You are on page 1of 44

BAB I

PENDAHULUAN

Elektrolit merupakan senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang
bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion bermuatan
negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai elektronetralitas.1 Elektrolit
adalah molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah, jaringan dan sel-sel tubuh. molekul dapat
mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan Ph dan nilai asam basa dalam
tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi aliran cairan diantar dan didalam sel melalui proses yang
dikenal sebagai osmosis, serta berperan dalam fungsi regulasi sistem neuromuskular.2
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Anion utama dalam cairan
ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat(HCO3-), sedangkan anion utama dalam
cairan intraselular adalah ion fosfat(PO43-). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan
cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari
cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.3
Homeostasis cairan tubuh penting bagi sirkulasi tubuh. Pemeliharaan tekanan osmotik
dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi utama empat
elektrolit mayor, yaitu natrium (Na+ ), kalium (K+ ), klorida (Cl- ), dan bikarbonat (HCO3 -).
Pemeriksaan keempat elektrolit mayor tersebut dalam klinis dikenal sebagai ”profil
elektrolit”.4 Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel dan kalium kation
terbanyak dalam cairan intrasel. Jumlah natrium dan kalium dalam tubuh merupakan gambaran
keseimbangan antara yang masuk terutama dari saluran cerna dan yang keluar terutama melalui
ginjal. Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi tertentu
(seperti natrium, kalium, dan magnesium) dalam darah.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Fisiologi cairan tubuh


Cairan tubuh terdiri dari air dan elektrolit. Cairan tubuh dibedakan atas cairan ekstrasel
dan intrasel. Cairan ekstrasel meliputi plasma dan cairan interstisial. Distribusi
elektrolit pada cairan intrasel dan ekstrasel dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 2.1. Kation dan Anion Utama dalam Cairan Intrasel dan Ekstrasel5

a) Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L)
berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel
ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium
klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan
osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium.1
Perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh
adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya kalium
ke dalam sel (pompa Na+,K+). Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran
keseimbangan antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan
natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi
dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit. Pemasukan
dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mEq.1
Tabel 1. Kadar Elektrolit dalam Cairan Ekstrasel dan Intrasel1

Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari
10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian
atas hampir mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan
pada saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya
mencapai 40 mEq/L.6
Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan
natrium pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. Jumlah pengeluaran
keringat akan meningkat sebanding dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan
yang panas, latihan fisik dan demam.6 Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal.
Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang
sangat diperlukan untuk mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi
bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama
dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di
lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi
natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi
natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-
aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas.
b) Fisiologi Kalium
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh
dan terbanyak berada di intrasel. Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan
konsentrasi kalium ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%). Perbedaan kalium cairan intrasel
dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif (transpor aktif kalium ke
dalam sel bertukar dengan natrium). Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi
otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transport cairan, dan perkembangan janin.
A. Distribusi Kalium9
 Kenaikan dominan intraseluler K + adalah hasil dari pompa pertukaran natrium-
kalium (Na + -K +) pada membran sel yang memindahkan Na + keluar dari sel dan
memindahkan K + ke dalam sel.
 Jumlah konsentrasi K + pada orang dewasa sehat adalah sekitar 50 mEq / kg, dan
hanya 2% dalam cairan ekstraseluler. Pada plasma mengandung sekitar 20% dari
cairan ekstraseluler, kandungan K + plasma hanya 0,4% dari total tubuh K +.
B. Plasma Potassium
Pengaruh perubahan total K+ pada plasma K+ digambarkan oleh kurva pada Gambar
2.

Gambar 2. Hubungan antara perubahan total K + tubuh dan konsentrasi K +


serum.9
Pada orang dewasa dengan K + plasma normal, jumlah konsentrasi K + berkurang 200–
400 mEq diperlukan untuk menghasilkan 1 mEq / L penurunan dalam plasma K +,
sementara konsemtrasi K + kelebihan 100-200 mEq adalah diperlukan untuk
menghasilkan peningkatan 1 mEq / L dalam plasma K +. Oleh karena itu, untuk
perubahan dalam serum K +, perubahan konsentrasi K + dua kali lipat lebih besar
dengan deplesi K + (hipokalemia) dibandingkan dengan K + berlebih (hiperkalemia).
C. Ekskresi Kalium
 Sejumlah kecil K + hilang dalam tinja (5–10 mEq / hari) dan keringat (0–10 mEq /
hari), tetapi sebagian besar kehilangan K + dalam urin (40–120 mEq / hari,
tergantung pada asupan K + ).
 Ekskresi Ginjal
Sebagian besar K + yang disaring direabsorpsi di tubulus proksimal, dan K +
kemudian disekresi di tubulus distal dan collecting ducts.
Kehilangan potasium dalam urin terutama fungsi sekresi K + di nefron distal, yang
dikendalikan oleh plasma K + dan aldosteron (yang merangsang sekresi K + seperti
meningkatkan retensi natrium). Ketika fungsi ginjal normal, kapasitas ekskresi K +
cukup besar untuk mencegah peningkatan plasma K + yang berkelanjutan sebagai
respons terhadap peningkatan beban K +.9

c) Fisiologi Kalsium
Kalsium adalah elektrolit yang paling banyak dalam tubuh manusia, tetapi 99%
dalam tulang. Kalsium dalam tulang terikat dalam bentuk Kristal hidroksiapatit.
Selebihnya, terdapat di dalam sel dan cairan ekstraseluler. Kalsium ekstraseluler
terdapat dalam tiga bentuk, yaitu kalsium terikat protein, terutama albumin (50%),
bentuk bebas/terion (45%), dan bentuk kompleks terutama terikat fosfat, sitrat,
bikarbonat dan laktat (5%).8 Ion kalsium berperan penting dalam fisiologi intraseluler
maupun ekstraseluler. Ion kalsium intraseluler merupakan regulator penting fungsi sel,
antara lain proses kontraksi otot, sekresi hormon, metabolisme glikogen dan
pembelahan sel. Secara fisiologi, ion kalsium ekstraseluler berperan sebagai kofaktor
pada proses pembekuan darah, misalnya untuk faktor VII, IX, X dan protrombin,
memelihara mineralisasi tulang, berperan pada stabilisasi membran dengan berikatan
pada lapisan fosfolipid, dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion
natrium. Metabolisme kalsium diatur tiga hormon utama yaitu hormon paratiroid
(PTH),kalsitonin dan hormon sterol (1,25 dihidroksikolekalsiferol/ vitamin D). Kadar
kalsium normal 4–5,6 mg/dL (1–1,4 mmol/L). Keseimbangan kalsium merupakan
hubungan timbal balik antara absorsi usus, eksresi dalam urine dan faktor hormonal.
Absorbsi kalsium terjadi diusus halus terutama di duodenum dan jejunum proksimal.2
Fraksi Plasma9
 Sekitar separuh kalsium dalam plasma terionisasi (aktif secara biologis), dan
separuh lainnya terikat dengan albumin (80%) atau dikomplekskan menjadi fosfat
dan sulfat (20%)
 Konsentrasi kalsium total dan terionisasi dalam plasma ditunjukkan pada Gambar
3. Hipoalbuminemia menurunkan total kalsium plasma tanpa mengubah kalsium
terionisasi. Fraksi kalsium terionisasi tidak diubah oleh hipoalbuminemia.

Gambar 3. Konsentrasi kalsium total dan terionisasi dalam plasma


d) Fisiologi magnesium
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting, berfungsi sebagai kofaktor
berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total magnesium tubuh yang disimpan di cairan
ekstraseluler, 67% terdapat di tulang, dan sisanya 31% ada di intraseluler. Kadar
magnesium normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L. 4 Sedangkan kebutuhan
asupan magnesium ialah 0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.

A. Distribusi9
 Pada orang dewasa mengandung sekitar 24 g (1 mol, atau 2.000 mEq) magnesium
(Mg); lebih dari setengahnya terletak di tulang, sedangkan kurang dari 1% terletak
di plasma.
 Kurangnya representasi dalam plasma membatasi nilai Mg plasma sebagai indeks
total magnesium; misalnya pada kadar Mg plasma dapat normal dalam deplesi Mg.

B. Serum Magnesium
Serum lebih disukai daripada plasma untuk tes Mg karena antikoagulan yang digunakan
untuk sampel plasma dapat terkontaminasi dengan sitrat atau anion lain yang mengikat
Mg.

C. Magnesium Terionisasi
 Hanya 67% dari Mg dalam plasma berada dalam bentuk terionisasi (aktif), dan
sisanya 33% terikat pada protein plasma atau dilelehkan dengan anion divalen
seperti fosfat dan sulfat.
 Uji standar untuk Mg mencakup semua fraksi plasma. Oleh karena itu, ketika serum
Mg abnormal rendah, tidak mungkin untuk menentukan apakah masalah adalah
penurunan fraksi terionisasi (aktif) atau penurunan fraksi terikat (misalnya,
hipoproteinemia).
 Karena jumlah total Mg dalam plasma kecil, perbedaan antara Mg terionisasi dan
terikat mungkin tidak cukup besar untuk menjadi relevan secara klinis.

D. Magnesium Urin
 Kisaran normal ekskresi Mg urine ditunjukkan pada Gambar 4. Ekskresi Mg urine
tergantung pada asupan Mg.
Gambar 4. Ekskresi Mg urine dan kadar Mg plasma pada peserta sehat dengan diet

bebas Mg. Batang padat pada sumbu vertikal menunjukkan kisaran normal untuk
setiap variabel.9
 Ketika asupan Mg kurang, ginjal melestarikan Mg, dan ekskresi Mg urine turun ke
tingkat yang dapat diabaikan. Perhatikan bahwa setelah satu minggu diet bebas Mg,
plasma Mg tetap dalam kisaran normal, sedangkan ekskresi Mg urine telah menurun
ke tingkat yang dapat diabaikan. Ini menggambarkan nilai relatif ekskresi Mg urine
untuk memantau keseimbangan Mg.9

2.2. Keseimbangan, Osmolaritas, dan Osmolaritas Cairan

2.2.1 Karakteristik air dalam fisiologi


Air adalah senyawa esensial untuk semua makhluk hidup dan mempunyai beberapa
karakteristik fisiologik:
- Media utama pada reaksi intrasel
- Diperlukan oleh sel untuk mempertahankan kehidupan. Hampir semua reaksi biokimia
tubuh terjadi dalam media air, sehingga dapat dikatakan bahwa air merupakan pelarut
untuk kehidupan.
- Pelarut terbaik untuk solut polar dan ionik.
- Media transpor pada sistem sirkulasi, ruang di sekitar sel (ruang intravaskuler,
interstisium), dan intra sel
- Mempunyai panas jenis, panas penguapan, dan daya hantar panas yang tinggi sehingga
berperan penting dalam pengaturan suhu tubuh.10,11

