You are on page 1of 29

A.

LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : An. F
Umur : 5 tahun
No. RM : 034585
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Alamat : Arahan Lor
Tanggal MRS : 28 Agustus 2018

2. Anamnesis
Keluhan utama : Kedua tungkai tidak bisa digerakan
Anamnesis terpimpin :
Keluhan ini dialami sejak ± 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Kelemahan
dirasakan secara tiba-tiba dan berangsur-angsur mulai dari ujung jari-jari
kaki lalu menjalar ke tungkai dan lengan, sehingga membuat pasien sulit
berjalan maupun duduk. Keadaan tidak bertambah berat maupun
berkurang dengan istirahat. ±3 hari terakhir, kedua tangan pasien juga
mulai berat jika digerakkan. Seminggu sebelumnya orang tua pasien
mengaku bahwa anaknya demam yang dialami selama 3 hari, sudah
berobat ke puskesmas dan sudah membaik. Mual dan muntah (-). Makan
dan minum pasien baik, BAK lancar dan normal, BAB (-) sudah 4 hari.
Sebelumnya pasien dibawa ke RS. MM dengan keluhan yang sama,
namun setelah itu pasien di rujuk ke RSUD Indramayu.

Riwayat penyakit dahulu:


- Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.
- Riwayat ISPA (+) saat 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
- Riwayat trauma tidak pernah.

Riwayat pengobatan:
- Pasien pernah menggonsumsi obat Paracetamol
Riwayat penyakit keluarga:
Saudara laki-laki pernah menderita lumpuh layu.

0
3. Pemeriksaan Fisis
a. Pemeriksaan umum
 Kesan : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Gizi : kesan cukup

Tanda vital
 Nadi : 110x/m, reguler  Pernapasan : 20x/m
 Suhu : 37ºC  BB : 17 kg

Kepala : bentuk normosefal, deformitas (-), rambut


berwarna hitam, tidak mudah dicabut
 Mata : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
 Hidung : perdarahan (-), sekret (-)
 Telinga : tophi (-), nyeri tekan processus mastoideus (-),
sekret (-)
 Mulut : sianosis (-), kandidiasis (-), bibir simetris
Leher : pembesaran KGB (-), struma (-)
Thoraks
 Paru-paru : Inspeksi : pergerakan dada simetris, jejas (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), massa (-)
Perkusi : Sonor
Auskultasi : bunyi napas dasar vesikuler,
ronki -/-, wheezing -/-
 Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V
midclavicula sinistra
Perkusi : Redup
Auskultasi : BJ I, II murni, reguler. murmur
(-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Auskultasi : bising usus (+) 6x/menit

1
 Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
 Perkusi : Timpani
Alat kelamin : Tidak diperiksa
Ekstremitas : Atrofi (-), oedem (-)
Kulit : Akral hangat, intak

b. Status neurologis
 Kesadaran : GCS E4M6V5
 Saraf kranial :
 N. I (olfaktorius) : Normosmia
 N. II (optikus) : OD OS
Ketajaman penglihatan : > 2/60 > 2/60
(posisi berbaring)
Lapangan penglihatan : Tidak dapat Tidak dapat
dievaluasi dievaluasi
Funduskopi : tidak dilakukan tidak dilakukan
 N. III (okulomotorius), N. IV (troklearis), N. VI (abducens)
OD OS
Celah kelopak mata : Normal normal
Ptosis : - -
Eksoftalmus / endoftalmus : - -
Ptosis bola mata : - -
Pupil :
Ukuran / bentuk : 3 mm / bulat 3 mm / bulat
Isokor / anisokor : Isokor isokor
Refleks cahaya langsung : +/+ +/+
/ tidak langsung
Refleks akomodasi : + +
Gerakan bola mata :

2
Parese ke arah : - -
Nistagmus : - -
 N. V (trigeminal)
Sensibilitas : N. V1 : Normal
N. V2 : Normal
N. V3 : Normal
Motorik N. V3 : Inspeksi/ palpasi (istirahat / : normal
menggigit)
Refleks dagu / masseter : -
Refleks kornea : +/+
 N. VII (fasialis)
Motorik M. frontalis M. orbik okuli M. orbik oris
Istirahat : simetris simetris simetris
Gerak mimik : simetris simetris simetris

Sensorik khusus
Pengecapan 2/3 lidah bagian depan : +
 N. VIII (vestibulokoklearis)
Pendengaran : kesan normal
Tes Rinne : +/+
Tes Weber : tidak ada lateralisasi
Tes Swabach : sama dengan pemeriksa / sama dengan pemeriksa
Fungsi vestibuler : Tidak dilakukan
 N. IX (glosofaringeus), N. X (vagus)
Posisi arkus faring (istirahat / AAH) : simetris
Refleks telan / muntah : +
Pengecapan 1/3 belakang : normal
Suara : normal

3
Takikardi / bradikardi : -/-
 N. IX (asesorius)
Memalingkan kepala dengan / tanpa : Sulit dievaluasi
tahanan
Angkat bahu : Sulit dievaluasi
 N. XII (hipoglosus)
Deviasi lidah : - Tremor : -
Fasikulasi : - Ataksia : -
Atrofi : -

 Tanda rangsang meningeal (TRM)


 Kaku kuduk : +  Brudzinzki I : TDP
 Kernig sign : TDP  Brudzinzki II : TDP

 Motorik
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Trofi otot : eutrofi eutrofi eutrofi eutrofi
Pergerakan : terbatas terbatas terbatas terbatas
Kekuatan : 1/0/0 1/0/0 0/0/0 0/0/0
Tonus otot : hipotoni hipotoni hipotoni hipotoni
Otot terganggu : - - - -
Refleks fisiologis
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Biceps : + + KPR : + +
Triceps : + + APR : + +
Brachioradialis : + +

