Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Elektrolit merupakan senyawa di dalam larutan yang berdisosiasi menjadi partikel yang
bermuatan (ion) positif atau negatif. Ion bermuatan positif disebut kation dan ion bermuatan
negatif disebut anion. Keseimbangan keduanya disebut sebagai elektronetralitas.1 Elektrolit
adalah molekul ionisasi yang ditemukan dalam darah, jaringan dan sel-sel tubuh. molekul dapat
mengkonduksi aliran listrik serta membantu keseimbangan Ph dan nilai asam basa dalam
tubuh. Elektrolit juga memfasilitasi aliran cairan diantar dan didalam sel melalui proses yang
dikenal sebagai osmosis, serta berperan dalam fungsi regulasi sistem neuromuskular.2
Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Anion utama dalam cairan
ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat(HCO3-), sedangkan anion utama dalam
cairan intraselular adalah ion fosfat(PO43-). Karena kandungan elektrolit dalam plasma dan
cairan interstitial pada intinya sama maka nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi dari
cairan ekstraseluler tetapi tidak mencerminkan komposisi cairan intraseluler.3
Homeostasis cairan tubuh penting bagi sirkulasi tubuh. Pemeliharaan tekanan osmotik
dan distribusi beberapa kompartemen cairan tubuh manusia adalah fungsi utama empat
elektrolit mayor, yaitu natrium (Na+ ), kalium (K+ ), klorida (Cl- ), dan bikarbonat (HCO3 -).
Pemeriksaan keempat elektrolit mayor tersebut dalam klinis dikenal sebagai ”profil
elektrolit”.4 Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel dan kalium kation
terbanyak dalam cairan intrasel. Jumlah natrium dan kalium dalam tubuh merupakan gambaran
keseimbangan antara yang masuk terutama dari saluran cerna dan yang keluar terutama melalui
ginjal. Gangguan elektrolit merupakan ketidakseimbangan antara garam ionisasi tertentu
(seperti natrium, kalium, dan magnesium) dalam darah.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1. Kation dan Anion Utama dalam Cairan Intrasel dan Ekstrasel5
a) Fisiologi Natrium
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 10- 14 mEq/L)
berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel
ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium
klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan
osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium.1
Perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh
adanya transpor aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya kalium
ke dalam sel (pompa Na+,K+). Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran
keseimbangan antara natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan
natrium yang berasal dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi
dan pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit. Pemasukan
dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mEq.1
Tabel 1. Kadar Elektrolit dalam Cairan Ekstrasel dan Intrasel1
Jumlah natrium yang keluar dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari
10%. Cairan yang berisi konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian
atas hampir mendekati cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan
pada saluran cerna bagian bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya
mencapai 40 mEq/L.6
Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan
natrium pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. Jumlah pengeluaran
keringat akan meningkat sebanding dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan
yang panas, latihan fisik dan demam.6 Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal.
Pengaturan eksresi ini dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang
sangat diperlukan untuk mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi
bebas di glomerulus, direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama
dengan H2O dan klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di
lengkung henle (25-30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi
natrium di urine <1%. Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi
natrium bersama air secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-
aldosteron untuk mempertahankan elektroneutralitas.
b) Fisiologi Kalium
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh
dan terbanyak berada di intrasel. Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan
konsentrasi kalium ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%). Perbedaan kalium cairan intrasel
dengan cairan interstisial adalah akibat adanya transpor aktif (transpor aktif kalium ke
dalam sel bertukar dengan natrium). Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi
otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transport cairan, dan perkembangan janin.
A. Distribusi Kalium9
Kenaikan dominan intraseluler K + adalah hasil dari pompa pertukaran natrium-
kalium (Na + -K +) pada membran sel yang memindahkan Na + keluar dari sel dan
memindahkan K + ke dalam sel.
Jumlah konsentrasi K + pada orang dewasa sehat adalah sekitar 50 mEq / kg, dan
hanya 2% dalam cairan ekstraseluler. Pada plasma mengandung sekitar 20% dari
cairan ekstraseluler, kandungan K + plasma hanya 0,4% dari total tubuh K +.
B. Plasma Potassium
Pengaruh perubahan total K+ pada plasma K+ digambarkan oleh kurva pada Gambar
2.
c) Fisiologi Kalsium
Kalsium adalah elektrolit yang paling banyak dalam tubuh manusia, tetapi 99%
dalam tulang. Kalsium dalam tulang terikat dalam bentuk Kristal hidroksiapatit.
Selebihnya, terdapat di dalam sel dan cairan ekstraseluler. Kalsium ekstraseluler
terdapat dalam tiga bentuk, yaitu kalsium terikat protein, terutama albumin (50%),
bentuk bebas/terion (45%), dan bentuk kompleks terutama terikat fosfat, sitrat,
bikarbonat dan laktat (5%).8 Ion kalsium berperan penting dalam fisiologi intraseluler
maupun ekstraseluler. Ion kalsium intraseluler merupakan regulator penting fungsi sel,
antara lain proses kontraksi otot, sekresi hormon, metabolisme glikogen dan
pembelahan sel. Secara fisiologi, ion kalsium ekstraseluler berperan sebagai kofaktor
pada proses pembekuan darah, misalnya untuk faktor VII, IX, X dan protrombin,
memelihara mineralisasi tulang, berperan pada stabilisasi membran dengan berikatan
pada lapisan fosfolipid, dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion
natrium. Metabolisme kalsium diatur tiga hormon utama yaitu hormon paratiroid
(PTH),kalsitonin dan hormon sterol (1,25 dihidroksikolekalsiferol/ vitamin D). Kadar
kalsium normal 4–5,6 mg/dL (1–1,4 mmol/L). Keseimbangan kalsium merupakan
hubungan timbal balik antara absorsi usus, eksresi dalam urine dan faktor hormonal.
Absorbsi kalsium terjadi diusus halus terutama di duodenum dan jejunum proksimal.2
Fraksi Plasma9
Sekitar separuh kalsium dalam plasma terionisasi (aktif secara biologis), dan
separuh lainnya terikat dengan albumin (80%) atau dikomplekskan menjadi fosfat
dan sulfat (20%)
Konsentrasi kalsium total dan terionisasi dalam plasma ditunjukkan pada Gambar
3. Hipoalbuminemia menurunkan total kalsium plasma tanpa mengubah kalsium
terionisasi. Fraksi kalsium terionisasi tidak diubah oleh hipoalbuminemia.
A. Distribusi9
Pada orang dewasa mengandung sekitar 24 g (1 mol, atau 2.000 mEq) magnesium
(Mg); lebih dari setengahnya terletak di tulang, sedangkan kurang dari 1% terletak
di plasma.
Kurangnya representasi dalam plasma membatasi nilai Mg plasma sebagai indeks
total magnesium; misalnya pada kadar Mg plasma dapat normal dalam deplesi Mg.
