You are on page 1of 5

Nama : Bima Albajili

NIM : 170810301235

Etika Bisnis dan Profesi A

BAB 11

ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL

Norma-Norma Moral yang Umum pada Taraf Internasional

Salah satu masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis adalah
relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa pandangan yang menganggap
norma-norma moral relatif saja tidak bisa dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti
bahwa norma-norma moral bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang
tidak mudah itu harus bernuansa. Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada
taraf praktis dalam etika bisnis internaasional. Richard De George memberikan tiga jawaban
untuk pertanyaan tersebut. Jawaban tersebut adalah :

1. Menyesuaikan Diri

Sebuah bisnis harus dapat menyesuaikan dengan norma – norma yang berlaku ditempat
itu. Norma norma moral penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma non moral
untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat.
2. Rigorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut “rigorisme moral”,
karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama seperti di negerinya sendiri.
Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar negeri hanya boleh melakukan apa yang
boleh dilakukan di negaranya sendiri dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan
norma etis yang berbeda di tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap
baik di negerinya sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain. Namun para
penganut rigorisme moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut
mempengaruhi keputusan etis.
3. imoralisme naif
Dalam bisnis internasional kita perlu berpegang teguh pada norma etika jika suatu
perusahaan terlalu etika ia berada dalam posisi yang merugikan karena daya saingnya
akan terganggu sehingga perusahaan lain yang tak begitu scrupolis debgan etika maka
akan menduduki posisi yang menguntungkan.
Kasus Bisnis dengan Afrika Selatan yang Rasistis

Dalam etika, prinsip moral hampir tidak bisa diterapkan secara mutlak, karena situasi
konkret seringkali sangat kompleks. Seringkali yang dilakukan adalah dengan cara mencari jalan
tengah dari beberapa solusi ekstrem. Salah satu contoh adalah bisnis internasional dengan Afrika
Selaran sampai Negara itu meninggalkan politiknya yang rasistis. Disini kita mencari jalan
tengah dari dua pilihan ekstrim “menyesuaikan diri “ dengan “rigorisme moral”.

Afrika selatan mempunyai system politik yang didasarkan atas diskrimasi ras (apartheid)
kulit hitam dengan kulit putih. Sistem politik ini didasarkan pada Undang-Undang Afrika Selatan
sejak tahun 1948. Saat itu, banyak perusahaan yang menghadapi dilemma antara menhentikan
hubungan bisnis dengan Afrika Selatan atau menyesuaikan diri dalam suatu keadaan yang tidak
etis (diskriminasi ras). Dalam mencari jalan keluar dari masalah ini, banyak perusahaan Barat
brpegang pada prinsip-prinsip Sulivan, dimana perusahan-perusahaan tidak akan menerapkan
undang-undang apartheid, karena dinijlai tidak adil, dan juga perusahaan akan berusaha agar
undang-undang apartheid dihapus.

Masalah “Dumping” dalam Bisnis Internasional

Dumping adalah menjual produk dalam kuantitas besar di suatu Negara lain dengan harga
di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya produksi. Motif dibalik
terjadinya transaksi dumping sangat banyak, antara lain adalah sebagai berikut :

 Penjual mempunyai persediaan terlalu besar sehingga memutuskan untuk menjual produk
yang bersangkutan di bawah harga saja
 Produsen berusaha merebut monopoli dengan membanting harga

Dumping dianggap tidak etis karena melanggar etika pasar bebas. Kelompok bisnis yang
ingin terjun ke dalam bisnis internasional, dengan sendirinya melibatkan diri untuk menghormati
keutuhan system pasar bebas. Dumping sangat sulit untuk ditentukan dalam bisnis internasinal
karena banyak alasan. Yang dibutuhkan tidak hanya kesadaran etis saja, tetapi juga suatu
pengertian jelas yang diterima secara internasional dan suatu prosedur objektif yang
menerapkannya. Kita membutuhkan suatu instansi supranasional yang sanggup bertindak dan
sekaligus diakui sebagai wasit yang objektif. Namun untuk saat ini, instansi seperti tersebut
diatas masih sulit untuk dibentuk. Dalam rangka Organisasi Perdagangan Perdagangan Dunia
(WHO) telah dibuat sebuah dokumen tentang dumping, tetapi hanya sebagai model untuk
membuat peraturan hokum di Negara-negara anggotanya.

