You are on page 1of 35

ANALISA GRAVIMETRI

By andikasastra04 ¶ ¶ Leave a comment

LAPORAN PRATTIKUM KIMIA DASAR

ANALISA GRAVIMETRI

OLEH

NAMA : ANDIKA SASTRA WINATA

NIM : D1A012102

PRODI : AGROEKOTEKNOLOGI (C)

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2012

GRAVIMETRI

I. TUJUAN PERCOBAAN

Tujuan percobaan praktikum ini adalah menentukan kadar klor dalam larutan sampel secara
gravimetri dan untuk menentukan kadar air kristal suatu zat dengan cara gravimetri.s

II. TINJAUAN PUSTAKA

Gravimetri merupakan salah satu metode analisis kuantitatif suatu zat atau komponen yang
telah diketahui dengan cara mengukur berat komponen dalam keadaan murni setelah melalui
proses pemisahan. Analisis gravimetri adalah proses isolasi dan pengukuran berat suatu
unsure atau senyawa tertentu. Bagian terbesar dari penetuan secara analisis gravimetri
meliputi transformasi unsure atau radikal kesenyawa murni stabil yang dapat segera diubah
menjadi bentuk yang dapat ditimbang dengan teliti. Metode gravimetric memakan waktu
yang cukup lama, adanya pengotor pada konstituen dapat diuji dan bila perlu factor-faktor
koreksi dapat digunakan (Khopkar,1990).

Zat ini mempunyai ion yang sejenis dengan endapan primernya. Postpresipitasi dan
kopresipitasi merupakan dua penomena yang berbeda. Sebagai contoh pada postpresipitasi ,
semakin lama waktunya maka kontaminasi bertambah, sedangkan pada
kopresipitasisebaliknya. Kontaminasi bertambah akibat pengadukan larutan hanya pada
postpresipitasi tetapi tidak pada kopresipitasi (Khopkar, 1990).

Titrasi kompleksometri merupakan titrasi yang berdasarkan atas pembentukan persenyawaan


kompleks (ion kompleks atau garam yang sukar mengion), misalnya

Ag+ + 2CN– Ag(CN)2–

Disamping titrasi kompleks biasa seperti diatas, dikenal pula kompleksometri yang dikenal
sebagai titrasi kelatometri, seperti yang menyangkut penggunaan EDTA.

Rumus struktur dari EDTA adalah sebagai berikut :

HOOC – CH2 CH3COOH

N – CH2 – CH2 – N

HOOC – CH2 CH2COOH

Terlihat dari strukturnya bahwa molekul tersebut mengandung baik donor electron dari atom
oksigen maupun donor dari atom nitrogen sehingga dapat menghasilkan khelat bercincin
sampai dengan enam secara serempak (Vogel, 1990).

Sebagian besar logam dalam larutan dapat ditentukan secara titrasi dengan larutan baku
pereaksi pengompleks seperti misalnya etilen diamin tetra asetat atau EDTA. Reaksi dengan
nikel secara stoikiometri adalah 1: 1 dan berlangsung secara kuantitatif pada pH 7. Pereaksi
EDTA umum dipakai dalam bentuk garamnya yang mudah larut dalam air. Indikator yang
digunakan adalah EBT atau murexide mampu menghasilkan kompleks berwarna dengan ion
logam tetapi berubah warna apabila logam-logam terkomplekskan sempurna oleh EDTA
pada titik akhir titrasi, karena indicator-indikator ini juga peka terhadap perubahan pH,
larutan yang akan dititrasi harus dibuffer ( harjadi, 1993 ).

Analisis gravimetri dapat berlangsung baik, jika persyaratan berikut dapat terpenuhi :

1. Komponen yang ditentukan harus dapat mengendap secara sempurna (sisa analit yang
tertinggal dalam larutan harus cukup kecil, sehingga dapat diabaikan), endapan yang
dihasilkan stabil dan sukar larut.

2. Endapan yang terbentuk harus dapat dipisahkan dengan mudah dari larutan ( dengan
penyaringan).

3. Endapan yang ditimbang harus mempunyai susunan stoikiometrik tertentu (dapat diubah
menjadi sistem senyawa tertentu) dan harus bersifat murni atau dapat dimurnikan lebih lanjut
(Vogel, 1990).
Analisis kadar klor secara gravimetri didasarkan pada reaksi pengendapan, diikuti isolasi dan
penimbangan endapan. Klor akan diendapkan oleh larutan perak nitrat (AgNO3) berlebih
dalam suasana asam nitrat sebagai perak klorida.

Reaksi yang terjadi adalah :

Cl– + Ag+ AgCl (putih)

Endapan yang terjadi diisolasi dan dikeringkan pada suhu 130 – 1500C dan ditimbang sebagai
AgCl. Kesalahan dalam gravimetric dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Endapan yang tidak sempurna dari ion yang diinginkan dalam cuplikan.

2. Gagal memperoleh endapan murni dengan komposisi tertentu untuk penimbangan.

Faktor–faktor penyebabnya adalah :

1. Kopresipitasi dari ion-ion pengotor.

2. Postpresipitasi zat yang agak larut.

3. Kurang sempurna pencucian.

4. Kurang sempurna pemijaran.

5. Pemijaran berlebih sehingga sebagian endapan mengurai.

6. Reduksi dari karbon pada kertas saring.

7. Tidak sempurna pembakaran.

8. Penyerapan air atau karbondioksida oleh endapan (Underwood, 1986).

III. ALAT DAN BAHAN

A. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah neraca analitik, statif, buret, sudip,
botol semprot, erlenmeyer 250 ml, corong, gelas beker 200 ml, labu ukur 100 ml, krus
porselin, eksikator, oven, dan pipet tetes.

B. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah padatan klorida, larutan AgNO3 0,1
N, HNO3 6 N, HNO3 0,04 N, HCl 0,1 N, dan akuades.

IV. PROSEDUR KERJA

A. Proses pengendapan klor dengan larutan AgNO3 0,1 N


1. Ditimbang dengan teliti 0,120 gram padatan klorida

2. Dimasukkan ke dalam beker gelas 200 ml,dan dilarutkan ke dalam 100 ml akuades,
diaduk.

3. Ditambahkan setetes demi setetes AgNO3 0,1 N (lewat buret, sambil mengaduk) sampai
larutan AgNO3 tidak menghasilkan endapan.

4. Dipanaskan larutan sambil mengaduk ±5 menit.

5. Didiamkan pada suhu tersebut selama 2–3 menit sampai terjadi pemisahan endapan dan
larutan jernih.

6. Ditambahkan 2–3 tetes AgNO3 0,1 N, diperhatikan bila tidak terjadi endapan lagi.

7. Disimpan ditempat yang gelap selama 20 menit.

B. Proses Isolasi dan pengeringan endapan

1. Digoyang krus porselin dalam oven 135º – 150º C selama 5 menit

2. Didinginkan dalam eksikator ± 15 menit.

3. Ditimbang berat krus porselin.

4. Disaring endapan dengan kertas saring.

5. Dicuci endapan dengan 10 ml HNO3 0,04 N sebanyak 3 kali sampai bebas AgNO3 (cek
dengan HCl 0,1 N).

6. Dimasukkan endapan yang diperoleh ke dalam krus yang telah diketahui beratnya.

7. Dipanaskan krus porselin selama 15 menit didalam oven.

8. Didinginkan dalam eksikator ± 20 menit, kemudian ditimbang beratnya.

C. Penentuan Kadar Air Kristal

1. Dibersihkan krus dan dipanaskan ± 5 menit dalam oven.

2. Didinginkan dalam eksikator 20 menit, kemudian ditimbang

3 Dilakukan 4 dan 5 sekali lagi.

4. Ditentukan kadar air (%) dan jumlah mol air (selisih penimbangan maksimum – 0,0002
gram).
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil dan Perhitungan

1. Hasil

No Langkah Percobaan Hasil Percobaan


1. Penentuan Kadar Klorida pada Sampel m = 23,64 gram

2. – Berat gelas arloji kosong m = 23,76 gram


– Berat gelas arloji kosong + sampel m = 0,12 gram

– Berat sampel awal m1 = 32,19 gram

– Berat krus porselin kosong m2 = 32,18 gram

– Berat krus porselin rata-rata m3 = 32,19 gram

– Berat krus porselin + endapan + kertas saring m = 32,183 gram

– Berat krus porselin + kertas saring m = 33,05 gram

– Berat endapan konstan m = 32,94 gram

Penentuan Kadar Air Kristal m = 0,11 gram

– Massa sampel m = 1,5 gram

– Berat krus porselin kosong m1 = 67,86 gram

– Berat krus porselin kosong rata-rata m2 = 67,85 gram

– Berat krus porselin + endapan m = 67,855 gram

– Berat krus porselin + endapan (rata-rata) m1 = 69,20 gram

– Berat endapan konstan m2 = 69,21 gram

2. Perhitungan

A. Penentuan Kadar Klorida dalam Sampel

Diketahui : Berat padatan klorida = 0,12 gram

Berat krus porselin + kertas saring = 32,96 gram

berat krus porselin + kertas saring + endapan (sesudah dipanaskan) = 33,05 gram

Berat 2 buah kertas saring = 0,86 gram

BA Cl = 35,5 g/mol

BM AgCl = 143,37 g/mol

Ditanya : % kadar klor dalam larutan sampel = ………….?


Jawab :

Berat endapan AgCl = (berat krus porselin + kertas saring + endapan) gram – (berat krus
porselin + kertas saring) gram

= 33,05 gram – 33,043 gram

= 0,007 gram

Berat Cl =

= 1,733.10-3 gram

% kadar Cl =

= 1,44 %

B. Penentuan kadar air kristal

Diketahui : Berat krus porselin = 67,855 gram

Berat krus porselin + endapan = 69,205

berat sampel = 1,5 gram

Ditanya : % kadar air kristal = …………..?