B. Serum Magnesium
Serum lebih disukai daripada plasma untuk tes Mg karena antikoagulan yang digunakan
untuk sampel plasma dapat terkontaminasi dengan sitrat atau anion lain yang mengikat
Mg.
C. Magnesium Terionisasi
Hanya 67% dari Mg dalam plasma berada dalam bentuk terionisasi (aktif), dan
sisanya 33% terikat pada protein plasma atau dilelehkan dengan anion divalen
seperti fosfat dan sulfat.
Uji standar untuk Mg mencakup semua fraksi plasma. Oleh karena itu, ketika serum
Mg abnormal rendah, tidak mungkin untuk menentukan apakah masalah adalah
penurunan fraksi terionisasi (aktif) atau penurunan fraksi terikat (misalnya,
hipoproteinemia).
Karena jumlah total Mg dalam plasma kecil, perbedaan antara Mg terionisasi dan
terikat mungkin tidak cukup besar untuk menjadi relevan secara klinis.
D. Magnesium Urin
Kisaran normal ekskresi Mg urine ditunjukkan pada Gambar 4. Ekskresi Mg urine
tergantung pada asupan Mg.
Gambar 4. Ekskresi Mg urine dan kadar Mg plasma pada peserta sehat dengan diet
bebas Mg. Batang padat pada sumbu vertikal menunjukkan kisaran normal untuk
setiap variabel.9
Ketika asupan Mg kurang, ginjal melestarikan Mg, dan ekskresi Mg urine turun ke
tingkat yang dapat diabaikan. Perhatikan bahwa setelah satu minggu diet bebas Mg,
plasma Mg tetap dalam kisaran normal, sedangkan ekskresi Mg urine telah menurun
ke tingkat yang dapat diabaikan. Ini menggambarkan nilai relatif ekskresi Mg urine
untuk memantau keseimbangan Mg.9
- Volume cairan interstisium (interstitial fluid volume, ISFV) diukur dengan melakukan
substraksi :
ISFV = ECFV - PV
Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% dari berat badan dan persentase ini
berhubungan dengan jumlah lemak dalam tubuh, jenis kelamin dan umur. Pengaruh terbesar
berhubungan dengan jumlah lemak tubuh. Kandiungna air di dalam sel lemak lebih rendah
dibandingkan kandungan air dalam sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang gemuk
lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk. Pada bayi dan anak, persentase cairan tubuh total
lbih besar dibanding dengan orang dewasa dan akan menurun sesuai dengan pertambahan usia.
Pada bayi prematur jumlah cairan tubuh total sebesar 70-75% dari berat badan, sedangkan pada
bayi normal dan pada orang dewasa sebesar 55-60% dari berat badan. Kadar lemak pada wanita
umumnyalebih bayak dibadning dengan pria, sedangkan kadar air pada pria lebih besar dari
pada wanita. Makin tua seseorang, biasanya jumlah lemaknya meningkat sedngkan jumlah
airnya makin berkurang. 11,16
Bila diperkirakan sekitar 55% berat tubuh merupakan air, maka perhitungan cairan
tubuh total menggunakan rumus:
Perhitungan ini hanya berlaku untuk individu dalam keadaan keseimbagnan air tubuh
normal. Untuk orang dewasa obesitas hasil penghitungan rumus ini dikurangi 10%, sedangkan
untuk orang kurus ditambahkan 10%.11
Pada keadan dehidrasi berat, air tubuh total berkurang sekitar 10% maka pada keadaan
dehidrasi berat air tubuh total dihitung dengan menggunakan rumus:
Jumlah air total tubuh (L) = 0,9 x Berat badan (Kg) x 55%
Perhitungan di atas tidak dapat digunakan pada keadaan edema karena kemungkinan
kesalahan sangat besar.
Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan
ekstraselular berkurang seiring dengan usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan
tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular
menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada
dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.15,17
Cairan ekstraselular dibagi menjadi: 15
Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter
pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap
ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan
orang dewasa.
Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume
plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan
plasma, sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.
Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti
serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran
pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi
cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.
Perubahan jumlah dan komposisi cairan tubuh, yang dapat terjadi pada perdarahan, luka
bakar, dehidrasi, muntah, diare, dan puasa preoperatif maupun perioperatif, dapat
menyebabkan gangguan fisiologis yang berat. Jika gangguan tersebut tidak dikoreksi secara
adekuat sebelum tindakan anestesi dan bedah, maka resiko penderita menjadi lebih besar.11,16
Cairan ekstrasel berperan sebagai :
- Pengantar semua keperluan sel (nutrien, oksigen, berbagai ion, trace mierals, dan
regulator hormon/molekul).
- Pengangkut CO2 sisa metabolisme, bahan toksik atau bahan yang telah mengalami
detoksifikasi dari sekitar lingkungan sel.10
Diagram 1. Distribusi cairan tubuh
B. Osmolalitas
Ketidakseimbangan osmolalitas melibatkan kadar zat terlarut dalam cairan- cairan
tubuh. Karena natrium merupakan zat terlarut utama yang aktif secara osmotik dalam ECF
maka kebanyakan kasus hipoosmolalitas (overhidrasi) adalah hiponatremia yaitu rendahnya
kadar natrium di dalam plasma dan hipernatremia yaitu tingginya kadar natrium di dalam
plasma.17
Hipokalemia adalah keadaan dimana kadar kalium serum kurang dari 3,5
mEq/L.
Hiperkalemia adalah keadaan dimana kadar kalium serum lebih dari atau sama dengan
5,5 mEq/L.
Hiperkalemia akut adalah keadaan gawat medik yang perlu segera dikenali, dan
ditangani untuk menghindari disritmia dan gagal jantung yang fatal.
b. Hiponatremia
Hiponatremia selalu mencerminkan retensi air baik oleh peningkatan absolut dari TBW
(Total Body Water) ataupun kehilangan natrium melebihi kehilangan air. Kapasitas normal
ginjal untuk mengencerkan urine dengan osmolalitas serendah 40 mOsm/kg dapat
mengekskresikan lebih dari 10L air per hari, jika diperlukan. Oleh karena kemampuan yang
hebat ini, hiponetremia hampir selalu diakibatkan oleh defek pada kapasitas pengenceran urine
(osmolalitas urine 100mOsm/kg). Hiponatremia tanpa abnormalitas dari kapasitas pengenceran
ginjal (osmolalitas urine <100 mOsm/kg) biasanya dihubungkan dengan polidipsia primer atau
‘reset’ osmoreseptor; kedua kondisi terakhir ini dapat dibedakan dengan pembatasan cairan.22
Pengobatan Hiponatremia
Sama dengan hipernatremia, pengobatan hiponatremia ditujukan pada koreksi baik
penyakit yang mendasarinya maupun kadar natrium plasma. Saline isotonik
umumnya merupakan pengobatan terpilih untuk pasien hiponatremia dengan
penurunan jumlah total natrium tubuh. Saat penurunan cairan ekstraseluler
dikoreksi, diuresis air yang spontan akan mengembalikan kadar natrium plasma ke
normal. Hal sebaliknya, pembatasan cairan merupakan pengobatan terpilih untuk
pasien hiponatremia dengan jumlah total natrium tubuh yang normal atau
meningkat. Terapi spesifik seperti penggantian hormon pada pasien dengan
hipofungsi adrenal atau tiroid, dan tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan
cardiac output pada pasien dengan gagal jantung dapat diindikasikan.