Klonus
Kanan Kiri Kanan Kiri
Lutut : - - Kaki : - -

Refleks patologis
Kanan Kiri Kanan Kiri
Hoffmann- : - - Babinski : - -
Trommer
Chaddock : - -
Gordon : - -

4
Schaefer : - -
Oppenheim : - -
Pergerakan abnormal yang spontan : -
 Sensorik :
Eksteroseptif Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Nyeri : normal normal Hipostesa R. pedis-umbilikus
menurun
Suhu : TDP TDP TDP
Raba halus : normal normal Hipotigma R. pedis-
umbilikus

Proprioseptif Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Rasa sikap : normal normal - -
Nyeri dalam : normal normal - -

Fungsi kortikal Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Diskriminasi : dapat mem- dapat mem- Tidak dapat Dtidak apat
bedakan 2 bedakan 2 mem-bedakan mem-bedakan
titik titik 2 titik 2 titik
Stereognosis : Dapat Dapat Tidak Tidak
mengenali mengenali mengenali mengenali
benda benda benda benda

 Gangguan koordinasi dan keseimbangan :


Kanan Kiri
Tes jari hidung : Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
Tes tumit : Sulit dievaluasi
Tes Romberg : Sulit dievaluasi
Tes pronasi-supinasi : Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
Tes pegang jari : Sulit dievaluasi Sulit dievaluasi
 Gait : tidak diperiksa
 Otonom : BAK lancar dan normal, BAB (-) sudah 4 hari.

4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Darah rutin (20-07-2015) Darah kimia (19-07-2015) Parasitologi

5

RBC = 3,70 juta sel/mm3 
ALT/SGPT = 48,9 U/L Malaria : (+)

HCT = 30,1 % 
Creatinine = 0,28 mg/dl vivax st.Ring

PLT = 641.000/mm3 
Albumin = 3,8 mg/dl

WBC = 28.000sel/mm3 
GDS = 114 mg/dl
 
NEU = 24,31 LDL = 128 mg/dl

LIC = 4,1 % (24-07-15)

Natrium = 132 mmol/L

Kalium = 3,9 mmol/L

Chloride = 98 mmol/L
Hasil :
- Darah rutin
NRBCs, Trombositosis, Agregasi trombosit, Large immature cells,
Leukositosis, Neutrofilia, anemia normositik normokrom
- Darah kimia
ALT/GPT meningkat, creatinin menurun, yang lain dalam batas
normal.
b. Pemeriksaan radiologi
Foto Thoracal AP / lateral (24-07-2015)

 Bacaan:
Alignment columna vertebra thoracal baik, tidak tampak listhesis
Tidak tampak fraktur maupun destruksi tulang
Mineralisasi tulang baik
Discus intervertebralis dan foramen intervertebralis baik
Jaringan lunak di sekitarnya baik
 Kesan: Tidak tampak kelainan radiologis pada foto ini

Foto Cervikalis AP/ lateral dan oblik (24-07-2015)

6
 Bacaan
Alignment columna vertebra cervical baik, tidak tampak listhesis
Tidak tampak fraktur maupun destruksi tulang
Mineralisasi tulang baik
Discus intervertebralis dan foramen intervertebralis baik
Jaringan lunak di sekitarnya baik
 Kesan: Tidak tampak kelainan radiologis pada foto ini

5. Resume
Pasien perempuan umur 12 tahun, masuk RS dengan keluhan
keempat anggota gerak tidak dapat digerakkan sejak ± 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Kelemahan dirasakan secara tiba-tiba dan berangsur-
angsur mulai dari ujung jari-jari kaki lalu menjalar ke tungkai dan lengan,
sehingga membuat pasien sulit berjalan. Keadaan tidak bertambah berat
maupun berkurang dengan istirahat. Pasien juga mengeluh kurangnya rasa
pada kedua tungkai sampai ke daerah pusar dan menjalar ke tulang
belakang. Demam dialami sejak 1 hari SMRS. Mual dan muntah (-).
Makan dan minum pasien baik, BAK lancar dan normal, BAB (-) sudah 4
hari. Sebelumnya pasien dirawat di RS. Baktirahayu selama 3 hari dengan
keluhan nyeri ulu hati, kemudian tiba-tiba pasien tidak dapat
menggerakkan keempat anggota geraknya, sehingga pasien di rujuk ke
RSUD. dr. M Haulussy. Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti
ini sebelumnya. Riwayat ISPA (+) saat 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit. Riwayat trauma tidak pernah dialami. Saudara laki-laki pernah

7
menderita lumpuh layu Pasien pernah menggonsumsi obat Maag,
Paracetamol dan Vitamin saat dirawat di rumah sakit sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak sakit berat,
kesadaran compos mentis, gizi cukup, hipertermi, pemeriksaan fisik
kepala sampai kaki dalam batas normal. Dari pemeriksaan neurologis
didapatkan pergerakan terbatas, kekuatan motorik ekstremitas superior
dextra/ sinistra dan inferior dextra/ sinistra 2/2/1/1, dan hipotoni; refleks
fisiologis pada keempat ekstremitas menurun (+); pemeriksaan sensorik
eksteroseptif (nyeri dan raba) menurun pada kedua ekstremitas inferior,
pemeriksaan sensorik fungsi kortikal untuk diskriminasi dua titik kedua
ekstremitas inferior abnormal (tidak dapat membedakan dua titik) dan
stereognosis kedua extremitas inferior tidak mengenali benda.
Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah didapatkan
leukositosis, trombositosis, agregasi trombosit, peningkatan ALT dan
creatinin menurun; pemeriksaan radiologi foto Rontgen thoraks AP/ lateral
dan cervikalis normal.