Jawab :

Berat air kristal = (berat krus porselin + sampel) – berat krus

= 69,205 gram – 67,855 gram

= 1,35 gram

% kadar air kristal =

= 90 %

B. Pembahasan

1. Penentuan Kadar Klorida dalam Sampel

a. Proses pengendapan klor dengan larutan AgNO3


Pada percobaan ini dibuat larutan klorida dimana dibutuhkan 0,12 gram padatan klorida yang
dilarutkan ke dalam 100 mL akuades. Selanjutnya larutan tersebut ditambahkan 1 mL HNO3
5 N dan AgNO3 setetes demi setetes sampai tetesan AgNO3 tidak menghasilkan endapan.
Dengan adanya penambahan HNO3 dan AgNO3 yang berasal dari ion yang sama yakni NO3–
maka hal ini akan memberikan efek padatan klorida yang ada di dalam larutan akuades yaitu
akan mengurangi kelarutan padatan klorida. AgCl akan mengendap yang hasilnya pada
larutan terbentuk AgCl berwarna putih dengan reaksi sebagai berikut :

Cl– + Ag+ AgCl (putih)

NaCl + AgNO3 AgCl + NaNO3

Larutan selanjutnya dipanaskan, kemudian ditambahkan AgNO3, penambahan dihentikan jika


larutan tidak membentuk endapan lagi. Larutan yang tidak benar-benar jenuh ini didiamkan
ditempat yang gelap, hal ini dilakukan karena perak klorida peka terhadap cahaya dimana
pada reaksinya terjadi penguraian menjadi perak klor, dengan perak tetap terdispersi sebagai
koloid dalam perak klorida tersebut.

b. Proses isolasi dan pengeringan endapan

Pada tahap ini endapan dari hasil percobaan yang sebelumnya disaring, kemudian dicuci
dengan HNO3 dan AgNO3 (dicek dengan HCl 0,1N) dengan tujuan agar endapan tidak tersisa
serta larutan induk dan zat pengotor yang terlarut pada endapan dapat dihilangkan. Endapan
yang dihasilkan dari percobaan sebelumnya, di masukkan ke dalam oven pada suhu 130-
150oC dengan tujuan untuk menhilangkan air yang dikandung sehingga didapatkan endapan
klor murni dan endapan tidak lagi menempel pada kertas saring. Air dapat tertahan dalam
suatu partikel selama pembentukan kristal dan air yang telah tertahan dapat dihilangkan pada
temperatur tinggi yaitu dengan cara menguapkannya. Dari hasil perhitungan didapatkan
banyaknya klor dalam campuran sebanyak 1,733.10-3 gram dan kadar klornya adalah 1,44 %.

2. Penentuan kadar air kristal

Kadar air kristal dapat ditentukan dengan menggunakan kristal CuSO4.5H2Osebanyak 1,5
gram. Krus yang digunakan telah melalui proses pemanasan dan didinginkan hingga beratnya
konstan. Hal tersebut dilakukan agar dapat dipastikan bahwa krus telah bebas dari zat
pengotor. Krus yang berisi yang berisi sampel ditimbang dan didinginkan kembali hingga
berat yang diperoleh sebesar 69,205 maka dari perhitungan diperoleh kadar kristal adalah
90%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar air kristal sangat tinggi ini terjadi karena proses
pemanasan yang kurang lama sehingga masih banyak mengandung air di dalamnya.

VI. KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah :

1. Kadar klor dalam larutan sampel yang ditentukan secara gravimetri adalah sebesar 1,44 %.

2. Kadar air kristal suatu zat yang ditentukan secara gravimetri pada sampel adalah 90%.

3. Tujuan pemanasan pada percobaan adalah untuk menghilangkan air dari endapan
sedangkan pengadukan agar AgCl dapat menyebar ke seluruh larutan.
4. Pemanasan dan pengadukan yanh berlebihan akan menyebabkan endapan AgCl
mengambang di atas larutan tidak mengendap di atas.

5. Tujuan dari pencucian endapan adalah agar larutan induk dan zat pengotor yang melarut
pada endapan dapat dihilangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Day, R. A. Dan Underwood, A. L. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.

Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia. Jakarta.

Khopkar. 2002. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press. Jakarta.

Vogel, A.I. 1994. Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik Edisi 4. EGC. Jakarta

Penuntun pratikum kimia dasar fakultas pertanian universitas jambi 2012

www.rumah kimia.wordpress.com

LAMPIRAN

1. Mengapa penambahan larutan AgNO3 harus sedikit berlebih ?

2. Mengapa pengeringan AgCl dilakukan pada suhu 130 – 1500C ? apa akibatnya bila suhu
pemanasan terlalu tinggi ?

3. 1,5050 gr zat yang akan di analisis kadar air kristalnya. Ternyata setelah dipanaskan pada
suhu tertentu beratnya menjadi 1,2890 gr. Hitung kadar air % dan jumlah mol air kristalnya
(BM : 244,310 gr/mol)

Jawab :

1. penambahan larutan AgNO3 harus sedikit berlebih disebabkan karena agar seluruh Cl yang
ada dalam sampel teriket oleh Ag dari AgNO3 , sehingga mendapatkan endapan AgCl,
dengan reaksi :

2. Ag+ + Cl– AgCl (endapan putih)

§ pengeringan AgCl dilakukan pada suhu 130 – 1500C bertujuan untuk menghilangkan
kandungan air yang mungkin terperangkap pada proses pembentukan kristal AgCl dan juga
untuk menguapkan larutan pencucian larutan HNO3 yang digunakan untuk mencucui endapan
AgCl tersebut sehingga diharapkan endapan AgCl yang didapat dlaam kedaan murni.

§ pengeringan dilakukan pada suhu 130 – 1500C disebabkan karena pada suhu teresbut
kandungan air pada endapan sudah dapat dihilangkan jika pemanasan dilakukan terlalu
tinggi, maka di khawatirkan proses pemanasan tersebut akan merusak endapan AgCl yang
telah didapatkan.
3. Dik : Berat zat sebelum dipanaskan = 1,5050 gr

Berat zat sesudah dipanaskan = 1,2890 gr

BM zat = 244,310 gr/mol

Dit : a. kadar air kristal (%)…?

b. jumlah mol air kristal…?

Jawab :

a. Berat air kristal = berat zat sebelum dipanaskan – berat zat sesudah dipanaskan

= 1,5050 gr – 1,2890 gr

= 0,2160 gr

kadar air kristal =

= 14,3522 %

b. mol air kristal =

= 8,84.10-4 mol

December 10, 2012

persentase bahasa indonesia


By andikasastra04 ¶ ¶ Leave a comment

Nama: andika sastra winata

Nim:D1A012102

Tugas bahasa Indonesia

Menjawab pertanyaan dari

NAMA: M NUR FITRIYANTO

NIM: D1A012098
Dari persentasi ANDREAS

1. ada beberapa macam hama dan penyakit,bagaimanakah cara untuk


menaggulanginya?

2. dari berbagai macam hama,hama manakah yang sering menyerang tanaman kakao?

3. hama manakah yang cara mananggulanginya paling sulit?jelaskan kenapa!

4. apa saja kerugian yang did alami dari berbagai hama dan penyakit tanaman
tersebut?

5. apa dampak dari zat kimia yang did lakukan apakah berbahaya bagi tanaman kakao
tersebut?

JAWAB:

1. dengan cara menyemprot tanaman tersebut dengan pestisida atau dengan cara
menempelkan di bagian tertentu saja

2. hama jamur yang menempel pada bagian batang,kepik penghisap buah kakao, Helopeltis
antonii Sign; dan penyakit busuk buah, Phytophthora palmivora.

3. hama walang sengit: karna Di Indonesia walang sangit merupakan hama potensial yang
pada waktu-waktu tertentu menjadi hama penting dan dapat menyebabkan kehilangan hasil
mencapai 50 persen. Diduga bahwa populasi 100.000 ekor per hektar dapat menurunkan hasil
sampai 25 persen. Hasil penelitian menunjukkan populasi walang sangit 5 ekor per 9 rumpun
padi akan menurunkan hasil 15%.