Demeclocycline, obat yang mengantagonis aktivitas ADH pada tubulus renalis,
sudah terbukti dapat menjadi terapi tambahan yang berguna untuk pembatasan
cairan pada pasien dengan SIADH.19
Pertimbangan Anestesi
Hiponatremia sering merupakan manifestasi yang serius dari penyakit yang
mendasarinya dan memerlukan perhatian terhadap evaluasi preoperatif.
Konsentrasi natrium plasma di atas 130 mEq/L umumnya dianggap aman untuk
pasien yang akan dibius umum. Konsentrasi natrium plasma sebaiknya dikoreksi
hingga di atas 130 mEq/L untuk semua operasi elektif, bahkan bila gejala tidak ada.
Konsentrasi yang lebih rendah akan menyebabkan edema otak yang dapat
bermanifestasi intraoperatif yaitu penurunan MAC (Minimum Alveolar
Concentration) atau agitasi, konfusi, somnolen postoperatif.19
2.3.2 Kalium
Kalium, ion intraseluler utama dalam tubuh, berperan penting dalam menentukan
potensial membran sel. Walaupun konsentrasi kalium ekstraseluler rendah, kadar kalium pada
cairan ekstraseluler diregulasi secara hati-hati, karena perubahan pada konsentrasi ekstraseluler
dapat menimbulkan gangguan fungsi saraf dan kardiovaskular yang mengancam jiwa.
Perpindahan kalium antara kompartemen intraseluler dan ekstraseluluer dapat berhubungan
dengan perubahan hormon serta pH pada cairan ekstraseluler. Kadar normal kalium dalam
serum adalah 3.5–5.5 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan kalium ialah 1–2 mEq/hari.19
a. Hiperkalemia
Hiperkalemia terjadi saat kadar kalium plasma melebihi 5.5 mEq/L. Hiperkalemia
jarang terjadi pada individu normal karena kapasitas ginjal yang luar biasa untuk mengekskresi
kalium. Ketika intake kalium meningkat, ginjal dapat mengekskresikan sebanyak 500 mEq
kalium per hari. Sistem simpatis dan sekresi insulin juga berperan penting dalam mencegah
peningkatan akut kadar kalium plasma.19
Hiperkalemia dapat disebabkan oleh (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2)
penurunan ekskresi kalium di urine, dan (3) peningkatan intake kalium. Peningkatan palsu
konsentrasi kalium plasma dapat terjadi jika terdapat hemolisis sel darah merah pada spesimen
darah (kebanyakan disebabkan torniquet yang lama ketika mengambil darah).19
Hiperkalemia Akibat Perpindahan Kalium Interkompartemen
Perpindahan kalium keluar dari sel dapat terlihat pada asidosis, lisis sel setelah
kemoterapi, hemolisis, rhabdomiolisis, trauma masif jaringan, overdosis digitalis,
pemberian arginin hidroklorida, dan blokade β2-adrenergik.22
Blokade β2-adrenergik mencetuskan peningkatan kadar kalium plasma yang terjadi
setelah olahraga. Digitalis menghambat Na+–K+ ATPase pada membran sel; overdosis
digitalis telah dilaporkan menyebabkan hiperkalemia pada beberapa pasien. Arginin
hidroklorida, yang digunakan untuk mengobati alkalosis metabolik, dapat menyebabkan
hiperkalemia saat kation arginin memasuki sel dan ion kalium keluar dari sel untuk menjaga
netralitas muatan.22
Pengobatan Hiperkalemia
Oleh karena potensial letalnya, hiperkalemia yang melebihi 6 mEq/L sebaiknya
diterapi. Terapi secara langsung ditujukan untuk membalik manifestasi jantung, dan
kelemahan otot skeletal, serta mengembalikan kadar kalium plasma ke nilai normal.
Hiperkalemia yang berhubungan dengan hipoaldosterinisme dapat diobati dengan
penggantian hormon mineralokortikoid. Obat-obatan yang berperan dalam terjadinya
hiperkalemia sebaiknya dihentikan dan sumber peningkatan intake kalium sebaiknya
dikurangi atau dihentikan.22
Kalsium (kalsium glukonat 10% 5–10 mL atau kalsium klorida 10% 3–5 mL) dapat
mengantasonis efek kardiovaskuler dari hiperkalemia dan berguna pada pasien dengan
tanda hiperkalemia. Efek ini cepat namun jangka waktunya pendek. Perhatian juga
ditujukan pada pasien yang menerima pengobatan digoxin karena kalsium dapat
mempotensiasi toksisitas digoxin.22
Ketika asidosis metabolik terjadi, natrium bikarbonat intravena (biasanya 45 mEq)
akan meningkatkan uptake seluler dari kalium dan dapat menurunkan kadar kalium plasma
dalam waktu 15 menit. β-agonis meningkatkan uptake seluler kalium dan dapat berguna
pada hiperkalemia akut yang berhubungan dengan transfusi masif; epinefrin dosis rendah
(0.5–2mg/menit) sering menurunkan kadar kalium plasma secara cepat dan menyediakan
bantuan inotropik pada keadaan ini. Infus glukosa dan insulin intravena (glukosa 30g
dengan insulin 10U) juga efektif dalam meningkatkan uptake seluler dari kalium serta
menurunkan kadar kalium plasma.22
Dialisis diindikasikan pada pasien simptomatik dengan hiperkalemia berat atau
refrakter. Hemodialisis lebih cepat dan efektif dari dialisis peritoneal dalam menurunkan
kadar kalium plasma.22
Pertimbangan Anestesi
Operasi elektif sebaiknya tidak dilaksanakan pada pasien dengan hiperkalemia.
Manajemen anestesi dari pasien dengan hiperkalemia ditujukan pada penurunan kadar
kalium plasma serta pencegahan peningkatan yang lebih lanjut. EKG harus dimonitor
secara hati-hati. Suksinil kolin dikontraindikasikan, sebagaimana juga larutan intravena
yang mengandung kalium seperti injeksi Ringer Laktat. Penghindaran asidosis metabolik
atau respiratorik penting untuk mencegah peningkatan kadar kalium plasma lebih lanjut.19
b. Hipokalemia
Hipokalemia ditentukan saat kadar kalium plasma kurang dari 3.5 mEq/L dan dapat
terjadi oleh karena: (1) perpindahan kalium interkompartemen, (2) peningkatan kehilangan
kalium, dan (3) intake kalium tidak adekuat. 23
Pengobatan Hipokalemia
Penggantian oral dengan larutan kalium klorida umumnya aman (60–80
mEq/hari). Penggantian kekurangan kalium biasanya memerlukan beberapa hari.
