You are on page 1of 46

MAKALAH KIMIA ANALISA

‘’ ANALISA VOLUMETRI ’’

DOSEN : MURYANTO S.T, M.T

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

ANGGOTA :

1. FEBY DWI KURNIA / 171010950009


2. RYAN ANDERTA / 171010950019
3. SITI LATIFAH / 171010950021

KELAS : 02TKME001

JURUSAN : TEKNIK KIMIA

UNIVERSITAS PAMULANG

TAHUN AJARAN 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan saya
kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini, dan dalam makalah ini saya membahas
tentang ‘’Analisa Volumetri’ dengan ini, saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih
banyak kesalahan dan kekurangan.
Hal ini disebabkan karena terbatasnya kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang
saya miliki sebagai mahasiswa. Namun demikian, banyak pula pihak yang telah membantu
saya dan memberikan pemikiran serta solusi untuk pemecahan masalah saya.
Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran untuk memperbaiki makalah ini di
waktu yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi
pembaca umumnya.

Tangerang, 28 September 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................2


DAFTAR ISI................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................4


A. Latar belakang ..................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................4
C. Tujuan .............................................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................5


A. Pengertian Analisa Titrimetri atau Volumetri..................................................................5
B. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan analisa volumetric ................6
C. Macam- macam Analisa Volumetri .................................................................................6
D. Klasifikasi Analisa Titrimetri atau Volumetri .................................................................7
E. Pembagian Analisa Volumetri .........................................................................................8

BAB III PENUTUP .....................................................................................................................45


A. Kesimpulan .....................................................................................................................45
B. Saran ...............................................................................................................................45

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................46

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ilmu kimia adalah ilmu mempelajari tentang komposisi, struktur dan sifat kimia atau
materi berdasarkan perubahan yang menyertai terjadinya reaksi kimia serta dapat menjelaskan
proses atau reaksi yang ditimbulkan dari kejadian tersebut misalnya terjadi perubahan materi
dan energi.
Dalam percobaan laboratorium kita sebagai mahasiswa jurusan kimia sering
dipertemukan dengan suatu praktek yang disebut dengan titrasi, Titrasi biasanya dibedakan
berdasarkan jenis reaksi yang terlibat di dalam proses titrasi. Proses titrasi juga sering disebut
dengan analisa volumetri.
Pada percobaan volumetri, penentuan dilakukan dengan jalan titrasi yaitu, suatu proses
di mana larutan baku (dalam bentuk larutan yang telah diketahui konsentrasinya) ditambahkan
sedikit demi sedikit dari sebuah buret pada larutan yang ditentukan atau yang dititrasi sampai
keduanya bereaksi secara sempurna dan mencapai jumlah equivalen larutan baku sama dengan
nol equivalen larutan yang dititrasi dan titik titrasi ini dinamakan titik equivalen atau titik akhir
titrasi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Analisa titrimetri atau volumetri
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan analisis volumetric
3. Macam-macam analisis volumetri
4. Klasifikasi analisa titrimetri atau volumetri
5. Pembagian Analisa dalam Volumetri

C. TUJUAN
1. Agar dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan analisa titrimetri atau volumetri
2. Agar dapat mengetahui pembagian analisa titrimetri
3. Agar dapat mengetahui macam-macam analisa volumetri
4. Agar dapat mengetahui klasifikasi pada pembagian analisa volumetri
5. Agar dapat mengetahui reaksi –reaksi kimia pada analisa titrimetric.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Analisa Titrimetri atau Volumetri


Analisa volumetri adalah analisa kimia kuantitatif yang dilakukan dengan jalan
mengukur volume suatu larutan standar yang bereaksi langsung dengan larutan yang
dianalisis, dimana kadar dan komposisi dari sampel ditetapkan berdasarkan volume pereaksi
(volume diketahui) yang ditambahkan ke dalam larutan zat uji, hingga komponen yang
ditetapkan bereaksi secara kuantitatif dengan pereaksi tersebut. Proses diatas dikenal
dengan titrasi. Oleh karena itu, analisa volumetri disebut juga analisa titrimetri. Dasar –dasar
dari Metode analisis kuantitatif volumetri (titri metri),yaitu teknik analisis menggunakan titrasi.
Prosespenambahan volemu tertentu suatu larutanterhadap larutan yamg lain disebut titrasi.
Larutan yang sudah di ketahui konsentrasinyaadalah larutan standar. Analit adalah larutanyang
akan ditentukan konsentrasinya. Prinsip Dasar Volumetri :
1. pencapaian reaksi titik akhir ekivalen harus berlangsung secara stoikiometri.
2. titik ekivalen adalah titik pada saat senyawayang ditambahkan (pentiter) telah tepat
mencukupi bereaksi dengan analit.
Larutan baku (standar) adalah larutan yang telah diketahui konsentrasinya secara teliti,
dan konsentrasinya biasa dinyatakan dalam satuan N (normalitas) atau M (molaritas). Indikator
adalah zat yang ditambahkan untuk menunjukkan titik akhir titrasi telah di capai. Umumnya
indicator yang digunakan adalah indicator azo dengan warna yang spesifik pada berbagai
perubahan pH. Titik Ekuivalen adalah titik dimana terjadi kesetaraan reaksi secara stokiometri
antara zat yang dianalisis dan larutan standar. Titik akhir titrasi adalah titik dimana terjadi
perubahan warna pada indicator yang menunjukkan titik ekuivalen reaksi antara zat yang
dianalisis dan larutan standar.
Pada umumnya, titik ekuivalen lebih dahulu dicapai lalu diteruskan dengan titik akhir
titrasi. Ketelitian dalam penentuan titik akhir titrasi sangat mempengaruhi hasil analisis pada
suatu senyawa. Pada kebanyakan titrasi titik ekuivalen ini tidak dapat diamati, karena itu perlu
bantuan senyawa lain yang dapat menunjukkan saat titrasi harus dihentikan. Senyawa ini
dinamakan indikator.

5
B. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan analisis volumetric
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan analisis volumetrik adalah
sebagai berikut :
1. Reaksinya harus berlangsung sangat cepat.
2. Reaksinya harus sederhana serta dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi yang
kuantitatif/stokiometrik.
3. Harus ada perubahan yang terlihat pada saat titik ekuivalen tercapai, baik secara kimia
maupun secara fisika.
4. Harus ada indikator jika reaksi tidak menunjukkan perubahan kimia atau fisika.
Indikator potensiometrik dapat pula digunakan.

C. Macam-Macam Analisa Volumetri


Adapun macam-macam analisis volumetri ada tujuh, yakni:
1. Gasometri
Gasometri adalah volumetri gas dan yang diukur (kuantitatif) adalah volume gas
yang direaksikan atau hasil reaksinya.
2. Titrimetri
Titrimetri atau titrasi adalah pengukuran volume dalam larutan yang diperlukan
untuk bereaksi sempurna dengan sevolume atau sejumlah berat zat yang akan
ditentukan. Dalam setiap metode titrimetri selalu terjadi reaksi kimia antara komponen
analit dengan zat pendeteksi yang disebut titran.
3. Alkalimetri
Alkalimetri adalah metode yang digunakan untuk menentukan kadar suatu zat
yang bersifat asam dengan menggunakan larutan standar yang bersifat basa.

4. Acidimetri
Acidimetri adalah metode yang digunakan untuk menentukan kadar suatu zat
yang bersifat basa dengan menggunakan larutan standar yang bersifat asam. Pada titrasi
acidimetri terjadi penetralan asam basa menurut reaksi

6
5. Permanganometri
Permanganometri adalah metode yang digunakan untuk menentukan kadar
suatu zat yang bersifat reduktor dengan menggunakan larutan standar KMnO4yang
bersifat oksidator. Pada titrasi permanganometri terjadi reaksi redoks. Titrasi
permanganometri tidak menggunakan indikator karena KMnO4 sudah berfungsi
sebagai auto indikator
6. Iodometri
Iodometri adalah metode yang digunakan untuk menentukan kadar suatu zat
yang bersifat reduktor dengan menggunakan larutan standar I2 yang bersifat oksidator.
Penambahan amylum dilakukan menjelang TAT. Bila amylum ditambahkan lebih
dahulu akan mengganggu jalannya pengamatan pada TAT sebab I2 dapat mengikat
amylum sehingga iod amylum sukar dipisah.
7. Iodimetri
Iodometri adalah menentukan kadar suatu zat yang bersifat oksidator (I2)
dengan menggunakan larutan standar yang bersifat reduktor.

D. klasifikasi Analisa Titrimetri atau Volumetri


Penggolongan analisis titrimetri ini, berdasarkan ;
1. Reaksi Kimia asam basa :
a. Reaksi asam-basa (reaksi netralisasi)
Jika larutan bakunya adalah larutan basa, maka zat yang akan ditentukan haruslah
bersifat asam dan sebaliknya.
2. Reaksi oksidasi-reduksi (redoks)
Yang terjadi adalah reaksi antara senyawa/ ion yang bersifat sebagai oksidator dengan
senyawa/ ion yang bersifat sebagai reduktor dan sebaliknya.
Berdasarkan larutan bakunya, titrasi dibagi atas :
a. Oksidimetri adalah metode titrasi redoks yang dimana larutan baku yang digunakan
bersifat sebagai oksidator.
b. Reduksimetri adalah titrasi redoks dimana larutan baku yang digunakan bersifat
sebagai reduktor.
3. Reaksi Pengendapan (presipitasi)
Reaksi Pengendapan adalah reaksi penggabungan ion yang menghasilkan endapan/
senyawa yang praktis tidak terionisasi.