http://pertanian-1993.blogspot.com/2011/12/mengatasi-hama-walang-sangit.html

4. – mengalami penurunan hasil panen

– besarnya biaya produksi

5. tergantung pemberian dosis pestisida

December 5, 2012

jurnal unja
By andikasastra04 ¶ ¶ Leave a comment
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 1
UJI ADAPTASI DAN TOLERANSI BEBERAPA VARIETAS TANAMAN
KEDELAI PADA NAUNGAN BUATAN
(The Adaptation And Tolerace Of Varied Soybean Seed At To Shading Treatments)
Nerty Soverda
Agriculture Faculty, Jambi University,
Mendalo Darat, Jambi.
email: nsoverda@yahoo.com
ABSTRACT
The objectives of this research are to identify soybean lines tolerant to
shade and to generate knowledge on physiological photosintetic
mechanisms tolerance to shade. The ultimate goal of this study is to
develop soybean varieties that have high adaptability to shade and yield
adaptable to various multiple cropping system. The study consisted of two
subprograms: (1) Evaluation of 15 accession of soybean germplasms in
low light stress conditions (paranet condition), and (2) Evaluation of 15
accession of soybean germplasms in light stress conditions (no lightt
condition). The results shows two kind of tolerant genotype: 1) tolerant
genotype, i.e., Ringgit and Petek, 2) moderat genotype, i.e., Kawi,
Cikurawi, Agropuro, Anjasmoro, and Tanggamus, and 3) sensitive
genotype: Seulah and Jayawiya.
Key words: Soybean, Shading and Adaptation.
PENDAHULUAN
Permintaan terhadap komoditas kedelai terus meningkat sejalan dengan
pertumbuhan jumlah penduduk, membaiknya pendapatan per kapita, meningkatnya
kesadaran masyarakat akan kecukupan gizi dan berkembangnya berbagai industri
makanan. Sementara itu produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan
sehingga masih diperlukan impor kedelai (Rukmana dan Yuniarsih, 2004). Pada tahun
2003, Indonesia mengimpor kedelai sebesar 1,19 juta ton. Pada tahun yang sama
produksi kedelai Indonesia 671.600 ton dengan luas panen 526.796 ha. Pada tahun 2004
produksinya meningkat mencapai 723.483 ton dengan luas panen 565.155 ha.
Meskipun telah terjadi peningkatan produksi dan luas panen dari tahun 2003
sampai tahun 2004, ternyata produktivitas kedelai di Indonesia baru mencapai 1,28 ton
per ha (Badan Pusat Logistik dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura,
2005). Produktivitas tersebut masih rendah bila dibandingkan dengan potensi hasil
tanaman kedelai yang dapat mencapai yaitu 1,5 – 2,5 ton per ha (Adisarwanto dan
Wudianto, 1999). Karena itu perlu upaya peningkatan produksi kedelai yang antara lain
dapat dicapai melalui perluasan areal.
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 2
Mengingat luas lahan pertanian potensial semakin berkurang karena digunakan
untuk industri, pemukiman dan keperluan non pertanian lainnya hingga mencapai 47
ribu hektar per tahun (Nasution, 2004), maka pemanfaatan lahan marginal seperti lahan
kering menjadi alternatif pilihan.
Pengembangan usaha tani tanaman pangan seperti kedelai dilahan tegakan
sebagai tanaman sela banyak menghadapi kendala, antara lain adalah tanaman yang
tumbuh di bawah naungan menunjukkan karakter tumbuh yang berbeda dengan
tanaman tanpa naungan. Hasil penelitian Soverda (2002) pada tanaman padi gogo yang
toleran (Jatiluhur) memperlihatkan bahwa pada kondisi naungan 50% memberikan
hasil lebih tinggi dan memperlihatkan respon fisiologi fotosintetik yang berbeda
dibandingkan dengan Varitas Kalimutu (peka). Adanya keragaman respon pertumbuhan
dan hasil tanaman terhadap naungan antara lain dipengaruhi oleh sifat-sifat fisiologi
fotosintetik tanaman tersebut yang dapat dijadikan sebagai penciri toleransi terhadap
naungan. Kemampuan adaptasi dari tanaman yang toleran intensitas cahaya rendah
dengan tanaman yang peka erat kaitannya dengan karakter-karakter fisiologi fotosintetik
tanaman tersebut.
Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi daya adaptasi beberapa varietas dalam
kondisi naungan dan dalam kondisi gelap, serta hasil dari evaluasi ini akan dilanjutkan
dengan identifikasi beberapa karakteristik fofisiologi fotosintetik kedelai yang
berkorelasi erat dengan toleransi terhadap naungan dan pewarisan sifatnya.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan dalam 2 seri percobaan yaitu: (1) Evaluasi dan seleksi
varietas pada naungan paranet, dan (2) ) Evaluasi dan seleksi varietas pada ruang gelap.
Evaluasi varietas pada naungan buatan
Percobaan ini bertujuan untuk mengelompokkan genotype tanaman yang
toleran, moderat dan yang peka naungan buatan. Penelitian dilaksanakan dari bulan
Agustus sampai dengan Desember 2009, di kebun percobaan Fakultas Pertanian
Universitas Jambi. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok dengan
3 ulangan. Faktor pertama yaitu N0 = tanpa naungan, dan N1 = naungan 50%, sedangkan
factor kedua adalah varietas kedelai yang terdiri dari 15 varietas kedelai.
Peubah yang diamati pada percobaan ini adalah: umur berbunga, umur panen,
tinggi tanaman, jumlah cabang primer, bobot kering tanaman, berat polong per tanaman,
jumlah polong per tanaman, jumlah polong berisi per tanaman, dan berat 100 biji dan
kandungan karbohidrat daun.
Evaluasi genotype toleran naungan untuk toleransi pada kondisi gelap
Percobaan ini bertujuan untuk menentukan tingkat konsistensi varietas toleran
naungan tanaman kedelai terhadap kondisi gelap, serta untuk mempelajari mekanisme
fisiologi toleransi terhadap kondisi gelap melalui analisis karbohidrat. Setiap varietas
ditanam 40 tanaman untuk tiap ulangan. Tanaman ditumbuhkan terlebih dahulu dalam
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 3
bak plastic berukuran 40 x 25 x 15 cm selama 10 hari pada kondisi cahaya penuh
sebelum dipindahkan ke dalam ruang gelap. Untuk mengetahui tingkat toleransi
terhadap kondisi gelap dilakukan pengamatan terhadap persentase tanaman hidup pada
hari ke 3, 5, 7, 9, 11, dan 13 setelah tanaman dipindahkan ke ruang gelap. Persentase
tanaman hidup ditentukan berdasarkan jumlah bibit dengan vigor yang baik dengan
daun yang relatif masih segar (0 – 30% bagian daun yang mengering).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Evaluasi Varietas Toleran pada Naungan Buatan
Pada percobaan ini dilakukan pengelompokan tanaman yang toleran, moderat
dan yang peka terhadap naungan dengan mengevaluasi tanaman pada naungan buatan
dan evaluasi pada fase bibit dalam ruang gelap. Perlakuan naungan pada tanaman
kedelai menunjukkan bahwa jumlah cabang primer berbeda nyata pada naungan 0 dan
50%. Jumlah cabang primer pada naungan 50% rata-rata meningkat dibandingkan
dengan kontrol pada semua varietas yang diuji kecuali V7 (Lumajang bewok)
mengalami penurunan sebesar 3,4 % dibandingkan dengan kontrol (Tabel 1).
Tabel 1. Perubahan jumlah cabang primer beberapa varietas kedelai pada naungan 50%
No Varietas
Jumlah cabang primer
NR
Perubahan
Naungan 0% Naungan 50% (%)
1. Ringgit 2,73 b 3,67 c 134,27 34,3
2. Kawi 2,07 d 2,87 d 138,87 38,9
3. Willis 2,87 b 3,53 c 123,14 23,1
4. Seulawak 1,53 d 2,33 c 101,30 1,3
5. Argopuro 3,67 a 4,00 b 109,09 9,1
6. Anjasmoro 1,73 d 3,40 c 196,15 96,2
7. Lumajang Bewok 3,80 a 3,67 b 96,57 -3,4
8. Cikurai 3,60 a 4,53 a 125,83 25,8
9. Burangrang 2,80 b 4,60 a 164,29 64,3
10. Ijen 3,33 a 4,47 a 134,10 34,1
11. Tanggamus 2,67 c 4,73 a 177,38 77,4
12. Menyapa 2,73 c 4,40 a 160,98 61,0
13. Petek 2,60 c 4,27 a 164,23 64,2
14. Tidar 2,87 b 4,73 a 165,00 65,0
15. Jayawijaya 3,40 a 4,60 a 135,29 35,3
Keterangan : Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (0.05). NR=Nilai Relatif (% kontrol)
Dari Tabel 1. dapat dilihat bahwa varietas-varietas yang cenderung memberikan
jumlah cabang primer yang tinggi pada naungan buatan adalah Cikurai (V8),
Burangrang (V9), Ijen (V10), Tanggamus (V11), Menyapa (V12), Petek (V13), Tidar
(V14) dan Jayawiyaya (V15) yang berbeda nyata dengan varietas-varietas lainnya.
Dari perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa varietas-varietas yang
dievaluasi menunjukkan peningkatan jumlah cabang primer pada naungan 50 % kecuali
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 4
varitas Lumajang Bewok mengalami penurunan jumlah cabang primer sebesar 3,4%.
Peningkatan pada masing-masing varietas tidak sama. Varietas yang mengalami
peningkatan lebih besar dari 60% adalah Anjasmoro (V6), Burangrang (V9),
Tanggamus (V11), Menyapa (V12), Petek (V13), dan Tidar (V14), dengan masingmasing
kenaikan berturut-turut adalah sebesar 96,2 %; 64,3%; 77,4; 61%; 64,2% dan
65%. Varietas yang mengalami kenaikan antara 30 – 59% adalah Ringgit (V1), Kawi
(V2), Willis (V3), Seulawah (V4), Argopuro (V5), Cikurai (V8), Ijen (V10), dan
Jayawijaya (V15) dengan masing-masing kenaikan sebesar 34,3%; 38,9%; 23,1%;
1,3%; 9,1%; 25,8%; 34,1%; dan 35,3%. Sedangkan varietas yang mengalami penurunan
jumlah cabang primer adalah V7 dengan penurunan sebesar 3,4%.
Tabel 2. Perubahan tinggi tanaman beberapa varietas kedelai pada naungan 50%
No Varietas
Tinggi tanaman
NR
Perubahan
Naungan 0% Naungan 50% (%)
1. Ringgit 36,47 bc 57,6 f 158 58,0
2. Kawi 36,40 bc 65,6 c 180 80,2
3. Willis 43,27 b 72,6 e 168 67,8
4. Seulawak 36,07 bc 63,9 d 177 77,2
5. Argopuro 32,07 d 58,7 f 183 83,1
6. Anjasmoro 43,80 b 73,3 c 167 67,4
7. Lumajang Bewok 50,33 a 66,3 e 132 31,7
8. Cikurai 40,40 bc 59,4f 147 47,0
9. Burangrang 55,53 a 110,3 a 199 98,6
10. Ijen 40,07 bc 70,1 e 175 75,0
11. Tanggamus 36,64 b 64,6 e 176 76,3
12. Menyapa 33,73 b 64,7 d 192 91,8
13. Petek 46,07 b 100,6 a 218 118,4
14. Tidar 34,53 d 75,2 b 218 117,8
15. Jayawijaya 36,93 bc 69,3 e 188 87,6
Keterangan : Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (0.05). NR=Nilai Relatif (%kontrol)
Pemberian naungan pada tanaman kedelai memberikan pengaruh pada tinggi
tanaman. Tinggi tanaman pada semua varietas yang dicoba mengalami peningkatan.