Penggantian intravena dengan larutan kalium klorida sebaiknya diberikan pada pasien
dengan atau yang beresiko terhadap manifestasi jantung atau kelemahan otot. Tujuan dari
terapi intravena ini adalah untuk mengeluarkan pasien dari keadaan bahaya daripada
mengoreksi seluruh kekurangan kalium. Penggantian kalium intravena perifer sebaiknya
tidak melebihi 8 mEq/jam karena efek iritatif dari kalium pada vena perifer. Larutan yang
mengandung dekstrosa sebaiknya dihindari karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan
sekresi insulin sekunder dapat menurunkan kadar kalium plasma lebih jauh lagi.19
Pertimbangan Anestesi
Hipokalemia umum ditemukan saat preoperatif. Keputusan untuk melakukan
operasi elektif sering didasarkan pada batas antara 3 dan 3.5 mEq/L. Keputusan ini,
bagaimanapun, sebaiknya juga didasarkan pada tingkat mana hipokalemia berkembang
serta ada tidaknya disfungsi organ sekunder. Umumnya, hipokalemia kronik ringan (3–3.5
mEq/L) tanpa perubahan EKG tidak terlihat meningkatkan resiko anestesi. Hal tersebut
tidak berlaku jika pasien memperoleh digoxin, yang dapat meningkatkan resiko
berkembangnya toksisitas digoxin akibat hipokalemia.19
Kalium intravena sebaiknya diberikan bila terjadi aritmia atrium atau ventrikel.
Larutan bebas glukosa sebaiknya digunakan dan hiperventilasi dihindari untuk mencegah
penurunan kadar kalium plasma lebih lanjut. Peningkatan sensitivitas terhadap NMBAs
(NeuroMuscular Blocking Agents) dapat terlihat pada beberapa pasien. Dosis NMBAs
sebaiknya dikurangi 25-50% dan stimulator saraf sebaiknya digunakan untuk mengikuti
tingkat paralisis dan reverse yang adekuat.19
2.3.3. Kalsium
Ion kalsium berperan pada hampir semua fungsi esensial biologik tubuh, meliputi
kontraksi otot, pelepasan neurotransmiter dan hormon, koagulasi darah, serta metabolisme
tulang. Kalsium secara normal memasuki cairan ekstraseluler melalui absorpsi dari traktus
intestinal atau resorpsi tulang. Sebaliknya, kalsium meninggalkan kompartemen ekstraseluler
melalui (1) deposisi di tulang, (2) ekskresi urine, (3) sekresi ke traktus gastrointestinal, dan (4)
pembentukan keringat. Kadar kalsium ekstraseluler diregulasi oleh tiga hormon: hormon
paratiroid (PTH), vitamin D, dan kalsitonin. Ketiga hormon ini terutama bekerja pada tulang,
tubulus distal ginjal, dan usus halus.22
PTH merupakan regulator kalsium plasma yang paling penting. Penurunan kadar
kalsium plasma akan menstimulasi PTH, sedangkan peningkatan kadar kalsium plasma dapat
menghambat sekresi PTH. Efek kalsemik dari PTH berhubungan dengan (1) mobilisasi
kalsium dari tulang, (2) peningkatan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, dan (3)
peningkatan tidak langsung absorpsi intestinal melalui 1.25-dihidroksikolekalsiferol yang
disintesis di ginjal.23
Vitamin D berupa 1.25-dihidroksikolekalsiferol mencetuskan absorpsi kalsium di usus,
memudahkan kerja PTH di tulang, dan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal.
Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang disekresi oleh sel parafolikuler kelenjar tiroid.
Sekresinya distimulasi oleh hiperkalsemia dan dihambat oleh hipokalsemia. Kalsitonin
menghambat reabsorpsi tulang dan meningkatkan ekskresi kalsium urine.23
Kadar normal kalsium dalam serum adalah 2.38–2.66 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan
asupan kalsium ialah 0.2–0.3 mEq/kgBB/hari.23
a. Hiperkalsemia
Hiperkalsemia dapat terjadi sebagai hasil dari berbagai gangguan. Pada
hiperparatiroidisme primer, sekresi PTH meningkat dan tidak terpengaruh oleh kadar kalsium.
Sebaliknya, pada hiperparatiroidisme sekunder (gagal ginjal kronik atau malabsorpsi),
peningkatan kadar PTH merupakan respon dari hipokalsemia kronik. Hiperparatiroidisme
sekunder yang memanjang menyebabkan sekresi otomatis dari PTH, mengakibatkan
peningkatan atau normalnya kadar kalsium (hiperparatiroidisme tersier). 21
Pasien dengan kanker dapat mengalami hiperkalsemia dengan atau tanpa adanya
metastase tulang. Dektruksi tulang secara langsung atau sekresi mediator humoral dari
hiperkalsemia (substansi seperti-PTH, sitokin, atau prostaglandin) mungkin berperan pada
kebanyakan pasien. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan peningkatan turn-over kalsium
dari tulang dapat dialami oleh pasien dengan kondisi yang lebih jinak seperti penyakit Paget
dan imobilisasi kronik. Peningkatan absorpsi kalsium dari gastrointestinal dapat menyebabkan
hiperkalsemia pada pasien dengan milk-alkali syndrome (ditandai dengan peningkatan intake
kalsium), hipervitaminosis D, dan penyakit granulomatosa (peningkatan sensitivitas vitamin
D).22
Pengobatan Hiperkalsemia
Hiperkalsemia simptomatik memerlukan terapi yang cepat. Terapi awal yang paling
efektif ialah rehidrasi diikuti dengan diuresis cepat (urine output 200–300 ml/jam) dengan
pemberian infus saline intravena dan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi kalsium.
Terapi diuretik prematur yang lebih dahulu dibandingkan dengan rehidrasi akan
memperberat hiperkalsemia melalui penurunan volume.22
Walaupun hidrasi dan diuresis dapat menghilangkan resiko potensial dari
komplikasi kardiovaskuler dan neurologis, serum kalsium umumnya tetap meningkat di
atas normal. Terapi tambahan dengan bifosfat atau kalsitonin mungkin dibutuhkan untuk
menurunkan serum kalsium lebih jauh. Hiperkalsemia berat biasanya memerlukan terapi
tambahan setelah hidrasi saline dan lasix calsiuresis. Bifosfat (pamidronate 60–90 mg
intravena) atau kalsitonin (2–8 U/kg subkutan) merupakan agen yang lebih disukai.