7
4. Reaksi kompleksometri
Titrasi kompleksometri digunakan untuk menetapkan kadar ion-ion alkali dan alkali
tanah/ ion-ion logam. Larutan bakunya : EDTA

E. Pembagian Analisa Volumetri


Berdasarkan atas hasil reaksi antara analit dengan larutan standar, maka analisis volumetri
dibagi atas :

1. Titrasi Asam – Basa


Titrasi asam basa melibatkan asam maupun basa sebagai titer ataupun titrant.
Titrasi asam basa berdasarkan reaksi penetralan. Kadar larutan asam ditentukan dengan
menggunakan larutan basa dan sebaliknya.Titrant ditambahkan titer sedikit demi sedikit
sampai mencapai keadaan ekuivalen ( artinya secara stoikiometri titrant dan titer tepat
habis bereaksi). Keadaan ini disebut sebagai “titik ekuivalen”.
Pada saat titik ekuivalent ini maka proses titrasi dihentikan, kemudian kita
mencatat volume titer yang diperlukan untuk mencapai keadaan tersebut. Dengan
menggunakan data volume titrant, volume dan konsentrasi titer maka kita bisa
menghitung kadar titrant. sebelum melakukan titrasi, ada Cara Mengetahui Titik
Ekuivalen.
Studi kuantitatif mengenai reaksi penetralan asam-basa paling nyaman apabila
dilakukan dengan mengunakan prosedur yang disebut titrasi. dalam percobaan titrasi,
suatu larutan yang konsentrasinya diketahui secara pasti, disebut dengan larutan standar
(standard solution),ditambahkan secara bertahap ke larutan yang lain konsentrasinya
tidak diketahui, sampai reaksi kimia antara kedua larutan tersebut berlangsun sampai
sempurna jika kita mengetahui volume larutan standard dan larutan tidak diketahui
yang digunakan dalam titrasi,maka kita dapat menghitung konsentrasi larutan tidak
diketahui itu.
Titrasi asam basa melibatkan reaksi neutralisasi dimana asam akan bereaksi
dengan basa dalam jumlah yang ekuivalen. Titran yang dipakai dalam titrasi asam basa
selalu asam kuat atau basa kuat. Titik akhir titrasi mudah diketahui dengan membuat
kurva titrasi yaitu plot antara pH larutan sebagai fungsi dari volume titran yang
ditambahkan.
Pada umumnya cara kedua dipilih disebabkan kemudahan pengamatan, tidak
diperlukan alat tambahan, dan sangat praktis.Indikator yang dipakai dalam titrasi asam

8
basa adalah indicator yang perbahan warnanya dipengaruhi oleh pH. Penambahan
indicator diusahakan sesedikit mungkin dan umumnya adalah dua hingga tiga
tetes.Untuk memperoleh ketepatan hasil titrasi maka titik akhir titrasi dipilih sedekat
mungkin dengan titik equivalent, hal ini dapat dilakukan dengan memilih indicator
yang tepat dan sesuai dengan titrasi yang akan dilakukan.Keadaan dimana titrasi
dihentikan dengan cara melihat perubahan warna indicator disebut sebagai “titik akhir
titrasi”.
Dalam percobaan,Larutan standar biasanya kita teteskan dari suatu buret ke
dalam suatu erlenmeyer yang mengandung zat yang akan ditentukan kadarnya sampai
reaksi selesai. Selesainya suatu reaksi dapat dilihat karena terjadi perubahan warna
Perubahan ini dapat dihasilkan oleh larutan standarnya sendiri atau karena penambahan
suatu zat yang disebut indikator. Titik di mana terjadinya perubahan warna indikator ini
disebut titik akhir titrasi. Secara ideal titik akhir titrasi seharusnya sama dengan titik
akhir teoritis (titik ekuivalen). Dalam prakteknya selalu terjadi sedikit perbedaan yang
disebut kesalahan titrasi.
Untuk analisis titrimetri atau volumetri lebih mudah kalau kita memakai sistem
ekivalen (larutan normal) sebab pada titik akhir titrasi jumlah ekivalen dari zat yang
dititrasi = jumlah ekivalen zat penitrasi. Berat ekivalen suatu zat sangat sukar dibuat
definisinya, tergantung dari macam reaksinya. Pada titrasi asam basa, titik akhir titrasi
ditentukan oleh indikator. Indikator asam basa adalah asam atau basa organik yang
mempunyai satu warna jika konsentrasi hidrogen lebih tinggi daripada sutau harga
tertentu dan suatu warna lain jika konsentrasi itu lebih rendah. Pada saat titik ekuivalen
maka mol-ekuivalent asam akan sama dengan mol-ekuivalent basa, maka hal ini dapat
kita tulis sebagai berikut:
mol-ekuivalen asam = mol-ekuivalen basa
Mol-ekuivalen diperoleh dari hasil perkalian antara Normalitas dengan volume
maka rumus diatas dapat kita tulis sebagai:

NxV asam = NxV basa

Normalitas diperoleh dari hasil perkalian antara molaritas (M) dengan jumlah
ion H+ pada asam atau jumlah ion OH pada basa, sehingga rumus diatas menjadi:

nxMxV asam = nxVxM basa

9
a. Berdasarkan jenis reaksi dalam proses titrasi, maka titrasi dapat di bedakan
menjadi:
1) Titrasi yang melibatkan reaksi asam basa, disebut titrasi asam basa.
2) Titrasi yang melibatkan pembentukan reaksi kompleks, disebut titrasi
kompleksometri.
3) Titrasi yang melibatkan reaksi reduksi dan oksidasi disebut titrasi redoks.

b. Berdasarkan larutan baku yang di gunakan, titrasi dibagi menjadi 2 yakni sebagai
berikut:
1) Asidimetri, penentuan konsentrasi larutan basa dengan menggunakan larutan
baku asam.
2) Alkalimetri, penentuan konsentrasi larutan asam dengan menggunakan larutan
baku basa.

c. Ada dua cara untuk menentukan titik ekuivalen (arti secara stoikiometri), yaitu
ketika titran dan titer tepat habis bereaksi)
1) Dengan menggunakan pH meter
pH meter dapat digunakan untuk mengetahui perubahan pH selama titrasi di
lakukan. Data pH dengan volume titrasi di gunakan untuk membuat kurva
titrasi. Titik ekuivalen merupakan titik tengah dari kurva titrasi.
2) Indikator asam basa
Indikator di gunakan untuk mengetahui titik akhir titrasi (keadaan di mana
titrasi di hentikan) yang di tandai dengan adanya perubahan warna. Indikator
akan berubah warna ketika titik ekuivalen terjadi, lebih tepatnya saat titrasi di
hentikan. Pada umumnya cara kedua lebih dipilih karena kemudahan dalam
pengamatan, tidak di perlukan alat tambahan, dan sangat praktis, walaupun
tidak seakurat dengan pH meter.

d. Menentukan Kadar Larutan yang Di Titrasi

Pada dasarnya reaksi dalam titrasi merupakan reaksi penetralan. Bahasan ini
tentu sudah kita pelajari pada pembelajaran sebelumnya. Titrasi di hentikan tepat
pada saat jumlah mol ion H+ setara dengan jumlah mol ion OH-. Pada saat itu

10
larutan bersifat netral dan disebut titik ekuivalen. Bagaimana cara menetukan titik
ekuivalen? Untuk mengamati titik ekuivalen dapat di gunakan indikator yang
perubahan warnanya di sekitar titik ekuivalen. Saat terjadi perubahan warna itu di
sebut titik akhir titrasi.

Pada saat titik ekuivalen maka mol ekuivalen asam akan sama dengan mol
ekuivalen basa, maka hal ini dapat di tulis sebagai berikut:

mol ekuivalen asam = mol ekuivalen basa

Menghitung konsentrasi larutan asam/basa dari persamaan perbandingan


tersebut

dengan, = jumlah mol asam A dan basa B

a, b = koefisien reaksi asam A dan basa B

MA, MB = molaritas asam A dan basa B

VA, VB = volum larutan asam A dan basa B

Jika valensi dari asam A dan basa B yang bereaksi diketahui, konsentrasi larutan
asam/basa juga dapat dicari dengan rumus:

Contoh Soal Titrasi Asam Basa

Sebanyak 40 mL larutan asam sulfat 0,25 M dititrasi dengan suatu basa bervalensi
satu, dan ternyata dibutuhkan 57 mL basa tersebut. Berapakah kemolaran basa yang
digunakan tersebut?

Jawab:

Reaksi netralisasi terjadi antara asam sulfat H2SO4 (asam kuat bervalensi dua)
dengan suatu basa bervalensi satu.

11
e. Langkah-langkah Titrasi Asam Basa
1) Siapkan larutan yang akan di tentukan molaritas nya. Pipet larutan tersebut ke
dalam erlenmeyer dengan menggunakan pipet volume.
2) Pilih indikator berdasarkan trayek pH dan perubahan warna indikator untuk
memudahkan pengamatan. Tambahkan beberapa tetes pada larutan.
3) Tambahkan zat penitrasi setetes demi setetes dengan selalu menggoyangkan
erlenmeyer agar terjadi reaksi sempurna.
4) Sesekali, pinggiran erlenmeyer di bilas agar zat yang bereaksi tidak menempel
di dinding erlenmeyer.
5) Ketika mendekati titik ekuivalen, penambahan zat penitrasi di lakukan dengan
sangat hati-hati. Buka keran buret, peniter yang keluar jangan sampai menetes,
tetapi di tempelkan pada dinding erlenmeyer kemudian bilas dan goyangkan.
Ada baiknya titrasi di lakukan sebanyak dua atau tiga kali (duplo atau triplo).
Yang di maksud zat penitrasi adalah zat yang di tambahkan ketika melakukan
titrasi.
6) Hitung volume larutan peniter, lalu tentukan molaritas larutan titran.

f. Kurva Titrasi

Perubahan pH pada titrasi asam basa ada bermacam-macam dan dapat di buat grafik
sesuai kekuatan asam basa yang di reaksikan, sebagai berikut:

1) Jika larutan asam di tetesi basa, maka pH larutan naik, sebaliknya jika larutan
basa di tetesi asam maka pH larutan turun.
2) Grafik perubahan pH pada titrasi asam dengan basa (atau sebaliknya) di sebut
kurva titrasi.
3) Macam perhitungan pH dalam titrasi, yaitu sebagai berikut:
a) Pada titik awal, sebelum titrasi di mulai.

12
b) Daerah antara, titrasi sudah di lakukan akan tetapi sebelum tercapai titik
setara.
c) Titik setara (ekuivalen), pada saat larutan tepat habis bereaksi.
d) Di atas titik ekuivalensi, setelah titik akhir di lewati, penambahan larutan dari
buret masih dilakukan.

g. Macam-macam kurva titrasi, sebagai berikut:


1) Titrasi asam kuat dengan basa kuat

Sebagai contoh, 40 mL larutan HCl 0,1 M ditetesi dengan larutan NaOH 0,1 M
sedikit demi sedikit. Berikut kurva titrasi yang menggambarkan perubahan pH
selama titrasi tersebut.