2.2.2 Jumlah Cairan Tubuh


Total body water (air tubuh total) dapat ditentukan melalui beberapa perhitungan yang
menerapkan teknik dilusi dengan menggunakan berbagai zat seperti duterium, tritium, dan
antipirin. Penentuan jumlah cairan ekstrasel biasanya diukur secara langsung akan tetapi lebih
sulit dibandingkan pengukuran air tubuh total. Hal ini disebabkan bahan yang digunakan dalam
proses dilusi harus hanya terdapat pada cairan ekstrasel dan tersebar pada seluruh kompartemen
ekstrasel. 10,11
Beberapa cara mengukur kompatemen cairan tubuh, yaitu: 10,11
a. Pengukuran cairan kompartemen tubuh berdasarkan konsentrasi suatu zat di dalam
kompartemen:
jumlah zat disuntikan
Konsentrasi zat = volume distribusi

b. Dalam melakukan pengukuran jumlah air di kompartemen, perlu dilakukan perhitungan


(koreksi) zat zat yang dieskresikan dalam kurun waktu yang dibutuhkan oleh zat tersebut
sejak disuntikkan dan terdistribusi ke dalam kompatemen.2
Jumlah zat disuntikan−Jumlah diekskresikan
Vd : Konsentrasi setelah ekuilibrium

c. Untuk mengukur volume cairan kompartemen, diperhitungkan zat tertentu yang


terdistribusi dengan sendirinya di dalam kompartemen. Sementara pengukuran volume
kompartemen yang tidak mengandung zat tertentu, dilakukan dengan melakukan
pengurangan.10,12
- Untuk mengukur jumlah total air tubuh (total body water, TBW) dibubuhkan zat
deuterium atau disebut deuterated water (D2O), tritium atau disebut tritiated water
(THO), dan antipirin. 10,12
- Volume ekstraseluler (extracellular fluid volume, ECFV) diukur dengan melakukan
pemberian label dengan inulin, sukrosa, mannitol dan sulfat.10,12
- Volume plasma (plasma volume, PV) diukur dengan melakukan pemberian label
radioaktif, yaitu radiolabeled albumin atau zat warna biru Evans (Evans blue dye yang
berikatan dengan albumin). 10,12
- Volume intraselular (intracellular fluid volume, ICFV) diukur dengan melakukan
substraksi :
ICF = TBW – ECFV

- Volume cairan interstisium (interstitial fluid volume, ISFV) diukur dengan melakukan
substraksi :
ISFV = ECFV - PV

Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% dari berat badan dan persentase ini
berhubungan dengan jumlah lemak dalam tubuh, jenis kelamin dan umur. Pengaruh terbesar
berhubungan dengan jumlah lemak tubuh. Kandiungna air di dalam sel lemak lebih rendah
dibandingkan kandungan air dalam sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang gemuk
lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk. Pada bayi dan anak, persentase cairan tubuh total
lbih besar dibanding dengan orang dewasa dan akan menurun sesuai dengan pertambahan usia.
Pada bayi prematur jumlah cairan tubuh total sebesar 70-75% dari berat badan, sedangkan pada
bayi normal dan pada orang dewasa sebesar 55-60% dari berat badan. Kadar lemak pada wanita
umumnyalebih bayak dibadning dengan pria, sedangkan kadar air pada pria lebih besar dari
pada wanita. Makin tua seseorang, biasanya jumlah lemaknya meningkat sedngkan jumlah
airnya makin berkurang. 11,16
Bila diperkirakan sekitar 55% berat tubuh merupakan air, maka perhitungan cairan
tubuh total menggunakan rumus:

Jumlah total air tubuh (L) = Berat badan (Kg) x 55%

Perhitungan ini hanya berlaku untuk individu dalam keadaan keseimbagnan air tubuh
normal. Untuk orang dewasa obesitas hasil penghitungan rumus ini dikurangi 10%, sedangkan
untuk orang kurus ditambahkan 10%.11
Pada keadan dehidrasi berat, air tubuh total berkurang sekitar 10% maka pada keadaan
dehidrasi berat air tubuh total dihitung dengan menggunakan rumus:

Jumlah air total tubuh (L) = 0,9 x Berat badan (Kg) x 55%

Perhitungan di atas tidak dapat digunakan pada keadaan edema karena kemungkinan
kesalahan sangat besar.

2.2.3. Distribusi Cairan Tubuh


Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen intraselular dan
kompartemen ekstraselular. Lebih jauh kompartemen ekstraselular dibagi menjadi
cairanintravaskular dan intersisial.15,17
 Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa,
sekitar duapertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata
untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya
setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.15,17

 Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan
tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular
menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada
dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.15,17
Cairan ekstraselular dibagi menjadi: 15

 Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan
orang dewasa.
 Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan
plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.
 Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi
cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka
bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat
menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara
adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.11,16
Cairan ekstrasel berperan sebagai :
- Pengantar semua keperluan sel (nutrien, oksigen, berbagai ion, trace mierals, dan
regulator hormon/molekul).
- Pengangkut CO2 sisa metabolisme, bahan toksik atau bahan yang telah mengalami
detoksifikasi dari sekitar lingkungan sel.10
Diagram 1. Distribusi cairan tubuh

2.2.4. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit Tubuh


A. Volume
Ketidakseimbangan volume terutama mempengaruhi cairan ekstraseluler (ECF) dan
menyangkut kehilangan atau bertambahnya natrium dan air dalam jumlahyang relatif sama,
sehingga berakibat pada kekurangan atau kelebihan volume ekstraseluler (ECF).
Ketidakseimbangan osmotik terutama mempengaruhi cairan intraseluler (ICF) dan
menyangkut bertambahnya atau kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif tidak
seimbang. Gangguan osmotik umumnya berkaitan dengan hiponatremia dan hipernatremia
sehingga nilai natrium serum penting untuk mengenali keadaan ini.13
Kadar dari kebanyakan ion di dalam ruang ekstraseluler dapat berubah tanpa disertai
perubahan yang jelas dari jumlah total dari partikel-partikel yang aktifsecara osmotik sehingga
mengakibatkan perubahan komposisional. 14
a. Ketidakseimbangan Volume:
- Kurangan Volume Cairan Ekstraseluler (ECF)
Kekurangan volume ECF atau hipovolemia didefinisikan sebagai kehilangan cairan
tubuh isotonik, yang disertai kehilangan natrium dan air dalam jumlah yang relatif
sama. Kekurangan volume isotonik sering kali diistilahkan dehidrasi yang seharusnya
dipakai untuk kondisi kehilangan air murni yang relative mengakibatkan
hipernatremia.
- Kelebihan Volume ECF
Kelebihan cairan ekstraseluler dapat terjadi bila natrium dan air kedua-duanya
tertahan dengan proporsi yang kira- kira sama.Dengan terkumpulnya cairan isotonik
yang berlebihan pada ECF (hipervolumia) maka cairan akan berpindah ke
kompartement cairan interstitial sehingga mnyebabkan edema. Edema adalah
penunpukan cairan interstisial yang berlebihan. Edema dapat terlokalisir atau
generalisata.

B. Osmolalitas
Ketidakseimbangan osmolalitas melibatkan kadar zat terlarut dalam cairan- cairan
tubuh. Karena natrium merupakan zat terlarut utama yang aktif secara osmotik dalam ECF
maka kebanyakan kasus hipoosmolalitas (overhidrasi) adalah hiponatremia yaitu rendahnya
kadar natrium di dalam plasma dan hipernatremia yaitu tingginya kadar natrium di dalam
plasma.17

 Hipokalemia adalah keadaan dimana kadar kalium serum kurang dari 3,5
mEq/L.
 Hiperkalemia adalah keadaan dimana kadar kalium serum lebih dari atau sama dengan
5,5 mEq/L.
 Hiperkalemia akut adalah keadaan gawat medik yang perlu segera dikenali, dan
ditangani untuk menghindari disritmia dan gagal jantung yang fatal.

2.3. Elektrolit Fisiologis dan Imbalans Elektrolit


2.3.1 Natrium
Natrium mengatur jumlah total air dalam tubuh. Selain itu, transmisi natrium keluar
dan masuk sel juga berperan penting dalam fungsi tubuh. Banyak proses dalam tubuh, terutama
di otak, sistem saraf, dan otot, yang memerlukan sinyal listrik untuk komunikasi. Perpindahan
natrium sangat penting dalam menyalurkan sinyal-sinyal listrik. Terlalu banyak atau sedikit
natrium dapat menyebabkan kerusakan sel.18
Kadar normal natrium dalam serum adalah 135–145 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan
asupan natrium per hari ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.19
a. Hipernatremia
Hipernatremia hampir selalu disebabkan oleh kehilangan air melebihi kehilangan
natrium (kehilangan cairan hipotonik) atau retensi natrium dalam jumlah yang besar.
Bahkan ketika kemampuan ginjal untuk memekatkan urine rusak, rasa haus paling efektif
mencegah hiponatremia. Hipernatremia sering terjadi pada pasien yang sakit dan tidak bisa
minum, sangat tua, sangat muda, dan pasien tidak sadar. Pasien dengan hipernatremia dapat
memiliki jumlah total natrium tubuh yang rendah, normal, atau tinggi.20
 Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah
Pasien ini kehilangan baik natrium maupun air, tetapi kehilangan air melebihi
kehilangan natrium. Kehilangan hipotonik dapat disebabkan oleh renal (diuresis
osmotik) atau ektrarenal (diare atau berkeringat). Pada kasus lainnya, pasien biasanya
memiliki manifestasi berupa tanda-tanda hipovolemia. Konsentrasi natrium dalam
urine biasanya lebih dari 20 mEq/L pada sebab renal dan kurang dari 10 mEq/L pada
sebab ekstrarenal.20
 Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal
Pasien ini umumnya bermanifestasi dengan kehilangan air tanpa hipovolemia
berlebih kecuali jika terjadi kehilangan air yang masif. Jumlah total natrium biasanya
normal. Kehilangan air yang murni dapat terjadi melalui kulit, traktus respiratorius, atau
ginjal.19
Penyebab utama hipernatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal
adalah diabetes insipidus (pada pasien sadar). Diabetes insipidus ditandai dengan
rusaknya kemampuan ginjal untuk memekatkan urine baik karena menurunnya sekresi
ADH (diabetes insipidus sentral) ataupun karena kegagalan ginjal untuk berespon
normal terhadap ADH sirkulasi (diabetes insipidus nefrogenik). Selain itu,
‘hipernatremia esensial’ dialami oleh pasien dengan gangguan sistem saraf. Pasien ini
memiliki osmoreseptor dengan ambang batas osmolalitas yang tinggi. 19
 Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi
Kondisi ini kebanyakan merupakan hasil dari pemberian larutan saline
hipertonik (NaCl 3% atau NaHCO3 7.5%). Pasien dengan hiperaldosteronisme primer
dan sindroma Cushing dapat mengalami sedikit peningkatan konsentrasi natrium serum
sejalan dengan peningkatan retensi natrium.21
 Manifestasi Klinis Hipernatremia
Manifestasi neurologis mendominasi pasien dengan hipernatremia dan biasanya
diakibatkan oleh dehidrasi selular. Kelemahan, letargi, dan hiperrefleksi dapat berlanjut
menjadi kejang, koma, bahkan kematian. Gejala ini lebih berhubungan dengan
perpindahan air keluar dari sel otak daripada kadar absolut hipernatremia. Penurunan
cepat dari volume otak dapat menyebabkan rupturnya vena cerebral dan mengakibatkan
perdarahan fokal intraserebral atau subarakhnoid. Kejang dan kerusakan neurologis
serius biasa terjadi, terutama pada anak dengan hipernatremia akut ketika kadar natrium
plasma melebihi 158 mEq/L. Hipernatremia kronik biasanya lebih dapat ditoleransi
daripada bentuk akut. Setelah 24–48 jam, osmolalitas intraseluler mulai meningkat
akibat peningkatan konsentrasi inositol dan asam amino (glutamin dan taurin). Sejalan
dengan peningkatan zat terlarut intraseluler, cairan dalam sel saraf pun mulai kembali
normal.21
 Pengobatan untuk Hipernatremia
Pengobatan untuk hipernatremia bertujuan mengembalikan osmolalitas plasma
ke nilai normal sejalan dengan koreksi masalah yang mendasarinya. Kekurangan air
sebaiknya dapat dikoreksi dalam waktu 48 jam dengan larutan hipotonik seperti
dekstrosa 5% dalam air. Abnormalitas volume ekstraseluler juga harus dikoreksi.
Pasien hipernatremia dengan penurunan jumlah total natrium tubuh sebaiknya lebih
dahulu diberi cairan isotonik untuk mengembalikan volume plasma ke normal daripada
terapi dengan larutan hipotonik. Pasien hipernatremia dapat berujung pada kejang,
edema otak, kerusakan neurologis permanen, bahkan kematian.21
 Pertimbangan Anestesi
Hipovolemia dapat mencetuskan vasodilatasi atau depresi kardiovaskular dari
agen anestesi serta merupakan predisposisi untuk hipotensi dan hipoperfusi jaringan.
Adanya penurunan volume distribusi dari obat mengakibatkan perlunya penurunan
jumlah obat untuk kebanyakan agen intravena, di mana penurunan cardiac output dapat
mempertinggi uptake dari anestesi inhalasi. 19
Operasi elektif sebaiknya ditunda pada pasien dengan hipernatremia signifikan
(>150 mEq/L) sampai sebabnya dapat diperbaiki dan kekurangan cairan dikoreksi.
Kekurangan air maupun cairan isotonik sebaiknya dikoreksi lebih dahulu daripada
pelaksanaan operasi.19

b. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik oleh peningkatan absolut dari TBW
(Total Body Water) ataupun kehilangan natrium melebihi kehilangan air. Kapasitas normal
ginjal untuk mengencerkan urine dengan osmolalitas serendah 40 mOsm/kg dapat
mengekskresikan lebih dari 10L air per hari, jika diperlukan. Oleh karena kemampuan yang
hebat ini, hiponetremia hampir selalu diakibatkan oleh defek pada kapasitas pengenceran urine
(osmolalitas urine 100mOsm/kg). Hiponatremia tanpa abnormalitas dari kapasitas pengenceran
ginjal (osmolalitas urine <100 mOsm/kg) biasanya dihubungkan dengan polidipsia primer atau
‘reset’ osmoreseptor; kedua kondisi terakhir ini dapat dibedakan dengan pembatasan cairan.22

 Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Rendah


Kehilangan cairan yang mengakibatkan hiponatremia dapat berasal dari renal
atau ekstrarenal. Kehilangan akibat sebab renal, kebanyakan berhubungan dengan
diuretik thiazide dan menghasilkan kadar natrium urine lebih dari 20 mEq/L.
Kehilangan akibat sebab ekstrarenal biasanya berhubungan dengan gastrointestinal dan
menghasilkan urine dengan kadar natrium kurang dari 10 mEq/L. Pengecualian utama
ialah hiponatremia akibat muntah, yang dapat menghasilkan kadar natrium urine lebih
dari 20 mEq/L. Hai ini disebabkan oleh bikarbonaturia pada alkalosis metabolik yang
disertai dengan ekskresi natrium untuk menjaga netralitas muatan pada urine.18

 Hiponatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Tinggi


Kelainan edematosa ditandai dengan peningkatan baik jumlah total natrium
tubuh maupun TBW. Ketika peningkatan air melebihi natrium, hiponatremia terjadi.
Kelainan edematosa meliputi gagal jantung kongestif, sirosis, gagal ginjal, dan sindrom
nefrotik. Hiponatremia pada keadaan ini diakibatkan oleh kerusakan progesif dari ginjal
untuk mengekskresi air dan biasanya paralel dengan keparahan penyakit yang
mendasarinya. Mekanisme patofisiologinya meliputi penglepasan ADH nonosmotik
dan penurunan aliran cairan ke segmen pengenceran tubulus distal di nefron. Volume
‘efektif’ sirkulasi darah berkurang.18

 Hipernatremia dan Jumlah Total Natrium Tubuh yang Normal


 Hiponatremia dengan tidak adanya edema atau hipovolemia dapat dilihat pada
insufisiensi glukokortikoid, hipotiroidisme, terapi obat (klorpropamid dan
siklofosfamid), dan SIADH (Syndrome of Inappropriate AntiDiuretic Hormone).
Hiponatremia yang berhubungan dengan hipofungsi adrenal merupakan akibat dari
ko-sekresi ADH dengan CRF (Corticotrophin-Releasing Factor).22

 Manifestasi Klinis Hiponatremia


 Gejala hiponatremia terutama berupa gangguan neurologis dan diakibatkan oleh
peningkatan air intraseluler. Tingkat keparahannya berhubungan dengan kecepatan
terjadinya hipoosmolalitas ekstraseluler. Gejala awal biasanya nonspesifik dan
meliputi anoreksia, mual, dan kelemasan. Edema otak yang progresif,
bagaimanapun, mengakibatkan letargi, konfusi, kejang, koma, bahkan kematian.
Manifestasi serius dari hiponatremia umumnya berhubungan dengan konsentrasi
natrium plasma < 120 mEq/L.22

 Pengobatan Hiponatremia
 Sama dengan hipernatremia, pengobatan hiponatremia ditujukan pada koreksi baik
penyakit yang mendasarinya maupun kadar natrium plasma. Saline isotonik
umumnya merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan
penurunan jumlah total natrium tubuh. Saat penurunan cairan ekstraseluler
dikoreksi, diuresis air yang spontan akan mengembalikan kadar natrium plasma ke
normal. Hal sebaliknya, pembatasan cairan merupakan pengobatan terpilih untuk
pasien hiponatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal atau
meningkat. Terapi spesifik seperti penggantian hormon pada pasien dengan
hipofungsi adrenal atau tiroid, dan tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan
cardiac output pada pasien dengan gagal jantung dapat diindikasikan.
Demeclocycline, obat yang mengantagonis aktivitas ADH pada tubulus renalis,
sudah terbukti dapat menjadi terapi tambahan yang berguna untuk pembatasan
cairan pada pasien dengan SIADH.19

 Pertimbangan Anestesi
 Hiponatremia sering merupakan manifestasi yang serius dari penyakit yang
mendasarinya dan memerlukan perhatian terhadap evaluasi preoperatif.
Konsentrasi natrium plasma di atas 130 mEq/L umumnya dianggap aman untuk
pasien yang akan dibius umum. Konsentrasi natrium plasma sebaiknya dikoreksi
hingga di atas 130 mEq/L untuk semua operasi elektif, bahkan bila gejala tidak ada.
Konsentrasi yang lebih rendah akan menyebabkan edema otak yang dapat
bermanifestasi intraoperatif yaitu penurunan MAC (Minimum Alveolar
Concentration) atau agitasi, konfusi, somnolen postoperatif.19

2.3.2 Kalium
Kalium, ion intraseluler utama dalam tubuh, berperan penting dalam menentukan
potensial membran sel. Walaupun konsentrasi kalium ekstraseluler rendah, kadar kalium pada
cairan ekstraseluler diregulasi secara hati-hati, karena perubahan pada konsentrasi ekstraseluler
dapat menimbulkan gangguan fungsi saraf dan kardiovaskular yang mengancam jiwa.
Perpindahan kalium antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluluer dapat berhubungan
dengan perubahan hormon serta pH pada cairan ekstraseluler. Kadar normal kalium dalam
serum adalah 3.5–5.5 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan kalium ialah 1–2 mEq/hari.19

Perpindahan Kalium Interkompartemen


Perpindahan kalium interkompartemen diketahui terjadi mengikuti perubahan pH
ekstraseluler, kadar insulin dalam sirkulasi, aktivitas katekolamin dalam sirkulasi, osmolalitas
plasma, dan kemungkinan hipotermia. Perubahan konsentrasi ion hidrogen ektraseluler (pH)
berefek langsung terhadap kadar kalium plasma. Saat asidosis, ion hidrogen ekstraseluler
memasuki sel, menggantikan ion kalium intraseluler; perpindahan ion kalium keluar dari sel
akan menjaga keseimbangan muatan tetapi meningkatkan kadar kalium ekstraseluler dan
plasma. Hal sebaliknya, saat alkalosis, ion kalium ekstraseluler akan masuk ke dalam sel untuk
menyeimbangkan perpindahan ion hidrogen ke luar sel; sehingga kadar kalium plasma
menurun.19,20
Perubahan kadar insulin dalam sirkulasi dapat berpengaruh langsung terhadap
peningkatan kadar kalium plasma yang tidak bergantung pada transpor glukosa. Insulin
meningkatkan aktivitas Na+–K+ ATPase pada membran, meningkatkan uptake kalium seluler
pada hati dan otot skeletal. Faktanya, sekresi insulin berperan penting terhadap kontrol basal
dari konsentrasi kalium plasma dan mengatur peningkatan kadar kalium.18,20
Stimulasi simpatis juga meningkatkan uptake kalium intraseluler dengan meningkatkan
aktivasi Na+–K+ ATPase. Efek ini dimediasi melalui aktivasi reseptor β2-adrenergik.
Sebaliknya, aktivitas reseptor α-adrenergik dapat menghambat perpindahan kalium
intraseluler. Kadar kalium plasma sering menurun seiring dengan pemberian β2-adrenergik
agonis yang mengakibatkan meningkatnya uptake kalium oleh otot dan hati. Selanjutnya,
blokade β-adrenergik dapat mengganggu pengaturan beban kalium pada sebagian pasien.20
Peningkatan akut dari osmolalitas plasma (hipernatremia, hiperglikemia, dan
pemberian manitol) dilaporkan meningkatkan kadar kalium plasma. Dalam hal ini,
perpindahan air keluar dari sel diikuti dengan perpindahan kalium keluar sel. Ini mungkin
merupakan hasil dari ‘solven drag’ atau peningkatan kadar kalium intraseluler yang mengikuti
dehidrasi seluler.20
Hipotermia dilaporkan dapat menurunkan kadar kalium plasma sebagai akibat dari
uptake seluler. Penghangatan akan membalik perpindahan dan mengakibatkan hiperkalemia
transien jika kalium diberikan saat hipotermia.20

a. Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi saat kadar kalium plasma melebihi 5.5 mEq/L. Hiperkalemia
jarang terjadi pada individu normal karena kapasitas ginjal yang luar biasa untuk mengekskresi
kalium. Ketika intake kalium meningkat, ginjal dapat mengekskresikan sebanyak 500 mEq
kalium per hari. Sistem simpatis dan sekresi insulin juga berperan penting dalam mencegah
peningkatan akut kadar kalium plasma.19
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2)
penurunan ekskresi kalium di urine, dan (3) peningkatan intake kalium. Peningkatan palsu
konsentrasi kalium plasma dapat terjadi jika terdapat hemolisis sel darah merah pada spesimen
darah (kebanyakan disebabkan torniquet yang lama ketika mengambil darah).19
 Hiperkalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen
Perpindahan kalium keluar dari sel dapat terlihat pada asidosis, lisis sel setelah
kemoterapi, hemolisis, rhabdomiolisis, trauma masif jaringan, overdosis digitalis,
pemberian arginin hidroklorida, dan blokade β2-adrenergik.22
Blokade β2-adrenergik mencetuskan peningkatan kadar kalium plasma yang terjadi
setelah olahraga. Digitalis menghambat Na+–K+ ATPase pada membran sel; overdosis
digitalis telah dilaporkan menyebabkan hiperkalemia pada beberapa pasien. Arginin
hidroklorida, yang digunakan untuk mengobati alkalosis metabolik, dapat menyebabkan
hiperkalemia saat kation arginin memasuki sel dan ion kalium keluar dari sel untuk menjaga
netralitas muatan.22

 Hiperkalemia Akibat Penurunan Ekskresi Kalium pada Ginjal


Penurunan ekskresi kalium pada ginjal merupakan hasil dari (1) reduksi filtrasi
glomerulus, (2) penurunan aktivitas aldosteron, atau (3) defek sekresi kalium di nefron
distal.
Filtrasi glomerulus rata-rata kurang dari 5 mL/menit hampir selalu berhubungan
dengan hiperkalemia. Pasien dengan penurunan tingkat kerusakan ginjal dapat juga
berkembang menjadi hiperkalemia jika terjadi peningkatan beban kalium (makanan,
katabolik, atau iatrogenik). Uremia juga dapat mengganggu aktivitas Na+–K+ ATPase.22
Hiperkalemia karena menurunnya aktivitas aldosteron dapat merupakan hasil dari
defek primer pada sintesis hormon adrenal atau defek pada sistem renin-angiotensian-
aldosteron. Pasien dengan insufisiensi primer adrenal (penyakit Addison) dan yang
berhubungan dengan defisiensi enzim 21-hidroksilase telah diketahui berhubungan dengan
gangguan sintesis aldosteron.22
Obat yang menginterferensi sistem renin-angiotensin-aldosteron berpotensi untuk
menimbulkan hiperkalemi, terutama yang memiliki kerusakan ginjal. NSAID menghambat
pelepasan prostaglandin-mediated renin. Obat ACEI (Angiotensin Converting Enzym
Inhibitor) menginterferensi angiotensin II mediated release of aldosterone. Dosis besar
heparin dapat menginteferensi sekresi aldosteron. Diuretik hemat kalium Spironolakton
secara langsung mengantagonis aktivitas aldosteron di ginjal.22
Penurunan ekskresi kalium dapat juga terjadi akibat defek intrinsik atau didapat
pada kemampuan ginjal untuk mengsekresi kalium pada nefron distal. Defek seperti ini
dapat terjadi pada fungsi ginjal yang normal dan tidak responsif terhadap terapi
mineralokortikoid. Ginjal pasien dengan pseudohipoaldosteronisme menunjukkan
resistensi intrinsik terhadap aldosteron.22

 Hiperkalemia Akibat Peningkatan Intake Kalium


Peningkatan beban kalium jarang terjadi pada individu normal kecuali kalium
dalam jumlah yang besar diberikan secara cepat dan intrvena. Hiperkalemia,
bagaimanapun, dapat terlihat meningkat pada pasien yang menerima β-bloker atau dengan
gangguan fungsi ginjal atau defisiensi insulin. Sumber kalium yang tidak disadari termasuk
penisilin kalium, pengganti natrium (terutama garam kalium), dan transfusi whole blood
yang disimpan. Kadar kalium plasma pada satu unit whole blood dapat meningkat menjadi
30 mEq/L setelah penyimpanan 21 hari. Resiko hiperkalemia dari transfusi berulang dapat
direduksi (tetapi tidak dieliminasi) dengan meminimalkan volume plasma yang diberikan
melalui transfusi Packed Red Cell (PRC).22

 Manifestasi Klinis Hiperkalemia


Efek paling penting dari hiperkalemia ialah pada jantung dan otot skeletal.
Kelemahan otot skeletal umumnya tidak terlihat sampai kadar kalium plasma melebihi 8
mEq/L. Kelemahan ini disebabkan oleh depolarisasi spontan dan inaktivasi Na+ channel
dari membran otot (mirip dengan suksinil kolin), yang akhirnya dapat menghasilkan
paralisis ascending. Manifestasi jantung terutama akibat delayed depolarization dan
biasanya terjadi saat kadar kalium plasma lebih dari 7 mEq/L. Hipokalsemia, hiponatremia,
dan asidosis dapat menonjolkan efek kardiak dari hiperkalemia.22

 Pengobatan Hiperkalemia
Oleh karena potensial letalnya, hiperkalemia yang melebihi 6 mEq/L sebaiknya
diterapi. Terapi secara langsung ditujukan untuk membalik manifestasi jantung, dan
kelemahan otot skeletal, serta mengembalikan kadar kalium plasma ke nilai normal.
Hiperkalemia yang berhubungan dengan hipoaldosterinisme dapat diobati dengan
penggantian hormon mineralokortikoid. Obat-obatan yang berperan dalam terjadinya
hiperkalemia sebaiknya dihentikan dan sumber peningkatan intake kalium sebaiknya
dikurangi atau dihentikan.22
Kalsium (kalsium glukonat 10% 5–10 mL atau kalsium klorida 10% 3–5 mL) dapat
mengantasonis efek kardiovaskuler dari hiperkalemia dan berguna pada pasien dengan
tanda hiperkalemia. Efek ini cepat namun jangka waktunya pendek. Perhatian juga
ditujukan pada pasien yang menerima pengobatan digoxin karena kalsium dapat
mempotensiasi toksisitas digoxin.22
Ketika asidosis metabolik terjadi, natrium bikarbonat intravena (biasanya 45 mEq)
akan meningkatkan uptake seluler dari kalium dan dapat menurunkan kadar kalium plasma
dalam waktu 15 menit. β-agonis meningkatkan uptake seluler kalium dan dapat berguna
pada hiperkalemia akut yang berhubungan dengan transfusi masif; epinefrin dosis rendah
(0.5–2mg/menit) sering menurunkan kadar kalium plasma secara cepat dan menyediakan
bantuan inotropik pada keadaan ini. Infus glukosa dan insulin intravena (glukosa 30g
dengan insulin 10U) juga efektif dalam meningkatkan uptake seluler dari kalium serta
menurunkan kadar kalium plasma.22
Dialisis diindikasikan pada pasien simptomatik dengan hiperkalemia berat atau
refrakter. Hemodialisis lebih cepat dan efektif dari dialisis peritoneal dalam menurunkan
kadar kalium plasma.22
 Pertimbangan Anestesi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilaksanakan pada pasien dengan hiperkalemia.
Manajemen anestesi dari pasien dengan hiperkalemia ditujukan pada penurunan kadar
kalium plasma serta pencegahan peningkatan yang lebih lanjut. EKG harus dimonitor
secara hati-hati. Suksinil kolin dikontraindikasikan, sebagaimana juga larutan intravena
yang mengandung kalium seperti injeksi Ringer Laktat. Penghindaran asidosis metabolik
atau respiratorik penting untuk mencegah peningkatan kadar kalium plasma lebih lanjut.19

b. Hipokalemia
Hipokalemia ditentukan saat kadar kalium plasma kurang dari 3.5 mEq/L dan dapat
terjadi oleh karena: (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2) peningkatan kehilangan
kalium, dan (3) intake kalium tidak adekuat. 23

 Hipokalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen


Hal ini terjadi saat alkalosis, terapi insulin, pemberian β2-adrenergik agonis, dan
hipotermia. Hipokalemia juga dapat terjadi pada transfusi sel darah merah beku; di mana
sel-sel tersebut kehilangan kalium saat proses pengawetan.23

 Hipokalemia Akibat Peningkatan Kehilangan Kalium


Hal ini hampir selalu disebabkan oleh kelainan ginjal dan gastrointestinal.
Pengeluaran kalium melalui ginjal kebanyakan merupakan hasil dari diuresis atau
peningkatan aktivitas mineralokortikoid. Peningkatan kehilangan kalium dari
gastrointestinal kebanyakan disebabkan oleh muntah atau diare. Peningkatan pembentukan
keringat kronik biasanya menyebabkan hipokalemia, terutama saat intake kalium dibatasi.
Dialisis dengan larutan rendah kalium dapat pula menyebabkan hipokalemia.23

 Hipokalemia Akibat Penurunan Intake Kalium


Oleh karena kemampuan ginjal untuk menurunkan eskresi kalium rendah, yaitu 5-
20 mEq/L, adanya penurunan intake kalium sangat berpengaruh terhadap terjadinya
hipokalemia. Intake kalium yang rendah, bagaimanapun, sering meningkatkan efek dari
peningkatan kehilangan kalium.23

 Manifestasi Klinik Hipokalemia


Efek kardiovaskular paling menonjol meliputi abnormalitas EKG, aritmia,
penurunan kontraktilitas jantung, dan tekanan darah arteri yang labil akibat disfungsi
otonom. Hipokalemia kronik juga dilaporkan dapat menyebabkan fibrosis miokardia.
Manifestasi EKG terutama ialah repolarisasi ventrikel yang tertunda (delayed ventricular
repolarization). Peningkatan automatisitas sel miokardium dan repolarisasi yang tertunda
akan berkembang menjadi aritmia atrium dan ventrikel.5

 Pengobatan Hipokalemia
Penggantian oral dengan larutan kalium klorida umumnya aman (60–80
mEq/hari). Penggantian kekurangan kalium biasanya memerlukan beberapa hari.
Penggantian intravena dengan larutan kalium klorida sebaiknya diberikan pada pasien
dengan atau yang beresiko terhadap manifestasi jantung atau kelemahan otot. Tujuan dari
terapi intravena ini adalah untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya daripada
mengoreksi seluruh kekurangan kalium. Penggantian kalium intravena perifer sebaiknya
tidak melebihi 8 mEq/jam karena efek iritatif dari kalium pada vena perifer. Larutan yang
mengandung dekstrosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan
sekresi insulin sekunder dapat menurunkan kadar kalium plasma lebih jauh lagi.19