Pamidronate menjadi agen pilihan yang baik pada keadaan ini karena memiliki durasi aksi
yang lebih lama tetapi harus dihindari pada keadaan insufisiensi ginjal (kreatinin serum >
2.5 mg/dL).23
Kebanyakan 90% dari semua hiperkalsemia disebabkan oleh keganasan atau
hiperparatiroidisme. Test laboratorium yang paling baik untuk membedakan kedua kategori
hiperkalsemia ini ialah dengan double-antibody PTH assay. Konsentrasi serum PTH
biasanya akan menurun pada keganasan dan meningkat pada hipotiroidisme.23
Pertimbangan Anestesi
Hiperkalsemia merupakan kedaruratan medis yang harus diperbaiki, jika
memungkinkan, diutamakan daripada pemberian anestesi tertentu. Kadar ion kalsium
sebaiknya diawasi dengan ketat. Jika operasi harus tetap dilaksanakan, diuresis saline
sebaiknya tetap dilanjutkan intraoperatif dengan perawatan yang baik untuk mencegah
hipovolemia. Ventilasi sebaiknya dikontrol saat pembiusan umum. Asidosis sebaiknya
dihindari sehingga tidak terjadi peningkatan kadar kalsium plasma lebih jauh.19
b. Hipokalsemia
Hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme biasanya berhubungan dengan hipokalsemia
simptomatik. Hiperparatiroidisme dapat disebabkan oleh pembedahan, idiopatik, atau bagian
dari defek endokrin multipel (kebanyakan akibat insufisiensi adrenal), atau berhubungan
dengan hipomagnesemia. Defisiensi magnesium berhubungan dengan kegagalan sekresi PTH
dan efek antagonisnya pada tulang. Hipokalsemia selama sepsis juga dipikirkan akibat supresi
pelepasan PTH. Hipokalsemia oleh karena defisiensi vitamin D dapat diakibatkan oleh
berkurangnya intake (nutrisi), malabsorpsi vitamin D, atau abnormalitas metabolisme vitamin
D.18
Pembentukan kelat antara ion kalsium dan ion sitrat pada pengawetan darah merupakan
sebab yang penting dari hipokalsemia perioperatif; mirip dengan penurunan transien kadar
kalsium plasma yang menyertai infus cepat dari albumin volume besar. Hipokalsemia yang
menyertai pankreatitis akut disebabkan oleh presipitasi kalsium dengan lemak (penyabunan)
yang diikuti oleh pelepasan enzim lipolitik dan nekrosis lemak; hipokalsemia yang menyertai
emboli lemak juga memiliki dasar yang serupa.18
Penyebab lainnya dari hipokalsemia meliputi calcitonin-secreting medullary
carcinoma dari tiroid, penyakit metastase osteoblastik (kanker payudara dan prostat), dan
pseudohipoparatiroidisme (tidak respon terhadap hormon paratiroid). Hipokalsemia transien
juga dapat menyertai pemberian heparin, protamin, dan glukagon serta transfusi darah masif
(dari sitrat).18
Pertimbangan Anestesi
Hipokalsemia sebaiknya dikoreksi preoperatif. Kadar ion kalsium serial sebaiknya
diawasi intraoperatif pada pasien dengan riwayat hipokalsemia. Alkalosis sebaiknya
dihindari untuk mencegah penurunan kadar kalsium lebih lanjut. Kalsium intavena dapat
diberikan menyertai tansfusi cepat dari produk darah berupa sitrat atau larutan albumin
volume besar. Efek potensiasi inotropik negatif dari barbiturat dan anestesi volatil
sebaiknya dapat diperkirakan. Respon terhadap NMBAs tidak konsisten dan memerlukan
pengawasan ketat dengan stimulator saraf.18
2.3.4 Magnesium
Magnesium merupakan kation intraseluler yang penting, berfungsi sebagai kofaktor
berbagai jalur enzim. Hanya 1–2% dari total magnesium tubuh yang disimpan di cairan
ekstraseluler, 67% terdapat di tulang, dan sisanya 31% ada di intraseluler.4 Kadar magnesium
normal dalam serum adalah 1.7–2.1 mEq/L.4 Sedangkan kebutuhan asupan magnesium ialah
0.2–0.5 mEq/kgBB/hari.19
a. Hipermagnesemia
Peningkatan kadar magnesium plasma hampir selalu berhubungan dengan kelebihan
intake (antasida atau laksatif yang mengandung magnesium), kerusakan ginjal (GFR < 30
mL/menit), atau keduanya. Hipermagnesemia iatrogenik juga terjadi selama terapi magnesium
sulfat pada hipertensi gestational yang berpengaruh pada ibu dan janin. Penyebab lainnya
berupa insufisiensi adrenal, hipotiroidisme, rhabdomiolisis, dan pemberian lithium.19
Pengobatan Hipermagnesemia
Semua sumber intake magnesium (kebanyakan akibat antasida) sebaiknya
dihentikan. Kalsium intravena (1 g kalsium glukonat) dapat secara sementara
mengantagonis sebagian besar efek dari hipermagnesemia. Loop diuretic yang disertai
dengan ½-normal saline dalam dekstrosa 5% dapat meningkatkan ekskresi magnesium.19
Pertimbangan Anestesi
Hipermagnesemia memerlukan pengawasan yang ketat terhadap EKG, tekanan
darah, dan fungsi neuromuskuler. Potensiasi dari vasodilatasi dan inotropik negatif agen
anestesi sebaiknya diperhatikan. Dosis NMBAs sebaiknya dikurangi 25–50%. Kateter
urine dibutuhkan ketika infus diuretik dan saline digunakan untuk meningkatkan ekskresi
magnesium.21
b. Hipomagnesemia
Hipomagnesemia penting diperhatikan pada pasien yang sakit. Hipomagnesemia
umumnya berhubungan dengan defisiensi dari komponen intraseluler seperti kalium dan
fosfor. Defisiensi magnesium disebabkan oleh intake yang tidak adekuat, penurunan absorpsi
gastrointestinal, dan peningkatan ekskresi ginjal. β-adrenergik agonis dapat menyebabkan
hipomagnesemia transien di mana ion magnesium diambil oleh jaringan adiposa. Obat-obatan
yang dapat menyebabkan pengeluaran magnesium oleh ginjal meliputi etanol, teofilin, diuretik,
cisplatin, siklosporin, dan amfoterisin-B.19
Pengobatan Hipomagnesemia
Hipomagnesemia asimptomatik dapat diterapi per oral (magnesium sulfat
heptahidrat atau magnesium oksida) atau intramuskular (magnesium sulfat). Menifestasi
serius seperti kejang harus diterapi dengan magnesium sulfat intravena, 1–2 g (8–16 mEq
atau 4–8 mmol) diberikan secara lambat selama 15–60 menit.19,20
Pertimbangan Anestesi
Walaupun tidak ada interaksi anestesi spesifik yang disebutkan, gangguan elektrolit
yang menyertainya seperti hipokalemia dan hipokalsemia sering terjadi dan harus dikoreksi
lebih dahulu dibandingkan dengan pelaksanaan operasi. Hipomagnesemia isolasi
sebaiknya dikoreksi sebelum prosedur elektif sebab dapat menyebabkan aritmia jantung.
