You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH.Ahmad
Dahlan adalah Muhammad Darwisy.Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara
yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode
ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam,
seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903,
ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia sempat berguru
kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Pada tahun
1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak
tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi
keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi
Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar Kiai Dahlan membuka
sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat
permanen.Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang
terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Sosok fenomenal Hasyim Asy’ari kenyang pengalaman menyinggahi pesantren di Jawa
sebelum melanjutkan pendidikan ke tanah Arab.Sekembalinya ke Indonesia beliau mendirikan
pesantren Tebuireng Jombang yang terkenal dengan ilmu haditsnya.Kedalaman ilmu, dan
pemikirannya dalam pendidikan sangat brilian, sampai-sampai para kiai di Jawa memberinya
gelar “Hadratus Syekh” yang berarti “Tuan Guru Besar”. Hasyim Asy’ari termasuk tokoh utama
pendiri lembaga sosial keagamaan terbesar di Indonesia yaitu NU ( Nahdlatul Ulama’).
Organisasi ini bertujuan mempertahankan ajaran ahlu sunnah wal jamaah serta tradisi Islam.
Sementara corak pendidikan Islam yang diselenggarakan oleh lembaga ini pada mulanya
bersikap tradisional dengan hanya mengajarkan agama saja dengan bersistem halaqah.Namun
seiring dengan perkembangan, lembaga ini juga memasukkan ilmu umum dengan sistem
madrasah.Dalam kancah perjuangan merebut kemerdekaan dari Belanda dan Jepang, lembaga

1
pendidikan yang berada di bawah naungan NU ini turut pula memanggul senjata dengan
mengorbankan jiwa dan raga melawan penjajah.Dalam kaitannya dengan perjuangan melawan
penjajah ini tergambar jelas dalam rumusan Resolusi Jihad NU 1945.
Diskusi tentang pendidikan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai pembaharuan
pendidikan islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemikiran para pendirinya. Tokoh
pendiri kedua organisasi besar ini yang paling menonjol adalah K.H. Ahmad Dahlan dan
K.H.Hasyim Asyari. Oleh karenanya penulis akan membahas makalah yang berjudul “Sejarah
perjalanan Dakwah KH.Hasyim Asyari & KH.Ahmad Dahlan”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana dengan riwayat hidup K.H. Hasyim Asy’ari ?
2. Bagaimana dengan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan ?
3. Bagaimana dengan peran K.H. Hasyim Asy’ari dalam organisasi Nahdatul Ulama ?
4. Bagaimana dengan riwayat hidup K.H. Ahmad Dahlan ?
5. Bagaimana dengan latar belakang berdirinya Muhammadiyah ?
6. Bagaimana dengan pemikiran K.H. Ahmad dahlan dalam bidang pendidikan ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui riwayat hidup K.H. Hasyim Asy’ari
2. Mengetahui pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari dalam bidang pendidikan
3. Mengetahui peran K.H. Hasyim Asy’ari dalam organisasi Nahdatul Ulama
4. Mengetahui riwayat hidup K.H. Ahmad Dahlan
5. Mengetahui latar belakang berdirinya Muhammadiyah
6. Mengetahui pemikiran K.H. Ahmad dahlan dalam bidang pendidikan

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 K.H.Hasyim Asy’ari
2.1.1 Riwayat Hidup K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari nama lengkapnya adalah Muhammad Hasyim Asy’ari ibn ‘Abd al-
Wahid ibn ‘Abd al-Halim. Karena peran dan prestasi yang dicapainya ia mempunyai banyak
gelar, seperti Pangeran Bona ibn Abd al-Rahman yang dikenal dengan nama Jaka Tingkir, Sultan
Hadiwijono ibn Abdullah ibn Abdu Al-Aziz ibn Abd al-Fatih ibn Maulana Ishaq dari Raden ‘Ain
al-Yaqin yang disebut dengan Sunan Giri.1

