You are on page 1of 59

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Tujuan Pembangunan Nasional sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 alinea 4 adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai
tujuan tersebut diselenggarakan program pembangunan nasional secara
berkelanjutan, terencana dan terarah. Bagian integral dan terpenting dalam
pembangunan nasional adalah pembangunan kesehatan. Tujuan dari
diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hal ini sesuai
dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen Bangsa Indonesia yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi- tingginya,
sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif
secara sosial dan ekonomis. Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat
ditentukan oleh kesinambungan antar upaya program dan sektor, serta
kesinambungan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan.
Program pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019 adalah
Program Indonesia Sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan
dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan
pelayanan kesehatan. Sasaran pokok Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional(RPJMN) Tahun 2015-2019 adalah: (1) meningkatnya
status kesehatan dan gizi ibu dan anak, (2) meningkatnya pengendalian

1
penyakit, (3) meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan, (4)
meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu
Indonesia Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5) terpenuhinya
kebutuhan tenaga kesehatan, obat dan vaksin, serta (6) meningkatkan
responsivitas sistem kesehatan.
Dalam mewujudkan peningkatan derajat kesehatan seluruh
masyarakat Indonesia, maka Pemerintah Indonesia membentuk suatu
struktur pemerintahan yang bergerak di bidang kesehatan dimulai dari
tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota. Dinas Kesehatan mempunyai
tugas pokok, yaitu merencanakan, melaksanakan, mengarahkan, mengawasi
dan mengendalikan dibidang kesehatan sesuai kebijakan Pemerintah
Daerah. Fungsi Dinas Kesehatan adalah menyiapkan bahan perumusan
perencanaan/program dan kebijaksanaan teknis di bidang kesehatan,
menyelenggarakan pembinaan promosi kesehatan dan jaminan pelayanan
kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatan dan rujukan, pencegahan
pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan, kesehatan keluarga,
farmasi, makanan, dan minuman serta tenaga kesehatan dan melaksanakan
tugas-tugas yang terkait dengan kesehatan sesuai dengan ketetapan Kepala
Daerah. Dinas Kesehatan Kota Jayapura sebagai salah satu Dinas Kesehatan
yang ada di Provinsi Papua yang berada di Ibu Kota Provinsi menjadi
instansi yang penting, terutama sebagai tolak ukur pelayanan kesehatan di
Provinsi Papua terutama di Kota Jayapura.
Pembangunan kesehatan di Kota Jayapura secara umum bertujuan
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakatnya dengan indikator
yang meliputi meningkatnya sumber daya manusia, meningkatnya kualitas
hidup masyarakat, memperpanjang umur harapan hidup, meningkatnya
kesejahteraan keluarga dan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
hidup sehat. Dalam pelaksanaan pembangunan kesehatan di Kota Jayapura,
upaya yang telah dilaksanakan,melibatkan semua komponen masyarakat
yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat

2
yang setinggi-tingginya. Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari
berbagai indikator, yang meliputi indikator umur harapan hidup, angka
kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat.
Keberhasilan pembangunan suatu daerah, salah satunya dapat dilihat
dari pencapaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dimana untuk
mencapai IPM tersebut, salah satu komponen utama yang
mempengaruhinya, yaitu indikator status kesehatan selain pendidikan dan
pendapatan per kapita. Dengan demikian pembangunan kesehatan
merupakan salah satu upaya utama untuk peningkatan kualitas sumber daya
manusia, yang pada gilirannya mendukung percepatan pembangunan
nasional.

3
BAB II
SITUASI DERAJAT KESEHATAN KOTA JAYAPURA
Keberhasilan Pembangunan Kesehatan dapat dilihat dari berbagai indikator
yang digunakan untuk memantau derajat kesehatan sekaligus sebagai evaluasi
keberhasilan pelaksanaan program. Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi
oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut tidak hanya berasal dari sektor
kesehatan seperti pelayanan kesehatan dan ketersediaan sarana dan prasarana
kesehatan, melainkan juga dipengaruhi faktor ekonomi, pendidikan, lingkungan
sosial, keturunan, dan faktor lainnya. Pada prinsipnya, pembangunan kesehatan
telah menunjukkan suatu keberhasilan dengan meningkatnya derajat kesehatan
masyarakat, walaupun masih dijumpai berbagai masalah dan hambatan yang akan
mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kesehatan. Untuk mengidentifikasi
masalah dan hambatan tersebut perlu dilakukan analisis situasi dan kecenderungan
di masa mendatang.
2.1. ANGKA KEMATIAN
1. Kasus Kematian Bayi di Kota Jayapura Tahun 2016
Kematian Bayi merupakan indikator yang biasanya digunakan
untuk menentukan derajat kesehatan masyarakat. Oleh karena itu banyak
upaya kesehatan yang dilakukan dalam rangka menurunkan kejadian
kematian bayi. Di Kota Jayapura kasus kematian neonatus (0-30 hari)
pada tahun 2016 adalah 2/1000 kelahiran hidup, angka kematian balita
(1-12 bulan) pada tahun 2016 adalah 1.6/1000 kelahiran hidup.
Sementara angka kematian balita (1-5 tahun) pada tahun 2016 tidak ada
kasus.
Berbagai faktor dapat menyebabkan penurunan kematian bayi,
diantaranya pemerataan pelayanan kesehatan berikut fasilitasnya. Hal ini
disebabkan kematian bayi sangat dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan.
Selain itu, perbaikan kondisi ekonomi yang tercermin dengan pendapatan
masyarakat yang meningkat juga dapat berkontribusi melalui perbaikan
gizi yang berdampak pada daya tahan terhadap infeksi penyakit.
Angka Kematian Bayi Kota Jayapura dari tahun ke tahun
cenderung mengalami penurunan. Berdasarkan angka proyeksi dari

4
Dinas Kesehatan Kota Jayapura, AKB pada tahun 2008 sebesar 25,18 per
1000 kelahiran hidup menurun menjadi 21,0 per 1000 kelahiran hidup
pada tahun 2016.
2. Kasus Kematian Ibu di Kota Jayapura Tahun 2016
Kematian Ibu juga menjadi salah satu indikator penting dalam
menentukan derajat kesehatan masyarakat. Kematian menggambarkan
jumlah wanita yang meninggal dari suatu penyebab kematian terkait
dengan gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk
kecelakaan atau kasus insidentil) selama kehamilan, melahirkan dan
dalam masa nifas (42 hari setelah melahirkan) tanpa memperhitungkan
lama kehamilan.
Kematian Ibu dapat digunakan dalam pemantauan kematian terkait
dengan kehamilan. Indikator ini dipengaruhi status kesehatan secara
umum, pendidikan dan pelayanan selama kehamilan dan melahirkan.
Sensitifitas AKI terhadap perbaikan pelayanan kesehatan menjadikannya
indikator keberhasilan pembangunan sektor kesehatan.
AKI sampai dengan saat ini, masih berpedoman pada hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Menurut SKRT, AKI Nasional
menurun dari 450 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1986 menjadi
425 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1992, kemudian menurun
lagi menjadi 373 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Pada
SKRT 2001 tidak dilakukan survei mengenai AKI. Kemudian pada tahun
2002-2003, AKI menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan
hasil Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia (SDKI) 2003. Hal
ini menunjukkan bahwa AKI cenderung mengalami penurunan. Tetapi
bila dibandingkan dengan target yang ingin dicapai secara nasional pada
tahun 2010, yaitu sebesar 125 per 100.000 kelahiran hidup.
Kasus kematian maternal tahun 2016 di Kota Jayapura sebanyak
10/6,209 kelahiran hidup.
3. Kasus Kematian Perinatal di Kota Jayapura Tahun 2016
Kasus kematian perinatal pada tahun 2016 sebanyak 10/6,209
kelahiran hidup. Kasus kematian perinatal ini masih cukup tinggi,

5
penyebabnya antara lain terlambat dalam memberikan penanganan baik
pada bayi maupun ibu yang mengalami masalah kesehatan. Untuk
menurunkan kasus ini telah dilakukan intervensi yang tepat guna
meningkatkan pemantauan dan penurunan kasus kematian tersebut.
Diharapkan dengan lebih terpantaunya kasus kematian, maka dapat di
ketahui permasalahan kesehatan ibu dan anak yang ada di masyarakat.
2.2. ANGKA KESAKITAN
Morbiditas dapat diartikan sebagai angka kesakitan, baik insiden
maupun prevalen dari suatu penyakit. Morbiditas menggambarkan kejadian
penyakit dalam suatu populasi pada kurun waktu tertentu. Morbiditas juga
berperan dalam penilaian terhadap derajat kesehatan masyarakat.
Berdasarkan laporan puskesmas penyakit yang paling banyak di Kota
Jayapuratahun 2016 adalah ISPA, diikuti Penyakit Kulit,Penyakit Rongga
Mulut dan Malaria. Pola 10 besarpenyakit terbanyak tersebut dapat dilihat
pada tabel berikut :

Gambar Sepuluh Penyakit Terbanyak di Kota Jayapura Tahun 2016


(Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jayapura)

6
1. Cakupan Penyakit Menular
a. Cakupan Penemuan dan Penanganan Penderita Acute Flaccid
Paralysis (AFP)
Polio merupakan salah satu penyakit menular yang termasuk ke
dalam PD3I yang disebabkan oleh virus yang menyerang sistem
syaraf hingga penderita mengalami kelumpuhan. Penyakit yang pada
umumnya menyerang anak berumur 0-3 tahun ini ditandai dengan
munculnya demam, lelah, sakit kepala, mual, kaku di leher dan sakit
di tungkai dan lengan. Sedangkan AFP merupakan kondisi abnormal
ketika seseorang mengalami penurunan kekuatan otot tanpa penyebab
yang jelas kemudian berakibat pada kelumpuhan. Pada tahun 2016
tidak ditemukan AFP.
b. Prevalensi TBC
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit
ini dapat menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil
TB. Bersama dengan Malaria dan HIV/AIDS, TB menjadi salah satu
penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam
MDGs.
Salah satu indikator yang digunakan dalam pengendalian TB
adalah Case Detection Rate (CDR), yaitu proporsi jumlah pasien baru
BTA positif yang ditemukan dan diobati terhadap jumlah pasien baru
BTA positif yang diperkirakan ada dalam wilayah tersebut.
Untuk mengukur keberhasilan pengobatan TB digunakan Angka
Keberhasilan pengobatan (SR=Success Rate) yang mengindikasikan
persentase pasien baru TB paru BTA positif yang menyelesaikan
pengobatan, baik yang sembuh maupun yang menjalani pengobatan
lengkap diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Success Rate dapat membantu dalam mengetahui kecenderungan
meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
Penemuan kasus TB Paru dilakukan melalui penjaringan
penderita yang dicurigai / suspek TB Paru yang berobat ke sarana

7
kesehatan. Perkiraan nasional penderita TB Paru BTA (+)
210/100.000 penduduk. Cakupan penemuan penderita TB Paru BTA
(+) baru tahun 2016 adalah sebanyak 420 kasus, sementara BTA (+)
yang diobati sebanyak 1010 kasus. Untuk kasus TB Paru kambuh
ditemukan sebanyak 100 kasus pada tahun 2016. Adapun CDR TB
Paru pada tahun 2016 ini adalah 104 % dengan SR 60% (sampai
triwulan I tahun 2016).
c. Persentase Balita Dengan Pneumonia Yang Ditangani
Pneumonia merupakan infeksi akut yang mengenai jaringan
paru (alveoli). Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus maupun
jamur. Pneumonia juga dapat terjadi akibat kecelakaan karena
menghirup cairan atau bahan kimia. Populasi yang rentan terserang
Pneumonia adalah anak-anak usia kurang dari 2 tahun, usia lanjut
lebih dari 65 tahun, atau orang yang memiliki masalah kesehatan
(malnutrisi, gangguan imunologi).
Penemuan kasus Pneumonia pada semua kelompok umur pada
tahun 2016 sebanyak 193 pasien, dimana 50% diantaranya adalah
balita.Penemuan kasus Pnemonia Balita di Puskesmas pada tahun
2016 100 % dapat ditangani. Sementara data dari Rumah sakit tidak
didapat.
d. Persentasi HIV/AIDS Yang Ditangani
Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS sampai
saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Kota Jayapura,
dibuktikan dengan terus ditemukannya kasus dengan penyakit
tersebut. Yang patut menjadi perhatian adalah penemuan AIDS
menyerang usia produktif dan kasus terbanyak adalah pada narapidana
dan pekerja seksual, sehingga diharapkan perhatian dan dukungan
pemerintah dalam menanggulangi sedini mungkin.
HIV & AIDS disebabkan oleh infeksi virus Human Immuno-
deficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang
menyebabkan penderita mengalami penurunan ketahanan tubuh
sehingga sangat mudah untuk terinfeksi berbagai macam penyakit

