You are on page 1of 94

INTERNA

DAFTAR ISI

1. DIABETES MELLITUS TIPE 1................................................................... 1


2. HIPOGLIKEMIA RINGAN.......................................................................... 8
3. DEFISIENSI VITAMIN................................................................................. 9
4. DISLIPIDEMIA.............................................................................................. 14
5. OBESITAS....................................................................................................... 20
6. LIMFADENITIS TUBERKULOSIS............................................................ 24
7. MALARIA....................................................................................................... 27
8. REAKSI ANAFILAKSIS............................................................................... 31
9. TUBERKULOSIS PARU............................................................................... 35
10. GASTROENTERITIS.................................................................................... 45
11. DEMAM TIFOID........................................................................................... 48
12. ALERGI MAKANAN.................................................................................... 56
13. PENYAKIT CACING TAMBANG............................................................... 60
14. ASKARIASIS.................................................................................................. 62
15. TAENIASIS..................................................................................................... 64
16. DISENTRI BASILER.................................................................................... 67
17. PIELONEFRITIS........................................................................................... 68
18. BRONKHITIS AKUT.................................................................................... 69
19. DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2........................................................ 73
20. HIPERTENSI.................................................................................................. 81
21. HIPERURISEMIA DAN GOUT ARTHRITIS............................................ 92
22. ANEMIA DEFISIENSI BESI........................................................................ 96
23. PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)....................... 98
24. GASTRITIS..................................................................................................... 99
25. LEPTOSPIROSIS........................................................................................... 101
26. KERACUNAN MAKANAN.......................................................................... 104
27. HEPATITIS VIRUS AKUT........................................................................... 105
28. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)............................................................ 112
29. ASMA BRONKIAL........................................................................................ 115
30. PNEUMONIA................................................................................................. 124
31. DEMAM BERDARAH DENGUE................................................................ 137
32. PERTUSSIS..................................................................................................... 140

i
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. DIABETES MELLITUS TIPE 1

GEJALA KLINIS
Awal:
- Polifagi
- Polidipsi
- Poliuri
- Berat badan naik (Fase Kompensasi)  turun
- Mual-muntah  Ketoasidosis Diabetik.
Kronis:
- Lemah badan
- Semutan
- Kaku otot
- Penurunan kemampuan seksual
- Gangguan penglihatan, dan lain-lain.

LANGKAH DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini
(Comitee Report ADA-2006):
Keluhan Klinis Diabetes

Keluhan Klasik Diabetes (+) Keluhan Klasik Diabetes (-)

GDP GDP
≥ 126 < 126 ≥ 126 110-125 < 100
atau atau
GDS ≥ 200 < 200 GDS ≥ 200 140-199 < 140

Ulang GDS atau GDP

GDP
≥ 126 < 126 TTGO
atau
GD 2 Jam
GDS ≥ 200 < 200

>200 140-199 < 140

DIABETES MELLITUS TGT GDPT Normal

Evaluasi Status Gizi Nasihat Umum


Evaluasi Penyulit Dini Perencanaan Makan
Evaluasi dan Perencanaan Makan Latihan Jasmani
Sesuai Kebutuhan Berat idaman
Belum Perlu Obat Penurun Glukosa

0
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)


2. Obesitas BB (kg) > 110% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m2)
3. Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat kehamilan dengan: BB lahir bayi > 4000 gram atau abortus berulang
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)
8. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau Glukosa Darah Puasa
Terganggu (GDPT).
Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai
berikut:
1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Periksa glukosa darah puasa
5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum dalam
waktu 5 menit
6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih, namun
harus istirahat dan tidak merokok
8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus Gestasional),
dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0, 1, 2, & 3 jam sebelum dan sesudah
minum beban glukosa 75 gram tersebut.
Uji Laboratorium
Darah
Orang normal: Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dl, 2j pp < 140 mg/dl. GDP
antara 100 dan 126 mg/dl disebut Gglukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau
Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita DM: disebut “normal” atau regulasi
baik (ADA 2005) bila glukosa darah sebelum makan: 90-130 mg/dl dan puncak glukosa
darah sesudah makan < 180 mg/dl.
Urine
Pada orang normal, reduksi urine: negatif. Pemantauan reduksi urine biasanya
3x sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan. Atau 4x sehari, yaitu 1x
sebelum makan pagi, dan yang 3x dilakukan setiap 2 jam sesudah makan. Pemeriksaan
reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih hemat.
Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI 2002)
Dinyatakan DM apabila terdapat:
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dl, plus gejala klasik:
poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dl, atau
3. Kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl pada 2 jam sesudah makan atau beban
glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai
rutin di klinik. Untuk penelitian epidemiologi pada penduduk dianjurkan
memakai kriteria diagnosis kadar glukosa darah puasa. Untuk DM Gestasional
juga dianjurkan kriteria diagnosis yang sama.

1
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

TATALAKSANA
I. INSULIN
Macam-macam insulin:
1. Insulin Konvensional, mengandung komponen a, b, dan c, misalnya: IR =
Insulin Reguler (Novo dan Organon), NPH (Novo), PZI (Novo dan Organon)
dan ada juga campuran IR:PZI = 30:70. Bentuk ini lebih imunogenik dan
alergik, sebetulnya yang mempunyai efek biologis adalah komponen c saja.
2. Insulin Monokomponen = Insulin MC (Insulin Mono-Component = Highly
Purified Insulin) = hanya mengandung komponen c (insulin murni), misalnya
Actrapid (short action, identik dengan insulin reguler), semuanya dari Novo
Industries.
Ada juga Insulated (identik dengan NPH) dan Mixtard (campuran short dan
long acting insulin dengan perbandingan 30:70), keduanya dari Novo Industries.
Sediaan dari ketiganya beredar dalam bentuk Novolet @ 300 unit. Tetapi juga
ada dari Eli Lilly dengan preparat yang sejenis seperti tersebut di bawah ini.
Produksi dari Eli Lilly, ada 3 macam:
a. Humulin-R, identik dengan Actrapid/Insulin Reguler
b. Humulin-N, identik dengan Insulatard/NPH
Humulin 30/70 identik dengan Mixtard.
IR = Insulin Reguler = short action
NPH = Neutral Protein Hagedorn = intermediate action
PZI = Protamine Zinc Insulin = long action
Insulin MC mempunyai efek alergik dan imunologis yang minimal bila
dibandingkan dengan insulin konvensional.
3. Insulin manusia = Human Insulin (HM = Human Monocomponent). Insulin ini
kebanyakan dibuat dari E. coli (recombinant DNA). Insulin ini disebut juga BHI
(biosynthetis human insulin) dan mempunyai susunan kimiawi sama dengan
insulin manusia. Dikatakan, insulin HM ini mempunyai efek alergik dan
imunologis yang minimal dibandingkan dengan kedua insulin tersebut di atas.
4. Insulin Analogues: ada 2 macam::
a. Rapid-Acting Insulin Analogues: Lis Pro (R/Humalog), Glulisin (R/Apidra),
Aspar (R/Aspart).
b. Long-Acting Peakless Insulin Analogues: Insulin Glargine (R/Lantus),
Insulin Detemir.
Preparat insulin: Insulin dipasaran mengandung komponen a, komponen b, dan
komponen c. Komponen a dan b mengandung proinsulin dan bermacam impurities =
“kotoran” (tidak mempunyai efek biologis), sedangkan komponen c mengandung
insulin murni = Sanger Insulin, yang mempunyai efek biologis. Komponen c inilah
yang memiliki efek biologis pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Half-life (waktu paruh) insulin hanya berkisar 7-10 menit. Half life insulin
intravena: 7 menit, subkutan 2 jam, dan intramuskular 4 jam. “nasib Insulin”: 50%
bekerja di hepar, 50% ke sirkulasi umum (10-20% bekerja pada ginjal; 30-40% pada sel
darah, otot, dan jaringan adiposa). Apabila terdapat kelainan pada target organ tersebut,
akan tibul gangguan efisiensi insulin dan dangguan metabolisme karbohidrat. Degradasi
insulin: 60-80% di hepar, 10-20% di ginjal, dan 10-20% di otot dan jaringan adiposa.
Karena itu, kadar insulin akan meningkat pada sirosis hepatis dan gagal ginjal.

2
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Semuanya ini insulin dalam vial. Sekarang ada Insulin Penfill HM U-100: yaitu
insulin untuk suntikan dengan Novo-Pen (seperti Ball-point). Misalnya produksi Novo
dan Lily: Actrapid Penfill HM-100 (short acting), Insulated Penfill HM 100
(intremediate), Mixtard Penfill HM 100 (campuran short:long = 30:70).
Perhatikan:
1. Cara pemberian insulin i.v., i.m., s.c. harus diketahui indikasi, manfaat, dan efek
sampingnya.
2. Insulin harus disimpan di tempat dingin antara 2-8oC, atau setaranya. Bila di atas
30oC akan rusak, dan di atas 50oC akan bergumpal. Insulin harus dihindarkan
dari cahaya karena dapat menurunkan efek biologisnya.
Indikasi Terapi Insulin:
Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DMT1; namun demikian pda
keadaan tertentu meskipun bukan DMT1 sering pula terapi insulin diberikan dengan
tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat.
Beberapa Cara Pemberian Insulin
Regulasi cepat intravena (RCI)
1. Jangan memberikan cairan yang mengandung karbohidrat apabila kadar glukosa
masih di atas 250 mg/dl. Pasanglah infus Ringer Laktat atau NaCl 0,9% dengan
kecepatan 15-20tetes/menit (bila bukan ketoasidosis = KAD); apabila KAD,
maka tetesan harus cepat.
2. Berikan Insulin Reguler Intravena 4 (empat) unit tiap jam sampai kadar glukosa
darah sekitar 200 mg/dl atau reduksi urin positif lemah.
3. Cara RCI: dengan dosis insulin reguler 4 unit/jam intravena, dapat menurunkan
glukosa darah sekitar 50-75 mg/dl setiap jamnya.
Contoh: Pada glukosa darah 450 mg/dl, berikan insulin reguler intravena 4
unit/jam sampai 3 kali (Rumus Minus-Satu), maka akan memperoleh glukosa
darah sekitar 200 mg/dl. Angka 3 kali diperoleh dari: 4 dikurangi satu (Rumus
Minus-Satu). Angka 4 berasal dari 450 mg/dl.
4. Apabila kadar glukosa tersebut sudah tercapai, maka insulin reguler dapat
diteruskan secara subkutan dengan interval 8 jam dengan dosis 3x8 U (Rumus
Kali-Dua). Angka 8 berasal dari 4x2 (Rumus Kali-Dua). Sedangkan angka 4
berasal dari 450 mg/dl.
5. Glukosa 450 mg/dl juga dapat mengikuti rumus 1, 2, 3, 4, 5 untuk Regulasinya,
dan dapat menggunakan Rumus 4, 6, 8, 10, 12 untuk maintenance subkutannya.
Regulasi Cepat Subkutan (RCS)
Apakah cara RCI atau RCS yang dipilih, sesuaikanlah dengan kondisi, situasi,
dan fasilitas setempat. Tergantung kadar glukosa acak awal yang diperoleh, maka
berikan insulin subkutan dengan dosis awal ekstra, kemudian maintenance insulin 3x
sehari dengan pedoman dosis.
Indikasi RCI dan RCS pada umumnya adalah untuk kasus-kasus yang
memerlukan kadar glukosa darah harus segera diturunkan, bahkan pada DM kasus biasa
(non darurat) yang dirawat inap, misalnya penderita dengan DM-sepsis pro operasai
(gangren, kolesistitis, batu ginjal, dan lain-lain), DM dengan GPDO (Stroke-CVA), DM
pro amputasi, DM dan Infark Miokard Akut, semua DM rawat inap dengan glukosa
darah > 250 mg/dl (agar NPE dapat dimulai), dan lain-lain.

3
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. HIPOGLIKEMIA RINGAN

KRITERIA DIAGNOSIS
Klinik: riwayat DM sebelumnya, timbul gangguan saraf berupa gelisah sampai berat
berupa koma dengan kejang.
Laboratorium: kadar gula darah < 50 mg/dl
Trias Whipple, yaitu adanya kadar gula darah yang rendah, timbul gejala-gejala,
hilangnya gejala dengan peningkatan kadar glukosa ke level normal.

GEJALA
 Parasimpatis : lapar, mual
 Simpatis : keringat dingin, berdebar-debar
 Gangguan otak ringan : lemah, sulit menghitung
 Gangguan otak berat : koma, dengan/tanpa kejang

TERAPI
 Gula murni 30 g (2 sendok makan), sirup, atau makanan yang mengandung
karbohidrat
 Koma  Glukosa 40% IV sebanyak 20-50 cc, setiap 10-20 menit sampai pasien
sadar, disertai infus dextrose 10% 6 jam/kolf
 Bila belum teratasi, dapat diberikan antagonis insulin (adrenalin, kortison, atau
glukagon)

4
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

3. DEFISIENSI VITAMIN

DEFISIENSI VITAMIN A

Satuan Yang Digunakan


1,0 g Retinol Ekivalen (RE) = 1,0 µg retinol
= 6,0 µg beta-karoten
= 12,0 µg karotenoid lain
= 3,3 SI(Satuan Internasional) retinol
= 9,9 SI beta-karoten

KEBUTUHAN VITAMIN A
Pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan
kelangsungan hidup secara normal. Kebutuhan tubuh akan vitamin A untuk orang
Indonesia telah dibahas dan ditetapkan dalam Widyakarya Nasional pangan dan Gizi
(2007) dengan mempertimbangkan faktor-faktor khas dari kesehatan tubuh orang
Indonesia.
Daftar Kecukupan Vitamin A
Golongan Umur Kebutuhan Vitamin A
(RE)
Bayi 0 – 6 bulan 350
7 – 12 bulan 350

Balita 1 – 3 tahun 350


4 – 6 tahun 460
7 – 9 tahun 400

Pria 10 – 12 tahun 500


13 – 15 tahun 600
16 – 19 tahun 700
20 – 45 tahun 700
46 – 59 tahun 700
>60 tahun 600

Wanita 10 – 12 tahun 500


13 – 15 tahun 500
16 – 19 tahun 500
20 – 45 tahun 500
46 – 59 tahun 500
>60 tahun 500

Hamil + 200

Menyusui 0 – 6 bulan + 350


7 – 12 bulan + 300

5
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Pencegahan dan pengobatan di kutip berdasarkan keterangan dari brosur
suplementasi vitamin A kapsul yang terdiri dari :
a. Kapsul vitamin A berwarna biru (100.000 IU)
Tiap kapsul mengandung vitamin A palmitat 1,7 juta IU 64.7059 mg (setara
dengan vitamin A 100.000 IU) dengan dosis:
1) Pencegahan bayi umur 6 bulan – 11 bulan : 1 kapsul
2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi lainnya diberi
1 kapsul.
b. Kapsul vitamin A berwarna merah (200.000 IU) tiap kapsul vitamin A
mengandung palmitat 1,7 juta IU 129.5298 mg (setara dengan vitamin A
200.000 IU) dengan dosis :
1) Pencegahan bayi umur 1 tahun – 3 tahun : 1 kapsul
2) Bayi dengan tanda klinis xerofthalmia :
- Saat ditemukan segera beri 1 kapsul
- Hari berikutnya 1 kapsul
- 4 minggu berikutnya 1 kapsul
3) Bayi dengan campak, pneumonia, diare, gizi buruk dan infeksi dan infeksi
lainnya diberi 1 kapsul.

JADWAL PEMBERIAN DOSIS VITAMIN


Anak-anak yang mengalami gizi kurang mempunyai resiko yang tinggi untuk
mengalami kebutaan sehubungan dengan defisiensi vitamin A, karena alasan ini vitamin
A dosis tinggi harus diberikan secara rutin untuk semua anak yang mengalami gizi
kurang pada hari pertama, kecuali bila dosis yang sama telah diberikan pada bulan yang
lalu. Dosis tersebut adalah sebagai berikut: 50.000 IU untuk bayi berusia < 6 bulan,
100.000 IU untuk bayi berumur 6 - 12 bulan , dan 200.000 IU untuk anak berusia > 12
bulan. Jika terdapat tanda klinis dari defisiensi vitamin A (seperti rabun senja, xerosis
konjungtiva dengan bitot’s spot, xerosis kornea atau ulceration, atau ketomalasia), maka
dosis yang tinggi harus diberikan untuk dua hari pertama, diikuti dosis ketiga sekurang-
kurangnya 2 minggu kemudian.

DEFISIENSI VITAMIN K

Tabel dibawah mengambarkan perdarahan defisiensi vitamin K pada anak.

Tabel : Perdarahan akibat defisiensi vitamin K pada anak


VKDB dini VKDB klasik VKDB lambat Secondary PC
(APCD) deficienc
y

6
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Umur < 24 jam 1-7 hari (terbanyak 3-5 2 minggu-6 bulan Segala usia
hari) (terutama 2-8 minggu)
Penyebab & Obat yang - Pemberian makanan - Intake Vit K inadekuat - obstruksi bilier
Faktor diminum selama terlambat - Kadar vit K rendah -penyakit hati
resiko kehamilan - Intake Vit K inadekuat pada ASI -malabsorbsi
- Kadar vit K rendah - Tidak dapat profilaksis -intake kurang
pada ASI vit K (nutrisi
- Tidak dapat profilaksis parenteral)
vit K
Frekuensi < 5% pada 0,01-1% 4-10 per 100.000
kelompok resiko (tergantung pola makan kelahiran (terutama di
tinggi bayi) Asia Tenggara)
Lokasi Sefalhematom, GIT, umbilikus, hidung, Intrakranial (30-60%),
perdarahan umbilikus, tempat suntikan, bekas kulit, hidung, GIT,
intrakranial, sirkumsisi, intrakranial tempat suntikan,
intraabdominal, umbilikus, UGT,
GIT, intratorakal intratorakal
Pencegahan -penghentian / -Vit K profilaksis (oral / Vit K profilaksis (im)
penggantian obat im) - asupan vit K yang
penyebab - asupan vit K yang adekuat
adekuat

Sebagai Penatalaksanaan, pencegahan yang disarankan berupa pemberian vitamin K


Profilaksis:
 Vitamin K1 pada bayi baru lahir 1 mg im (dosis tunggal) atau per oral 3 kali atau
2 mg pada waktu bayi baru lahir, umur 3-7 hari dan umur 1-2 tahun
 Ibu hamil yang mendapat pengobatan antikonvulsan mendapat profilaksis vitamin
K1 5 mg/hari selama trimester ketiga atau 10 mg im pada 24 jam sebelum
melahirkan. Selanjutnya bayinya diberi vitamin K1 1 mg im dan diulang 24 jam
kemudian

PENGOBATAN
 Vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari
 Fresh frozen plasma (FFP) dosis 10-15 ml/kg

7
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

4. DISLIPIDEMIA

Klasifikasi kadar lipid plasma menurut National Cholesterol Education Program


(NCEP) Adult Treatment Panel (ATP) III
Kolesterol Total
 < 200 Yang diinginkan
 200-239 Batas tinggi
 ≥ 240 Tinggi
Kolesterol LDL
 < 100 Optimal
 100-129 Di atas optimal
 130-159 Batas tinggi
 160-189 Tinggi
 ≥ 190 Sangat tinggi
Kolesterol HDL
 < 40 Rendah
 > 60 Tinggi
Trigliserida
 < 150 Normal
 150-199 Batas tinggi
 200-499 Tinggi
 ≥ 500 Sangat tinggi

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium berperan penting untuk menegakkan diagnosis
dislipidemia. Untuk itu diperlukan prosedur cara pemeriksaan dan cara pelaporan yang
baku di semua pusat penelitian, agar data yang diperoleh dapat dibandingkan dan
dianalisis. Parameter yang diperiksa adalah: kadar kol-total, kol-LDL, kol-HDL, dan
TG.
1. Persiapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan:
 Pengukuran kadar lipid paling baik dilakukan pada waktu subyek dalam
keadaan sehat dan metabolik stabil. Tidak ada perubahan berat badan, pola
makan, kebiasaan merokok, olahraga, minum kopi/alkohol dalam 2 minggu
terakhir sebelum diperiksa, dan tidak sakit berat atau operasi besar dalam 2
bulan terakhir.
 Penderita dengan demam, sebaiknya pemeriksaan lipid dilakukan 2 minggu
setelah bebas demam.
 Penderita infark miokard akut, kadar kolesterol akan menurun 24 jam – 3
blan pascainfark, oleh karena itu contoh darah dalam 24 jam pertama masih
memberikan gambaran kolesterol yang sebenarnya.
 Beberapa kepustakaan menganjurkan 2 kali pemeriksaan (antara 1-8
minggu) untuk mendapatkan gambaran kadar yang sebenarnya sebelum
dimulai dengan pengobatan.
 Tidak mendapat obat yang mempengaruhi kadar lipid dalam 2 minggu
terakhir.

8
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Bila hal tersebut memungkinkan, pemeriksaan tetap dilakukan tetapi dengan


disertai catatan.
2. Pengambilan Bahan Pemeriksaan
 Untuk pemeriksaan TG dibutuhkan puasa 12 jam (semalam)
 Pemeriksaan kol-LDL pada saat ini dapat diperiksa secara direk, sehingga
untuk pemeriksaan kol-LDL, kol-total, dan kol-HDL tidak perlu puasa.
Mengingat sebagian besar laboratorium masih menggunakan rumus
Friedewald untuk menghitung kadar kol-LDL dengan sendirinya
pemeriksaan lipid tetap harus berpuasa.
 Sebelum sampel diambil, subyek duduk selama 5 menit.
 Sampel diambil dengan melakukan bendungan vena seminimal mungkin.
 Bahan yang diambil adalah serum.
a. Analisis
 Analisis dilakukan di laboratorium yang telah mengikuti program
pemantapan mutu.
 Analisis kol-total dan TG dilakukan dengan metode enzimatik.
 Kol-HDL dan kol-LDL diperiksa dengan metode presipitasi dan enzimatik.
 Kadar kol-LDL sebaiknya diukur secara langsung atau dapat juga dihitung
menggunakan rumus Friedewald kalau kadar TG < 400 mg/dl, sebagai
berikut:
Kadar kol. LDL = kol. total – kol. HDL – 1/5 TG

PENGELOLAAN DISLIPIDEMIA
Upaya Non-Farmakologis
Perubahan gaya hidup
a. Merokok sigaret: harus segera dihentikan
b. Menurunkan berat-badan: dengan latihan jasmani dan pengaturan makan
c. Pembatasan asupan alkohol: terutama pada penderita hipertrigliseridemia.
Pengaturan makan
a. Kurangi asupan lemak total, lemak jenuh, dan kolesterol
b. Tingkatkan proporsi lemak MUFA dan PUFA (Mono dan Poly Unsaturated
Fatty Acid)
Untuk menurunkan kadar trigliserid perlu ditambahkan pengurangan total kalori,
asupan karbohidrat dan alkohol. Evaluasi hasil perubahan gaya hidup dilakukan setiap 3
bulan untuk mengevaluasi hasil yang telah dicapai.
Derajat penurunan kadar kol-LDL yang dicapai dengan diet bergantung pada
pola makan sebelum dimulainya diet, tingkat kepatuhan, dan respons biologis secara
umum, pasien dengan kadar kolesterol yang tinggi mengalami penurunan kadar kol-
LDL yang besar dibanding yang kadar awalnya rendah.
Perlu diingatkan bahwa tempe adalah sumber protein nabati yang baik dan murah serta
dapat menurunkan kadar kol-total, TG, dan juga menaikkan kadar kol-HDL.
Latihan jasmani
1. Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit
2. Aerobik sampai denyut jantung sasaran, yaitu 70-85% dari denyut jantung
maksimal (220-umur), selama 20-30 menit

9
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

3. Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan-lahan, selama 5-10


menit.
Frekuensi latihan direkomendasikan 3-4 kali seminggu selama 30-40 menit
setiap kalinya. Jenis latihan yang dipilih sebaiknya berkesinambungan (continuous),
berirama (rhytmical), interval, progresif, dan bersifat meningkatkan daya tahan
(endurance). Pada pasein dengan faktor risiko ringan, kurang olahraga, dan usia lanjut,
latihan jasmani berbentuk jalan kaki cepat cukup efektif untuk memperbaiki
dislipidemia.