Dari 15 varietas yang diuji menunjukkan bahwa varietas yang mengalami kenaikan
tinggi tanaman diatas 60 % dibandingkan control adalah Kawi (V2), Willis (V3),
Seulawah (V4), Argopuro (V5), Anjasmoro (V6), Burangrang (V9), Ijen (V10),
Tanggamus (V11), Menyapa (V12), Petek (V13), Tidar (V14), dan Jayawijaya (V15)
dengan kenaikan masing-masing 80%, 68%, 77%, 83 %, 67 %, 99%, 75%, 76%, 92%,
118%, 118%, dan 88% (Tabel 2). Varietas yang mengalami kenaikan tinggi tanaman
antara 30 – 59% adalah Ringgit (V1), Lumajang Bewok (V7) dan Cikurai (V8) yang
masing-masing naik sebesar 58%, 32% dan 47%, sementara itu tidak terdapat varietas
yang mengalami kenaikan tinggi tanaman dibawah 30% .
Varietas yang mengalami peningkatan tinggi yang tidak lebih dari 30%
dibandingkan dengan kontrol diasumsikan merupakan varietas yang cenderung dapat
beradaptasi dengan lingkungan ternaung, sebaliknya varietas yang mengalami kenaikan
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 5
yang melebihi 60% dibandingkan dengan kontrol diasumsikan merupakan tanaman
yang peka terhadap naungan karena dengan penambahan tinggi yang melebihi 60%
dibandingkan dengan control maka tanaman cenderung mengalami kerebahan.
Sedangkan tanaman yang pertambahan tingginya antara kedua criteria diatas cenderung
merupakan varietas yang moderat, yaitu dengan pertambahan tinggi antara 30 – 59 %.
Pengamatan umur berbunga pada naungan 50% menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang nyata, namun bila dilihat dari nilai relatif menunjukkan bahwa sebagian
besar varietas menunjukkan umur berbunga yang lebih cepat dibandingkan dengan
control. Rata-rata umur berbunga pada varietas-varietas yang diuji pada naungan 50%
menunjukkan pembungaan yang lebih cepat dibandingkan dengan control kecuali pada
varietas Kawi (V2) yang berbunga lebih lama dibandingkan control (Tabel 3.).
Tabel 3. Umur Berbunga beberapa Varietas Kedelai pada Naungan 50%
No Varietas
Umur berbunga
NR
Perubahan
Naungan 0% Naungan 50% (%)
1. Ringgit 6,50a 6,00a 92,31 -7,69
2. Kawi 5,71a 5,93a 103,78 3,77
3. Willis 6,07a 5,80a 95,60 -4,40
4. Seulawak 6,50a 6,00a 92,31 -7,69
5. Argopuro 6,36a 6,00a 94,38 -5,62
6. Anjasmoro 6,00a 5,67a 94,50 -5,50
7. Lumajang Bewok 6,00a 5,27a 87,83 -12,17
8. Cikurai 6,00a 6,00a 100,00 0,00
9. Burangrang 6,00a 6,00a 100,00 0,00
10. Ijen 6,00a 5,27a 87,83 -12,17
11. Tanggamus 6,86a 6,00a 87,50 -12,50
12. Menyapa 6,87a 6,00a 87,38 -12,62
13. Petek 6,00a 5,07a 84,50 -15,50
14. Tidar 6,00a 6,00a 100,00 0,00
15. Jayawijaya 6,60a 6,00a 90,91 -9,09
Keterangan : Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak
berbeda nyata berdasarkan uji BNT (0.05). NR=Nilai Relatif (%kontrol)
Pemberian naungan 50% pada 15 varietas kedelai meningkatkan kandungan
karbohidrat pada beberapa varietas, antara lain yaitu pada varietas Ringgit (V1) naik
sebesar 182,3 %, Willis (V3) 68,69 %, Seulawak (V4) 57,76 %, Anjasmoro (V6) 0,73
%, Lumajang Bewok (V7) 23,23 %, Tidar (V14) 24,64 % dan Jayawijaya (V15) sebesar
9,9 % dibandingkan dengan kontrol.
Kenaikan kandungan karbohidrat yang dicapai oleh masing-masing varietas
terlihat berbeda. Varietas Ringgit dan Willis mengalami kenaikan lebih dari 60%,
Seulawah, Anjasmoro, Lumajang Bewok, Tidar dan Jayawijaya mengalami kenaikan
antara 30 – 59%, sedangkan karbohidrat pada beberapa varietas lainnya cenderung
menurun (Gambar 1.).
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 6
Meningkatnya kandungan karbohidrat pada Ringgit, Willis, Seulawak,
Anjasmoro, Lumajang Bewok, Tidar dan Jayawijaya ini diduga disebabkan oleh
kemampuannya untuk mempertahankan fotosintesis yang cukup tinggi dan triosa fosfat
yang dihasilkan cukup banyak, sehingga perbandingan antara triosa fosfat dan
orthofosfat (Pi) akan meningkat di sitosol dan sukrosa terbentuk lebih banyak. Menurut
Marschner (1995), kandungan sukrosa yang tinggi pada genotipe toleran akan
mengaktifkan distribusi hasil fotosintat yang melewati floem dari tulang daun yang
paling halus dengan bantuan sel-sel transfer. Distribusi hasil fotosintat ini dikendalikan
oleh pH dan diduga terjadi ko-transport sukrosa H+ menembus membran-membran sel
floem.
Gambar 1. Kandungan karbohidrat pada 15 varietas kedelai pada naungan 50%
Menurunnya kandungan karbohidrat pada varietas Kawi, Argopuro, Cikurai,
Burangrang, Ijen, Tanggamus, Menyapa, dan Petek ini diduga berkaitan dengan
penurunan aktivitas PGK yang terjadi pada kondisi naungan dan triose fosfat yang
merupakan produk awal fotosintesis berkurang pembentukannya, sehingga kandungan
karbohidrat juga menurun pada kondisi naungan 50%.
Pada Tabel 4. dapat dilihat bahwa pemberian naungan 50% memberikan
pengaruh yang nyata terhadap produksi tanaman kedelai. Pada naungan 50% terlihat
bahwa dari 15 varietas yang diuji menunjukkan bahwa varietas yang memberikan hasil
yang cenderung tinggi adalah varietas Seulawah (V4) yang berbeda nyata dengan
varietas lainnya. Sementara varietas yang menunjukkan hasil terendah adalah varietas
Jayawijaya (V15).
Perubahan yang terjadi pada masing-masing varietas akibat pemberian
naungan menunjukkan bahwa semua varietas mengalami penurunan berat polong per
tanaman, tetapi masing-masing penurunan tidak sama. Varietas yang menunjukkan
penurunan terkecil akibat naungan adalah Ringgit (V1), Willis (V3), Seulawah (V4) dan
Petek (V13). Varietas yang mengalami penurunan paling besar yaitu Jayawijaya (V15)
dengan penurunan sebesar 77,80% dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan varietas
lainnya mengalami penurunan antara 30 – 59%.
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 7
Pemberian naungan berpengaruh nyata terhadap jumlah polong per tanaman.
Varietas yang memberikan jumlah polong tertinggi adalah varietas Ringgit (V1) yang
berbeda nyata dengan varietas lainnya. Dilihat dari hasil relatif menunjukkan bahwa
varietas-varietas yang diuji memberikan penurunan jumlah polong per tanaman pada
naungan 50%. Bila dibandingkan dengan control maka varietas Ringgit (V1), Willis
(V3), Burangrang (V9) dan Petek (V13) mengalami penurunan dengan masing-masing
penurunan sebesar 28,75%; 30,06%; 30,48% dan 30,31%. Varietas Kawi (V2),
Seulawah (V4), Argopuro (V5), Anjasmoro (V6), Lumajang Bewok (V7), Cikurai (V8),
Tanggamus (V11), Menyapa (V12), dan Tidar (V14) mengalami penurunan antara 30–
59%, sedangkan Ijen (V10) dan Jayawijaya (V15) mengalami penurunan yang lebih dari
60% yaitu sebesar 76% dan 71,33% (Tabel 4).
Pemberian naungan berpengaruh nyata terhadap jumlah polong per tanaman.
Varietas yang memberikan jumlah polong tertinggi adalah varietas Ringgit (V1) yang
berbeda nyata dengan varietas lainnya. Dilihat dari hasil relatif menunjukkan bahwa
varietas-varietas yang diuji memberikan penurunan jumlah polong per tanaman pada
naungan 50%. Bila dibandingkan dengan kontrol maka varietas Ringgit (V1), Willis
(V3), Burangrang (V9) dan Petek (V13) mengalami penurunan dengan masing-masing
penurunan sebesar 28,75%; 30,06%; 30,48% dan 30,31%. Varietas Kawi (V2),
Seulawah (V4), Argopuro (V5), Anjasmoro (V6), Lumajang Bewok (V7), Cikurai (V8),
Tanggamus (V11), Menyapa (V12), dan Tidar (V14) mengalami penurunan antara 30–
59%, sedangkan Ijen (V10) dan Jayawijaya (V15) mengalami penurunan yang lebih dari
60% yaitu sebesar 76% dan 71,33% (Tabel 4.).
Penurunan jumlah polong per tanaman yang lebih rendah pada varietas yang
diduga toleran dibandingkan dengan yang diduga peka dalam kondisi naungan 50%,
karena pendistribusian hasil ke bulir lebih besar dibandingkan dengan varietas yang
peka. Penurunan produksi pada naungan 50% disebabkan oleh berkurangnya intensitas
cahaya yang diterima tanaman. Hasil penelitian Haris (1998) menunjukkan bahwa ratarata
intensitas cahaya pada naungan 50% adalah sebesar 130.14 kalori/cm2/hari,
sedangkan untuk menunjang pertumbuhan padi gogo dibutuhkan intensitas cahaya
matahari minimum sebesar 256 kalori /cm2/ hari (Las, 1983). Pada penelitian ini
diasumsikan kebutuhan cahaya tanaman kedelai sama dengan padi gogo.
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Sstudi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jambi 8
Tabel 4. Perubahan produksi dan komponen produksi pada naungan 50%
No Varietas
Berat polong per tanaman Jumlah polong/tanaman Jumlah polong berisi
0% 50% NR
Perubahan
0% 50% NR
Perubahan
0% 50% NR Peru-bahan
1. Ringgit 59.17f 43.78e 74.00 -26.00 160.00d 114.00a 71.25 -28.75 48.67e 99.00b 203.42
103.42
2. Kawi 88.38c 45.02e 50.93 -49.07 172.17c 83.00a 48.21 -51.79 146.33b 80.67e 55.13 -
44.87
3. Willis 82.75d 59.52a 71.92 -28.08 135.67e 93.67a 69.04 -30.06 127.50c 92.33b 72.42 -
27.58
4. Seulawak 71.00f 61.12a 86.08 -13.92 252.00a 166.17a 65.94 -34.06 35.83e 141.00a 393.49
293.49
5. Argopuro 88.50c 51.77c 58.49 -41.51 183.50c 110.50a 60.22 -39.78 158.33a 108.83a
68.74 -31.26
6. Anjasmoro 77.57e 45.30e 58.40 -41.60 91.67f 53.83c 58.73 -41.27 67.67e 52.50g 77.59 -
22.41
7.
Lumajang
Bewok
93.18b 45.85e 49.20 -50.80 131.67e 81.83a 62.15 -37.85 127.67c 78.17e 61.23 -38.77
8. Cikurai 104.02b 52.67b 50.63 -49.37 166.83d 69.83a 41.86 -58.14 155.50a 66.50f 42.77 -
57.23
9. Burangrang 111.87a 70.40a 62.93 -37.07 122.50f 85.17a 69.52 -30.48 111.50d 83.50e
74.89 -25.11
10. Ijen 116.13a 52.07c 44.83 -55.17 372.17a 89.33a 24.00 -76.00 171.00a 87.50c 51.17 -
48.83
11. Tanggamus 91.67b 46.55d 50.78 -49.22 214.17a 98.83a 46.15 -53.85 184.33a 87.67c
47.56 -52.44
12. Menyapa 87.92c 48.78c 55.49 -44.51 203.50b 103.83a 51.02 -48.98 93.17e 94.67b
101.61 1.61
13. Petek 79.55e 57.92a 72.81 -27.19 123.17f 85.83a 69.69 -30.31 114.50d 84.83d 74.09 -
25.91
14. Tidar 95.77b 46.17e 48.21 -51.79 171.17c 110.33a 64.46 -35.54 162.50a 102.33a 62.97 -
37.03
15. Jayawijaya 94.80b 21.05f 22.20 -77.80 232.50a 66.67b 28.67 -71.33 135.33b 56.17f