Ia lahir di Desa Gedang, Jombang Jawa Timur, pada hari Selasa Kliwon, 24 Dzulqaidah
1287 H bertepatan dengan tanggal 14 February 1871, dan wafat pada tanggal 25 July 1947 pukul
03.45 dini hari, bertepatan dengan tanggal 7 Ramadhan tahun 1366 dalam usia 79 tahun.2

Riwayat pendidikannya dimulai dari mempelajari ilmu-ilmu Alquran dan dasar-dasar


ilmu agama pada orang tuanya sendiri. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya pada berbagai
pondok pesantren, khususnya yang ada di pulau jawa, seperti Pondok Pesantren Shona, Siwalan
buduran, Langitan, Tuban, Demangan, Bangkalan, dan Sidoarjo. Selama pondok dipesantren
Sidoarjo,kiai Ya’kub yang memimpin pondok pesantren tersebut melihat kesungguhan dan
kebaikan budi pekerti K.H. Hasyim Asy’ari ,hingga ia kemudian menjodohkan dengan putrinya,
Khadijah.3 Pada tahun 1892, tepatnya ketika Hasyim Asyari berusia 21 tahun ia menikah dengan
Khadijah putrid K.H Ya’kub.4

1
KH.M. Hasyim Asy’ari, Adab al-Alim wa al-Muta’alim fi ma YAhtaju laihi al-Muta’allim fi Ahwa al-Ta’limihi wa ma
Yatawaqqaf ‘Alaihi Al-Mu’alim fi Maqamat Ta’limih,(Jombang:Maktabah Al-Turas Al-Islamy,1415 H.) cet. Ke-1,hlm 3.
2
Ibid. Lihat pula Ridjaluddin Fajar Nugraha,”Peranan KH Hasyim Asy’ari dalam kebangkitan Islam di Indonesia
“,Skripsi,(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatulah Jakarta,1983), hlm 7.
3
Salah satu tradisi yang berkembang di dunia pesantren adalah menjodohkan seorang santri yang cerdas,pintar,tulus,dan
potensial dengan putri pengasuh pondok pesantren tersebut. Hal yang demikian terjadi pada M.Hasyim Asy’ari, dimana
K.H Ya’kub pada suatu hari menjodohkan putrinya, Khadijah dengan Hasyim Asy’ari. Lihat Ridjaluddin Fadjar
Nugraha,op.cit.,hlm. 16-17
4
Latiful Khuluq, Hasyim Asy’ari, Religios Thought and Political Activities,(1987-1947),(Jakarta;Logos Wacana
Ilmu,2000),hlm.14

3
Setelah melangsungkan pernikahannya itu, K.H. Hasyim Asy’ari bersama istrinya,
Khadijah segera melakukan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Sekembalinya dari Makkah, K.H.
Ya’kub selaku mertuanya menganjurkan kepada K.H. Hasyim Asy’ari agar menuntut ilmu di
Makkah. Hal ini terjadi karena didorong oleh keadaan pada waktu itu yang melihat ketinggian
reputasi keilmuan seseorang ditandai oleh pengalamannya menimba ilmu di Makkah selama
bertahun-tahun. Seorang ulama belum dianggap cukup ilmunya bila belum menuntut ilmu
ditanah suci Makkah.

Setelah merasa cukup persiapan mental dan lainnya, KH ya’kub bersama KH. Hasyim
Asy’ari dan istrinya berangkat ke Makkah untuk mukum dalam rangka menuntut ilmu agama
Islam. Namumn ketika baru saja tujuh bulan berada di Makkah, istrinya melahirkan seorang
putra yang bernama Abdullah. Akan tetapi beberapa hari setelah melahirkan, istrinya Khadijah
meninggal dunia. Setelah selang empat puluh hari dari wafat istrinya itu, putranya Abdullah juga
meninggal dunia. Akhirnya pada tahun berikutnya, K.H. Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia
bersama mertuanya. Dan setelah itu, Hasyim Asy’ari kembali ke Makkah bersama adik
kandungnya bernama Anis tahun 1309 H/1893 M.