Upaya Farmakologis
Obat Kol-LDL Kol-HDL TG
Statin ↓ 18-55% ↑ 5-15% ↓ 7-30%
Resin ↓ 15-30% ↑ 3-5% -/↑
Fibrat ↓ 5-25% ↑ 10-20% ↓ 20-50%
Asam nikotinat ↓ 5-25% ↑ 15-35% ↓ 20-50%

Pilihan obat penurun lipid sesuai dengan jenis dislipidemia


Dislipidemia Obat terpilih
Hiperkolesterolemia Statin atau Resin atau kombinasi
Dislipidemia campuran Statin atau kombinasi dengan fibrat
Hipertrigliseridemia Fibrat
Isolated low-HDL-cholesterol Fibrat

Obat hipolipidemik, Dosis, dan Efek Sampingnya


Obat Dosis Efek Samping
Resin
Kolestiramin 4-16 gram/hari Konstipasi, gangguan
Kolestipol 5-20 gram/hari absorpsi obat lain

Gol. Asam Nikotinat


Asam nikotinat Immediate release 1,5-3 Flushing, hiperglikemia,
g/hari hiperurikemia,
Extended release 1-2 g/hari hepatotoksik, gangguan
Sustained release 1-2 g/hari saluran cerna

20-80 mg malam hari


Golongan Statin 5-40 mg malam hari
Fluvastatin 5-40 mg malam hari Miopati, peningkatan
Lovastatin 5-40 mg malam hari SGOT/SGPT
Pravastatin 10-80 mg 1 x/hari
Simvastatin 10-40 mg 1 x/hari
Atorvastatin
Rosuvastatin
200 mg, 3x/hari atau
Golongan Asam Fibrat 400 mg, 1x/hari ((retard)

10
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Bezafibrat 160 mg supra 1x/hari Dispepsia, batu empedu,


600 mg, 2x/hari miopati
Fenofibrat 900 mg, 1x/hari Kontraindikasi: gangguan
Gemfibrozil fungsi hati/ginjal yang berat

Cholesterol Absorption 10 mg, 1x/hari


Inhibitor Dispepsia, sakit
Ezotimibe kepala/punggung

11
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

5. OBESITAS

Wilayah Asia Pasifik pada saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri.
Risiko Ko-Morbiditas
Lingkar Perut
Klasifikasi IMT (kg/m2)
< 90 cm (Laki-laki) ≥ 90 cm (Laki-laki)
< 80 cm (Perempuan) ≥ 80 cm (Perempuan)
Berat Badan < 18,5 Rendah (risiko Sedang
Kurang meningkat pada
masalah klinis lain)
Kisaran Normal 18,5-22,9 Sedang Meningkat
Berat Badan Lebih ≥ 23,0
Berisiko 23,0-24,9 Meningkat Moderat
Obes I 25,0-29,9 Moderat Berat
Obes II ≥ 30,0 Berat Sangat berat

TATALAKSANA
Terapi penurunan berat badan yang sukses meliputi empat pilar, yaitu diet
randah kalori, aktivitas fisik, perubahan perilaku dan obat-obatan/bedah.
Tujuan Penurunan Berat Badan
Penurunan berat badan harus SMART: Spesific, Measurable, Achieable,
Realistic, and Time limited. Tujuan awal dari terapi penurunan berat badan adalah untuk
mengurangi berat badan sebesar sekitar 10% dari berat awal.
Batas waktu yang masuk akal untuk penurunan berat badan sebesar 10% adalah
6 bulan terapi. Untuk pasien overweight dengan rentang BMI sebesar 27 sampai 35,
penurunan kalori sebesar 300 hingga 500 kkal/hari akan menyebabkan penurunan berat
badan sebesar ½ sampai 1 kg/minggu dan penurunan sebesar 10 persen dalam 6 bulan.
Setelah 6 bulan, kecepatan penurunan berat badan lazimnya akan melambat dan
berat badan menetap karena seiring dengan berat badan yang berkurang terjadi
penurunan energi ekspenditure.
Oleh karena itu, setelah tercapai penurunan berat badan selama 6 bulan, suatu
program penurunan berat badan harus dilakukan. Jika dibutuhkan penurunan berat
badan lebih banyak, dapat dilakukan penyesuaian lebih lanjut terhadap anjuran diet dan
aktivitas fisik.
Untuk pasien yang tidak mampu untuk mencapai penurunan berat badan yang
signifikan, pencegahan kenaikan berat badan lebih lanjut merupakan tujuan yang paling
penting. Pasien seperti ini tetap diikutsertakan dalam program manajemen berat badan.
Strategi Penurunan dan Pemeliharaan Berat Badan
Terapi Diet
Sebelum menganjurkan defisit kalori sebesar 500 hingga 1000 kkal/hari
sebaiknya diukur kebutuhan energi basal pasien terlebih dahulu. Pengukuran kebutuhan
energi basal dapat menggunakan rumus dari Harris-Benedict:
Laki-laki:
B.E.E = 66,5 + (13,75 x kg) + (5,003 x cm) – (6,775 x age)
Wanita:
B.E.E = 655,1 + (9,563 x kg) + (1,850 x cm) – (4,676 x age)

12
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah faktor stres dan
aktivitas. Faktor stres ditambah aktivitas berkisar dari 1,2 sampai lebih dari 2.
Di samping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan
30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja
tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori juga berkurang.
Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak
jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan kadar kolesterol-LDL.
Aktivitas Fisik
Untuk pasien obese, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitasnya
sebaiknya ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu
saat atau secara bertahap sepanjang hari.
Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan
jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit
dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energi
tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai.
Terapi Perilaku
Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan
dan aktivitas fisik, manajemen stres, stimulus control, pemecahan masalah, contigency
management, cognitive restructuring dan dukungan sosial.
Farmakoterapi
Pada pasien dengan indikasi obesitas, sibutramine dan orlistat sangat berguna.
Sibutramine ditambah diet rendah kalori dan aktivitas fisik terbukti efektif menurunkan
berat badan dan mempertahankannya. Dengan pemberian sibutramine dapat muncul
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Sibutramine sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan riwayat hipertensi, penyakit jantung koroner, gagal jantung
kongestif, aritmia, atau riwayat stroke.
Orlistat menghambat absorpsi lemak sebanyak 30 persen. Dengan pemberian orlistat,
dibutuhkan penggantian vitamin larut lemak karena terjadi malabsorpsi parsial. Semua
pasien harus dipantau untuk efek samping yang timbul. Pengawasan secara
berkelanjutan oleh dokter dibutuhkan untuk mengawasi tingkat efikasi dan keamanan.
Terapi Bedah
Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan.
Terapi ini hanya diberikan kepada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI ≥ 40
atau ≥ 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan sebagai alternatif
terakhir untuk pasein yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi
obesitas yang ekstrem.
Bedah gastrointestinal (restriksi gastrik [banding vertical gastric] atau bypass
gastric (Roux-en Y) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang
bermotivasi dengan risiko operasi yang rendak.
Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah
untuk memberikan panduan diet, aktivitas fisik, dan perubahan perilaku serta dukungan
sosial.

13
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

6. LIMFADENITIS TUBERKULOSIS

GAMBARAN KLINIS
- Pembesaran kelenjar getah bening yang lambat
- Unilateral atau bilateral
- Tunggal maupun multipel
- Tidak nyeri
- Paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang
di regio supraklavikular
- Demam
- Penurunan berat badan
- Fatigue
- Keringat malam
Limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima stadium yaitu:
a. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
b. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan sekitar
oleh karena adanya periadenitis.
c. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
d. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
e. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit. Kelenjar limfe
yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali:
a. terjadi infeksi sekunder bakteri
b. pembesaran kelenjar yang cepat atau
c. koinsidensi dengan infeksi HIV.
DIAGNOSIS
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa limfadenitis
TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi
- Pemeriksaan mikroskopis  minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan
dapat positif.
- Kultur  10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasil kultur positif.
b. Tes Tuberkulin
Positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi
5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm.
c. Pemeriksaan Sitologi
Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma
epiteloid, nekrosis kaseosa.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada
14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus.
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau
multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pada pembesaran

14
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion


tendency, peripheral halo, dan internal echoes.
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral, adanya
cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas di dalamnya, derajat
homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal
dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB. Pada MRI didapatkan adanya
massa yang diskret, konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada,
lebih sering terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini
bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya dengan kelenjar
metastatik (Bayazit & Namiduru, 2004).

PENATALAKSANAAN
Pengobatan gejala harus dimulai segera seperti pemberian:
a. Analgesik (penghilang rasa sakit) untuk mengontrol nyeri
b. Antipiretik dapat diberikan untuk menurunkan demam
c. Antibiotik untuk mengobati setiap infeksi sedang sampai berat
d. Obat anti inflamasi untuk mengurangi peradangan
e. Kompres dingin untuk mengurangi peradangan dan nyeri
f. Operasi mungkin diperlukan untuk mengeringkan abses.
Hindari pemberian aspirin pada anak karena dapat meningkatkan risiko sindrom
Reye pada anak. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi
untuk dilaksanakan biopsy kelenjar getah bening. Biopsy dilakukan bila terdapat tanda
dan gejala yang mengarahkan kepada keganasan, kelenjar getah bening yang menetap
atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau diagnosis belum dapat
ditegakkan. Secara umum pengobatan Limfadenitis yaitu :
a. Pengobatan dilakukan dengan tuberkulositik bila terjadi abses, perlu dilakukan
aspirasi dan bila tidak berhasil, sebaiknya dilakukan insisi serta pengangkatan
dinding abses dan kelenjar getah bening yang bersangkutan.
b. Virus  sembuh sendiri.
c. Bakteri  flucloxacillin dosis : 25 mg/kgBB 4 kali sehari.
Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotik golongan penicillin dapat
diberikan cephalexin dengan dosis : 25 mg/kgBB (dosis maksimal 500 mg) 3
kali sehari atau erythromycin 15 mg/kgBB (dosis maksimal : 500 mg) 3 kali
sehari.
d. Mycobacterium tuberculosis maka diberikan obat anti
tuberculosis selama 9-12 bulan  2RHZE/10RH.
7. MALARIA

GEJALA KLINIS
Masa tunas P. Vivax dan falciparum antara 10-14 hari, P. Malariae antara 18 hari
sampai 6 minggu. Pada masa prodromal gejala tidak khas: menggigil, demam, nyeri
kepala, nyeri otot (terutama punggung), nafsu makan menurun, dan cepat lelah.
Gejala khas: serangan berulang paroksismal dari rangkaian gejala menggigil –
demam – berkeringat disusul dengan periode rekonvalesensi.

15
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pada P. Vivax serangan demam terjadi tiap hari ketiga (malaria tertiana). P.
Falciparum kurang dari 48 jam (malaria tropika/subtertiana) dan P. Malariae tiap 72
jam (malaria kuartana).
Gejala-gejala lain: ikterus, anemia, hepatomegali, hipotensi postural,
urobilinuria, dan kadang-kadang diare.

DIAGNOSIS
1. Diagnosis per eksklusionum
- Anamnesis:
o Penderita baru bepergian ke daerah endemis malaria.
o Di Jawa Timur pun yang beberapa masa lalu dinyatakan bebas malaria
muncul kembali sebagai reemerging disease.
o Adanya rangkaian gejala: menggigil, demam tinggi, berkeringat banyak,
disusul stasium sembuh, gejala tersebut bersifat serangan berulang
(paroksismal). Air seni berwarna merah seperti teh, nyeri kepala dan otot
(terutama otot punggung), nafsu makan menurun.
- Fisik: pucat, anemia, ikterus, hipotensi postural, hepatomegali, splenomegali.
- Dengan pengobatan anti malaria penderita sembuh (pengobatan eksjuvan-tibus).

2. Diagnosis laboratorik
- Air seni berwarna merah seperti air teh karena mengandung urobilin; anemia
hemolitik; pada sediaan darah tipis dan tebal nampak adanya parasit malaria
dalam eritrosit (pengecatan Giemsa atau Wright).
- P. vivax: pada hapusan darah tipis maupun tebal dapat dilihat eritrosit yang
mengandung parasit membesar, terdapat titik Schoeffner dan sitoplasmanya
berbentuk ameboid.
- P. ovale: mirip P. vivax, hanya eritrosit yang mengandung parasit berbentuk
oval.
- P. malariae: pada sediaan tipis, nampak parasit berbentuk pita (band), skizon
berbentuk bunga mawar dan trofozoid bulat kecil-kecil nampak kompak
dengan tumpukan pigmen yang kadang-kadang menutupi sitoplasma/inti atau
keduanya.
- P. falciparum: pada sediaan darah tipis, nampak gametosit berbentuk pisang;
terdapat bentuk maurer.
- Pada sediaan tetes tebal, nampak banyak sekali bentuk cincin kecil-kecil tanpa
bentuk dewasa yang lain (stars in the sky); terdapat bentukan balon merah di
sisi luar gametosit.
- Pemeriksaan QBC (Semi Quantitative Buffy Coat)
- Pemeriksaan imunoserologi, dengan metode RIA atau ELISA.

DIAGNOSIS BANDING
Influenza, gastroenteritis, salmonellosis, dan leptospirosis.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan serangan malaria akut (pengobatan radikal).

16
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

I. Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg (basa),
hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1
s/d 3.
II. Malaria falsiparum yang kebal Chloroquine.
a. Sulphadoxin-primethamine dosis tunggal 3 tablet, ditambah primaquine
dosis tunggal 45 mg pada hari ke-1.
b. Kina sulfat: 3 x 400 mg/hari selama 7 hari, dosis tunggal 45 mg pada hri ke-
1. Kemudian dapat diikuti: Doxycycline 2 x 100 mg/hari selama 7 hari atau
clindamycine 900 mg/hari selama 5 hari.
III. Malaria vivaks, ovale, dan malariae
Chloroquine: hari ke-1 dan ke-2 masing-masing dosis tunggal 600 mg (basa)
hari ke-3 300 mg, ditambah primaquine dosis tunggal 15 mg/hari pada hari ke-1
s/d ke-5
IV. Malaria dengan penyulit (malaria pernisiosa), misalnya malaria serebralis:
a. Kina dihidroklorida 600 mg dalam 500 ml dextrose 5% diberikan secara
infus intravena selama 4 jam, dapat diulang tiap 8 jam. Atau kina
hidroklorida 20 mg/kgBB dalam 500 ml dextrose 5% diberikan selama 4
jam diikuti 10 mg/kgBB diberikan dalam 2-4 jam dan dapat diulang setiap 8
jam (dosis maksimum 1800 mg/hari).
b. Chloroquine sulfat 300 mg dalam 200 ml garam faali diberikan secara infus
intravena selama 30 menit, dapat diulang tiap 8 jam.
Bila penderita sudah sadar, secepatnya sisa obat diberikan peroral sesuai
dengan pengobatan radikal.
Pengelolaan malaria falsiparum berat:
1. Chloroquine atau kina, parenteral dengan dosis adekuat, seperti tersebut di atas.
2. Turunkan suhu badan apabila terjadi hiperpireksia dengan antipiretik dan
kompres.
3. Rehidrasi (hati-hati terjadi over-hydration yang merupakan risiko edema paru)
4. Antikonvulsan apabila terjadi kejang-kejang
5. Pertimbangkan dexamethasone pada malaria serebralis.
6. Obati gagal ginjal yang terjadi dengan dialisis peritoneal
7. Transfusi darah untuk penderita anemia berat
8. Cairan dan plasma expander apabila terjadi renjatan (algid malaria)
9. Pertimbangakan exchange transfusion pada penderita koma dengan parasitemia
berat
10. Awasi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, bila ada obati dengan infus
dextrosa.

Pengobatan supresif atau presumtif


Diterapkan pada penderita semi-imun di daerah endemis malaria
1. Untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal 600 mg
satu kali.
2. Malaria falsiparum kebal Chloroquine: Chloroquine dosis tunggal 600 mg satu
kali, ditambah primaquine dosis tunggal 45 mg satu kali.

Pengelolaan alternatif lain untuk malaria falsiparum kebal Chloroquine

17
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Amodiaquine: hari ke-1 600 mg, disambung 6 jam kemudian dengan 400 mg,
hari ke-2 400 mg dan hari ke-3 400 mg. Dapat digabung dengan erythromycine
3 x 500 mg/hari selama 5 hari.
2. Kombinasi kina dengan tetracycline. Kina 3 x 400 mg selama 7 hari dikombinasi
dengan tetracycline 3 x 500 mg selama 5 hari.

18
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

8. REAKSI ANAFILAKSIS

PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap anafilaksis seyogyanya mengikuti prinsip-prinsip resusitasi
gawat darurat seperti tabel di bawah ini.
 Segera berikan suntikan Epinefrin 1:1000 0,3 ml intramuskular di daerah deltois
paha lateral (vastus lateralis)
 Hentikan obat-obat atau senyawa yang diduga sebagai pencetus anafilaksis (obat-
obat intravena,antibiotik, media kontras radiografi, produk yang berasal dari darah,
sengat serangga, dll)
 Ukur tekanan darah dan nadi, pertimbangkan tindakan resusitasi kardiopulmoner
 Bergantung pada derajat keparahan reaksi, respons terhadap pengobatan dan
kondisi masing-masing penderita, berikan:
Terapi oksigen melalui masker atau kanula hidung
Infus cairan garam fisiologis intravena
Diphenhydramine 50 mg intramuskuler atau intravena (secara perlahan)
Ranitidin 50 mg atau Cimetidine 300 mg intravena (bila diperlukan)
Methylprednisolone 125 mg intravena atau Hydrocortisone 100-200 mg
intravena
 Ulangi pemberian epinefrin tiap 15-20 menit bila diperlukan
 Waspadai kemungkinan hipotensi dan kondisi yang memerlukan intubasi
 Bila tekanan darah darah sistolik < 90 mmHg, lakukan:
Pasang 2 jalur infus dengan diameter besar (18 G)
Berikan cairan garam fisiologis tetasan cepat (diguyur)
Dopamin 400 mg (2 ampul) dalam 500 ml Dextrose 5% tetesan cepat hingga
tekanan darah sistolik > 90 mmHg lalu dititrasi secara perlahan
Bila tindakan tersebut tidak efektif pertimbangkan Norepinefrin (Levophed) 2
mg (1 ampul) dalam 250 ml Dextrose 5% titrasi secara perlahan setelah
tekanan darah sistolik mencapai > 90 mmHg
 Bila terjadi bronkospasme, wheezing atau sesak nafas, berikan:
Epinefrin seperti petunjuk di atas, bila tidak efektif pertimbangkan
Salbutamol/Terbutalin secara nebulisasi atau inhalasi (2 semprotan)
Oksigen hingga 100% menggunakan masker
 Bila dijumpai stridor
Epinefrin seperti petunjuk di atas
Oksigen hingga 100% menggunakan masker
Intubasi atau trakeostomi untuk mengatasi obstruksi saluran nafas atas
Langkah yang cepat dan tepat sangat menentukan hasil akhir pengobatan.
Semakin lama pengobatan awal tertunfa, semakin besar angka kematian. Bebaskan jalan
nafas dan pertahankan sirkulasi darah yang adekuat. Langkah pertama yang harus
segera dilakukan adalah pemberian Epinefrin (adrenalin) dalam larutan 1:1000 secara
intramuskular di daerah lengan sebelah luar (otot deltoid)atau paha sebalah luar (otot
vastus lateralis) dengan dosis 0,3 ml (0,01 ml/kgBB). Dosis tersebut dapat diulang tiap
15-20 menit bila diperlukan. Penderita yang mendapat terapi penyekat β seringkali
resisten terhadap epinefrin sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi. Bila anafilaksis

19
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

disebabkan oleh sengatan binatang atau suntikan obat di daerah ekstremitas perlu
diapsang torniket di sebelah proksimal sengatan atau suntikan. Torniket ini perlu
dilepaskan selama 1-2 menit setiap 10 menit. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik
secara tepat dan menyeluruh untuk menentukan organ sasaran yang terkena agar
pengobatan yang sesuai dapat segera diberikan.
Kortikosteroid tidak banyak membantu pada tatalaksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi yang sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Methylprednisolone 125 mg intravena
dapat diberikan tiap 4-6 jam.
 Syok
Tujuan penatalaksanaan syokadalah untuk mempertahankan sirkulasi darah dan
pertukaran udara yang adekuat penderita dibaringkan dalam posisi Trendelenberg
dengan tungkai yang dielevasi. Setelah pemberian Epinefrin 1:1000 intramuskular
dengan dosis 0,3-0,5 ml (0,01 ml/kgBB) pada lengan atas (deltoid) atau paha lateral
(vastus lateralis), selanjutnya segera dipasang 2 jalur infus dengan cairan larutan
garam fisiologis tetesan cepat (guyur). Berikan sebanyak 1 L tiap 15-30 menit
sementara tanda vital dn produksi urin dipantau. Kadang-kadang perlukan cairan
sebanyak 5-7 L atau lebih dalam wkatu 12 jam. Bila perlu dapat dipasang kateter
vena sentral untuk memantau kecukupan cairan. Obat vasopresor seperti dopamin
dapat dipertimbangkan bila pemberian cairan tidak mengatasi syoknya. Penderita
penyakit jantung memerlukan dosis Epinefrin yang lebih rendah (0,1-0,2 ml) yang
dapat diulang tiap 10 menit. Efek pemberian Epinefrin ini meliputi relaksasi otot
polos bronkus, peningkatan tonus otot polos vaskuler, dan mengurangi pelepasan
mediator oleh sel mast.
 Obstruksi bronkus
Epinefrin sangat efektif dan bekerja cepat untuk mengatasi bronkospasme. Bila
gejala tidak teratasi dapat diberikan nebulisasi bronkodilator β adrenergik
(Salbutamol atau Terbutalin sulfat). Methylprednisolone 125 mg dapat diberikan
tiap 4-6 jam pada penderita dengan gejala yang berat atau yang tidak responsif
terhadap Epinefrin. Oksigen dapat diberikan melalui kanula hidung atau masker
bila PaCO2 < 55 mmHg. Bila PaCO2 > 65 mmHg penderita mengalami gagal nafas
dan memerlukan intubasi serta bantuan nafas mekanis.
 Edema laring
Penderita dengan obstruksi laring menunjukkan gejala stridor. Pemasangan pipa
endotrakeal mungkin mengalami kesulitan akibat edema laring. Pada kondisi
demikian perlu segera dilakukan pungsi membrana krikotirois menggunakan jarum
pendek no. 14G atau 16G. Bila prosedur trakeostomi dilakukan di luar rumah sakit,
maka metode krikotirotomi lebih disukai. Bila dilakukan di rumah sakit maka
metode bedah trakeostomi lebih disukai.
 Urtikaria, Angioedema, dan Gejala Gastrointestinal
Gejala-gejala init idak mengancam jiwa dan biasanya memberikan respons terhadap
antihistamin. Jika gejala ringan cukup diberikan antihistamin oral. Bila gejala
cukup berat dapat diberikan Diphenhydramine intramuskuler atau intravena dengan
dosis 50 mg (1-2 mg/kgBB). Dapat pula diberikan Ranitidin 50 mg atau Cimetidin
300 mg intravena. Dosis antihistamin diulang tiap 6 jam selama 48 jam untuk
mengurangi risiko kambuhnya gejala.

20
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

9. TUBERKULOSIS PARU

DEFINISI KASUS
Kasus baru (new case):
Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan.
Kambuh (relaps):
Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap. Kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif (hapusan atau kultur).
Gagal pengobatan (treatment after failure):
Penderita yang memulai pengobatan kategori 2 setelah gagal dengan pengobatan
yang sebelumnya.
Yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA megatif menjadi
positif pada akhir bulan ke-2.
Pengobatan setelah default (treatment after default/drop out):
Penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah berhenti
minum obat 2 bulan atau lebih.
Pindahan (transfer in):
Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah
ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/pindah (form TB
09).
Kasus kronik:
Penderita dengan hasil BTA tetap positif setelah selesai pengobatan ulang dengan
kategori 2.

DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.
Gejala
Respiratorik : batuk > 3 minggu, berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak napas.
Sistemik : demam, keringat malam, malaise, nafsu makan menurun, berat badan
turun.
Penderita dengan gejala tersebut dianggap sebagai curiga TB dan harus diperiksakan
dahaknya. Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu/SPS) dengan
cara pengecatan.
Pemeriksaan fisik
Tanda fisik penderita TB tidak khas, tidak dapat membantu untuk membedakan
TB dengan penyakit paru lain. Tanda fisik tergantung pada lokasi kelainan serta luasnya
kelainan struktur paru. Dapat ditemukan tanda-tanda antara lain penarikan struktur
sekitar, suara napas bronkial, amforik, ronki basah, pada efusi pleura didapatkan gerak
napas tertinggal, keredupan dan suara mapas menurun sampai tidak terdengar. Bila
terdapat limfadenitis tuberkulosa didapatkan pembesaran kelenjar linfe, sering di daerah
leher, kadang disertai adanya skrofuloderma.
Pemeriksaan laboratorium

21
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis.


Spesimen dapat berupa dahak, cairan pleura, cairan serebrospinalis, bilasan lambung,
bronchoalveolar lavage, urin, dan jaringan biopsi. Pemeriksaan dapat dilakukan secara
mikroskopis dan biakan.
Pemeriksaan dahak untuk menemukan basil tahan asam merupakan pemeriksaan
yang harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita tuberkulosis atau suspek.
Pemeriksaan dahak dilakukan 3 kali (sewaktu-pagi-sewaktu/SPS), dengan pewarnaan
Ziehl-Nielsen atau Kinyoun Gabbet. Interpretasi pembacaan didasarkan skala IUATLD
atau bronkhorst.
Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam pada
pemeriksaan hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif
bila sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemikan BTA (+).
Bila hanya 1 spesimen yang positif, perlu pemerikaan foto thoraks atau SPS
ulang. Bila foto thoraks mendukung TB maka didiagnosis sebagai TB paru BTA (+).
Bila foto thoraks tidak mendukung TB maka perlu dilakukan pemeriksaan SPS ulang.
Bila SPS ulang hasilnya negatif berarti bukan penderita TB. Bila SPS-positif, berarti
penderita TB BTA (+). Bila foto toraks mendukung TB tetapi pemeriksaan SPS negatif,
maka diagnosis adalah TB paru BTA negatif rontgen positif.
Foto toraks
Pada kasus di mana pemeriksaan sputum SPS positif, foto toraks tidak
diperlukan lagi. Pada beberapa kasus dengan hapusan positif perlu dilakukan foto toraks
bila:
 Curiga adanya komplikasi (misal: efusi pleura, pneumotoraks)
 Hemoptisis berulang atau berat
 Didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+)
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB aktif:
1. Bayangan berawan/nodualr di segmen apical dan posterior lobus atas dan
segmen superior lobus bawah paru.
2. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura.
Gambaran radiologis yang dicurigai TB inaktif:
1. Fibrotik, terutama pada segmen apical dan atau posterior lobus atas dan atau
segmen superior lobus bawah.
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura
Destroyed lung
Gambaran radiologis yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Sulit untuk menilai aktiviti penyakit
berdasarkan gambaran radiologis tersebut. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologis
untuk mengetahui aktivitas penyakit.
Luas proses yang ampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dinyatakan
sbb:
1. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari datu atau dua paru dengan luas
lesi tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrosternal junction

22
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

dari iga kedua dan prosesus spinosus vertebra torakalis IV, atau korpus vertebra
torakalis V (sela iga ke-2) dan tidak dijumpai kaviti.
2. Lesi luas, bila proses lebih dari lesi minimal.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan darah rutin kurang spesifik. LED penting sebagai indikator
kestabilan penyakit sehingga dapat digunakan untuk evaluasi penyembuhan.
Pemeriksaan serologi dilakukan denagn metode Elisa, Mycodot, PAP (Peroksidase Anti
Peroksidase). Teknik lain untuk mengidentifikasi M. tuberculosis dengan PCR
(polymerase chain reaction), RALF (Restrictive Fragment Length Polumorphisms),
LPM (Light Producing Maycobacterophage).
Pemeriksaan histopatologi jaringan, diperoleh melalui transbronchial lung biopsy,
transthoracal biopsy, biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar dan organ lain di
luar paru. Diagnosis TB ditegakkan bila jaringan menunjukkan adanya granuona dengan
perkejuan.

PENATALAKSANAAN
Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan penderita,
mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan
mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif
dengan pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB
didasarkan pada rekomendasi WHO.
Terdapat 4 populasi kuman TB yaitu:
1. “Metabolically active”, yaitu kuman yang terus tumbuh dalam kaviti
2. “Basili inside cell”, misal dalam makrofag
3. “Semi dorman bacili” (persisten)
4. “Dorman bacili”
Pengobatan tuberkulosis memerlukan waktu lama karena sulit untuk membunuh
kuman semi dorman.
Terdapat 3 aktivitas anti tuberkulosis yaitu:
1. Obat bakterisidal: INH, rifampisin, pirazinamid
2. OAT dengan kemampuan sterilisasi: Rifampisin, PZA
3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi: rifampisin dan INH, sedangkan
streptomisin dan etambutol kurang efektif.
OBAT ANTI TB
Dosis mg/kg
OAT Sifat Potensi Intermiten
Harian
3x/wk 2x/wk
Isoniazidn(H) Bakterisidal Tinggi 5 10 15
Rifampicin (R) Bakterisidal Tinggi 10 10 10
Pirazinamid (Z) Bakterisidal Rendah 25 35 50
Streptomycin (S) Bakterisidal Rendah 15 15 15
Etambutol (E) Bakteriostatik Rendah 15 30 45

KODE REGIMEN PENGOBATAN TB


Pengobatan TB terdiri dari 2 fase, yaitu:
Fase inisial/fase intensif (2 bulan):

23
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pada fase ini membunuh kuman dengan cepat. Dalam waktu 2 minggu penderita
yang infeksius menjadi tidak infeksius, dan gejala klinis membaik. Kebanyakan
penderita BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Pada fase ini
sangat penting adanya pengawasan minum obat pleh PMO (Pengawas Minum
Obat).
Fase lanjutan (4-6 bulan):
Bertujuan membunuh kuman persisten (dorman) dan mencegah relaps. Fase ini
juga perlu adanya PMO.
Contoh kode pada regimen pengobatan TB:
2 (HRZE)/4 HR
Fase inisial adalah 2 (HRZE), lama pengobatan 2 bulan, dengan obat INH, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol diminum tiap hari.
Fase lanjutan adalah 4 (HR)3, lama pengobatan 4 bulan, dengan INH dan rifampisin,
diminum 3 kali seminggu.

24
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Recomended treatment regiment for each diagnostic category


TB TREATMENT REGIMENS
INITIAL CONTINUATION
TB
PHASE PHASE
DIAGNOSTIC TB PATIENTS
DAILY OR 3 (DAILY OR 3
CATEGORY
TIMES TIMES
WEEKLY) WEEKLY)
I New smear positive patients; 2 HRZEb 4 HR
New smear-negative PTB with or
extensive parenchymal 6 HE daily
envolvement;
Severe concomitant HIV
disease or severe forms of
EPTB
II Previously treated sputum 2 HRZES/ 5 HRE
smear-positive PTB: 1 HRZE
- Relaps
- Treatment after interruption
- Treatment failure
III New-smear negative PTB (other 2 HRZEc 4 HR
than in category I); or
Less severe forms of EPTB 6 HE dailyc
IV Chronic and MDR-TB case Specially designed standarized or
(still sputum-positive after individualized regimens are
supervised re-treatment) suggested for this category
a “Direct observation” of drug intake is required during the initial phase of
treatment in smear-positive cases, and always in treatment that includes
rifampicin
b Streptomisin dapat digunakan sebagai pengganti etambutol. Pada kasus
meningitis TB etambutol harus diganti dengan streptomisin.
c Regimen HE berhubungan dengan angka gagal pengobatan dan kambuh yang
tinggi dibandingkan dengan pengobatan regimen yang menggunakan rifampisin
selama fase lanjutan.
d Bila mungkin, direkomendasikan untuk dilakukan tes sensitivitas terhadap OAT
sebelum pemberian obat kategori II pada kasus gagal pengobatan. Penderita
yang terbukti MDR-TB direkomendasikan menggunakan OAT kategori OAT
plus.
e Etambutol dapat tidak digunakan selama pengobatan fase inisial pada penderita
tanpa adanya kavitas pada paru; hapusan dahak negatif pada penderita HIV-
negatif; telah diketahui terinfeksi dengan kuman yang sensitif terhadap OAT;
dan penderita muda TB primer.
f Kontak dengan penderita yang terbukti MDR-TB dipertimbangkan untuk
dilakukan kultur dan tes sensitivitas.

TB ekstra pulmoner meliputi:


Berat Ringan

25
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Meningitis  Kelenjar limfe


 Milier  Efusi pleura unilateral
 Perikarditis  Tulang (kecuali spinal)
 Peritonitis  Sendi kecil
 Efusi pleura bilateral/massif  Kelenjar adrenal
 Spinal
 Intestinal
 Genitourinaria

INDIKASI STEROID PADA TB


Steroid pada kasus TB diindikasikan pada meningitis, perikarditis, efusi pleura
masif, TB kelenjar adrenal, laringitis, TB pada ginjal/saluran kencing, TB kelenjar limfe
yang luas dan pada reaksi hipersensitivitas akibat OAT.
PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS
Kehamilan dan menyusui
Hampir semua obat anti tuberkulosis aman untuk kehamilan, kecuali
streptomisin. Streptomisin tidak boleh digunakan pada kehamilan karena sifat ototoksik
pada janin.
Pada penderita TB yang menyusul, semua OAT dapat diberikan. Bila bayinya
juga mendapat OAT, dianjurkan untuk tidak menyusui agar bayi tidak mendapat dosis
berlebihan.
Kontrasepsi oral
Rifampisin berinteraksi dengan obat kontrasepsi hormonal dengan risiko
penurunan efektifitas kontrasepsi, sehingga diperlukan dosis kontrasepsi yang lebih
tinggi (estrogen 50µg). Atau disarankan untuk menggunakan jenis kontrasepsi lain.
Gagal ginjal
Rifampisin, INH dan pirazinamid aman digunakan untuk penderita gagal ginjal.
Jangan menggunakan streptomisin, kanamisin dan capreomisin. Hindari penggunaan
etambutol. Digunakan hanya bila tidak ada alternatif obat lain, dengan menyesuaikan
dosis sesuai dengan fungsi ginjal.
Penyakit hati kronik
Pirazinamid tidak boleh diberikan. INH dan rifampisin plus satu atau dua obat
non-hepatotoksik seperti streptomisin dan etambutol dapat diberikan dengan total
pengobatan 8 bulan. HE pada fase lanjutan dengan total pengobatan 12 bulan.
Regimen yang direkomendasikan adalah 2 SHRE/6 HR; 9 RE atau 2 SHE/10 HE.
Hepatitis akut
Sebaiknya OAT ditunda dulu sampai hepatitis sembuh. Bila sangat diperlukan
OAT dapat diberikan dengan kombinasi SE selama 3 bulan. Selanjutnya setelah
hepatitis sembuh daoat diberikan fase lanjutan selama 6 bulan dengan INH dan
Rifampisin. Bila hepatitis tidak menyembuh, SE diteruskan sampai 12 bulan. Regimen
yang diberikan 3 SE/ 6 HR atau 12 SE.

MULTI DRUGS RESISTANCE TB


Yaitu penderita TB aktif dengan kuman yang resisten terhadap sedikitnya
rifampisin dan INH, dengan atau tanpa disertai resistensi terhadap obat lain. MDR TB
terjadi akibat pengobatan yang tidak rasional, seperti pemberian resep yang tidak benar

26
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

oleh dokter, regimen yang tidak benar, penggunaan obat tidak lengkap dan
berkesinambungan atau oleh karena tidak adanya supervisi dalam pengobatan.

DOTS (Directly Observe Treatment Shortcourse)


Sejak tahun 1995 program pemberantasan penyakit TB dilaksanakan dengan
strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Di Indonesia dituangkan dalam
bentuk GERDUNAS-TB (Gerakan Terpadu nasional TB). Yang dimaksud dalam
strategi DOTS adalah:
1. Adanya komitmen pemerintah untuk menanggulangi TB
2. Penemuan kasus secara langsung dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
3. Pemberian obat yang diawasi secara langsung (DOT = Directly Observe
Treatment)
4. Penyediaan obat secara teratur, menyeluruh dan tepat waktu
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan

27
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

10. GASTROENTERITIS

TATALAKSANA
 Nonfarmakologis: istirahat atau tirah baring, makanan lunak, minum cairan
oralit ad libitum
 Rehidrasi dapat per oral pada dehidrasi ringan dan parenteral pada dehidrasi
sedang serta berat
 Untuk diare tipe sekretori dapat diberikan racecadotril 3x1 tablet selama 3 hari
 Farmakologis: pada dehidrasi ringan tindakan rehidrasi dapat diberikan per oral
sedangkan untuk dehidrasi sedang berat, rehidrasi dilakukan secara parenteral
dengan memakai cairan ringer laktat. Pada prinsipnya jumlah cairan yang
diberikan sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan airan
dapat dihitung dengan cara metode Daldiyono atau berat jenis plasma atau
metode Pierce.
Terapi definitif:
Kolera eltor : Tetrasiklin 4x500 mg/hari selama 3 hari
Salmonellosis : Ampisilin 4x1 g/hari selama 10-14 hari
Shigellosis : Ampisilin 4x1 g/hari selama 5 hari
Amebiasis : Metronidazol 4x500 mg/hari selama 3 hari

KOMPLIKASI
 Dehidrasi dan syok hipovolemik
 Gangguan elektrolit, kalium, natrium, klorida, yang dapat menyebabkan ileus
paralitik dan gangguan konduksi jantung
 Gagal ginjal akut
 Asidosis metabolik

KOLERA
Pengobatan
Pengobatan kausal dan simtomatis dilakukan secara simultan; namun yang
terpenting adalah pemberian air dan elektrolit sebagaipengganti yang hilang.
1. Rehidrasi dalam 2 tahap: rehidrasi awal dilanjutkan maintenance
2. Terapi infus pada: dehidrasi berat, renjatan hipovolemik, muntah-muntah tak
terkontrol, adanya penyulit berat
Kasus ringan dan sedang: oral dengan bahan rehidrasi oral.
Cairan rehidrasi oral WHO mengandung: NaCl 2,5 g; NaHCO3 3,5 g; KCl 1,5 g;
Glukosa 20,0 g dialrutkan dalam air 1 liter.
Cairan infus yang dapat dipakai: Ringer laktat (mengandung 130 mmol Na, 4 mmol K,
109 mmol Cl, 28 mmol base). Karena cairan tinja mengandung 135 mmol Na, 15 mmol
K, 100 mmol Cl, dan 45 mmol basa; maka cairan RL sebenarnya perlu tambahan
Kalium (10 mg/liter)
Kriteria dehidrasi: memakai metode klinis
1. Metode Pierce didasarkan atas tanda klinis dehidrasi:
a. Dehidrasi ringan: kebutuhan cairan 5% BB
b. Dehidrasi sedang: kebutuhan cairan 8% BB
c. Dehidrasi berat: kebutuhan cairan 10% BB

28
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2. Pemeriksaan Berat Jenis Plasma: dengan larutan Cupri sulfat atau Refraksimeter
Defisit cairan dihitung dengan rumus berikut:

Antibiotik dapat memperpendek masa diare dan mengurangi jumlah cairan untuk
replasemen, serta mengurangi pengeluaran kuman dalam tinja. Dapat dipakai:
1. Tetrasiklin 50 mg/kgBB terbagi 4 dosis (untuk dewasa)
2. Kotrimoksazol (untuk anak-anak)
Pengobatan diberikan selama 3-5 hari

Pencegahan
Perbaikan higiene sanitasi, penyediaan air minum yang sehat. Perbaikan fasilitas
makan-minuman. Bagi mereka dalam perjalanan disarankan hanya minum air kemasan
(botol/kaleng).
Imunisasi dapat memakai parenteral (inactivated vibrio) atau oral.

29
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

11. DEMAM TIFOID

DIAGNOSIS
Diagnosis semam tifoid ditegakkan berdasarkan gejala klinis, ditunjang denagn
pemeriksaan laboratorium.
Gambaran Klinis
Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5-30 tahun,
laki-laki sama dengan wanita, jarang pada umur di bawah 2 tahun maupun di atas 60
tahun.
Anamnesis
1. Masa inkubasi: umumnya 3-60 hari
2. Biasanya pada anamnesis, saat masuk rumah sakit didapatkan keluhan utamanya
adalah demam, yang diderita ± 5-7 hari, yang tidak berhasil diobati dengan
antipiretika. Demam bersifat bertahap makin naik setiap hari (step ladder),
disertai dengan lemah badan (lesu), malas, nyeri kepala, nyeri otot, punggung
dan sendi, perut kembung, kadang-kadang nyeri, obstipasi (kadang-kadang
diare), mual, muntah, batuk.
3. Perlu diselidiki apakah penderita berasal dari atau bepergian ke daerah endemis
demam tifoid (wisatawan). Kebiasaan mkan-minum (kerang, ice cream, air
mentah). Perlu ditanya apakah pernah menjalani vaksinasi demam tifoid.
Manifestasi Klinis
Penderita nampak lesu, letih, wajah “kosong”. Kadang-kadang penderita
nampak gelisah, “delirium” atau koma.
Gejala lain yang dapat dijumpai:
Demam, bradikardi relatif, pendengaran menurun, tifoid tongue, rose spots,
bronchitic chest, tidak enak di perut (abdominal terderness), kembung, hepatomegali,
splenomegali.
Laboratorium
Urine Abiminuria
Tes Diazo positif
1. Urine + reagen Diazo + beberapa tetes amonia 30% (dalam tabung reaksi) →
dikocok → buih berwarna merah atau merah muda.
2. Biakan kuman (paling tinggi pada minggu II/III diagnosis pasti atau sakit
carrier)
Tinja
1. Ditemukan banyak eritrosit dalam tinja (Pra-Soup Stool, kadang-kadang darah
(bloody stool)
2. Biakan kuman (diagnosis pasti atau carrier post tyfi pada minggu II/III sakit)
Darah
Leukopenia atau leukopeni relatif, kadang-kadang leukositosis
Netropeni
Limfositosis
Aneosinofilia
Anemia
Laju Endap Darah (LED)
SGOT/SGPT meningkat

30
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Biakan kuman (paling tinggi pada minggu I sakit, diagnosis pasti Demam tifoid)
Minggu I: 80-90%, minggu II: 20-25%, minggu III: 10-15%
Serologi
Deteksi Antibodi
1. Tes Aglutinin
Tes Widal ada 2 metode:
a. Metode “tube” (standard)
 Titer O tinggi dan/atau terjadi kenaikan titer 4 kali lipat dengan jarak
waktu 7 hari pemeriksaan pertama dan kedua (O lebih spesifik dari H)
 Hasil diperoleh setelah 2-3 hari
b. Metode “slide”
 Lebih cepat dari metode “tube”
 Hasil selesai dalam waktu 1 hari
 Widal/kurang spesifik (Ag bukan lokal)
 Lokal Ag → hasil lebih spesifik
2. Tes “Enzyme Linked Immune Sorbent Assay” (ELISA), ada 2 macam:
a. Deteksi antibodi, menggunakan antigen O, H, dan Vi
 Dapat mendeteksi antibodi IgA, IgM, dan IgG S. typhi.
b. Dengan menggunakan protein Ag khusus dibuat tes “Dot enzyme immuno
Assay” (Dot-EIA) dengan menggunakan kertas nitroselulose (tes Dipstick)
 Diagnosis cepat (3-4 jam)
 IgM (+) → Demam tifoid akut
 IgG (+) → relaps
Deteksi antigen
1. Tes koagulasi (koag)
a. Digunakan antisera Vi → Vi-koag
b. Lebih cepat dari biakan kuman
2. Tes ELISA
a. Digunakan ELISA indirek dari bahan air seni dan darah penderita
b. Digunakan antibodi monoklonal yang ditempelkan pada kertas nitroselulose
Deteksi DNA
Dapat dilakukan dengan 2 cara:
1. Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe)
Kurang sensitif apabila jumlah S. typhi dalam darah penderita rendah
2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
a. Dapat mendeteksi strain S. typhi dan untuk pembuatan vaksin
b. Waktu pemeriksaan cepat (± 6 jam) tapi akurat
Sumsum tulang
a. Biakan sumsum tulang
b. Sangat sensitif (95%)
c. Tidak dipengaruhi oleh pemberian antibiotika dan fase penyakit
d. Invasif (perlu tenaga ahli biopsi sumsum tulang)
DIAGNOSIS BANDING
1. Richettsiosiz
2. Brucellosis
3. Tularemia

31
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

4. Leptospirosis
5. Milliary Tuberculosis
6. Viral hepatitis
7. Infections Mononucleosis
8. Cytomegalovirus
9. Malaria
10. Lymphoma

TATALAKSANA
1. Penderita dirawat di bangsal umum (tidak perlu di bangsal khusus “isolasi”)
2. Pada fase akut, diharuskan tirah baring “absolut” dan diet khusus “tifoid diit”
3. Diberlakukan pembera makanan “Padat Dini” (nasi + lauk pauk sayuran rendah
serat). Pada penderita Demam Tifoid tidak berkomplikasi, yang terbukti
bermanfaat mempercepat penyembuhan (rata-rata dalam waktu 7-10 hari,
sedangkan sebelumnya rata-rata 14 hari). Pemberian suplemen protein oral
(“Protein”-bubuk susu kedelai) pada penderita demam tifoid juga menunjukkan
penderita lebih cepat sembuh.
Terapi Medikamentosa
Obat anti tifoid yang dapat digunakn sampai saat ini adalah Chloramphenicol,
tiamphenicol, Cotrimoxazol, Ampicilin, Amoxicyllin, Cephalosporin generasi-III
(misalnya: Ceftriaxon), dan Quinolone golongan 4-Fluoroquinolone (misalnya:
Ciprofloxacin, Norfloxacin, Ofloxacin, Pefloxacin), dan Azithromycine.
“Carrier” kronis
“Carrier” kronis adalah indivisu yang mengeluarkan S. typhi baik dari tinja
(faecal carrier) atau air seninya (urinary carrier) selama 1 tahun atau lebih.
Pada demam tifoid sumber infeksi dari “carrier” kronis adalah kandung empedu dan
ginjal (infeksi kronis, batu, atau kelainan anatomi). Oleh akrena itu apabila terapi
medika-mentosa dengan obat antitifoid gagal harus dilakukan operasi untuk
menghilangkan batu atau memperbaiki kelainan anatominya.
Obat pilihan saat ini:
1. Amoxicillin 3x1000-2000 mg/hari selama 6 minggu
2. Golongan quinolone yaitu Ciprofloxacin 2x500 mg/hari atau Norfloxacin 2x400
mg/hari selama 4 minggu
3. Cotrimoxazole 2x2 tablet (160/800) selama 6 minggu
4. Apabila “urinary carrier” disebabkan karena infeksi dengan cacing
schistosoma, maka perlu ditambah terapi dengan praziquantel
5. Kadang-kadang setelah cholesystectomy, penderita masih tetap menjadi
“carrier”. Untuk ini perlu diberikan pengobatan jangka lama sampai terbukti
tidak mengeluarkan Salmonella typhi lagi.
Demam Tifoid pada Penderita AIDS
1. Terapi demam tifoid pada penderita AIDS sulit, karena sering terjadi relaps
2. Quinolone merupakan obat pilihan karena mempunyai efek sinergik dengan
antiretroviral Zidovudine. Pemberian Ciprofloxacin 2x500 mg oral selama 6
minggu, umumnya dapat mengatasi demam tifoid pada penderita AIDS.
Kadang-kadang diberikan sampai 1-8 bulan.