8
lain. Penyakit ini ditularkan melalui cairan tubuh penderita yang
terjadi melalui proses hubungan seksual, transfusi darah, penggunaan
jarum suntik yang terkontaminasi secara bergantian, dan penularan
dari ibu ke anak dalam kandungan melalui plasenta dan kegiatan
menyusui.
Dari data yang ada, kasus HIV dan AIDS mengalami trend
peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2016 kasus HIV dilaporkan
sebanyak 72 penderita dan AIDS sebanyak 624 penderita. Sebagian
besar kasus terjadi pada populasi umum. Sementara penderita Infeksi
Menular Seksual (IMS) berjumlah 117 kasus dan 100 % ditangani.
e. Kasus Diare
Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat
perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar.
Seseorang dikatakan menderita Diare bila feses lebih berair dari
biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air
besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam Penyakit
Diare sampai saat ini masih termasuk dalam urutan 7 penyakit
terbanyak di Kota Jayapura. Penyakit diare yang banyak ditemukan
adalah gastro enteritis yang disebabkan oleh kuman. Penderita yang
berobat ke Puskesmas diobati sesuai dengan prosedur tetap
penatalaksanaan kasus diare dengan pengobatan yang rasional. Pada
tahun 2016 terjadi 9.408 kasus (4,47%).
f. Prevalensi Kusta
Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
infeksi bakteri Mycobacterium leprae. Penatalaksanaan kasus yang
buruk dapat menyebabkan Kusta menjadi progresif, menyebabkan
kerusakan permanen pada kulit, saraf, anggota gerak dan mata.
Penemuan penderita kusta baru tahun 2016 sebanyak 257 orang.
Penderita kusta ini terdapat di 13 wilayah kerja Puskesmas dari 13
Puskesmas yang ada, yaitu di Puskesmas Hamadi 52 orang,
Puskesmas Jayapura Utara 38 orang, Puskesmas Imbi 19 orang,
Puskemas Abepura 28 orang, Puskesmas Elly Uyo 29 orang,

9
Puskesmas Waena 29 orang, Puskesmas Tanjung Ria 9 orang,
Puskesmas Abepantai 11 orang, Puskesmas Skow 9 orang, Puskesmas
Yoka 8 orang, Puskesmas Koya Barat 8 orang, dan Puskesmas Twano
0 orang.. Penderita Kusta baik type PB maupun MB mendapat
pengobatan dari Puskesmas wilayah kerjanya.

Gambar Jumlah Penderita Kusta (Tipe PB & MB) per Puskesmas di Kota
Jayapura tahun 2016 (Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jayapura)

g. Penyakit Menular yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi (PD3I)


Penemuan kasus penyakit menular yang bisa dicegah dengan
imunisasi pada tahun 2016 adalah Difteri tidak ada, Tetanus
Neonatorum tidak ada, Lumpuh layu tidak ada dan Hepatitis B tidak
ditemukan.
Penyakit Difteri disebabkan oleh infeksi bakteri
Corynebacterium diphtheriae yang menyerang sistem pernafasan
bagian atas. Penyakit ini memiliki gejala sakit leher, demam ringan,
sakit tekak. Difteri juga kerap ditandai dengan tumbuhnya membran
kelabu yang menutupi tonsil serta bagian saluran pernafasan.
h. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan
oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypty.

10
Penyakit ini sebagian besar menyerang anak berumur <15 tahun,
namun dapat juga menyerang orang dewasa.
Penemuan DBD Pada tahun 2016 sebanyak 112 kasus.
Kasusterbanyak terjadi pada wilayah Puskesmas Abepura 26 kasusdi
ikuti Puskesmas Jayapura Utara 21 kasus, PuskesmasKotaraja 19
kasus dan Puskesmas Ely Uyo sebanyak 13 Kasus Puskesmas Hamadi
8 kasus, Puskesmas tanjung Ria 6 kasus,Puskesmas yoka 4 kasus,
Puskesmas Imbi 3 orang yang paling sedikit terjadi pada Puskesmas
Koya barat 2 kasus serta Puskesmas yang tidak ada kasus DBD yaitu
Puskesmas Skouw, Abepantai dan Twano.
Untuk mengantisipasi terjadinya penyebaran kasus, maka
dilakukan fogging focus yang bertujuan untuk memutus mata rantai
penularan. Disamping itu tetap di sarankan pada masyarakat untuk
tetap melakukan PSN di rumah maupun kelurahan masing–masing.
Dari jumlah kasus diatas bisa diketahui CFR nya 2% dari jumlah
kasus, dengan insidens rate nya 49/100.000 penduduk.
Dalam pengamatan selama empat tahun terakhir dapat
digambarkan bahwa terdapat 3 (tiga) kategori daerah, yaitu
Kelurahan/Kampung Endemis DBD (56%), Kelurahan/Kampung
Sporadis DBD (26%) dan Kelurahan/Kampung Bebas DBD ( 18%).

Tabel Jumlah Penderita DBD dan Jumlah Kematian Akibat DBD


di Provinsi Papua Tahun 2009-2012

NO TAHUN JUMLAH KASUS CFR


PENDERITA MENINGGAL
1. 2009 226 2 0,88
2. 2010 200 6 3
3. 2011 136 2 1,45
4. 2012 72 1 1,38
Yang termasuk dalam kategori Endemis DBD sebanyak 12
Kelurahan/Kampung, yaitu : Kelurahan Tanjung Ria, KelurahanVIM,
Kelurahan Hedam, Kelurahan Yabansai, KelurahanAbepantai,

11
Kelurahan Mandala, Kelurahan Bhayangkara,Kelurahan Gurabesi,
Kelurahan Hamadi, Kelurahan Awiyo, Kelurahan Waena, Kelurahan
Entrop.
Yang termasuk dalam kategori sporadis DBD sebanyak
17Kelurahan/Kampung, yaitu : Kelurahan Angkasapura, Kelurahan
Koya barat, Kelurahan Koya Timur, Kelurahan Trikora,Kelurahan
Ardipura, Kelurahan Numbay, Kelurahan Argapura, Kelurahan
Wahno, Kelurahan Kota baru, Kelurahan Yobe, Kampung Waena,
Kelurahan Imbi, Kampung Tahima Soroma, Kelurahan Waimhorock,
Kelurahan Asano, Kampung Yoka dan Kampung Koya Koso.
Yang termasuk dalam kategori Kampung Bebas DBD sebanyak
10Kelurahan/Kampung, yaitu :Kampung Kayu Batu,Kampung Tobati,
Kampung Enggros, Kampung Nafri, Kampung Holtekamp,Kampung
Koya Tengah, Kampung Skouw Mabo, Kampung Skouw Yambe,
Kampung Skouw Sae dan Kampung Mosso.
Upaya yang dilakukan untuk pencegahan Kasus DBD di Kota
Jayapura antara lain :
- Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD
Salah satu kegiatan untuk menurunkan angka kesakitan dan
kematian karena penyakit DBD adalah dengan melakukan PSN
DBD secara berkesinambungan pada wilayah kerja Puskesmas
masing-masing. Dengan kegiatan ini diharapkan tempat
perkembang biakan nyamuk aedes aegypti bisa dikurangi yang
pada akhirnya tidak ada tempat untuk berkembang biak nyamuk
aedes aegepty.
- Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)
Pemeriksaan Jentik Berkala dilaksanakan oleh Kader secara
berkala ke rumah-rumah penduduk sambil memberikan penyuluhan
tentang penyakit DBD dan pencegahannya, yang dikoordinir oleh
petugas puskesmas. Agar penyakit DBD ini tidak menimbulkan
wabah/KLB maka diharapkan lebih dari 95% rumah yang ada
harus bebas dari jentik nyamuk aedes.

12
Pada tahun 2016 dilakukan PJB pada 25 kelurahan dan 14
kampung endemis yang dipantau oleh Juru Pemantau Jentik
(Jumantik). Pemantauan ini diutamakan pada kelurahan endemis
DBD. Angka Bebas Jentik (ABJ) Tahun 2016 adalah 75%.
- Abatisasi
Abatisasi bertujuan untuk membunuh jentik nyamuk aedes,
dengan cara menaburkan abate pada tempat-tempat penampungan
air. Abatisasi dilaksanakan pada 22kelurahan / kampung endemis
dan 11 kelurahan / kampungsporadis DBD, yang dilaksanakan oleh
kader yang dikoordinir oleh petugas puskesmas. Disamping itu,
pemberian abate juga diberikan pada kelurahan non endemis.
- Fogging Focus
Untuk memutus mata rantai penularan DBD pada daerah
kasus, dilakukan fogging focus di lokasi tempat tinggal penderita
dengan radius 200 meter.
Tujuannya adalah untuk memutus rantai penularan dengan
membunuh nyamuk dewasa yang telah terinfeksi. Untuk tahun
2016 dilakukan sebanyak 102 fokus.
i. Malaria
Kota Jayapura sampai saat ini masih menjadi daerah endemis
malaria. Jumlah kasus malaria vivaxtahun 2016 sebanyak 4.667
(32,90%) kasus, Malaria Palcifarum 8.232 (58,4%), Malaria Mix
1.128 (7,95%).

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jayapura


Gambar Jumlah Kasus Malaria di Kota Jayapura Tahun 2016

13
j. Filariasis
Berdasarkan kriteria dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
apabila MF Rate lebih besar dari 1% maka harus dilaksanakan
Pengobatan Massal, baik tingkat Kampung, tingkat Distrik ataupun
Tingkat Kota.
Filariasis atau yang sering kita sebut dengan Penyakit Kaki
Gajah adalah penyakit infeksi yang bersifat menahun yang disebabkan
oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk. Penyakit ini dapat
menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, kantung
buah zakar, payudara dan kelamin wanita. Semua orang baik laki-laki,
perempuan, anak-anak dan orang tua dapat terserang penyakit ini.
Kerugian ekonomi akibat penyakit ini berdampak nyata, terutama bagi
keluarga, penderita tidak dapat bekerja secara normal / tidak dapat
bekerja sama sekali, penderita merasa rendah diri atau malu terhadap
lingkungannya, serta mengganggu hubungan intim suami istri. Pada
tahun 2016 ditemukan jumlah pasien filariasis sebanyak 11 orang
terdiri laki-laki 6 orang dan perempuan 5 orang.
Penduduk dengan kategori tunda adalah berusia 2 tahun,
keadaan sakit berat, hamil, menyusui dan gizi buruk.
2. Status Gizi
Prevalensi Kurang Energi Total (gizi kurang dan gizi buruk) terjadi
penurunan dari 5,7 % tahun 2008 menjadi 3,4 % pada tahun 2012,
sedangkan untuk gizi buruk pada tahun 2008 (0,6%) turun menjadi 3,4 %
pada tahun 2012. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program
perbaikan gizi (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target MDGs untuk
Indonesia sebesar 8,5% , maka di Kota Jayapura target tersebut telah
terlampaui.
a. Jumlah Bayi Lahir Hidup
Jumlah bayi yang lahir tahun 2016 sebanyak 4.491 orang.
b. Balita Dengan Gizi Kurang
Pemantauan Status Gizi Balita dilakukan secara rutin di
Posyandu dan 1 kali setiap tahun dilakukan Pemantauan Status Gizi

14
(PSG). Penimbangan rutin di Posyandu menemukan 394 Balita yang
mengalami gizi kurang dan 235 Balita gizi buruk. Balita yang
mengalami gizi kurang diberikan penyuluhan pada ibu Balita dan
makanan tambahan berupa biskuit (MP-ASI) serta Susu Formula bagi
Balita dari keluarga miskin.
c. Balita Dengan Gizi Buruk
Penanggulangan kasus balita gizi buruk pada tahun 2016
dilakukan dengan pemberian PMT yang pendanaanya melalui dana
APBD Kota Jayapura dan APBD Propinsi Papua. PMT yang diberikan
berupa pemberian Susu, Biskuit MP-ASI. Dari jumlah kasus yang
dibantu hampir semuanya mengalami kenaikan Berat Badan yang
cukup menggembirakan.
Penanggulangan Balita gizi buruk di Kota Jayapura yang
memerlukan rawatan dilakukan di puskesmas Koya Barat sebagai
Puskesmas rawatan gizi buruk. Balita yang mengalami gizi buruk
pada tahun 2016 berjumlah 235 orang, sebagian Balita gizi buruk
dirawat inap dan sebagian lagi dilakukan rawat jalan.
Selama rawat inap Balita gizi buruk diberikan perlakuan sesuai
dengan penanganan kasus gizi buruk selama beberapa hari sampai
kondisi balita tersebut menjadi gizi kurang atau gizi baik dan
selanjutnya dipulangkan untuk dilakukan rawat jalan dengan
konsultasi tetap ke Puskesmas serta tetap dipantau oleh tenaga gizi
dan dokter Puskesmas masing-masing.
Balita gizi buruk yang rawat jalan adalah Balita dengan kondisi
kurus atau kurus sekali yang tidak mau dirawat inap. Dalam
penanggulangan kasus Balita gizi buruk ini, banyak kendala yang
ditemui seperti Ibu Balita yang tidak mau merujuk anaknya ke
Puskesmas dengan alasan ekonomi dan lainnya. Oleh sebab itu untuk
masa yang akan datang diharapkan partisipasi semua pihak untuk
melakukan rujukan pasien gizi buruk.