Kurva titrasi asam basa: HCl dengan NaOH.

Dari kurva tersebut dapat disimpulkan:

a) Mula-mula pH larutan naik sedikit demi sedikit


b) Perubahan pH drastis terjadi sekitar titik ekivalen
c) pH titik ekivalen = 7 (netral)
d) Indikator yang dapat digunakan: metil merah, bromtimol biru, atau
fenolftalein. Namun, yang lebih sering digunakan adalah fenolftalein karena
perubahan warna fenolftalein yang lebih mudah diamati.

2) Titrasi asam lemah dengan basa kuat

Sebagai contoh, 40 mL larutan CH3COOH 0,1 M ditetesi dengan larutan NaOH


0,1 M sedikit demi sedikit. Berikut kurva titrasi berwarna biru yang

13
menggambarkan perubahan pH selama titrasi tersebut dibandingkan dengan kurva
titrasi HCl dengan NaOH yang berwarna merah.

Kurva titrasi CH3COOH dengan NaOH dan titrasi HCl dengan NaOH

Dari kurva tersebut dapat disimpulkan:

a) Titik ekivalen berada di atas pH 7, yaitu antara 8 – 9


b) Lonjakan perubahan pH pada sekitar titik ekivalen lebih kecil, hanya sekitar
3 satuan, yaitu dari pH ±7 hingga pH ±10
c) Indikator yang digunakan: fenolftalein. Metil merah tidak dapat digunakan
karena perubahan warnanya terjadi jauh sebelum tercapai titik ekivalen.
3) Titrasi basa lemah dengan asam kuat

Sebagai contoh, 40 mL larutan NH3 0,1 M ditetesi dengan larutan HCl 0,1 M
sedikit demi sedikit. Berikut ditampilkan kurva titrasi yang menggambarkan
perubahan pH selama titrasi tersebut

Kurva titrasi NH3 dengan HCl

14
Dari kurva tersebut dapat disimpulkan:

a) Titik ekivalen berada di bawah pH 7, yaitu antara 5 – 6


b) Lonjakan perubahan pH pada sekitar titik ekivalen hanya sedikit, sekitar 3
satuan, yaitu dari pH ±7 hingga pH ±4
c) Indikator yang digunakan: metil merah. Fenolftalein tidak dapat digunakan
karena perubahan warnanya terjadi jauh sebelum tercapai titik ekivalen.

4. Titrasi asam lemah dan basa lemah

Pada akhir titrasi akan terbentuk garam yang berasal dari asam lemah dan basa
lemah. Misal : Asam asetat dan NH4OH

CH3COOH + NH4OH —> CH3COONH4 + H2O

h. Contoh Pengujian Titrasi Asam Basa :


1) Mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan (III. Alat dan Bahan)
2) Bersihkan alat-alat sebelum digunakan (bila perlu)
3) Memasang buret pada statif
4) Memasang kran pada bawah buret
5) Menutup kran pada buret, kemudian masukkan larutan NaOH 0,1M ke buret
menggunakan gelas kimia
6) Membuka kran pada buret untuk mengepaskan larutan NaOH 0,1 M tepat pada
skala 0 buret
7) Ambil 5 ml larutan HCl dan 5 ml aquades dengan pipet volume, tuangkan
dalam labu reaksi.
8) Teteskan larutan HCl dalam labu reaksi dengan indicator PP sebanyak 2 tetes
9) Letakkan erlenmayer pada ujung bawah buret.
10) Lakukan titrasi sambil labu reaksi digoyang perlahan hingga larutan HCl
berubah warna menjadi pink
11) Bila telah terjadi perubahan warna hentikan proses titrasi
12) Catatlah volume NaOH yang digunakan dengan menghitung V awal – V akhir

15
Data Pengamatan

Percobaan ke Volume NaOH ( mL )


- Awal (V1) Akhir (V2) Terpakai ( V2 – V1)
1 25 19,5 5,5
2 19,5 11 8,5
3 11 5,5 5,5
Rata – rata Volume Naoh ( mL) 6,5

Analisa Data
· Vrata-rata = ( 5,5 + 8,5 +5,5 ) /3 = 6,5 ml
· Titrasi asam basa
VHCl x MHCl x n = V NaOH x M NaOH x n NaOH
10 x M x 1 = 6,5 x o,1 x 1
10 MHCl = 0,65
MHCl = 0,65 / 10
MHCL = 0,065 M

· V1 x M1 = V2 x M2
10 x M = 6,5 x 0,065
M = 0,4225 / 10
M = 0,04225 M = 0,04 M
Kesimpulan :
Dari 3 kali percobaan yang kami lakukan, kami menyimpulkan bahwa Molaritas
adalah 0,04 M

2. Titrasi pengendapan
Titrasi pengendapan merupakan suatu proses titrasi yang dapat mengakibatkan
terbentuknya endapan dari zat-zat yang saling bereaksi (analit dan titran ). Suatu reaksi
endapan dapat berkesudahan bila kelarutan endapannya cukup kecil. konsentrasi ion-
ion yang akan mengalami perubahan yang besar di dekat titik ekuvalennya.

16
Istilah argentometri diturunkan dari bahasa latin argentum, yang berarti perak.
Jadi argentometri merupakan salah satu cara untuk menentukan kadar zat dalam suatu
larutan yang dilakukan dengan titrasi berdasar pembentukan endapan dengan ion Ag+.
Pada titrasi argentometri, zat pemeriksaan yang telah dibubuhi indikator dicampur
dengan larutan standar garam perak nitrat AgNO3. Dengan mengukur volume larutan
standar yang digunakan sehingga seluruh ion Ag+ dapat tepat diendapkan, kadar garam
dalam larutan pemeriksaan dapat ditentukan.Terdapat 3 cara penentuan suatu senyawa
dengan titrasi pengendapan yaitu :
a. Cara Mohr
Pada metode ini, titrasi halide dengan AgNO3 dilakukan dengan K2CrO4. Pada
titrasi ini akan terbentuk endapan baru yang berwarna. Pada titik akhir titrasi, ion
Ag+ yang berlebih diendapkan sebagai Ag2CrO4 yang berwarna merah bata. Larutan
harus bersifat netral atau sedikit bas, tetapi tidak boleh terlalu basa sebab Ag akan
diendapkan sebagai Ag(OH)2. Jika larutan terlalu asam maka titik akhir titrasi tidak
terlihat sebab konsentrasi CrO4- berkurang.
Pada kondisi yang cocok, metode mohr cukup akurat dan dapat digunakan pada
konsentrasi klorida yang rendah. Pada jenis titrasi ini, endapan indikator berwarna
harus lebih larut disbanding endapan utama yang terbentuk selama titrasi. Indikator
tersebut biasanya digunakan pada titrasi sulfat dengan BaCl2, dengan titik akhir
akhir terbentuknya endapan garam Ba yang berwarna merah.
b. Cara Volhard
Titrasi Ag dengan NH4SCN dengan garam Fe(III) sebagai indikator adalah
contoh metode volhard, yaitu pembentukan zat berwarna didalam larutan. Selama
titrasi, AgSCN terbentuk sedangkan titik akhir tercapai bila NH4SCN yang berlebih
bereaksi dengan Fe(III) membentuk warna merah gelap [FeSCN]2+.
Pada metode volhard, untuk menentukan ion klorida suasana haruslah asam
karena pada suasana basa Fe3+ akan terhidrolisis. AgNO3 berlebih yang
ditambahkan ke larutan klorida tentunya tidak bereaksi. Larutan Ag+ tersebut
kemudian dititrasi balik dengan menggunakan Fe(III) sebagai indikator.
c. Cara Fajans
Dalam titrasi fajans digunakan indikator adsorpsi. Indikator adsorpsi ialah zat
yang dapat diserap pada permukaan endapan dan menyebabkan timbulnya warna.
Penyerapan ini dapat diatur agar terjadi pada titik ekuivalen, antara lain dengan
memilih macam indikator yang dipakai dan pH.
17
Indikator ini ialah asam lemah atau basa lemah organic yang dapat membentuk
endapan dengan ion perak. Misalnya flouresein yang digunakan dalam titrasi ion
klorida. Dalam larutan, flouresein akan mengion (untuk mudahnya ditulis HFI) :
HFI Û H+ + FI-
Ion FI- inilah yang diserap oleh endapan AgX dan menyebabkan endapan
berwarna merah muda.
Flouresein sendiri dalam larutan berwarna hijau kuning, sehingga titik akhir
dalam titrasi ini diketahui berdasar tiga macam perubahan, yakni (i) endapan yang
semula putih menjadi merah muda dan endapan terlihat menggumpal, (ii) larutan
yang semula keruh menjadi lebih jernih, dan (iii) larutan yang semula kuning hijau
hampir tidak berwarna lagi.

a. Penetapan Titik Akhir Dalam Reaksi Pengendapan


1) Pembentukan suatu endapan berwarna
Ini dapat diilustrasikan dengan prosedur mohr untuk penetapan klorida dan
bromide. Pada titrasi suatu larutan netral dari ion klorida dengan larutan perak
nitrat, sedikit larutan kalium kromat ditambahkan untuk berfungsi sebagai indikator.
Pada titik akhir, ion kromat ini bergabung dengan ion perak untuk membentuk
perak kromat merah yang sangat sedikit sekali dapat larut. Titrasi ini hendaknya
dilakukan dalam suasana netral atau sangat sedikit sekali basa, yakni dalam
jangkauan pH 6,59.
2) Pembentukan suatu senyawaan berwarna yang dapat larut
Contoh prosedur ini adalah metode volhard untuk titrasi perak dengan adanya
asam nitrat bebas dengan larutan kalium atau ammonium tiosianat standar.
Indikatornya adalah larutan besi(III) ammonium sulfat. Penambahan larutan
tiosianat menghasilkan mula-mula endapan perak klorida. Kelebihan tiosianat yang
paling sedikitpun akan menghasilkan pewarnaan coklat kemerahan, disebabkan oleh
terbentuknya suatu ion kompleks.
Ag+ + SCN- Û AgSCN
Fe3+ + SCN- Û [FeSCN]2+
Metode ini dapat diterapkan untuk penetapan klorida, bromide dan iodide dalam
larutan asam. Larutan perak nitrat standar berlebih ditambahkan dan kelebihannya
dititrasi balik dengan larutan tiosianat standar.
Ag+ + Cl- Û AgCl
18
Ag+ + SCN- Û AgSCN
3) Penggunaan indikator adsorpsi
Aksi dari indikator-indikator ini disebabkan oleh fakta bahwa pada titik
ekuivalen, indikator itu diadsorpsi oleh endapan dan selama proses adsorpsi terjadi
suatu perubahan dalam indikator yang menimbulkan suatu zat dengan warna
berbeda, maka dinamakan indikator adsorpsi.
Zat-zat yang digunakan adalah zat-zat warna asam, seperti warna deret
flouresein misalnya flouresein an eosin yang digunakan sebagai garam natriumnya.
Untuk titrasi klorida, boleh dipakai flouresein. Suatu larutan perak klorida
dititrasi dengan larutan perak nitrat, perak klorida yang mengendap mengadsorpsi
ion-ion klorida. Ion flouresein akan membentuk suatu kompleks dari perak yang
merah jambu.