32
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

3. Cotrimoxazole merupakan obat pilihan kedua karena obat ini juga dapat
mengobati pneumocystic-carinii pneumonia yang terjadi pada penderita AIDS.
Sampai saat ini obat pilihan utama untuk demam tifoid di Indonesia adalah
Chloramphenicol. Hal ini disebabkan karena sensitifitasnya masih tinggi, cukup aman
(jarang terjadi efek samping obat) dan murah harganya.
Dosis
1. Dewasa, 50-60 mg/kgBB/hari (4x500 mg/hari) oral/i.v. selama 14 hari, biasanya
sampai 7 hari bebas demam.
2. Anak-anak 25 mg/kgBB/hari.
3. Kontraindikasi
a. Ibu hamil dan menyusui
b. Alergi terhadap Chloramphenicol
4. Obat pilihan lain:
a. Quinolone 4-Fluoroquinolone, misalnya Ciprofloxacin dan Norfloxacin,
Ofloxacin, dan Perfloxacin.
b. Merupakan obat pilihan saat ini, terutama untuk di luar Indonesia (karena
sudah banyak laporan resistensi terhadap Chloramphenicol)
c. Dosis:
 Ciprofloxacin 2x500 mg/hari oral atau 2x400 mg/hari i.v. selama 10
hari
 Norfloxacin dan Ofloxacin 2x400 mg/hari oral selama 10 hari
 Pefloxacin 1x400 mg, oral selama 10 hari
 Levofloxacin 1x500 mg, oral 5-7 hari
d. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak dan usia remaja, ibu hamil atau
menyusui, alergi terhadap Fluoroquinolone
e. Efek samping:
 Gangguan pencernaan
 Gangguan Susunan Saraf Pusat (SSP)
Obat Alternatif
1. Cotrimoxazole (160/800 mg), 2x2 tablet atau 2x1 tablet (forte) per hari selama
14 hari
2. Tiamphenicol 4x500 mg/hari selama 14 hari
3. Ampicilin 4x500 mg/hari selama 14 hari
4. Ceftriaxone 1x1000 mg/hari i.v. selama 14 hari
5. Azithromycine 1x1000 mg/hari i.v. selama 14 hari
6. Kortikosteroid hanya diberikan pada keadaan gawat (sepsis atau syok septik)
7. Dexamethasone 3 mg/kgBB i.v. disusul 1 mg.kgBB tiap 6 jam selama 2 hari
Pemberian terlalu lama meningkatkan kemungkinan terjadi relaps.

PENCEGAHAN
Orang sehat
1. Pengawasan higiene dan sanitasi lingkungan hidup
a. Perlu adanya WC umum
b. Persediaan air bersih
c. Tempat buangan sampah rumah tangga
2. Pengawasan higiene makanan dan minuman

33
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

a. Memasak makanan
b. Merebus air minum
c. Hati-hati minum es (es krim)
d. Cara penyajian makanan
3. Higiene perorangan
a. Cuci tangan
b. Buang air besar dan kecil di tempat khusus (WC)
Vaksinasi
Syarat vaksin: efektif, mudah penggunaannya, aman, dan murah. Dianjurkan untuk
wisatawan ke daerah endemis dan pekerja laboratorium.
1. Acetone inactivated vaccine
a. Kuman mati
b. Ada 2 vaksin: K-acetone inactivated vaccine dan L-heatphenol inactivated
vaccine.
 Efektivitas 51-88%
 Efek samping 32-54% berupa demam, sakit kepala, dan reaksi lokal
tempat suntikan
 Cara pemberian 0,5 cc vaksin subkutan disusul 7-10 hari lagi 1 cc
subkutan
 Efektif minimal 1 tahun
2. Oral live Attenuated vaccine (TY21Ia):
a. Kuman hidup, dilemahkan
b. Imunitas 3-6 tahun
c. Berhasil diuji coba di Chili dan Mesir tetapi gagal di Indonesia
d. Booster 5 tahun kemudian
3. Vi parental vaksin
a. Polysacharide high-purified antigenicfraction vi-antigen
b. Booster setelah 3 bulan
c. Dapat diberikan pada anak > 6 bulan
d. Dapat diberikan bersamaan dengan vaksin lain dalam satu alat suntik

KOMPLIKASI
Perdarahan intestinal, perforasi intestinal, ileus paralitik, renjatan septik, pyelonefritis,
pneumonia, miokarditis.

34
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

12. ALERGI MAKANAN

DIAGNOSIS
Diagnosis alergi makanan membutuhkan anamnesis yang menyeluruh untuk
membedakan antara reaksi alergi dengan intoleransi makanan. Beberapa uji in vivo
maupun in vitri dapat diekrjakan untuk membuktikan alergi makanan. Alur diagnostik
yang biasa digunakan adalah seperti tampak pada gambar berikut ini.
Anamnesis Gejala alergi makanan Tidak ada makanan yang dicurigai
dan/atau dan/atau
Uji tusuk kulit (+) Uji tusuk kulit (-)

Diet eliminasi Selesai

Gejala membaik Gejala menetap

Makanan bukan penyebabnya

Berikan diet semula Gejala muncul kembali

Gejala muncul kembali Ulangi diet eliminasi

Masalah selesai Gejala membaik

Berikan makanan secara terbuka dimulai


Buat daftar makanan yang dengan makanan yang paling kecil
dapat diterima kemungkinannya menyebabkan alergi
Anamnesis
Beberapa data penting yang perlu ditanyakan tercantum pada tabel di bawah ini.
Untuk keluhan yang bersifat kronis mungkinDaftar
diperlukan
makanancatatan harian tentang
yang menimbulkan reaksimakanan
yang dikonsumsi (diet diaries).
Makanan yang dicurigai Uji paparan tersamar ganda
Banyaknya bahan makanan yang diperlukan untuk memicu reaksi
Ada riwayat timbul reaksi pada setiap kali paparan
(+) Hindari (-) Hindari
Waktu antara paparan hingga timbul reaksi
Manifestasi klinis yang sesuai dengan alergi makanan
Gejala hilang setelah bahan makanan yang dicurigai dihindari/dieliminasi
Lama berlangsung gejala
Pengobatan (bila ada) yang diperlukan untuk mengatasi reaksi
Pemeriksaan Penunjang
 Tes tusuk kulit
Hanya dilakukan pada penderita yang dicurigai mengalami reaksi yang dimediasi
oleh IgE. Digunakan ekstrak alergen makanan dalam gliserin (dengan pengenceran
1:20 hingga 1:10) dengan histamin sebagai kontrol positif dan larutan garam faali
sebagai kontrol negatif. Dianjurkan menggunakan ekstrak buah-buahan yang masih

35
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

segar. Makanan yang dicurigai dapat pula dioleskan pada kulit lalu dilakukan tes
tusuk.
 Tes Radioallergosorbent (RAST)
Kurang spesifik dibandingkan tes tusuk kulit, lebih mahal, namun dapat digunakan
untuk memprediksi reaksi alergi yang dimediasi oleh IgE. CAP System Fluorescent
Enzyme Immunoassay (FEIA) menghasilkan prediksi positif yang lebih akurat. Tes-
tes ini hanya dianjurkan bila terdapat dermatitis atopik parah atau dermatografisme
karena uji tusuk kulit tidak mungkin dilakukan.
 Diet eliminasi
Diet eliminasi adalah pemberian diet selama 7 hingga 14 hari, yaitu bahan makanan
yang dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi dihindari. Bila ada lebih dari satu
jenis makanan yang dicurigai perlu dilakukan diet eliminasi berulang dengan
mengeliminasi berturut-turut satu jenis makanan. Bila gejala tetap tidak membaik
dengan eliminasi suatu bahan makanan, maka bahan makanan tersebut bukanlah
penyebabnya.
 Double-blind placebo-controlled food challenge
Uji paparan makanan tersamar ganda merupakan baku emas diagnosis alergi
makanan. Bahan makanan yang dipilih ditentukan berdasarkan anamnesis, tes tusuk
kulit, IgE RAST, dan hasil diet eliminasi. Sebagai kontrol digunakan bahan
makanan yang sangat jarang menimbulkan alergi atau yang hasil uji tusuk kulitnya
negatif. Makanan yang akan diujikan harus dihindari selama 10-14 hari. Semua
jenis pengobatan yang dapat mengganggu interpretasi (misalnya antihistamin dan
kortikosteroid) harus dihentikan setidaknya sejak 7-14 hari sebelum uji
dilaksanakan. Uji paparan dilakukan dalam keadaan puasa. Makanan yang diujikan
diberikan berupa serbuk yang disamarkan dalam bentuk cairan minuman atau
kapsul. Uji dilaksanakan secara acak menggunakan paparan alergen makanan dan
plasebo yang sama jumlahnya. Jumlah awal yang diberikan umumnya 125-500 mg,
dan selanjutnya sitingkatkan dua kali lipat setiap 15 hingga 60 menit. Gejala yang
timbul dicatat dengan sistem skor baku. Hasil uji dianggap negatif bila penderita
dapat menerima 10 gram makanan tanpa timbul reaksi. Hasil yang diperoleh harus
dikonfirmasi lagi dengan paparan makanan secara terbuka untuk menyingkirkan
hasil negatif palsu.

PENATALAKSANAAN
Upaya menghindari alergen makanan
Menghindari alergen merupakan satu-satunya pengobatan alergi makanan yang
telah terbukti hasilnya. Penderita dan keluarganya perlu mendapatkan penyuluhan untuk
menghindari alergen makanan secara ketat, termasuk sumber-sumber alergen yang
tersembunyi (misalnya kacang tanah yang tersembunyi dalam bumbu sate atau bumbu
pecel). Waspadai bahwa eliminasi makanan secara terus menerus dapat menyebabkan
malnutrisi, karena itu harus selalu disarankan pula bahan makanan alternatif yang dapat
dikonsumsi oleh penderita.
Terapi simtomatik
Beberapa jenis obat telah dicoba untuk mengatasi gejala alergi makanan, antara
lain antihistamin H1 dan H2, kromolin oral, ketotifen, dan antiprostaglandin. Pada
umumnya efektivitas obat tersebut rendak atau memiliki efek samping yang dapat

36
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

ditolerir. Tidak satupun yang terbukti dapat mencegah anafilaksis. Imunoterapi pernah
dicoba, namun efek sampingya cukup berat dan kini tidak lagi dianjurkan.
Pencegahan
Mengingat manfiestasi reaksi alergi makanan dapat bervaiasi mulai dari gejala
ringan hingga anafilaksis sistemik yang dapat mengancam jiwa, sebaiknya diberikan
bekal suntikan Epinefrin pada penderita atopik. Penderita dilatih untuk dapat
menyuntikkan sendiri Epinefrin intramuskular di daerah paha lateral bila sewaktu-waktu
timbul gejala alergi akibat paparan yang tidak disengaja terhadap alergen makanan
tertentu. Selanjutnya penderita disarankan untuk sesegera mungkin menuju ke Unit
Gawat Darurat rumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut.
Penelitian terbaru membuktikan bahwa upaya menghindari alergen makanan
oleh ibu dan bayi atopik ternyata dapat menurunkan prevalensi dermatitis atopik,
urtikaria, penyakit gastrointestinal. Ibu atopik sebaiknya menghindari kacang tanah
selama kehamilan trimester terakhir. Bayi atopik sebaiknya menghindari susu sapi, telur,
dan kacang tanah pada usia 1 tahun pertama. Khusus pada kelompok penderita atopik
yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami reaksi alergi, konsensus yang berlaku saat
ini adalah anjuran untuk menghindari susu sapi selama 12 bulan, dan menghindari
kacang tanah selama 3 tahun.

37
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

13. PENYAKIT CACING TAMBANG

TATALAKSANA
Terapi Umum
1. Perbaikan gizi dengan pemberian nutrisi tinggi kalori dan protein diperkaya
dengan multivitamin dan mineral.
2. Karena anemia defisiensi besi merupakan ancaman utama pada infeksi
ankilostomiasis, maka preparat besi dapat diberikan untuk mengatasi anemianya.
Secara oral, sulfat ferosus 3x200 mg/hari dapat diberikan sampai tanda
anemianya hilang. Penderita yang mengalami anemia berat dengan kadar Hb < 5
g/dl, maka sebelum memulai pemberian antihelmintik dapat dikoreksi dengan
transfusi darah.
Terapi Spesifik
1. Antihistamin untuk mengurangi keluhan gatal-gatal
2. Obat cacing (antihelmintik)
a. Tetrachlorethylene, dosis tunggal 0,1 mg/kgBB diberikan pada waktu perut
b. Bephenium hydoxynaphthoate (alcopat), dosis tunggal 5 g dan perlu puasa
minimal 2 jam
c. Thiabendazol (Mintezol) diberikan dengan dosis 25 mg/kgBB, 2 kali/hari
d. Mebendazol (vermox) dosis 2x100 mg/hari selama 3 hari berturut-turut.
Mebendazol merupakan obat terpilih untuk pengobatan infeksi cacing
tambang.
e. Pirantel pamoat (combantrin) dosis tunggal 10 mg/kgBB
f. Tretranizole (ascaridil) dosis tunggal 2,5 mg/kgBB
Oleh karena sering dijumpai infeksi campuran dengan cacing lain maka dianjurkan
pemberian kombinasi pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB dengan mebendazol
100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut.

PENCEGAHAN
Untuk mencegah terjadinya infeksi cacing tambang maka berbagai upaya dapat
dilakukan, antara lain dengan memakai sandal atau sepatu untuk menghindari kontak
dengan tanah, perbaikan sanitasi lingkungan, serta menjaga kebersihan individu.

38
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

14. ASKARIASIS

PENGOBATAN
Beberapa obat antihelmintik sekarang ini lebih efektif dengan efek toksik yang
relatif rendah daripada obat-obat dulu yang sudah populer misalnya santonin, oleum
shenopodium serta hexylresorcinol.
Antihelmintik untuk pengobatan ascariasis dapat dipilih beberapa obat di bawah ini:
1. Pirantel pamoat, diberikan sebagai dosis tunggal 10 mg/kgBB dengan
maksimum pemberian 1 g.
2. Levamisole hydrochloride diberikan sebagai dosis tunggal 2,5-5 mg/kgBB.
3. Garam piperazine, 75 mg/kgBB, maskimum 3,5 g, diberikan 2 hari sebagai dosis
harian tunggal. Merupakan obat pilihan pada obstruksi intestinal oleh Ascaris
lumbricoides, karena obat ini mengakibatkan paralisis yang flasid pada cacing.
4. Albendazole, untuk orang dewasa dan anak-anak di atas 2 tahun yang diebrikan
dengan dosis tunggal 400 mg.
5. Mebendazole, diberikan dengan dosis 100 mg dua kali per hari selama 3 hari
berturut-turut.
6. Cyclobendazole adalah derivat benzimidazole baru yang dapat membunuh A.
lumbricoides.
Obat-obat di atas tidak dieprlukan pencahar ataupun puasa sebelum atau sesudah
pengobatan.
Di samping pengobatan perorangan, perlu dipikirkan pengobatan masal, karena
banyaknya penderita askariasis atau bahkan soil transmitted helminths yang masih
merupakan problem kesehatan masyarakat Indonesia. Pada pengobatan masal ini harus
diperhatikan beberapa hal, antara lain frekuensi pengobatan, waktu pelaksanaannya,
serta lamanya periode pengobatan. Di Indonesia frekuensi pengobatan masal pada soil
transmitted helminths terutama askariasis berpatokan kepada prevalensi infeksi oleh
cacing ini pada suatu daerah, yaitu jika prevalensi lebih dari 30%, pengobatan 3 kali per
tahun; jika prevalensi 20-30%, pengobatan 2 kali per tahun; jika prevalensi 10-20%,
pengobatan 1 kali per tahun, sedangkan jika prevalensi kurang dari 10%, pengobatan
hanya untuk kasus positif (individual).

PENCEGAHAN
Pencegahan askariasis ditujukan untuk memutuskan salah satu mata rantai dari
siklus hidup Ascaris lumbricoides, antara lain dengan melakukan pengobatan penderita
askariasis, dimaksudkan untuk menghilangkan sumber infeksi; pendidikan kesehatan
terutama mengenai kebersihan makanan dan pembuangan tinja manusia; dianjurkan
agar buang air besar tidak di sembarangan tempat serta mencuci tangan sebelum makan,
memasak makanan, sayuran, dan air dengan baik. Air minum jarang merupakan sumber
infeksi ascariasis.

39
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

15. TAENIASIS

TAENIASIS SAGINATA
TATALAKSANA
Niklosamid (Yomesan) sangat efektif untuk membunuh skoleks dan segmen
imatur T. saginata. Empat tablet 0,5 gram ditelan dengan bantuan sedikit air.
Pemeriksaan feses perlu dilakukan 3-6 bulan kemudian untuk evaluasi. Obat terpilih
adalah prazikuantel 10 mg/kgBB.

PENCEGAHAN
1. Bila mengonsumsi daging sapi sebaiknya dimasak secara sempurna dengan
pemanasan pada suhu 56oC selama 5 menit dapat memusnahkan sistiserki.
Pendinginan pada suhu minus 10oC selama 9 hari dan pengawetan dengan
pemberian garam pada daging juga dapat memusnahkan sistiserki.
2. Perlunya penentuan adanya sistiserkosis pada sapi yang diduga sakit, biasanya
dilakukan dengan pemeriksaan serologis ELISA.
3. Bila diagnosis sudah dibuat, pasien perlu segera diobati guna mencegah
berlangsungnya rangkaian penularan lebih lanjut.
4. Pengelolaan feses pasien perlu diperhatikan karena potensial mengandung telur
Taenia yang infeksius.
5. Jangan membiarkan sapi memakan rumput yang timbuh di tanah dan
terkontaminasi dengan kotoran limbah. Viabilits telur sekitar 16 hari paa kotoran
limbah dan 159 hari pada rumput.

TAENIASIS SOLIUM
TATALAKSANA
Cacing Dewasa
Perlu pemberian nutrisi tinggi protein, multivitamin, dan mineral. Obat-obatan yang
dapat diberikan adalah:
1. Niclosamide (Vomesan) dosis 4 tablet @ 500 mg sekaligus. Tablet dikunyah
sebelumnya lalu diminum dengan sedikit air.
2. Mebendazole (vermox) dosis 2x300 mg/hari (2x3 tablet/hari) selama 3 hari.
Dapat juga memakai albendazole, merupakan obat cacing berspektrum luas.
3. Quinacrine hidrochloride (atebrine) dosis 800 mg (dosis terbagi) habis dalam 30
menit. Perlu obat antimuntah 1 jam sebelumnya ditambah obat pencahar 2 jam
sesudahnya.
4. Paramomisin (gabroral) dosis 4x1 gram, satu hari
5. Prazikuantel (cesol) merupakan obat terpilih untuk cestodiasis. Diberikan dosis
tunggal 10 mg/kgBB dan 2 jam kemudian diberikan laksansia.
Sistiserkosis
Karena kemungkinan sistiserkosis dapat terjadi melalui autoinfeksi maka pasien
harus segera diobati setelah diagnosis ditegakkan. Pengobatan neurosistiserkosis sangat
kompleks dan penuh kontroversi. Apabila memungkinkan dianjurkan tindakan bedah.
Untuk kasus sistiserkosis mata danjurkan pengambilan kista daripada melakukan
enukleasi. Untuk mencegah hilangnya bola mata dianjurkan untuk mengambil
sistiserkusnya ketika masih hidup. Meskipun tidak menjamin keberhasilannya beberapa

40
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

obat-obatan dapat diberikan untuk memberantas sistiserki misalnya dengan pemberian


prazikuantel 10 mg/kgBB/hari selama 14 hari. Obat pilihan lain adalah albendazol, serta
pemberian metrifonat untuk sistiserkosis subkutan. Perlu diperhatikan bahwa kista yang
mati akan memicu reaksi inflamasi, edem, dan eksaserbasi yang akut. Untuk itu ada
yang menganjurkan pemakaian kortikosteroid untuk merendam akibat dari reaksi
radang.

PENCEGAHAN
Mengingat pentingnya kewaspadaan terhadap infeksi maka perlu diperhatikan
usaha untuk higiene dan sanitasi pribadi, menghindari mengonsumsi sayur-sayuran yang
menggunakan pupuk terutama dari pupuk limbah, pembuangan limbah manusia juga
harus terjamin dan memadai, upaya penting yang perlu dilakukan adalah memasak
daging babi dan produknya secara sempurna. Sistiserki dapat terbunuh melalui
pemanasan pada suhu 65oC, minimal selama 5 menit. Pengawetan daging dengan garam
atau cuka sering tidak efektif. Perlunya pengawasan daging untuk konsumsi masyarakat.

PROGNOSIS
Prognosis umumnya baik bila sistiserki dapat diambil dengan tindakan bedak,
prognosis kurang baik bila parasit dalam bentuk rasemosa terutama dalam otak.

41
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

16. DISENTRI BASILER

PENGOBATAN
Pasien perlu istirahat, mencegah-memperbaiki sehidrasi. Penyebab kematian
terutama akibat dehidrasi. Untuk rehidrasi dapat dipakai cairan intravena/oral, sesuai
derajat dehidrasi.
Perbaikan gizi untuk menghilangkan malnutrisi.
Untuk pengobatan antibakterial:
1. Pilihan trimethoprim sulfametoxazole 2x2 tablet selama 5 hari
2. Siprofloxacin 2x500-750 mg
3. Ampisilin 4x500 mg
4. Asam nalidiksik
Pengobatan simtomatis untuk demam (antipiretik), nyeri perut (antispasmodik),
pemakaian obat antimotilitas (misalnya: loperamide) bersifat kontroversi, dapat
mengurangi diare, namun dapat menyebabkan penyakit lebih berat karena mengurangi
pengeluaran bakteri, mempermudah invasi mukosa serta timbulnya toxic megacolon.
Pada bentuk berat bila tak diobati dini angka kematian shigellosis tinggi. Infeksi
oleh Sh. disentria biasanya berat, penyembuhanlama. Infeksi Sh. flexnerii angka
kematian rendah.

PENCEGAHAN
Pencegahan shigellosis, meliputi penjagaan higienis dan sanitasi lingkungan,
perlu mencuci tangan sebelum makan, persediaan air minum tak boleh terkontaminasi,
pemakaian jamban yang baik, menjaga pembuatan makanan dan penyimpanannya,
belum ada vaksin yang efektif.

42
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

17. PIELONEFRITIS

TATALAKSANA
Terapi ditujukan untuk mencegah terjadinya kerusakan ginjal yang lebih parah
dan memperbaiki kondisi pasien, yaitu berupa terapi suportif dan pemberian antibiotika.
Antibiotika yang dipergunakan pada keadaan ini adalah yang bersifat bakterisidal, dan
berspektrum luas, yang secara farmakologis mampu mengadakan penetrasi ke jaringan
ginjal dan kadarnya di dalam urin cukup tinggi. Golongan obat-obatan itu adalah;
aminoglikosida yang dikombinasikan dengan aminopenisilin (ampisilin atau
amoksisilin), aminopenisilin dikombinasi dengan asam klavulanat atau sulbaktam,
karboksipenisilin, sefalosporin, atau fluoroquinolone.
Jika dengan pemberian antibiotika itu keadaan klinis membaik, pemberian
parenteral diteruskan sampai 1 minggu dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian per
oral selama 2 minggu berikutnya. Akan tetapi jika dalam waktu 48-72 jam setelah
pemberian antibiotika keadaan klinis tidak menunjukkan perbaikan, mungkin kuman
tidak sensitif terhadap antibiotika yang diberikan.

43
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

18. BRONKHITIS AKUT

DIAGNOSIS
Anamnesis
Gejala yang mungkin ditemukan pada penderita bronkhitis akut adalah batuk
secara tiba-tiba dengan atau tanpa dahak, tidak ada tanda-tanda pneumonia, demam,
asma akut atau rasa pahit akut yang disebabkan oleh bronkhitis kronis (Metlay &
Schulz, 1997). Selain itu tanda penting terjadinya bronkhitis adalah dahaknya akan
seperti nanah jika penyebabnya bakteri serta ronki kering.
Pemeriksaan Fisik
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan gejala, terutama dari adanya lendir,
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan menggunakan stetoskop,
akan terdengar bunyi pernafasan yang abnormal. Pemeriksaan dahak maupun rontgen
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnose dan untuk menyingkirkan diagnose
penyakit lain.

DIAGNOSIS BANDING
 Defisiensi Alpha1-Antitrypsin
 Asma
 Bronkiektasis
 Bronkiolitis
 Brinkhitis kronis
 PPOK
 GERD
 Influenza
 Faringitis bakterial
 Faringitis virus
 Sinusitis akut
 Sinusitis kronis
 Infeksi Streptococcus Grup A

PENATALAKSANAAN
Terapi Umum Perawatan
Tindakan perawatan yang paling penting adalah mengontrol batuk dan
mengeluarkan lendir. Berjemur di pagi hari, sering mengubah posisi, banyak minum,
inhalasi, nebulizer serta diberikan minum susu untuk mempertahankan daya tubuh anak
jika muntah.
Terapi Medis
 Antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorphan) 15 mg, diminum 2-3 kali
sehari. Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari. Pada penderita bronkitis akut yang
disertai sesak napas, penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan
diperlukan feed back dari penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka
antitusif dihentikan.
 Ekspektorant: GG (glyceryl guaiacolate), bromhexine, ambroxol, dan lain-lain.