6. Diagnosis
 Klinis : Kelemahan keempat anggota gerak tubuh, demam
 Topis : Mielin dan Axon dari susunan saraf tepi
 Etiologi : Post infeksi ISPA
 Patologi :-
 Tambahan :-
 Kesimpulan : Suspek Gullain Barre Syndrome

7. Diagnosis banding
Miastenia Gravis
Meningitis

8. Penatalaksanaan
 Diet biasa
 IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
 Paracetamol drip 500mg/8 jam
 Metilprednisolon 3 x 125 mg/hari/IV tap off/ 2hari
 Norages 3x1 ampul
 Ceftriaxone 2x1 gr/IV
 Kalmeco 3x1 amp
 Ranitidin 2x1 ampul/hari/IV
9. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad malam

8
 Ad functionam : dubia ad malam

10. Follow-up
Tanggal/jam HASIL PEMERIKSAAN, ANALISA DAN TINDAK LANJUT
CATATAN PERKEMBANGAN
S (subjective) O (objective) A P (planning)
(Assesment)
20/07/2015 S: kram dan lemah keempat  Tirah baring
ekstremitas, nyeri tulang belakang,  Diet biasa
BAB (-) sudah 4 hari, perut  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
kembung.  Ceftriaxone 2x1 gr/hr/IV
O: kekuatan otot=  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
2 2  Metilprednisolon 3x125 mg/ IV
1 1  Paracetamol drip 500 mg/8 jam
TD: 120/70 mmHg
N: 100 x/menit
P: 24 x/menit
S: 39,8ºC
Auskultasi paru= BND vesikuler +/+,
Rh -/-, Wh -/-
A: Tetraparese LMN
21/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Tirah baring
pada leher dan tulang belakang, BAB  Diet biasa
(-) 5 hari, perut kembung, demam  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
(+).  Ceftriaxone 2x1 g/IV
O: kekuatan otot=  Novages 3x1 amp/IV
2 2  Paracetamol drip 500 mg/8 jam
1 1  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
TD: 100/60 mmHg  Metilprednisolon 3x125 mg/ IV
N: 72 x/menit
P: 22 x/menit
S: 39,1ºC
Auskultasi paru= BND vesikuler +/+,
Rh -/-, Wh -/-
A: Tetraparese LMN
22/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Diet biasa
pada leher dan tulang belakang, BAB  IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
(-) 6 hari, perut kembung, demam(+).  Ceftriaxone 2x1 g/IV
O: kekuatan otot=  Norages 3x1 amp/IV
2 2  Paracetamol drip 500 mg/8 jam
1 1  Kalmeco 3x1 amp/IV
TD: 120/80 mmHg  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
N: 72 x/menit  Metilprednisolon 2x125 mg/ IV
P: 24 x/menit  Dulcolax supp
S: 39,6ºC

9
A: Tetraparese LMN

23/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Diet biasa


pada leher dan tulang belakang,  IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
demam (+).  Ceftriaxone 2x1 g/IV
O: abdomen kembung (+), NT (+),  Norages 3x1 amp/IV
lingkar perut 65 cm,  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
kekuatan otot=  Metilprednisolon 2x125 mg/ IV
2 2  Drip PCT 2x0,5 gr, kalau >40o C
1 1
TD: 120/80 mmHg
N: 88 x/menit
P: 22 x/menit
S: 38,8ºC
A: Tetraparese LMN, suspek GBS
24/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Diet biasa
pada leher dan tulang belakang,  IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
kembung, demam (+).  Ceftriaxone 2x1 g/IV
O: abdomen kembung (+), NT (+),  Norages 3x1 amp/IV
lingkar perut 60 cm, kekuatan otot=  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
2 2  Metilprednisolon 1x125 mg/ IV
1 1
TD: 120/80 mmHg
N: 75 x/menit
P: 22 x/menit
S: 38,6ºC
A: Tetraparese LMN, suspek GBS
25/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Diet biasa
pada leher dan tulang belakang,  IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
demam (+).  Ceftriaxone 2x1 g/IV
O: kekuatan otot=  Norages 3x1 amp/IV
2 2  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
1 1  Metilprednisolon 1x125 mg/ IV
TD: 120/80 mmHg
N: 88 x/menit
P: 22 x/menit
S: 38,6ºC
A: Tetraparese LMN, suspek GBS
26/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Diet biasa
pada leher dan tulang belakang, sesak  O2 5 L
napas, demam (+).  IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
O: kekuatan otot=  Ceftriaxone 2x1 g/IV
2 2  Norages 3x1 amp/IV
1 1  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
TD: 120/80 mmHg  Metilprednisolon 1x125 mg/ IV
N: 90 x/menit