b. Contoh Pengujian Pada Titrasi Pengendapan


Prosedur kerja :
Standarisasi larutan AgNO3 dengan menggunakan larutan NaCl 0,1 N
1) Dipipet 10 ml larutan baku NaCl 0,1 N ke dalam Erlenmeyer
2) Ditambahkan 1 ml larutan K2CrO4 5%
3) Dititrasi dengan larutan AgNO3 hingga larutan berwarna coklat
4) Dikocok hingga warna tidak hilang dan dicatat volume yang dibutuhkan

Penetapan kadar Cl dalam air laut (Metode Mohr)


1) Ditimbang 10 gram larutan cuplikan ke dalam botol timbang, diencerkan hingga
100 ml dengan aquadest
2) Dipipet larutan tersebut 25 ml ke dalam Erlenmeyer
3) Ditambahkan 5 tetes indikator K2CrO4 5%
4) Dititrasi dengan larutan AgNO3 hingga larutan berwarna coklat merah yang
tidak hilang setelah dikocok
5) Dicatat volume yang dibutuhkan

Penetapan kadar Cl dalam garam dapur (Metode Mohr)


1) Ditimbang 0,6 gram garam dapur, dilarutkan ke dalam aquadest dan diterakan
dalam labu ukur 100 ml
2) Dipipet larutan tersebut 25 ml ke dalam Erlenmeyer
19
3) Ditambahkan 5 tetes indikator K2CrO4 5%
4) Dititrasi dengan larutan AgNO3 hingga larutan berwarna coklat merah yang
tidak hilang setelah dikocok
5) Dicatat volume yang dibutuhkan

Penetapan kadar Cl dalam air laut (Metode Fajans)


1) Ditimbang 10 gram larutan cuplikan ke dalam botol timbang, diencerkan hingga
100 ml dengan aquadest
2) Dipipet larutan tersebut 25 ml ke dalam Erlenmeyer
3) Ditambahkan 5 tetes indikator flouresein
4) Dititrasi dengan larutan AgNO3 sampai terbentuk endapan merah muda
5) Dicatat volume yang dibutuhkan

Penetapan kadar Cl dalam garam dapur (Metode Fajans)


1) Ditimbang 0,6 gram garam dapur, dilarutkan ke dalam aquadest dan diterakan
dalam labu ukur 100 ml
2) Dipipet larutan tersebut 25 ml ke dalam Erlenmeyer
3) Ditambahkan 5 tetes indikator flouresein
4) Dititrasi dengan larutan AgNO3 sampai terbentuk endapan merah muda
5) Dicatat volume yang dibutuhkan

Hasil Dan Pembahasan


Standarisasi larutan AgNO3 dengan menggunakan larutan NaCl 0,1 N

I II x
Volume

Larutan NaCl 10 ml 10 ml 10 ml

Larutan AgNO3 10,2 ml 10,2 ml 10,2 ml

Penetapan kadar Cl dalam air laut (Metode Mohr)

Volume I II x

Sampel air
25 ml 25 ml 25 ml
laut

20
Larutan
13,1 ml 3,1 ml 3,1 ml
AgNO3

Penetapan kadar Cl dalam garam dapur (Metode Mohr)

Volume I II x

Sampel garam 25 ml 5 ml 5 ml
Larutan
24,1 ml 4 ml 4,05 ml
AgNO3

Penetapan kadar Cl dalam air laut (Metode Fajans)

Volume I II x

Sampel air laut 25 ml 25 ml 25 ml

Larutan AgNO3 13,6 ml 13,5 ml 13,55 ml

Penetapan kadar Cl dalam garam dapur (Metode Fajans)

Volume I II x

Sampel garam 25 ml 25 ml 25 ml

Larutan AgNO3 34 ml 33,8 ml 33,9 ml

Perhitungan

1) Pembuatan larutan standar AgNO3 0,1 N

2) Standarisasi larutan AgNO3 dengan larutan NaCl 0,1 N

21
3) Penentuan kadar Cl dalam air laut (Metode Mohr)

4) Penentuan kadar Cl dalam garam dapur (Metode Mohr)

5) Penentuan kadar Cl dalam air laut (Metode Fajans)

6) Penentuan kadar Cl dalam garam dapur (Metode Fajans)

Reaksi

- Metode Mohr AgNO3 + NaCl ® AgCl¯ + NaNO3


Putih
2 AgNO3 + K2CrO4 ® Ag2CrO4¯ + 2KNO3

merah coklat

22
- Metode Fajans

AgNO3 + NaCl ® AgCl¯ + NaNO3

Putih

3. Titrasi Reduksi-Oksidasi
Titrasi Reduksi oksidasi (redoks) adalah suatu penetapan kadar reduktor atau
oksidator berdasarkan atas reaksi oksidasi dan reduksi dimana redoktur akan teroksidasi
dan oksidator akan tereduksi. Agar dapat digunakan sebagai dasar titrasi, maka reaksi
redoks harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut :
a. Reaksi harus cepat dan sempurna.
b. Reaksi berlangsung secara stiokiometrik, yaitu terdapat kesetaraan yang pasti antara
oksidator dan reduktor.
c. Titik akhir harus dapat dideteksi, misalnya dengan bantuan indikator redoks atau
secara potentiometrik.
Salah satu aplikasi titrasi redoks khususnya iodometri dengan I2 sebagai
titran adalah untuk menentukan bilangan iod lemak dan miyak.Karena kemampampuan
mengoksidasi yang tidak besar, tidak banyak zat yang dapat dititrasi berdasarkan
iodometri langsung. Pengunaan ini memeanfaatkan kesangupan ikatan rangkap zat
organic untuk mengadisi iod. Penentuan kadar vitamin C (asam arkobat) pun dapat
dialakukan dengan titrasi ini.
Aplikasi lain dadi titrasi redoks ini adalah penentuan kadar air cara Karl
Fischer. Pereaksinya tediri dari iod, belerang dioksida, piridin dan methanol. Iod dan
belerang dioksida membentuk kompleks dengan piridin, dan bila terdapat air, maka
kedua kompleks ini dengan kelebihan piridin beraksi dengan air.

Titrasi ini didasarkan pada reaksi oksidasi-reduksi antara analit dan titran.
Analit yang mengandung spesi reduktor dititrasi dengan titran berupa larutan standar
dari oksidator atau sebaliknya. Berbagai reaksi redoks data digunakan sebagai dasar
reaksi oksidimetri, misalnya penetapan ion besi(II), Fe2+ dalam analit dengan
menggunakan titran larutan standar cesium(IV), Ce4+ yang mengikuti persamaan reaksi

Fe2+ + Ce4+ Fe3+ + Ce3+

Titrasi redoks banyak dipergunakan untuk penentuan kadar logam atau senyawa
yang bersifat sebagai oksidator atau reduktor. Sepertinya akan menjadi tidak mungkin

23
bisa mengaplikasikan titrasi redoks tanpa melakukan penyetaraan reaksinya dulu.
Selain itu pengetahuan tentang perhitungan sel volta, sifat oksidator dan reduktor juga
sangat berperan. Dengan pengetahuan yang cukup baik mengenai semua itu maka
perhitungan stoikiometri titrasi redoks menjadi jauh lebih mudah. Perlu diingat dari
penyetaraan reaksi kita akan mendapatkan harga equivalen tiap senyawa untuk
perhitungan.

Titik akhir titrasi dalam titrasi redoks dapat dilakukan dengan membuat kurva
titrasi antara potensial larutan dengan volume titrant (potensiomteri), atau dapat juga
menggunakan indicator. Dengan memandang tingkat kemudahan dan efisiensi maka
titrasi redoks dengan indicator sering kali yang banyak dipilih. Beberapa titrasi redoks
menggunakan warna titrant sebagai indicator contohnya penentuan oksalat dengan
permanganate, atau penentuan alkohol dengan kalium dikromat.

Reaksi redoks secara luas digunakan dalam analisa titrimetri baik untuk zat
anorganik maupun organik. Reaksi redoks dapat diikuti dengan perubahan potensial,
sehingga reaksi redoks dapat menggunakan perubahan potensial untuk mengamati titik
akhir satu titrasi. Selain itu cara sederhana juga dapat dilakukan dengan menggunakan
indicator.

Semula istilah “oksidasi” diterapkan pada reaksi suatu senyawa yang bergabung
dengan oksigen dan istilah “reduksi” digunakan untuk menggambarkan reaksi dimana
oksigen diambil dari suatu senyawa. Suatu reaksi redoks dapat terjadi apabila suatu
pengoksidasian bercampur dengan zat yang dapat tereduksi. Dari percobaan masing-
masing dapat ditentukan pereaksi dan hasil reaksi serta koefisiennya masing-masing.

Reduksi–oksidasi adalah proses perpindahan elektron dari suatu oksidator ke


reduktor. Reaksi reduksi adalah reaksi penangkapan elektron atau reaksi terjadinya
penurunan bilangan oksidasi. Sedangkan reaksi oksidasi adalah pelepasan elektron atau
reaksi terjadinya kenaikan bilangan oksidasi. Jadi, reaksi redoks adalah reaksi
penerimaan elektron dan pelepasan elektron atau reaksi penurunan dan kenaikan
bilangan oksidasi. Reaksi redoks secara umum dapat dituliskan sebagai berikut :

Ared + Boksà Aoks + Bred

Jika suatu logam dimasukkan ke dalam larutan yang mengandung ion logam
lain, ada kemungkinan terjadi reaksi redoks, misalnya:

24
Ni(s) + Cu2+(l) àNi2+ + Cu(s)

Artinya logam Ni dioksidasi menjadi Ni2+ dan Cu2+ di reduksi menjadi logam
Cu.Demikian pula peristiwa redoks tersebut terjadi pada logam lain seperti besi.
Sepotong besi yang tertutup lapisan air yang mengandung oksigen akan mengalami
korosi.