Memperdalam ilmu agama di kota Makkah adalah sebuah dambaan bagi kalangan santri
pada saat itu, hal tersebut dilakukan karena beberapa alasan.

Pertama, kota Makkah merupakan tempat lahirnya agama Islam dan bertemunya kaum
Muslimin disaat musim haji. Kedua, di Makkah terdapat sejumlah ulama caliber internasional
yang sebagian dari mereka ada yang berasal dari Indonesia dan memiliki geneologi keilmuan
yang tidak terputus dengan kiai-kiai di pondok pesantren di Indonesia. Para kiai yang telah
cukup lama dan berjasa di Makkah ini kemudian kembali ke Indonesia, dan selanjutnya
mengirim para kadernya ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama pada jalur yang sama.
Ketiga, dalam penilaian masyarakat, bahwa seseorang yang memiliki pengalaman menimba ilmu
di Makkah mendapatkan pengakuan dan posisi terhormat di masyarakat, dibandingkan dengan
mereka yang belum pernah ke Makkah, meskipun ilmu agama yang dimilikinya itu masih belum
teruji kedalamannya.

Dalam perjalanannya menuntu ilmu di Makkah itu, Haysim Asy’ari berjumpa dengan
beberapa tokoh yang selanjutnya dijadikan sebagai gurunya dalam berbagai disiplin ilmu agama

4
Islam. Diantara guru Hasyim Asy’ari di Makkah ini antara lain Syaikh Mahfuzh al-Tirmasi,
putra Kiai Abdullah yang memimpin pesantren Tremas. Dikalangan para kiai di Jawa, Syaikh
mahfuzh lebih dikenal sebagai seorang ahli hadis Bukhari. Dari gurunya ini, Hasym Asy’ari
mendapatkan ijazah untuk mengajar kitab Shahih Buukhari.

Guru Hasym Asy’ari selanjutnya adalah Syaikh Ahmad Khatib dari Minangkabau yang
wafat pada tahun 1334. Syaikh Ahmad Khatib ini adalah menantu Syaikh Shalih Kurdi, seorang
hartawan yang memiliki hubungan baik dengan para penguasa Makkah. Ia menjadi ulama dan
guru besar yang cukup terkenal di Makkah, serta menjadi seorang imam Masjidil Haram untuk
para penganut mazhab Syafi’i. diantara murid Syaikh Ahmad Khatib yang selanjutnya menjadi
ulama besar adalah K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syamsuri, K.H.
Ahmad Dahlan, Syaikh Muhammad Nur, mufti kerajaan Langkat, Syaikh Hasan Maksum, mufti
kerajaan Deli yang bergelar Imam Paduka Tuan, Syaikh Muhammad Saleh, mufti kerajaan
Selangor, Syaikh Muhammad Zain, mufti kerajaan Perak, Haji Muhammad Nur, qadi kerajaan
Langkat di Binjai, K.H. Ibrahim, ketua Muhammadiyah yang kedua, Syaikh Muhammad Djamil
Djambek, dan K.H. Muhammad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

Selain itu Hasyim Asy’ari juga berguru kepada sejumlah tokoh di Makkah, seperti Syaikh
al-Allamah Abdul Hamid al-Darustani dan Syaikh Muhammad Syua’ib Al-Magribi, Syaikh
Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan ibn HAsyim, Sayyid Alawi ibn Ahmad al-Saqqaf, Sayyid
Abbas Malikki, Sayyid Abdullah al-Zawawy, Syaikh Saleh Bafadhal, dan Syaikh Sultan Hasyim
Dagastani.5

Melalui berbagai ulama dan tokoh-tokoh yang menjadi gurunya di Makkah itu, Hasyim
Asy’ari banyak menimba ilmu agama Islam. Ilmu-ilmu agama yang ia pelajari itu, antara lain
Fiqih dengan konsentrasi pada mazhab Syafi’i, ulum al-hadis, atuhid, tafsir, tasawuf, dan ilmu
alat yaitu nahwa,sharaf, mantiq, balaghah, dan lain-lain. Dari sekian banyak ilmu agama yang
dipelajarinya itu, Hasyim Asy’ari lebih banyak memusatkan perhatian dan keahliannya pada
hadis, terutama kumpulan hadist Imam Muslim. Hal yang demikian terjadi karena ia melihat
bahwa salah satu pintu untuk memahami Islam, selain dengan mempelajari Alquran dengan
tafsirnya secara mendalam, juga perlu memiliki pengetahuan yang cukup dalam bidang hadist