44
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

 Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya, digunakan


jika penderita demam.
 Bronkodilator (melongarkan napas), diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat,
teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada penderita yang
disertai sesak napas atau rasa berat bernapas.
 Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman (dahak
berwarna kuning atau hijau, demam tetap tinggi setelah minum antipiretik dan
penderita yang sebelumnya memiliki penyakit paru-paru. Kepada penderita dewasa
diberikan Kotrimoksazol. Tetrasiklin 250 – 500 mg 4 x sehari. Eritromisin 250 –
500 mg 4 x sehari diberikan selama 7 – 10 hari.

PENCEGAHAN
Lokasi yang dingin, lembab - khususnya dikombinasikan dengan polusi udara
atau asap rokok - dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap bronkitis akut.
Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko terjadinya bronkhitis
adalah sebagai berikut:
- Hindari merokok dan menjadi perokok pasif. Asap tembakau meningkatkan risiko
bronkitis kronis dan emphysema.
- Menghindari orang-orang yang telah pilek atau flu. Semakin sedikit Anda terkena
virus yang menyebabkan bronkhitis, semakin rendah risiko Anda mendapatkannya.
Hindari kerumunan orang selama musim flu.
- Hindari keluar malam karena saat malam kondisi udara dingin dan sangat lembab
sehingga membuat bronkus mengalami vasokontriksi dan peningkatan produksi
secret.
- Makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Misalnya
telur, susu, daging dan sebagainya.
- Dapatkan vaksin flu tahunan. Banyak kasus bronkitis akut hasil dari influenza,
virus. Mendapatkan vaksin flu tahunan dapat membantu melindungi seseorang dari
flu, yang pada gilirannya, dapat mengurangi risiko bronkitis.
- Cuci tangan atau menggunakan sanitizer tangan secara teratur. Untuk mengurangi
risiko terkena infeksi virus, sering mencuci tangan dan membiasakan menggunakan
sanitizer tangan. Dan jangan menggosok hidung atau mata Anda.
- Ketika praktek, memakai masker.

PROGNOSIS
Bronkhitis akut dianggap sebagai penyakit ringan akan tetapi hanya ada sedikit
data tentang prognosis dan tingkat komplikasi seperti batuk kronis atau progresi
terhadap bronkhitis kronis atau pneumonia. Berdasarkan sejumlah penelitian yang telah
dilakukan, terjadi ketidakjelasan apakah bronkhitis akut memainkan peran penting
dalam perkembangan bronkhitis kronis atau hanya sebagai penanda kecenderungan
untuk penyakit paru-paru kronis. Meskipun merokok telah diidentifikasi sebagai faktor
risiko tertinggi untuk bronkhitis kronis, hal ini masih belum bisa menjelaskan apakah
efek inflamasi dari asap rokok dan infeksi yang menyebabkan bronkhitis akut memiliki
efek adiktif dalam menyebabkan perubahan saluran napas peradangan kronis.
(Whittemore, Perlin, & DiCiccio, 1995)

45
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

46
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

19. DIABETES MELLITUS (DM) TIPE 2

DIAGNOSIS
Langkah-langkah diagnosis DM dan TGT (cari bagan langkah-langkah diagnostic DM
dan gangguan toleransi glukosa)
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok tersebut di bawah ini
(Committee Report ADA-2006):
1. Kelompok usia dewasa tua (>45 tahun)
2. Obesitas BB (kg) > 100% BB ideal atau IMT > 25 (kg/m2).
3. Tekanan darah tinggi (>140/90 mmHg)
4. Riwayat DM dalam garis keturunan
5. Riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi >4000 gram atau abortus berulang
6. Riwayat DM pada kehamilan
7. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan / atau Trigliserida > 250 mg/dL)
8. Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT)

Pelaksanaan tes toleransi glukosa oral (TTGO) untuk diagnosis DM adalah sebagai
berikut:
1. Tiga hari sebelumnya makan karbohidrat cukup
2. Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
3. Puasa semalam, selama 10-12 jam
4. Periksa glukosa darah puasa
5. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum dalam
waktu 5 menit.
6. Diperiksa glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap boleh minum air putih, namun
harus istirahat dan tidak merokok.
8. Untuk tujuan penelitian atau diagnosis DMG (Diabetes Mellitus Gestasional),
dilakukan pemeriksaan glukosa darah pada 0,1,2,&3 jam sebelum dan sesudah
minum beban glukosa 75 gram tersebut.

Uji Laboratorium
Darah
Orang normal: Glukosa Darah Puasa (GDP) < 100 mg/dL, 2 jam PP < 140mg/dL, GDP
antara 100 dan 126 mg/dL disebut: Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) atau
Impaired Fasting Glucose (IFG). Untuk penderita DM: disebut “normal” atau regulasi
baik (ADA, 2005) bila glukosa darah sebelum makan 90-130 mg/dL dan puncak
glukosa darah sesudah makan < 180 mg/dL. Macam-macam metode pemeriksaan
glukosa darah: Hagedorn-Jensen, Somogyi-Nelson, Autoanalyser, Enzimatis.

Glukosa Darah Rerata (GDR) = GDP + 2 jam PP


2
GDP : Glukosa Darah Puasa. Lama puasa persiapan periksa labiratorium: 10-
12 jam.

47
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

2 jam PP : Glukosa darah 2 jam post prandial (sesudah beban glukosa 75 gram
waktu diagnosis); beban makanan pagi dikerjakan sewaktu follow-
up/kontrol).
GDA : Glukosa Darah Acak atau Random- Bila tidak mungkin cara
enzimatik, maka dapat digunakan metode 0-Toluidine, Somogyi-
Nelson, Autoanalyser, atau dengan fericyanide dan neocuproine.
Satuan kadar glukosa darah yang digunakan secara internasional adalah mg/dL.
Urine
Pada orang normal, reduksi urine: negative. Pemantauan reduksi urine biasanya 3x
sehari dan dilakukan kurang lebih 30 menit sebelum makan, atau 4x sehari, yaitu 1x
sebelum makan pagi, dan yang 3x dilakukan setiap 2 jam sesudah makan. Pemeriksaan
reduksi 3x sebelum makan lebih lazim dan lebih hemat.
Kriteria Diagnosis DM (Konsensus PERKENI, 2002)
Dinyatakan DM apabila terdapat:
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) ≥ 200 mg/dL, plus gejala klasik:
poliuria, polidipsia, dan penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) ≥ 126 mg/dL, atau
3. Kadar Glukosa Plasma ≥ 200 mg/dL pada 2 jam sesudah makan atau beban
glukosa 75 gram pada TTGO. Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai
rutin di klinik.
Ketiga kriteria diagnosis tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, atau
esok harinya, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia yang jelas tinggi dengan
dekompensasi metabolic akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat.
Kriteria glukosa darah dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)
Kondisi Bukan DM Belum Pasti DM DM
Kadar Glukosa
Darah Sewaktu
Plasma Vena < 100 100-199 ≥ 200
Darah Kapiler < 50 90-199 ≥ 200
Kadar Glukosa
Darah Puasa
Plasma vena < 100 100-125 ≥ 126
Darah kapiler < 90 90-109 ≥ 110

Kriteria Diagnosis dan Klasifikasi Nefropati Diabetik


Diagnosis Nefropati Diabetik (ND) dapat dibuat apabila dipenuhi ketiga
persyaratan seperti di bawah ini:
1. DM
2. Retinopati Diabetik
3. Proteinuria yang positif tanpa penyebab lain, atau selama 2 kali pemeriksaan
dengan interval 2 minggu apabila penyebab lain (misalnya infeksi) sudah
diatasi.

48
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Diagnosis Banding
1. Untuk kasus-kasus dengan hiperglikemia sesudah makan ( 2 jam PP);
a. Penyakit Hepar (sirosis, hepatitis kronis)
b. Gagal ginjal kronis (GGK)
c. Hipertiroid
2. Untuk kasus-kasus dengan reduksi urine positif:
a. Glukosuria renal (karena nilai ambang ginjal rendah)
b. Galaktosuria pada kehamilan
c. Obat-obatan: vitamin C dosis tinggi, dan lain-lain.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dasar terapi DM meliputi pentalogi terapi DM:
Terapi Primer:
1. Penyuluhan kesehatan masyarakat (PKM) tentang DM
2. Latihan fisik (LF): primer dan sekunder
3. Diet
Terapi Sekunder:
1. Obat hipoglikemia (OHO dan insulin)
2. Cangkok pancreas

I. PENYULUHAN KESEHATAN MASYARAKAT = PKM TENTANG


DM
PKM dapat dilaksanakan melalui:
1. Perorangan (antara dokter dengan penderita); bila tidak ada waktu, ber “PKM”
lah waktu memeriksa atau menulis resep;
2. Penyuluhan melalui TV;
3. Kaset video; penjelasan tentang DM, komplikasinya, terapi DM termasuk
peragaan macam-macam diet dengan berbagai jenis kandungan kalorinya.
4. Diskusi kelompok
5. Poster
6. Leaflet
7. Dan lain-lain
II. LATIHAN FISIK (LF) UNTUK DM: LF PRIMER DAN SEKUNDER
Semua penderita DM dianjurkan latihan ringan teratur setiap hari pada saat 1 atau
1,5 jam sesudah makan, termasuk penderita yang dirawat di rumah sakit (Bed Exercise).
Misalnya, makan pagi jam 07.3, makan siang jam 12.30, makan malam jam 18.30, maka
latihan fisik harus dilakukan berturut-turut jam 08.00, 13.30, dan 19.30. Latihan Fisik
(LF) ini disebut LF Primer.
LF Sekunder untuk penderita DM, terutama dengan obesitas. Selain LF primer
sesudah makan, juga dianjurkan LF sekunder agak berat setiap hari, pagi, dan sore
(dengan tujuan menurunkan berat badan) sebelum mandi pagi dan sore agar penderita
tidak lupa.
III. DIET DM
Dalam perkembangannya sampai saat ini terdapat 21 macam diet DM yang dikenal di
Surabaya, yaitu: Diet-B, Diet-B Puasa, Dier B1, dan B1 puasa, B2, B3, Be, Diet-M,

49
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Diet-M puasa, Diet-G, Diet-KV, Diet-GL, Diet H, Diet KV-T1, Diet KV-T2, Diet KV-
T3, Diet KV-I, Diet B1-T1, Diet B1-T2, Diet B1-T3, Diet B1-L.

Petunjuk umum untuk pelaksanaan nutrisi pada pasien DM:


1. Meskipun susunan nutrisi oral dari 21 macam diet DM di Rumah Sakit Umum
Dr. Soetomo berbeda-beda, tetapi setiap macam diet tetap diusahakan supaya
dapat:
 Memperbaiki kesehatan umum pasien
 Dapat menyesuaikan berat badan pasien ke berat badan normal
 Menormalkan pertumbuhan anak yang terkena DM atau
pertumbuhan dewasa muda yang terkena DM
 Mempertahankan glukosa darah mendekati normal
 Menekan atau timbulnya angiopati diabetic
 Memberikan modifikasi diet sesuai dengan keadaan penderita
misalnya diabetisi yang hamil, diabetisi dengan penyakit hati, TBC,
dan menarik serta mudah diterima penderita.
2. Pada dasarnya diet diabetes di Surabaya diberikan dengan cara 3 kali makanan
utama dan 3 kali makanan antara (kudapan=snacks) dengan jarak antara
(interval) tiga jam. Hal yang sama digunakan pada kondisi dimana pasien harus
menggunakan nutrisi enteral (d/h SONDE) dengan menggunakan rumus E1, E2,
E3, E4, E5, E6.
3. Untuk keberhasilan kepatuhan terhadap diet, perlu diingat “3K” dari pasien,
yaitu kemauan, kemampuan, dan kesempatan. Dan dalam pelaksanaan diet,
hendaknya mengikuti 3J (Jumlah, Jadwal, Jenis) yaitu meliputi:
J1 = Jumlah-kalori yang diberikan harus dihabiskan
J2 = Jadwal makan harus diikuti (interval 3 jam)
J3 = Jenis gula dan yang manis harus dipantang.
4. Untuk kasus-kasus yang kadar glukosa darahnya sulit mendekati nilai normal
(resistensi), olah raga ringan 3x sehari pada saat 1-1 ½ jam sesudah makan
utama adalah mutlak harus dilaksanakan. Misalnya makan pagi pukul 06.30,
latihan diadakan pukul 08.00 dan seterusnya. Gerak badan tiga kali ini juga
dianjurkan pada penderita rawat inap yang porsinya disesuaikan dengan
kekuatan fisik penderita tersebut.
Disamping itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan diet, yaitu
sebagai berikut:
1. Harus kumur sesudah makan (tidak boleh ada sisa makanan dalam mulut,
oleh karena akan menjadi sumber infeksi).
2. Penderita harus pandai menggunakan daftar makanan pengganti agar tidak
bosan, dengan dietnya.
3. Penderita harus melapor ke dokter apabila merasa lapar ataupun kelebihan
dengan dietnya (jangan melebihi atau mengurangi makanan, berkonsultasilah
terus terang kepada dokter yang merawat).
4. Kalori yang diberikan kepada penderita harus “cukup” untuk bekerja sehari-
hari sesuai dengan jenis pekerjaan dan sesuai untuk menuju ke berat badan
“normal”.

50
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Penentuan Gizi Penderita dan Jumlah Kalori Per Hari:

IMT = Indeks Mada Tubuh = BB x 100%


(TB)2
Keterangan BBdalam kg, TB dalam m
Normal : Pria 20-24,9 wanita: 18,5-23,9
BBR = Berat Badan Relatif = BB x 100%
TB – 100

Keterangan: BB dalam kg, TB dalam cm


Gizi Buruk : < 90% Gizi Lebih : 100-120%
Normal : 90-100% Gemuk (Obesitas) : > 120%
Kebutuhan kalori untuk menuju Berat Badan Normal:
1. Berat Badan Kurang (BBR<90%) kebutuhan kalori sehari: 40-60 kal/kgBB
2. Berat Badan Normal (BBR 90-100%) kebutuhan kalori sehari: 30 kal/kgBB

51
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

20. HIPERTENSI

KLASIFIKASI HIPERTENSI
Klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC 7 adalah klasifikasi untuk orang dewasa
umur ≥ 18 tahun. Menurut JNC 7, definisi hipertensi adalah jika didapatkan tekanan
darah sistolik (TDS) ≥ 140 mmHg atau Tekanan Darah Diastolik (TDD) ≥ 90 mmHg.
Penentuan klasifikasi ini berdasarkan rata-rata 2 kali pengukuran tekanan darah pada
posisi duduk.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (JNC 7)
Klasifikasi Tekanan TDS TDD
Darah (mmHg) (mmHg)

Normal < 120 Dan < 80


PreHypertension 120-139 Atau 80-89
Stage 1 Hypertension 140-159 Atau 90-99
Stage 2 Hypertension ≥ 160 Atau ≥ 100

Dasar pemikiran adanya kategori prehypertension dalam klasifikasi tersebut oleh karena
pasien dengan hypertension berisiko untuk mengalami progresi menjadi hipertensi, dan
mereka dengan tekanan darah 130-139/80-89 mmHg berisiko dua kali lebih besar untuk
menjadi hipertensi disbanding dengan yang tekanan darahnya lebih rendah.
Beberapa istilah khusus:
White coat hypertension
Adalah istilah dimana tekanan darah (TD) selama menjalankan aktivitas harian
yang biasa dilakukan berada dalam batas normal, tetapi bila diperiksa di klinik termasuk
hipertensi. Walaupun bisa terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering pada wanita
muda kurus.
Persistent hypertension (sustained hypertension)
Adalah istilah dimana TD meningkat (hipertensi), baik diukur di klinik maupun
di luar klinik, termasuk di rumah, selama menjalankan aktivitas harian yang biasa
dilakukan. Walaupun sama-sama meningkat, sering kali tekanan darah di klinik lebih
tinggi daripada di luar klinik.
Isolated systolic hypertension
Berdasarkan World Health Organization-International Society of Hypertension
(WHO-ISH) dan JNC 6, adalah bila TDS ≥ 140 mmHg dan TDD < 90 mmHg.
Prevalensinya meningkat berdasarkan usia dan mempunyai risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami serangan jantung dan stroke dibandingkan mereka dengan TDD yang
meningkat.
Accelerated Malignant Hypertension (AMH)
Adalah istilah untuk hipertensi diastolic berat (biasanya TDD > 120 mmHg)
dimana dengan pemeriksaan funduskopi menunjukkan adanya retinopati hipertensif
Keith-Wagener (K-W) derajat 3. Dulu dikenal istilah Malignant Hypertension untuk
hipertensi diastolic berat disertai retinopati hipertensif derajat 4, tetapi karena hipertensi

52
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

berat dengan retinopati K-W derajat 3 maupun 4 mempunyai prognosis yang sama
buruknya, maka 2 istilah tersebut kadang tidak dibedakan. AMH merupakan bagian dari
Hypertension urgency, yaitu membutuhkan terapi dan penurunan TD dalam “jam”,
sedangkan hypertension emergency adalah kondisi klinik dimana hipertensi berat harus
segera diturunkan dalam “menit” oleh karena adanyan beberapa keadaan darurat seperti
Acute dissection of the aorta, gagal ventrikel kiri akut, perdarahan intraserebral, serta
krisis oleh karena pheochromocytoma, penyalahgunaan obat, eklampsia.

KLASIFIKASI PENYEBAB
Berdasarkan penyebab, hipertensi dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Hipertensi primer (esensial), penyebab hipertensi tidak diketahui (90-95%
pasien)
2. Hipertensi sekunder, disebabkan oleh:
a. Gangguan ginjal (2-6% dari seluruh pasien hipertensi):
 Renal parenchymal disease: penyakit glomeruler, penyakit tubule-
interstitial kronik, penyakit polikistik, uropati obstruktif.
 Renovascular disease: renal artery stenosis (RAS) karena
atherosclerosis dan dysplasia fibromuskuler, arthritis, kompresi
a.renalis oleh factor ekstrinsik
 Lain-lain : tumor yang menghasilkan rennin, retensi Na ginjal
(Liddle’s syndrome).
b. Gangguan endokrin:
 Kelainan adreno-kortikal: aldosteronisme primer, hyperplasia adrenal
congenital, sindroma Cushing.
 Adrenal-medullary tumors: pheochromocytoma
 Thyroid disease: hipertiroid, hipotiroid
 Hyperparathyroidism: hipercalcemia
 Akromegali
 Carcinoid tumors
c. Eksogen medication and drugs
Kontrasepsi oral, simpatomimetik, glukokortikoid, mineralokortikoid,
OAINS, siklosporin, eritropoietin, MAO inhibitor, dll.
d. Kehamilan preeclampsia dan eklampsia
e. Co-arctation of the aorta
f. Gangguan neurologi: sleep apneu, peningkatan tekanan intracranial (tumor
otak), gangguan afektif, spinal cord injury (GBS), disregulasi baroreflex.
g. Faktor psikososial
h. Intravascular volume overload
i. Hipertensi sistolik:
 Hilangnya elastisitas aorta dan pembuluh darah besar
 Hyperdynamic cardiac output: hipertiroid, insufisiensi aorta, anemia,
fistula arteriovenous, beri-beri, penyakit Paget tulang.

EVALUASI PENDERITA
Tujuan evaluasi penderita hipertensi adalah:

53
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Untuk mengetahui kebiasaan hidup (lifestyle) serta menemukan factor-faktor


risiko kardiovasculer lainnya atau kelainan-kelainan yang menyertai, yang bisa
mempengaruhi prognosis dan memandu terapi.
2. Untuk menemukan penyebab hipertensi yang bisa diidentifikasi
3. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya kerusakan organ target (target organ
damage) dan penyakit kardiovascular.

Faktor risiko Kardiovasculer:


Faktor risiko mayor:
1. Hipertensi
2. Merokok
3. Obesitas (IMT ≥ 30 kg/m2)
4. Inaktivitas fisik
5. dislipidemia
6. diabetes mellitus
7. Mikroalbuminuria atau perkiraan GFR < 60 ml/menit
8. Umur (lebih dari 55 tahun untuk laki-laki, 65 tahun untuk wanita)
9. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovascular yang premature (laki-
laki kurang dari 55 tahun atau wanita kurang dari 65 tahun).
Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi:
1. Sleep apneu
2. Drug induced or related causes
3. Penyakit ginjal kronis
4. Aldosteronisme primer
5. Penyakit renovasculer
6. Pemberian steroid kronik dan sindrom Cushing
7. Pheocromocytoma
8. Coarctation of aorta
9. Penyakit tiroid dan paratiroid

Target Organ Damage:


1. Jantung
a. Hipertrofi ventrikel kiri
b. Angina atau infark miokard sebelumnya
c. Revaskularisasi koroner sebelumnya
2. Otak
a. Stroke atau TIA
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Evaluasi penderita hipertensi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan prosedur diagnostic lain.

TANDA DAN GEJALA


Pada dasarnya hipertensi tidak memberi gejala yang spesifik. Umumnya gejala yang
dikeluhkan berkaitan dengan:

54
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Peningkatan TD: sakit kepala (pada hipertensi berat), paling sering di daerah
occipital dan dikeluhkan pada saat bangun pagi, selanjutnya berkurang secara
spontan setelah beberapa jam, dizziness, palpitasi, mudah lelah.
2. Gangguan vascular: epistaksis, hematuria, penglihatan kabur karena perubahan
di retina, episode kelemahan atau dizziness oleh karena transient cerebral
ischemia, angina pektoris, sesak karena gagal jantung.
3. Penyakit yang mendasari: pada hiperaldosteronisme primer didapatkan poliuria,
polidipsia, kelemahan otot karena hipokalemia, pada sindrom Cushing
didapatkan peningkatan berat badan dan emosi labil, pada pheocromocytoma
bisa didapatkan sakit kepala episodic, palpitasi, diaphoresis, postural dizziness.

Anamnesis lain yang menunjang:


1. Riwayat hipertensi pada keluarga disertai riwayat peningkatan TD secara
intermitten menunjang adanya hipertensi esensial
2. Hipertensi sekunder sering terjadi pada umur < 35 tahun atau > 55 tahun.
3. Riwayat infeksi saluran kemih berulang bisa dikaitkan dengan pielonefritis
kronis.
4. Nokturia dan polidipsi mengesankan gangguan ginjal atau endokrin
5. Adanya beberapa gejala, seperti angina pektoris, gejala insufisiensi serebral,
gagal jantung kongestif, menggambarkan adanya kelainan vaskuler yang
progresif kea rah kondisi yang membahayakan.
6. Adanya factor risiko seperti merokok, diabetes mellitus, dislipidemia, riwayat
keluarga yang meninggal dalam usia relative muda karena penyakit
kardiovasculer.
7. Gaya hidup seperti diet, aktivitas fisik, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lain-
lain.