15
2.3. SITUASI UPAYA KESEHATAN KOTA JAYAPURA
Upaya kesehatan terdiri atas dua unsur utama, yaitu upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perorangan. Upaya kesehatan masyarakat
adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat
serta swasta, untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan di masyarakat.
Upaya kesehatan perorangan adalah setiap kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah dan atau masyarakat serta swasta, untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan. Situasi Upaya Kesehatan Masyarakat di
Kota Jayapura pada tahun 2016 dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pelayanan Kesehatan Dasar
a. Program Kesehatan Ibu dan Anak
PWS KIA bertujuan untuk memantau secara berkesinambungan
pelayanan kesehatan ibu hamil, dari mulai ANC sampai persalinannya
serta kesehatan anaknya. Pemantauan yang dilakukan adalah
pemantauan K1, K4, Deteksi Risti oleh tenaga kesehatan/masyarakat,
Kunjungan Neonatus, Persalinan oleh tenaga kesehatan, dan
persalinan yang ditolong dukun.
Pada tahun 2016 pencapaian K1 sebanyak 5.484 kunjungan, K4
sebanyak 3.613 kunjungan, Kunjungan Neonatus (KN) sebanyak
4.919 kunjungan, dan Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan
(PN) 4.387 orang. Pada tahun 2016 capaian K1 sudah mencapai target
yaitu 90% sedang K4 belum mencapai target yaitu 59,17%.
Tingginya capaian K1 pada tahun 2016 disebabkan antara lain
keakuratan dalam pencatatan. Semakin baiknya capaian K4 ini
menggambarkan adanya jalinan kerja sama yang baik dalam
melaksanakan pemantauan wilayah setempat antara Puskesmas
dengan Bidan Praktek Swasta (BPS) yang berpraktek di wilayah kerja
Puskesmas, sehingga kunjungan K4 terpantau dan terlaporkan dengan
lebih baik. Diharapkan kedepan Puskesmas lebih meningkatkan
kualitas forum komunikasi BPS di Puskesmas, sehingga kualitas

16
dan kuantitas pemantauan dan pelaporan dari BPS ke Puskesmas akan
semakin lebih baik dan lebih maksimal.
Ibu hamil (Bumil) tahun 2016 berjumlah 6.610 orang.
Puskesmas yang paling banyak Bumil Ristinya adalah : Puskesmas
Hamadi sebanyak 200 Bumil dan yang paling sedikit adalah
Puskesmas Yoka yaitu sebanyak 10 Bumil. Diharapkan kedepan,
Pembina wilayah lebih meningkatkan kerjasama dengan kader dalam
pendeteksian bumil Risti di masyarakat, sehingga semua bumil Risti
yang ada dapat terdeteksi dan mendapat pelayanan yang cepat, tepat
dan aman.
Pada tahun 2016 terdapat 6.309 ibu bersalin dan 4.271 (67,69%)
diantaranya melakukan persalinan dengan tenaga kesehatan. Cakupan
Persalinan yang ditolong oleh Nakes menunjukan trend Peningkatan
setiap tahunnya, ini menunjukan adanya peningkatan kerjasama antara
Puskesmas dan BPS dalam pelaksanaan PWS KIA. Meskipun
demikian masih harus tetap dilakukan pembinaan kepada Pengelola
program KIA Puskesmas, Pembina Wilayah dan BPS yang ada di
Kota Jayapura.
Pasangan usia subur (PUS) tahun 2016 berjumlah 49.297 PUS
yang merupakan peserta KB baru sebanyak 2.964 PUS sementara total
peserta KB aktif sebanyak 25.247 pasangan. Adapun alat kontrasepsi
yang digunakan oleh peserta KB aktif tersebut adalah suntik = 21.643,
Pil = 4.041, IUD = 258, Implant = 1.126, MOP/MOW = 60 dan
Kondom = 487.
Jumlah bayi pada tahun 2016 sebanyak 20.534 orang dengan
cakupan kunjungan 13.853. Kunjungan neonatus tahun 2016
berjumlah 4.919, sementara Target Cakupan Kunjungan Neonatus
(KN) yang hendak dicapai adalah adalah 80%.
Bayi yang mendapat ASI Ekslusif berjumlah 3.958 bayi.
Puskesmas dengan cakupan Asi Ekslusif tertinggi terdapat pada
Puskesmas Kotaraja dan Puskesmas yang paling rendah cakupan ASI
Ekslusifnya adalah Puskesmas Abepura.

17
Cakupan Imunisasi bayi tahun 2012 terdiri dari, BCG = 100 %,
DPT1 + HB1 dan DPT3 + HB3 = 92,2 %, Polio 3 = 93,1 % dan
Campak = 88,7 %. Dari 39 kelurahan/kampung di Kota Jayapura 39
diantaranya sudah UCI (Universal Child Immunization).
Cakupan pemberian makanan Pendamping ASI pada anak Usia
6-12 bulan dari Keluarga Miskin mencapai 1.754 (72,4 %).
Balita yang mendapat Vitamin A 2 x sebanyak 23.521 dari
35.106 Balita (67%).
b. Balita di Timbang
Salah satu cara pemantauan status gizi Balita dan tingkat
partisipasi masyarakat terhadap Posyandu adalah dengan
menggunakan indikator SKDN. Pada tahun 2016 dari 5.686 Balita
4.622 diantaranya melakukan penimbangan.
Balita mengalami kenaikan Berat Badan sebanyak 28.786
(82.1%). Jika di lihat berdasarkan indikator SKDN, maka tingkat
partisipasi masyarakat untuk datang ke Posyandu 63,2%, Balita yang
naik berat badannya sebesar 82,1% serta 15,8% mengalami gizi
kurang dan sebanyak 2,1% mengalami gizi buruk.
c. Penjaringan Kesehatan Siswa
Kegiatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) di Kota Jayapura
tahun 2016 diantaranya adalah melakukan skreening pada anak baru
masuk sekolah dan melakukan penyuluhan kesehatan. Adapun
Cakupan pemeriksaan kesehatan anak sekolah tahun 2016 ini pada
siswa SD/MI = 48,75%.
d. Program Usia Lanjut
Jumlah Usila di Kota Jayapura pada tahun 2016 sebanyak
11.027 usila, pelayanan terhadap Usila terbagi atas dua yaitu Pra Usila
untuk yang berumur 45-59 tahun dan Usila untuk yang berumur diatas
60 tahun. Pada tahun 2012 cakupan pelayanan Pra usila adalah 49%
dan Usila 68%.
Saat ini di Kota Jayapura sudah ada 43 Posyandu Lansia terdiri
39 Posyandu Lansia dana dari Dinkes 4 Posyandu dibiayai dari BOK

18
dan BPJS yang terdapat di 13 Puskesmas yaitu: Koya Barat, Yoka,
Abepura, Kotaraja, Abepantai, Waena, Tanjung Ria, Imbi, Jayapura
Utara, Elly uyo, Hamadi, Twano dan Skouw, dimana para lansia ini
bisa memanfaatkan Posyandu Lansiauntuk pemeriksaan kesehatan,
senam lansia secara berkala danmendapat penyuluhan kesehatan.
Untuk meningkatkan cakupanpelayanan lansia ini perlu kerjasama
yang baik antara puskesmas, tokoh masyarakat, kader Posyandu dan
lintas terkait. Disamping itu beberapa puskesmas sudah melaksanakan
program santun lansia.
a. Program Kesehatan Gigi
Program Pelayanan kesehatan gigi dilaksanakan berupa
pelayanan klinik di Puskesmas, Upaya kesehatan gigi di Masyarakat
dan Usaha Kesehatan gigi Sekolah melalui kegiatan UKS. Untuk
pelayanan Kesehatan gigi di klinik Puskesmas sudah melebihi target
Kota Jayapura (> 4% jumlah penduduk). Pada tahun 2016 ini jumlah
pelayanan gigi sebanyak 20.036 kali dimana Tumpatan Gigi tetap
sebanyak 1.666 dan pencabutan gigi tetap sebanyak 2.670, dengan
demikian rasio tambal/cabut adalah 1 : 2. Jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya (1:4) terjadi penurunan pencabutan gigi tetap,
artinya sudah ada peningkatan pengetahuan masyarakat akan
perawatan kesehatan gigi.
b. Pelayanan Kesehatan dengan Kemampuan Gawat Darurat
Puskesmas di Kota Jayapura berjumlah 13 Puskesmas yang
tersebar disemua Distrik. Diantara 13 Puskesmas tersebut ada 1
Puskesmas yang mempunyai fasilitas dan pelayanan rawat inap yaitu
Puskesmas Koya Barat, sedangkan sebagian lainnya hanya melayani
rawat jalan. Sejumlah 10 Puskesmas mempunyai kemampuan untuk
melakukan pelayanan gawat darurat (Gadar), yaitu Puskesmas Imbi,
Puskesmas Hamadi, Puskesmas Kotaraja, Puskesmas Koya Barat,
Puskesmas Yoka, Puskesmas Waena, Puskesmas Tanjungria,
Puskesmas Abepantai, Puskesmas Skouw, dan Puskesmas Twano.
c. Penyuluhan Kesehatan

19
Penyuluhan Kesehatan dilakukan dengan dua cara, yaitu
penyuluhan kelompok dan penyuluhan massa. Pada tahun 2016 ini
penyuluhan kelompok dilakukan sebanyak : 314 kali, dimana
Puskesmas terbanyak melakukannya terdapat pada Puskesmas
Hamadi (48 kali) dan yang paling sedikit Puskesmas Yoka,
Puskesmas Skouw dan Puskesmas Imbi. Untuk Penyuluhan Massa
dilakukan sebanyak 92 kali, dimana Puskesmas terbanyak
melaksakannya adalah Puskesmas Hamadi dan Puskesmas Kotaraja
(masing-masing sebanyak 12 kali) dan Puskesmas yang paling sedikit
melaksanakannya adalah Puskesmas Skouw (3 kali).
2. Akses dan Mutu Pelayanan Kesehatan
a. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pra Bayar
Penduduk Kota Jayapura tahun 2016 sebanyak 275.694 jiwa.
Penduduk yang mempunyai Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Pra
bayar berupa Askeskin sebanyak 102.612 jiwa (39,2%). Masyarakat
miskin pada tahun 2016 yang mendapat pelayanan jamkesmas
berjumlah 93.967 jiwa, dan yang mendapat pelayanan kesehatan
untuk rawat jalan 93.967 jiwa, untuk rawat inap 780 jiwa.
b. Kunjungan Puskesmas
Kunjungan Puskesmas tahun 2016 sebanyak 316.141 kunjungan
terdiri dari kunjungan rawat jalan.
c. Kunjungan Gangguan Jiwa
Kunjungan Puskesmas tahun 2016 sebanyak 123.533 kunjungan
terdiri dari kunjungan rawat jalan, sementara yang mengalami
gangguan jiwa sebanyak 74 kunjungan, artinya 0,06% dari total
kunjungan adalah kunjungan dengan gangguan kejiwaan.
Untuk data kunjungan Rumah Sakit tahun 2016 serta data
kunjungan pasien yang mengalami gangguan jiwa tidak dapat
ditampilkan karena beberapa Rumah Sakit yang datanya tidak bisa di
dapatkan.