 Pertimbangan Anestesi
Hipokalemia umum ditemukan saat preoperatif. Keputusan untuk melakukan
operasi elektif sering didasarkan pada batas antara 3 dan 3.5 mEq/L. Keputusan ini,
bagaimanapun, sebaiknya juga didasarkan pada tingkat mana hipokalemia berkembang
serta ada tidaknya disfungsi organ sekunder. Umumnya, hipokalemia kronik ringan (3–3.5
mEq/L) tanpa perubahan EKG tidak terlihat meningkatkan resiko anestesi. Hal tersebut
tidak berlaku jika pasien memperoleh digoxin, yang dapat meningkatkan resiko
berkembangnya toksisitas digoxin akibat hipokalemia.19
Kalium intravena sebaiknya diberikan bila terjadi aritmia atrium atau ventrikel.
Larutan bebas glukosa sebaiknya digunakan dan hiperventilasi dihindari untuk mencegah
penurunan kadar kalium plasma lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas terhadap NMBAs
(NeuroMuscular Blocking Agents) dapat terlihat pada beberapa pasien. Dosis NMBAs
sebaiknya dikurangi 25-50% dan stimulator saraf sebaiknya digunakan untuk mengikuti
tingkat paralisis dan reverse yang adekuat.19
2.3.3. Kalsium
Ion kalsium berperan pada hampir semua fungsi esensial biologik tubuh, meliputi
kontraksi otot, pelepasan neurotransmiter dan hormon, koagulasi darah, serta metabolisme
tulang. Kalsium secara normal memasuki cairan ekstraseluler melalui absorpsi dari traktus
intestinal atau resorpsi tulang. Sebaliknya, kalsium meninggalkan kompartemen ekstraseluler
melalui (1) deposisi di tulang, (2) ekskresi urine, (3) sekresi ke traktus gastrointestinal, dan (4)
pembentukan keringat. Kadar kalsium ekstraseluler diregulasi oleh tiga hormon: hormon
paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin. Ketiga hormon ini terutama bekerja pada tulang,
tubulus distal ginjal, dan usus halus.22
PTH merupakan regulator kalsium plasma yang paling penting. Penurunan kadar
kalsium plasma akan menstimulasi PTH, sedangkan peningkatan kadar kalsium plasma dapat
menghambat sekresi PTH. Efek kalsemik dari PTH berhubungan dengan (1) mobilisasi
kalsium dari tulang, (2) peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, dan (3)
peningkatan tidak langsung absorpsi intestinal melalui 1.25-dihidroksikolekalsiferol yang
disintesis di ginjal.23
Vitamin D berupa 1.25-dihidroksikolekalsiferol mencetuskan absorpsi kalsium di usus,
memudahkan kerja PTH di tulang, dan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal.
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid.
Sekresinya distimulasi oleh hiperkalsemia dan dihambat oleh hipokalsemia. Kalsitonin
menghambat reabsorpsi tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium urine.23
Kadar normal kalsium dalam serum adalah 2.38–2.66 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan
asupan kalsium ialah 0.2–0.3 mEq/kgBB/hari.23

a. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia dapat terjadi sebagai hasil dari berbagai gangguan. Pada
hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH meningkat dan tidak terpengaruh oleh kadar kalsium.
Sebaliknya, pada hiperparatiroidisme sekunder (gagal ginjal kronik atau malabsorpsi),
peningkatan kadar PTH merupakan respon dari hipokalsemia kronik. Hiperparatiroidisme
sekunder yang memanjang menyebabkan sekresi otomatis dari PTH, mengakibatkan
peningkatan atau normalnya kadar kalsium (hiperparatiroidisme tersier). 21
Pasien dengan kanker dapat mengalami hiperkalsemia dengan atau tanpa adanya
metastase tulang. Dektruksi tulang secara langsung atau sekresi mediator humoral dari
hiperkalsemia (substansi seperti-PTH, sitokin, atau prostaglandin) mungkin berperan pada
kebanyakan pasien. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan peningkatan turn-over kalsium
dari tulang dapat dialami oleh pasien dengan kondisi yang lebih jinak seperti penyakit Paget
dan imobilisasi kronik. Peningkatan absorpsi kalsium dari gastrointestinal dapat menyebabkan
hiperkalsemia pada pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake
kalsium), hipervitaminosis D, dan penyakit granulomatosa (peningkatan sensitivitas vitamin
D).22

 Manifestasi Klinik Hiperkalsemia


Hiperkalsemia biasanya menyebabkan anoreksia, mual, muntah, kelemahan, dan
poliuria. Ataksia, iritabilitas, letargi, atau konfusi dapat dengan cepat berkembang menjadi
koma. Hiperkalsemia meningkatakan sensitivitas jantung terhadap digitalis. Pankreatitis,
ulkus peptik, dan gagal ginjal dapat berkomplikasi menjadi hiperkalsemia.21

 Pengobatan Hiperkalsemia
Hiperkalsemia simptomatik memerlukan terapi yang cepat. Terapi awal yang paling
efektif ialah rehidrasi diikuti dengan diuresis cepat (urine output 200–300 ml/jam) dengan
pemberian infus saline intravena dan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi kalsium.
Terapi diuretik prematur yang lebih dahulu dibandingkan dengan rehidrasi akan
memperberat hiperkalsemia melalui penurunan volume.22
Walaupun hidrasi dan diuresis dapat menghilangkan resiko potensial dari
komplikasi kardiovaskuler dan neurologis, serum kalsium umumnya tetap meningkat di
atas normal. Terapi tambahan dengan bifosfat atau kalsitonin mungkin dibutuhkan untuk
menurunkan serum kalsium lebih jauh. Hiperkalsemia berat biasanya memerlukan terapi
tambahan setelah hidrasi saline dan lasix calsiuresis. Bifosfat (pamidronate 60–90 mg
intravena) atau kalsitonin (2–8 U/kg subkutan) merupakan agen yang lebih disukai.
Pamidronate menjadi agen pilihan yang baik pada keadaan ini karena memiliki durasi aksi
yang lebih lama tetapi harus dihindari pada keadaan insufisiensi ginjal (kreatinin serum >
2.5 mg/dL).23
Kebanyakan 90% dari semua hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan atau
hiperparatiroidisme. Test laboratorium yang paling baik untuk membedakan kedua kategori
hiperkalsemia ini ialah dengan double-antibody PTH assay. Konsentrasi serum PTH
biasanya akan menurun pada keganasan dan meningkat pada hipotiroidisme.23

 Pertimbangan Anestesi
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan medis yang harus diperbaiki, jika
memungkinkan, diutamakan daripada pemberian anestesi tertentu. Kadar ion kalsium
sebaiknya diawasi dengan ketat. Jika operasi harus tetap dilaksanakan, diuresis saline
sebaiknya tetap dilanjutkan intraoperatif dengan perawatan yang baik untuk mencegah
hipovolemia. Ventilasi sebaiknya dikontrol saat pembiusan umum. Asidosis sebaiknya
dihindari sehingga tidak terjadi peningkatan kadar kalsium plasma lebih jauh.19

b. Hipokalsemia
Hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme biasanya berhubungan dengan hipokalsemia
simptomatik. Hiperparatiroidisme dapat disebabkan oleh pembedahan, idiopatik, atau bagian
dari defek endokrin multipel (kebanyakan akibat insufisiensi adrenal), atau berhubungan
dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium berhubungan dengan kegagalan sekresi PTH
dan efek antagonisnya pada tulang. Hipokalsemia selama sepsis juga dipikirkan akibat supresi
pelepasan PTH. Hipokalsemia oleh karena defisiensi vitamin D dapat diakibatkan oleh
berkurangnya intake (nutrisi), malabsorpsi vitamin D, atau abnormalitas metabolisme vitamin
D.18
Pembentukan kelat antara ion kalsium dan ion sitrat pada pengawetan darah merupakan
sebab yang penting dari hipokalsemia perioperatif; mirip dengan penurunan transien kadar
kalsium plasma yang menyertai infus cepat dari albumin volume besar. Hipokalsemia yang
menyertai pankreatitis akut disebabkan oleh presipitasi kalsium dengan lemak (penyabunan)
yang diikuti oleh pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak; hipokalsemia yang menyertai
emboli lemak juga memiliki dasar yang serupa.18
Penyebab lainnya dari hipokalsemia meliputi calcitonin-secreting medullary
carcinoma dari tiroid, penyakit metastase osteoblastik (kanker payudara dan prostat), dan
pseudohipoparatiroidisme (tidak respon terhadap hormon paratiroid). Hipokalsemia transien
juga dapat menyertai pemberian heparin, protamin, dan glukagon serta transfusi darah masif
(dari sitrat).18

 Manifestasi Klinis Hipokalsemia


Manifestasi meliputi parastesia, konfusi, stridor laringeal (laringospasme), spasme
karpopedal, spasme masseter, dan kejang. Iritabilitas jantung dapat menuju aritmia.
Penurunan kontraktilitas jantung dapat mengakibatkan gagal jantung, hipotensi, dan
keduanya. Penurunan respon terhadap digoxin dan β-adrenergik agonis juga dilaporkan.18
 Pengobatan Hipokalsemia
Hipokalsemia simptomatik merupakan kedaruratan medis yang harus diterapi
nsegera dengan kalsium klorida (larutan 10% 3–5 ml) atau kalsium glukonat (larutan 10%
10–20 mL). Untuk mencegah presipitasi, kalsium intravena sebaiknya tidak diberikan
dengan larutan yang mengandung bikarbonat dan fosfat. Pada hipokalsemia kronik,
kalsium oral (CaCO3) dan penggantian vitamin D biasanya diperlukan.18

 Pertimbangan Anestesi
Hipokalsemia sebaiknya dikoreksi preoperatif. Kadar ion kalsium serial sebaiknya
diawasi intraoperatif pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis sebaiknya
dihindari untuk mencegah penurunan kadar kalsium lebih lanjut. Kalsium intavena dapat
diberikan menyertai tansfusi cepat dari produk darah berupa sitrat atau larutan albumin
volume besar. Efek potensiasi inotropik negatif dari barbiturat dan anestesi volatil
sebaiknya dapat diperkirakan. Respon terhadap NMBAs tidak konsisten dan memerlukan
pengawasan ketat dengan stimulator saraf.18

2.3.4 Magnesium
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting, berfungsi sebagai kofaktor
berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total magnesium tubuh yang disimpan di cairan
ekstraseluler, 67% terdapat di tulang, dan sisanya 31% ada di intraseluler.4 Kadar magnesium
normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan magnesium ialah
0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.19

a. Hipermagnesemia
Peningkatan kadar magnesium plasma hampir selalu berhubungan dengan kelebihan
intake (antasida atau laksatif yang mengandung magnesium), kerusakan ginjal (GFR < 30
mL/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenik juga terjadi selama terapi magnesium
sulfat pada hipertensi gestational yang berpengaruh pada ibu dan janin. Penyebab lainnya
berupa insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, rhabdomiolisis, dan pemberian lithium.19