10
P: 28 x/menit
S: 39,6ºC
A: Tetraparese LMN, suspek GBS
27/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Diet biasa
pada leher dan tulang belakang, sesak  O2 5 L
napas, demam (+).  IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
O: kekuatan otot=  Ceftriaxone 2x1 g/IV
2 2  Norages 3x1 amp/IV
1 1  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
TD: 120/80 mmHg  Metilprednisolon 1x125 mg/ IV
N: 80 x/menit  Paracetamol drip 500 mg/8 jam
P: 20 x/menit
S: 40ºC
A: Tetraparese LMN, suspek GBS
28/07/2015 S: lemah keempat ekstremitas, sakit  Diet biasa
pada leher dan tulang belakang, sesak  O2 10 L
napas, demam (+), batuk berlendir.  IVFD NaCl 0,9% 16 tpm
O: kekuatan otot=  Ceftriaxone 2x1 g/IV
2 2  Norages 3x1 amp/IV
1 1  Ranitidin 2x1 ampul/hr/IV
TD: 120/80 mmHg  Metilprednisolon 1x125 mg/ IV
N: 80 x/menit  Paracetamol drip 500 mg/8 jam
P: 22 x/menit  Ambroxol 3x30 mg tab
S: 39,1ºC  Pasien meninggal pada pukul
10.00 WIT
Pergerakan bola mata tidak dapat
digerakan, Refleks kornea (-), sesak
napas, lender.
TD: 160/100 mmHg
N: 112 x/m
P: 42 x/m
S: 39,1
A: Tetraparese LMN, suspek GBS

11
B. PEMBAHASAN

C. PENDAHULUAN
Sindroma Guillain Barre yang disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post Infections Polyneuritis
yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan akut dan difus dari sistem saraf yang
mengenai radiks spinalis, saraf perifer, dan kadang-kadang saraf kranialis setelah
suatu infeksi. Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi
akhir-akhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori
yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologis baik secara primary
immune response maupun immune mediated process. Infeksi saluran pernafasan
dan gastrointestinal sering mendahului gejala neuropathy dalam 1 sampai 3
minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira 60% penderita dengan
Sindroma Gullain Barre. 1,2,3
SGB menyebabkan peningkatan frekuensi dari akut flaccid paralisis di
seluruh dunia dan mendasari satu dari keadaan darurat yang serius pada bidang
neurologi, 20% pasien berkembang menjadi kelumpuhan yang berat dan kira-kira
5% meninggal. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya
karena terjadi pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat
menimbulkan kematian, meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang
baik. SGB perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan
cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna.1,2,3
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai kasus sindroma Gullain Barre
pada usia muda.

Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah inflamasi demielinisasi
polineuropati akut (AIDP) dengan karakterisitik gejala perifer akut dan disfungsi
saraf kranial dan sering dipicu oleh proses infeksi akut, infeksi akut ini
menyebabkan sistem kekebalan tubuh manusia menyerang bagian dari susunan
saraf tepi dirinya sendiri dan menyebabkan kerusakan pada saraf-saraf tersebut.2

12
Etiologi 3,4
Tidak ada etiologi yang akurat dan belum secara lengkap dapat
dimengerti namun sejumlah besar penelitian mengindikasikan bahwa
penyebabnya adalah inflamasi autoimun neuropati perifer, yang dipicu oleh
berbagai faktor termasuk infeksi bakteri ataupun virus, dan vaksinasi.
Agen spesifiknya tidak diketahui, terlihat pada infeksi citomegelovirus,
Epstein-Barr virus, dan HIV atau infeksi bakteri seperti mycoplasma pneumoni
dan lyme disease. Campylobacter Jejuni mungkin adalah bakteri yang paling
banyak dihubungkan dengan SGB.
Meskipun tidak terdapat bukti sensitisasi antigen virus maupun bakteri
pada manusia dengan SGB spontan, aktivitas penyakit ini terlihat berkorelasi
dengan adanya antibodi serum pada myelin saraf perifer sehingga menyebabkan
terjadinya peradangan dan kerusakan mielin.

Patofisiologi
Patologi klasik pada acute inflammatory demyelinating polyneuropathy
adalah infiltasi sel-sel inflamasi (terutama sel T dan makrofag) dan area segmental
sarafnya mengalami proses demielinisasi, sering juga dihubungkan dengan tanda
degenerasi akson sekunder yang mana dapat dideteksi pada akar spinal sama
halnya pada saraf sensorik-motorik kecil maupun besar. T sel yang teraktivasi di
perifer, mengindikasikan terjadinya perubahan ekspresi antigen, major
histocompatibility complex (MHC) kelas II dan ko-stimulatori faktor, berbagai
sitokin proinflamasi seperti interferon gama (IFN) dan tumor necrosis faktor alpha
(TNF α) dan reseptor sitokin. Ini akan mengawali aktivasi daripada komplemen,
yang mengikat ikatan antibodi pada permukaan sel schwaan dan memulai
terjadinya vesikulasi dari myelin. Invasi makrofag diamati terjadi pada waktu 1
minggu sesudah kerusakkan myelin terjadi. 1,2,8
Pada neuropati aksonal motorik akut, IgG dan aktivasi komplemen
berikatan dengan aksolema pada serat motorik dari nodus ranvier, diikuti oleh
pembentukkan kompleks membrane-attack. Selanjutnya diikuti dengan degenerasi

13
akson dari serat motorik tanpa adanya inflamasi limfosit maupun demielinisasi.
1,2,8