Aspek-Aspek etis dari Korporasi Multinasional

Korporasi multinasional adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam


dua Negara atau lebih. Karena memiliki kekuatan ekonomis yang sering kali sangat besar dank
arena beroperasi di berbagai tempat yang berbeda dan sebab itu mempunyai mobilitas tinggi,
korporasi multinasional menimbulkan masalah-masalah etis sendiri. Hal-hal yang dilakuakn oleh
Negara berkembang untuk melindungi diri dari cengkeraman korporasi multinasional antara lain
adalah :

 tidak mengizinkan masuk korporasi multinasional yang bisa merusak atau melemahkan
suatu industry dalam negeri.
 mengizinkan korporasi multinasinal membuka usaha di wilayahnya, jika dan hanya jika
mayoritas saham (sekurang-kurangnya 51%) dimiliki oleh warga Negara setempat.

Menurut George, ada sepuluh aturan etis yang terpenting bagi korporasi multinasional
dalam hubungan bisnisnya dengan Negara berkembang. Aturan-aturan tersebut adalah :

1. Koorporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.


2. Koorporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian
bagi negara dimana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada
pembangunan negara dimana dia beroperasi.
4. Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional
harus menghormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan
menantangnya.
6. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”
7. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam
mengembangkn dan menegakkan “backgroud institutions” yang tepat.
8. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus memikul tanggung
jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan tersebut.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib
menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi
multinasional wajib merancang kembali sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat
dipakai dengan aman dalam negara yang belum berpengalaman.

Masalah korupsi pada taraf internasional


Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional, namun perhatian
yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika bisnis terutama diarahkan kepada
konteks internasional.

Skandal Suap Lockheed dan usaha mencegah terjadinya kasus serupa

Sekitar tahun 1970-an, produsen pesawat terbang Amerika Seikat “Lockheed”, terlibat
dalam sejumlah kasus suap ketika mengusahakan pemasaran beberapa pesawatnya. Setelah
ketahuan, semua kasus ini menimbulkan reaksi cukup hebat, baik di Negara tempat kejadian
maupun di Amerika Serikat tempat produksi perusahaan Lockheed. Di Amerika Serikat, kasus
suap Lockheed ini menjadi salah satu skandal bisnis paling menggemparkan yang dikenal dalam
sejarah Amerika Serikat dan diperiksa oleh instansi kehakiman Amerika sampai detail-detail
terkecilnya.

Menurut sebuah laporan, antara tahun 1974 sampai 1976, sekurang-kurangnya 435
perusahaan di Amerika diketahui terlibat dalam pembayaran tidak regular kepada pejabat-pejabat
atau partai politik di luar negeri. Dalam artian tertentu, Lockheed adalah kambing hitam dalam
menentang suatu praktek yang tidak terbatas pada satu dua perusahaan saja.

Untuk memberantas korupsi pada taraf internasional, perlulah peraturan yang disetujui secara
internasional pula. Usaha-usaha PBB dalam rangka membuat peraturan anti-korupsi yang akan
diterima oleh semua korporasi multinasional samapai saat ini selalu gagal.

Mengapa pemakaian uang suap bertentangan dengan etika?


Ada beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap bertentangn dengan etika.

1. Karena praktek suap itu melanggar etika pasar. Denagan adanya praktek suap,daya – daya
pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang sedikit pun dapat mempengaruhi proses
penjualan.

2. Mengapa praktek itu tidak etis adalah bahwa orang yang tidak berhak, mendapat imbalan
juga.

3. Banyak kasus lain di mana uang suap diberikan dalam keadaan kelangkaan. Pembagian
barang langka dengan menempuh praktek suap mengakibatkan bahwa barang itu diterima
oleh orang yng tidak berhak menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak
kebagian.

4. Praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis dan ilegal lainnya. Baik
perusahaan yang memberi uang suap maupun orang atau instansi yang menerimanya
tidak bisa membukukkan uang suap itu seperti mestinya.

You might also like