You are on page 1of 4

3. Pembentukan UU Penerapan praktik kolaborasi interprofesi tenaga kesahatan indonesia.

PERMASALAHAN KE POIN KE DUA

http://www.academia.edu/17642654/Kajian_Interprofesional_Education_IPE_

1. Pasal 20 ayat 1 UUD 1945 : KEKUASAAN UNTUK MEMBENTUK UNDANG-


UNDANG ADALAH DPR
2. Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 : diatur bahwa setiap rancangan undang-undang RUU di
bahas oleh DPR dan PRESIDEN dalam mendapatkan persetujuan bersama.

PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) adalah Peraturan Perundang-undangan


yg ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.

- PP (Peraturan Pemerintah) adalah Peraturan Perundang-undangan di Indonesia yg ditetapkan oleh


Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

- KEPRES (Keputusan Presiden) adalah norma hukum yg bersifat konkret, individual, dan sekali
selesai.

- PERDA (Peraturan Daerah) adalah Peraturan Perundang-undangan yg dibentuk oleh Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur/bupati/wali kota).

- UU (Undang-Undang) adalah Peraturan Perundang-undangan yg dibentuk oleh Dewan Perwakilan


Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden.

4. Pengembangan pasien virtual untuk peningkatan pendeklatan interprovesional


education

Apa Itu Pasien Virtual - Ketika seorang mahasiswa dari industri perawatan kesehatan belajar tentang
apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu, seorang pasien virtual dapat membantu
mengujinya, pilihan. Menggunakan teknologi komputer, siswa berinteraksi dengan sebuah program
yang merupakan seseorang yang nyata, penyakit nyata dan pilihan intervensi medis yang relevan.
Kemudian direkam, dan supervisor dapat membantu siswa untuk mencari tahu apa, jika ada, bisa
dibuat lebih baik dalam menangani situasi nyata.

Secara historis, seorang mahasiswa kedokteran belajar tentang teori tubuh manusia dan penyakit,
dan kemudian belajar tentang diagnosis dan pengobatan pada interaksi dengan pasien nyata. Sebagai
risiko malpraktek tinggi ketika seorang siswa membuat keputusan tentang kesejahteraan pasien,
kesempatan untuk belajar secara langsung dan menimba ilmu dari trial and error sangat diatur dalam
kedokteran modern. Keakraban dengan gejala pasien dan kemungkinan penyebab gejala ini adalah
penting untuk keterampilan medis dan pengetahuan, jadi bukan orang yang nyata, siswa sekarang
dapat berlatih pada pasien virtual.

Sebuah program yang menyajikan profil pasien virtual untuk siswa umumnya mencakup banyak data
yang relevan. Hal ini biasanya informasi yang jelas kepada siswa, atau bahwa pasien kemungkinan
untuk menginformasikan tentang dokter. Contohnya termasuk usia dan jenis kelamin pasien dan
informasi seperti lokasi nyeri pada tubuh.

Mahasiswa kemudian harus mengajukan pertanyaan yang penting untuk diagnosis. Ini termasuk
pertanyaan tentang riwayat kesehatan sebelumnya, durasi nyeri dan gejala lain dari penyakit yang
pasien mungkin sudah lupa untuk dibicarakan.

Umumnya, setiap program pasien maya melacak yang mempertanyakan siswa bertanya, dan yang
berpotensi penting pertanyaan ia gagal untuk menanyakan. Pada akhir sesi pasien virtual, siswa
dapat mengetahui apakah ia benar atau salah. Jika ia salah, program ini dapat menunjukkan di mana
proses wawancara pergi keluar jalur. Serta mahasiswa, orang yang sudah memenuhi syarat di arena
medis dapat berlatih pada program, untuk membantu menjaga kemampuan diagnostik yang tajam.
Program pasien maya khusus lainnya, selain dari yang dirancang untuk mahasiswa kedokteran,
termasuk untuk perawat dan orang-orang untuk apoteker.

4. Maloraktik adalah tanggung jawab dokter


“Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan keterampilan dalam ukuran
tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya dipergunakan terhadap sikap tindak dari para
dokter, pengacara dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan
melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar di dalam
masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu, sehingga mengakibatkan luka,
kehilangan atau kerugian pada penerima pelayanan tersebut yang cenderung menaruh
kepercayaan terhadap mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional
yang salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-hatian atau
kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap immoral.”

ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan makna
malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan kewajiban, berarti tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.

Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:


(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka
terhadap tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip
dalam hal sebagai berikut:
a. melalaikan kewajiban;
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh
seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun
mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan;
c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;
d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang
ini.
Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya kepada
suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan merujuk pada
ketentuan beberapa profesi yang ada,

klien atau pasien sebagai pengguna jasa juga merupakan konsumen sehingga dalam hal ini
berlaku juga ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(“UUPK”). Profesi-profesi sebagaimana disebutkan di atas termasuk sebagai pelaku usaha
(Pasal 1 angka 3 UUPK), yang berarti ketentuan Pasal 19 ayat (1) UUPK berlaku pada
mereka:

Pasal 19 ayat (1) UUPK:


“Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.”

Jadi, tindakan seperti apa yang termasuk sebagai malpraktik ditentukan oleh organisasi
profesi atau badan khusus yang dibentuk untuk mengawasi tugas profesi berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan kode etik masing-masing profesi. Setiap tindakan yang
terbukti sebagai tindakan malpraktik akan dikenakan sanksi.

Dugaan kasus malpraktik terus saja bermunculan. Pasien yang merasa dirugikan biasanya
akan melakukan gugatan hukum untuk meminta pertanggungjawaban. Siapa yang harus
bertanggungjawab, dokter atau rumah sakit?

Ketika mengalami kerugian selama menjalani perawatan di rumah sakit, paling tidak pasien
akan berhadapan dengan 2 pihak yakni dokter dan rumah sakit. Kedua pihak tersebut
memiliki tanggung jawabnya sendiri-sendiri.

Dokter akan mampertanggungjawabkan tindakan medis yang dilakukan, sementara rumah


sakit bertanggung jawab atas layanan kesehatan yang diselenggarakannya. Hal ini kadang
tidak dipahami pasien, sehingga bingung dalam menentukan pihak mana yang harus
dituntut.

Secara pidana, dokter juga bisa digugat atas kelalaian yang dilakukan selama menjalankan
profesi sehingga menyebabkan kerugian bagi pasien. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 361.

Ini berarti dokter akan mempertanggungjawabkan sendiri tindakan medis yang


menyebabkan malpraktik. Hal ini dibenarkan oleh mantan Ketua Ikatan Dokter Indonesia
(IDI), Dr. Kartono Mohammad.

"Jika penyebabnya adalah tindakan dokter, maka dokter yang harus bertanggung jawab.
Sedangkan jika disebabkan oleh kesalahan dalam perawatan, maka itu menjadi tanggung
jawab rumah sakit. Dan yang menentukan adalah pengadilan," tuturnya saat dihubungi
detikHealth, Senin (24/5/2010).

Jika secara pidana dokter akan menanggung sendiri akibat dari tindakannya, maka secara
perdata tidak selalu demikian. Sebab Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
mengenal perbuatan hukum tidak langsung, seperti tercantum dalam pasal 1367.

Pasal tersebut mengatakan, seseorang bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan
oleh perbuatan orang yang menjadi tanggungannya atau pengawasannya. Jika dokter
bekerja untuk rumah sakit, maka seharusnya dokter tersebut berada di bawah pengawasan
rumah sakit.

Ini berarti rumah sakit juga punya tanggung jawab atas tindakan dokter yang menyebabkan
kerugian bagi pasien. Karena itu, tidak salah jika tuntutan ganti rugi juga ditujukan kepada
rumah sakit.

Bahkan dalam beberapa kasus, pasien lebih punya kepentingan dengan gugatan perkara
perdata dibandingkan pidana. Sebab sanksi pidana lebih ditujukan untuk memberi efek jera,
sementara di ranah perdata pasien akan mendapat ganti rugi materi jika berhasil
memenangkan perkara.

Sementara itu jika mengadu ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI),
pasien diharuskan untuk mencantumkan tempat praktik dokter serta waktu tindakan itu
dilakukan. Jika tindakan dilakukan di rumah sakit, maka nama rumah sakit harus
dicantumkan.

Hanya saja ini bukan berarti bahwa MKDKI punya wewenang untuk menjatuhkan sanksi
terhadap rumah sakit, sebab investigasi MKDKI hanya berlaku internal di kalangan profesi
kedokteran. Bahkan keputusannya tidak selalu dipakai di pengadilan, hanya jika memang
diperlukan saja.

Bagaimanapun rumah sakit juga memiliki tanggung jawab atas layanan kesehatan yang
diselenggarakannya. Demikian pula dokter yang juga bukan profesi yang kebal hukum,
sehingga pasien dapat mengadu apabila timbul kerugian akibat malpraktik.

Namun untuk membuktikan malpraktik amatlah sulit, apalagi jika dokter sudah melakukan
tindakan sesuai standar. Jalan damai yang akhirnya dipilih oleh kedua belah pihak yang
bersengketa.

You might also like