Gambar 1. Kemungkinan patofisiologi dari Sindrom Guillain Barre1

14
Gambar 2. Patogenesis Guillain Barre Syndrome 13

15
Klasifikasi Subtipe 12
a. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP)
Mediasi oleh antibody, dipicu oleh infeksi virus atau bakteri sebelumnya,
gambaran elektrofisiologi berupa demielinisasi, remielinisasi muncul
setelah reaksi imun berakhir, merupakan tipe SGB yang sering dijumpai di
Eropa dan Amerika.
b. Acute motor axonal neuropathy (AMAN)
Bentuk murni dari neuropathy axonal, 67% pasien seropositif untuk
Campylobacteriosis, elektrofisiologi menunjukkan absen/ turunnya saraf
motorik dan saraf sensorik, penyembuhan lebih cepat, sering terjadi pada
anak, merupakan tipe SGB yang sering di Cina dan Jepang.
c. Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN)
Degenerasi myelin dari serabut saraf motorik dan sensorik, mirip dengan
AMAN hanya tipe ini juga mempengaruhi sensorik, seringkali terdapat
pada dewasa.
d. Miller Fisher Syndrome
Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia, areflexia
dan oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan proprioseptif, resolusi dalam
waktu 1-3 bulan.
e. Acute panautonomic neuropathy
Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi system simpatis dan
parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi, takikardi, hipertensi,
disaritmia), gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, kekeringan
pada mata dan anhidrosis, penyembuhan bertahap dan tidak sempurna,
sering dijumpai juga gangguan sensorik.

Manifestasi Klinis
SGB merupakan penyebab paralisis akut yang dimulai dengan rasa baal,
parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke-empat
ekstremitas yang bersifat asendens.3,4,5,7,9 Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.
Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.

16
Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif ke ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf
motoris ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai pada yang menimbulkan
quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50 % kasus, biasanya
berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernapasan dapat timbul secara signifikan
dan bahkan 20 % pasien memerlukan bantuan ventilator dalam bernafas.3,7
Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan
dengan kelemahan pada otot. Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai
kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak-anak. Kelainan saraf otonom
tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat
menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest,
facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat.3,5,7
Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa
disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral
facial palsy. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai SGB adalah
kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan
menelan dan bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan
penglihatan kabur (blurred visions).3,5,7,9
Skala disabilitas syndrome Guillain Barre menurut Hughes:12
0 : Sehat
1 : Gejala minor dari neuropati, namun dapat melakukan pekerjaan
manual
2 : Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan
pekerjaan manual
3 : Dapat berjalan dengan bantuan tongkat atau alat penunjang
4 : Kegiatan terbatas di tempat tidur/ kursi (bed/ chair bound)
5 : Membutuhkan bantuan ventilasi
6 Kematian

Diagnosis

17
Diagnosis dari SGB biasanya ditegakkan berdasarkan klinisnya. Gejala
klinis utama dari SGB adalah kelemahan bilateral yang progresif dan relatif
simetris dari anggota tubuh dengan atau tanpa keterlibatan dari otot respirasi atau
otot yang diinervasi saraf kranial.3,4,6,8
Diagnosis SGB sering secara langsung, terutama ketika kelemahan
didahului dengan infeksi antara 1-3 minggu, dari onset. Pada beberapa pasien
bagaimanpun, diagnosis dapat menjadi lebih sulit terutama ketika nyeri muncul
sebelum gejala kelemahan atau ketika kelemahan pada awalnya hanya muncul
pada kaki.3,4,6,7,8
Dari anamnesis dapat ditanyakan, ada atau tidaknya infeksi virus yang
mengawali 2-4 minggu sebelum muncul gejala, menanyakan ada atau tidaknya
retensi urin, untuk anak biasanya nyeri 50% sehingga membuat anak menjadi
rewel. Untuk pemeriksaan fisik pada Guillain Barre Syndrome didapatkan antara
lain: 3
a. Akut, simetris, dan kelemahan biasanya asendens dari anggota tubuh
b. Arefleksia atau hiporefleksia dan kelemahan otot, menurunnya posisi dan
sensasi getar
c. Paralisis otot pernapasan 30% jika tanpa terapi
d. Keterlibatan saraf kranial <50%, biasanya kelemahan wajah, 10-20%
ophthalmoparesis
e. Disautonomia (50%): tekanan darah yang labil, aritmia, ileus, retensi urin,
dapat terjadi quadriparesis yang berat hingga paralisis otot pernafasan.
f. Ataksia (23%).

Pemeriksaan laboratorium yang dapat menyokong diagnosis Sindroma


Guillain Barre adalah adanya disosiasi sito albuminemik yaitu adanya kenaikkan
jumlah protein didalam cairan serebrospinal tanpa adanya kenaikkan jumlah sel
yang melebihi 10 sel mononuclear per mm3, ini didapatkan pada 80 sampai 90%
dari pasien dengan SGB pada minggu pertama sesudah onset dari gejala.
Pemeriksaan darah tepi antara lain hemoglobin, leukosit dan laju endap darah
biasanya normal, kecuali ada infeksi pada paru-paru dan saluran kencing.3,4,6,7,8,9

18
Untuk pemeriksaan MRI, sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah
timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras
gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah
lumbosakral terutama di kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB
adalah 83%.3,6,7,8,9
Untuk follow-up dan pemeriksaan spesifik dari pasien SGB yang dapat
dipertimbangkan: 3,4
a. Tes spesifik. Titer serum anti-GM1 antibodi pada axonal yang berbeda.
30% pasien mempunyai peningkatan antibody anti-GM1.
b. Anti GQ1b pada ophthalmoplagia dari SGB (jenis Miller-Fisher)
c. Kelainan yang mungkin di dapatkan pada hasil laboratorium: demielinisasi
neuropati DM mungkin mempunyai hasil pemeriksaan CSF yang sama
dengan SGB, tetapi bagaimanapun SGB biasanya mempunyai protein CSF
tinggi ( > 0,4 g/dL).
d. Protein normal pada 50% pasien pada minggu pertama penyakit.
Kriteria diagnosis umum yang dipakai adalah kriteria dari National Institute
of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS) yaitu:3
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.