Lebih lanjut, magnesium nampaknya memiliki efek antiaritmia intrinsik dan protektif
terhadap otak, di mana seringkali diberikan pada operasi bypass kardiopulmonar.20
2.3.5. Klorida
Klorida, anion utama dari cairan ekstraseluler, ditemukan lebih banyak pada
kompartemen interstitial dan cairan limfoid daripada dalam darah. Klorida juga merupakan
bagian dari cairan sekresi lambung dan pankreas, keringat, kantung empedu, dan air liur.
Natrium dan klorida merupakan komposisi elektrolit terbesar dalam cairan ekstraseluler dan
berperan dalam menentukan tekanan osmotik. Klorida diproduksi dalam lambung, yang
dikombinaksikan dengan hidrogen untuk membentuk adam hidroklorida. Kontrol klorida
tergantung dari intake klorida, ekskresi, dan absorpsi ion tersebut dari ginjal. Klorida dalam
jumlah kecil dibuang dalam feses.19
Kadar klorida dalam serum mencerminkan pengenceran atau pemekatan yang terjadi di
cairan ekstrseluler serta menunjukkan secara langsung proporsi konsentrasi natrium.
Osmolalitas serum paralel dengan kadar klorida. Sekresi aldosteron meningkatkan reabsorpsi
natrium, yang juga meningkatkan reabsorpsi klorida. Pleksus koroid, yang mensekresi
cerebrospinal fluid di otak, bergantung pada natrium dan klorida untuk menarik air dan
membentuk proporsi dari cerebrospinal fluid.21
Bikarbonat memiliki hubungan dengan klorida. Saat klorida berpindah dari plasma
menuju sel darah merah (disebut dengan chloride shift), bikarbonat berpindah kembali ke
plasma. Ion hidrogen terbentuk, yang kemudian membantu pelepasan oksigen dari
hemoglobin. 21
Ketika kadar salah satu dari elektrolit ini terganggu (natrium, bikarbonat, dan klorida),
kedua elektrolit lainnya pun akan terpengaruh. Klorida berperan dalam menjaga keseimbangan
asam basa dan bekerja sebagai buffer dalam pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam sel
darah merah. Klorida diperoleh dari makanan seperti garam dapur. Kadar normal klorida dalam
serum ialah 97–107 mEq/L.6 Sedangkan kebutuhan asupan klorida ialah 1–2 mEq/kgBB/hari.22
a. Hiperkloremia
Kadar klorida serum yang tinggi dapat mengakibatkan hiperkloremia asidosis
metabolik oleh karena iatrogenik pemberian klorida seperti larutan NaCl 0.9%, larutan
NaCL 0.45%, atau larutan Ringer Laktat. Kondisi ini dapat pula disebabkan oleh
kehilangan ion bikarbonat dari ginjal dan saluran pencernaan yang diikuti dengan
peningkatan ion klorida. Ion klorida dalam bentuk garam asam terakumulasi, dan asidosis
terjadi dengan menurunnya ion bikarbonat. Trauma kepala, peningkatan produksi keringat,
kelebihan hormon mineralokortikoid, dan penurunan filtrasi ginjal dapat menuju
peningkatan kadar klorida serum.22,23
Pengobatan Hiperkloremia
Koreksi penyakit yang menyebabkan hiperkloremia serta mengembalikan
keseimbangan elektrolit, cairan, dan asam-basa sangatlah penting. Larutan hipotonik
intravena dapat diberikan untuk mengembalikan keseimbangan. Larutan Ringer Laktat
dapat diberikan supaya laktat diubah menjadi bikarbonat di hati, sehingga dapat
meningkatkan kadar bikarbonat dan mengoreksi asidosis. Natrium bikarbonat intravena
dapat diberikan untuk meningkatkan kadar bikarbonat yang menuju pada ekskresi ginjal
terhadap ion klorida akibat kompetisi bikarbonat dan klorida untuk berikatan dengan
natrium. Diuretik dapat diberikan untuk mengeliminasi klorida. Natrium, klorida, dan
cairan dibatasi.24
b. Hipokloremia
Hipokloremia dapat terjadi akibat drainase tube gastrointestinal, suction lambung,
pembedahan lambung, muntah berat, dan diare. Pemberian larutan intravena dengan kadar
klorida rendah, intake natrium yang rendah, penurunan kadar natrium, alkalosis metabolik,
transfusi masif darah, terapi diuretik, luka bakar, dan demam dapat menyebabkan
hipokloremia. Pemberian aldosteron, ACTH, kortikosteroid, bikarbonat, dan laksatif dapat
menyebabkan penurunan kadar klorida serum. Saat klorida menurun (biasanya karena
penurunan volume), ion natrium dan bikarbonat ditahan oleh ginjal untuk
menyeimbangkan kehilangan klorida. Bikarbonat terakumulasi di cairan ekstraseluler,
yang meningkatkan pH dan berujung pada hiperkloremia asidosis metabolik.24
Pengobatan Hipokloremia
Terapi meliputi koreksi penyebab hipokloremia serta ketidakseimbangan asam-
basa dan elektrolit. Larutan normal saline (NaCl 0.9%) atau ½ normal saline (NaCl 0.45%)
diberikan intravena untuk menggantikan klorida. Jika pasien menerima diuretik (loop,
osmotik, atau thiazid), dapat dihentikan atau diberikan diuretik tipe lain.9
Amonium klorida, sebuah agen yang bersifat asam, dapat diberikan untuk
mengatasi alkalosis metabolik; dosisnya tergantung dari berat pasien dan kadar klorida
serum. Agen ini dimetabolisasi oleh hati dan berefek sekitar 3 hari. Amonium klorida ini
sebaiknya dihindari pada pasien dengan gangguan fungsi hati dan ginjal.23
Pembahasan:
Nilai normal dari Na adalah 135-145 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hiponatremia adalah disorientasi, letargi, gangguan mental, irritability,
dan henti nafas, serta kejang juga koma.