 Manifestasi Klinis Hipermagnesemia


Hipermagnesemia simptomatik biasanya meliputi manifestasi neurologis,
neuromuskular, dan jantung. Hiporefleksia, sedasi dan kelemahan otot skeletal merupakan
tanda hipermagnesemia. Hal ini terjadi akibat kegagalan pelepasan asetilkolin dan
penurunan sensitivitas motor end-plate terhadap asetilkolin di otot. Vasodilatasi,
bradikardi, dan depresi miokardium dapat berakhir dengan hipotensi pada level > 10
mmol/dL (>24 mg/dL). Tanda EKG tidak konsisten tetapi termasuk pemanjangan interval
P–R dan pelebaran kompleks QRS. Hipermagnesemia dapat menyebabkan henti napas.19

 Pengobatan Hipermagnesemia
Semua sumber intake magnesium (kebanyakan akibat antasida) sebaiknya
dihentikan. Kalsium intravena (1 g kalsium glukonat) dapat secara sementara
mengantagonis sebagian besar efek dari hipermagnesemia. Loop diuretic yang disertai
dengan ½-normal saline dalam dekstrosa 5% dapat meningkatkan ekskresi magnesium.19

 Pertimbangan Anestesi
Hipermagnesemia memerlukan pengawasan yang ketat terhadap EKG, tekanan
darah, dan fungsi neuromuskuler. Potensiasi dari vasodilatasi dan inotropik negatif agen
anestesi sebaiknya diperhatikan. Dosis NMBAs sebaiknya dikurangi 25–50%. Kateter
urine dibutuhkan ketika infus diuretik dan saline digunakan untuk meningkatkan ekskresi
magnesium.21

b. Hipomagnesemia
Hipomagnesemia penting diperhatikan pada pasien yang sakit. Hipomagnesemia
umumnya berhubungan dengan defisiensi dari komponen intraseluler seperti kalium dan
fosfor. Defisiensi magnesium disebabkan oleh intake yang tidak adekuat, penurunan absorpsi
gastrointestinal, dan peningkatan ekskresi ginjal. β-adrenergik agonis dapat menyebabkan
hipomagnesemia transien di mana ion magnesium diambil oleh jaringan adiposa. Obat-obatan
yang dapat menyebabkan pengeluaran magnesium oleh ginjal meliputi etanol, teofilin, diuretik,
cisplatin, siklosporin, dan amfoterisin-B.19

 Manifestasi Klinis Hipomagnesemia


Kebanyakan pasien dengan hipomagnesemia tidak menunjukkan gejala, tetapi
anoreksia, kelemahan, fasikulasi, parestesia, konfusi, ataksia, dan kejang dapat menonjol.
Hipomagnesemia biasanya berhubungan dengan hipokalsemia (kerusakan sekresi hormon
paratiroid) dan hipokalemia (akibat pembuangan oleh ginjal). Manifestasi jantung meliputi
iritabilitas listrik dan potensiasi intoksikasi digoxin; kedua faktor ini diperburuk oleh
hipokalemia. Hipomagnesemia juga berhubungan dengan peningkatan insiden fibrilasi
atrium. Pemanjangan interval P–R dan QT dapat nampak seiring dengan hipokalsemia.19,20

 Pengobatan Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi per oral (magnesium sulfat
heptahidrat atau magnesium oksida) atau intramuskular (magnesium sulfat). Menifestasi
serius seperti kejang harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, 1–2 g (8–16 mEq
atau 4–8 mmol) diberikan secara lambat selama 15–60 menit.19,20

 Pertimbangan Anestesi
Walaupun tidak ada interaksi anestesi spesifik yang disebutkan, gangguan elektrolit
yang menyertainya seperti hipokalemia dan hipokalsemia sering terjadi dan harus dikoreksi
lebih dahulu dibandingkan dengan pelaksanaan operasi. Hipomagnesemia isolasi
sebaiknya dikoreksi sebelum prosedur elektif sebab dapat menyebabkan aritmia jantung.
Lebih lanjut, magnesium nampaknya memiliki efek antiaritmia intrinsik dan protektif
terhadap otak, di mana seringkali diberikan pada operasi bypass kardiopulmonar.20

2.3.5. Klorida
Klorida, anion utama dari cairan ekstraseluler, ditemukan lebih banyak pada
kompartemen interstitial dan cairan limfoid daripada dalam darah. Klorida juga merupakan
bagian dari cairan sekresi lambung dan pankreas, keringat, kantung empedu, dan air liur.
Natrium dan klorida merupakan komposisi elektrolit terbesar dalam cairan ekstraseluler dan
berperan dalam menentukan tekanan osmotik. Klorida diproduksi dalam lambung, yang
dikombinaksikan dengan hidrogen untuk membentuk adam hidroklorida. Kontrol klorida
tergantung dari intake klorida, ekskresi, dan absorpsi ion tersebut dari ginjal. Klorida dalam
jumlah kecil dibuang dalam feses.19
Kadar klorida dalam serum mencerminkan pengenceran atau pemekatan yang terjadi di
cairan ekstrseluler serta menunjukkan secara langsung proporsi konsentrasi natrium.
Osmolalitas serum paralel dengan kadar klorida. Sekresi aldosteron meningkatkan reabsorpsi
natrium, yang juga meningkatkan reabsorpsi klorida. Pleksus koroid, yang mensekresi
cerebrospinal fluid di otak, bergantung pada natrium dan klorida untuk menarik air dan
membentuk proporsi dari cerebrospinal fluid.21
Bikarbonat memiliki hubungan dengan klorida. Saat klorida berpindah dari plasma
menuju sel darah merah (disebut dengan chloride shift), bikarbonat berpindah kembali ke
plasma. Ion hidrogen terbentuk, yang kemudian membantu pelepasan oksigen dari
hemoglobin. 21
Ketika kadar salah satu dari elektrolit ini terganggu (natrium, bikarbonat, dan klorida),
kedua elektrolit lainnya pun akan terpengaruh. Klorida berperan dalam menjaga keseimbangan
asam basa dan bekerja sebagai buffer dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam sel
darah merah. Klorida diperoleh dari makanan seperti garam dapur. Kadar normal klorida dalam
serum ialah 97–107 mEq/L.6 Sedangkan kebutuhan asupan klorida ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.22

a. Hiperkloremia
Kadar klorida serum yang tinggi dapat mengakibatkan hiperkloremia asidosis
metabolik oleh karena iatrogenik pemberian klorida seperti larutan NaCl 0.9%, larutan
NaCL 0.45%, atau larutan Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula disebabkan oleh
kehilangan ion bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan yang diikuti dengan
peningkatan ion klorida. Ion klorida dalam bentuk garam asam terakumulasi, dan asidosis
terjadi dengan menurunnya ion bikarbonat. Trauma kepala, peningkatan produksi keringat,
kelebihan hormon mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju
peningkatan kadar klorida serum.22,23

 Manifestasi Klinik Hiperkloremia


Tanda dan gejala dari hiperkloremia hampir menyerupai asidosis metabolik;
hipervolemia dan hipernatremia. Takipneu; kelemahan; letargi; napas yang dalam dan
cepat; kemampuan kognitif yang menurun; dan hipertensi dapat terjadi. Jika tidak diterapi,
hiperkloremia dapat menuju pada penurunan cardiac output, disaritmia, dan koma. Kadar
klorida yang tinggi diikuti dengan kadar natrium yang tinggi serta retensi cairan.23

 Pengobatan Hiperkloremia
Koreksi penyakit yang menyebabkan hiperkloremia serta mengembalikan
keseimbangan elektrolit, cairan, dan asam-basa sangatlah penting. Larutan hipotonik
intravena dapat diberikan untuk mengembalikan keseimbangan. Larutan Ringer Laktat
dapat diberikan supaya laktat diubah menjadi bikarbonat di hati, sehingga dapat
meningkatkan kadar bikarbonat dan mengoreksi asidosis. Natrium bikarbonat intravena
dapat diberikan untuk meningkatkan kadar bikarbonat yang menuju pada ekskresi ginjal
terhadap ion klorida akibat kompetisi bikarbonat dan klorida untuk berikatan dengan
natrium. Diuretik dapat diberikan untuk mengeliminasi klorida. Natrium, klorida, dan
cairan dibatasi.24

b. Hipokloremia
Hipokloremia dapat terjadi akibat drainase tube gastrointestinal, suction lambung,
pembedahan lambung, muntah berat, dan diare. Pemberian larutan intravena dengan kadar
klorida rendah, intake natrium yang rendah, penurunan kadar natrium, alkalosis metabolik,
transfusi masif darah, terapi diuretik, luka bakar, dan demam dapat menyebabkan
hipokloremia. Pemberian aldosteron, ACTH, kortikosteroid, bikarbonat, dan laksatif dapat
menyebabkan penurunan kadar klorida serum. Saat klorida menurun (biasanya karena
penurunan volume), ion natrium dan bikarbonat ditahan oleh ginjal untuk
menyeimbangkan kehilangan klorida. Bikarbonat terakumulasi di cairan ekstraseluler,
yang meningkatkan pH dan berujung pada hiperkloremia asidosis metabolik.24

 Manifestasi Klinik Hipokloremia


Tanda dan gejala dari hipokloremia berhubungan dengan ketidakseimbangan asam-
basa dan elektrolit. Tanda dan gejala dari hiponatremia, hipokalemia, dan alkalosis
metabolik dapat terjadi. Alkalosis metabolik merupakan gangguan akibat kelebihan intake
alkali atau kehilangan ion hidrogen. Hipereksibilitas otot, tetani, kelemasan, dan kram otot
juga dapat terjadi. Hipokalemia dapat menyebabkan hipokloremia sehingga terjadi
disritmia jantung. Selain itu, oleh karena rendahnya kadar klorida paralel dengan rendahnya
kadar natrium, kadar air dapat menjadi berlebihan. Hiponatremia dapat menyebabkan
kejang dan koma.24

 Pengobatan Hipokloremia
Terapi meliputi koreksi penyebab hipokloremia serta ketidakseimbangan asam-
basa dan elektrolit. Larutan normal saline (NaCl 0.9%) atau ½ normal saline (NaCl 0.45%)
diberikan intravena untuk menggantikan klorida. Jika pasien menerima diuretik (loop,
osmotik, atau thiazid), dapat dihentikan atau diberikan diuretik tipe lain.9
Amonium klorida, sebuah agen yang bersifat asam, dapat diberikan untuk
mengatasi alkalosis metabolik; dosisnya tergantung dari berat pasien dan kadar klorida
serum. Agen ini dimetabolisasi oleh hati dan berefek sekitar 3 hari. Amonium klorida ini
sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.23

2.4. Diskusi Kasus


2.4.1. Contoh Kasus
Kasus 1: Hiponatremia
Tn. AR, laki-laki, 54 tahun, dirawat di rumah sakit dengan stroke hemoragik. Saat ke
dibawa ke rumah sakit pertama kali kesadaran pasien somnolen. Pada hari ke-5 perawatan
terjadi perburukan. Pasien mengalami kejang umum dan koma. Dari hasil pemeriksaan fisik
didapatkan GCS E2M4V3, TD 140/100, N 92x/menit, RR 20x/menit Temp. 37.5c. BB: 70kg.
pada pemeriksaan laboratorium AGD: pH 7,42, PaO2: 94, PaCO2: 38, HCO3: 23,4, Base
Excess (BE): -1,3), saturasi O2: 98%. Elektrolit: Na 105/ K 3,0/ Cl 82. Bagaimana tatalaksana
gangguan elektrolit pada pasien ini?