19
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setelah gejala 1 minggu.
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:

Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala

Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
 Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.
Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal

Pada pasien ini didapatkan adanya riwayat ISPA 1 bulan SMRS, dan
setelah itu muncul manifestasi klinis yang terjadi berupa kelemahan anggota
tubuh simetris, yaitu keempat anggota gerak, dan penjalarannya mulai dari distal
ke proksimal. Pasien sebelumnya merasakan kelemahan hanya pada anggota
gerak bawah, yang kemudian menjalar sampai ke anggota gerak atas. Keluhan ini
dirasakan secara tiba-tiba saat pasien pulang dari sekolah. Adanya nyeri dan kram
yang dirasakan pasien pada bagian leher, tulang belakang dan keempat
ekstremitas. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan hiporefleksia, paralisis otot
pernapasan, kelumpuhan saraf kranial beberapa saat sebelum meninggal, seperti
parese bola mata ke arah lateral, refleks cahaya langsung dan tidak langsung
negatif dan refleks kornea negatif. Rangsangan meningeal didapatkan kaku kuduk
(+) yang menandakan adanya infeksi pada meninges.
Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini menunjukan peningkatan
leukosit yang menandakan adanya suatu infeksi. Namun pada pasien ini kadar
albumin dalam darah hasilnya dalam batas normal yaitu 3,8 mg/dl. Menurut teori,
pasien dengan SGB dapat terjadi disosiasi sito albuminemik yaitu adanya
kenaikkan jumlah protein didalam cairan serebrospinal tanpa adanya kenaikkan
jumlah sel yang melebihi 10 sel mononuclear per mm3, ini didapatkan pada 80
sampai 90% dari pasien dengan SGB pada minggu pertama sesudah onset dari
gejala. Sehingga bisa saja kadar albumin normal, karena diperiksa dalam darah

20
bukan di CSS dan dilakukan pemeriksaan pada hari yang sama saat munculnya
onset bukan pada saat 1 minggu setelah onset berlangsung.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan radiologi, yaitu foto thoracal AP/
lateral dan cervikalis AP/ lateral dan oblik, untuk menyingkirkan ada atau
tidaknya kelainan pada vertebra. Namun hasilnya tidak ditemukan adanya
kelainan neurologis. sehingga kecurigaan akan adanya gangguan pada vertebra
dapat disingkirkan dan kelemahan yang terjadi bukan diakibatkan oleh lesi atau
gangguan pada vertebra pasien.

Diferensial Diagnosis 2,7


Diferensial diagnosis dari Sindrome Guillain Barre
1. Neuropati perifer
 Neuropati vasculitis
 Neuropati difterik
 Acute intermittent porphyria
 Critical illness neurophaty
 Lymphomatous neurophaty
 Heavy metal intoxication
 Post-rabies vaccine neurophaty
 Diabetic-uremic neuropathy with acute peritoneal dialysis
2. Gangguan neuromuscular jungtion
 Myasthenia gravis
 Eaton-lambert syndrome
 Biological or industrial toxin poisoning
3. Disorder of muscle
 Inflammatory myopathy
 Toxic myopathy/ acute rhabdomyolysis
 Periodic paralysis
 Hypokalemia
 Hypophoshatemia

21
 Infeksi
4. Gangguan system saraf pusat
 Brainstern stroke
 Brainstern encephalitis
 Acute myelopathy (high cervical)
 Acute anterior poliomyelitis

Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Pasien dengan SGB terutama membutuhkan perhatian yang
multidisiplin untuk mencegah dan menangani potensi komplikasi yang fatal.
Pasien membutuhkan kehati-hatian dan monitoring teratur dari fungsi paru
(kapasitas vital dan frekuensi respirasi) dan kemungkinan disfungsi autonom
(frekuensi denyut jantung dan tekanan darah) serta infeksi membutuhkan
pencegahan. Pasien dengan gejala yang berat juga membutuhkan ketepatan
waktu untuk memindahkan pasien ke Intensive Care Unit (ICU). 2,4,5,10
Kegagalan sistem pernapasan hingga membutuhkan ventilasi mekanik
terjadi pada 20 hingga 30 pasien SGB. Seorang neurologi harus memonitor
tanda klinis dari kegagalan pernapasan seperti takipnea, penggunaan otot-otot
aksesoris untuk pernapasan, asinkronya gerakan dari dada dan perut serta
takikardi. Pada pasien dengan nyeri membutuhkan oral atau parenteral
analgesik ataupun dengan morphin intravena (1-7 mg/ jam). Gabapentin
(15mg/kg/ hari) dilaporkan efektif menurunkan nyeri pada pasien dengan
SGB. Terapi tambahan lainnya (mexiletine, tramadol, tricyclic antidepresan)
mungkin membantu pada jangka panjang dan jangka pendek dalam
menangani nyeri neuropati. Asetaminofen atau NSAID dapat juga dicoba
pada terapi lini pertama tetapi sering kali tidak efektif.2,3,4,7,10
2. Terapi khusus
Sekarang dua pilihan terapi yang tersedia termasuk plasmaparesis dan
intravenous immunoglobulin.
a. Plasmaparesis