5
Abu Bakar Aceh, op.cit, hlm. 35.

5
dengan syarh dan hasyiyahnya. Inilah antara lain yang menyebabkan Hasyim Asy’ari banyak
menarik perhatiannya dalam bidang hadist.

Hal lain yang menarik dicatat dalam mengemukakan riwayat hidup Hasyim Asy’ari ini
adalah berkenaan dengan situasi kota Makkah pada saat itu. Dalam kaitan ini sejarah mencatat
bahwa pada saat Hasyim Asy’ari menimba ilmu di Makkah, Muhammad Abduh sedang giat-
giatnya meluncurkan gerakan pembaruan pemikiran Islam. Ide-ide pembaruan Muhammad
Abduh antara lain berkenaan dengan usahanya mengajak umat islam agar memurnikan ajaran
Islam dari pengaruh dan praktik keagamaan yang bukan berasal dari ajaran Islam yang
sebenarnya, mereformasi pendidikan Islam pada tingkat universitas, merumuskan kembali ajaran
Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern,serta mempertahankan Islam.
Upaya-upaya reformasi yang dilakukan Muhammad Abduh itu ditujukan untuk mengembalikan
tanggungjawab umat Islam dalam bidang social, politik dan pendidikan. Menurut Muhammad
Abduh, hal yang demikian baru terjadi apabila umat Islam melepaskan keterikannya dari pola
piker mazhab. Dalam kaitan ini Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa umat Islam tidak mungkin
memahami maksud Alquran dan Hadist yang sesungguhnya tanpa mempelajari pendapat para
ulama besar yang tergabung dalam system mazhab.

Setelah lebih kurang tujuh tahun bermukim di Makkah dan memiliki banyak ilmu agama
Islam, Hasyim Asy’ari memutuskan untuk kembali pulang ke kampong halamannya. Pada tahun
1900 M bertepatan dengan 1314 H. Hasyim Asy’ari kembali ketanah air. Dikampungnya ini,
K.H. Hasyim Asy’ari membuka pengajian keagamaan secara terbuka untuk umum. Dan dalam
waktu yang relative singkat, pengajian K.H Hasyim Asy’ari tersebut terkenal, terutama di tanah
Jawa. Keberhasilannya ini antara lain didukung oleh kepribadiannya yang luhur serta sikap
pantang menyerah, disamping memiliki kekuatan sritual yang dikenal dengan nama karamah.6

6
Pernyataan bahwa K.H.Hasyim Asy’ari memiliki kekuatan supranatural ini dikuatkan oleh pendapat James Fox,
seorang antropolog dari Australian Nasional University (ANU) yang menganggap K.H.Hasyim Asy’ari sebagai
seorang wali. Dalam hubungan ini ia mengatakan bahwa jika kiai pandai masih dianggap sebagai wali, ada satu
figure dalam sejarah Jawa kini yang dapat menjadi kandidat ulama untuk peran wali. Ini adalah ulama besar,
Hadratus Syaikh, Kiai Hasyim Asy’ari. Ia memiliki ilmu agama yang mendalam dan luas, serta dipandang sebagai
sumber berkah bagi mereka yang mengetahuinya. Hasyim Asy’ari semasa hidupnya menjadi pusat pertalian dan
menghubungkan para kiai utama seluruh Jawa. Kiai Hayim juga dianggap memiliki keistimewaan luar biasa.
Menurut garis keturunannya, tidak saja berasal dari garis keturunan ulama pandai, tetapi ia juga keturunan Prabu
Brawijaya. Lihat James J.Fox, “Ziarah visits to tombs of the Wali, the Founders of Islam on Java,” dalam M.C.

