You are on page 1of 4

1MMCKalteng - Merupakan suatu tradisi bagi orang Dayak dalam menyambut tamu yang

dihormati baik pejabat maupun pribadi yang baru untuk pertama kali datang, selalu
mengadakan yang namanya potong pantan dan juga tampung tawar, hal ini dilakukan
sebagai bentuk ungkapan rasa syukur dan rasa hormat atas kedatangan tamu tersebut dan juga
sebagai doa-doa dan ungkapan atas penyertaan Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga tamu
tersebut boleh sampai ditempat tujuan.

1Dalam doa-doa dan ungkapan yang disampaikan, biasanya dilakukan oleh para tokoh agama
maupun tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat juga agar tamu tersebut selalu diberikan
kekuatan, kesehatan serta perlindungan dari Tuhan Yang Maha Kuasa baik dalam tugas
maupun bagi keluarganya.

(Baca Juga : KPK RI gelar sosialisasi e-LHKPN di Kobar )

Demikian juga ketika Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat beberapa waktu yang lalu saat
meresmikan Gereja Sinta Dusun Tumbang Mamput Desa Barunang Kecamatan Kapuas
Tengah, Bupati yang kala itu didampingi Isteri Ny Ary Egahni Ben Bahat,SH beserta
rombongan disambut dengan acara adat Dayak Potong Pantan serta tari-tarian penyambutan
oleh Warga Desa Barunang binaan PT Asmin Bara Bronang.

Usai peresmian Gereja, Bupati beserta Isteri dan rombongan diundang Kepala Desa Barunang
Bagariadi untuk datang ke rumah pribadi beliau dalam rangka silaturahmi. Pada kesempatan
itu Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan Isteri Ny Ary Egahni Ben Bahat,SH disambut
dengan penuh kekeluargaan oleh Kepala Desa dan Isteri serta masyarakat dan para tokoh di
desa tersebut.

Pada saat itu juga dilaksanakan pemasangan batu tekang hambaruan yang dilakukan oleh
Kepala Desa Barunang Bagariadi bersama isteri masing-masing kepada Bupati Kapuas Ben
Brahim S Bahat dan Isteri Ny Ary Egahni Ben Bahat,SH, serta dilanjutkan dengan acara
tampung tawar yang dilakukan oleh para tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat serta
para tetua di desa tersebut.(hmskominfo))