22
Bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Penggunaan plasmaferesis sebagai terapi pada SGB pertama kali
dilaporkan pada tahun 1978 yang kemudian mengarah kepada enam uji
klinis acak yang membandingkan antara plasmaferesis dengan terapi
suportif. Hasil yang didapat adalah terapi dengan plasmaferesis terbukti
efektif, sehingga pada tahun 1986 terapi plasmaferesis direkomendasikan
pada kasus SGB berat. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250
ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Bahan pengganti
plasma yang digunakan adalah albumin atau Fresh Frozen Plasma (FFP).
Pada proses plasmaferesis, plasma dipisahkan dalam mesin dialysis dan
kemudian diganti dengan albumin atau FFP, dengan demikian antigen
asing dalam plasma pasien dapat dibuang. 1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12
Pada plasmaferesis efek samping yang sering ditemui adalah hipotensi,
pneumonia, thrombosis, sepsis, dan gangguan hemodinamik. 12
b. Intravenous immunoglobulin (IVIg)
IVIg efektif sebagai pengganti plasma untuk terapi SGB. Pasien dengan
bentukkan klinis yang lebih berat, mungkin diuntungkan dengan
penggunaan IVIg karena durasinya yang lama pada tubuh dan juga karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg diduga
dapatmenetralisasi antibody myelin yang beredar dengan berperan sebagai
antibody anti-idiotipik, menurunkan sitokin proinflammatory dan
menghadang kaskade komplemen serta mempercepat proses mielinisasi.
Dosis maintenance 0.4- 0,5 gr/kg BB/hari selama 4-5 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
Bila dibandingkan dengan plasmaferesis, IVIg memiliki beberapa
kelebihan yaitu sediaan lebih muda didapat dan pemberiannya tidak
memerlukan alat khusus.1,2,3,4,5,7,8,9,10,11,12

Tabel 3. Penanganan SGB selama penyakit berlangsung7

Diagnosis:

23
 Diagnosis SGB didasarkan terutama dari temuan klinis dan CSS
 Investigasi laboratorium termasuk darah dan EMG
Berikan perawatan yang terbaik:
 Monitoring progesnya, pencegahan serta penanganan komplikasi yang fatal, terutama:
 Monitor secara teratur fungsi paru (kapasitas vital, frekuensi respirasi),
diawali setiap 2 – 4 jam, pada fase stabil setiap 6 – 12 jam
 Cek disfungsi autonom (tekanan darah, pacu jantung, pupil dan ileus)
 Cek disfungsi menelan
 Pengenalan dan terapi nyeri (guideline WHO). Coba untuk hindari opioid
 Pencegahan (dan terapi) infeksi dan emboli paru
 Pencegahan dekubitus dan kontraktur
Pertimbangkan terapi spesifik dengan IVIG dan PE:
 Indikasi untuk memulai IVIg atau PE
 Pasien yang berat (pasien tidak mampu berjalan tanpa bantuan = ketidakmampuan
SGB skala 3
 Mulainya terapi lebih baik dalam 2 minggu pertama sesudah munculnya gejala
 IVIg: 0,4 g/kg untuk 5 hari, (tidak diketahui apakah 1,0 g/kg untuk 2 hari adalah
unggul)
 PE: standar 5 x PE dengan total penggantian dari 5 volume plasma
 Tidak diketahui apakah IVIg efektif pada pasien SGB sedang (skala 2) atau pasien
MSF
 Indikasi untuk terapi ulangan dengan IVIg: perburukan sekunder sesudah awalnya
membaik atau stabil (terapi mengalami fluktuasi): diterapi dengan 0,4 g/kg untuk 5
hari
 Tidak ada bukti efek dari terapi ulangan dengan IVIg pada pasien yang berlanjut
menjadi buruk.
Adakah indikasi untuk masuk ICU:
 Kelemahan berat yang progresnya cepat sering dengan kegagalan respirasi (kapasitas
vital < 20 ml/kg)
 Membutuhkan ventilasi buatan (mekanik)
 Penurunan refleks menelan dengan perkiraan infeksi yang tinggi
 Disfungsi autonom berat
 Penggunaan model prognostik untuk mendeterminasi indikasii untuk ventilasi artificial
Fluktuasi dari penyakit atau berlanjut dengan progress yang lambat
 Pertimbangkan treatment-related fluctuation (TRF): terapi ulangan
 Pertimbangkan onset akut CIDP dan terapi yang sesuai
Rehabilitasi dan kelelahan:
 Mulailah fisioterapi sedini mungkin selama proses penyakit
 Memulai rehabilitasi saat penyembuhan dimulai.

Prognosis 3,4,7
Secara keseluruhan SGB mempunyai prognosis yang baik, sekitar 90
sampai 95% penderita akan mengalami penyembuhan sempurna 6 sampai 12
bulan. Bahaya yang paling besar dan mengancam jiwa penderita adalah pada fase
akut dimana dapat terjadi paralisis otot pernapasan dan aritmia jantung. Walaupun
mempunyai prognosis baik tapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal

24
atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam
waktu 3 bulan, bila dengan keadaan antara lain:
a. Pada pemeriksaan NCV-EMG relative normal
b. Mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. Progesifitas penyakit lambat dan pendek
d. Pada penderita berusia 30 – 60 tahun.
Tiga puluh persen pasien SGB mengalami kelemahan residual sesudah 3
tahun. Tiga persen mengalami relaps lemah otot dan sensasi tertusuk-tusuk
bertahun-tahun sesudah serangan awal.