Titrasi redoks melibatkan reaksi oksidasi dan reduksi antara titrant dan
analit.Titrasi redoks banyak dipergunakan untuk penentuan kadar logam atau senyawa
yang bersifat sebagai oksidator atau reduktor. Aplikasi dalam bidang industri misalnya
penentuan sulfite dalam minuman anggur dengan menggunakan iodine, atau penentuan
kadar alkohol dengan menggunakan kalium dikromat. Beberapa contoh yang lain
adalah penentuan asam oksalat dengan menggunakan permanganate, penentuan besi(II)
dengan serium(IV), dan sebagainya.

Titik akhir titrasi dalam titrasi redoks dapat dilakukan dengan mebuat kurva
titrasi antara potensial larutan dengan volume titrant, atau dapat juga menggunakan
indicator. Dengan memandang tingkat kemudahan dan efisiensi maka titrasi redoks
dengan indicator sering kali yang banyak dipilih. Beberapa titrasi redoks menggunakan
warna titrant sebagai indicator contohnya penentuan oksalat dengan permanganate, atau
penentuan alkohol dengan kalium dikromat.

Beberapa titrasi redoks menggunakan amilum sebagai indicator, khususnya


titrasi redoks yang melibatkan iodine. Indikator yang lain yang bersifat
reduktor/oksidator lemah juga sering dipakai untuk titrasi redoks jika kedua indicator
diatas tidak dapat diaplikasikan, misalnya ferroin, metilen, blue, dan nitroferoin.

a. Jenis-jenis Reaksi Titrasi Redoks

Berdasarkan jenis oksidator atau reduktor yang dipergunakan dalam titrasi redoks,
maka dikenal beberapa jenis titrimetri redoks seperti iodometri, iodimetri dan
permanganometri.

1) Iodimetri dan Iodometri


Titrasi dengan iodium ada dua macam yaitu iodimetri (secara langsung),
dan iodometri (cara tidak langsung). Dalam iodimetri iodin digunakan sebagai
oksidator, sedangkan dalam iodometri ion iodida digunakan sebagai reduktor.

25
Baik dalam iodometri ataupun iodimetri penentuan titik akhir titrasi didasarkan
adanya I2 yang bebas. Dalam iodometri digunakan larutan tiosulfat untuk
mentitrasi iodium yang dibebaskan. Larutan natrium tiosulfat merupakan
standar sekunder dan dapat distandarisasi dengan kalium dikromat atau kalium
iodidat. Dalam suatu titrasi, bila larutan titran dibuat dari zat yang
kemurniannya tidak pasti, perlu dilakukan pembakuan.
Untuk pembakuan tersebut digunakan zat baku yang disebut larutan
baku primer, yaitu larutan yang konsentrasinya dapat diketahui dengan cara
penimbangan zat secara seksama yang digunakan untuk standarisasi suatu
larutan karena zatnya relatif stabil. Selain itu, pembakuan juga bisa dilakukan
dengan menggunakan larutan baku sekunder, yaitu larutan yang konsentrasinya
dapat diketahui dengan cara dibakukan oleh larutan baku primer, karena
sifatnya yang labil, mudah terurai, dan higroskopis .
Day & Underwood (2002) dalam Steven (2012) mengatakan syarat-
syarat larutan baku primer yaitu :
a) Mudah diperoleh dalam bentuk murni
b) Mudah dikeringkan
c) Stabil
d) Memiliki massa molar yang besar
e) Reaksi dengan zat yang dibakukan harus stoikiometri sehingga dicapai dasr
perhitungan.

Teknik ini dikembangkan berdasarkan reaksi redoks dari senyawa iodine


dengan natrium tiosulfat. Oksidasi dari senyawa iodine ditunjukkan oleh reaksi
dibawah ini

I2 + 2 e → 2 I- Eo = + 0,535 volt

Sifat khas iodine cukup menarik berwarna biru didalam larutan amilosa dan
berwarna merah pada larutan amilopektin. Dengan dasar reaksi diatas reaksi redoks
dapat diikuti dengan menggunaka indikator amilosa atau amilopektin.

Analisa dengan menggunakan iodine secara langsung disebut dengan titrasi


iodimetri. Namun titrasi juga dapat dilakukan dengan cara menggunakan larutan
iodida, dimana larutan tersebut diubah menjadi iodine, dan selanjutnya dilakukan
titrasi dengan natrium tiosulfat, titrasi tidak iodine secara tidak langsung disebut

26
dengan iodometri. Dalam titrasi ini digunakan indikator amilosa, amilopektin,
indikator carbon tetraklorida juga digunakan yang berwarna ungu jika mengandung
iodine.

Larutan standar yang digunakan dalam kebanyakan proses iodometri adalah


natrium tiosulfat. Garam ini biasanya berbentuk sabagai pentahidrat
Na2S2O3.5H2O. Larutan tidak boleh distandarisasi dengan penimbangan secara
langsung, tetapi harus distandarisasi dengan standar primer, larutan natrium
tiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama. Tembaga murni dapat digunakan
sebagi standar primer untuk natrium tiosulfat.

2) Permanganometri

Permanganometri merupakan titrasi redoks menggunakan larutan standar


Kalium permanganat. Reaksi redoks ini dapat berlangsung dalam suasana asam
maupun dalam suasana basa. Dalam suasana asam, kalium permanganat akan
tereduksi menjadi Mn2+ dengan persamaan reaksi :

MnO4- + 8 H+ + 5 e → Mn2+ + 4 H2O

Berdasarkan jumlah ellektron yang ditangkap perubahan bilangan oksidasinya,


maka berat ekivalen Dengan demikian berat ekivalennya seperlima dari berat
molekulnya atau 31,606. Dalam reaksi redoks ini, suasana terjadi karena
penambahan asam sulfat, dan asam sulfat cukup baik karena tidak bereaksi dengan
permanganat.

Larutan permanganat berwarna ungu, jika titrasi dilakukan untuk larutan yang
tidak berwarna, indikator tidak diperlukan. Namun jika larutan permangant yang
kita pergunakan encer, maka penambahanindikator dapat dilakukan. Beberapa
indikator yang dapat dipergunakan seperti feroin, asam N-fenil antranilat.

Analisa dengan cara titrasi redoks telah banyak dimanfaatkan, seperti dalam
analisis vitamin C (asam askorbat). Dalam analisis ini teknik iodimetri
dipergunakan. Pertama-tama, sampel ditimbang seberat 400 mg kemudian
dilarutkan kedalam air yang sudah terbebas dari gas carbondioksida (CO2),
selanjutnya larutan ini diasamkan dengan penambahan asam sulfat encer sebanyak

27
10 mL. Titrasi dengan iodine, untuk mengetahui titik akhir titrasi gunakan larutan
kanji atau amilosa.

3) Dikromatometri

Dikromatometri adalah titrasi redoks yang menggunakan senyawa dikromat


sebagai oksidator. Senyawa dikromat merupakan oksidator kuat, tetapi lebih lemah
dari permanganat. Kalium dikromat merupakan standar primer. Penggunaan utama
dikromatometri adalah untuk penentuan besi(II) dalam asam klorida .

4) Serimetri

Larutan serium IV sulfat dalam asam sulfat encer merupakan zat pengoksidasi
yang kuat dan lebih stabil daripada larutan kalium permanganat, dengan suatu
syarat bahwa asam sulfat cukup mampu menghindari hidrolisis dan pengendapan
garam basanya.kalau larutan kalium permanganate dapat direduksi menjadi
beberapa macam keadaan hasil reduksi, maka reduksi larutan serium (IV) sulfat
selalu menghasilkan ion serium (III), menurut reaksi :

Ce4+ e- à Ce3+
5) Nitrimetri

Metode Nitrimetri merupakan titrasi yang dipergunakan dalam analisa senyawa-


senyawa organik, khususnya untuk persenyawaan amina primer. Penetapan
kuantitas zat didasari oleh reaksi antara fenil amina primer (aromatic) dengan
natrium nitrit dalam suasana asam menbentuk garam diazonium. Reaksi ini dikenal
dengan reaksi diazotasi, dengan persamaan yang berlangsung dalam dua tahap
seperti dibawah ini :

NaNO2 + HCl → NaCl + HONO


Ar- NH2 + HONO + HCl → Ar-N2Cl + H2O

Reaksi ini tidak stabil dalam suhu kamar, karena garam diazonium yang
terbentu mudah tergedradasi membentuk senyawa fenol dan gas nitrogen. Sehingga
reaksi dilakukan pada suhu dibawah 15oC. Reaksi diazotasi dapat dipercepat dengan
panambahan garam kalium bromida.

28
Reaksi dilakukan dibawah 15 oC, sebab pada suhu yang lebih tinggi garam
diazonium akan terurai menjadi fenol dan nitrogen. Reaksi diazonasi dapat
dipercepat dengan menambahkan kalium bromida. Titik ekivalensi atau titik akhir
titrasi ditunjukan oleh perubahan warna dari pasta kanji iodide atau kertas iodida
sebagai indicator luar.

Kelebihan asam nitrit terjadi karena senyawa fenil sudah bereaksi seluruhnya,
kelebihan ini dapat berekasi dengan yodida yang ada dalam pasta kanji atas kertas,
reaksi ini akan mengubah yodida menjadi iodine diikuti dengan perubahan warna
menjadi biru. Kejadian ini dapat ditunjukkan setelah larutan didiamkan selama
beberapa menit. Reaksi perubahan warna yang dijadikan infikator dalam titrasi ini
adalah :

KI +HCl → KCl + HI

2 HI + 2 HONO → I2 + 2 NO + H2O
I2 + Kanji yod (biru)

Penetapan titik akhir dapat juga ditunjukkan dengan campuran tropiolin dan
metilen blue sebagai indikator dalam larutan. Titik akhir titrasi juga dapat
ditentukan dengan teknik potensiometri menggunakan platina sebagai indikator
elektroda dan saturated calomel elektroda sebagai elektroda acuan (Zulfikar, 2010).