Pembahasan:
Nilai normal dari Na adalah 135-145 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hiponatremia adalah disorientasi, letargi, gangguan mental, irritability,
dan henti nafas, serta kejang juga koma.
Penyebab dari hionatremia seperti:
 SIADH (Sindroma Inappropiate Anti Diuretic Hormon)
 Diare
 Muntah
 Obat-obatan diuretika
 Sirosis hepatis, dll

Tatalaksana:
Pedoman koreksi hiponatremia
 Defisit Na = Berat badan (kg) x (Na target – Na actual)(mmol)
 Koreksi cepat dilakukan bila:
- Akut (<24 jam) severe (<120 mEq/L simptomatik), (<100 mEq/L)
Mencegah edema serebri atau memperbaiki edema serebri
- Hiponatremia simptomatik (kejang, koma, dll)
Terapi simptomatik
 Koreksi cepat: 3% NS, 1-2 mEq/L/H sampai:
- Symptom membaik
- Selama 2-3 jam atau Na serum mencapai 120 mEq/L
 Koreksi lambat
- 0,5 mEq/L/jam dengan 0,9% NS, restriksi cairan
- Lama koreksi 24 jam <10-12 mEq/L/hari untuk mencegah myelinolysis

Langkah-langkah koreksi hiponatremia


1. Tetapkan target (120-125 mEq/L)
2. Hitung defisit total Na
3. Tetapkan pilihan cairan (NaCl 0,9% atau 3%)
4. Tetapkan cara koreksi (cepat atau lambat)
5. Hitung kecepatan pemberian cairan
6. Tetapkan cara pemberian (infus perifer atau sentral)
7. Evaluasi klinis dan laboratoris

Pasien laki-laki, 54 tahun, dengan BB 70 Kg.


Pada pasien ini didapatkan Na: 105 mEq/L. Nilai target 120 mEq/L
Defisit Na total = Na deficit x bb x 60% = (120-105) x 70 x 0,6 = 630 mEq/L

1. Jika memakai NaCl 3%:


630 𝑚𝐸𝑞 𝑥 1 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 3% 𝑁𝑎𝐶𝑙
= 1,2 liter NaCl 3% dibutuhkan
517

Kecepatan = delta (120-105) = 15


waktu yang diperlukan 15:1 mEq = 15 jam (kecepatan 1 mEq/jam)
1,2 Liter NaCl 3% diberikan 15 jam  80ml/jam
cara pemberian: infus sentral

2. Jika menggunakan NaCL 0,9%

630 𝑚𝐸𝑞 𝑥 1 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 0,9% 𝑁𝑎𝐶𝑙


= 4,06 liter NaCl 3% dibutuhkan.
155
Waktu diperlukan 15:0,5 mEq = 30 jam
4,06 NaCl 0,9 % diberikan 30 jam  135 ml/ jam

Kasus 2: Hipernatremia
Ny. SS, 58 tahun, BB 53 kg, didiagnosis kontusio serebri berat. Kesadaran sopor, turgor kulit
turun, TD 90/60 mmHg, Natrium 158 mmol/L, K 4 mmol/L. Bagaimana koreksi hypernatremia
pada kasus di atas?

Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hypernatremia adalah letargi, kejang dan koma.
Penyebab dari hypernatremia seperti:
 Overinfused dengan NaCl hipertonis
 Asupan salt tablet berlebihan
 Bicarbonat natricus

Tatalaksana:
Rumus Koreksi Hipernatremia:
𝑁𝑎 𝑖𝑛𝑓𝑢𝑠−𝑆𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑁𝑎
Perubahan Na serum = 𝑇𝐵𝑊+1

Perkiraan efek 1 liter berbagai cairan terhadap Na serum

Jenis cairan Kandungan Na (mmol/L) Distribusi ECF


Dekstrosa 5% 0 40
0,25% NaCl dalam D5% 34 55
NaCl 0,45% 77 73
RL 130 97
NaCl 0,9% 154 100

Total body water = 0,6 x BB = 31,5 kg


Koreksi dengan larutan Na ½ saline (0,45% NaCl)
77−158
 = -2,5 mEq/L
31,5+1
 Kecepatan penurunan Na+ = 12 Meq/24 jam
 Koreksi cairan = 12/2,5 = 4,8 L/24 jam
Koreksi dengan larutan 0,25 saline (34)
34−158
 = -3,8 mEq/L
31,5+1

 Kecepatan penurunan Na+ = 12 mEq/24 jam


 Koreksi cairan =12/3,8 = 3,1 L/24 jam
Koreksi dengan larutan D5% (0)
0−158
 = -4,7 mEq/L
31,5+1

 Kecepatan penurunan Na+ = 12 mEq/24 jam


 Koreksi cairan = 12/4,7 = 2,5 L/24 jam
 Lebih fisiologis tidak mengganggu hemodinamik

Kasus 3: Hipokalemia
Tn. ZZ, 30 tahun, BB 65 kg datang dengan keluhan menceret-mencret sejak 1 hari yang lalu.
Pasien terlihat lemas dan tidak mampu beraktivitas. Kesadaran sopor, turgor kulit turun, TD
90/60 mmHg, Natrium 125 mmol/L, K 2 mmol/L. Bagaimana koreksi hypernatremia pada
kasus di atas?

Pembahasan:
Nilai normal dari K adalah 3,5 – 5 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hypokalemia seperti aritmia, paralisis, parestesia, mual, dan muntah.
Penyebab dari hypokalemia seperti:
 Diarea kronis
 Muntah-muntah
 Penggunaan insulin
 Penggunaan obat-obatan diuretika, dll

Tatalaksana:
Kebutuhan K :
 (K target – K actual) x BB x 0,6 (laki-laki)
 (K target – K actual) x BB x 0,4 (perempuan)
Koreksi cepat:
 KCl IV koreksi 10-30 mEq/ jam, monitor jantung
Koreksi lambat:
 Dewasa 2-3 x, 20-40 mEq, peroral
 Anak 1-2 mEq/kg/hari dalam dosis terbagi

Seorang laki-laki, 30 tahun, BB 65 kg, K : 2mmol/L


 Kebutuhan K = (3,5 – 2) x 65 X 0,6 = 58,5 mEq/L

58,5 𝑚𝐸𝑞 𝑥 1 𝑙𝑖𝑡𝑒𝑟 𝐾𝐶𝑙


 = 2,9 = 3 L KCl dibutuhkan
20

 Koreksi cairan sebanyak 1 L/jam jika kecepatan koreksi 20 mEq/jam (1 L KCL = 20


mEq K)

Kasus 4: Hiperkalemia
Tn. AR, 50 tahun, mengeluhkan mual, kelelahan, dan juga rasa kesemutan. Dia adalah
penderita darah tinggi dan rutin mengkonsumsi spironolakton dan juga captopril. K: 5,8
mmol/L. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus?

Pembahasan:
Kondisi hiperkalemia terjadi jika K > 5,2 mmol/L.
Manifestasi klinis pada penderita hyperkalemia dapat berupa; mual, kelelahan, kelemahan otot,
dan juga rasa kesemutan.
Etiologi dari hyperkalemia dapat berupa:
 Penggunaan obat-obatan yang dapat menghalangi proses pembuangan kalium oleh
ginjal seperti spironolakton, triamterene, dan golongan ACE inhibitor
 Penyakit Addison
 Gagal ginjal
 Pelepasan kalium dalam jumlah besar dari dalam sel yang terjadi secara tiba – tiba
seperti pada saat adanya cedera yang banyak membuat jaringan otot hancur, pada saat
mengalami luka bakar yang hebat, atau dalam pada keadaan overdosis kokain.
Tatalaksana:
 Ca glukonas , CaCl2 500mg, IV secara perlahan, 2-5 menit
 Alkalinisasi dengan larutan Bicnat 50-100 mEq (1 ampul) IV selama 5-10 menit
 D50% + RL 10-15 unit/kgBB drip perlahan
 Dialisis
 Diuretika: Furosemid 10-20mg IV
 Koreksi penyebab utama: Stop penggunaan spironolakton dan captopril karena dapat
menganggu ekskresi kalium melalui ginjal

Kasus 5: Hipomagnesemia
Ny. SS, 30 tahun, datang dengan kejang-kejang. Pasien mengeluhkan BAB cair sejak 2 minggu
SMRS. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah dan juga kram otot. Mg: 0,9 mmol/L.
Bagaimana tatalaksana pada kasus?

Pembahasan:
Nilai Mg normal adalah 1,6-2,7 mmol/L, sehingga pada kasus ini pasien menderita
hipomagnesemia.
Manifestasi klinis dari hipomagnesemia dapat berupa mual, muntah, kram otot, dan kejang-
kejang pada hipomagnesemia berat.
Etiologi dari hipomagnesemia dapat berupa:
 Diare kronis
 Konsumsi alcohol
 Hiperaldosteronisme
 Diabetes tipe 2
 Malnutrisi, dll

Tatalaksana:
Hipomagnesemia berat (tetani dan kejang):
 Monitoring EKG
 Infus 2gr MgSO4 dalam D5W dalam 10-20 menit
 Diikuti 1g/jam untuk 3-4 jam
Hipomagnesemia sedang (Mg < 1 mmol/L, asimptomatik):
 Infus MgSO4 1g/jam untuk 3-4 jam. Dapat diulang jika perlu.
Hipomagnesemia ringan:
 Magnesium oksida 1g/hari PO

Kasus 6: Hipermagnesemia
Ny. SS, 30 tahun datang dengan keluhan sering mengantuk, kelemahan tubuh, mual dan juga
muntah, dia memiliki riwayat penyakit hypotiroid. Mg: 8 mmol/L. bagaimana tatalaksana pada
kasus?

Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hipermagnesemia dapat berupa mengantuk hingga koma, menurunnya
reflex tendon, mual, muntah, dan hipotensi.
Penyebab dari hipermagnesemia seperti:
 Intake obat-obatan mengandung Mg pada renal failure
 Adrenal corticol insufficiency
 Hipotiroid
 Hipotermi

Tatalaksana:
 Untuk terapi emergensi, diberikan Ca glukonas 10% 10 cc IV lambat oleh karena ion
Ca mengantagonis ion Mg.
 Bila fungsi ginjal baik dapat diberikan furosemide
 Hentikan obat-obatan yang berisi Mg
 Bila terapi tidak respons, makala lakukan dialisa

Kasus 7: Hipopospatemia
Tn. AR, 40 thn, datang dengan keluhan kejang-kejang, kemudian pasien mengalami penurunan
kesadaran menjadi koma. Dari pemeriksaan laboratorium darah diketahui PLT: 100.000, dan
RBC: 3.000.000. P: 0,9 mmol/L. bagaimana tatalaksana pada kasus?