41.50 -58.50
Keterangan : Angka rata-rata pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama, tidak
berbeda nyata berdasarkan
uji BNT (0.05). NR = Nilai Relatif (%kontrol)
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi 9
Jumlah polong berisi per tanaman juga menunjukkan perbedaan yang nyata
pada naungan 50%. Varietas yang memberikan hasil cenderung lebih tinggi pada
naungan adalah V4 (Seulawak) yang menunjukkan beda nyata dengan varietas lainnya.
Perubahan yang yang terjadi pada varietas yang diuji masing-masingnya tidak sama.
Varietas Ringgit (V1), Seulawah (V4) dan Menyapa (V12) menunjukkan kenaikan
dibandingkan dengan kontrol. Varietas lainnya mengalami penurunan jumlah polong
berisi per tanaman. Penurunan yang lebih kecil dari 30% terjadi pada varietas Willis
(V3), Anjasmoro (V6), Burangrang (V9), Menyapa (V12) dan Petek (V13). Penurunan
jumlah polong berisi lebih tinggi pada varietas yang mengalami penurunan lebih besar
dari 60% diduga berkaitan dengan peningkatan persentase polong hampa. Disamping
itu, penurunan jumlah polong berisi yang rendah pada varietas toleran didukung oleh
jumlah polong berisi per tanaman lebih tinggi.
Evaluasi Varietas Toleran dalam Ruang Gelap
Kemampuan hidup tanaman pada fase bibit dalam ruang gelap setelah 3, 5, 7, 9,
11 dan 13 hari disimpan di dalam ruang gelap disajikan pada Tabel 5. Angka yang
disajikan adalah persen tanaman bertahan hidup.
Tabel 5. Rata-rata Jumlah Tanaman Hidup setelah 3 sampai 11 Hari Disimpan dalam
Ruang Gelap.
No Varietas
Lama dalam Ruang Gelap Total (hari)
3 5 7 9 11
1 Ringgit 92,5 92,5 68,57 5,71 0
2 Kawi 87,5 87,5 31,43 8,57 0
3 Willis 85 85 48,57 11,43 0
4 Seulawak 77,5 77,5 45,71 8,57 0
5 Argopuro 90 82,5 25,71 8,57 0
6 Anjasmoro 70 70 28,57 8,57 0
7 Lumajang Bewok 95 87,5 71,43 17,14 0
8 Cikurai 85 82,5 57,14 17,14 0
9 Burangrang 85 77,5 42,86 11,43 0
10 Ijen 85 85 62,86 28,57 0
11 Tanggamus 85 85 48,57 11,43 0
12 Menyapa 87,5 87,5 65,71 14,29 0
13 Petek 100 95 62,86 11,43 0
14 Tidar 97,5 97,5 68,57 8,57 0
15 Jayawijaya 87,5 82,5 31,43 20,00 0
Keterangan : Angka yang disajikan persentase tanaman hidup.
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi 10
Tanaman fase bibit yang bertahan hidup dalam keadaan tanpa cahaya terlihat
berbeda nyata antar masing-masing varietas. Saat ini (7 hari) setelah disimpan di ruang
gelap diduga merupakan waktu yang paling sesuai untuk metode seleksi toleransi
terhadap naungan pada fase bibit di dalam ruang gelap.
Pada hari ke 7 ini bibit yang bertahan hidup berkisar antara 25,71% sampai
dengan 71,43%. Tanaman yang bertahan hidup diatas 60% pada hari ketujuh ini adalah
varietas Ringgit (V1), Lumajang Bewok (V7), Ijen (V10), Menyapa (V12), Petek (V13)
dan Tidar (V14) dengan persentase masing-masing sebesar 68,57% ;71,43%; 62,86%;
65,71%; 62,86%; dan 68,57%. Tanaman yang hidup antara 30 – 59% pada hari ke 7
ini adalah Kawi (V2), Willis (V3), Seulawah (V4), Cikurai (V8), Burangrang (V9),
Tanggamus (V11) dan Jayawijaya (V15), sedangkan tanaman yang hidup dibawah 30%
pada hari ke 7 adalah Argopuro (V5) dan Anjasmoro (V6) dengan persentase hidup
sebesar 25,71% dan 28,57%.
Pada hari ke-9 semua tanaman yang bertahan hidup adalah dibawah 30% dengan
jumlah tertinggi adalah pada varietas Ijen yaitu bertahan hidup sebanyak 28,57 %.
Varietas lainnya pada hari ke 9 bertahan hidup dibawah 25%. Pada hari ke 11 semua
tanaman mati.
Kemampuan bertahan hidup tanaman fase bibit pada keadaan gelap dipengaruhi
oleh kandungan karbohidrat dalam daun. Dari hasil uji kandungan karbohidrat tanaman
pada 7 hari setelah pemindahan ke ruang gelap menunjukkan perbedaan pada varietas
yang dicoba. Beberapa varietas mempunyai kandungan karbohidrat yang relatif tinggi
dibandingkan lainnya. Rata-rata kandungan karbohidrat pada masing-masing varietas
dalam gram/100gram bahan adalah : Ringgit 0,48; Kawi 0,50; Willis 0,44; Seulawak
0,71; Argopuro 0,42; Anjasmoro 0,49; Lumajang Bewok 0,49; Cikurai 0,39;
Burangrang 0,68; Ijen 0,95; Tanggamus 0,95; Menyapa 0,88; Petek 0,56; Tidar 0,88;
Jayawijaya 0,63.
Varietas-varietas yang cenderung mengandung karbohidrat yang lebih besar
diduga mempunyai kemampuan bertahan hidup tanaman fase bibit pada keadaan gelap
dipengaruhi oleh kandungan pati dan karbohidrat pada daun. Hal ini terlihat dari hasil
analisis kandungan karbohidrat pada daun (Gambar 2.). Diduga, varietas yang memiliki
kandungan karbohidrat yang relatif tinggi atau cenderung toleran memiliki respirasi
yang lebih rendah daripada yang cenderung peka.
Dari hasil yang didapat pada evaluasi 15 varietas yang diuji menunjukkan
bahwa terdapat beberapa varietas yang dapat digolongkan kepada varietas yang toleran,
beberapa yang moderat dan beberapa yang peka. Tanaman yang telah digolongkan
sebagai varietas toleran, moderat dan peka tersebut terdapat beberapa diantaranya
konsisten toleran pada kedua metoda pengujian.
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi 11
Gambar 2. Kandungan karbohidrat beberapa varietas kedelai pada uji cepat di
ruang gelap pada umur 7 hari dalam ruang gelap.
Varietas-varietas yang dapat digolongkan sebagai tanaman yang cenderung
toleran berdasarkan pengujian pada metoda uji cepat ruang gelap adalah varietas
Ringgit, Ijen, Menyapa, Petek dan Tidar.
Tabel 6. Hasil Evaluasi Varietas Toleran Naungan pada Naungan Buatan dan dengan
Metode Uji Cepat Ruang Gelap.
No Varietas
Metode Penyaringan
Naungan Buatan Uji Cepat Ruang Gelap
1 Ringgit T T
2 Kawi M M
3 Willis T M
4 Seulawak P P
5 Argopuro M P
6 Anjasmoro M P
7 Lumajang Bewok M T
8 Cikurai M M
9 Burangrang T M
10 Ijen M T
11 Tanggamus M M
12 Menyapa M T
13 Petek T T
14 Tidar M T
15 Jayawijaya P P
Keterangan : T = Toleran, M = Moderat dan P = Peka
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi 12
Varietas yang cenderung moderat adalah Kawi, Wilis, Seulawah, Cikurai,
Burangrang, Tanggamus dan Jayawijaya. Dan yang peka adalah varietas Argopuro dan
Anjasmoro. Vatietas-varietas yang dapat digolongkan sebagai tanaman yang cenderung
toleran berdasarkan pengujian pada naungan 50% adalah Ringgit, Wilis, Burangrang,
dan Petek. Varietas Kawi, Argopuro, Anjasmoro, Lumajang bewok, Cikurai, Ijen,
Tanggamus, Menyapa dan Tidar termasuk moderat, sedangkan yang peka adalah
Seulawah dan Jayawijaya. Pada Tabel 6. disajikan hasil evaluasi varietas toleran
naungan buatan dan dengan uji cepat ruang gelap.
Dari enam varietas yang toleran berdasarkan uji cepat ruang gelap tersebut, 2
varietas diantaranya juga toleran berdasarkan evaluasi pada naungan buatan 50 %.
Varietas-varietas yang konsisten toleran pada kedua metoda pengujian tersebut adalah
varietas Ringgit, dan Petek. Varietas yang moderat adalah Kawi, Cikurai dan
Tanggamus. Sedangkan yang peka adalah varietas Seulawah dan Jayawijaya. Pada
Tabel 6. disajikan tabel hasil evaluasi varietas toleran naungan pada naungan buatan
dan dengan metode uji cepat dalam ruang gelap.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil evaluasi terhadap 15 varietas yang diuji, diperoleh 2 varietas yang
konsisten toleran pada kedua metoda tersebut yaitu varietas Ringgit dan Petek. Varietas
yang moderat adalah varietas Kawi, Cikurai, Tanggamus, sedangkan yang peka
terhadap naungan adalah varietas Seulawak dan Jayawijaya.Dua varietas yang secara
konsisten toleran pada dua metode pengujian tersebut yaitu varietas Ringgit dan Petek
dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan sebagai varietas toleran terhadap naungan.
Perlu penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik fisiologi fotosintetik
tanaman kedelai yang dapat dijadikan sebagai penciri toleransi terhadap naungan dan
perlu penggabungan karakter-karakter yang berkaitan erat dengan toleransi terhadap
naungan dengan melakukan persilangan dan mempelajari pola pewarisan sifatnya.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih penulis ucapkan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan Nasional melalui Penelitian Hibah Kompetitif Penelitian sesuai
Prioritas Nasional Nomor Kontrak 596/SP2H/DP2M/VII/2009 yang telah membiayai
penelitian ini.
Vol 1 No.1 Januari – Maret 2012 ISSN: 2302-6472
Program Studi Agroekoteknologi , Fakultas Pertanian Universitas Jambi 13
Daftar Pustaka
Adisarwanto dan Wudianto. 1999. Meningkatkan hasil panen kedelai di lahan sawah-
Kering-Pasang-Surut. Penebar Swadaya. Jakarta.
Badan Pusat Logistik dan Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura . 2005. Data
pertanian tanaman pangan dan hortikultura . 2004 Tingkat Nasional dan Provinsi.
Biro Pusat Statistik. 1998. Indonesia dalam angka 1998. Jakarta.
Haris, A.B., M.A. Chozin, D. Sopandie dan I. Las. 1998. Karakteristik iklim mikro dan
respon tanaman Padi Gogo pada pola tanam sela dengan tanaman Karet.
Seminar Hasil Penelitian PPS-IPB. 12p.
Las, I. 1983. Efisiensi radiasi surya dan pengaruh naungan terhadap Padi Gogo.
Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
Bogor. 3 (1) : 30 – 35.
Marschner, H. 1995. Mineral nutrition of higher plants. Second Edition. Academic
Press inc. San Diego. USA. P. 131-183.
Nasution, M. 2004. Diversifikasi titik kritis pembangunan pertanian Indonesia :
Pertanian Mandiri. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rukmana, R dan Y. Yuniarsih . 2004. Kedelai budidaya dan pasca panen. Kanisius.
Yogyakarta.
Soverda, N. 2002. Karakteristik fisiologi fotosintetik padi gogo toleran terhadap
cekaman naungan. Jurnal Agronomi Fakultas Pertanian Unja, Publikasi
Nasional Ilmu Budidaya Pertanian, Vol 6, No 2, Juli – Desember 2002.
Wibawa, G. dan M. J. Rosyid. 1995. Peningkatan produktivitas padi sebagai tanaman
sela karet muda. Warta Pusat Penelitian Karet. Assosiasi Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan Indonesia. 14(1):40-46.

