You are on page 1of 8

ANALISIS MASALAH

1. Apa hubungan usia, jenis kelamin dengan keluhan yang dialami pasien?
Jawab:
Keluhan yang dialami merupakan gejala dari BPPV (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
berdasarkan dari segi onsetnya, BPPV biasanya diderita pada pasien dengan usia 50-70 tahun
dan proporsi antara wanita lebih besar dibanding pada laki-laki yaitu 2,2:1,5.

2. Apa makna pasien mengidap hipertensi sejak tahun yang lalu dan minum obat secara teratur?
Jawab:
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
hipertensi dan lama kesembuhan BPPV.

3. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan Dix Hallpike?


Jawab:
Vertigo (+) : terdapat sensasi berputar pada saat pemeriksaan
Nistagmus rotatoar dengan periode laten 30 detik, fatigue (+)
Menandakan bahwa pasien menderita BPPV perifer, karena pada kelainan perifer akan
didapatkan latensi 3-10 detik, lama nystagmus 10-30 detik atau kurang dari 1 menit, adanya
fatigue, dan disertai gejala vertigo yang berat.
Normalnya nystagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke belakang, namun saat
gerakan selesai dilakukan, tidak tampak lagi nystagmus.

4. Apa pemeriksaan penunjang lainnya yang dibutuhkan?


Jawab:
a. Tes Romberg
Pasien berdiri tegak kedua kaki sejajar bersentuhan dan mata lalu dipejamkan. Apabila
gangguan vestibuler pasien tidak dapat mempertahankan posisinya, ia akan bergoyang
menjauhi garis tengah dan akan kembali ke posisi duduk dan berdiri seketika, jika ada lesi
pasien akan jatuh ke sisi lesi. Test Romberg sangat berguna. Kemampuan normal minimal
dengan mata tertutup selama sekitar 6 detik. Dewasa muda seharusnya dapat melakukannya
sekitar 30 detik, dan kemampuan menurun seiring usia. Pasien dengan gangguan vestibuler
bilateral secara moderat mengalami ataksia menjadi sangat tergantung terhadap penglihatan
dan merasa tidak seimbang apabila mata tertutup. Tidak ada pasien dengan gangguan bilateral
yang dapat berdiri dengan mata tertutup pada test Romberg selama 6 detik.
b. Tes tandem gait
Pasien kaki saling menyilang dan tangan menyilang di dada. Pasien di suruh berjalan lurus,
pada saat melangkah tumit kaki kiri djiletakkan pada ujung jari kaki kanan dan seterusnya.
Adanya gangguan vestibuler akan menyebabkan arah jalanannya menyimpang.
c. Stepping test
Berjalan di tempat dengan mata terbuka dan lalu tertutup sebanyak 50 langkah. Test dianggap
abnormal ada kelainan vestibuler jika pasien berjalan beranjak miring sejauh 1 meter atau
badan berputar lebih 30 derajat. Jika penderita stabil test diulang dengan tangan terentang. Juga
berjalan diatas kasur. Penderita dengan kelainan vestibular bilateral yang di sebabkan
intoksikasi obat – obatan dapat berjalan dengan mata terbuka akan tetapi sulit dengan mata
tertutup
d. Past pointing test
Dengan mata terbuka pasien di minta untuk mengangkat lengannya lurus keatas dengan
telunjuk ekstensi. Kemudian lengan tersebut di turunkan sampai menyentuh telunjuk
pemeriksa. Selanjutnya dengan mata tertutup pasien di minta untuk mengulang gerakan
tersebut. Adanya gangguan vestibuler menyebabkan penyimpangan tangan pasien sebhingga
telunjuknya tidak dapat menyentuh telunjuk pemeriksa.
e. Bedside secara sederhana dengan atau tanpa kacamara frenzel
f. ENG (elektronistagmografi)
ENG merupakan prosedur beruntun yang dapat mengidentifikasi vestibular asimetris (seperti
yang disebabkan oleh neuritis vestibular) dan membuktikan nistagmus spontan dan posisi
(seperti yang disebabkan oleh BPPV). ENG adalah tes yang panjang dan sulit. Jika ada hasil
yang abnormal dan tidak sesuai dengan gejala klinis sebaiknya dikonfirmasi denga tes kursi
putar dan dikombinasi dengan tes VEMP.