Pembahasan:
Nilai normal dari P adalah 2,5 – 4,5 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hipopospatemia adalah disorientasi, koma, kejang, gagal nafas,
gangguan fungsi platelet, dan turunnya RBC.
Penyebab dari hipopospatemia seperti:
 Poor intake
 Poor intestinal absorption
 Akut alkalosis akibat obat-obatan insulin, adrenalin, dan pemberian KH

Tatalaksana:

 Berikan potassium fosfat atau kalium fosfat sesuai dengan ketentuan dalam gambar
diatas.
 Pemberian secara intravena direkomendasikan untuk pasien dengan hipopospatemia
yang gawat dan dengan gangguan sistemik seperti gangguan jantung.
 Dosis maintenance dari PO4 harian adalah 1200 mg per oral atau 800mg IV.

Kasus 8: Hiperpospatemia
Ny. SS, 30 than, datang dengan keluhan gangguan tidur, mual, dan muntah. Pasien memiliki
penyakit gagal ginjal. Nilai P: 6 mmol/L. Bagaimana tatalaksana pada kasus?

Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hiperpospatemia adalah mual, muntah, sesak napas, kelelahan, dan
gangguan tidur.
Penyebab dari hiperpospatemia seperti:
 Gagal ginjal
 Acute acidosis
 Hiperparatiroidism
Tatalaksana:
 Meningkatkan ikatan PO4 di saluran pencernaan atas menurunkan serum PO4,
walaupun tanpa adanya asupan PO4 oral.
 Sucralfat atau antasida yang mengandung aluminium bisa digunakan untuk tujuan
ini
 Pada pasien dengan hipokalemi, tablet kalsium asestat dapat melepaskan serum
kalsium dimana dapat menurukan serum PO4. Setiap tablet kalsium asetat (667 mg)
mengandung 8.45 mEq kalsium elemental. Direkomendasikan 2 tablet setiap 3 kali
sehari.
 Hiperpostapemia umumnya dikarenakan menurunnya eksreksi fosfat melalui ginjal
sehingga sulit untuk dikoreksi

Kasus 9: Hipokalsemia
Tn. AR, 40 thn, datang dengan keluhan kejang-kejang. Pasien juga mengalami kekakuan otot
dan tekanan darah rendah. Pasien memeliki riwayat hepatitis. Nilai Ca: 0,7 mmol/L.
Bagaimana tatalaksana pada kasus?

Pembahasan:
Nilai normal Ca adalah 1-1,25 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hipokalsemia adalah aritmia, gagal jantung, hipotensi, tetani, spasme
otot, parestesi, dan kejang.
Penyebab dari hipokalsemia seperti:
 Transfusi massif
 Gangguan ginjal
 Malabsorbsi
 Penyakit liver
 Pankreatitis
 Luka bakar, dll

Tatalaksana:
 Koreksi kalsium dengan menggunakan CaCl2 10% 3-4 cc atau Ca glukonas 10% 10 cc
IV pelan
Kasus 10: Hiperkalsemia
Ny. SS, 30 thn, datang dengan keluhan sulit BAB. Pasien juga mengaku mual, muntah, dan
menjadi kurang konsentrasi. Nilai Ca: 2 mmol/L. Bagaimana tatalaksana pada kasus?

Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hiperkalsemia seperti aritmia, hipertensi, bradikardi, gangguan
konduksi, depresi mental, kejang, koma, mual, muntah, konstipasi, dll.
Penyebab dari hiperkalsemia seperti thyrotoxicosis, malignancy, Overdosis vitamin A, D

Tatalaksana:
 NaCl 0,9% untuk perbaikan volume plasma agar perfusi dan renal blood flow cukup
 200-500 mL/jam direkomendasikan untuk menambah volume karena natriuries
akan membuat calciuries.
 Urin output 100-150 mL/jam
 Namun, penggunaan infus ini tidak secara tepat dapat mengkoreksi hiperkalsemia
di >70% kasus.
 Berikan furosemide untuk meningkatkan ekskresi kalsium. Dosis yang dianjurkan
adalah 40-80 mg setiap 2 jam secara intravena. Namun, furosemide dapat menyebabkan
hipovolemi sehingga lebih baik digunakan pada kasus overload cairan.
 Cuci darah efektif digunakan pada pasien dengan gagal ginjal.
 Obat lain seperti kalsitonin, glukokortikoid, bifosfat dapat diberikan sesuai dengan
dosis berikut.
BAB III
KESIMPULAN

Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat mengkonduksi
muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam tubuh sangat esensial untuk
menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh. Elektrolit yang umumnya diperiksa oleh
dokter dengan tes darah meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida.
Elektrolit serum meliputi: natrium, kalium, kalsium, magnesium, klorida, dan fosfat.
Natrium merupakan kation utama di kompartemen ekstraseluler dan penting dalam
menentukan osmolalitas ekstrasel dan intrasel. Kalium merupakan kation terbanyak di
kompartemen intraseluler dan berperan penting dalam potensial membran sel. Kalsium
merupakan komponen yang memediasi kontraksi otot, sekresi eksokrin, endokrin, dan
neurokrin, pertumbuhan sel, dan transport cairan dan elektrolit. Magnesium penting untuk
berbagai reaksi enzimatik yaitu sintesis protein dan DNA, utilisasi glukosa, serta sintesis dan
pemecahan asam lemak. Fosfat merupakan anion utama di cairan intrasel dan berperan dalam
glikolisis dan produksi ATP.Klorida merupakan anion utama di cairan ekstrasel. Penurunan
klor menghambat ekskresi HCO3- sehingga menyebabkan alkalosis hipokloremia.
Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang mendasarinya serta jenis
elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi atau intake
cairan yang tidak tepat, perubahan nutrisional dapat dianjurkan. Jika pengobatan seperti
diuretik mencetuskan gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan terapi obat
dapat memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi penggantian cairan atau elektrolit,
baik melalui oral alatu intravena, dapat mengembalikan penurunan elektrolit menjadi normal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Darwis D, Moenajat Y, Nur B.M, Madjid A.S, Siregar P, Aniwidyaningsih W, dkk,


’Fisiologi Keseimbangan Air dan Elektrolit’ dalam Gangguan Keseimbangan Air-
Elektrolit dan Asam-Basa, Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis dan Tatalaksana, ed. ke-
2, FK-UI, Jakarta, 2008, hh. 29-114
2. Rinanda, Putri Azka. Gangguan Keseimbangan Asam Basa dan Elektrolit. Program
Studi Pendidikan Dokter Universitas Malikussaleh. 2014. Diunduh pada
https://adoc.site/download/228655562-referat-gangguan-keseimbangan-asam-basa-
dan-eletrolit--a5b31eccaa154
3. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed.Missouri: Elsevier-
mosby; 2008.p3-227
4. Scott M.G., LeGrys, V.A. and Klutts J, ‘Electrochemistry and Chemical Sensors and
Electrolytes and Blood Gases’’ In: Tietz Text Book of Clinical Chemistry and
Molecular Diagnostics, 4th Ed. Vol.1, Elsevier Saunders Inc., Philadelphia, 2008, pp.
93-1014.
5. Guyton A.C and Hall J.E, dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi ke-11, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2008, hh. 307-400
6. Matfin G. and Porth C.M, ‘Disorders of Fluid and Electrolyte Balance’ In: Pathophysiology
Concepts of Altered Health States, 8th Edition, McGraw Hill Companies USA, 2009, pp. 761-
803.
7. Fischbach F, Dunning M.B, Talaska F, BarnetM, Schweitzer T.A, Strandell C, et al,
‘Chlorida, Potassium, Sodium’ In: A Manual of Laboratory and Diagnostic Test, 8th
Ed.,Lippincot Wiliams and Wilkins, 2009, pp. 997-1009.
8. D, Munajat Y, Nur MB, Madjid SA, Siregar P, Aniwidyaningsih, W, dkk. Gangguan
Keseimbangan Air, Elektrolit dan Asam Basa. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2010.
9. Marino, Paul, L. The Little ICU Book: Renal and electrolyte Disorders. Second
edition,Wolters Kluwer Philadelphia, 2017, chapter 28.
10. Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam Basa, Fisiologi, Patofisiologi,
Diagnosis, dan Tatalaksana. Unit Pendidikan Kedokteran-Pengembangan
Keprofesioan Berkelanjutan. FKUI. 2014
11. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh.
2014;47(5):380-387.
12. Elaine N, Marieb, Katja Hoehn. Human Anatomy & Physiology: Fluid, electrolyte, And
Acid-Base Balance .Ninth Edition. United States of America, 2013, Chapter 26 .
13. John E. Hall. Guyton And Hall Textbook Of Medical Physiology. Renal Regulation of
Potassium, Calcium, Phospate, and Magnesium. Thirteenth edition. Philadelphia. 2016,
Chapter V.
14. Marino, Paul, L. The Little ICU Book: Renal and electrolyte Disorders. Second
edition,Wolters Kluwer Philadelphia, 2017, chapter 56.
15. Heitz U, Horne MM. Fluid, electrolyte and acid base balance. 5th ed. Missouri:

Elsevier-mosby; 2013.p3-227

16. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh. 2014;

47(5):380-387.

17. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th

ed.Philadelphia: Lippincot williams and wilkins; 2013opkll: 74-97.

18. Stöppler MC. Electrolytes. Available from:


http://www.medicinenet.com/electrolytes/article.html. Diunduh tanggal: 20 September
2018
19. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Managemen of Patiens with Fluid and
Electrolyte Disturbances. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2014; 28:662-689
20. Marino, Paul, L. The Little ICU Book: Renal and electrolyte Disorders. Second
edition,Wolters Kluwer Philadelphia, 2017, chapter 55-57.
21. Martin PF. Electrolyte Disorders. Available from:
http://www.healthline.com/galecontent/electrolyte-disorders. Diunduh tanggal: 20
September 2018.
22. Pandit M. Electrolyte Imbalance Symptoms. Available from:
http://www.buzzle.com/articles/electrolyte-imbalance-symptoms.html. Diunduh
tanggal: 20 September 2018.
23. Elaine N, Marieb, Katja Hoehn. Human Anatomy & Physiology: Fluid, electrolyte, And
Acid-Base Balance .Ninth Edition. United States of America, 2013, Chapter 26 .
24. John E. Hall. Guyton And Hall Textbook Of Medical Physiology. Renal Regulation of
Potassium, Calcium, Phospate, and Magnesium. Thirteenth edition. Philadelphia. 2016,
Chapter V.

You might also like