Pemeriksaan Fisik
- Kesan umum: misalnya wajah bulat dan obesitas trunkal mengesankan sindroma
Cushing.
- Pemeriksaan TD dan nadi:
1. Bandingkan kanan-kiri, posisi tidur/duduk dan berdiri:
2. Bila pada saat berdiri TDD meningkat mengesankan hipertensi esensial, bila
TDD turun (tanpa terapi antihipertensi) kemungkinan hipertensi sekunder.
- Catat berat badan dan tinggi badan untuk perhitungan BMI
- Pemeriksaan mata yang teliti : terutama funduskopi untuk memperkirakan
lamanya hipertensi dan prognosis
- Palpasi dan auskultasi a.carotid: mencari kemungkinan oklusi/stenosis yang
mungkin merupakan manifestasi penyakit hipertensi vascular, dan mungkin juga
merupakan bagian dari lesi a.renalis.
- Pemeriksaan kelenjar tiroid
- Pemeriksaan dada:
1) jantung : LVH, gagal jantung
2) Paru : rales
3) Bising ekstrakardiak dan kolateral (Coarctation aorta)
- Pemeriksaan Abdomen:

55
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

1. Bising pada sisi kanan/kiri garis tengah, di atas umbilicus kemungkinan


penyempitan a.renalis (Renal artery stenosis)
2. Pembesaran ginjal karena polikistik ginjal, massa pada ginjal
3. Palpasi denyut a.femoralis: bila menurun dan atau terlambat dibandingkan
a.radialis maka TD pada kaki harus diukur. Walaupun denyut a. femoralis
normal, bila didapatkan hipertensi pada umur < 30 tahun, tekanan arteri
ekstremitas bawah harus diukur.
- Pemeriksaan ekstremitas: edema, tanda adanya cerebrovascular accident (CVA)
seebelumya.
Pemeriksaan Laboratorium/penunjang
Masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa jauh/luas pemeriksaan laboratorium
yang harus dilakukan pada pasien hipertensi, khususnya hipertensi sekunder atau subset
dari hipertensi esensial. Tetapi secara umum sebelum memulai terapi perlu dilakukan
pemeriksaan dasar yang meliputi:
1. Urine lengkap (UL)
2. Elektrolit serum (K, Na, Ca, P)
3. Darah lengkap (DL)
4. Profil lipid
5. Gula darah
6. Elektrokardiogram (EKG)
7. BUN dan kreatinin serum
8. Foto dada
Bisa dipandang perlu bisa dilengkapi pemeriksaan:
1. Eksresi albumin urine
2. Rasio albumin/kreatinin
Tidak direkomendasikan bermacam-macam pemeriksaan lain untuk mencari penyebab
hipertensi, kecuali TD tidak dapat dikontrol.

PENGOBATAN
Pengobatan hipertensi tidak hanya berdasarkan pada derajat tekanan darah, tetapi juga
mempertimbangkan terdapatnya factor risiko kardiovaskuler.
Target tekanan darah
Menurut JNC 7, tujuan utama kesehatan masyarakat memberikan terapi antihipertensi
adalah menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskular dan ginjal.
Target TD secara umum adalah < 140/90 mmHg oleh karena dihubungkan dengan
penurunan komplikasi penyakit kardiovascular, dan < 130/80 mmHg jika didapatkan
diabetes dan penyakit ginjal.
Tujuan Terapi JNC 7:
 Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung kardiovaskular dan
ginjal
 Terapi tekanan darah hingga < 140/90 mmHg atau tekanan darah <130/80
mmHg pada penderita dengan diabetes atau penyakit ginjal kronis
 Mencapai target tekanan darah sistolik terutama pada orang berusia ≥ 50 tahun.
Modifikasi Gaya Hidup
Disamping pengobatan farmakologis, modifikasi gaya hidup selalu harus dilakukan
pada penatalaksanaan penderita hipertansi. Modifikasi kebiasan hidup dilakukan pada

56
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

setiap penderita sebagai cara tunggal untuk setiap derajat hipertensi, akan tetapi
bermanfaat dalam menurunkan tekanan darah, memperbaiki efikasi obat antihipertensi
dan cukup potensial dalam menurunkan factor risiko kardiovaskuler, disamping murah
dan efek samping minimal. Modifikasi kebiasaan hidup untuk pencegahan dan
penatalaksanaan hipertensi adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan berat badan (IMT 18,5-24,9 kg/m2) diperkirakan menurunkan TDS
5-20 mmHg/10 kg penurunan berat badan.
2. Diet dengan asupan cukup kalium dan calcium dengan mengonsumsi makanan
kaya buah, sayur, rendah lemak hewani dan mengurangi asam lemak jenuh
diharapkan menurunkan TDS 8-14 mmHg.
3. Mengurangi konsumsi natrium tidak lebih dari 100 mmol/hari (6 gram NaCl)
diharapkan menurunkan TDS 2-8 mmHg
4. Meningkatkan aktivitas fisik misalnya dengan berjalan minimal 30 menit/hari
diharapkan menurunkan TDS 4-9 mmHg
5. Berhenti merokok dan mengurangi konsumsi alcohol

Pengobatan Farmakologi
Menurut JNC 7, uji klinis dengan menggunakan berbagai obat penurunan tekanan darah
termasuk penghambat-ACE (ACE-I), antagonis angiotensin (ARB), antagonis Ca
(CCB), penyakit beta (beta blocker) dan diuretika golongan tiazid, ternyata semuanya
dapat menurunkan komplikasi hipertensi. Diuretika golongan tiazid terbukti dapat
digunakan untuk prevensi komplikasi kardiovaskuler pada penderita hipertensi,
meningkatkan efikasi obat antihipertensi yang lain dan harganya lebih terjangkau.
Sehingga diuretika golongan tiazid dianjurkan sebagai pengobatan awal hipertensi,
sebagai obat tunggal atau kombinasi dengan kelas obat yang lain, kecuali jika ada
indikasi untuk menggunakan obat kelas lain sebagai pengobatan awal.

ALGORITME PENGOBATAN HIPERTENSI


Ternyata kebanyakan penderita hipertensi memerlukan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah. Jika target tekanan darah belum
tercapai, obat kedua dari kelas lain harus segera ditambahkan. Jika tekanan darah 20/10
mmHg di atas target tekanan darah, dipertimbangkan pengobatan awal dengan
menggunakan dua macam kelas obat sebagai obat kombinasi tetap atau masing-masing
diberikan tersendiri. Pemberian dua obat antihipertensi sejak awal akan mempercepat
tercapainya target tekanan darah. Akan tetapi harus diwaspadai kemungkinan hipotensi
ortostatik terutama pada penderita diabetes, disfungsi saraf otonom, dan penderita
geriatri. Penggunaan obat generic atau kombinasi perlu dipertimbangkan untuk
mengurangi biaya.
Penderita paling sedikit harus dievaluasi setiap bulan untuk penyesuaian obat
agar target tekanan darah segera tercapai. Jika target sudah tercapai evaluasi dapat
dilakukan tiap 3 bulan. Penderita dengan hipertensi derajat 2 atau dengan factor
komorbid misalnya diabetes dan payah jantung memerlukan evaluasi lebih sering.
Faktor risiko kardiovaskular yang lain serta adanya kondisi komorbid harus secara
bersama diobati sampai seoptimal mungkin.

57
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

58
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

21. HIPERURISEMIA DAN GOUT ARTHRITIS

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis arthritis gout akut (primer gout) ACR 1980:
1. Lebih dari 1 kali serangan akut arthritis
2. Keradangan maksimum terjadi dalam 24 jam
3. Serangan akut monoartritis
4. Kemerahan pada sendi
5. MTP I nyeri dan bengkak
6. Serangan arthritis pada MTP I unilateral
7. Serangan arthritis pada sendi tarsal unilateral
8. Tofus
9. Hiperurisemia
10. Radiologis : pembengkakan asimetris pada sendi
11. Kiste subkortikal tanpa erosi pada pemeriksaan radiologis
12. Saat serangan ditemukan kristal monosodium urat monohidrat pada cairan sendi
13. Kultur cairan sendi tidak ada pertumbuhan kuman.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan LED, urinalisis, ekskresi asam urat/24 jam, BUN, serum kreatinin,
kadar asam urat dalam darah membantu untuk diagnosis gout arthritis. Analisis cairan
sendi biasanya ditandai dengan inflamasi sendi: leukosit > 2000 mm3, dengan PMN
>75%. Diagnosis pasti didapatkan kristal monosodium urat pada pemeriksaan dengan
mikroskop polarisasi.
Radiologis: pada fase awal hanya didapatkan pembengkakan jaringan lunak
sedangkan pada fase kronis didapatkan erosi sendi, gambaran khas sering disebut erosi
“Punched-out”.

59
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Gambar
4. Kristal

monosodium urat berbentuk seperti jarum


Diferensial diagnosis
Artritis septic, pseudogout, demam rheuma akut, rheumatoid arthritis.
TERAPI GOUT ARTRITIS AKUT
1. Colchicin dosis 0,5 x 1-2 kali/hari dan diberikan sampai tanda inflamasi
berkurang. Peran colchicin dalam terapi gout adalah menghambat fagositosis
kristal monosodium asam urat oleh neutrofil. Efek samping: nyeri perut, diare,
mual, muntah. Dosis harus dikurangi pada pasien yang tua dengan gangguan
fungsi ginjal/hati.
2. NSAID : natrium diklofenak, ketoprofen, ibuprofen, endometasin, steroid.
3. Steroid : bila NSAID atau colchicin ada kontraindikasi, misalnya pada penderita
insufisiensi renal, penderita tua atau kongestif. Diberikan local atau sistemik
dengan aturan yang ketat karena efek samping kortikosteroid yang besar. Dosis
oral prednisone 0,5 mg/kgBB/hari dan ditapering off 10 mg/minggu.
4. Jangan memberikan alluporinol/probenesid pada serangan akut kecuali penderita
telah mengkonsumsi sebelumnya.
5. Pengobatan hiperurisemia.
- Diet rendah purin
- Penghambat xantin oksidase: allopurinol dimulai dengan dosis 100 mg
per oral sampai mencapai dosis antara 200-300 mg/hari, dosis
maksimum 800 mg (dosis disesuaikan dengan fungsi ginjal).
Peningkatan dosis sebaiknya pelan-pelan untuk menghindari penurunan
asam urat yang mendadak, yang mana hal ini dapat mencetuskan
serangan gout arthritis akut. Kadar serum asam urat dipertahankan < 6,4

60
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

mg/dL yaitu kadar di bawah titik saturasi asam urat di dalam darah.
Indikasi batu ginjal, tofus, ekskresi asam urat dalam urine > 800-
1000/hari. alergi urikosurik. Efek samping demam, Steven Johnson
Syndrome, depresi sumsum tulang, vaskulitis, dan hepatitis.
- Urikosurik: Probenesid dosis 1-2 g/hari sulfinpirazone dosis: 2x50-400
mg/hari.
Tabel 1. Bahan-bahan rendah purin dan tinggi protein
Rendah Purin Tinggi Purin
 Sereal, beras, roti putih, sagu,  Daging, jeroan, bebek, daging
tapioca awetan, ikan/hewan laut, sarden,
kepiting, kerang, udang.
 Susu, telur, margarine, mentega,  Ragi, bir, minuman alkohol
buah, kacang (dalam jumlah
sedikit)
 Kubis, sayur hijau  Kedelai, bayam, asparagus, bunga
kol, jamur, emping
 Minuman beralkohol

PENCEGAHAN
Diet rendah purin, turunkan berat badan, hindari alcohol, olah raga ringan dan
teratur, hindari stress, colchisin dosis rendah efektif untuk menghindari eksaserbasi
akut. Colchisin dapat diberikan sampai 6 bulan-1 tahun setelah serangan gout akut. Jika
kadar serum asam urat bisa dipertahankan 5 mg/dL dan tidak ada serangan akut maka
pemberian colchicin untuk maintenance dapat dihentikan. Obat ini cukup toksik,
terutama terhadap ginjal dan hepar, sehingga perlu hati-hati dalam penggunaannya.

61
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

22. ANEMIA DEFISIENSI BESI

GAMBARAN KLINIS ANEMIA DEFISIENSI BESI


Gejala klinis dari anemia defisiensi besi adalah:
1. Anemia
2. Koilonikia
3. Stomatitis angularis
4. Sindrom Plummer Vinson
5. Gastritis
6. Ozaena

KELAINAN LABORATORIUM ANEMIA DEFISIENSI BESI


1. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan anemia yang hipokrom, mikrositer,
anisositosis, poikilositosis, dan retikulosit rendah.
2. Pada pemeriksaan sumsum tulang terdapat hyperplasia normoblastik dan
pengecatan besi negative.
3. Pemeriksaan kimia darah didapatkan Serum Iron rendah (< 15-60 mcgr/100 cc),
TIBC meningkat (> 500 mcgr/100 cc). TIBC meningkat (>500 mcgr/100 cc).
Ferritin rendah (<12 mcgr/100 cc). Protoporfirin rendah (<100-600 mcgr/100 cc)
dan saturasi besi rendah (< 16%).
4. Pemeriksaan foto tulang terdapat tanda-tanda osteoporosis.

DIAGNOSIS BANDING
1. Anemia karena penyakit kronis
2. Thalassemia
3. Hemoglobinopati
4. Sindrom Mielodisplastik
5. Sindrom Mieloproliferatif

PENGOBATAN
1. Memberikan diet yang kaya kalori, protein, dan zat besi.
2. Memberikan preparat besi:
a. Preparat Besi Oral:
Sulfas ferrous: 4 x 1 tab.
Ferrous fumarat: 4 x 1 tab dan Ferrous glukonat: 3 x 1 tab. Pemberian
preparat besi ini dilanjutkan 4-6 bulan sesudah Hb normal. Obat ini aman
digunakan, hanya kadang-kadang dapat memberikan efek samping berupa
nyeri epigastrium, konstipasi, dan diare.
b. Pemberian Preparat Besi Parenteral:
Hanya dianjurkan pada penderita yang mengalami intoleransi
gastrointestinal berupa mual dan muntah. Preparat besi parenteral yang lazim
digunakan adalah inferno, Jectofer, dan Venofer.
3. Mengatasi Penyebabnya.

62
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

PENCEGAHAN ANEMIA DEFISIENSI BESI


1. Penyuluhan intensif hygiene dan sanitasi lingkungan
2. Program pendidikan gozo untuk masyarakat dan petugas kesehatan
3. Peningkatan sosial ekonomi masyarakat dan penyediaan bahan makanan yang
bernilai gizi tinggi.
4. Menanamkan pengertian yang mendalam akan arti dan akibat dari anemia gizi
terhadap masyarakat dan petugas kesehatan.
5. Ion fortification (makanan kaya besi).

63
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

23. PENYAKIT REFLUKS GASTRO-ESOFAGEAL (GERD)

TERAPI
Umum
a. Turunkan BB, tidur ½ duduk , dan tunggu sampai perut kosong
b. Hindari rokok, kopi, coklat, alcohol, pedas, lemak
c. Pakaian longgar
d. Hindari obat tertentu: theofilin, kafein, dan seterusnya.
Khusus
a. PPP, prokinetik, sitoprotektif, antasida
b. Bedah bila obat gagal

64
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

24. GASTRITIS

PENGOBATAN
Pengobatan gastritis akibat infeksi kuman Helicobacter pylori bertujuan untuk
melakuka eradikasi kuman tersebut. Pada saat ini indikasi yang telah disetujui secara
universal untuk melakukan eradikasi adalah infeksi kuman Helicobacter pylori yang ada
hubungannya dengan tukak peptic dan yang berhubungan dengan low grade B cell
lymphoma. Sedangkan pasien yang menderita dyspepsia non tukak, walaupun
berhubungan dengan infeksi kuman Helicobacter pylori eradikasi terhadap kuman
tersebut masih menjadi perdebatan. Mereka yang setuju berpendapat bahwa eradikasi
kuman tersebut ditinjau dari epidemiologi diharapkan dapat menekan kejadian atropi
dan metaplasia pada pasien-pasien yang terinfeksi. Selanjutnya dapat mencegah tukak
peptic, kanker lambung, dan limfoma. Mereka yang tidak setuju menganggap bahwa
belum cukup bukti eradikasi dapat berimplikasi sedemikian luas. Eradikasi dilakukan
dengan kombinasi antara berbagai antibiotic dan proton pump inhibitor (PPI).
Antibiotika yang dianjurkan adalah klaritomisi, amoksisilin, metronidazol, dan
tetrasiklin. Bila PPI dan kombinasi 2 antibiotika gagal dianjurkan menambahkan
bismuth subsalisilat/subsitral.
Tabel 1. Contoh Regimen untuk Eradikasi Infeksi Helicobacter pylori
Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4
PPI dosis ganda Klarithomisin Amoksisilin
(2 x 500 mg) (2 x 1000 mg)
PPI dosis ganda Klarithomisin Metronidazol
(2 x 500 mg) (2 x 500 mg )
PPI dosis ganda Tetrasiklin Metronidazol Subsalisilat/subsitrall
(4 x 500 mg) ( 2 x 500 mg)

Pengelolaan gastritis otoimun ditujukan pada 2 hal yakni defisiensi kobalamin


dan lesi pada mukosa gaster. Atrofi mukosa gaster merupakan keadaan yang
irreversible. Kuman sering bersama-sama dengan penyakit autoimun yang lain,
sebaiknya penyakit yang menyertai tersebut diterapi. Memperbaiki defisiensi kobalamin
sering dapat memperbaiki komplikasi yang timbul akibat defisiensi tersebut.
Komplikasi yang berupa kelainan patologik memang lebih sukar diatasi. Dipikirkan
untuk melakukan surveillance terhadap kemungkinan kanker dengan pemeriksaan
gastroskopi secara periodic.
Gastritis limfositik, sering ada hubungannya dengan infeksi Helicobacter
pillory, bila hal itu terbukti, eradikasi dapat dilakukan dan sering kali membawa
perbaikan. Belum ada terapi khusus untuk gastritis limfositik idiopatik. PPI dosis
standar dapat dicoba dan sering kali memberikan perbaikan. Sedangkan gastritis
limfositik yang menyertai penyakit lain, misal enteropati gluten, pengelolaan ditujukan
kepada penyakit primer.

65
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

25. LEPTOSPIROSIS

MANIFESTASI KLINIS
Pada leptospirosis umumnya terdapat riwayat terpapar hewan terinfeksi, baik
secara langsung/tak langsung. Mungkin mereka bekerja sebagai pekerja abbatoir,
pengepakan, veterinarian (dokter hewan).
Penderita jatuh sakit : 90% bentuk ringan, 5-10% bentuk berat. Masa inkubasi
berlangsung 7-12 hari, disusul fase leptospiremia 4-7 hari. Dijumpai gejala mirip flu
(flu like), bebas 2 hari. Fase imun berlangsung 4-30 hari. Leptospira tidak ada di darah
tetapi ada di ginjal, urine, aquaeou humour. Dijumpai meningitis, uveitis, gangguan
hati, dan ginjal.
Bentuk umum penyakit leptospirosis adalah panas mendadak tinggi, sakit
kepala, nyeri otot, malaise, nyeri perut, vascular collaps.
Fase kedua, demam ringan/negative 1-3 hari. Nyeri kepala tak hilang dengan analgetika.
Nyeri kepala di daerah frontal, bitemporal,retro-orbital, harus diwaspadai adanya
meningitis. Terdapat gejala mialgia, conjungtiva suffusion, adenopati,
hepatosplenomegali, rash, conjunctivitis, ocular pain.

Weil Syndrome
Wei syndrome dilaporkan pertama kali pada tahun 1886, dengan mortalitas yang
tinggi. Gejalanya adalah gejala leptospirosis ditambah ikterus, perdarahan, gangguan
jantung, paru, neurologic.
Penyebab: Severe icterohemorragica, copenhagoni.
Pada permulaan penyakit berjalan seperti biasa: 4-9 hari timbul ikterus,
disfungsi hati, ginjal, ikterus yag kemerahan, (rubinic jaundice), kencing warna gelap,
hepatomegali, bilirubin, dan alkali fosfatase meningkat, peningkatan ringan SGOT dan
SGPT.
Gangguan faal ginjal biasanya berlangsung pada minggu kedua.

DIAGNOSIS
Diagnosis definitive berdasarkan:
1. Isolasi leptospira dari specimen klinik
2. Uji serologi: serokonversi atau kenaikan titer 4 kali.
Kecurigaan leptospirosis berdasarkan data epidemiologi, demam, mialgia otot
betis, dan otot lain.
Sebagai bahan pemeriksaan adalah darah, urine, cairan serebrospinalis.
Leptospira dapat diisolasi dari darah dan atau cairan serebrospinalis dalam 10 hari
pertama: dan dari urine beberapa minggu sejak 1 minggu permulaan penyakit.
Diagnosis banding: penyakit lain dengan demam dengan disertai sakit kepala,
nyeri otot, misalnya malaria, demam tifoid, hepatitis viral, dengue, penyakit ricketsia.
Pemeriksaan dark field microscope dari bahan darah atau urine sering
menyebabkan misdiagnosis dan tidak dianjurkan.

PENGOBATAN
Leptospirosis perlu diobati sedini mungkin. Untuk pengobatan leptospirosis
dibedakan derajat beratnya: leptospirosis ringan, sedang, atau berat, dan profilaksis.

66
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Tindakan khusus diperlukan bila ada gagal gnjal atau gagal napas.
Pengobatan simptomatis ditujukan untuk demam dan nyeri.
Dialisis perlu dipertimbangkan bila dijumpai salah satu berikut:
1. Hiperkalemia yang intractable (K>6,5 mmol/l)
2. Asidosis yang sulit dikoreksi
3. Edema paru
4. Ensefalopati uremik
5. Pericarditis uremik
6. Oliguria (produksi urine kurang dari 200 ml/ 12 jam dan BUN lebih dari 100
mg/dL).

PENCEGAHAN
Pencegahan leptospirosis sukar. Sering diperlukan vaksinasi pada binatang
peliharaan, pengendalian tikus, desinfeksi lingkungan kerja. Juga diberlakukan larangan
berenang di daerah tercemar.
Penyakit Obat yang diberikan
Leptospirosis ringan Doxycicline 100 mg orally bid atau
ampicillin 500-750 mg orally qid atau
amoxicillin 500mg orally qid.
Leptospirosis sedang-berat Penicillin G 1,5 juta unit IV qid atau
Ampicillin 1 g IV qid atau
Amoxillin 1 g IV qid atau
Erythromycine 500 mg IV qid
Chemoprophylaxis Doxycycline 200 mg oral sekali seminggu

PROGNOSIS
Mortalitas 5-20, dipengaruhi oleh terminology leptospirosis, derajat penyakit,
serovar berlainan, usia lanjut, oliguria, renal failure, dyspnue, respiratory insuficienty,
kadar bilirubin tinggi, leukositosis, ECG abnormal, perubahan status mental, sumber
daya, fasilitas.

67
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

26. KERACUNAN MAKANAN

PENGOBATAN
Keracunan ringan-sedang: istirahat di tempat tidur, banyak minum air garam (oralit),
diberikan karbon aktif (norit).
Keracunan berat: sama dengan keracunan ringan-sedang ditambah pasang infuse RL
sampai syok teratasi, dilanjutkan terapi oral (oralit), kalau perlu kirim ke rumah sakit.