6) Bromometri dan Bromatometri

Bromometri merupakan penentuan kadar senyawa berdasarkanreaksi reduksi-


oksidasi dimana proses titrasi (reaksi antara reduktor dan bromine berjalan lambat)
sehingga dilakukan titrasi secara tidak langsung dengan menambahkan bromine
berlebih. Sedangkan bromatometri dilakukan dengan titrasi secara langsung karena
proses titrasi berjalan cepat.

Bromatometri merupakan salah satu metode oksidimetri dengandasar reaksi


oksidasi dari ion bromat ( BrO3 ).
BrO3 + 6 H + 6 e à Br + 3 H2O

29
b. Indikator Titrasi Redoks

Indikator Redoks adalah indikator yang berubah warnanya karena terjadi reaksi
reduksi-oksidasi (redoks). Disini indikator memperlihatkan warna teroksidasi dan
warna tereduksi. Dalam titrasi redoks ada 3 jenis indikator:

1) Indikator Redoks Reversibel

Indikator oksidasi - reduksi yang sebenarnya yang tidak tergantung dari salah
satu zat, tetapi hanya pada perubahan potensial larutan selama titrasi. Indikator ini
dapat dioksidasi dan direduksi secara reversibel (bolak-balik).

Berikut Beberapa Contoh – contoh Indikator Redoks yang sering digunakan :


a)Kompleks Fe ( II ) – ortofenentrolin
b)Difenilamindan

2) Indikator Redoks Irreversibel

Indikator yang berubah warnanya karena oksidasi dari oksidator dan sifatnya
tidak dapat berubah kembali seperti semula.

Indikator ini digunakan pada titrasi Bromatometri. Contoh yang sering


digunakan adalah Methyl Red (MR) dan Methyl Orange (MO).
Reaksi yang terjadi berupa oksidasi dari indikator MR atau MO menjadi senyawa
yang tidak berwarna oleh Brom bebas (Br2).

3) Indikator Redoks Khusus

Indikator khusus yang bereaksi dengan salah satu komponen yang bereaksi,
Contoh indikator yang paling kita kenal ialah Amilum, yang membentuk kompleks
biru tua dengan ion triIodida.
Indikator yang sebenarnya jauh lebih luas penerapannya karena hanya tergantung
dari perubahan potensial larutan . Sudah dikemukakan bahwa indikator tersebut
sebenarnya juga dapat dioksidasi – reduksi dan mempunyai warna yang berbeda
dalam bentuk tereduksi.

Indikator ini dipakai pada Iodometri dan Iodimetri, indikator yang biasa
digunakan adanya Amylum dan Chloroform. Pemakaian indikator ini tidak

30
terpengaruh oleh naik turunnya bilangan oksidasi atau potensial larutan, melainkan
berdasarkan pembentukan kompleks dengan iodium.

a).Amylum
Penggunaan Indikator ini berdasarkan pembentukan kompleks Iod-Amylum
yang larut dengan Iodium (I2) yang berwarna biru cerah. Mekanisme pewarnaan
biru ini karena terbentuknya suatu senyawa dala dari amilum dan atom iod. Fraksi
Amilosa-amilum mempunyai bentuk helikal dan dengan itu membentuk celah
berbentuk saluran. Dalam saluran itu terdapat suatu rantai iod linear, Warna biru
disebabkan oleh ketujuh elektron luar atom Iod yang mudah bergerak.

Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka kompleks ini dipecah dan bila
konsentrasi Iod habis maka warna biru tadi akan hilang. Penambahan indikator
amylum sebaiknya menjelang titik akhir titrasi karena kompleks iod-amilum
yang terbentuk sukar dipecah pada titik akhir titrasi sehingga penggunaan
Tiosulfat kelebihan berakibat terjadi kesalahan titrasi. Bila Iod masih banyak
sekali bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu
perubahan warna pada titik akhir titrasi.
b).Chloroform
Penggunaan indikator ini untuk titrasi Iodometri, berdasarkan fungsi
Chloroform sebagai pelarut organik yang melarutkan iodium dalam fase organik
(fase nonpolar). Melarutnya Iodium dalam Chloroform memberi warna violet.
Hal ini patut dipahami karena Iodium sukar larut dalam air, larut hanya sekitar
0,0013 mol perliter pada suhu 25O C. Tetapi sangat mudah larut dalam larutan
KI karena membentuk Ion TriIodida (I3-)dan dalam Chloroform.
Setelah penambahan titrant Tiosulfat maka Iodium akan diubah menjadi Iodida
dan bila konsentrasi iod habis maka warna violet tadi akan hilang.

c. Contoh Pengujian Titrasi Redoks:

Langkah Kerja
1. Pembuatan Larutan
a. Membuat 50 ml Larutan Asam Oksalat 0.1 N
b. Membuat 50 ml Larutan KmnO4 0.1 N
2. Prosedur standarisasi KMnO4
3. Prosedur Penentuan Kandungan H2O2

31
Hasil Percobaan

Standarisasi KMnO4 menggunakan asam okasalat

Percobaan Volume Asam Oksalat Volume KMnO4

I 10 mL 12 mL

II 10 mL 13,8 mL

Rata-rata 10 mL 12,9 mL

Penentuan H2O2 DENGAN KMnO4

Percobaan Volume HCl Volume NaOH

I 10 mL 3 mL

II 10 mL 2,7 mL

Rata-rata 10 mL 2,85 mL

Perhitungan

Mencari Normalitas (N)

1. Asam oksalat

Dik : gr = 0,3142 gram V = 50 ml = 0,05 L BE = 63

Dit : N? Jawab : gr = N x BE x V

0,3142 = N x 63 x 0,05

N = 0,3142/3,15

N = 0,099 N

2. KMnO4

32
Dik : gr = 0,157 gram V = 50 ml = 0,05 L BE = 31,6

Dit : N? Jawab : Gr = N x BE x V

0,157 = N x 31,6 x 0,05

1,58 N= 0.157

N = 0.099

3. Menghitung konsentrasi KMnO4 pada titrasi

Dik : N asam oksalat (N1) = 0,099 N V asam oksalat (V1) = 10 ml = 0,01 L

V KMnO4 (V2) = 12,9 ml = 0,0129 L

Dit : N2 Jawab : V1. N1 = V2.N2

0,01.0,099 = 0,0129 . N2

0,00099 = 0,0129 N2

N2 = 0,00099/ 0,0129

N2 = 0,076 N

4. Menghitung konsentrasi H2O2 pada titrasi

Dik : V H2O2 (V1) = 10 ml = 0,01 L N KMnO4 (N2) = 0,076 N

V KMnO4 (V2) = 2,85 mL = 0,00285 L

Dit : N A (N1) ? Jawab : V1N1 = V2N2

0,01.N1 = 0,00285.0,076

0,01. N1 = 0,00021

N1 = 0,00021/ 0,1

N1 = 0,021 N

Dari percobaaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa :

33
1. Konsentrasi KMnO4 yang didapat dengan larutan standar primer asam oksalat
yaitu sebesar 0,076 N.
2. Kadar H2O2 dengan larutan standar sekunder KMnO4 yaitu 0,021 N.
3. Persamaan reaksi redoks selama percobaan yaitu:
2MnO4- + 5H2C2O4+ 6H+ → 2Mn2 + 10CO2 + 8H2O
5H2C2O4 + 2KMnO4 + 5H2SO4 → K2SO4 2MnSO4 + 8H2O + 10CO2
2KMnO4 + 5H2O2 + 3H2SO4 K2SO4 + MnSO4 + 8H2O + 5O2
4. Titrasi Kompleksometri
Titrasi kompleksometri adalah cara penetapan kadar ion logam berdasarkan
terbeentuknya senyawa kompleks antara ion logam dan senyawa pembentuk kompleks,
yang merupakan donor elektron.. Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi
yang meliputi reaksi pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul
netral yang terdisosiasi dalam larutan.
Kompleksometri merupakan jenis titrasi dimana titran dan titrat saling
mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksi–reaksi pembentukan
kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga
banyak, tidak hanya dalam titrasi.
Dalam titrasi kompleksometri perlu diperhatikan pH larutan yang dititrasi,
sebab asam edtat terionisasi dalam 4 tingkat (pKl = 2,0 ; pK2 = 2,67 ; pK3 = 6,16 dan
pK4 = 10,20) dan spesies pembentuk kompleks yang sebenarnya adalah Y=. Dengan
demikian, kompleks akan terbentuk lebih efisien dan lebih stabil dalam larutan alkalis.
Salah satu senyawa pembentuk kompleks yang banyak digunakan adalah
Na.EDTA. senyawa EDTA ini dengan banyak kation membentuk kompleks dengan
perbandingan 1:1 beberapa valensi.
M++ + (H2Y)= (MY)= + 2H+

M3+ + (H2Y)= (MY)- + 2H+

M4++ (H2Y)= (MY) + 2 H+

M adalah logam dan (H2Y) adalah anion garam dinatrium edta.


Kompleksometri adalah suatu cara untuk penetapan kadar zat – zat (kation) yang dapat
membentuk senyawa kompleks dengan suatu komplekson. Prinsipnya adalah
pembentukan senyawa kompleks antara ion logam dengan EDTA.

34
Titrasi kompleksometri adalah titrasi berdasarkan pembentukan senyawa
kompleks antara kation dengan zat pembentuk kompleks. Salah satu zat pembentuk
kompleks yang banyak digunakan dalam titrasi kompleksometri adalah garam
dinatrium etilendiamina tetraasetat (dinatrium EDTA).

Kompleksometri merupakan jenis titrasi dimana titran dan titrat saling


mengkompleks, membentuk hasil berupa kompleks. Reaksi–reaksi pembentukan
kompleks atau yang menyangkut kompleks banyak sekali dan penerapannya juga
banyak, tidak hanya dalam titrasi. Karena itu perlu pengertian yang cukup luas tentang
kompleks, sekalipun disini pertama-tama akan diterapkan pada titrasi.

Salah satu tipe reaksi kimia yang berlaku sebagai dasar penentuan titrimetrik
melibatkan pembentukan (formasi) kompleks atau ion kompleks yang larut namun
sedikit terdisosiasi. Kompleks yang dimaksud di sini adalah kompleks yang dibentuk
melalui reaksi ion logam, sebuah kation, dengan sebuah anion atau molekul netral.

