You are on page 1of 7

Abses Folikel Rambut atau Kelenjar Sebasea

No. ICPC-2 :

No. ICD-10 :

Tingkat Kemampuan : 3B

Masalah Kesehatan

Abses folikel rambut adalah infeksi dan peradanagna pada folikel rambut.
Penyebabnya adalah infeksi bakteri Stafilokokkus Aureus.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Bakteri masuk ke dalam folikel rambut sehingga tampak sebagai nodus


kemerahan dan sangat nyeri. Pada bagian tengah lesi terdapat bintik
kekuningan yang merupakan jaringan nekrotik, dan disebut mata bisul
(core). Apabila higinis penderita jelek atau menderita diebetes militus,
furunkel menjadi sering kambuh. Predileksi penyakit ini biasanya pada
daerah yang berambut misalnya pada wajah, punggung, kepala, ketiak,
bokong dan ekstrimitas, dan terutama pada daerah yang banyak
bergesekan. Mula-mula nodul kecil yang mengalami keradangan pada
folikel rambut, kemudian menjadi pustule dan mengalami nekrosis dan
menyembuh setelah pus keluar dengan meninggalkan sikatriks. Awal juga
dapat berupa macula eritematosa lentikular setempat, kemudian menjadi
nodula lentikular setempat, kemudian menjadi nodula lentikuler-numular
berbentuk kerucut (Suyoso, 2005).

Nyeri terjadi terutama pada furunkel yang akut, besar, dan lokasinya di
hidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala kostitusional yang
sedang, seperti panas badan, malaise, mual (Cohen, 2006). Furunkel dapat
timbul di banyak tempat dan dapat sering kambuh. Predileksi dari furunkel
yaitu pada muka, leher, lengan, pergelangan tangan, jari-jari tangan,
pantat, dan daerah anogenital (Ray, 2003).

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)

Pemeriksaan Fisik

Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus. Supurasi terjadi
setelah kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui saluran keluar
tunggal (single follicular orifices). Furunkel yang pecah dan kering kemudian
membentuk lubang yang kuning keabuan ireguler pada bagian tengah dan
sembuh perlahan dengan granulasi (Sterry dan wolfram, 2006).
Pemeriksaan Penunjang

Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan histologis dari


furunkel menunjukkan proses inflamasi dengan PMN yang banyak di
dermis dan lemak subkutan. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis yang dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan kultur
bakteri. Pewarnaan gram S.aureus akan menunjukkan sekelompok kokus
berwarna ungu (gram positif) bergerombol seperti anggur, dan tidak
bergerak. Kultur pada medium agar MSA (Manitot Salt Agar) selektif untuk
S.aureus. Bakteri ini dapat memfermentasikan manitol sehingga terjadi
perubahan medium agar dari warna merah menjadi kuning. Kultur S.
aureus pada agar darah menghasilkan koloni bakteri yang lebar (6-8 mm),
permukaan halus, sedikit cembung, dan warna kuning keemasan. Uji
sensitivitas antibiotik diperlukan untuk penggunaan antibiotik secara tepat
(Djuanda dan Pioderma, 2010).

Penegakan Diagnosis (Assessment)

Diagnosa dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang

Diagnosa Banding

a. Kista Epidermal

Diagnosa banding yang paling utama dari furunkel adalah kista epidermal
yang mengalami inflamasi. Kista epidermal yang mengalami inflamasi dapat
dengan tiba-tiba menjadi merah, nyeri tekan dan ukurannya bertambah
dalam satu atau beberapa hari sehingga dapat menjadi diagnosa banding
furunkel. Diagnosa banding ini dapat disingkirkan berdasarkan terdapatnya
riwayat kista sebelumnya pada tempat yang sama, terdapatnya orificium
kista yang terlihat jelas dan penekanan lesi tersebut akan mengeluarkan
masa seperti keju yang berbau tidak sedap sedangkan pada furunkel
mengeluarkan material purulen (Murtiastutik, 2010).
b. Hidradenitis Suppurativa