20
3. Kesehatan Lingkungan
a. Rumah Sehat
Tahun 2016 jumlah rumah tangga seluruhnya 59.345, rumah
tangga yang diperiksa 6.210 dan dari yang diperiksa ditemukan rumah
tangga yang sehat berjumlah 3.638. Disini terlihat bahwa 58,6%
rumah tangga yang diperiksa adalah sehat.
b. Rumah / Bangunan Yang Diperiksa Jentik Nyamuk Aedes
Dari 2.000 buah Rumah/bangunan yang ada diperiksa sebanyak
140 buah (7%) dan rumah/bangunan yang bebas dari jentik aedes
sebanyak 1.860 buah (93%).
c. Jenis Sarana Air Bersih Yang Digunakan
Jumlah keluarga di Kota Jayapura pada tahun 2016 sebanyak
60.319 KK, yang menempati sekitar 4.880 Rumah/bangunan. Dari
Jumlah keluarga tersebut 4,8% diantaranya (2.605 rumah) dilakukan
pemeriksaan. Akses air bersih keluarga berdasarkan hasil pemeriksaan
adalah 0,99% menggunakan air kemasan, 67,39% menggunakan
ledeng,17,8% menggunakan SPT, 5,3% menggunakan SGL, 7,42%
menggunakan mata air, 1,07% menggunakan Penampungan Air Hujan
(PAH).
d. Kepemilikan Sarana Sanitasi Dasar
Jumlah Kepala keluarga (KK) yang ada sebanyak 60.319 KK.
Pemeriksaan kepemilikan sanitasi dasar dilakukan pada 43.732 KK.
Berdasarkan hasil pemeriksaan diperoleh data kepemilikan jamban
sebanyak 42.935 KK (70,9%) dan dinyatakan sehat sebanyak 59,4%.
Untuk kepemilikan tempat sampah sebanyak 1.647 KK (63,7%) dan
dinyatakan sehat sebanyak 51,1%. Untuk pengelolaan air limbah
sebanyak 1.028 KK (39,8%) dan dinyatakan sehat sebanyak (46,6%).

e. Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TPUM) Sehat


Tempat Umum dan Pengelolaan Makanan (TPUM) yang
diperiksa tahun ini adalah Hotel, Restoran/Rumah Makan, Pasar dan

21
TPUM lainnya. Hotel yang ada dikota Jayapura sebanyak 513 buah,
diperiksa sebanyak 513 buah dan dinyatakan sehat sebanyak 102
(19,88%) buah. Jumlah Restoran yang ada sebanyak 615 buah,
dilakukan pemeriksaan sebanyak 230 buah dan dinyatakan sehat
sebanyak 102 (44,34%) buah.
Sementara pasar berjumlah 6 buah, dilakukan pemeriksaan pada
5 pasar dan dinyatakan sehat hanya 1 pasar (20%). Dan TPUM
lainnya berjumlah 819 buah dilakukan pemeriksaan sebanyak 354 dan
dinyatakan sehat 70,3%.
f. Institusi Yang Dibina Kesehatan Lingkungannya
Pada tahun 2016 dilakukan pembinaan kesehatan lingkungan
pada sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, perkantoran,
dan sarana lainnya. Berdasarkan hasil pemeriksaan sarana kesehatan
berjumlah 40 buah, dan dilakukan pembinaan pada 40 sarana
(100,0%). Untuk institusi pendidikan berjumlah 94 buah dan 27
diantaranya (28,7%) dibina. Sarana Ibadah berjumlah 456 buah dan
dilakukan pembinaan pada 92 sarana (20,2%). Total jumlah sarana
yang ada sebanyak 325 sarana dan yang dibina sebanyak 83 sarana.
2.4. SITUASI SUMBER DAYA KESEHATAN KOTA JAYAPURA
Sumber daya kesehatan merupakan salah satu faktor pendukung dalam
penyediaan pelayanan kesehatan yang berkualitas, yang diharapkan dapat
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
1. Sarana Kesehatan
a. Puskesmas
Pusat Kesehatan Masyarakat atau yang biasa disebut Puskesmas
merupakan salah satu unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan tingkat
pertama dan terdepan dalam sistem pelayanan kesehatan, harus
melakukan upaya kesehatan wajib (basic six) dan beberapa upaya
kesehatan pilihan yang disesuikan dengan kondisi, kebutuhan,
tuntutan, kemampuan dan inovasi serta kebijakan pemerintah daerah
setempat. Puskesmas memiliki fungsi sebagai : 1) pusat pembangunan

22
berwawasan kesehatan; 2) pusat pemberdayaan masyarakat; 3) pusat
pelayanan kesehatan masyarakat primer; dan 4) pusat pelayanan
kesehatan perorangan primer.
Jumlah Puskesmas di Kota Jayapura sampai tahun 2016
sebanyak 13 buah. Puskesmas terbagi atas dua, yaitu Puskesmas Non
rawatan 12 buah dan Puskesmas perawatan 1 buah. Untuk mengukur
keterjangkauan Puskesmas dengan masyarakat adalah dengan melihat
rasio antara Puskesmas per 100.000 penduduk. Rasio Puskesmas per
100.000 penduduk pada tahun 2016 di Kota Jayapura adalah sebesar
4,17. Untuk lebih meningkatkan jangkauan pelayanan puskesmas
terhadap masyarakat di wilayah kerjanya, puskesmas didukung oleh
sarana pelayanan kesehatan berupa puskesmas pembantu (pustu) yang
berjumlah 24 buah.
b. Ketersediaan Obat Menurut Jenisnya
Obat yang tersedia di Puskesmas dan jaringannnya adalah obat
obatan untuk pelayanan kesehatan dasar. Secara umum kebutuhan
obat di Puskesmas sudah terpenuhi, hanya beberapa jenis yang tingkat
ketersediaanya dibawah 50%, yaitu Fenobarbital tablet 30 mg tersedia
8%, Fitomenadion injeksi 10 mg/ml tersedia 19% , Oksitetrasiklin
HCL salep mata 1 % tersedia 22%, Oksitetrasiklin injeksi 50 mg
tersedia 23%, Salep 2-4 tersedia 27%, Gameksan Lotion 1% tersedia
28%, Sianokobalamin (Vit.B 12) injeksi 500 mcg tersedia 36%,
Dekstrometorfan tablet 15 mg/5 ml (HBr) tersedia 40%. Persen
Ketersediaan obat adalah Jumlah obat yang tersedia dibanding dengan
jumlah kebutuhan total 1 tahun dikali 100%. Jika % ketersediaan sama
dengan 100, maka jumlah yang tersedia sama dengan jumlah
kebutuhan. Jika % ketersediaan lebih dari 100, maka jumlah yang
tersedia lebih dari jumlah kebutuhan. Sebaliknya jika % ketersediaan
kurang dari 100% maka jumlah yang tersedia kurang dari jumlah
kebutuhan.

23
c. Sarana Kesehatan Menurut Kepemilikan
Kota Jayapura sebagai ibu kota Propinsi memiliki jenis sarana
kesehatan yang cukup beragam dan kepemilikannya juga beragam.
Untuk rumah sakit umum berjumlah 6 buah dengan kepemilikan
terdiri dari 2 Rumah Sakit Pemerintah Provinsi Papua, 1 Rumah Sakit
TNI AL, 1 Rumah Sakit TNI AD, 1 Rumah Sakit POLRI, dan 1
Rumah Sakit swasta. Rumah Sakit jiwa sebanyak 1 buah dengan
kepemilikan Pemerintah Provinsi Papua.
Sarana Kesehatan yang seluruhnya di kelola oleh swata adalah
Rumah sakit Umum sebanyak 1 buah, Balai Pengobatan/klinik
sebanyak 26 buah, Apotek sebanyak 102 buah, Toko Obat sebanyak
30 buah, Praktek dokter umum perorangan 238 buah, Praktek dokter
spesialis 116 buah. Sementara sarana kesehatan yang di kelola oleh
pemerintah Kota Jayapura adalah Puskesmas 12 buah, Puskesmas
Pembantu 24 buah, Puskesmas Keliling 12 buah, dan GFK 1 buah.
d. Sarana Kesehatan Menurut Kemampuan Labkes dan Memiliki 4
Spesialis Dasar
Sarana kesehatan yang terdiri dari Rumah Sakit Umum, Rumah
Sakit Jiwa Rumah Sakit Khusus dan Puskesmas 100% memiliki
Laboratorium Kesehatan. Dan untuk kepemilikan 4 spesialis dasar,
dari 6 Rumah Sakit Umum semuanya memiliki ke 4 spesialis dasar
tersebut.
e. Posyandu
Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu yang ada di Kota
Jayapura berjumlah 196 buah. Semua Posyandu yang ada diwilayah
Kota Jayapura menjadi binaan tiap-tiap Satuan Perangkat Kerja
Daerah (SKPD) Kota Jayapura dan disahkan dengan SK Walikota
Jayapura.

24
Tabel Jumlah Izin Sarana Kesehatan yang diterbitkan di
Kota Jayapura s/d tahun 2016

f. Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat


Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat dilakukan
dengan menerapkan berbagai pendekatan, termasuk di dalamnya
dengan melibatkan potensi masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep
pemberdayaan pengembangan masyarakat.
UKBM di antaranya terdiri dari Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu), Pos Kesehatan Kelurahan (Poskeskel) di Kampung Siaga
dan Tanaman Obat Keluarga (Toga).
Upaya kesehatan bersumber masyarakat tersebar di 39
kelurahan/kampung di Kota Jayapura. UKBM yang telah sejak lama
dikembangkan dan mengakar dimasyarakat adalah posyandu. Dalam
menjalankan fungsinya, posyandu diharapkan dapat melaksanakan 5
program prioritas yaitu kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana,

25
perbaikan gizi, imunisasi, dan penanggulangan diare. Jumlah
Posyandu sampai tahun 2016 berjumlah 196 buah.
2. Tenaga Kesehatan
a. Jumlah dan Rasio Tenaga Medis di Sarana Kesehatan
Tenaga medis terdiri dari dokter spesialis, dokter umum dan
dokter gigi, sedangkan sarana kesehatan terdiri dari Puskesmas dan
rumah Sakit. Puskesmas di Kota Jayapura berjumlah 13 buah. Di
Puskesmas tidak ada dokter spesialis, untuk dokter umum berjumlah
27 orang dan dokter gigi 8 orang. Jumlah dokter dimasing-masing
Puskesmas tidak sama, tergantung jumlah penduduk, kunjungan dan
jenis Puskesmas (perawatan/non perawatan). Secara umum masing
masing Puskesmas mempunyai dokter lebih dari 1 orang dan dokter
gigi 1 orang.
Rumah Sakit yang aktif di Kota Jayapura berjumlah 6 buah.
Dari data yang masuk dokter spesialis berjumlah 97 orang, dokter
umum 70 orang dan dokter gigi 20 orang. Jumlah tenaga medis ini
tidak bisa dibuatkan rasionya dengan sarana kesehatan karena banyak
rumah sakit yang tidak ada datanya.
b. Jumlah dan Rasio Tenaga Kesehatan di Sarana Kesehatan
Tenaga Kesehatan yang ada di Kota Jayapura berjumlah 519
orang terdiri dari medis, perawat & bidan, farmasi, gizi, teknis medis,
sanitasi dan kesehatan masyarakat tersebar di berbagai unit kerja,
yaitu Puskesmas (termasuk Pustu & Polindes) dan Dinas Kesehatan
Kota.
Di Puskesmas se-Kota Jayapura mempunyai 26 orang dokter
umum, 8 orang dokter gigi, 163 orang perawat, 5 perawat gigi dan 58
bidan, 6 orang Apoteker, 42 orang gizi, 50 orang analis kesehatan, 20
orang sanitasi, dan 24 orang kesehatan masyarakat. Total tenaga
kesehatan yang ada di Puskesmas adalah 414 orang.
Dinas Kesehatan kota mempunyai 2 orang tenaga medis, 8
orang perawat & bidan, 4 orang farmasi, 3 orang gizi, 1 orang sanitasi,

