Professional Documents
Culture Documents
ada dalam terapi obat atau mengganggu secara potensial hasil keluaran klinik yang diharapkan.
Kesalahan pemberian obat (drug administration) memiliki persentase sebesar 59,3% dalam
kejadian DRPs. Kesalahan pencatatan obat pada pengobatan penyakit kardiovaskuler menempati
urutan kedua terbesar di Rumah Sakit Indonesia (Ernawati dkk., 2014).
Berbagai obat kardiovaskuler memiliki risiko tinggi dalam menyebabkan kejadian DRPs.
Hal ini disebabkan karena mayoritas jenis dan nama obat kardiovaskuler termasuk dalam look
alike and sound alike (LASA) sehingga pencatatan pengobatan kardiovaskuler merupakan urutan
kedua terbesar dalam kejadian medication error. Penelitian menyebutkan bahwa pengobatan
kardiovaskuler memiliki potensi sebesar 24-33% dalam kejadian DRPs dan berpengaruh secara
signifikan terhadap outcome klinik yang diharapkan (Ernawati dkk., 2014).
Hubungan antara beberapa faktor risiko terhadap kejadian DRPs pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler telah diteliti untuk mencegah hasil luaran klinik yang buruk. Usia, jenis
kelamin, kondisi organ pasien, kemampuan pengoperasian Computerized Provider Order Entry
(CPOE), jumlah dan jenis obat yang diberikan merupakan beberapa faktor risiko yang perlu diberi
perhatian secara khusus untuk mencegah terjadinya DRPs. Dari tujuh jenis yang ada, mayoritas
DRPs yang terjadi pada pengobatan penyakit kardiovaskuler adalah ketidaktepatan kombinasi obat
dengan obat ataupun dengan makanan, kesalahan penulisan akibat ketidakpahaman pengoperasian
CPOE, dosis berlebih, dan penyesuaian dosis berdasarkan kondisi farmakokinetika pasien dan obat
(Abraham, 2014; Urbina dkk., 2014).
Salah satu faktor risiko yang dinyatakan berkorelasi secara signifikan terhadap peningkatan
kejadian DRPs pada pengobatan penyakit kardiovaskuler adalah adanya polifarmasi. Polifarmasi
merupakan penggunaan obat – obatan yang berlebih dan ditekankan pada pemberian obat – obatan
yang sebenarnya tidak diperlukan oleh pasien. Peningkatan jumlah obat yang diberikan pada
pasien akan memberikan luaran klinik yang buruk bagi pasien khususnya pasien geriatri (Hajjar
dkk., 2007). Dengan adanya polifarmasi, maka akan terjadi peningkatan probabilitas dalam
interaksi obat dengan obat ataupun obat dengan makanan. Oleh karena itu perlu adanya intervensi
farmasis dalam penatalaksanaan terapi penyakit kardiovaskuler.