68
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

27. HEPATITIS VIRUS AKUT

GEJALA DAN TANDA


Perjalanan klinis hepatitis virus akut hampir sama semuanya, tanpa melihat
etiologinya. Secara klasik, hepatitis virus akut simptomatis menunjukkan gambaran
klinis yang dapat dibagi dalam 4 tahap:
a. Masa Tunas (inkubasi): tergantung pada jenis virus
b. Masa Prodromal/preikterik: 3-10 hari, rasa lesu/lemah badan, panas, mual,
sampai muntah, anoreksia, perut kanan terasa nyeri.
c. Masa Ikterik: didahului urine berwarna coklat, sklera kuning, kemudian
seluruh badan, puncak ikterus dalam 1-2 minggu, hepatomegali ringan yang
nyeri tekan.
d. Masa Penyembuhan: ikterus berangsur kurang dan hilang dalam 2-6
minggu, demikian pada anoreksia, lemah badan, dan hepatomegali.
Penyembuhan sempurna biasanya terjadi dalam 3-4 bulan.
Gejala yang paling awal dari fase prodromal pada akhir masa inkubasi adalah
nonspesifik, konstitusional, dan bervariasi, sebagian besar berupa gejala system
pencernaan, seperti tidak suka makan, mual, dan muntah. Sering didapatkan rasa malas,
cepat lelah, demam, dan pegal linu (flulike syndrome). Nyeri persendian (atralgia),
sangat mungkin disebabkan oleh pembentukan kompleks imun. Pembesaran hati yang
cepat akan menyebabkan rasa nyeri tumpul (kemeng) pada hipokondrium kanan. Perlu
ditekankan bahwa sebagaimana survey serologi pada populasi umum, lebih dari 90%
infeksi akut dengan virus hepatitis adalah asimptomatis atau adanya gejala yang tidak
spesifik yang tidak diikuti oleh diagnosis klinis pada saat periode akut. Perjalanan
asimptomatis sering didapatkan pada infeksi hepatitis virus A pada anak dan hepatitis
virus C pada dewasa. Hepatitis virus akut simptomatis yang disebabkan oleh virus
hepatitis G tidak pernah dilaporkan.
Bila terjadi nekrosis hepatoselluler massa liver fungsional menurun, kegagalan
ekskresi bilirubin akan menyebabkan jaundice (fase ikterus). Jaundice didahului oleh
warna air kencing yang gelap dan feses yang pucat selama beberapa hari. Pada fase ini
gejala prodromal pada umumnya menghilang. Bila kolestasis menonjol akan terjadi rasa
gatal, seperti obstruksi bilier. Penurunan berat badan yang terjadi selama fase ini dapat
disebabkan oleh adanya anoreksia dan kurangnya asupan makanan.
Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya hepatomegali ringan, kadang-
kadang nyeri, dan pada 10-20% pasien bisa didapatkan pembesaran limpa
(splenomegali). Walaupun jarang bisa didapatkan adanya pembesaran kelenjar limfe
leher. Sedikir spider nevi dan eritema palmaris yang ringan yang bisa tampak bila fungsi
liver sangat terganggu, dan akan menghilang bila fungsi liver membaik. Perhatian
khusus harus diperhatikan untuk menyingkirkan bukti-bukti secara fisik adanya
penyakit hati kronis (hepatomegali, splenomegali massive, kolateral vena pada perut,
tanda-tanda hiper-estrogenism pada pria). Karena reaktivasi dari dasar penyakit hati
kronis dapat tampak dengan suatu pola laboratorium yang menyerupai hepatitis virus
akut.
Selama fase ini, penting untuk mencari tanda-tanda awal adanya kegagalan hati
berat (yang secara klinis ditandai dengan koagulopati, somnolen, iritabilitas, dan
perubahan tingkah laku karena ensefalopati hepatic). Bila hal tersebut terjadi

69
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

menunjukkan perkembangan ke arah hepatitis fulminan dan harus segera dirujuk ke


pusat-pusat dengan akses yang siap untuk transplantasi hati darurat (emergency liver
transplantation).
Setelah beberapa minggu, umumnya berkisar 1-4 minggu, gambaran klinis dan
laboratories hepatitis virus akut akan membaik secara nyata, dan pasien masuk dalam
fase pemulihan dalam beberapa minggu. Bila infeksi disebabkan oleh virus hepatitis A
dan virus hepatitis E maka penyembuhannya adalah sempurna, namun bila penyebabnya
adalah virus hepatitis B,D, atau C dapat terjadi evolusi kea rah kronis.
Fase pemulihan umumnya berakhir dalam 3-6 minggu dan jarang sampai 12
minggu, dengan penurunan dan hilangnya gejala umum secara progresif dengan
normalisasi hasil laboratorium. Abnormalitas kadar aminotransferase yang persisten dan
replikasi virus pada saat ini menunjukkan infeksi oleh virus hepatitis B, virus hepatitis
C, yang menyertai evolusi kronis dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk
biopsy hati perkutan.

LABORATORIUM
Hepatitis virus akut ditandai dengan meningkatnya kadar alanin
aminotransferase (ALT=SGPT) dan aspartate aminotransferase (AST=SGOT) yang
kadang-kadang bisa mencapai 100 kali dari harga atas normal. Kadar SGPT umumnya
lebih tinggi daripada SGOT.
Peningkatan aminotransferase adalah cepat dan diikuti hiperbilirubinemia,
terutama yang tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Pada bentuk yang lebih ringan,
khususnya pada anak-anak, bisa didapatkan tidak adanya peningkatan bilirubin serum
yang nyata. Peningkatan bilirubin ini didapatkan dalam beberapa hari setelah
penurunan kadar aminotransferase serum. Jaundice nyata (bilirubin > 20 mg/dl) yang
menetap lebih dari 1 minggu pada hepatitis virus akut bisa merupakan tanda gagal hati
berat dan berkaitan dengan prognosis yang buruk.
Kadar albumin serum umumnya tidak menurun, kecuali pada kasus sub akut
yang lebih berat setelah minggu pertama penyakit. Prothrombin Time dapat terganggu,
dan pemanjangan ini berkaitan dengan derajat kegagalan fungsional hati. Indikator
prognosis yang lebih dapat dipercaya pada hepatitis virus akut yang berat adalah
pemeriksaan secara serial dari factor koagulasi (khususnya factor V) dan inhibitor
koagulasi (antithrombin III). Penurunan di bawah 30 sampai 50% dari harga normal
umumnya menunjukkan penurunan yang berat dari massa hati fungsional. Bila juga
terjadi trombositopenia (<100.000/mm3), penurunan kadar protein koagulasi ini dapat
merupakan akibat dari peningkatan konsumsi yang disebabkan oleh koagulasi
intravaskuler diseminata. Trombositopenia dan pemanjangan masa protrombin juga
dapat menunjukkan penyakit hati kronis yang mendasarinya.
Perlu bahan hemositometri sering didapatkan selama perjalanan hepatitis akut.
Leukopenia dengan netropenia dan limfopenia bisa didapatkan pada fase awal infeksi,
kemudian akan diikuti dengan relative limfositosis atipikal seperti yang terlihat pada
infeksi mononucleosis.
Lebih dari separuh pasien dengan hepatitis virus akut dapat mengalami
hipoglikemia selama fase simtomatis yang disebabkan oleh berkurangnya simpanan
glikogen hati dan sering diperberat oleh asupan makanan yang kurang akibat mual dan
diet yang tidak cukup.

70
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Pemeriksaan virology memainkan peranan yang penting dalam menegakkan


diagnosis etiologis hepatitis virus akut. Identifikasi yang benar dari penyebab tidak saja
penting untuk menentukan penatalaksanaan dan prognosis pasien, tetapi juga untuk
mengotrol penularan infeksi pada lingkungan.

DIAGNOSIS
Diagnosis hepatitis akut berdasarkan keluhan/gejala dan gambaran laboratorium
seperti diuraikan di atas. Diagnosis virologist (sebagai penyebab) dengan petanda
serologi virus hepatitis:
Hepatitis A : IgM anti HAV (+)
Hepatitis B : HBsAg (+), IgM anti HBc (+)
Hepatitis C : IgM anti HCV (+)
Hepatitis D : IgM anti HDV (+), HBsAg (+)
Hepatitis E : IgM anti HEV (+)

DIAGNOSIS BANDING
Hepatitis yang disebabkan oleh virus nonhepatotropik dapat menyerupai bentuk
ringan dari hepatitis virus akut. Sejumlah obat-obatan yang berkaitan dengan kerusakan
sel hati juga dapat menyerupai hepatitis virus akut. Obat-obatan yang dapat
menyebabkan kerusakan tersebut antara lain adalah antihipertensi, antiinflamasi
nonsteroid, dan obat antituberculosis. Penghentian obat-obatan ini akan menurunkan
gejala. Asetaminofen dapat menyebabkan gagal hati fulminan bila diminum dalam dosis
yang berlebihan. Obat ini akan menimbulkan masalah khususnya pada alkoholik,
dimana akan terjadi kerusakan hati yang berat bila dengan mengkonsumsi secara teratur
sedikitnya 5 gram per hari.
Kerusakan hati akibat alcohol sendiri juga harus dipikirkan sebagai diagnosis
banding. Pada hepatitis alkoholik, tidak seperti hepatitis virus akut, aminotransferase
umumnya meningkat kurang dari 10 kali harga atas normal, dengan peningkatan AST
yang tidak proporsional dengan ALT.
Gagal jantung, baik kanan maupun kiri, dapat menyebabkan kerusakan hati akut
sekunder terhadap stasis. Pemeriksaan fisik dapat menolong kita untuk membedakan
penyebab kardiak.
Kolesistitis akut atau obstruksi billier, kadang-kadang dapat dikacaukan dengan
hepatitis virus akut, tetapi adanya nyeri bilier dengan temuan ultrasonografi dapat untuk
membedakan keduanya.

KOMPLIKASI
Hepatitis virus akut dapat memberikan komplikasi berupa: (1) kolesistitis (2)
gagal hati fulminan atau gagal hati subakut, dan (3) hepatitis aplastic anemia syndrome.

PENATALAKSANAAN
Istirahat baring pada masa masih banyak keluhan, mobilisasi berangsur dimulai
jika keluhan/gejala berkurang, bilirubin dan transaminase serum menurun.
Pada umumnya, tidak ada terapi khusus untuk hepatitis virus akut tanpa
komplikasi. Sebagian kecil pasien umumnya sangat muda atau sangat tua memerlukan
perawatan di rumah sakit untuk masalah nutrisi atau dehidrasi, untuk penyakit yang

71
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

berat dengan perburukan status koagulasi atau ensefalopati, atau adanya penyakit
penyerta lain yang serius.
Diet tidak perlu dibatasi, kecuali pada keadaan kesadaran mulai menurun
diperhatikan jumlah protein yang diberikan. Diet tinggi kalori harus dipertahankan,
meskipun hal ini sulit pada pasien anoreksia dan tidak tahan terhadap makanan yang
mengandung lemak. Bila mual dan muntah lebih menonjol, sebaiknya makanan
berlemak dikurangi. Obat-obatan prokinetik (metoklopramide, domperidone, cisapride)
dapat diberikan apabila ada mual dan muntah. Nutrisi parenteral kadang-kadang
dibutuhkan untuk menyuplai nutrisi yang baik dan hidrasi. Pada pasien dengan
kolestasis yang berat diperlukan suplementasi vitamin K.
Alkohol harus dihentikan dan obat-obatan yang dimetabolisme di hepar harus
dihindari. Apabila terdapat gatal-gatal dapat diberikan antihistamin dan bile acid
chelators (cholestyramin, cholestypol).

PENCEGAHAN
 Isolasi ketat untuk penderita tidak mutlak diperlukan, asal penderita, perawat, dan
penghuni serumah atau tamu dapat secara ketat mengikuti atau melaksanakan
enteric & blood precaution, antara lain pemakaian sarung tangan pada kontak
darah/tinja.
 Donor darah:
- Uji saring untuk virus B : HbsAg
- Uji saring untuk virus C : IgM anti HCV
 Pemakaian jarum / alat suntik yang disposable
 Imunoprofilaksis
1. Hepatitis A
Pra-paparan pariwisata ke daerah endemic: globulin serum imun atau
imunisasi pasif 3 bulan 0,02 ml/kg (1 kali); 3 bulan 0,06 ml/kg (setiap 4-6
bulan).
Pasca paparan:Penghuni serumah dan kontak seksual dengan hepatitis A:
0,02 ml/kg (1 kali, selambatnya 2 minggu setelah kontak).
Vaksinasi hepatitis virus A (imunisasi aktif masih dalam taraf uji coba
klinis).
2. Hepatitis B
Pra-paparan:
Vaksin hepatitis B (imunisasi aktif)
Dewasa : 20 µg (1 ml ) i.m bulan 0, 1, 6,
Anak : 10 µg (0,5 ml) i.m bulan 0, 1, 6
Pasca paparan:
Imunisasi pasif dengan Hepatitis B Hyperimmune Globuline (HBIG)
Dewasa/Anak: 0,06 ml/kg i.m diberikan kurang dari 24 jam.
Neonatus: 0,5 ml i.m waktu lahir, kemudian diikuti dengan protocol
vaksinasi (imunisasi aktif) selambatnya 7 hari pasca paparan, sedangkan
untuk dewasa/anak 7-14 hari pasca paparan.

PROGNOSIS

72
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi klinik/perjalanan penyakit


bervariasi tergantung umur, virus, gizi, dan penyakit lain yang menyertai.
Hepatitis B: 90% sembuh sempurna, 5-10% menjadi kronis, jangka panjang menjadi
sirosis atau kanker hati primer.
Hepatitis C: 80-90% menjadi kronis, 60-90% kasus hepatitis pascatransfusi adalah C.

73
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

28. INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)

KOMPLIKASI
Urosepsis

PENGOBATAN ISK
Tujuan dari pengobatan ISK:
1. Menghilangkan kuman dan koloni kuman (membuat urine steril)
2. Menghilangkan gejala
3. Mencegah dan mengobati sepsis
4. Mencegah gajala sisa

74
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Antibiotik pada ISK Bawah Tak Berkomplikasi


Jenis Obat Dosis dan Interval Lama Pengobatan
Trimetoprim-sulfametoksazole 160/800 mg q 12 jam 3 hari
Trimetoprim 100 mg q 12 jam 3 hari
Siprofloksasin 100-250 mg q 12 jam 3 hari
Levofloksasin 250 mg q 12 jam 3 hari
Sefiksim 400 mg q 24 jam 3 hari
Sefpodoksim proksetil 100 mg q 12 jam 3 hari
Nitrofurantoin-makrokristal 50 mg q 6 jam 3 hari
Nitrofurantoin monohidrat 100 mg q 12 jam 3 hari
makrokristal
Amoksisilin klavulanat 500 mg q 12 jam 3 hari

Obat Antibiotik Parenteral pada ISK atas Akut Berkomplikasi


Antibiotik, Dosis Interval
Sefepim, 1 gram q 12 jam
Siprofloksasin, 500 mg q 12 jam
Levofloksasin, 500 mg q 24 jam
Ofloksasin, 400 mg q 12 jam
Gentamisin, 3-5 mg/kgBB (+Ampisilin) q 24 jam
Gentamisin, 1 mg/kgBB (+ampisillin) q 8 jam
Ampisilin, 1-2 gram (+gentamicin) q 6 jam
Tikarsilin-klavulanat, 3,2 gram q 8 jam
Piperasillin-tazobaktam, 3,375 gram q 2-8 jam
Imipenen-silastatin, 250-500 mg q 6-8 jam
Cefotaksim, 1 gram q 8 jam

Pengobatan ISK yang disebabkan oleh jamur diberikan Flukonazol 200-400 mg/hari
selama 14 hari. Pengobatan ISK pada wanita hamil diberikan golongan nitrofurantoin,
ampisilin, dan sefalosporin.

75
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

29. ASMA BRONKIAL

PENGOBATAN
Berdasarkan pathogenesis yang telah dikemukakan, strategi pengobatan asma
dapat ditinjau dari berbagai pendekatan. Seperti mengurangi respons saluran napas,
mencegah ikatan allergen dengan IgE, mencegah penglepasan mediator kimia, dan
merelaksasi otot-otot polos bronkus.
Mencegah Ikatan Alergen-IgE
a. Menghindari allergen, tampaknya sederhana, tetapi lebih sering sukar dilakukan
b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil allergen yang dosisnya makin
ditingkatkan diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang
akan mencegah ikatan allergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi
pada orang dewasa saat ini masih diragukan.
Mencegah Penglepasan Mediator
Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang
dicetuskan oleh allergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah
penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme
bronkus yang telah terjadi, oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada
terapi pemeliharaan.
Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi,
meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsic dan asma karena kegiatan
jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat sebagai
bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan mediator.
Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator
a. Simpatomimetik :
1) Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-
obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut. Dapat diberikan secara
inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler) atau nebulizer
2) Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan
asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa
muda.
3) Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal,
diikuti dengan dosis pemeliharaan.
4) Kortikosteroid. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara
tidak langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan
asma akut atau terapi pemeliharaan.
5) Antikolinergik (ipatropium bromide) terutama dipakai sebagai suplemen
bronkodilator agonis beta 2.
Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang
berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan adanya
infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut. Implikasi terapi
proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada baik dengan natrium
kromolin atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara oral, parenteral, atau
inhalasi seperti pada asma akut atau kronik.
Pengobatan Asma menurut GINA (Global Initiative for Asthma)

76
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu lokakarya
Global Initiative for Asthma Management and Prevention yang dikoordinasikan oleh
National Heart, Lung, and Blood Institute Amerika serikat dan WHO. Ada enam
komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
1. Penyuluhan Kepada Pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan
kerjasama antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat
tercapai bila pasien dan keluarganya memahami penyakitnya, tujuan
pengobatan, obat-obatan yang dipakai serta efek sampingnya.
2. Penilaian Derajat Beratnya Asma
Penilaian derajat beratnya asma baik melalui pengukuran gejala, pemeriksaan uji
faal paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil
pengobatan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma tanpa
gejala, ternyata pada pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya
obstruksi saluran napas.
3. Pencegahan dan Pengendalian Faktor Pencetus Serangan
Diharapkan dengan mencegah dan mengendalikan factor pencetus serangan
asma makin berkurang atau derajat asma makin ringan.
4. Perencanaan Obat-obatan Jangka Panjang
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala
asma, ada 3 hal yang harus dipertimbangkan:
a) Obat-obatan antiasma
b) Pengobatan farmakologis berdasarkan system anak tangga
c) Pengobatan asma berdasarkan system wilayah bagi pasien
Obat-obat anti asma. Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah
dan mengendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti-asma antara lain:
Pencegah (controller): yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan
agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-
obat anti-inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat
antiinflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif
sebagai pencegah. Obat-obat antialergi, bronkodilator atau obat golongan lain
sering dianggap termasuk obat pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat,
karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas misalnya
mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik, memperbaiki
fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki kualitas hidup.
Obat antiinflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya
profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi jangka panjang
ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan
reaktivitas bronkus lebih baik bila dibandingkan bronkodilator.
Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid
sistemik , natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL),
agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol, dan formoterol) dan oral, dan
obat-obat antialergi.
Penghilang gejala (reliever) : Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang
dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya
dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja

77
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin kerja


pendek, agonis beta 2 oral kerja pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan
obat terpilih untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan
jasmani, dapat mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2
hirup juga dipakai sebagai penghilang gejala pada asma episodic.
Peran kortikosteroid sistemik pada asma akut adalah untuk mencegah
perburukan gejala lebih lanjut. Obat tersebut secara tidak langsung mencegah
atau mengurangi frekuensi perawatan di ruang gawat darurat atau rawat inap.
Antikolinergik hirup atau ipratropium bromide selain dipakai sebagai tambahan
terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai obat alternative
pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonis beta2. Teofilin
maupun agonis beta 2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa
memakai sediaan hirup.
Pengobatan Farmakologis Berdasarkan Anak Tangga
Sampai sejauh ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan asma, karena itu
dipakai istilah terkendali dalam pengobatan asma. Suatu asma dikatakan
terkendali bila: gejala asma kronik minimal, termasuk gejala asma malam,
serangan/eksaserbasi akut minimal, kebutuhan agonis beta 2 sangat minimal
tidak ada keterbatasan aktivitasm variasi APE kurang dari 20%, nilai APE
normal atau mendekati normal, efek samping obat minimal, tidak memerlukan
pertolongan gawat darurat.
Berdasarkan pengobatan farmakologis sistemik anak tangga, maka menurut
berat ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat:
1. Asma intermitten
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala intermitten (kurang dari sekali seminggu)
- Serangan singkat (beberapa jam sampai hari)
- Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan
- Diantara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal
- Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20%.
Obat yang dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas
serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral.
2. Asma persisten ringan
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala lebih dari 1x seminggu, tetapi kurang dari 1x perhari
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- Serangan asma malam lebih dari 2x/sebulan
- Nilai APE atau VEP1 >80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30%.
Obat yang digunakan: setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu
3. Asma persisten sedang
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala setiap hari
- Serangan mengganggu aktivitas dan tidur
- Serangan asma malam lebih dari 1 kali seminggu

78
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Setiap hari menggunakan agonis beta 2 hirup


- Nilai APE dan VEP 1 antara 60-80% nilai prediksi, variabilitas > 30%.
Obat yang dipakai: setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan
bronkodilator kerja panjang.
4. Asma persisten berat
Gambaran klinis sebelum pengobatan:
- Gejala terus menerus, sering mendapat serangan
- Gejala asma malam sering
- Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma
- Nilai APE atau VEP1 kurang dari 60% nilai prediksi, variabilitas > 30%.
Obat yang dipakai: setiap hari obat-obat pencegah, dosis tinggi,
kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka
panjang.
Pengobatan dimulai sesuai dengan tahap atau tingkat beratnya asma. Bila
gejala asma tidak terkendali, lanjutkan pengobatan ke tingkat berikutnya.
Tetapi sebelumnya perhatikan lebih dahulu apakah teknik pengobatan,
ketaatan berobat serta pengendalian lingkungan (penghindaran allergen atau
factor pencetus) telah dilaksanakan dengan baik.
Setelah asma terkendali paling tidak untuk jangka waktu 3 bulan, dapat
dicoba menurunkan obat-obat anti asma secara bertahap, sampai mencapai
dosis minimum yang dapat mengendalikan gejala.
5. Merencanakan Pengobatan Asma Akut (Serangan Asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi
dari gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan
sampai berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga
perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa
serangan asma akut menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal
atau pasien sedang terpajan factor pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
a) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera;
b) Mengatasi hipoksemia;
c) Mengembalikan fungsi paru kea rah normal secepat mungkin;
d) Mencegah terjadinya serangan berikutnya;
e) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-cara
mengatasi dan mencegah serangan asma.
Dalam penatalaksanaan serangan asma perlu diketahui lebih dahulu derajat
beratnya serangan asma baik berdasarkan cara bicara, aktivitas, tanda-tanda fisis,
nilai APE. Hal lain yang juga perlu diketahui apakah pasien termasuk pasien asma
yang berisiko tinggi untuk kematian karena asma, yaitu pasien yang:
- Sedang memakai atau baru saja lepas dari kortikosteroid sistemik
- Riwayat rawat inap atau kunjungan ke unit gawat darurat karena asma
dalam setahun terakhir
- Gangguan kejiwaan atau psikososial
- Pasien yang tidak taat mengikuti rencana pengobatan
Pengobatan asma akut

79
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Prinsip pengobatan asma akut aalah memelihara saturasi oksigen yang cukup
(SaO2 ≥ 92%) dengan memberikan oksigen, melebarkan saluran napas dengan
pemberian bronkodilator aerosol (agonis beta 2 dan Ipratropium Bromida) dan
mengurangi inflamasi serta mencegah kekambuhan dengan memberikan kortikosteroid
sistemik. Pemberian oksigen 1-3 liter/menit, diusahakan mencapai SaO2 ≥ 92%
sehingga bila pasien telah mempunyai SaO2 ≥ 92% sebenarnya tidak lagi membutuhkan
inhalasi oksigen.
Bronkodilator khususnya agonis beta 2 hirup (kerja pendek) merupakan obat
anti-asma pada serangan asma, baik dengan MDI atau nebulizer. Pada serangan asma
ringan atau sedang pemberian aerosol 2-4 kali setiap 20 menit cukup memadai untuk
mengatasi serangan. Obat-obat anti-asma yang lain seperti antikolinergik hirup, teofilin,
dan agonis beta 2 oral merupakan obat-obat alternative karena mulai kerjanya yang
lama serta efek sampingnya yang lebih besar. Pada serangan asma yang lebih berat,
dosis agonis beta 2 hirup dapat ditingkatkan. Sebagian peneliti menganjurkan
pemberian kombinasi Ipratropium bromide dengan salbutamol, karena dapat
mengurangi perawatan rumah sakit dan mengurangi biaya pengobatan.
Kortikosteroid sistemik diberikan bila respon terhadap agonis beta 2 hirup tidak
memuaskan. Dosis prednisolon antara 0,5-1 mg/kgBB atau ekivalennya. Perbaikan
biasanya terjadi secara bertahap, oleh karena itu pengobatan diteruskan untuk beberapa
hari. Tetapi bila tidak ada perbaikan atau minimal, segera pasien dirujuk ke fasilitas
pengobatan yang lebih baik.
Pasien harus segera dirujuk bila:
1) Pasien dengan risiko tinggi untuk kematian karena asma
2) Serangan asma berat APE < 60% nilai prediksi
3) Respon bronkodilator tidak segera, dan bila ada respon hanya bertahan kurang
dari 3 jam
4) Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah mendapat pengobatan
kortikosteroid
5) Gejala asma makin memburuk

6. Berobat Secara Teratur


Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan, pasien asma pada
umumnya memerlukan pengawasan yang teratur dari tenaga kesehatan. Kunjungan yang
teratur ini diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara
menghindari factor pencetus serta penggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil
pengobatan, kunjungan ini akan semakin berkurang.