"Tetek Pantan", Upacara Hormati Tamu Kompas.com - 31/03/2015, 13:52 WIB Duta Besar
Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake mengayunkan mandau untuk memotong kayu
dalam upacara tetek pantan di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah,
beberapa saat lalu. Tetek pantan dalam bahasa Dayak Ngaju artinya memotong penghalang
sehingga diharapkan tamu bebas dari marabahaya selama di Kalimantan
Tengah.(KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO) PETIKAN kecapi dan tabuhan
garantung atau gong suku Dayak mengudara setelah Duta Besar Amerika Serikat untuk
Indonesia Robert Blake turun dari pesawat di Bandar Udara Tjilik Riwut, Palangkaraya,
Kalimantan Tengah, beberapa saat lalu. Enam remaja putri dengan luwes dan lincah
menarikan tari bahalai atau selendang, menyambut kedatangan Blake dan mengawali upacara
adat tetek pantan. Tetek pantan dalam bahasa Dayak Ngaju berarti memotong penghalang
atau menyingkirkan rintangan sehingga biasa disebutpula potong pantan. Upacara adat khas
suku Dayak itu merupakan warisan tradisi nenek moyang. Dahulu, upacara itu khusus
digunakan untuk menyambut kemenangan kepala suku yang pulang dari perang dan
mengayau atau memotong kepala musuh. Kini, tradisi itu digunakan menyambut tamu
kehormatan, misalnya kepala negara, menteri, pejabat negara, pimpinan DPR, pimpinan
perusahaan, dan tokoh masyarakat yang disegani. Setelah tarian selesai, mantir adat
Kelurahan Langkai, Kecamatan Pahandut, Sius D Daya, yang memimpin upacara adat itu
mendekati duta besar. Dengan daun sawang atau daun lenjuang yang dibasahi air suci, dia
memerciki sekitar tempat Blake berdiri, seraya berdoa mohon pembebasan dari segala
pengaruh roh jahat. Bagian itu disebut memapas. Ritual dilanjutkan dengan menginjak telur
ayam kampung di atas batu oleh Blake dengan kaki kanan. Batu melambangkan kerasnya niat
dan usaha manusia untuk meraih suatu kebaikan serta tujuan hidup. ”Telur ayam kampung
yang berisi kehidupan ini tercurah ke bumi pertiwi dan akan membawa kesuburan serta
kesejahteraan bagi manusia,” kata Sius. Selanjutnya, ritual adat memasuki bagian utama,
yaitu potong pantan atau menyingkirkan rintangan. Di hadapan ”gerbang” kayu berbentuk
kubus dengan ukuran masing-masing sisi sekitar 2 meter, terbentang sebatang kayu akasia
terselubung kain. Pemimpin adat berada di bagian dalam gerbang, sedangkan tamu di sisi
luar. Sebelum tamu menyingkirkan penghalang, pemimpin adat melontarkan tiga pertanyaan
yang wajib dijawab. Tiga pertanyaan itu adalah siapakah nama tamu, berapa jumlah
rombongan, dan apa maksud juga tujuan kedatangannya. Setiap kali tamu selesai menjawab
satu pertanyaan, pemimpin adat menyahutnya dengan pekik kemenangan atau disebut
melahap, "U u u u u Ku iy!" Blake yang diberi pertanyaan menjawab dengan mantap dalam
bahasa Inggris. Saat itu, Blake mengunjungi Palangkaraya dan Pulang Pisau, Kalimantan
Tengah, untuk meninjau pelaksanaan program perubahan iklim, pengelolaan hutan lestari,
dan emisi karbon rendah yang disebut Indonesia Forestry and Climate Support (IFACS) oleh
Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Seusai bertanya-jawab,
tamu pun dipersilakan menggulung kain penyelubung dengan melipatnya dari kedua sisi
terluar menuju ke dalam. Hal itu melambangkan pekerjaan harus dilakukan dengan cermat
dan rapi. Kain itu lalu diangkat sebagai lambang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Lalu satu mandau atau golok senjata khas suku Dayak yang sakral diserahkan kepada
Blake untuk memotong kayu akasia yang dijadikan pantan. Harapannya, dengan memotong
hingga putus kayu yang berdiameter sekitar 5 sentimeter itu, segala rintangan dan bahaya
yang ada selama tamu berada di Bumi Borneo itu dapat dihindari. Dengan agak kaku, Blake
mengayunkan mata mandau ke kayu itu berulang kali hingga terpotong. Sekali lagi pemimpin
adat kembali melahap seiring terpotongnya kayu itu. "Melahap ini artinya membuka pintu
anugerah," ujar Sius. Pada akhir ritual, tamu diberi segelas air kehidupan atau disebut
nyalung kaharingan untuk mengembalikan kesegaran setelah memotong penghalang itu.
Minuman itu juga melambangkan tamu telah diterima dengan hati terbuka oleh suku Dayak.
Blake lalu melewati gerbang dan disambut Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Achmad
Diran. Kendati lebih dikenal dengan potong pantan, upacara adat itu tidak selalu memotong
sesuatu yang melambangkan penghalang seperti kayu. Ada benda lain yang bisa digunakan
untuk upacara itu, misalnya tewu (tebu) atau hasil perkebunan dan pertanian; garantung atau
gong, balanga atau guci khas suku Dayak; dan timpung atau kain yang dipasang seperti
gorden pintu. "Ini merupakan bentuk penghargaan kami pada tradisi nenek moyang," ucap
Sius. Sius mengatakan, upaya melestarikan tradisi itu masih terkendala masalah dana dan
keterbatasan sarana pendukung, misalnya minimnya apresiasi kepada seniman dan penari,
alat musik yang seadanya, juga dalam pelaksanaannya kadang tidak mengikuti aturan baku.
"Misalnya, jika tamu tidak berlatar militer, jangan dipaksakan melaksanakan pantan kayu.
Hal itu akan merepotkan dan membahayakan tamu. Dulu pernah terjadi, sang tamu adalah
perempuan dan disediakan pantan kayu. Kayu tidak terpotong dan mandau terlepas dari
pegangannya," kata Sius. Ketua Dewan Adat Dayak Kalteng Sabran Achmad
mengemukakan, upacara adat potong pantan adalah upacara sakral suku Dayak dan
merupakan bentuk penghormatan yang tinggi kepada tamu yang datang ke Kalteng. "Potong
pantan bermakna sakral. Itu mengandung keamanan, perlindungan, dan keselamatan. Dengan
mengetahui identitas dan tujuan tamu, masyarakat setempat bisa ikut menjaganya," kata
Sabran. Sosiolog dari Universitas Palangkaraya, Sidik R Usop, mengatakan, dewasa ini ada
pesan moral dan etika yang sering tidak dipahami dan tidak tersampaikan dalam potong
pantan. Pesan keharmonisan Potong pantan, lanjut Sidik, merupakan bagian dari filosofi
batang garing atau pohon kehidupan bagi suku Dayak. Dalam konsep itu, ada keharmonisan
antara manusia dan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. "Potong
pantan itu bagian dari ritual untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan manusia.
Hubungan itu dikaitkan juga dengan belom bahadat, yaitu tata krama bagaimana hubungan
manusia dengan manusia diatur," ujarnya. Dalam relasi antarmanusia, ada hakam pambelom
atau kehidupan yang saling menghidupkan. Di mana pun pendatang atau seseorang berada,
dia harus menghormati adat-istiadat setempat. "Dia harus memberi manfaat bagi lingkungan
setempat, bukan justru merusak lingkungan dan tidak memberi kesempatan kepada
masyarakat setempat untuk memanfaatkan hasilnya," katanya. Sidik mengatakan, relasi yang
saling menghidupkan itu disebut hakam belom dan orang yang datang tetapi justru merugikan
masyarakat setempat dan juga melanggar adat-istiadat disebut orang yang belom diabahadat
atau orang yang tidak beradat. "Misalnya jika akan membuka hutan untuk perkebunan, harus
dilakukan ritual meminta izin kepada roh-roh penunggu di sana. Pesan moralnya tidak
sekadar meminta izin pada roh, tetapi manusia tidak boleh semena-mena memperlakukan
alam. Ada kehati-hatian dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam," ujarnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah Yuel Tanggara mengatakan,
upacara potong pantan dalam rangka menerima tamu merupakan kekayaan tradisi suku
Dayak yang perlu terus dilestarikan. (Megandika Wicaksono)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul ""Tetek Pantan", Upacara Hormati
Tamu",

You might also like