26
dan 25 orang kesehatan masyarakat. Total tenaga kesehatan yang ada
di Dinas Kesehatan Kota adalah 43 orang.
c. Jumlah dan Rasio Tenaga Kefarmasian di Sarana Kesehatan
Tenaga Farmasi terdiri dari Apoteker, S1 Farmasi, D-III
Farmasi, dan Asisten Apoteker. Dari 12 Puskesmas yang ada,
seluruhnya memiliki tenaga asisten apoteker dan sebanyak 8
Puskesmas memiliki tenaga apoteker, untuk S1 Farmasi ada 9 orang
dan Asisten Apoteker sebanyak 21 orang. Total tenaga farmasi yang
ada di Puskesmas berjumlah 30 orang.
d. Jumlah dan Rasio Tenaga Gizi di Sarana Kesehatan
Tenaga gizi terdiri dari S1 Gizi, D-III Gizi dan D-1 Gizi. Tenaga
Gizi di 12 Puskesmas di Kota Jayapura berjumlah 42 orang,
sedangkan Tenaga Gizi di Dinas Kesehatan Kota Jayapura berjumlah
3 orang. Puskesmas dengan tenaga Gizi terbanyak adalah Puskesmas
waena (5 orang), dan Puskesmas dengan tenaga Gizi terrendah adalah
Puskesmas Tanjung Ria dan Puskesmas Skouw (masing-masing 2
orang).
e. Jumlah dan Rasio Tenaga Kesehatan Masyarakat di Sarana Kesehatan
Tenaga Kesehatan Masyarakat terdiri dari S2 Kesehatan
Masyarakat, Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) dan D-III
Kesehatan Masyarakat. Tenaga S2 Kesehatan Masyarakat yang
bekerja di Dinas Kesehatan berjumlah 9 orang, S1 Kesehatan
Masyarakat (SKM) di Puskesmas berjumlah 24 orang dan di Dinas
Kesehatan berjumlah 25 orang, sedangkan D-III Sanitasi berjumlah 21
orang.
f. Jumlah dan Rasio Tenaga Analis Kesehatan di Sarana Kesehatan
Tenaga Analis Kesehatan yang bekerja di 13 Puskesmas di Kota
Jayapura berjumlah 55 orang. Puskesmas dengan jumlah Analis
kesehatan terbanyak adalah Puskesmas Hamadi (7 orang), sedangkan
Puskesmas dengan tenaga Analis Kesehatan terendah adalah
Puskesmas Tanjung Ria (3 orang).

27
BAB III
SISTEM DAN MEKANISME PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
3.1 Tujuan Dan Sasaran Strategis Kementerian Kesehatan Pada Bidang
Farmasi
Dalam rangka mencapai visi dan misi kemenkes yang mengikuti visi
dan misi presiden maka untuk mewujudkan visi tersebut, dikenal 7 misi
pembangunan. Selanjutnya, terdapat 9 agenda prioritas yang dikenal dengan
NAWA CITA yang ingin diwujudkan di mana Kementerian Kesehatan
mempunyai peran dan berkonstribusi dalam tercapainya seluruh Nawa Cita
terutama terutama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Terdapat dua tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu:
1) meningkatnya status kesehatan masyarakat dan; 2) meningkatnya daya
tanggap (responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko
sosial dan finansial di bidang kesehatan.
Kementerian Kesehatan menetapkan dua belas sasaran strategis yang
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok sasaran strategis pada aspek
input (organisasi, sumber daya manusia, dan manajemen); kelompok
sasaran strategis pada aspek penguatan kelembagaan; dan kelompok sasaran
strategic pada aspek upaya strategic. Salah satu sasaran untuk bidang
farmasi yaitu:Meningkatnya akses, kemandirian, dan mutu sediaan farmasi
dan alat kesehatan, dengan sasaran yang akan dicapai adalah pada tahun
2019 adalah:
a. Persentase ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas sebesar 90%.
b. Jumlah bahan baku obat, obat tradisional serta alat kesehatan yang
diproduksi di dalam negeri sebanyak 35 jenis.
c. Persentase produk alat kesehatan dan PKRT di peredaran yang
memenuhi syarat sebesar 83%.
3.2 Arah Kebijakan, Strategi, Kerangka Regulasi Dan Kerangka
Kelembagaan
1. Arah Kebijakan dan Strategi Nasional
Arah kebijakan dan strategi pembangunan kesehatan nasional
2015-2019 merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka

28
Panjang bidang Kesehatan (RPJPK) 2005-2025, yang bertujuan
meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan
perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk
menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu, secara adil dan merata,
serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh
wilayah Republik lndonesia.
Sasaran pembangunan kesehatan yang akan dicapai pada tahun
2025 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat yang
ditunjukkan oleh meningkatnya Umur Harapan Hidup, menurunnya
Angka Kematian Bayi, menurunnya Angka Kematian Ibu, menurunnya
prevalensi gizi kurang pada balita. Dalam RPJMN 2015-2019, sasaran
yang ingin dicapai adalah meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi
masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang
didukung dengan perlindungan finansial dan pemeratan pelayanan
kesehatan. Sasaran pembangunan kesehatan pada RPJMN 2015-2019
untuk bidang farmasi adalah pada tabel di bawah ini telah disebutkan di
atas.

29
2. Program Kerja
Tahun 2015 merupakan tonggak awal dimulainya era pemerintahan
baru dengan visi dan misi Presiden terpilih. Tahun 2015 adalah tahun
perdana daripelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang sekaligus tahun awal pelaksanaan
Rencana StrategisKementerian Kesehatan Tahun 2015-2019.Untuk tahun
2015 sendiri, sasaran Program Kefarmasian dan Alat Kesehatandiukur
dengan indikator sebagai berikut:
Gambar Capaian ketersediaan
a. Persentase Indikator Kerjaobat
Program Kefarmasian
dan vaksin dan Alat menjadi
di Puskesmas Kesehatan tahun 2015
77%.

b. Jumlah bahan baku obat, obat tradisional serta alkes yang diproduksi
didalam negeri sebanyak 7 jenis.
c. Persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi
syaratsebesar 75%

30
Dari indikator pencapaian kinerja tahun 2015 tersebut diatas,
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah
mencapai target yang telah ditetapkan, yaitu dengan capaian:

Tercapaianya indikator yang telah ditetapkan pada tahun pertama


Renstra2015-2019 tersebut menjadi penting sebagai modal dalam
pencapaian target di tahun tahun berikutnya. Untuk itu diperlukan kerja
keras seluruh komponen, pendayagunaan sumber daya yang optimal dan
diperlukan penguatan terutama dalam perencanaan penyusunan peraturan
perundangundangan bidang kefarmasian dan alat kesehatan serta
monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan.

Gambar Target & Realisasi Indikator Kinerja Program Kefarmasian dan Alat
Kesehatan tahun 2015. Sumber :

Indikator yang terkait dengan sasaran strategis ini adalah


a. Persentase Ketersediaan Obat dan Vaksin di Puskesmas
Aksesibilitas obat ditentukan oleh ketersediaan obat bagi
pelayanan kesehatan. Pada tahun 2014, tingkat ketersediaan obat dan
vaksin telahmencapai 100,51%, meningkat dari tahun sebelumnya
yang mencapai96,82%. Walaupun demikian, ketersediaan obat dan
vaksin belum terdistribusi secara merata baik antar puskesmas, antar

31
kabupaten/kotamaupun antar provinsi. Disparitas ini mencerminkan
belum optimalnya manajemen logistik obat dan vaksin. Untuk itu,
perlu didorongpemanfaatan sistem pengelolaan logistik online serta
skema relokasi obatvaksinantar Provinsi/Kabupaten/Kota yang
fleksible dan akuntabel. Upayaperbaikan manajemen logistic obat
dan vaksin yang telah dilakukan antaralain implementasi e-catalog
dan inisiasi e-logistik obat.
Indikator ketersediaan obat dan vaksin pada tahun 2010 – 2014
menggambarkan kondisi di instalasi farmasi kabupaten/kota dan
kurang menggambarkan ketersediaan obat dan vaksin di pelayanan
kesehatandasar, sehingga pada Renstra periode 2015-2019
diformulasikan indicator Ketersediaan Obat dan Vaksin di
Puskesmas dengan mengambil 20 item obat dan vaksin indicator
yang merupakan obat dan vaksin pendukung program kesehatan ibu,
kesehatan anak, penanggulangan penyakit, serta obat pelayanan
kesehatan dasar yang banyak digunakan dan terdapat di
Formularium Nasional.
Sesuai dengan Undang - Undang Nomor 36 tahun 2009
tentangKesehatan, yang dimaksud dengan sediaan farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika.
Sedangkan alat kesehatan menurut Permenkes No 70 tahun
2014tentang Perusahaan Rumah Tangga Alat Kesehatan dan
PerbekalanKesehatan Rumah Tangga adalah instrumen, aparatus,
mesin, perkakas,dan/atau implan, reagen in vitro dan kalibrator,
perangkat lunak, bahanatau material yang digunakan tunggal atau
kombinasi, untuk mencegah,mendiagnosis, menyembuhkan, dan
meringankan penyakit, merawatorang sakit, memulihkan kesehatan
pada manusia, dan/atau membentukstruktur dan memperbaiki fungsi
tubuh, menghalangi pembuahan,desinfeksi alat kesehatan, dan
pengujian in vitro terhadap spesimen daritubuh manusia, dan dapat
mengandung obat yang tidak mencapai kerjautama pada tubuh
manusia melalui proses farmakologi, imunologi ataumetabolisme

32
untuk dapat membantu fungsi/kinerja yang diinginkan.Kondisi yang
dicapai:
Realisasi indikator persentase ketersediaan obat dan vaksin
diPuskesmas tahun 2015 sebesar 79,38%, melebihi target yang
telahditetapkan dalam Renstra Kemenkes Tahun 2015-2019 yaitu
sebesar 77% dengan capaian sebesar 103,09%.
Sosialisasi yang terus menerus kepada petugas Provinsi di
setiapkegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Bina Obat Publik
dan Perbekalan Kesehatan di sepanjang tahun 2015 adalah salah satu
faktor yang menunjang keberhasilan pencapaian indikator kinerja
kegiatan melebihi target yang telah ditetapkan, karena indikator
kinerja tahun 2015 merupakan indikator baru yang berbeda dengan
indikator kinerja periode tahun 2010-2014, baik dari segi definisi
operasionalnya, cara perhitungan maupun cara pengumpulan data
dan pelaporannya.
Untuk itu Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatanmenerbitkan buku 'Petunjuk Teknis Pemantauan Indikator
Kinerja Kegiatan (lKK) Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan Tahun 2015-2019'yang telah dibagikan kepada seluruh
petugas Provinsi sebagai pedoman dalam melaksanakan
pengumpulan, perhitungan dan pelaporan data indikator kinerja
Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan di daerahnya
masing-masing.
Selain itu, dikeluarkannya surat keputusan Direktur Bina Obat
Publikdan Perbekalan Kesehatan nomor HK.02.04151102512015
tanggal 8 Juni 2015 tentang penunjukan panitia pengumpulan dan
pengolahan data indikator kinerja kegiatan Direktorat Bina Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan di 34 Provinsi memungkinkan
terbangunnya koordinasi dan komunikasi yang baik dengan daerah
yang ikut mendukung pencapaian indikator kinerja kegiatan yang
melebihi target yang telah ditetapkan.

33
Gambar Target & Realisasi Indikator Presentase Ketersediaan Obat &
Vaksin di Puskesmas tahun 2015

Hasil tersebut diperoleh dari periode pelaporan bulan November


tahun2015 dimana Jumlah Puskesmas yang melapor sebanyak 1.013
dari 1.328 Puskesmas sampel dan terdapat empat Provinsi yang
Puskesmasnya sama sekali tidak mengirimkan laporan (135
Puskesmas), yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat,
Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Provinsi dengan persentase
ketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tertinggi adalah D.l.
Yogyakarta (92,73%).

Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa untuk provinsi papua


sendiri capaiannya adalah 69,70%. Item obat yang memiliki
ketersediaan tertinggi di Puskesmas adalahParasetamol 500 mg
Tablet, sedangkan item obat yang memiliki ketersediaan terendah di
Puskesmas adalah Magnesium Sulfat Injeksi 20%.

34
Permasalahan:
Pelaksanaan kegiatan pengumpulan data indikator
persentaseketersediaan obat dan vaksin di Puskesmas tahun 2015
menghadapibeberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Laporan yang dikirimkan oleh Provinsi setiap bulannya tidak
lengkapdan tidak tepat waktu seperti yang telah dituangkan di
dalam bukuPetunjuk Teknis Pemantauan Indikator Kinerja
Kegiatan (lKK)Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan
Kesehatan Tahun 2015-2019 yang sudah disosialisasikan kepada
seluruh Provinsi.
2. Jumlah tenaga kefarmasian yang terbatas dan kompetensi yang
belumsesuai di Puskesmas.
3. Seringnya mutasi tenaga kefarmasian yang bertugas di Instalasi
Farmasi.
4. Kurangnya koordinasi antara Puskesmas, Kabupaten/Kota
danProvinsi.

Usul Pemecahan Masalah:


Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan
tersebut diatas antara lain sebagai berikut:
1. Pemberian reward bagi petugas/pengelola data di daerah.
2. Melakukan peningkatan kapasitas SDM dalam pengelolaan obat
diInstalasi Farmasi Provinsi dan Kabupaten/Kota.
3. Melakukan pembinaan terhadap SDM pengelola obat
secaraberkesinambungan.
4. Perlu dibangun koordinasi yang baik untuk pelaporan
dataketersediaan obat dan vaksin dari unit pelayanan ke
instansipenanggung jawab kesehatan di daerah (Dinas
KesehatanKabupaten/Kota dan Provinsi).

35
b. Jumlah bahan baku obat dan obat tradisional serta Alat Kesehatan
(Alkes)yang diproduksi di dalam negeri (kumulatif).
lmpor bahan baku obat, produk kefarmasian lain dan alat
kesehatanmengakibatkan kurangnya kemandirian dalam pelayanan
kesehatan.Hampir 90% kebutuhan obat nasional sudah dapat
dipenuhi dari produksidalam negeri. Hanya industry farmasi masih
bergantung pada 96% bahanbaku impor. Selain itu ketergantungan
terhadap impor alat kesehatanmasih mencapai 94%. Sehingga pada
Renstra periode 2015 – 2019ditetapkan indikator Jumlah bahan baku
obat dan obat tradisional sertaAlat Kesehatan (Alkes) yang
diproduksi di dalam negeri (kumulatif).
Kondisi yang dicapai:
Pada tahun 2015, jumlah bahan baku obat dan obat tradisional
serta alatkesehatan yang diproduksi di dalam negeri mencapai 11
jenis dari target sebanyak 7 jenis yang telah ditetapkan. Upaya yang
dilakukan adalah dengan pendirian kelompok kerja kemandirian
bahan baku obatberanggotakan lintas kementerian dan stakeholder
terkait lain dengan Kementerian Kesehatan sebagai koordinator.
Pencapaian kemandirian obat dan bahan baku obat juga terutama
dilakukan melalui kerjasama dan fasilitasi penelitian dengan
lembaga penelitian (BPPT dan LlPl) dan Perguruan Tinggi di bidang
pengembangan bahan baku obat serta pembentukan jejaring dengan
berbagai stakeholder diantaranya institusi penelitian, kalangan
industri dan asosiasi pengusaha.
Pada tahun 2015 dilakukan kerjasama dengan Kementerian
Riset danTeknologi (BPPT) dan Kementerian Pendidikan melalui
Perguruan Tinggiyaitu Institut Teknologi Bandung (lTB),
Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Padjadjaran
(UNPAD).
Jumlah produk alat kesehatan dalam negeri di Indonesia
masihterbatas jenisnya serta belum digunakan secara maksimal oleh
saranapelayanan kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya

36
promosiuntuk menarik minat investor dan pelaku usaha, pembinaan
kepada industri alat kesehatan negeri agar meningkatkan kualitas
produk dan kapasitas produksi, melakukan sosialisasi dan advokasi
terhadapPemerintah Daerah maupun sarana pelayanan kesehatan
agar menggunakan alat kesehatan dalam negeri.
Kementerian Kesehatan bersama jajaran pemerintah,
akademisi/peneliti dan masyarakat industri terus berupaya untuk
meningkatkan penggunaan produk alat kesehatan dalam negeri
yangberedar dapat bersaing di skala nasional dan global. Berkaitan
dengan haltersebut, Kementerian Kesehatan menyelenggarakan
“Pameran AlatKesehatan dan PKRT DalamNegeri" sekaligus
pencanangan “Gerakan Cinta Alat Kesehatan Dalam Negeri" yang
diselenggarakan pada tanggal16-17 Oktober di Hall B, Jakafta
Convention Center. Dengandiselenggarakan pameran tersebut
diharapkan dapat meningkatkankebanggaan dan kecintaan
masyarakat untuk menggunakan produkbuatan dalam negeri
khususnya alat kesehatan ditengah membanjirnyabarang-barang
impor sebagai akibat dari implementasi FTA (Free
TradeAgreemenf), sebagai sarana untuk menampilkan produk alat
kesehatan hasil karya anak bangsa yang diproduksi di dalam negeri,
serta memacupelaksanaan dan peningkatan pembangunan industri
alat kesehatan dalam negeri.Permasalahan:
Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam
pencapaian indikator kinerja kegiatan jumlah Bahan Baku Obat dan
Obat Tradisional serta Alat Kesehatan yang diproduksi di dalam
negeri yaitu:
1. Keterlambatan pihak ke tiga dalam mengusulkan proposal
penelitianBBO
2. Keterlambatan pelaksanaan penelitian BBO, sehingga
penelitianselesai di akhir tahun
3. Terbatasnya jenis produk alat kesehatan yang diproduksi di
dalam negeri.

37
4. Terbatasnya jumlah sarana produksi dalam negeri.
5. Terbatasnya kemampuan sarana produksi dalam negeri
untukmemproduksi alat kesehatan
Usul Pemecahan Masalah:
Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami
dalampencapaian indikator kinerja kegiatan jumlah Bahan Baku
Obat dan ObatTradisionat serta Alat Kesehatan yang diproduksi di
dalam negeri adalah sebagai berikut:
1. Waktu pelaksanaan kegiatan dipercepat dan diintensifkan
sesuaikontrak. Pembentukan konsorsium pengembangan BBO-
BBOT dan pemanfaatannya.
2. Melakukan pembinaan terhadap industri alkes dalam negeri
untukmemperbanyak item produk alat kesehatan dalam negeri
melaluiterobosan "Gerakan Cinta Alat Kesehatan Dalam
Negeri" yangdicanangkan pada saat pembukaan Pameran Alat
Kesehatan Dalam Negeri.
3. Memberikan dukungan kepada sarana penyalur alat kesehatan
untukmeningkatkan investasi usahanya di bidang produksi alat
kesehatan.
4. Melakukan pembinaan kepada sarana produksi dalam negeri
untukmeningkatkan kapasitas dan menambah jenis produk yang
diproduksinya.

c. Persentase produk alkes dan PKRT di peredaran yang memenuhi


syarat
Sampling alat kesehatan dan PKRT adalah salah satu langkah
yang ditempuh dalam rangka pembinaan, pengendalian, dan
pengawasan terhadap keamanan, mutu, dan manfaat alat kesehatan
dan PKRT yang telah memiliki izin edar. Pengambilan sampel alat
kesehatan dan PKRT dilaksanakan di 34 Provinsi. Seluruh sampel
diuji di beberapa laboratorium yang terakreditasi atau yang ditunjuk.
Kondisi yang dicapai:

38
Total sampel yang diuji dan telah diperoleh hasil uji adalah 1797
sampel. Setelah dilakukan pengujian terhadap sampel, diperoleh
hasil yang menunjukan 1405 sampel memenuhi syarat (MS) dan 392
sampel tidak memenuhi syarat (TMS).
Pengambilan sampel alat kesehatan dilakukan berdasarkan
Pedoman Teknis Pelaksanaan Sampling dan Pengujian Alat
Kesehatan. Kriteria sampel alat kesehatan dan PKRT yang diuji
sebagai berikut:
Kriteria umum:
1. Ketersediaan laboratorium uji dan metode pengujiannya.
2. Kajian resiko dari sampel yang akan diambil.
3. Ketersediaan standar yang digunakan dalam metode analisis.
4. Produk yang banyak dipakai oleh masyarakat luas.
5. Produk yang banyak beredar dan memiliki dampak yang cukup
luas pada masyarakat.
6. Produk yang berdasarkan data tahun sebelumnya yang tidak
memenuhi syarat (TMS).
Kriteria khusus:
1. Produk alat kesehatan kelas satu.
2. Produk alat kesehatan steril.
3. Produk PKRT.
4. Produk yang diduga tercemar dan dapat menimbulkan dampak
yangtidak diinginkan.
Pada tahun 2015, indikator kinerja persentase produk alat
kesehatandan PKRT di peredaran memenuhi syarat memiliki target
sebesar 75% dan secara nasional realisasinya sebesar 78.18% dengan
persentase capaian indicator kinerja sebesar 104.24%.

39
Gambar Target & Realisasi Indikator Presentase Produk Alat Kesehatan & PKRT
di Peredaran yang Memenuhi Syarat tahun 2015

Sampling alat kesehatan dan PKRT adalah kegiatan proaktif,


kegiatan inimerupakan salah satu upaya strategi peningkatan
pengawasan posfmarket dalam rangka pembinaan, pengendalian, dan
pengawasan terhadap keamanan, mutu, manfaat dan kinerja alat
kesehatan dan PKRT yang beredar di wilayah NKRI dan telah
memiliki izin edar. Tujuan Kegiatan ini adalah untuk menjamin alat
kesehatan dan PKRT yang beredar di wilayah NKRI memenuhi
persyaratan mutu dan manfaat danmendukung pencapaian indikator
ketiga Direktorat Bina Produksi danDistribusi Alat Kesehatan yaitu
persentase produk alat kesehatan dan PKRT yang beredar memenuhi
persyaratan keamaanan, mutu dan manfaat. Output dari kegiatan
tersebut yaitu tersedianya data dan informasi alat kesehatan yang
Memenuhi Syarat (MS) dan Tidak Memenuhi Syarat (TMS).
Permasalahan:
Terdapat beberapa permasalahan yang dialami dalam
pencapaianindikator kinerja kegiatan persentase produk alat
kesehatan dan PKRT diperedaran yang memenuhi syarat, yaitu:
Usul Pemecahan Masalah:
1. Sampling baru dilakukan prioritas untuk produk tertentu.
2. Jumlah Laboratorium yang bias menguji produk alkes dan
PKRT masihterbatas.