Titrasi kompleksometri juga dikenal sebagai reaksi yang meliputi reaksi


pembentukan ion-ion kompleks ataupun pembentukan molekul netral yang terdisosiasi
dalam larutan. Persyaratan mendasar terbentuknya kompleks demikian adalah tingkat
kelarutan tinggi. Selain titrasi komplek biasa seperti di atas, dikenal pula
kompleksometri yang dikenal sebagai titrasi kelatometri, seperti yang menyangkut
penggunaan EDTA.

Titrasi kompleksometri atau kelatometri adalah suatu jenis titrasi dimana reaksi
antara bahan yang dianalisis dan titrat akan membentuk suatu kompleks senyawa.
Kompleks senyawa ini dsebut kelat dan terjadi akibat titran dan titrat yang saling
mengkompleks. Kelat yang terbentuk melalui titrasi terdiri dari dua komonen yang
membentuk ligan dan tergantung pada titran serta titrat yang hendak diamati. Kelat
yang terbentuk melalui titrasi terdiri dari dua komponen yang membentuk ligan dan
tergantung pada titran serta titrat yang hendak diamati.

Dalam larutan dengan pH tertentu sebagaian besar kation atau logam dapat
bereaksi dengan KOMPLEKSON yang kemudian membentuk ion kompleks. contoh :

Ag+ → [Ag(CN)2]¯

35
Cu2+ → [Cu(NH₃)₄]²⁺

Jika diperhatikan contoh – contoh kompleks, terlihat bahwa suatu kompleks


selalu terjadi dari sebuah ion logam yang dinamakan ion negatif atau molekul.
Sedangkan yang dinamakan Ligand (dari kata latin ligare = mengikat) . Jumlah ligand
ini berbeda-beda dari dua sampai delapan. Jumlah ikatan dengan ligand itu disebut
bilangan koordinasi yang biasanya merupkan bilangan genap terutama bernilai 4 atau 6.
Ion logam univalen biasanya mempunyai bilangan koordinasi dua.

Muatan sebuah kompleks dapat positif, negatif atau nol. Muatan tersebut
merupakan jumlah muatan inti dan semua ligand yang diikatnya. Ligand yang
mempunyai satu atom donor pasangan elektron (missal I¯ dan CN¯) monodentat atau
unidentat, sedang Ligand yang mempunyai atom donor lebih dari stu disebut poli- atau
muktidentat, bidentat kalau punya dua donor, terdentat bila 3, kuadridentat, pentedentat,
heksadentat, dst.

Bila mislanya ion Zn²⁺ berkompleks dengan ligand etilendiamin (dua molekul
ligand perion Zn karena bilangan koordinasi Zn mencapai 4), maka terbentuk ikatan –
ikatan yang mempunyai bentuk cincin atau lingkaran (ring). Lingkaran demikian
lingkaran kelat (chelat ring) dari kata yunani chele yang berarti cakar. Jenis Ligan :

a. Unidentat, yaitu ligan yang mempunyai 1 gugus donor pasangan elektron.


Contoh : NH3, CN.
b. Bidentat, yaitu ligan yang mempunyai 2 gugus donor pasangan elektron.
Contoh : Etilendiamin
c. Polidentat, yaitu ligan yang mempunyai banyak gugus donor pasangan elektron.
Contoh : asam etilendiamintetraasetat (EDTA).

Kompleks yang berisi lingkaran kelat dinamakan kelat (chelate) dan ligand yang
bersangkutan disebut suatu pembentuk kelat (pengkelat, chelating agent).

EDTA ialah suatu ligand yang heksadentat (mempunyai enam buah atom donor
pasangan elecron), yaitu melalui kedua atom N dan keempat atom O (dari OH). Karena
asam diatas sukar larut dalam air, maka digunakan garam natriumnya, yaitu : Natrium
tetra asetat.

HOOCCH2 CH2COONa
36
N – CH2 – CH2 – N
NaCOOCH2 CH2COOH

Nama lainnya : Tri ion, Chelaton III , Complekson, Na₂EDTA, Squesterine, Titriplex
III, Dinatrium etilen diamin tetra acetat

a. Titrasi Kompleks Dengan EDTA

Kelatometri dalam perkembangan analisis kimia sempat mengalami kemunduran


karena kelemahan-kelemahannya serta karena adanya cara-cara baru yang lebih
baik. Akan tetapi hal ini diperbaiki dengan berkembangnya penelitian-penelitian
tentang pengkelat polidentat. Perhatian baru terhadap kompleksiometri ini diawali
oleh Schawazenbach tahun 1954, ia menyadari bahwa potensi pengkelat dalam
analisis volumetrik sangat baik. Ahli kimia asal Swiss in mengkhususkan
perhatiannya pada penggunaan asam-asam aminopolikarboksilat, salah satunya
Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA).

Untuk praktisnya, EDTA ditulis dengan H4Y dan garam natriumnya Na₂H₂Y atau
anionya (H₂Y)= . Pada penggunaan EDTA sebagai titran akan membentuk 4 atau 6
atom yang terikat secara koordinasi dengan kation logam. Tidak tergantung dari
valensi kation, H4Y selalu membentuk kompleks dengan perbandingan 1 : 1.
Kestabilan senyawa komplek dengan EDTA, berbeda antara satu logam dengan
logam yang lain.

Faktor-faktor yang mempbuat EDTA ampuh sebagai pereaksi titrimetri antara lain:

1) Selalu membentuk kompleks ketika direaksikan dengan ion logam.


2) Kestabilannya dalam membentuk kelat sangat konstan sehingga reaksi
berjalan sempurna (kecuali dengan logam alkali)
3) Dapat bereaksi cepat dengan banyak jenis ion logam telah dikembangkan
indikatornya secara khusus
4) Mudah diperoleh bahan baku primernya
5) Digunakan baik sebagai bahan yang dianalisis maupun sebagai bahan untuk
standardisasi.
b. Menentukan Titik Akhir Titrasi

37
Untuk menentukan titik akhir titrasi digunakan indikator ion logam atau metal
indikator atau metal ion indikator, yaitu zat warna yang bersifat sebagai komplekson,
sehingga dapat membentuk kompleks dengan ion logam yang mempunyai warna yang
berbeda dengan warna indicator itu sendiri.

c. Indikator

Indikator dalam titrasi kompleksometri tidak berubah karena perubahan pH, tidak
juga karena daya oksidasi titrat berubah, akan tetapi karena perubahan pM (M adalah
khelat logam). (Roth 1988). Syarat-syarat indikator logam, yaitu:

1) Reaksi warnanya harus sensitif, dengan kepekaan yang besar terhadap logam.
2) Perubahan warna pada titik ekivalen tajam
3) Perbedaan warna dari indikator bebas dengan indikator kompleks harus
mempunyai kestabilan yang efektif dimana pH titrasi tidak boleh tidak
teroksidasi dan tereduksi.
4) Kestabilan kompleks logam indikator harus cukup.
5) Ikatan senyawa logam EDTA harus lebih kuat dari pada logam-logam indikator.
Artinya ikatan logam – logam Indikator logamnya harus dapat direbut oleh
EDTA.

Beberapa indikator yang paling banyak digunakan dalam titrasi kompleksometri.

1. Eriochrom Black-T (EBT)

Didunakan pada daerah pH 7 – 11. Suatu kelemahan dari EBT bahwa larutannya tidak
stabil, bila disimpan akan terjadi peruraian secara lambat,sehingga setelah janka waktu
tertentu indikator tidak berfungsi lagi. Suatu kesulitan yang dialami indikator
metalokromik adalah pembentukan kelat dengan logam yang tidak reversibel atau
terlalu kuat. Bila hal ini terjadi maka tidak dapat terjadi perubahan warna dan indikator
kehilangan fungsinya. Kejadian ini disebut blocking indikator. Mengalami blocking
dengan Fe³⁺. Merupakan asam lemah, tidak stabil dalam air karena senyawa organik ini
merupakan gugus sulfonat yang mudah terdisosiasi sempurna dalam air dan
mempunyai 2 gugus fenol yang terdisosiasi lambat dalam air.

Penggunaan : Penentuan kadar Ca, Mg, Cd, Zn, Mn, Hg.

2. Murexide

38
Merupakan indikator yang sering digunakan untuk titrasi Ca2+, pada pH=12.

3. Jingga Xylenol

Kompleks dengan logam memberikan warna merah.

4. Calmagite

Dapat digunakan sebagai pengganti EBT, karena calmagite lebih stabil, daerah
terjadinya pada pH 8,1-12,4 dan warna indikator bebasnya biru. Mengalami blocking
dengan Cu, Ni, Fe³⁺, dan Al.

5. Arzenazo

Digunakan untuk Ca maupun Mg, juga baik untuk titrasi Pb(IV) dengan EDTA.
Keuntungan menggunakan indikator ini adalah :

· Tidak mengalami blocking oleh Cu(II) dan Fe(III) dalam jumlah kecil.

· Bereaksi cepat sehingga terjadinya perubahan warna juga lebih cepat.

6. NAS

Digunakan pada daerah pH 3-9. Dalam larutan yang sangat asam NAS berwarna merah
violet pada pH 3,5 keatas berwarna merah jingga. Penggunaan NAS cukup luas dan
dianjurkan untuk titrasi Cu, Co(II), Cd, Ni, Zn, Al dengan EDTA.

7. Calcon

Calcon merupakan garam natrium dari Eriochrome Blue Black R, yang disebut juga
Pontachrome Blue Black R. Molekul indikator berwarna hijau dan hanya terdapat
dalam larutan asam kuat. Pada pH 7 sampai 10 berwarna merah, kemudian biru sampai
pH 13,5 dan diatasnya jingga. Kelat Calcon dengan logam berwarna merah dan ternyata
sangat cocok untuk titrasi Ca pada pH 12,5 – 13 tanpa terganggu oleh Mg. Perubahan
warna dari merah menjadi biru. Dengan indikator ini maka dapat ditentukan kesadahan
air yang disebabkan oleh Ca saja tidak termasuk kesadahan oleh Mg.