December 5, 2012

budidaya tanaman
By andikasastra04 ¶ ¶ Leave a comment

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar belakang

Jagad raya Indonesia ini memungkinkan dikembangkan tanaman sayur-sayuran yang banyak
bermanfaat bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi manusia. Sehingga ditinjau dari aspek
klimatologis Indonesia sangat tepat untuk dikembangkan untuk bisnis sayuran. Di antara
tanaman sayur-sayuran yang mudah dibudidayakan salah satunya adalah sawi dan tomat.
Karena sangat mudah dikembangkan dan banyak kalangan yang
menyukai memanfaatkannya. Selain itu potensial untuk komersial dan prospek nya sangat
baik. Ditinjau dari aspek klimatologis, aspek teknis, aspek ekonomis dan aspek sosialnya
sangat mendukung, sehingga memiliki kelayakan untuk diusahakan di Indonesia.
Tomat, adalah tanaman yang paling mudah dijumpai. Warnanya yang cerah sungguh
menarik. Selain kaya vitamin C dan A, tomat konon dapat mengobati bermacam penyakit

Manfaat sawi sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita
batuk. Penyembuh penyakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta
memperbaiki dan memperlancar pencernaan. Sedangkan kandungan yang terdapat pada sawi
adalah protein, lemak, karbohidrat, Ca, P, Fe, Vitamin A, Vitamin B, dan Vitamin C..

Klasifikasi tanaman sawi Klasifikasi tanaman tomat


Divisi : spermatophyta Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan
Subdivisi : angiospermae berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Kelas : dikotiledonae Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Asteridae
Ordo : rhoeadales (brassicales) Ordo: Solanales
Famili: Solanaceae (suku terung-terungan)
Family : cruciferae (brassicaceae)
Genus: Solanum
Genus brassica
Spesies: Solanum lycopersicum L.
Spesies : brassica juncea

B.Tujuan
1. Aspek klimatologis tanaman sawi dan tomat sangat cocok di tanam di
beriklim
2.Aspek teknis tanaman sawi dan tomat mudah di budidayakan baik menggunakan tanah
sebagai media maunpun medium air(hidroponik)
3.Aspek ekonomis tanaman sawi dan tomat mempunyai nilai jual tinggi.
4.Aspek sosial budaya tanaman sawi dan tomat tidak mempunyai penggaruh negatif terhadap
lingkungan sekitarnya.

BAB II

METODE KERJA

A.Alat
1.Skop kecil.
2.Polybag berat 3 kg.
3.Bak plastik persemaian(ukuran 15 cmx20cmx7cm)

B.Bahan
1.Tanah yang di campur dengan kompos atau pupuk kandang dengan perbandingan
1:1(berat/berat)
2.Benih sawi dan tomat.
3.Mol buah-buahan.

C.Cara kerja
Tahap persemaian.
1.Isi bak persemaian dengan campuran media(pasir,tanah dan kompos dengan perbandingan
1:1:1)
2.Basahi media tersebut dengan cara menyiram(hasprayer)
3.Taburkan benih tomat(pada bak yang berbeda)
4.Taburkan benih sawi(pada bak yang berbeda)
5.Pelihara sampai tanaman berdaun 3-4 helai.
6.Pindah kepolybag pertanaman(transplanting kepolybag penanaman)
Tahap penanaman.
1.Isi polybag dengan media campuran tanah dan kompos(3 kg)
2.Basahi media tersebut dengan cara menyiram(hasprayer)
3.Pemindahan bibit (transplanting) kepolybag tanam dengan cara putaran(pemindahan
tanaman muda dengan mengikut sertakan tanah nya)
4.Tanam bibit dari (transplanting)kepolybag tanam dengan satu bibit tiap polybag.
5.Larutkan 400cc mol dalam 14 liter air.
6.Pupuk tanaman 3 hari sekali dengan larutan mol.