5. Apa manifestasi klinis pada kasus?


Jawab:
a. Sensasi berputar baik dirinya sendiri maupun lingkungannya. Vertigo dapat horizontal, vertikal
atau melingkar.
b. Sensasi pergerakan, biasanya digambarkan sebagai perasaan didorong atau miring yang
singkat. Perasaan ini menunjukkan adanya disfungsi dari apparatus otolith di telinga dalam
atau proses sentral yang merangsang otolith.
c. Osilopsia adalah ilusi pergerakan lingkungan sekitar yang dipicu oleh pergerakan kepala.
Pasien dengan gangguan vestibuler bilateral tidak dapat melihat apabila kepalanya sedang
bergerak karena osilopsia. Pasien dengan gangguan vestibuler unilateral selalu mengeluhkan
“lingkungan sekitar berputar” apabila mereka memutar kepalanya berlawanan dengan telinga
yang sakit.
d. Ataksia, cara berjalan yang tidak stabil, hampir secara universal terdapat pada pasien dengan
vertigo sentral atau perifer.
e. Gangguan pendengaran. Vertigo sering diikuti oleh tinnitus, reduksi atau distorsi pendengaran.
f. Perasaan kepala terasa ringan seperti hampir pingsan. Biasanya disebabkan oleh kelainan yang
berhubungan dengan gangguan kardiovaskuler
g. Pusing dan perasaan ringan yang tidak spesifik. Istilah ini tidak memiliki arti yang tepat dalam
penggunaan umum. Sering ditemukan pada pasien dengan ganguan psikologis.

6. Bagaimana prognosis pada kasus?


Jawab:
Pasien perlu untuk diedukasi tentang BPPV. Satu dari tiga pasien sembuh dalam jangka
waktu 3 minggu, tetapi kebanyakan sembuh setelah 6 bulan dari serangan. Pasien harus
diberitahu bahwa BPPV dapat dengan mudah ditangani, tetapi harus diingatkan bahwa
kekambuhan sering terjadi bahkan jika terapi manuvernya berhasil, jadi terapi lainnya mungkin
dibutuhkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa 15% terjadi kekambuhan pada tahun pertama,
kemudian 50% kekambuhan terjadi pada 40 bulan setelah terapi (Bunjamin et al., 2013).
Kekambuhan dari BPPV adalah masalah yang umum terjadi. Meniere’s disease, CNS
disease, migraine headaches,dan post-traumatic BPPV merupakan faktor resiko yang lebih
memungkinkan untuk terjadinya kekambuhan.
Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam

7. Apa kompetensi kasus ?


Jawab:
Vertigo (Benign Paroxysmal Positional Vertigo)
SKDI 4A. kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter, Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
LEARNING ISSUE (BPPV)
Patofisiologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo disebabkan oleh kalsium karbonat yang berasal
dari makula pada utrikulus lepas dan bergerak dalam lumen dari salah satu kanal semisirkular.
Kalsium karbonat sendiri dua kali lipat lebih padat dibandingkan endolimfe, sehingga bergerak
sebagai respon terhadap gravitasi dan pergerakan akseleratif lain. Ketika kalsium karbonat
tersebut bergerak dalam kanal semisirkular, akan terjadi pergerakan endolimfe yang
menstimulasi ampula pada kanal yang terkena, sehingga menyebabkan vertigo.
a. Teori Kupulolitiasis
Pada tahun 1962, Horald Schuknecht mengemukakan teori ini dimana ditemukan
partikel-partikel basofilik yang berisi kalsium karbonat dari fragmen otokonia (otolith)
yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi dan menempel pada permukaan
kupula. Dia menerangkan bahwa kanalis semiriskularis posterior menjadi sensitif akan
gravitasi akibat partikel yang melekat pada kupula. Sama halnya seperti benda berat
diletakkan pada puncak tiang, bobot ekstra itu akan menyebabkan tiang sulit untuk tetap
stabil, malah cenderung miring. Begitu halnya digambarkan oleh nistagmus dan rasa
pusing ketika kepala penderita dijatuhkan ke belakang posisi tergantung (seperti pada
tes Dix-Hallpike). Kanalis semi sirkularis posterior berubah posisi dari inferior ke
superior, kupula bergerak secara utrikulofugal, dengan demikian timbul nistagmus dan
keluhan pusing (vertigo). Perpindahan partikel tersebut membutuhkan waktu, hal ini
menyebabkan adanya masa laten sebelum timbulnya pusing dan nystagmus.
b. Teori Kanalitiasis
Pada 1980 Epley mengemukakan teori kanalitiasis, partikel otolith bergerak bebas
didalam kanalis semi sirkularis. Ketika kepala dalam posisi tegak, endapan partikel
tersebut berada pada posisi yang sesuai dengan gaya gravitasi yang paling bawah.
Ketika kepala direbahkan ke belakang, partikel ini berotasi ke atas di sepanjang
lengkung kanalis semi sirkularis. Hal ini menyebabkan cairan endolimfe mengalir
menjauhi ampula dan menyebabkan kupula membelok (deflected), sehingga terjadilah
nistagmus dan pusing. Saat terjadi pembalikan rotasi saat kepala ditegakkan kembali,
terjadi pula pembelokan kupula, muncul pusing dan nistagmus yang bergerak ke arah
berlawanan. Digambarkan layaknya kerikil yang berada dalam ban, ketika ban bergulir,
kerikil akan terangkat seberntar kemudian terjatuh kembali karena gaya gravitasi.
Jatuhnya kerikil tersebut seolah-olah yang memicu organ saraf menimbulkan rasa
pusing. Dibanding dengan teori kupulolitiasis, teori ini dapat menerangkan
keterlambatan sementara nistagmus, karena partikel butuh waktu untuk mulai bergerak.
Ketika mengulangi maneuver kepala, otolith menjadi tersebar dan semakin kurang
efektif dalam menimbulkan vertigo serta nistagmus. Hal ini menerangkan konsep
kelelahan dari gejala pusing.
Klasifikasi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo terbagi atas dua jenis, yaitu :
a. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Posterior
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis posterior ini paling sering terjadi,
dimana tercatat bahwa BPPV tipe ini 85 sampai 90% dari kasus BPPV. Penyebab paling
sering terjadi yaitu kanalitiasis. Hal ini dikarenakan debris endolimfe yang terapung
bebas cenderung jatuh ke kanal posterior karena kanal ini adalah bagian vestibulum
yang berada pada posisi yang paling bawah saat kepala pada posisi berdiri ataupun
berbaring (Purnamasari, 2013).
b. Benign Paroxysmal Positional Vertigo Kanalis Horizontal (Lateral)
Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanalis horizontal pertama kali diperkenalkan
oleh McClure tahun 1985 dengan karakteristik vertigo posisional yang diikuti
nistagmus horizontal berubah arah. Arah nistagmus horizontal yang terjadi dapat
berupa geotropik (arah gerakan fase cepat ke arah telinga di posisi bawah) atau
apogeotropik (arah gerakan fase cepat kearah telinga di posisi atas) selama kepala
dipalingkan ke salah satu sisi dalam posisi telentang. Nistagmus geotropik terjadi
karena adanya otokonia yang terlepas dari utrikulus dan masuk ke dalam lumen
posterior kanalis horizontal (kanalolitiasis), sedangkan nistagmus apogeotropik terjadi
karena otokonia yang terlepas dari utrikulus menempel pada kupula kanalis horizontal
(kupulolitiasis) atau karena adanya fragmen otokonia di dalam lumen anterior kanalis
horizontal (kanalolitiasis apogeotropik) (Edward dan Roza, 2014).

