

15
Di beberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan terbentuknya
endapan batubara di daerah limpah banjir. Selain itu, pada fase ini terjadi
pengaktifan kembali sesar- sesar yang sudah terbentuk dan sesar minor berupa
sesar naik yang terjadi bersamaan dengan pengendapan Formasi Sawahlunto.
(Hastuti, dkk, 2001).
d) Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif berarah relatif utara-selatan.
Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggara
yang terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik dan sesar
mendatar. Bersamaan dengan fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif berarah
relatif baratlaut- tenggara yang mengakibatkan dibeberapa tempat terjadi
genangan rawa dan penumpukan sedimen yang membentuk endapan tipis
batubara. (Hastuti, dkk, 2001).
e) Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif yang berarah relatif utara-
selatan berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan terbentuknya
sesar-sesar berarah barat-timur. Pada Miosen Akhir terjadi fase kompresif berarah
relatif barat-timur yang menghasilkan sesar- sesar berarah timurlaut-baratdaya
dan sesar-sesar yang terbentuk awal aktif kembali. (Hastuti, dkk, 2001)

16
Gambar 1.6. Tektonikstratigrafi cekungan Ombilin menurut penjelasan
(Hastuti, dkk.,2001).

Gambar 1.7. Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin,


Sumatera Barat menurut Hastuti, dkk. (2001).
(A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen (C) Miosen Awal
(D) Plio-Pleistosen.

17
Daerah penelitian terletak pada subcekungan Sinamar merupakan
subcekungan bagian timur dari cekungan Ombilin. Subcekungan Sinamar
yang berada di timur dan subcekungan Talawi yang berada di barat
merupakan dua bagian subcekungan dari cekungan Ombilin , yang secara
struktural dipisahkan oleh sesar berarah relatif utara-selatan sesar
Tanjung Ampalu. Selain secara struktural pembagian subcekungan ini
juga didasarkan atas batuan penyusun dari kedua subcekungan tersebut.
Subcekungan Talawi disusun oleh endapan berumur Paleogen,
sedangkan subcekungan Sinamar disusun oleh endapan berumur Neogen
(Situmorang, dkk., 1993, Hastuti, dkk., 2001, Barber,dkk., 2005).

Gambar 1.8 Fisiofrafi Omblin Basin

2.2 Struktur Ombilin


Berdasarkan data geologi yang ada saat ini, Cekungan Ombilin
dinyatakan sebagai suatu graben yang terbentuk akibat struktur pull-
Apart yang dihasilkan pada waktu Tertier Awal, yang diikuti dengan
tektonik tensional sehubungan dengan pergerakan strike-Slip sepanjang

18
zona Patahan Besar Sumatera. Berikutnya terjadi erosi dan patahan,
sehingga menghalangi rekonstruksi dari konfigurasi Cekungan Ombilin
yang sebenarnya

Cekungan Ombilin pada awalnya lebih luas dari batas-batas tepi


cekungan yang ada saat ini. Walaupun begitu, erosi pasca pengendapan
telah menghilangkan batas dari cekungan awal. Sesar Tanjung Ampolo
telah membelah Cekungan Ombilin dalam ukuran besar dan secara
struktural memisahkan cekungan tersebut menjadi dua bagian. Bagian
Timur adalah bagian yang turun, sementara bagian barat adalah bagian
yang berada di atas, sehingga memperlihatkan bagian lapisan yang di
bawahnya (Koesoemadinata Dan Matasak, 1981)

19
2.3. Sejarah Geologi
Berdasarkan data-data geologi berupa data-data lapangan serta
data-data sekunder berupa umur dan lingkungan pengendapan, didukung
oleh pola struktur yang berkembang di daerah penelitian serta ditambah
dengan penafsiran berupa interpretasi, maka dapat dibuat suatu sintesa
berupa sejarah geologi. Penentuan sejarah geologi juga mengacu pada
sejarah geologi peneliti- peneliti terdahulu.

20
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada kala Oligosen
Awal pada saat satuan batuan tertua yang terdapat di daerah penelitian
diendapkan.
Cekungan Ombilin dimulai dengan diendapkannya Formasi Brani
berupa endapan kipas aluvial di pinggir cekungan pada kala Paleosen.
Pada kala Eosen Akhir, terjadi perubahan lingkungan pengendapan
menjadi dataran banjir dengan diendapkannya satuan batulempung,
batupasir, di atas Formasi Brani di daerah penelitian. Perubahan
lingkungan pengendapan ini, diakibatkan adanya proses pengangkatan
pada cekungan Ombilin (Hastuti, dkk., 2001).
Pada kala Eosen Akhir-Oligosen Awal, diendapkan satuan
batupasir di daerah penelitian pada lingkungan pengendapan sungai
secara tidak selaras di atas satuan batulempung- batupasir. Perubahan
lingkungan pengendapan ini, diakibatkan proses kompresi utara-
selatan yang mengakibatkan pengangkatan pada cekungan Ombilin dan
menyebabkan pengendapan satuan batupasir tidak selaras di atas satuan
batulempung batupasir (Hastuti, dkk., 2001).
Pada kala Miosen Awal, menurut Hastuti dkk. (2001) terjadi fase
ekstensif yang membentuk sesar berarah utara-selatan Tanjung Ampalu
pada daerah penelitian, fase ekstensif ini diikuti proses transgressi yang
mengakibatkan terendapkannya satuan batulempung lanauan dan satuan
batupasir batulempung dengan lingkupan pengendapan tidal flat di daerah
penelitian.
Pada kala Miosen Akhir, pada daerah penelitian terjadi deformasi
yang mengakibatkan terbentuknya sesar mendatar Rantih dan relatif di
bagian timur daerah penelitian berupa antiklin dan sinklin (sinklin
Kotopanjang, sinklin Kumbara dan antiklin Supadang) yang sumbunya
berarah utara-selatan akibat tegasan berarah barat-timur di cekungan
Ombilin