BAB III

ISI

A.Hasil dan Pembahasan Tanaman Sawi


a. Hasil tanaman sawi

No Polybag Keterangan berat/tanaman


1. Polybag 122,9 gr
2. Polybag 110 gr
3. Polybag 99,7 gr
4. Polybag 53,6 gr
5. Polybag 13,2 gr
6. Polybag Terkena hama penyakit
Jumlah 399,4 gr

Table 3.1 hasil dari tanaman sawi.


Berat normal tanaman sawi 100-400 gram/tanam.
b.Pembahasan tanaman sawi.

1. Tanaman sawi cocok di tanam di tanah gembur, banyak mengandung humus, subur
serta drainase yang baik. Misalnya tanah lempung berpasir atau lempung berliat.
Derajat kemasaman (pH) tanah berkisar antara 5.5-6.5 merupakan pH yang optimum
bagi pertumbuhan tanaman sawi.
2. Budidaya tanaman sawi yang kami lakukan mengunakan polybag sebagai tempat
media tumbuh.Keuntungan menggunakan polybag sebagai tempat media tumbuh.
-Tidak memerlukan penyiangan(sanitasi) secara intensif.
-Mudah dalam pemeliharan.
-Tidak memerlukan lahan(areal)yang begitu besar.
-Mudah mengatur drainase dan aierase.
3. Pemberian pupuk kandang secara teori volumenya mencukupi tetapi nutrisi yang
terkandung didalam pupuk kandang tersebut minim,mungkin disebabkan kuranngnya
pemeliharaan yang intensif seperti penyiraman sehingga terjadi transpirasi bahan
organik yang di berikan menguap oleh cahaya matahari,hal ini menyebabkan
produktifitas tanaman sawi menurun(pada table 3.1)

Keuntungan dan kerugian menggunakan pupuk organik.

No Keuntungan Kerugian
1 Mudah di dapat misal nya:dari Memerlukan jumlah volume yang
sampah rumah tangga besar untuk mengimbang nutrisi
yang di butuhkan tanaman
2 Tidak memerlukan biaya yang Mudah terserang hama penyakit.
begitu mahal.

Table 3.2 keuntungan dan kerugian mengunakan pupuk organik.

Tanaman sawi sangat rentan terhadap serangan hama penyakit,hama yang sering menyerang
tanaman sawi adalah ulat jantung kubis/ crossidolomia menyerang titik tumbuh(pada table
3:1) serangan hama tersebut salah satu faktor penyebab menurunnya produktifitas sawi yang
kami praktekkan.

B.Hasil dan Pembahasan tanaman tomat.


a.Hasil tanaman tomat.
Table 3.3 hasil pengamatan tanaman tomat

No Polybag Tinggi tanaman Jumlah cabang Jumlah buah


/tanaman
1 Polybag 40-45 cm 2 5
2 Polybag 40-45 cm 1 8
3 Polybag 60-65 cm 2 9
4 Polybag 70-75 cm 2 9
5 Polybag 70-75 cm 2 7
Jumlah 9 38

b.Pembahasan tanaman tomat.

1. Tanaman yang kami praktekkan cukup memuaskan dengan menghasilkan buah muda
(fase awal) seperti terdapat pada table(3.3)yang masa produktifnya masih lama tetapi.
2. Tanaman tomat yang kami praktekkan kurang mendapatkan perlakuan khusus
terutama dalam pemberian air dan nutrisi.
3. Pemeliharaan masih perlu di lakukan karena tanaman tomat yang di praktekan masih
dalam fase awal produktif guna meningkatkan produktifitas tomat.
4. Budidaya tomat yang kami lakukan mengunakan polybag sebagai tempat media
tumbuh.Keuntungan menggunakan polybag sebagai tempat media tumbuh.
-Tidak memerlukan penyiangan(sanitasi) secara intensif.
-Mudah dalam pemeliharan.
-Tidak memerlukan lahan(areal)yang begitu besar.
-Mudah mengatur drainase dan aierase.

BAB IV

PENUTUP

A.Kesimpulan

1. 1. Semua jenis tanaman terutama tanaman sayur-sayuran harus mendapat


perlakuan khusus,y
ang perlu di perhatikan penggunaan pupuk organik yaitu rentan terhadap hama
penggangu,nutrisi harus seimbang dengan butuhkan tanaman hal tersebut kalau tidak
di perhatikan dapat berakibat fatal(gagal panen)
2. 2. Pemeliharaan harus intensif baik pemberian nutrisi,air,sanitasi dan pemberantas
hama penggangu tanaman guna meningkatkan produktifitas tanaman yang di tanam.
3. 3. Merupakan kecenderungan mahasiswa dalam pemeliharaan tanaman yang
dipraktekan sehingga hasil tanaman kurang memuaskan.

B.Saran
Untuk tanaman sawi seharusnya perlu adanya naungan supaya bila hujan
tanaman tidak terkena air hujan langsung hal ini bisa menyebabkan terjadi nya
liching(tercucinya unsur hara yang di berikan akibat terbawa air hujan)dan terkena
sinar matahari langsung(tanaman akan layu dan bahan organik yang di berikan
tertranspirasi oleh sinar matahari)

BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Mateus Aba, 2012. Laporan Budidaya Sayuran Tomat dan Sawi. From
Http://matius-aba.blogspot.com,29januari 2012

December 5, 2012

jenis dan nama tanah


By andikasastra04 ¶ ¶ Leave a comment

MAKALAH

MACAM MACAM JENIS TANAH

Oleh

Andika sastra winata

D1A012102
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JAMBI

2012

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air mempunyai fungsi yang penting dalam tanah, antara lain pada proses pelapukan mineral
dan bahan organik tanah, yaitu reaksi yang mempersiapkan hara larut bagi pertumbuhan
tanaman. Selain itu, air juga berfungsi sebagai media gerak hara ke akar-akar tanaman. Akan
tetapi, jika air terlalu banyak tersedia, hara-hara dapat tercuci dari daerah-daerah perakaran
atau bila evaporasi tinggi, garam-garam terlarut mungkin terangkat kelapisan tanah atas. Air
yang berlebihan juga membatasi pergerakan udara dalam tanah, merintangi akar tanaman
memperoleh O2 sehingga dapat mengakibatkan tanaman
mati.

Dua fungsi yang saling berkaitan dalam penyediaan air bagi tanaman yaitu memperoleh air
dalam tanah dan pengaliran air yang disimpan ke akar-akar tanaman. Jumlah air yang
diperoleh tanah sebagian bergantung pada kemampuan tanah yang menyerap air cepat dan
meneruskan air yang diterima dipermukaan tanah ke bawah. Akan tetapi jumlah ini juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti jumlah curah hujan tahunan dan sebaran hujan
sepanjang tahun.

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari makalah ini adalah menentukan jenis jenis tanah dan lapisan tanah
II.PEMBAHASAN

A.nama nama tanah

1. Tanah Aluvial

2. Andosol

3. Brown Forest Soil

4. Grumusol

5. Latosol

6. Litosol

7. Mediteran

8. Organosol

9. Podsol

10. Podsolik Merah Kuning

11. Podsolik Coklat

12. Podsolik Coklat kelabu

13. Regosol

14. Renzina

15._________

B.Pengertian tanah
Tanah adalah lapisan atas bumi yang merupakan campuran dari pelapukan batuan dan jasad
makhluk hidup yang telah mati dan membusuk. Oleh pengaruh cuaca, jasad makhluk hidup
tadi menjadi lapuk, mineral-mineralnya terurai (terlepas), dan kemudian membentuk tanah
yang subur. Tanah juga disebut lithosfer (lith = batuan) karena dibentuk dari hasil pelapukan
batuan.

Tanah merupakan unsur kehidupan yang


paling penting. Tanpa tanah, tentu kita tak
ada tempat berpijak. Lain halnya jika kita
ikan, hehehe. Tanah memiliki banyak jenis
karena perbedaan proses pembentukan dan
unsur yang terdapat di dalamnya juga
berbeda. Berikut jenis-jenis tanah yang ada
di Indonesia. Tanah
tanah sebagai benda bentukan alam. Untuk tanah sebagai objek hukum, lihat artikel lahan.

Profil tanah, memperlihatkan beberapa horizon tanah.

Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian kerak bumi yang tersusun
dari mineral dan bahan organik.

Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung
kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar.
Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung
kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akarIlmu
yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu tanah.

Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan
erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi.
Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara
merupakan bagian dari tanah.

Tanah berasal dari pelapukan batuan dengan bantuan organisme, membentuk tubuh unik yang
menutupi batuan. Proses pembentukan tanah dikenal sebagai ”pedogenesis”. Proses yang
unik ini membentuk tanah sebagai tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan atau disebut
sebagai horizon tanah. Setiap horizon menceritakan mengenai asal dan proses-proses fisika,
kimia, dan biologi yang telah dilalui tubuh tanah tersebut.

Hans Jenny (1899-1992), seorang pakar tanah asal Swiss yang bekerja di Amerika Serikat,
menyebutkan bahwa tanah terbentuk dari bahan induk yang telah mengalami
modifikasi/pelapukan akibat dinamika faktor iklim, organisme (termasuk manusia), dan relief
permukaan bumi (topografi) seiring dengan berjalannya waktu. Berdasarkan dinamika kelima
faktor tersebut terbentuklah berbagai jenis tanah dan dapat dilakukan klasifikasi tanah.

C.Karakteristik tanah
Tubuh tanah (solum) tidak lain adalah batuan yang melapuk dan mengalami proses
pembentukan lanjutan. Usia tanah yang ditemukan saat ini tidak ada yang lebih tua daripada
periode Tersier dan kebanyakan terbentuk dari masa Pleistosen.