Penyebab dari hionatremia seperti:
SIADH (Sindroma Inappropiate Anti Diuretic Hormon)
Diare
Muntah
Obat-obatan diuretika
Sirosis hepatis, dll
Tatalaksana:
Pedoman koreksi hiponatremia
Defisit Na = Berat badan (kg) x (Na target – Na actual)(mmol)
Koreksi cepat dilakukan bila:
- Akut (<24 jam) severe (<120 mEq/L simptomatik), (<100 mEq/L)
Mencegah edema serebri atau memperbaiki edema serebri
- Hiponatremia simptomatik (kejang, koma, dll)
Terapi simptomatik
Koreksi cepat: 3% NS, 1-2 mEq/L/H sampai:
- Symptom membaik
- Selama 2-3 jam atau Na serum mencapai 120 mEq/L
Koreksi lambat
- 0,5 mEq/L/jam dengan 0,9% NS, restriksi cairan
- Lama koreksi 24 jam <10-12 mEq/L/hari untuk mencegah myelinolysis
Kasus 2: Hipernatremia
Ny. SS, 58 tahun, BB 53 kg, didiagnosis kontusio serebri berat. Kesadaran sopor, turgor kulit
turun, TD 90/60 mmHg, Natrium 158 mmol/L, K 4 mmol/L. Bagaimana koreksi hypernatremia
pada kasus di atas?
Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hypernatremia adalah letargi, kejang dan koma.
Penyebab dari hypernatremia seperti:
Overinfused dengan NaCl hipertonis
Asupan salt tablet berlebihan
Bicarbonat natricus
Tatalaksana:
Rumus Koreksi Hipernatremia:
𝑁𝑎 𝑖𝑛𝑓𝑢𝑠−𝑆𝑒𝑟𝑢𝑚 𝑁𝑎
Perubahan Na serum = 𝑇𝐵𝑊+1
Kasus 3: Hipokalemia
Tn. ZZ, 30 tahun, BB 65 kg datang dengan keluhan menceret-mencret sejak 1 hari yang lalu.
Pasien terlihat lemas dan tidak mampu beraktivitas. Kesadaran sopor, turgor kulit turun, TD
90/60 mmHg, Natrium 125 mmol/L, K 2 mmol/L. Bagaimana koreksi hypernatremia pada
kasus di atas?
Pembahasan:
Nilai normal dari K adalah 3,5 – 5 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hypokalemia seperti aritmia, paralisis, parestesia, mual, dan muntah.
Penyebab dari hypokalemia seperti:
Diarea kronis
Muntah-muntah
Penggunaan insulin
Penggunaan obat-obatan diuretika, dll
Tatalaksana:
Kebutuhan K :
(K target – K actual) x BB x 0,6 (laki-laki)
(K target – K actual) x BB x 0,4 (perempuan)
Koreksi cepat:
KCl IV koreksi 10-30 mEq/ jam, monitor jantung
Koreksi lambat:
Dewasa 2-3 x, 20-40 mEq, peroral
Anak 1-2 mEq/kg/hari dalam dosis terbagi
Kasus 4: Hiperkalemia
Tn. AR, 50 tahun, mengeluhkan mual, kelelahan, dan juga rasa kesemutan. Dia adalah
penderita darah tinggi dan rutin mengkonsumsi spironolakton dan juga captopril. K: 5,8
mmol/L. Bagaimana penatalaksanaan pada kasus?
Pembahasan:
Kondisi hiperkalemia terjadi jika K > 5,2 mmol/L.
Manifestasi klinis pada penderita hyperkalemia dapat berupa; mual, kelelahan, kelemahan otot,
dan juga rasa kesemutan.
Etiologi dari hyperkalemia dapat berupa:
Penggunaan obat-obatan yang dapat menghalangi proses pembuangan kalium oleh
ginjal seperti spironolakton, triamterene, dan golongan ACE inhibitor
Penyakit Addison
Gagal ginjal
Pelepasan kalium dalam jumlah besar dari dalam sel yang terjadi secara tiba – tiba
seperti pada saat adanya cedera yang banyak membuat jaringan otot hancur, pada saat
mengalami luka bakar yang hebat, atau dalam pada keadaan overdosis kokain.
Tatalaksana:
Ca glukonas , CaCl2 500mg, IV secara perlahan, 2-5 menit
Alkalinisasi dengan larutan Bicnat 50-100 mEq (1 ampul) IV selama 5-10 menit
D50% + RL 10-15 unit/kgBB drip perlahan
Dialisis
Diuretika: Furosemid 10-20mg IV
Koreksi penyebab utama: Stop penggunaan spironolakton dan captopril karena dapat
menganggu ekskresi kalium melalui ginjal
Kasus 5: Hipomagnesemia
Ny. SS, 30 tahun, datang dengan kejang-kejang. Pasien mengeluhkan BAB cair sejak 2 minggu
SMRS. Pasien juga mengeluhkan mual, muntah dan juga kram otot. Mg: 0,9 mmol/L.
Bagaimana tatalaksana pada kasus?
Pembahasan:
Nilai Mg normal adalah 1,6-2,7 mmol/L, sehingga pada kasus ini pasien menderita
hipomagnesemia.
Manifestasi klinis dari hipomagnesemia dapat berupa mual, muntah, kram otot, dan kejang-
kejang pada hipomagnesemia berat.
Etiologi dari hipomagnesemia dapat berupa:
Diare kronis
Konsumsi alcohol
Hiperaldosteronisme
Diabetes tipe 2
Malnutrisi, dll
Tatalaksana:
Hipomagnesemia berat (tetani dan kejang):
Monitoring EKG
Infus 2gr MgSO4 dalam D5W dalam 10-20 menit
Diikuti 1g/jam untuk 3-4 jam
Hipomagnesemia sedang (Mg < 1 mmol/L, asimptomatik):
Infus MgSO4 1g/jam untuk 3-4 jam. Dapat diulang jika perlu.
Hipomagnesemia ringan:
Magnesium oksida 1g/hari PO
Kasus 6: Hipermagnesemia
Ny. SS, 30 tahun datang dengan keluhan sering mengantuk, kelemahan tubuh, mual dan juga
muntah, dia memiliki riwayat penyakit hypotiroid. Mg: 8 mmol/L. bagaimana tatalaksana pada
kasus?
Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hipermagnesemia dapat berupa mengantuk hingga koma, menurunnya
reflex tendon, mual, muntah, dan hipotensi.
Penyebab dari hipermagnesemia seperti:
Intake obat-obatan mengandung Mg pada renal failure
Adrenal corticol insufficiency
Hipotiroid
Hipotermi
Tatalaksana:
Untuk terapi emergensi, diberikan Ca glukonas 10% 10 cc IV lambat oleh karena ion
Ca mengantagonis ion Mg.
Bila fungsi ginjal baik dapat diberikan furosemide
Hentikan obat-obatan yang berisi Mg
Bila terapi tidak respons, makala lakukan dialisa
Kasus 7: Hipopospatemia
Tn. AR, 40 thn, datang dengan keluhan kejang-kejang, kemudian pasien mengalami penurunan
kesadaran menjadi koma. Dari pemeriksaan laboratorium darah diketahui PLT: 100.000, dan
RBC: 3.000.000. P: 0,9 mmol/L. bagaimana tatalaksana pada kasus?