Hidradenitis suppurativa (apokrinitis) sering membuat salah diagnosis


furunkel. Berbeda dengan furunkel, penyakit ini ditandai oleh abses steril
dan sering berulang. Selain itu, daerah predileksinya berbeda dengan
furunkel yaitu pada aksila, lipat paha, pantat atau dibawah payudara.
Adanya jaringan parut yang lama, adanya saluran sinus serta kultur
bakteri yang negatif memastikan diagnosis penyakit ini dan juga
membedakannya dengan furunkel (Murtiastutik, 2010).
c. Sporotrikosis

Merupakan kelainan jamur sistemik, timbul benjolan-benjolan yang berjejer


sesuai dengan aliran limfe, pada perabaan terasa kenyal dan terdapat nyeri
tekan (Abdullah, 2009).
d. Blastomikosis

Didapatkan benjolan multipel dengan beberapa pustula, daerah sekitarnya


melunak (Abdullah, 2009).

e. Skrofuloderma

Biasanya berbentuk lonjong, livid, dan ditemukan jembatan-jembatan kulit


(skin bridges) (Arnold, 2000).

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)

Pada furunkel di bibir atas pipi dan karbunkel pada orang tua
sebaiknya dirawat inapkan. Pengobatan topikal, bila lesi masih
basah atau kotor dikompres dengan solusio sodium chloride 0,9%.
Bila lesi telah bersih, diberi salep natrium fusidat atau framycetine
sulfat kassa steril (Ganong, 2005).Furunkel yang besar (multiple)
umumnya diterapi dengan penicillinaseresistant penicillin
(dicloxacillin 250 mg per oral tiap 6 jam selama 7-10 hari). Jika
pasien alergi penisilin maka alternatif lain adalah clindamycin (150-
300 mg per oral tiap 6 jam). Tindakan insisi diindikasikan untuk lesi
yang besar dan fluctuant yang tidak drain spontaneously (Pendland,
2005). Antibiotik sistemik mempercepat resolusi penyembuhan dan
wajib diberikan pada seseorang yang beresiko mengalami
bakteremia. Antibiotik diberikan selama tujuh sampai sepuluh hari.
Lebih baiknya, antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur
bakteri terhadap sensitivitas antibiotik.

Tabel 1. Antibiotik Sistemik

Antimicrobial Agent Dosing (PO Unless Indicated), Usually

For 7 to 14 Days

Natural penicillins

Penicillin V 250–500 mg tid/qid for 10 days


Antimicrobial Agent Dosing (PO Unless Indicated), Usually

For 7 to 14 Days

Penicillin G 600,000–1.2 million U IM qd for 7 days

Benzathine penicillin G 600,000 U IM in children 6 years, 1.2

million units if 7 years, if compliance is a

problem

Penicillinase-resistant

penicillins

Cloxacillin 250–500 mg (adults) qid for 10 days

Dicloxacillin (drug of choice) 250–500 mg (adults) qid for 10 days

Nafcillin 1.0–2.0 g IV q4h

Oxacillin 1.0–2.0 g IV q4h

Aminopenicillins

Amoxicillin 500 mg tid or 875 mg q12h

Amoxicillin plus clavulanic acid 875/125 mg bid; 20 mg/kg per day tid

(Betha-lactamase inhibitor) for 10 days

Ampicillin 250–500 mg qid for 7–10 days

Cephalosporins

Cephalexin (drug of choice) 250-500 mg (adults) qid for 10 days; 40–

50 mg/kg per day (children) for 10 days

Cephradine 250–500 mg (adults) qid for 10 days; 40–

50 mg/kg per day (children) for 10 days

Cefaclor 250–500 mg q8h

Cefprozil 250–500 mg q12h


Antimicrobial Agent Dosing (PO Unless Indicated), Usually

For 7 to 14 Days

Cefuroxime axetil 125–500 mg q12h

Cefixime 200–400 mg q12–24h

Erythromycin group

Erythromycin ethylsuccinate 250–500 mg (adults) qid for 10 days; 40

mg/kg per day (children) qid for 10 days

Clarithromycin 500 mg bid for 10 days

Azithromycin Azithromycin: 500 mg on day 1, then

250 mg qd days 2–5

Clindamycin 150-300 mg (adults) qid for 10 days; 15

mg/kg per day (children) qid for 10 days

Tetracylines

Minocycline 100 mg bid for 10 days

Doxycycline 100 mg bid

Tetracycline 250–500 mg qid

Miscellaneous agents

Trimethoprim-sulfamethoxazole 160 mg TMP + 800 mg SMX bid

Metronidazole 500 mg qid

Ciprofloxacin 500 mg bid for 7 days

(Rook, 2006)

Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus (MRSA)


dapat diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lain adalah
tetrasiklin, namun obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihan
untuk golongan penicilinase-resistant penicillin adalah dicloxacilin Pada
penderita yang alergi terhadap penisilin dapat dipilih golongan eritromisin.
Pada orang yang alergi terhadap β-lactam antibiotic dapat diberikan
vancomisin (Hurmitz, 2001) Tindakan insisi dapat dilakukan apabila telah
terjadi supurasi. Higiene kulit harus ditingkatkan. Jika masih berupa
infiltrat, pengobatan topikal dapat diberikan kompres salep iktiol 5% atau
salep antibotik. Adanya penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus,
harus dilakukan pengobatan yang tepat dan adekuat untuk mencegah
terjadinya rekurensi. Terapi antimikrobial harus dilanjutkan sampai semua
bukti inflamasi berkurang. Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk
mencegah autoinokulasi. Pasien dengan furunkel yang berulang
memerlukan evaluasi dan penanganan lebih komplek.

Peralatan

Peralatan laboratorium untuk pemeriksaan darah rutindan pemeriksaan


Gram

Prognosis

Prognosis baik sepanjang faktor penyebab dapat dihilangkan, dan prognosis


menjadi kurang baik apabila terjadi rekurensi. Umumnya pasien mengalami
resolusi, setelah mendapatkan terapi yang tepat dan adekuat. Beberapa
pasien mengalami komplikasi bakteremia dan bermetastasis ke organ lain.
Beberapa pasien mengalami rekurensi, terutama pada penderita dengan
penurunan kekebalan tubuh (Djuanda dan Pioderma, 2010).

Referensi

Abdullah, B. 2009. Furunkulosis. In: Dermatologi Pengetahuan Dasar dan


Kasus di Rumah Sakit. SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU
Haji.Surabaya. hal 113-115.

Arnold, H., L. 2000. Andrew’s Deseases of the Skin 8 th. ed., Piladelphia : WB
Saunders Co., : 270 – 1.

Cohen, P., R. 2006. Bacterial Infection. In: Harry L.A et al, editor . Andrews
Disease of The Skin: Clinical Dermatology. 10 th edition. Philadelphia:
W.B. Saunders Company. pp 253-254

Djuanda, A. and Pioderma. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi
kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal 60.

Ganong, W., F. 2005. Review of Medical Physiology, 22th ed. California:


McGraw Hill Companies.

Hurmitz, S. 2001. Clinical Pediatric Dermatology. Philadelphia : WB


Saunders Co., 219.
Murtiastutik, D. 2010. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-2.
Surabaya: Dep/SMF Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSUD dr.Soetomo.
Hal 30-32.

Pendland, S., L. 2005. Skin and Soft Tissue Infections, in : Joseph Dipiro T.,
Robert L. Talbert, Gary C. Yee, Gary R. Matzke, Barbara G. Wells and
L. Michael Posey (Eds), Pharmacotherapy: A Pathophysiologic
Approach, 7th Ed. USA: The Mc Graw Hill Company, Inc.

Ray, J. 2003. Bacterial Infection. In: ABC of Dermatology. Fourth Edition.


London: BMJ Publishing Group Ltd. 2003. pp 90.

Rook, A. 2006. Texbook of Dermatology 4th. Oxford : Blackwell Scientific


Publication,: 739–51.

Sterry and Wolfram. 2006. Bacterial Desease. In: Thieme Clinical


Companions Dermatology. 5th edition. New York: Georg Thieme Veriag.
pp 73-75.

Suyoso, S. 2005. Furunkel. In: Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Surabaya: Fakultas Kedokteran Unair.
Hal 29-32.

You might also like