Beberapa indikator logam sering menglami penguraian apabila dilarutkan dalam


air. Sehingga stabilitas di dalam larutan rendah sekali. Oleh karena itu, dalam

39
prakteknya sering dibuat pengenceran dengan NaCl atau KNO3 dengan perbandingan
1:500.

d. Larutan Standard EDTA

Baik asam bebas H4Y mauoun garam dinatrium dihidrat Na₂H₂Y-2H₂O, dapat
diperoleh dengan mutu pereaksi. H4Y dapat digunakan sebagai larutan standar primer
setelah pengeringan selama beberapa jam pada 130-145ºc lalu dilarutkan dalam basa
sesedikitmungkin sampai larut sempurna. Lebih baik digunakan garam dinatrium
EDTA, karena :

· Kelarutanya dalam air lebih besar


· Tidak higroskopis
· Stabil
Untuk larutan stndar sekunder karena tidak murni mengandung 2H₂O garam
dihidrat. Na₂EDTA dalam keadaan atmosfer biasa mengandung 0,3% kelembaban
ekstra. Tanpa pengeringan lebih lanjut, garam ini dapat digunakan dengan koreksi
untuk kelebihan air tersebut untuk membuat larutan baku, kecuali untuk analisa yang
perlu teramat teliti. Maka bila perlu, kristalnya dikeringkan menjadi dihidrat murni
dengan pemanasan sampai 80ºC. Selama 4 hari dalam lingkungan dengan kelembaban
relatif 50%. Pemanasan lebih dari 80ºC dapat menyebabkan dehidrasi (kehilangan air
kristal) dengan pemanasan pada 120ºC dalam oven vakum selama satu malam
menghabiskan garam hidrat. Anhidrat ini tidak cocok untuk vahan baku primer (bbp)
karena higroskopis. Konsentrasi larutan Na₂EDTA yang bisa digunakan adalah:

· 0,1 M mengandung 37,224 g/l

· 0,05 M mengandung 18,612 g/l

· 0,01 M mengandung 3,7224 g/l

Air digunakan untuk melarutkan, harus air bebas ion (demineralised water) untuk
menghindari kation yang dapat memblock indikator yang digunakan kemudian.
Sebaiknya larutan EDTA disimpan dalam botol gelas, terjadi pelarutan ion-ion dari
gelas yang bereaksi dengan EDTA dan dapt menurunkan konsentrasi EDTA samapi 1%

40
setelah penyimpanan 1 bulan. Larutan EDTA dapat distandarisasi dengan larutan
ZnCl₂ atau ZnSO₄, MgCl₂, MgSO₄ atau MnCl₂.

e. Contoh Pengujian Kompleksometri

Pembentukan Larutan EDTA

1) Dimasukkan 10 ml larutan ZnCl2 ke dalam labu Erlenmeyer 250ml


2) Ditambahkan 2 ml larutan buffer pH = 10 dan 40 ml akuades
3) Ditambahkan 0,05 gram indikator EBT – NaCl
4) Dititrasi dengan larutan EDTA 0,01 M sampai larutan berubah warna dari
merah ke biru dengan sangat jelas
5) Dilakukan duplo

Penentuan Kesadahan Total

1) Dipipet 50,0 ml cuplikan air (air sumur)


2) Ditambahkan 1 ml larutan buffer pH = 10
3) Ditambahkan 0,05 gram indikator EBT – NaCl
4) Dititrasi dengan larutan EDTA 0,01 M sampai warna larutan berubah dari
merah menjadi biru
5) Dilakukan duplo

Penentuan Kesadahan Tetap

1) Diambil 250 ml cuplikan air (air sumur) dan memasukkan dalam gelas beker
2) Dididihkan selama 30 menit
3) Didinginkan, menyaring dengan kertas saring
4) Ditampung filtrat kedalam labu Erlenmeyer 250 ml tanpa pembilasan kertas
saring
5) Diambil 50 ml filtrat dan ditambahkan 1 ml larutan buffer pH =10
6) Ditambahkan 0,05 gram EBT – NaCl
7) Dititrasi dengan larutan EDTA 0,01 M hingga larutan berwarna biru jelas
dan Dilakukan duplo

Penentuan Kesadahan Sementara

41
1) Kesadahan sementara diperoleh dari kesadahan total dikurangi kesadahan
tetap.

Hasil dan Perhitungan

Hasil

Langkah Percobaan Hasil Percobaan

* Penentuan Kesadahan Total


Titrasi 1 :
– 25,0 ml cuplikan air sumur di
pipet+ 1 ml buffer pH 10 + 50 Volume EDTA = 0,3 ml
mg campuran EBT-NaCl.
Titrasi 2
Dikocok dengan baik.
Volume EDTA = 04 ml
– Menitrasi dengan larutan baku
EDTA. Vrata-rata = 0,35 ml

– Dititrasi secara duplo Perubahan warna = Ungu –


Biru muda
* Penentuan Kesadahan Tetap
Titrasi 1 :
– 125 ml cuplikan air diambil ke
dalam gelas kimia dan Volume EDTA = 0,3 ml
mendidihkan selama 30 menit.
Titrasi 2
Mendinginkan larutan ini.
Volume EDTA = 0,3 ml
– Disaring g filtrat ke dalam
labu takar 250 ml tanpa Vrata-rata = 0,3 ml
pembilasan kertas saring.
Perubahan warna = Ungu –
– Dititrasi secara duplo Biru muda

Perhitungan

Pembakuan larutan ZnCl2

Diketahui : massa ZnCl2 = 0,6814 gram Volume larutan = 500 ml = 0,5 L

42
BM ZnCl2 = 136,38 gr/mol

Ditanya : Molaritas ZnCl2


Jawab : Molaritas ZnCl2 = 0,0099 M

Penentuan Kesadahan Total

Diketahui : VEDTA = 0,35mL = 0,00035 L M EDTA = 0,01 M

Vsampel = 10 mL = 0,01 L BM CaO = 56,08 g/mol

Ditanya : Kesadahan total sebagai CaO = … ?

Jawab : Berat CaO = M EDTA x V EDTA x BM CaO

= 0,01 x 0,00035 x 56,08

= 1,9628 x 10-4 g

= 0,19628 mg

Berat CaO
ppm
CaO = Vsampel

0,19628

== 0,01

= 19,628 ppm

Penentuan Kesadahan Tetap

Diketahui : Vsampel = 10 mL = 0,01 L Molaritas EDTA = 0,01 M

VEDTA = 0,3 mL = 0,00003 L BM CaO = 56,08 g/mol

Ditanya : Kesadahan Tetap sebagai CaO = … ?

Jawab : Berat CaO = M EDTA x VEDTA x BM CaO

= 0,01 x 0,0003 x 56,08

= 1,6824x 10-4g

43
= 0,16824 mg

Berat CaO
ppm
CaO = Vsampel

0,16824

== 0,01

= 16,824 ppm

Penentuan Kesadahan Sementara

Diketahui : Kesadahan Total = 19,628 ppm Kesadahan Tetap = 16,824 ppm

Ditanya : Kesadahan Sementara = … ?

Jawab : Kesadahan Sementara = Kesadahan Total – Kesadahan Tetap

= 19,628 – 16,824 = 2,804 ppm

Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah :

1. Kesadahan merupakan besar konsentrasi Ca dan Mg dalam air ataupun


dapat diartikan sebagai daya serap air untuk mengendapkan sabun.
2. Kesadahan total dari sampel air sumur pada percobaan ini sebesar 75,22
ppm.
3. Kesadahan tetap dari sampel air sungai sumur sebesar 24,29 ppm.
4. Kesadahan sementara diperoleh dari selisih besarnya kesadahan total dengan
kesadahan tetap yaitu sebesar 50,93 ppm.

44
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat saya ambil dari makalah ini yaitu :
1. Analisa volumetri adalah analisa kimia kuantitatif yang dilakukan dengan jalan
mengukur volume suatu larutan standar yang bereaksi langsung dengan larutan yang
dianalisis.
2. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan analisis volumetrik adalah
sebagai berikut :
a. Reaksinya harus berlangsung sangat cepat.
b. Reaksinya harus sederhana serta dapat dinyatakan dengan persamaan reaksi
yang kuantitatif/stokiometrik.
c. Harus ada perubahan yang terlihat pada saat titik ekuivalen tercapai, baik
secara kimia maupun secara fisika.
d. Harus ada indikator jika reaksi tidak menunjukkan perubahan kimia atau
fisika. Indikator potensiometrik dapat pula digunakan.
3. Adapun macam-macam analisis volumetri ada tujuh, yakni: Gasometri, Titrimetri,
Alkalimetri, Acidimetri, Permanganometri, Iodometri dan Iodimetri.
4. Penggolongan analisis titrimetri yaitu: Reaksi Kimia asam basa, Reaksi oksidasi-
reduksi (redoks), Reaksi Pengendapan (presipitasi) dan Reaksi kompleksometri
5. Berdasarkan atas hasil reaksi antara analit dengan larutan standar, maka analisis
volumetri dibagi atas : Titrasi asam-basa, Titrasi pengendapan, Titrasi redoks dan Titasi
kompleksometri

B. Saran
Dalam melakukan analisis volumetri dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian agar
tidak salah dalam menganalisis. Karena jika terdapat kesalahan kecil yang disebabkan
oleh peneliti, akan mengakibatkan kesalahan besar dalam menganalisis.

45
DAFTAR PUSTAKA

Mulyono HAM. 2006. Kamus Kimia. Bandung : PT Bumi Aksara

Mulyono HAM. 2006.Membuat Reagen Kimia di Laboratorium. Bandung : PT Bumi Aksara

Ritawidya, Rien, Martalena Ramli dan Cecep Taufik Rustendi. 2014. Validase Metode
Penentuan Kadar Gadolinum (III) dan Ligan Diethyl Tetramine Penta Acetic ( DTPA) dalam
Contrast Agent Gd. DTPA. Jurnal Radisotop dan Radiofarmaka. ISSN: 1410-8542. 17 (1)

Suirta I,W. 2010. Sintesis senyawa orto fenilazo -2-Naftol Sebagai Indikator dalam Titrasi.
Jurnal Kimia 4 (1).

Tim Dosen Kimia UNHAS. 2012. Kimia Dasar. Makassar : Universitas Hasanuddin

Tim Penyusun Modul Kimia UNY. 2011. Kimia. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta

Bassett, J. 1994. Buku Ajar Vogel : Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Buku Kedokteran :
EGC. Jakarta.

Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia. Jakarta.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia. Jakarta.

Day, RA. Jr dan Al Underwood. 1992. Analisis Kimia Kuantitatif edisi kelima. Erlangga.
Jakarta.

46

You might also like