D. KESIMPULAN
Pada laporan kasus ini didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik
serta pemeriksaan penunjang yang ada, didapatkan adanya riwayat ISPA 1 bulan
SMRS, dan setelah itu muncul manifestasi klinis yang terjadi berupa kelemahan
anggota tubuh simetris, yaitu keempat anggota gerak, dan penjalarannya mulai
dari distal ke proksimal. Pasien sebelumnya merasakan kelemahan hanya pada
anggota gerak bawah, yang kemudian menjalar sampai ke anggota gerak atas.
Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba saat pasien pulang dari sekolah. Adanya
nyeri dan kram yang dirasakan pasien pada bagian leher, tulang belakang dan
keempat ekstremitas. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan hiporefleksia,
paralisis otot pernapasan, kelumpuhan saraf kranial beberapa saat sebelum
meninggal, seperti parese bola mata ke arah lateral, refleks cahaya langsung dan
tidak langsung negatif dan refleks kornea negatif. Rangsangan meningeal
didapatkan kaku kuduk (+) yang menandakan adanya infeksi pada meninges.
Hasil pemeriksaan laboratorium pasien ini menunjukan peningkatan
leukosit yang menandakan adanya suatu infeksi. Namun pada pasien ini kadar
albumin dalam darah hasilnya dalam batas normal yaitu 3,8 mg/dl. Pemeriksaan
radiologi hasilnya tidak ditemukan adanya kelainan neurologis. Sehingga
diagnosisnya adalah tetraparese LMN et causa syndrome guillain barre. Namun,
untuk menegakkan diagnosis perlu pemeriksaan lebih lanjut seperti pemeriksaan
CSS untuk mengetahui kadar albuminnya dan MRI dengan kontras gadolineum
untuk melihat gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah lumbosakral
terutama di kauda equina yang pada pasien ini tidak dilakukan. Dari gambaran

25
radiografi polos menunjukkan tidak adanya kelainan neurologis. Selain itu,
diagnosis banding berupa miastenia gravis dan meningitis belum dapat
disingkirkan karena pasien tidak dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti
pemeriksaan terhadap CSS. Sehingga pasien hanya diterapi simptomatis, karena
itu secara umum prognosis pasien ini buruk.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuki N, MD, Hartung H P. Guillain Barre Syndrome. The new England


journal of medicine. 2012; 366: 2294-304 [cited 2015 Augt 03] Available
from: http://www.aahs.org/medstaff/wp-content/uploads/guillain-
barresyndromenejm20121.pdf
2. Pithadia A B, Kakadia N. Guillain barre syndrome (GBS). Pharmacological
reports. 2010; 62: 220-32 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://www.if-pan.krakow.pl/pjp/pdf/2010/2_220.pdf
3. Support and information for those affected by Guillain-Barré syndrome, CIDP
& associated inflammatory neurophaties. Issue 1.0. 2014 [cited 2015 Augt 03]
Available from: http://www.gaincharity.org.uk/pdf/A4_GBS_16pp.pdf
4. Wakerley B R. Uncini A, Yuki N. Guillain barre and miller fisher syndromes-
new diagnostic classification. Nature review neurology. 2014; 10: 537-44
[cited 2015 Augt 03] Available from:
http://static1.squarespace.com/static/53e0d272e4b0ea4fa48a8d40/t/545faddae
4b003a28634ed22/1415556570707/Wakerley+NatRevNeurol2014.pdf
5. Winer J B. An update in guillain barre syndrome. Hindawi publishing
corporation autoimmune disease. 2014 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://downloads.hindawi.com/journals/ad/2014/793024.pdf
6. Israr Y A. Juraita, S Rahmat. Sindroma Guillain Barre. Faculty of medicine
Riau. 2009 [cited 2015 Augt 03] Available from:
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/10/guillain_barre_syndrome_fil
es_of_drsmed.pdf
7. Walling A D, Dickson G. Guillain barre syndrome. American Family
Physician. 2013; 87(3): 191-97 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://www.aafp.org/afp/2013/0201/p191.pdf
8. Van doorn P A. Diagnosis, treatment and prognosis of guillain barre syndrome
(GBS). Nature reviews neurology. 2013; 42: 193-201 [cited 2015 Augt 03]
Available from:
http://www.researchgate.net/profile/Pieter_Doorn/publication/263935465_Gui
llain-
Barr_syndrome_Pathogenesis_diagnosis_treatment_and_prognosis/links/5481

27
8cb70cf263ee1adfc7cd.pdf?
inViewer=true&&origin=publication_detail&inViewer=true
9. Beth A, Rosen. Guillain barre syndrome. American academy of pediatrics.
2012; 33(4): 164-71 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://pedsinreview.aappublications.org/content/33/4/164.full.pdf
10. Rinaldi S. Update on guillain barre syndrome. Journal of the peripheral
nervous system. 2013; 18: 99-112 [cited 2015 Augt 03] Available from:
http://www.readcube.com/articles/10.1111%2Fjns5.12020?
r3_referer=wol&tracking_action=preview_click&show_checkout=1&purchas
e_referrer=onlinelibrary.wiley.com&purchase_site_license=LICENSE_DENI
ED
11. Inawati. Sindrome Guillain Barre. Departemen patologi anatomi. 2011 [cited
2015 Augt 03] Available from:
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol%20Edisi%20Khusus
%20Desember%202010/SINDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf
12. Lukito V, Mangunatmadja I, Pudjiadi A H, Puspandjono T M. Plasmaferesis
sebagai terapi syndrome guillain-barre berat pada anak. Sari pediatric. 2010;
11(06): 448-55
13. Sebastian S. A case of guillain-barre syndrome in a primary care setting. The
journal for nurse practitioners-JPN.2012; 8(8):643-8
14.

28

You might also like