6
Selanjutnya setelah beberapa bulan kembali ke Jawa, pada tahun 1899, Hasyim Asy’ari
mengajar di Pesantren Gedang, sebuah pesantren yang didirikannya ileh kakeknya, K.H. Usman.
Setelah mengajar di pesantren ini, ia membawa 28 orang santri. Dalam tradisi, bagi seorang
santri yang telah menamatkan pelajarannya, ia dipersilahkan membawa beberapa orang santri
pindah ke tempat lain untuk mendirikan pesantren yang baru, dengan izin kiainya. Izin kiai ini
dapat dianggap sebagai restunya kepada kiai muda. Selain itu dengan membawa serta beberapa
santri dari pesantren utama, memudahkan bagi kiai muda tersebut untuk memulai mengajar dan
juga dapat mengharapkan bantuan dari santri bawaan tersebut, baik dalam mengembangkan
organisasi pesantren, maupun dalam menarik santri pendatang baru. Selain itu, santri-santri
bawaan ini dapat membantu mengajar murid-murid tingkat dasar.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Hasyim Asy’ari kemudian berpindah ke tempat
baru dengan memilih daerah yang penuh dengan tantangan yang dikenal dengan daerah hitam.
Daerah tersebut tepatnya di Tebu Ireng, yang berarti pohon tebu berwarna hitam. Dipesantren
inilah K.H. Hasyim Asy’ari banyak melakukan aktivitas social keagamaan dan kemanusiaan
sehingga ia tidak hanya berperan sebagai pimpinan pesantren secara formal, melainkan juga
sebagai pemimpin masyarakat secara informal.

Sebagai pemimpin pesantren, K.H. Hasyim Asy’ari melakukan pengembangan institusi


pesantrennya, termasuk mengadakan pembaruan system dan kurikulum pesantren. Selain
menggunakan system halaqah sebagaimana terdapat di pesantren sebelumnya, Hasyim Asy’ari
juga memperkenalkan system belajar madrasah (klasikal) dan memasukkan mata pelajaran ilmu-
ilmu umum kedalam kurikulumnya yang pada waktu itu termasuk hal yang baru.

Sedangkan perannya sebagai pemimpin informal, K.H. Hasyim Asy’ari menunjukkan


kepeduliannya terhadap kepeduliannya terhadap kebutuhan masyarakat melalui bantuan
pengobatan kepada masyarakat yang membutuhkannya, termasuk juga kepada keturunan
Belanda.7

Kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Hasyim Asy’ari bersama ulama besar lainnya di
Jawa, yaitu Syaikh Abdul Wahhab dan Syaikh Bisri Syamsuri adalah mendirikan Nahdatul

7
Suatu hari anak seorang kepala pabrik gula keturunan Belanda menderita sakit parah yang tidak dapat diobati
oleh banyak dokter. Ia baru dapat diupayakan kesembuhannya setelah meminum air yang telah diberkahi oleh
K.H.Hasyim Asy’ari

7
Ulama, yaitu pada tanggal 31 Januari 1926 bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1344.8
Organisasi social keagamaan ini memiliki maksud dan tujuan memegang teguh salah satu
mazhab Imam empat, yaitu Imam Abu Hanifah al-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam
Muhammad bin Idris as-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, serta mengerjakan apa saja yang
menjadikan kemashlahatan agama Islam.9

Organisasi Nahdatul Ulama yang didukung oleh para ulama ini, pada awalnya ditujukan
intuk merespon wacana Negara khilafah dan gerakan purifikasi yang dimotori Rasyid Ridha di
Mesir, akan tetapi pada perkembangannya, organisasi ini melakukan rekonstruksi social
keagamaaan yang lebih umum. Dalam kaitan ini, wilayah garapan organisasi ini tidak hanya
menyangkut persoalan yang erat hubungannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan atau
masalah ibadah makhdah, melainkan juga masalah hubungan manusia dengan manusia lainnya
termasuk dalam bidang politik kenegaraan. Selain menjadi organisasi social keagamaan terbesar
di Indonesia, Nahdatul Ulama kini malakukan kiprah dalam bidang politik dengan amat
signifikan melalui tokoh-tokohnya yang tergabung dalam PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Gambaran diatas memperlihatkan bahwa Hasyim Asy’ari adalah seorang aktivitas