21
Pada Jaman Kuarter, pada daerah penelitian proses erosi terus berlanjut
diikuti pengendapan satuan endapan aluvial sampai sekarang.

(Regional)
Kala Paleosen

Cekungan Ombilin dimulai dengan diendapkannya Formasi Brani berupa


endapan kipas alluvial di pinggir cekungan.(Koesomadinata dan Matasak, 1981.,
Situmorang, dkk., 1991,Hastuti, dkk.,2001).
Kala Eosen Akhir
Terjadi perubahan lingkungan pengendapan menjadi dataran banjir
dengan diendapkannya satuan batulempung batupasir di atas Formasi Brani di
daerah penelitian.

22
Regional)
Kala Eosen Akhir - Oligosen Awal

Pengangkatan diikuti perubahan lingkungan pengendapan menjadi sungai


teranyam yang mengakibatkan diendapkan satuan batupasir di daerah penelitian
pada lingkungan pengendapan sungai teranyam secara tidak selaras di atas satuan
batulempung batupas
(Regional)

(Daerah Penelitian)

23
Kala Miosen awal

Terjadi fase ekstensif yang membentuk sesar berarah utara-selatan Tanjung


Ampalu pada daerah penelitian (Hastuti, dkk., 2001), diikuti proses transgressi
mengakibatkan terendapkannya satuan batulempunglanauan dan satuan batupasir
batulempung dengan lingkupan pengendapan tidal flat di daerah penelitian.

24
Kala Miosen Akhir
Deformasi rezim kompresi barat–timur menghasilkan terbentuknya sesar
mendatar berarah baratlaut-tenggara dan relatif di bagian timur daerah penelitian
berupa antiklin dan sinklin yang sumbunya berarah utara-selatan.

(Daerah Penelitian)
Kala Plio-Pleistosen
Deformasi rezim kompresi timurlaut-baratdaya terjadi deformasi yang
mengakibatkan terjadinya reaktifasi sesar Tanjung Ampalu menjadi sesar
menganan turun.

Zaman Kuarter
Proses erosi terus berlanjut diikuti pengendapan satuan endapan aluvial sampai
sekaran

25
2.4. Geologi Daerah Penelitian
Stratigrafi Daerah Penelitian
Berdasarkan peta geologi regional Menurut. PH. Silitonga dan Kastowo,
1995, penelitian memperoleh Formasi Silungkang, dan Formasi Brani pada
daerah penelitian.

2.4.1 Formasi Silungkang

Menurut Silitonga dan Kastowo (1995) dan Kastowo dkk. (1996)


Formasi Silungkang (Ps) berumur Perm dan terdiri dari andesit hornblenda,
andesit augit, meta andesit dengan sisipan tipis tufa, batugamping, serpih, dan
batupasir. Batugamping dipisah menjadi anggota batugamping formasi
Silungkang (Psl), terdiri dari batugamping yang mengandung sisipan tipis
serpih, batupasir ,dan tufa. Bagian atas Formasi Silungkang terdiri dari
batugamping, batupasir, napal, dan serpih dengan interkalasi batuan andesit
augit dan basal augit. Batugamping di daerah ini pada umumnya berupa
batuan yang padat, berwarna kelabu, dan sebagian kristalin.

2.4.2. Formasi Brani

Terdiri dari konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran


kerikil sampai kerakal, dengan aneka fragmen berupa andesit, batugamping,
batusabak dan argilit, granit, kuarsit, kadang-kadang “arkosic gritsand” yang
berbutir kasar, terpilah buruk, menyudut-membundar tanggung, padat, keras
sampai dapat diremas, umumnya tidak berlapis. Tebalnya mencapai lebih dari
646 meter. Umur formasi ini diperkirakan sama dengan Formasi
Sangkarewang dengan hubungan antar formasi berupa hubungan menjemari,
dengan umur yaitu Paleosen hingga Eosen. Formasi Brani dapat dibagi
menjadi 2 anggota, yang dibedakan berdasarkan lithofasiesnya, yaitu
Anggota Selo dan Kulampi.

26
Gambar 2.0. Kolom Stratigrafi Daerah Penelitian (modifikasi dari
Koesoemadinata & Matasak (1981) dan PH. Silitonga & Kastowo, (1995) ).

27

You might also like