80
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

30. PNEUMONIA

PENGOBATAN
Pengobatan terdiri atas antibiotic dan pengobatan suportif. Pemberian antibiotic
pada penderita pneumonia sebaiknya berdasarkan data mikroorganisme dan hasil uji
kepekaan, akan tetapi karena beberapa alasan:
1. Pneumonia yang berat dapat mengancam jiwa
2. Kuman pathogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai penyebab
pneumonia
3. Hasil pembiakan kuman memerlukan waktu maka pada penderita pneumonia
dapat diberikan terapi secara empiris
Secara umum pemilihan antibiotic berdasarkan bakteri penyebab pneumonia dapat
dilihat sebagai berikut:
Penisilin sensitive Streptococcus pneumonia (PSSP)
- Golongan Penisilin
- TMT-SMZ
- Makrolid
Penisilin resisten Streptococcus pneumonia (PRSP)
- Betalaktam oral dosis tinggi (untuk rawat jalan)
- Sefotaksim, seftriakson dosis tinggi
- Makrolid baru dosis tinggi
- Fluorokuinolon respirasi
Pseudomonas aeruginosa
- Aminoglikosida
- Seftazidim, sefoperason, sefepim
- Tiraksilin, Piperasilin
- Karbapenem: meropenem, imipenem
- Siprofloksasin, levofloksasin
Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
- Vancomisin
- Teikoplanin
- Linezolid
Haemophilus influenza
- TMT-SMZ
- Azitromisin
- Sefalosporin generasi 2 atau 3
- Fluorokuinolon respirasi
Legionella
- Makrolid
- Fluorokuinolon
- Rifampisin
Mycoplasma pneumonia
- Doksisilin
- Makrolid
- Fluorokuinolon

81
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

Chlamydia pneumonia
- Doksisiklin
- Makrolid
- Fluorokuinolon

KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi:
- Efusi pleura
- Empiema
- Abses paru
- Pneumotoraks
- Gagal napas
- Sepsis

PNEUMONIA KOMUNITI
Pneumonia komuniti adalah pneumonia yang didapat di masyarakat. Di dunia,
pneumonia komuniti ini merupakan masalah kesehatan karena angka kematiannya yang
tinggi.
1. Etiologi
Menurut kepustakaan penyebab pneumonia komuniti banyak disebabkan kuman
gram positif dan dapat pula kuman atipik. Akan tetapi di Indonesia, laporan
akhir-akhir ini dari beberapa kota menunjukkan bahwa kebanyakan kuman yang
ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
gram negative.
Berdasarkan laporan 5 tahun terakhir dari beberapa pusat paru di Indonesia
(Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, Makassar) dengan cara pengambilan bahan
dan metode pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda didapatkan hasil
pemeriksaan sputum sebagai berikut:
- K. pneumonia 45,18%
- S.pneumoniae 14,04%
- S.viridans 9,21%
- S.aureus 9%
- Pseudomonas aeruginosa 8,56%
- Β hemolitik 7,89%
- Enterobacter 5,26%
- Pseudomonas spp 0,9%
2. Diagnosis
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan fisik,foto toraks dan laboratorium. Diagnosis pasti pneumonia
komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrate baru atau infiltrate
progresif ditambah dengan 2 atau lebih gejala di bawah ini:
- Batuk-batuk bertambah berat
- Perubahan karakteristik dahak/purulen
- Suhu tubuh ≥ 37,5o C (oral)/riwayat demam
- Pemeriksaan fisik: ditemukan tanda-tanda konsolidasi dan rhonki

82
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Leukosit ≥ 10.000 atau < 4500

Penilaian derajat keparahan penyakit


Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan
menggunakan system skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome
Research Team (PORT) seperti tabel 1. Dibawah ini:
Karakteristik penderita Jumlah poin
Faktor demografi
- Usia: laki-laki Umur (tahun)
Perempuan Umur (tahun)-10
- Perawatan di rumah +10
- Penyakit penyerta
Keganasan +30
Penyakit Hati +20
Gagal jantung kongestif +10
Penyakit Cerebrovascular +10
Penyakit Ginjal +10

Pemeriksaan Fisik
- Perubahan status mental +20
- Pernapasan ≥ 30 kali/menit +20
- Tekanan darah sistolik ≤ 90 mmHg +20
- Suhu tubuh < 35oC atau ≥40oC
- Nadi ≥125 kali/menit +15
+10
Hasil laboratorium/Radiologik
- Analisis gas darah arteri: +30
pH 7,35
- BUN > 30 mg/dL +20
- Natrium < 130 mEq/liter +20
- Glukosa > 250 mg/dL +10
- Hematokrit <30% +10
- PO2 ≤ 60 mmHg +10
- Efusi pleura +10

Menurut American Thoracic Society (ATS) kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah
satu atau lebih kriteria di bawah ini:
Kriteria Minor:
- Frekuensi napas > 30/menit
- PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral
- Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolic < 60mmHg
Kriteria Mayor:

83
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Membutuhkan ventilasi mekanik


- Infiltrat bertambah > 50%
- Membutuhkan vasopresor > 4 jam (syok septic)
- Serum kreatinin ≥ 2 mg/dl atau peningkatan ≥ 2 mg/dl, pada penderita
riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialysis.
Berdasarkan kesepakatan perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003, kriteria
yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:
1. Skor PORT lebih dari 70
2. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu dirawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini:
- Frekuensi napas > 30/menit
- PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg
- Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral
- Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus
- Tekanan sistolik < 90 mmHg
- Tekanan diastolic < 60 mmHg
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA

Kriteria Perawatan Intensif


Penderita yang memerlukan perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah penderita
yang mempunyai paling sedikit 1 dari 2 gejala mayor tertentu (membutuhkan ventilasi
mekanik dan membutuhkan vasopresor > 4 jam [syok septic] atau 2 dari 3 gejala minor
tertentu (PaO2/FiO2 kurang dari 250mmHg, gambaran rontgen paru menunjukkan
kelainan bilateral, dan tekanan sistolik < 90 mmHg). Kriteria minor dan mayor yang
lain bukan merupakan indikasi untuk perawatan Ruang Rawat Intensif.

PNEUMONIA NOSOKOMIAL
Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang terjadi pada waktu penderita
dirawat di rumah sakit, yang infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa
inkubasi pada waktu masuk rumah sakit, dan biasanya terjadi setelah 72 jam pertama
masuk rumah sakit. Pneumonia nosokomial merupakan 15% dari seluruh kasus infeksi
nosokomial. Diperkirakan dari 1000 penderita yang dirawat inap di rumah sakit, 5-10
diantaranya mengalami pneumonia nosokomial dan akan meningkat 6-20 kali pada
penderita yang menggunakan ventilasi mekanik. “Ventilator Associated pneumonia”
adalah subgroup dari pneumonia nosokomial sebagai bentuk penyulit pemasangan
ventilator.
Selain meningkatkan 2-3 kali lama perawatan di rumah sakit yang berakibat
menambah biaya perawatan, pneumonia nosokomial juga menjadi penyebab kematian
utama yakni 20-50%. Angka kematian tersebut akan meningkat lagi apabila terjadi
bakterimia dan atau ditemukan kuman P.aeruginosa atau Acinebacter sebagai pathogen
penyebab.
1. Etiologi
Mikroorganis me penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia
komuniti. Dari kumpulan berbagai penelitian di luar negeri, pathogen umumnya
adalah bakteri gram negative (tersering E.coli, Klebsiella spp, Enterobacter
spp, Serratia spp, Proteus spp) dan pathogen-patogen yang potensial

84
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

multiresisten seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinebacter spp dan


Stenotrophomonas spp. Strain ini merupakan 55-85% sebagai kuman penyebab.
Kuman Gram positif Staphylococcus aureus akhir-akhir ini juga meningkat
ditemukan sebagai pathogen penyebab sebesar 20-30%. Sedang polimikrobial
sebagai pathogen-patogen penyebab berkisar antara 13-60%. Patogen penyebab
yang lebih jarang ialah Legionella spp, anaerob, jamur, virus pernapasan.

2. Diagnsosis
Menganut kriteria dari the CDC (the Centers for Disease Control), diagnosi
pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut:
1. Onset pneumonia timbul kebih dari 72 jam setelah masuk rumah sakit, yang
infeksinya tidak timbul atau tidak sedang dalam masa inkubasi pada waktu
masuk rumah sakit.
2. Pemeriksaan fisik menunjukkan rhonki, kepekaan atau adanya infiltrate pada
foto toraks ditambah adanya satu atau lebih dari gejala berikut ini:
b) Sputum yang purulen
c) Didapatkan isolasi pathogen dari darah, aspirasi trakea, specimen yang
berasal dari biopsy atau sikatan bronkus
d) Titer antibody terhadap suatu pathogen
e) Pemeriksaan histopatologi membuktikan adanya pneumonia

Faktor Predisposisi atau Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial


Penderita yang mempunyai predisposisi timbulnya aspirasi mempunyai risiko
mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar
berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan
inang yang gagal membersihkan inokulum berakibat terjadi proliferasi dan inflamasi
sehingga timbul pneumonia. Interaksi antara factor (endogen) inang dan factor-faktor
eksogen akan menyebabkan kolonisasi bakteri pathogen di saluran napas bagian atas
atau pencernaan makanan. Kolonisasi kuman-kuman sebagaimana disebut sebagai
etiologi tersebut dia tas di saluran napas bagian atas merupakan titik awal yang penting
akan terjadinya pneumonia.
Sebagai factor (endogen) inang adalah:
1. Debiliti
2. Dasar penyakit: diabetes, penyakit jantung, PPOK,dll (misal: PPOK akan
meningkatkan risiko 3,7 kali timbulnya pneumonia nosokomial)
3. Usia
Sedang sebagai factor eksogen adalah:
1. Pembedahan
Besar risiko terjadinya pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan operasi
abdomen bawah (5%)
2. Penggunaan Antibiotik
Antibiotik dapat mempermudah terjadinya kolonisasi, terutama antibiotic yang
aktif terhadap streptococcus di orofaring dan kuman anaerob di saluran
pencernaan makanan. Sebagai contoh: pemberian antibiotic golongan penisilin
mempengaruhi flora normal di orofaring melepaskan bakteriosin yang

85
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

menghambat pertumbuhan bakteri gram negative. Pemberian penisilin dosis


besar akan menurunkan sejumlah bakteri gram positif dan meningkatkan
kolonisasi bakteri gram negative di orofaring.
3. Peralatan terapi pernapasan
Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh kuman Pseudomonas aeruginosa
dan kuman Gram negative lainnya sering berperan disini.
4. Pemasangan pipa nasogastrik, antasida, dan alimenasi enteral.
Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negative di lambung, karena
dengan pH < 3 mampu dengan cepar membersihkan bakteri yang tertelan.
Pemberian antasida/H2 bloker yang mempertahankan pH > 4 menyebabkan
kolonisasi di lambung oleh bakteri gram negative aerob. Sedang larutan
makanan enteral sendiri mempunyai pH netral 6,4-7,0.
Klasifikasi Pneumonia Nosokomial
Berdasarkan American Thoracic Society (ATS) dengan melihat 3 faktor sebagaimana di
bawah ini:
1. Beratnya penyakit pneumonia:
- Ringan-sedang
- Berat
2. Faktor risiko
3. Onset dari penyakit pneumonia:
- Onset dini (< 5 hari)
- Onset lanjut (> 5 hari)
Maka pneumonia nosokomial dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
Kelompok I :Pneumonia ringan-sedang, onset setiap saat dan tidak ada factor risiko
atau pneumonia berat dengan onset dini dan tidak ada factor risiko.
Kelompok II : pneumonia ringan-sedang, factor risiko spesifik dan onset setiap
waktu
Kelompok III : Pneumonia berat onset setiap waktu dengan factor risiko spesifik dan
atau pneumonia berat dengan onset lambat dan tidak ada factor risiko.

Kriteria Pneumonia Berat:


1. Dirawat di ruang rawat intensif karena pneumonia atau gagal napas.
2. Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas mekanik atau membutuhkan O2
> 35% untuk mempertahankan saturasi O2 > 90%.
3. Perubahan radiologis secara progresif, pneumonia multilobar atau kaviti dari
infiltrasi paru.
4. Terdapat sepsis dengan hipotensi dan atau disfungsi organ termasuk:
- Syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolic < 60 mmHg)
- Memerlukan vasopressor > 4 jam
- Jumlah urine < 20 mm/jam atau jumlah urin 80 ml/4 jam
- Gagal ginjal akut yang membutuhkan dialysis
Pengobatan:
Pengobatan didasarkan atas klasifikasi pneumonia nosokomial menurut ATS
sebagaimana tersebut di atas:
Kelompok I:

86
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

- Kuman penyebab : Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella spp. Proteus spp,


S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae, S.aureus (hati-hati
kemungkinan ada MRSA)
- Obat pilihan : sefalosporin generasi 2 atau 3 non pseudomonas,
betalaktam+ inhibitor betalaktamase
- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau
klindamisin+aztreonam.
Kelompok II:
- Kuman penyebab utama: Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella spp,
Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae, S.aureus (hati-
hati kemungkinan ada MRSA)
- Kuman penyebab tambahan: anaerob, MRSA, Legionella spp, P.
aeruginosa.
- Obat pilihan : sefalosporin generasi 2 dan 3 atau non pseudomonas,
betalaktam+inhibitor betalaktamase
- Jika alergi penisilin dapat diberikan fluorokuinolon atau
klindamisin+aztreonam
- Jika dicurigai anaerob diberikan klindamisin atai metronidazol atau
betalaktam+inhibitor betalaktamase
- Jika dicurigai Legionella spp : makrolid atau fluorokuinolon
- Jika dicurigai MRSA diberikan : vankomisin
- Jika dicurigai P.aeruginosa diberikan sesuai dengan kelompok II.
Kelompok III:
- Kuman penyebab utama: Enterobacter spp, E.coli, Klebsiella spp,
Proteus spp, S. marcescens, H. influenza, S.pneumoniae, S.aureus (hati-
hati kemungkinan ada MRSA).
- Kuman penyebab tambahan : P. aeruginosa, Acinetobacter spp, S.
maltophilia, MRSA.
- Obat pilihan : aminoglikosida dikombinasi dengan salah satu di bawah
ini:
o Penisilin anti pseudomonas
o Piperasilin + tasobaktam
o Seftazidim atau sefoperason
o Imipenem
o Meropenem
o Sefepim
Harus dipikirkan kemungkinan terdapat infeksi P.aeruginosa atau Acinetobacter atau
MRSA. Pada keadaan-keadaan ini diperlukan pengobatan antibiotic kombinasi. Jika
terdapat S.matophilia dapat diberikan kotrimoksazol atau sefalosporin generasi 4.
Lama Pengobatan
Dalam penelitian prospektif tidak ada catatan mengenai lamanya pemberian
antibiotic pada penderita pneumonia nosokomial. Lama pemberian antibiotic sangat
individual yaitu tergantung beratnya penyakit, cepat atau lambatnya respon pengobatan
dan adanya kuman penyebab yang pathogen. Jika disebabkan P.aeruginosa atau
Acinetobacter spp kemungkinan terjadinya gagal pengobatan, relaps dan kematian akan

87
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

tinggi. Adanya gambaran foto toraks yang multilobar, kaviti, penyakit berat, dan adanya
nekroting kuman gram negative pneumonia, maka respons pengobatan akan lambat dan
penyembuhan tidak sempurna. Pada suatu penelitian dilaporkan bahwa angka
kesembuhan pneumonia nosokomial 95% bila disebabkan metisilin resisten
Staphylococcus aureus (MRSA) atau H.influenza, untuk kuman-kuman tersebut
dibutuhkan pengobatan antibiotic 7-10 hari.

Prognosis
Angka kematian pada pneumonia nosokomial lebih tinggi disbanding dengan
pneumonia komuniti yaitu sebesar 20-50%. Angka kematian ini akan meningkat apabila
pathogen penyebabnya P.aeruginosa atau Acinetobacter species. Pada penderita
pneumonia yang dirawat di Ruang rawat intensif angka kematian meningkat 3-10 kali
dibandingkan dengan penderita tanpa pneumonia.

Pencegahan
Prinsip pencegahan terutama ditujukan pada pengendalian factor-faktor risiko, yaitu:
- Vaksinasi
- Pencegahan proses transmisi pathogen
- Mencegah factor-faktor yang dapat menimbulkan aspirasi
- Mengurangi penggunaan antibiotic yang tidak perlu
- Mempertahankan keasaman lambung
- Sterilisasi yang optimal terutama pada perawatan pra dan post operasi.

88
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

31. DEMAM BERDARAH DENGUE

DIAGNOSIS
Patokan diagnosis DBD (WHO 1975) berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium.
Untuk mendiagnosis DBD ditetap menurut WHO terdiri dari :
Gejala Klinis :
1. Demam tinggi mendadak 2 – 7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk setidak – tidak uji torniqut positif dan salah
satu bentuk lain yakni perdarahan spontan (purpura, petechiae, epistaksis,
perdarahan gusi hematemesis dan melena ).
3. Pembesaran hati.
4. Renjatan yang ditandai olrh nadi lemah, sepat disertai tekanan nadi menurun
(menjadi 20 mmhg atau kurang) tekanan nadi menurun tekanan sistole menurun
sampai 80 mmhg atau kurang disertai kulit yang teraba dingin dan lembab
terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pemderita menjadi gelisah, timbul
sianosis disekitar mulut.

LABORATORIUM
1. Trombositoponia (100.000mm3 atau kurang)
2. Nilai hematokrit meningkat 20 % atau dibandingkan dengan nilai hematokrit
pada masa konvalesen.
Dua kriteria ditambah serta kriteria laboratorium sudah cukup untuk
mendiagnosis DBD.

DERAJAT DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)


Derajat penyakit DBD menurut WHO
Derajat I : Demam disertai gejala tidak klinis dan satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah uji torniquit positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan
lain.
Derajat III : Ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembab dan
dingin serta penderita menjadi gelisah.
Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan
tekanan darah yang tidak dapat diukur.

DIAGNOSA BANDING
1. Chikungunya haemoragic Fever (CHF)
2. Idiopatic Trombositopenia

KOMPLIKASI
1. Perdarahan gastrointestinal
2. Encephalopati
3. DIC
4. Efusi pleura

89
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya bersifat suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.
Penatalaksaan DBD terdiri dari
1. Penggantian cairan
2. Pemberian obat-obatan : - obat – obat simptomatik (antipriratik)
- Antibiotik (untuk profilaksis)
3. Perawatan

TATALAKSANA KASUS DBD GRADE II


RL/NaCl 0,9% RLDCAIRAN
5/nAcL +AWAL
6 – 7 ML / KG bb / jam

Monitor tanda vital / nilai Ht, trombosit tiap 6 jam

Tidak ada Perbaikan

- gelisah
Perbaikan
- Distres pernapasan
- Frekwensi nadi rendah
- Tidak gelisah
- Ht tetap tinggi / naik
- Nadi kuat
- TD menurun / tidak teratur
- TD stabil
- Diuresis kurang
- Diuresi cukup
- Ht turun (2 x periksa)

Tetes dan diturunkan tetesan dinaikkan


perburukan
menjadi menjadi

5 ml / kg BB / jam Distres pernafasan 10 ml / kg BB / jam

Ht naik Tranfusi darah


Perbaikan Tidak adaPerbaikan
segar 10 ml / kg BB
32. PERTUSSIS
Tetesan diturunkan Tetesan dinaikkan menjadi
PENATALAKSANAAN
Penderita
Menjadi akanBB/jam
3 ml/kg dirawat di rumah sakit jika termasuk dalam kategori penyakit
berat. Penderita sebaiknya ditempatkan di kamar yang tenang15karena
ml / kg BB / jam
keributan dapat
merangsang serangan batuk. Dapat dilakukan pula pengisapan lendir dari tenggorokan
dan pada kasus yang berat, oksigen dapat diberikan langsung ke paru-paruHtmelalui
turun

Koloid 20 – 30 cc / kg BB
90
Rina Mulya Sari, dr. - 082337973023

selang yang dimasukkan ke dalam trakea. Antibiotik semacam Azithromycin,


Erythromycin atau Trimethroprim-Sulfamethoxazole akan sangat efektif dalam
melawan pertussis. Beri pasien Erythromycin oral sebanyak 50 mg/kgBB/hari yang
dibagi dalam 4 dosis selama 10 hari. Erythromycin akan menurunkan periode infeksi
dan juga menyembuhkan pertussis bila diberikan dalam stadium kataralis. Oksigen bisa
dijadikan opsi pada penderita distress pernapasan akut/kronis. Kodein juga dapat
diberikan bila terdapat batuk-batuk yang sangat keras dan hebat sedangkan luminal
dapat digunakan sebagai sedatif.

PENCEGAHAN
Penyakit ini dapat dicegah dengan vaksinasi secara rutin. Biasanya, vaksinasi
pertussis dikombinasikan dengan vaksin lainnya dengan tingkat kekuatan yang berbeda
beda seperti difteri, tetanus, dan acellular pertussis (DTaP). Di AS vaksin booster yang
mengandung dosis yang lebih rendah dari vaksin difteri dan acellular pertussis yang
dikombinasikan dengan tetanus (Tdap) banyak digunakan untuk penderita remaja dan
dewasa. Vaksin ini juga direkomendasikan untuk diberikan setiap 10 tahun sekali pada
remaja dan orang dewasa termasuk orang yang teah berusia lebih dari 65 tahun
(CDCP's, 2012).

PROGNOSIS
Untuk remaja dan orang dewasa, prognosis secara umum bersifat baik. Hal ini
membutuhkan waktu beberapa bulan untuk sembuh dari batuk sepenuhnya.
Bagaimanapun, mereka yang memiliki komorbiditas memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap morbiditas dan mortalitas (Kretsinger, Broder, & Cortese, 2006)

91

You might also like

  • Empat Mata
    Empat Mata
    Document1 page
    Empat Mata
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Empat Mata
    Empat Mata
    Document1 page
    Empat Mata
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • SYIAH
    SYIAH
    Document25 pages
    SYIAH
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • SOA Hal 1-6
    SOA Hal 1-6
    Document25 pages
    SOA Hal 1-6
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Rasa Ini
    Rasa Ini
    Document1 page
    Rasa Ini
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Presentation Steril
    Presentation Steril
    Document24 pages
    Presentation Steril
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • OPTIMIZED TITLE
    OPTIMIZED  TITLE
    Document25 pages
    OPTIMIZED TITLE
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • KEHILANGANMU
    KEHILANGANMU
    Document1 page
    KEHILANGANMU
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Tiara
    Tiara
    Document1 page
    Tiara
    Wiwit Supriyani
    No ratings yet
  • COVER
    COVER
    Document1 page
    COVER
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • COVER
    COVER
    Document1 page
    COVER
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • COVER
    COVER
    Document1 page
    COVER
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Obat Interaksi Efek
    Obat Interaksi Efek
    Document1 page
    Obat Interaksi Efek
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • SOA Hal 1-6
    SOA Hal 1-6
    Document13 pages
    SOA Hal 1-6
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • DRPs pada Pasien Kardiovaskuler
    DRPs pada Pasien Kardiovaskuler
    Document1 page
    DRPs pada Pasien Kardiovaskuler
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Interaksi Obat
    Interaksi Obat
    Document1 page
    Interaksi Obat
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Interaksi Obat
    Interaksi Obat
    Document1 page
    Interaksi Obat
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Interaksi Obat
    Interaksi Obat
    Document1 page
    Interaksi Obat
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Bab 3
    Bab 3
    Document2 pages
    Bab 3
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Tugas Konkom
    Tugas Konkom
    Document4 pages
    Tugas Konkom
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Herbal
    Herbal
    Document11 pages
    Herbal
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • BAB 1 Edit
    BAB 1 Edit
    Document4 pages
    BAB 1 Edit
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Cover
    Cover
    Document2 pages
    Cover
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Dapus Metpen Fix
    Dapus Metpen Fix
    Document2 pages
    Dapus Metpen Fix
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Review Jurnal
    Review Jurnal
    Document3 pages
    Review Jurnal
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Surat Himpunan
    Surat Himpunan
    Document2 pages
    Surat Himpunan
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • Uji Hipotesis DGN SPSS
    Uji Hipotesis DGN SPSS
    Document38 pages
    Uji Hipotesis DGN SPSS
    Hendra Surya
    No ratings yet
  • HMJ Farmasi UIN Maliki Raker 2017
    HMJ Farmasi UIN Maliki Raker 2017
    Document24 pages
    HMJ Farmasi UIN Maliki Raker 2017
    Dhefina amalia
    No ratings yet
  • BAB III Administrasi
    BAB III Administrasi
    Document10 pages
    BAB III Administrasi
    Dhefina amalia
    No ratings yet