40
3. Belum tersosialisasikannya e-watch alkes untuk melaporkan
Kejadianyang Tidak Diinginkan (KTD) alat kesehatan dan/atau
PKRT secaramasif.
4. Standar SNI belum menjadi mandatory sebagai salah satu
persyaratanpendaftaran alkes dan/atau PKRT.
Upaya pemecahan masalah terhadap kendala yang dialami
dalam pencapaian indikator kinerja kegiatan persentase produk alat
kesehatandan PKRT yang memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Meningkatkan peran dan tanggung jawab sarana pemegang izin
edar terhadap pengawasan internal produk yang diedarkannya
dengan cara mewajibkan melakukan sampling secara berkala
dan melaporkan hasiluji produknya ke Kementerian Kesehatan
Rl.
2. Perlu dilakukan koordinasi lintas sektor terus menerus
agarmeningkatkan kemampuan laboratorium untuk pengujian
sampel alkes dan/atau PKRT.
3. Melakukan sosialisasi e-watch alkes terus menerus, sehingga
laporan atas KTD dari alat kesehatan dapat ditindaklanjuti.
4. Perlu diberlakukan persyaratan SNI sebagai salah satu syarat
dalam pendaftaran alkes dan PKRT tertentu sehingga
laboratorium dapat meningkatkan kapasitas pengujian.
Upaya dan prestasi yang telah dicapai oleh Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan pada tahun 2015 antara lain:
1. Pencanangan Gerakan Masyarakat Cerdas Menggunakan Obat
(GeMa CerMat) dan selanjutnya dilakukan sosialisasi
pelaksanaannya kepada Dinas Kesehatan Provinsi seluruh
Indonesia, lkatan Apoteker Indonesia dan Akademisi.
Selanjutnya setelah pedoman pelaksanaanGeMa CerMat
tersebut tersusun maka akan dilakukan penerapan yangdiawali
dengan model percontohan GeMa CerMat di Dinas Kesehatan
Provinsi/Kabu paten/Kota.
2. Farmasi dan Alat Kesehatan Online (Faralkes Online)

41
a. e-regalkes
Track & trace sysfem e-regalkes adalah sistem
perizinan registrasialat kesehatan dan PKRT secara online
yang dapat dilacak danditelusuri di setiap tahapan proses
evaluasi perizinan atau sertifikasi. Dengan sistem ini maka
stakeholder (pelaku usaha) dapat memantau proses
perizinan nya sesuai janji layanan. Sistemini juga terkoneksi
dengan Portal INSW milik Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, Kementerian Keuangan.
b. e-payment
Penerapan e-payment, yaitu aplikasi yang
menghubungkan antarasistem registrasi online alkes dan
PKRT dengan sistem informasiPNBP online (SIMPONI)
milik Kementerian Keuangan. Denganaplikasi ini pemohon
dapat melakukan pembayaran 24 jam reaftimeonline
melalui ATM atau lntemet banking bank persepsi di
seluruhIndonesia. Pembayaran PNBP dengan metode ini
dapat lebih terpercaya kebenarannya, efektif dan efisien
dibandingkan pembayaran dengan formulir Surat Setoran
Bukan Pajak (SSBP) atau pembayaran manual. Selain itu
dapat meningkatkan akuntabilitas pencatatan dan pelaporan
keuangan.
c. e-suka
Penerapan e-suka yaitu pelayanan surat keterangan
secara onlinesebagai terobosan banyaknya permohonan
surat keterangan yang dibutuhkan masyarakat untuk
informasi produk, baik untuk kebutuhan pribadi, pengadaan,
ekspor-impor, dan untuk melakukan proses registrasi alat
kesehatan dan PKRT. E-sistem surat keterangan alat
kesehatan yang dinamakan e-suka yang dapat diakses
melalui www.esuka.binfar.kemkes.go. id.

42
BAB IV
SISTEM DAN MEKANISME SURVEILANCE DAN BENCANA ALAM
Indonesia merupakan wilayah yang rawan terhadap bencana, baik bencana
alam maupun karena ulah manusia. Bencana merupakan peristiwa yg terjadi
secara mendadak atau perlahan yg menimbulkan dampak terhadap pola kehidupan
normal sehingga diperlukan tindakan darurat untuk menyelamatkan korban
manusia beserta lingkungannya. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
bencana ini adalah kondisi geografis, iklim, geologis dan faktor-faktor lain seperti
keragaman sosial budaya dan politik. Semua kejadian tersebut di atas
menimbulkan krisis kesehatan antara lain lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban
mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih,
masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular dan stres/gangguan kejiwaan.
Permasalahan yang dihadapi dalam penanganan krisis kesehatan akibat bencana,
antara lain:
1. Sistem informasi yang belum berjalan dengan baik
2. Mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik
3. Mobilisasi bantuan dari luar lokasi bencana masih terhambat akibat masalah
transportasi
4. Sistem pembiayaan belum mendukung
5. Sistem kewaspadaan dini belum berjalan dengan baik
6. Keterbatasan logistic

Gambar Siklus Bencana

43
Menurut WHO surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis,
dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus dan penyebaran
informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
Survelans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus
menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-
masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan
secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan dan
penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
Tujuan Surveilans terhadap bencana ialah:
1. Memonitor kesehatan penduduk dan identifikasikebutuhan kesehatan prioritas
2. Monitoring tingkat kedaruratan melalui analisa datakesakitan dan kematian
3. Mengikuti trend insidens dan CFR penyakit utama guna deteksi dan
penanggulangan dini KLB.
4. Membantu perencanaan dan pelaksanaan programkesehatan.
5. Menjamin alokasi sumber daya pada kelompok rawan
6. Monitoring dampak intervensi khusus

Gambar Tahap dan Peran Surveilance dalam Situasi Darurat

44
4.1 Ruang Lingkup Penyelenggaraan Sistem Surveilance Kesehatan
Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena
itu secara operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan
oleh sektor kesehatan sendiri, diperlukan tatalaksana terintegrasi dan
komprehensif dengan kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar
program, sehingga perlu dikembangkan subsistem survailans epidemiologi
kesehatan yang terdiri dari surveilans epidemiologi penyakit menular,
surveilans epidemiologi penyakit tidak menular, surveilans epidemiologi
kesehatan lingkungan dan perilaku, surveilans epidemiologi masalah
kesehatan, dan surveilans epidemiologi kesehatan matra. Ruang lingkup
penyelenggaraan surveilans di kota Jayapura sendiri meliputi surveilans
epidemiologi penyakit menular yang merupakan analisis terus menerus dan
sistematis terhadap penyakit menular dan faktor risiko untuk mendukung
upaya pemberantasan penyakit menular.
4.2 Mekanisme Kerja Surveilance
Kegiatan surveilans kesehatan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
secara terus menerus dan sistematis dengan mekanisme kerja sebagai
berikut:
1. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait lainnya
2. Perekaman, pelaporan, dan pengolahan data
3. Analisis dan interpretasi data
4. Studi epidemiologi
5. Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya
6. Membuat rekomendasi dan alternative tindak lanjut
7. Umpan balik
Penyelenggaraan Aktivitas Pengumpulan Data surveilans bencana di
kota Jayapura yaitu secara pasif. Surveilans Pasif, adalah penyelenggaraan
surveilans epidemiologi, dimana unit surveilans mengumpulkan data dengan
cara menerima data tersebut dari unit pelayanan kesehatan, masyarakat atau
sumber data lainnya.

45
4.3 Sasaran Penyelenggaraan Surveilance Di Jayapura
Sasaran penyelenggaraan sistem surveilans epidemiologi kesehatan
meliputi masalah-masalah yang berkaitan dengan program kesehatan yang
ditetapkan berdasarkan prioritas nasional, bilateral, regional dan global,
penyakit potensial wabah, bencana dan komitmen lintas sektor serta sasaran
spesifik lokal atau daerah. Secara rinci sasaran penyelenggaran sistem
surveilans epidemiologi kesehatan adalah sebagai berikut :
1. Surveilance Epidemiologi Penyakit Menular
Prioritas sasaran penyelenggaraan surveilans epidemiologi
penyakit menular adalah
a. Surveilans penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi
b. Surveilans AFP
c. Surveilans penyakit potensial wabah atau kejadian luar biasa
penyakit menular dan keracunan
d. Surveilans penyakit demam berdarah dan demam berdarah dengue
e. Surveilans malaria
f. Surveilans penyakit tuberkulosis
g. Surveilans penyakit diare, tipus perut, kecacingan dan penyakit perut
lainnya
h. Surveilans penyakit kusta
i. Surveilans penyakit frambosia
j. Surveilans penyakit HIV/AIDS
k. Surveilans penyakit menular seksual
l. Surveilans penyakit pnemonia, termasuk penyakit pneumonia akut
berat (severe acute respiratory syndrome)

Pada tahun 2013 ini, di Jayapura sendiri terdapat kelurahan yang


terkena KLB dan ditangani kurang dari 24 jam ada di Puskesmas
Hamadi. KLB yang terjadi yaitu Campak, jumlah penderitanya 7 orang
dan tidak meninggal dengan Attack Rate: 27 %.

46
2. Komponen Sistem
Setiap penyelenggaraan surveilans epidemiologi penyakit dan
masalah kesehatan lainnya sebagaimana tersebut diatas terdiri dari
beberapa komponen yang menyusun bangunan sistem surveilans yang
terdiri atas komponen sebagai berikut:
a. Tujuan yang jelas dan dapat diukur
b. Unit surveilans epidemiologi yang terdiri dari kelompok kerja
surveilans epidemiologi dengan dukungan tenaga profesional
c. Konsep surveilans epidemiologi sehingga terdapat kejelasan sumber
dan cara-cara memperoleh data, cara-cara mengolah data, cara-cara
melakukan analisis, sasaran penyebaran atau pemanfaatan data dan
informasi epidemiologi, serta mekanisme kerja surveilans
epidemiologi
d. Dukungan advokasi, peraturan perundang-undangan, sarana dan
anggaran
e. Pelaksanaan mekanisme kerja surveilans epidemiologi
f. Jejaring surveilans epidemiologi yang dapat membangun kerjasama
dalam pertukaran data dan informasi epidemiologi, analisis, dan
peningkatan kemampuan surveilans epidemiologi.
g. Indikator kinerja

Penyelenggaraan surveilans epidemiologi dilaksanakan melalui


jejaring surveilans epidemiologi antara unit-unit surveilans dengan
sumber data, antara unit-unit surveilans epidemiologi dengan pusat-
pusat penelitian dan kajian, program intervensi kesehatan dan unit-unit
surveilans lainnya. Secara skematis dapat digambarkan jejaring sistem
surveilans epidemiologi kesehatan diantara unit-unit utama di
Departemen Kesehatan (DepKes) dan Unit Pelaksana Teknis Pusat
(UPT DepKes), pusat-pusat penelitian dan pengembangan (Puslitbang)
dan pusat-pusat data dan informasi, diantara unit-unit kerja Dinas
Kesehatan Propinsi (lembaga pemerintah di Propinsi yang
bertanggungjawab dalam bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan

47
Propinsi, dan diantara unit-unit kerja Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(lembaga pemerintah di Kabupaten/Kota yang bertanggungjawab dalam
bidang kesehatan) dan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Jejaring
surveilans epidemiologi juga terdapat antara Pusat, Propinsi dan
Kabupaten/Kota serta mitra nasional dan internasional.
3. Sumber Data, Pelaporan dan Penyebaran Data Informasi
Surveilance
a. Sumber Data
Sumber data surveilans epidemiologi meliputi :
- Data kesakitan yang dapat diperoleh dari unit pelayanan
kesehatan dan masyarakat.
- Data kematian yang dapat diperoleh dari unit pelayanan kesehatan
serta laporan kantor pemirintah dan masyarakat.
- Data demografi yang dapat diperoleh dari unit statistik
kependudukan dan masyarakat
- Data geografi yang dapat diperoleh dari unit unit meteorologi dan
geofisika
- Data laboratorium yang dapat diperoleh dari unit pelayanan
kesehatan dan masyarakat.
- Data kondisi lingkungan.
- Laporan wabah
- Laporan penyelidikan wabah/KLB
- Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan
- Studi epidemiology dan hasil penelitian lainnya
- Data hewan dan vektor sumber penular penyakit yang dapat
diperoleh dari unit pelayanan kesehatan dan masyarakat.
- Laporan kondisi pangan
- Data dan informasi penting lainnya.
b. Pelaporan
Unit sumber data menyediakan data yang diperlukan dalam
penyelenggaraan surveilans epidemiologi termasuk rumah sakit,

48
puskesmas, laboratorium, unit penelitian, unit program - sektor dan
unit statistik lainnya.
c. Penyebaran Data Informasi
Data, informasi dan rekomendasi sebagai hasil kegiatan
surveilans epidemiologi disampaikan kepada pihak-pihak yang dapat
melakukan tindakan penanggulangan penyakit atau upaya
peningkatan program kesehatan, pusat-pusat penelitian dan pusat-
pusat kajian serta pertukaran data dalam jejaring surveilans
epidemiologi

Gambar Alur Penyampaian Situasi Darurat

4.4 Tahapan Penanggulangan Keadaan Darurat Dalam Sistem Kesehatan


1. Pengorganisasian
a. Tingkat Pusat
- Penanggung jawab kesehatan dalam penanggulangan bencana di
tingkat pusat pusat adalah menteri kesehatan di bantu oleh
seluruh pejabat eselon 1 di bawah koordinasi Ketua Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana yaitu wakil
presiden