Tubuh tanah terbentuk dari campuran bahan organik dan mineral. Tanah non-organik atau
tanah mineral terbentuk dari batuan sehingga ia mengandung mineral. Sebaliknya, tanah
organik (organosol/humosol) terbentuk dari pemadatan terhadap bahan organik yang
terdegradasi.

Tanah organik berwarna hitam dan merupakan pembentuk utama lahan gambut dan kelak
dapat menjadi batu bara. Tanah organik cenderung memiliki keasaman tinggi karena
mengandung beberapa asam organik (substansi humik) hasil dekomposisi berbagai bahan
organik. Kelompok tanah ini biasanya miskin mineral, pasokan mineral berasal dari aliran air
atau hasil dekomposisi jaringan makhluk hidup. Tanah organik dapat ditanami karena
memiliki sifat fisik gembur (sarang) sehingga mampu menyimpan cukup air namun karena
memiliki keasaman tinggi sebagian besar tanaman pangan akan memberikan hasil terbatas
dan di bawah capaian optimum.

Tanah non-organik didominasi oleh mineral. Mineral ini membentuk partikel pembentuk
tanah. Tekstur tanah demikian ditentukan oleh komposisi tiga partikel pembentuk tanah:
pasir, lanau (debu), dan lempung. Tanah pasiran didominasi oleh pasir, tanah lempungan
didominasi oleh lempung. Tanah dengan komposisi pasir, lanau, dan lempung yang seimbang
dikenal sebagai geluh (loam).

Warna tanah merupakan ciri utama yang paling mudah diingat orang. Warna tanah sangat
bervariasi, mulai dari hitam kelam, coklat, merah bata, jingga, kuning, hingga putih. Selain
itu, tanah dapat memiliki lapisan-lapisan dengan perbedaan warna yang kontras sebagai
akibat proses kimia (pengasaman) atau pencucian (leaching). Tanah berwarna hitam atau
gelap seringkali menandakan kehadiran bahan organik yang tinggi, baik karena pelapukan
vegetasi maupun proses pengendapan di rawa-rawa. Warna gelap juga dapat disebabkan oleh
kehadiran mangan, belerang, dan nitrogen. Warna tanah kemerahan atau kekuningan
biasanya disebabkan kandungan besi teroksidasi yang tinggi; warna yang berbeda terjadi
karena pengaruh kondisi proses kimia pembentukannya. Suasana aerobik/oksidatif
menghasilkan warna yang seragam atau perubahan warna bertahap, sedangkan suasana
anaerobik/reduktif membawa pada pola warna yang bertotol-totol atau warna yang
terkonsentrasi[1].

Struktur tanah merupakan karakteristik fisik tanah yang terbentuk dari komposisi antara
agregat (butir) tanah dan ruang antaragregat. Tanah tersusun dari tiga fase: fase padatan, fase
cair, dan fase gas. Fasa cair dan gas mengisi ruang antaragregat. Struktur tanah tergantung
dari imbangan ketiga faktor penyusun ini. Ruang antaragregat disebut sebagai porus (jamak
pori). Struktur tanah baik bagi perakaran apabila pori berukuran besar (makropori) terisi
udara dan pori berukuran kecil (mikropori) terisi air. Tanah yang gembur (sarang) memiliki
agregat yang cukup besar dengan makropori dan mikropori yang seimbang. Tanah menjadi
semakin liat apabila berlebihan lempung sehingga kekurangan makropori.

D.Pencemaran tanah
Pencemaran tanah terjadi akibat masuknya benda asing (misalnya senyawa kimia buatan
manusia) ke tanah dan mengubah suasana/lingkungan asli tanah sehingga terjadi penurunan
kualitas dalam fungsi tanah. Pencemaran dapat terjadi karena kebocoran limbah cair atau
bahan kimia industri atau fasilitas komersial; penggunaan pestisida; masuknya air permukaan
tanah tercemar ke dalam lapisan sub-permukaan; kecelakaan kendaraaan pengangkut minyak,
zat kimia, atau limbah; air limbah dari tempat penimbunan sampah serta limbah industri yang
langsung dibuang ke tanah secara sembarangan (illegal dumping).

2.JENIS TANAH DI INDONESIA

a. Tanah Vulkanik

Tanah vulkanik adalah tanah hasil pelapukan abu vulkanik dari gunung berapi. Tanah
vulkanik dibagi menjadi dua.

1. Regosol. Tanah regosol berciri-ciri: berbutir kasar, berwarna kelabu sampai kuning,
dan berbahan organik sedikit. Tanah ini cocok untuk tanaman palawija (seperti
jagung), tembakau, dan buah-buahan. Jenis tanah ini banyak terdapat di P. Sumatra,
Jawa, dan Nusa Tenggara.
2. Latosol. Tanah latosol berciri-ciri: berwarna merah hingga kuning, kandungan bahan
organik sedang, dan bersifat asam. Tanah ini cocok untuk tanaman palawija, padi,
kelapa, karet, kopi, dll. Jenis tanah ini banyak terdapat di Sumatra Utara, Sumatra
Barat, Bali, Jawa, Minahasa, dan Papua.

Tanah vulkanis

b. Tanah Organosol
Tanah organosol merupakan tanah hasil pelapukan bahan-bahan organik. Biasanya bersifat
subur. Tanah jenis ini dibagi dua juga, yaitu:

1. Tanah Humus, merupakan tanah hasil pembusukan bahan-bahan organik dan bersifat
sangat subur. Tanah humus berwarna kecoklatan dan cocok untuk tanaman kelapa,
nanas, dan padi. Tanah jenis ini banyak terdapat di P. Sumatra, Sulawesi, Jawa Barat,
Kalimantan, dan Papua.

Tanah humus

2. Tanah Gambut, merupakan tanah hasil pembusukan yang kurang sempurna di


daerah yang selalu tergenang air seperti rawa. Tanah ini kurang baik untuk pertanian
karena kurang subur dan selalu tergenang air. Tanah gambut banyak terdapat di
Kalimantan Barat, pantai timur Sumatra, dan pantai selatan-barat Papua.

Tanah Gambut

c. Tanah Aluvium (Alluvial)

Tanah aluvium adalah tanah hasil erosi yang diendapkan di dataran rendah. Ciri-ciri tanah
aluvium adalah berwarna kelabu dan subur. Tanah ini cocok untuk tanaman padi, palawija,
tebu, kelapa, tembakau, dan buah-buahan. Tanah jenis ini banyak terdapat di Sumatra bagian
Timur, Jawa bagian utara, Kalimantan bagian barat dan selatan, serta Papua utara dan selatan.

d. Tanah Podzol

Tanah ini terbentuk akibat pengaruh curah hujan yang tinggi dan suhu yang rendah. Tanah
podzol bercirikan miskin unsur hara, tidak subur, dan berwarna merah sampai kuning. Tanah
ini baik untuk tanaman kelapa dan jambu mete. Tanah podzol banyak dijumpai di daerah
pegunungan tinggi Sumatra, Jabar, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, dan Papua.

Tanah podzol

e. Tanah Laterit

Tanah laterit adala tanah hasil ‘pencucian’ sehingga kurang subur, kehilangan unsur hara, dan
tandus. Tanah ini awalnya subur namun karena zat haranya dilarutkan oleh air maka menjadi
tidak subur. Warna tanah ini kekuningan sampai merah. Tanah ini baik untuk kelapa dan
jambu mete. Tanah jenis ini banyak terdapat di Jawa Tengah, Lampung, Jabar, Kal-Bar, dan
Sulawesi Tenggara.

Tanah laterit
f. Tanah Litosol

Tanah litosol adalah tanah hasil pelapukan batuan beku dan batuan sedimen yang baru
terbentuk sehingga butirannya besar. Ciri-ciri tanah ini yaitu miskin unsur hara dan
mineralnya masih terikat pada butiran yang besar. Tanah litosol kurang subur sehingga hanya
cocok bagi tanaman-tanaman besar di hutan. Tanah litosol banya terdapat di P. Sumatra,
Jawa Tengah dan Timur, Nusa Tenggara,

g. Tanah Kapur

Tanah kapur merupakan hasil pelapukan batuan kapur (gamping). Tanah ini terbagi jadi dua
jenis.

1. Renzina. Tanah ini merupakan hasil pelapukan batuan kapur di daerah dengan curah
hujan tinggi. Ciri tanah ini yaitu berwarna hitam dan miskin zat hara. Tanah renzina
banyak terdapat di daerah berkapur seperti Gunung Kidul (Yogyakarta).
2. Mediteran, meruapakn hasil pelapukan batuan kapur keras dan batuan sedimen.
Warna tanah ini kemerahan sampai coklat. Tanah jenis ini meski kurang subur namun
cocok untuk tanaman palawija, jati, tembakau, dan jambu mete.

h. Tanah Pasir

Tanah pasir adalah tanah yang bersifat kurang baik bagi pertanian yang terbentuk dari batuan
beku serta batuan sedimen yang memiliki butir kasar dan berkerikil. Sepertinya jenis tanah ini
dijumpai di mana-mana

III.KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa :

a) Tanah Alfisol memiliki persentase kadar air yang cukup besar yaitu sebesar 0,42%.
b) Faktor-faktor yang mempengaruhi banyaknya kadar air dalam tanah adalah banyaknya
curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, besarnya evapotranspirasi
(penguapan langsung melalui tanah dan melalui vegetasi), tingginya muka air tanah, kadar
bahan organik tanah, senyawa kimiawi atau kandungan garam-garam, dan kedalaman solum
tanah atau lapisan tanah.

Saran

Untuk menentukan kandungan air tanah lebih mudah digunakan metode volumetric, asalkan
kita memiliki sampel tanah utuh dari suatu jenis tanah.

You might also like