Pada umumnya BPPV melibatkan kanalis posterior, tetapi beberapa tahun terakhir
terlihat peningkatan laporan insiden BPPV kanalis horizontal. Pasien dengan keluhan dan
gejala yang sesuai dengan BPPV, namun tidak sesuai dengan kriteria diagnostik BPPV kanalis
posterior harus dicurigai sebagai BPPV kanalis horizontal (Edward dan Roza, 2014).
Manifestasi klinis
Gejala-gejala klinis dari BPPV adalah pusing, ketidakseimbangan, sulit untuk
berkonsentrasi, dan mual. Kegiatan yang dapat menyebabkan timbulnya gejala dapat berbeda-
beda pada tiap individu, tetapi gejala dapat dikurangi dengan perubahan posisi kepala
mengikuti arah gravitasi. Gejala dapat timbul dikarenakan perubahan posisi kepala seperti saat
melihat keatas, berguling, atau pun saat bangkit dari tempat tidur (Bhattacharyya et al., 2008).
Benign Paroxysmal Positional Vertigo sendiri dapat dialami dalam durasi yang cepat ataupun
terjadi sepanjang hidup, disertai gejala yang terjadi dengan pola sedang yang berbeda-beda
tergantung pada durasi, frekuensi, and intensitas. BPPV tidak dianggap sebagai sesuatu yang
membahayakan kehidupan penderita. Bagaimanapun, BPPV dapat mengganggu perkerjaan
dan kehidupan sosial penderita.
Komplikasi
a. Canal Switch
Selama melakukan manuver untuk mengembalikan posisi kanal vertikal, partikel-
partikel yang berpindah tempat dapat bermigrasi hingga sampai ke kanal lateral, dalam
6 sampai 7% dari kasus. Pada kasus ini, nistgamus yang bertorsional menjadi horizontal
dan geotropik.
b. Canalith Jam
Selama melakukan reposisi manuver, beberapa penderita akan merasakan beberapa
gejala, seperti vertigo yang menetap, mual, muntah dan nistagmus.

Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk BPPV didasari dengan kemampuan membuat gerakan sendiri
ataupun prosedur-prosedur dalam mereposisikan kanalis, dengan tujuan mengembalikan
partikel-partikel yang bergerak kembali ke posisi semula yaitu pada makula utrikulus. Berikut
akan dijelaskan pergerakan-pergerakan yang dapat dilakukan, dan ditujukan untuk berbagai
jenis BPPV. Keberhasilan dari tatalaksana sendiri bergantung pada pemilihan pergerakan yang
tepat dalam mengatasi BPPV.
Beberapa penderita dapat merasakan gejala-gejala seperti pusing, mual, berkeringat,
dan muntah saat melakukan pergerakan untuk terapi. Dalam kasus seperti ini, obat-obat
penekan vestibulum dapat digunakan sebagai tambahan yang tidak hanya meringankan vertigo
yang muncul akibat gerakan yang akan dilakukan tetapi juga mengatur gejala-gejala yang
terjadi hingga prosedur dapat dilakukan kembali. Obat-obat golongan terapi tersebut meliputi
meclizin, dimenhidrinase, clonazepam dan diazepam. Dosis dapat berbeda tergantung
intensitas dari gejala yang timbul (Purnamasari, 2013).
Terdapat beberapa manuver untuk reposisi BPPV, yaitu:
a. Manuver Epley
Manuver ini merupakan yang paling sering digunakan pada kanal vertikal. Penderita
berada dalam posisi tegak kemudian kepala menoleh ke sisi yang sakit. Kemudian
penderita ditidurkan dengan posisi kepala digantungkan, dan dipertahankan selama 1
sampai 2 menit. Berikutnya, kepala ditolehkan 90 derajat ke sisi sebaliknya, dan posisi
supinasi berubah menjadi lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Kemudian
beritahu pasien untuk mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan duduk kembali
secara perlahan (Libonati, 2012).
b. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk terapi dari kupulolotoasis kanalis posterior. Jika kanal
posterior yang terkena, maka penderita didudukkan dalam posisi tegak, kemudian
kepala penderita dimiringkan 45 derajat berlawanan arah dengan bagian yang sakit dan
secara cepat bergerak ke posisi berbaring. Nistagmus dan vertigo dapat diperhatikan.
Dan posisi ini dipertahankan selama 1 sampai 3 menit. Setelah itu pasien pindah ke
posisi berbaring di sisi yang berlawanan tanpa berhenti saat posisi duduk (Bunjamin et
al., 2013)
c. Maneuver Lempert
Manuver ini biasa digunakan sebagai terapi dari BPPV kanalis horizontal. Pada
manuver ini penderita berguling 360 derajat, dimulai dari posisi supinasi lalu
menghadap 90 derajat berlawanan dari sisi yang sakit, posisi kepala dipertahankan,
kemudian membalikkan tubuh ke posisi lateral dekubitus. Berikutnya, kepala penderita
telah menghadap ke bawah dan badan dibalikkan lagi ke arah ventral dekubitus.
Kemudian kepala penderita diputar 90 derajat, dan tubuh berada pada posisi lateral
dekubitus. Secara bertahap, tubuh penderita kembali lagi dalam posisi supinasi. Setiap
langkah dilakukan selama 15 detik untuk migrasi lambat dari partikelpartikel sebagai
respon terhadap gravitasi (Bunjamin et al., 2013)
d. Forced Prolonged Position
Manuver ini digunakan untuk terapi BPPV kanalis horizontal. Perlakuannya adalah
mepertahankan tekanan dari posisi lateral dekubitus pada telinga yang sakit selama 12
jam.
e. Brandt-Daroff Exercises
The Brandt-Daroff Exercises ini dikembangkan untuk latihan dirumah, sebagai terapi
tambahan untuk pasien yang tetap simptomatik, bahkan setelah melakukan manuver
Epley ataupun Semont. Latihan-latihan ini diindikasian satu minggu sebelum
melakukan terapi manuver, agar meningkatkan kemampuan toleransi diri pasien
terhadap manuver. Latihan ini juga membantu pasien menerapkan berbagai posisi
sehingga dapat lebih terbiasa (Solomon, 2000)
Prognosis
Pasien perlu untuk diedukasi tentang BPPV. Satu dari tiga pasien sembuh dalam jangka
waktu 3 minggu, tetapi kebanyakan sembuh setelah 6 bulan dari serangan. Pasien harus
diberitahu bahwa BPPV dapat dengan mudah ditangani, tetapi harus diingatkan bahwa
kekambuhan sering terjadi bahkan jika terapi manuvernya berhasil, jadi terapi lainnya mungkin
dibutuhkan. Beberapa studi menunjukkan bahwa 15% terjadi kekambuhan pada tahun pertama,
kemudian 50% kekambuhan terjadi pada 40 bulan setelah terapi (Bunjamin et al., 2013).
Kekambuhan dari BPPV adalah masalah yang umum terjadi. Meniere’s disease, CNS
disease, migraine headaches,dan post-traumatic BPPV merupakan faktor resiko yang lebih
memungkinkan untuk terjadinya kekambuhan.

SKDI
SKDI 4A. kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter, Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.

You might also like