49
- Pelaksanaan tugas penanggulangan bencana di lingkungan
depkes di koordinasi oleh Sekretaris Jenderal dalam hal ini
Kepala Pusat Penanggulangan Krisis
b. Tingkat Provinsi
- Penanggung jawab kesehatan dalam penanggulangan bencana di
Provinsi adalah Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Bila di
perlukan dapat meminta bantuan kepada Depkes. Dalam
melaksanakan tugas dibawah koordinasi Satuan Koordinasi
Pelaksanaan Penanggulangan Bencana yang di ketuai Gubernur.
- Pelaksanaan tugas penanggulangan bencana di lingkungan
Dinkes Provinsi di koordinir oleh unit yang ditunjuk oleh kepala
dinas kesehatan dengan surat keputusan
c. Tingkat Kabupaten/Kota
- Penanggung jawab kesehatan dalam penanggulangan bencana di
Kabupaten/Kota adalah kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. Bila diperlukan dapat meminta bantuan kepala
provinsi dalam melaksanakan tugas dibawah koordinasi Satuan
Pelaksana Penanggulangan Bencana yang di ketuai Bupati/
Walikota
- Pelaksanaan tugas penanggulangan bencana di lingkungan
Dinkes kabupaten/kota di koordinir oleh unit yang di tunjuk oleh
kepala dinas kesehatan dengan surat keputusan
d. Di Lokasi Kejadian
- Penanggung jawab pelayanan kesehatan penanggulangan
bencana di lokasi kejadian adalah kadinkes Kabupaten/ Kota
- Pelaksanaan tugas pelayanan Kesehatan dalam penanggulangan
bencana di lokasi kejadian adalah Kepala Puskesmas

50
2. Pelaksanaan Kegiatan Surveilance
(1) Pra Bencana
a. Tingkat Provinsi
Kepala Dinas provinsi melakukan kegiatan:
- Membuat peta geomedik daerah rawan bencana
- Membuat rencana kontinjensi (“contingency plan”)
- Menyusun dan menyebarluaskan pedoman/ protap
penanggulangan bencana
- Inventarisasi sumber daya kesehatan pemerintah dan swasta
termasuk LSM
- Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat
- Menyelenggarakan pelatihan termasuk di dalamnya geladi
posko dan gladi lapang dengan melibatkan semua unit terkait
- Membentuk pusdalop penanggulangan bencana
- Melengkapi sarana atau fasilitas yang diperlukan termasuk
mengembangkan system komunikasi dan informasi di daerah
tersebut
- Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
penanggulangan kesiapsiagaan bencana
- Mengadakan koordinasi lintas program dan lintas sector
meliputi sinkronisasi kegiatan penanggulangan bencana
dengan pusat dan kabupaten/kota
b. Tingkat Kabupaten/Kota
Kepala dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota melakukan kegiatan:
- Membuat rencana kegiatan upaya pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan penanggulangan bencana
- Membuat peta geomedik daerah rawan bencana
- Membuat rencana kontinjensi (“contingency plan”)
- Membentuk dan mengembangkan tim reaksi cepat
- Menyelenggarakan pelatihan termasuk di dalamnya geladi
posko dan gladi lapang dengan melibatkan semua unit terkait
- Membentuk pusdalop penanggulangan bencana

51
- Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi:
 Jumlah dan lokasi puskesmas
 Jumlah ambulans
 Jumlah tenaga kesehatan
 Jumlah RS termasuk fasilitas kesehatan lainnya
 Obat dan pembekalan kesehatan
 Unit tranfusi darah
- Mengadakan koordinasi lintas program dan lintas sector
meliputi sinkronisasikegiatan penanggulangan bencana
dengan Provinsi dan Kecamatan
- Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan
penanggulangan kesiapsiagaan bencana
c. Tingkat Kecamatan
Kepala Puskesmas melakukan kegiatan:
- Membuat peta geomedik daerah rawan bencana
- Membuat jalur evakuasi
- Mengadakan pelatihan
- Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi
- Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini
(early warning system) untuk kesiapsiagaan bidang kesehatan
- Mengadakan koordinasi lintas sector.
(2) Saat Bencana
a. Tingkat Provinsi
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi melakukan kegiatan:
- Melapor kepada gubernur dan menginformasikan kepada
PPK Depkes tentang terjadinya bencana atau adanya
pengungsi
- Mengaktifkan pusdalops penanggulangan bencana tingkat
provinsi

52
- Berkoordinasi dengan depkes dalam hal ini PPK, bila ada
kebutuhan bantuan obat dan pembekalan kesehatan.
Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan menggunakan
buku pedoman pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan
- Berkoordinasi dengan RS provinsi untuk mempersiapkan
menerima rujukan dari lokasi bencana atau tempat
penampungan pengungsi. Bila diperlukan, menugaskan RS
provinsi untuk mengirimkan tenaga ahli ke lokasi bencana
atau tempat penampungan pengungsi
- Berkoordinasi dengan RS rujukan di luar provinsi untuk
meminta bantuan dan menerima rujukan pasien
- Berkoordinasi dengan kepala dinas kesehatan kabupaten/
kota untuk melakukan “rapid health assessment” atau
evaluasi pelaksanaan upaya kesehatan
- Memobilisasi tenaga kesehatan untuk tugas perbantuan ke
daerah bencana
- Menuju lokasi terjadinya bencana atau tempat penampungan
pengungsi
- Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah, maka
sebagai koordinator penanggulangan bencana nasional adalah
sekjen depkes
b. Tingkat Kabupaten/Kota
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota setelah
menerima berita tentang terjadinya bencana dari Kecamatan
melakukan kegiatan:
- Berkoordinasi dengan anggota Satlak PB dalam
penanggulangan bencana
- Mengaktifkan pusdalops penganggulangan bencana tingkat
kabupaten/kota
- Berkoordinasi dengan RS kabupaten/kota termasuk RS
swasta, RS TNI dan Polri untuk mempersiapkan penerimaan

53
penderita yang dirujuk dari lokasi bencana dan tempat
penampungan pengungsi
- Menyiapkan dan mengirim tenaga kesehatan, obat, dan
perbekalan kesehatan ke lokasi bencana
- Menghubungi puskesmas di sekitar lokasi bencana untuk
mengirimkan dokter, perawat, dan peralatan yang diperlukan
termasuk ambulans ke lokasi bencana
- Melakukan penilaian kesehatan cepat terpadu
- Melakukan penanggulangan gizi darurat
- Memberikan imunisasi campak di tempat pengungsian bagi
anak-anak dibawah usia 15 tahun
- Melakukan surveilans epidemiologi terhadap penyakit
potensial wabah, pengendalian vector serta pengawasan
kualitas air dan lingkungan
- Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah
kabupaten/ kota, maka sebagai penanggung jawab adalah
kepala Dinas Kesehatan Provinsi
c. Tingkat Kecamatan
Kepala Puskesmas di lokasi bencana melakukan kegiatan:
- Beserta staf menuju lokasi bencana dengan membawa
peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan triase dan
memberikan pertolongan pertama
- Melaporkan kepada Kadinkes Kabupaten/ Kota tentang
terjadinya bencana
- Melakukan initial rapid health assessment
- Menyerahkan tanggung jawab kepada kadinkes kabupaten/
kota apabila telah tiba di lokasi
- Apabila kejadian bencana melampaui batas wilayah
kecamatan, maka sebagai penanggung jawab adalah Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
(3) Pasca Bencana
a. Tingkat Provinsi

54
- Mendukung upaya pelayanan kesehatan dasar terutama
pencegahan KLB, pemberantasan penyakit menular,
perbaikan gizi di tempat penampungan pengungsi maupun
lokasi sekitarnya, kegiatan surveilans epidemiologi, promosi
kesehatan, penyelenggaraan kesehatan lingkungan dan
sanitasi dasar
- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan dan
penunjang
- Melakukan evaluasi dan analisis dampak bencana terhadap
kesehatan lingkungan/ KLB
- Melakukan koordinasi dengan lintas program dan lintas
sector
b. Tingkat Kabupaten/Kota
- Mendukung upaya pelayanan kesehatan dasar terutama
pencegahan KLB, pemberantasan penyakit menular,
perbaikan gizi di tempat penampungan pengungsi maupun di
lokasi sekitarnya, kegiatan surveilans epidemilogi, promosi
kesehatan, penyelenggaraan kesehatan lingkungan dan
sanitasi dasar.
- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan rujukan dan
penunjang
- Melakukan evaluasi dan analisis dampak bencana terhadap
kesehatan lingkungan/ KLB
- Menentukan strategi intervensi berdasarkan analisis status
gizi setelah rapid assessment dilakukan, merencanakan
kebutuhan pangan untuk suplemen gizi
- Menyediakan pelayanan kesehatan, pengawasan kualitas air
bersih dan sanitasi lingkungan bagi penduduk di
penampungan sementara
- Melakukan koordinasi dengan lintas program dan lintas
sector

55
- Memulihkan kesehatan fisik, mental, dan psiko-sosial korban
berupa:
 Promosi kesehatan dalam bentuk konseling
 Pencegahan masalah psiko-sosial untuk menghindari
psikosomatis
 Pencegahan berlanjutnya psiko-patologis pasca
pengungsian
c. Tingkat Kecamatan
- Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di
penampungan dengan mendirikan pos kesehatan lapangan
- Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih dan
pengawasan sanitasi lingkungan
- Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk
yang mungkin timbul
- Segera melapor ke dinas kesehatan kabupaten/ kota bila
terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk
- Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat
kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat luas,
bimbingan pada kelompok yang potensi mengalami
gangguan stress pasca trauma, memberikan konseling kepada
individu yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca
trauma
- Merujuk penderita yang tidak dapat di tangani dengan
konseling awal dan membutuhkan konseling lanjutan,
psikoterapi atau penanggulangan lebih spesifik.
3. Evaluasi, Pencatatan dan Pelaporan
1. Evaluasi
Evaluasi setiap kegiatan penanggulangan bencana di tiap jenjang
administrasi
2. Pencatatan
a. Pelayanan kesehatan dasar dan rujukan
b. Penggunaan obat dan perbekalan kesehatan

56
c. Penerimaan dan pendistribusian bantuan diterima dari dalam
maupun luar negri
d. Mobilisasi tenaga kesehatan dalam dan luar negeri
3. Pelaporan
a. Pelaporan disampaikan pada kesempatan pertama dengan
sarana komunikasi yang ada. Periodisasi atau kala waktunya di
sesuaikan dengan kebutuhan dan situasi serta kondisi lapangan
b. Pelaporan dilakukan berjenjang mulai dari coordinator di
lapangan sampai ke tingkat provinsi dan pusat penanggulangan
krisis (PPK)

57
BAB V
LAPORAN KEGIATAN
5.1. NAMA KEGIATAN
Kepaniteraan Klinik Madya SMF Ilmu Kedokteran Komunitas
5.2. TUJUAN KEGIATAN
Mengetahui gambaran profil kesehatan Kota Jayapura serta gambaran
struktur dan tata kerja Dinas Kesehatan Kota Jayapura
5.3. WAKTU DAN TEMPAT KEGIATAN
1. Waktu : 28-30 Agustus 2017
2. Tempat : Dinas Kesehatan Kota Jayapura
5.4. JENIS KEGIATAN
Jadwal Kegiatan
No Hari/Tanggal/Waktu Materi Narasumber
1 Selasa, 28 Agustus 2017 Sistem dan Mekanisme Bidang SDK
09.00- 11.30 Pengawasan Obat dan
Makanan
2 Rabu, 29 Agustus 2017
09.00-10.30 Surveilance Bidang PMK

11.00-12.30 Penyakit Tidak Menular Bidang PMK


(PTM)
3 Kamis, 30 Agustus 2017
09.00-10.30 Gizi, KIA Bidang Kesmas

11.00-1230 Promkes dan Kesling Bidang Kesmas

58
BAB VI
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN
1. Faktor derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh faktor ekonomi,
pendidikan, lingkungan sosial, keturunan, dan faktor lainnya.
2. Obat pelayanan kesehatan dasar yang banyak digunakan dan terdapat di
Formularium Nasional.
3. Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit atau masalah-masalah kesehatan.
6.2 SARAN
Perlu dilakukan pelaksanaan program kesehatan yang menyeluruh
agar terjadi perbaikan kondisi kesehatan masyarakat di Kota Jayapura
dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

59

You might also like