Pembahasan:
Nilai normal dari P adalah 2,5 – 4,5 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hipopospatemia adalah disorientasi, koma, kejang, gagal nafas,
gangguan fungsi platelet, dan turunnya RBC.
Penyebab dari hipopospatemia seperti:
Poor intake
Poor intestinal absorption
Akut alkalosis akibat obat-obatan insulin, adrenalin, dan pemberian KH
Tatalaksana:
Berikan potassium fosfat atau kalium fosfat sesuai dengan ketentuan dalam gambar
diatas.
Pemberian secara intravena direkomendasikan untuk pasien dengan hipopospatemia
yang gawat dan dengan gangguan sistemik seperti gangguan jantung.
Dosis maintenance dari PO4 harian adalah 1200 mg per oral atau 800mg IV.
Kasus 8: Hiperpospatemia
Ny. SS, 30 than, datang dengan keluhan gangguan tidur, mual, dan muntah. Pasien memiliki
penyakit gagal ginjal. Nilai P: 6 mmol/L. Bagaimana tatalaksana pada kasus?
Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hiperpospatemia adalah mual, muntah, sesak napas, kelelahan, dan
gangguan tidur.
Penyebab dari hiperpospatemia seperti:
Gagal ginjal
Acute acidosis
Hiperparatiroidism
Tatalaksana:
Meningkatkan ikatan PO4 di saluran pencernaan atas menurunkan serum PO4,
walaupun tanpa adanya asupan PO4 oral.
Sucralfat atau antasida yang mengandung aluminium bisa digunakan untuk tujuan
ini
Pada pasien dengan hipokalemi, tablet kalsium asestat dapat melepaskan serum
kalsium dimana dapat menurukan serum PO4. Setiap tablet kalsium asetat (667 mg)
mengandung 8.45 mEq kalsium elemental. Direkomendasikan 2 tablet setiap 3 kali
sehari.
Hiperpostapemia umumnya dikarenakan menurunnya eksreksi fosfat melalui ginjal
sehingga sulit untuk dikoreksi
Kasus 9: Hipokalsemia
Tn. AR, 40 thn, datang dengan keluhan kejang-kejang. Pasien juga mengalami kekakuan otot
dan tekanan darah rendah. Pasien memeliki riwayat hepatitis. Nilai Ca: 0,7 mmol/L.
Bagaimana tatalaksana pada kasus?
Pembahasan:
Nilai normal Ca adalah 1-1,25 mmol/L.
Manifestasi klinis dari hipokalsemia adalah aritmia, gagal jantung, hipotensi, tetani, spasme
otot, parestesi, dan kejang.
Penyebab dari hipokalsemia seperti:
Transfusi massif
Gangguan ginjal
Malabsorbsi
Penyakit liver
Pankreatitis
Luka bakar, dll
Tatalaksana:
Koreksi kalsium dengan menggunakan CaCl2 10% 3-4 cc atau Ca glukonas 10% 10 cc
IV pelan
Kasus 10: Hiperkalsemia
Ny. SS, 30 thn, datang dengan keluhan sulit BAB. Pasien juga mengaku mual, muntah, dan
menjadi kurang konsentrasi. Nilai Ca: 2 mmol/L. Bagaimana tatalaksana pada kasus?
Pembahasan:
Manifestasi klinis dari hiperkalsemia seperti aritmia, hipertensi, bradikardi, gangguan
konduksi, depresi mental, kejang, koma, mual, muntah, konstipasi, dll.
Penyebab dari hiperkalsemia seperti thyrotoxicosis, malignancy, Overdosis vitamin A, D
Tatalaksana:
NaCl 0,9% untuk perbaikan volume plasma agar perfusi dan renal blood flow cukup
200-500 mL/jam direkomendasikan untuk menambah volume karena natriuries
akan membuat calciuries.
Urin output 100-150 mL/jam
Namun, penggunaan infus ini tidak secara tepat dapat mengkoreksi hiperkalsemia
di >70% kasus.
Berikan furosemide untuk meningkatkan ekskresi kalsium. Dosis yang dianjurkan
adalah 40-80 mg setiap 2 jam secara intravena. Namun, furosemide dapat menyebabkan
hipovolemi sehingga lebih baik digunakan pada kasus overload cairan.
Cuci darah efektif digunakan pada pasien dengan gagal ginjal.
Obat lain seperti kalsitonin, glukokortikoid, bifosfat dapat diberikan sesuai dengan
dosis berikut.
BAB III
KESIMPULAN
Elektrolit merupakan substansi berupa ion dalam larutan yang dapat mengkonduksi
muatan listrik di dalam tubuh. Keseimbangan elektrolit dalam tubuh sangat esensial untuk
menjalankan fungsi normal dari sel dan organ tubuh. Elektrolit yang umumnya diperiksa oleh
dokter dengan tes darah meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan klorida.
Elektrolit serum meliputi: natrium, kalium, kalsium, magnesium, klorida, dan fosfat.
Natrium merupakan kation utama di kompartemen ekstraseluler dan penting dalam
menentukan osmolalitas ekstrasel dan intrasel. Kalium merupakan kation terbanyak di
kompartemen intraseluler dan berperan penting dalam potensial membran sel. Kalsium
merupakan komponen yang memediasi kontraksi otot, sekresi eksokrin, endokrin, dan
neurokrin, pertumbuhan sel, dan transport cairan dan elektrolit. Magnesium penting untuk
berbagai reaksi enzimatik yaitu sintesis protein dan DNA, utilisasi glukosa, serta sintesis dan
pemecahan asam lemak. Fosfat merupakan anion utama di cairan intrasel dan berperan dalam
glikolisis dan produksi ATP.Klorida merupakan anion utama di cairan ekstrasel. Penurunan
klor menghambat ekskresi HCO3- sehingga menyebabkan alkalosis hipokloremia.
Terapi dari gangguan elektrolit tergantung dari penyakit yang mendasarinya serta jenis
elektrolit yang terlibat. Jika gangguan ini disebabkan oleh kurangnya konsumsi atau intake
cairan yang tidak tepat, perubahan nutrisional dapat dianjurkan. Jika pengobatan seperti
diuretik mencetuskan gangguan elektrolit ini, maka penghentian atau pengaturan terapi obat
dapat memperbaiki kondisi tersebut secara efektif. Terapi penggantian cairan atau elektrolit,
baik melalui oral alatu intravena, dapat mengembalikan penurunan elektrolit menjadi normal.
DAFTAR PUSTAKA
Elsevier-mosby; 2013.p3-227
16. Pandey CK, Singh RB. Fluid and electrolyte disorders. Indian J.Anaesh. 2014;
47(5):380-387.
17. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Handbook of clinical anesthesia. 5th