keagamaan dan kemasyarakatan yang amat luas disamping tugas pokoknya sebagai pemimpin
dan kiai pondok pesantren. Namun demikian, ditengah-tengah kesibukannya ini ia juga banyak
menyumbangkan pemikiran, gagasan dan ide-idenya yang tertuangdalam karya tulis yang
dihasilkannya. Karya-karyanya yang dapat dikemukakan disini antara lain : kitab Adab al-Alim
wa al-Muta’allim fi Ma Yahtaju Ilaih al-Muta’allim wa Ma Yatawaqqaf alaih al-Mua’llim fi
Maqamat Ta’lim (Kitab Etika Guru dan Pelajar serta Hal-hal yang dibutuhkan Murid dalam
Belajar dan Ketergantungan Guru pada Tahapan Belajar). Selanjutnya Ziyadat Ta’liqatyang
berisi catatan tanbahan terhadap syair syaikh Abd Allah bin YAsin dari Pasuruan. Buku ini berisi
bantahan K.H Hasyim Asy’ari terhadap kritikan-kritikan Syaikh Abdullah bin Yasin Pasuruan
tentang organisasi Nahdatul Ulama yang merupakan wadah cendikiawan Muslim (ulama) dalam
menanggapi berbagai persoalan keagamaan.

8
H. Abu Bakar Aceh, op.cit., hlm. 473
9
Statuta Perkumpulan Nahdatul Ulama yang diterbitkan sebagai suplemen Javasche Courant pada tanggal 25
Februari 1930 yang dikutip oleh Martin dan Bruinessen, dalam Traditionist Muslim in A Modernizing World: The
Nahdatul Ulama and Indonesia’s New Order Politic, Factional, Conflict and The Search for a New Discourse
diterjemahkan oleh Farid Wajdi; NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru,(Yogyakarta: LKiS, 1994),
hlm.42.

8
Buku lainnya yang ditulis oleh Hasyim Asy’ari adalah al-Tanbihat al-wajibat liman
yashna’ al-maulid al-munkarat (Nasihat penting bagi orang yang merayakan kelahiran nabi
Muhammad dengan menjalankan hal-hal yang dilarang oleh agama). Hal yang dilarang oleh
agama ini adalah ketika masyarakat merayakannya denagn unsure-unsur maksiat seperti
pergelaran music dengan pakaian yang seronok, tarian campur aduk antara perempuan dan laki-
laki, serta perjudian.

Karya hasyim Asy’ari lainnya yang berjudul al-Risalat al-Jamiat, Sharh fi Ahwal al-
Mauta wa Asyrath al-Saat Ma’bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah (catatan lengkap yang
menjelaskan tentang kematian dan hari kiamat yang dilengkapi dengan arti Sunnah dan Bid’ah).

2.1.2 Pemikirannya dalam Bidang Pendidikan

o Mengajar

Mengajar merupakan profesi yang ditekuni Hasyim Asy’ari dari sejak kecil. Sejak masih
di pondok pesantren ia sering dipercaya oleh gurunya mengajar santri-santri yang baru masuk.
Sepulang dari Makkah ia membantu ayahnya mengajar dipondok ayahnya, Pondok Nggedang.

o Mendirikan Pesantren

Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang dikelolanya sendiri di Desa Tebu
Ireng, Jombang. Hasyim Asy’ari sengaja memilih koleksi yang penduduknya dikenal banyak
penjudi, perampok, dan pemabuk. Mulanya pilihannya itu ditentang oleh sahabat dan sanak
keluarganya. Akan tetapi, Hasyim Asyi’ari meyakinkan mereka bahwa dakwah Islam harus lebih
babnyak ditujukan kepada masyarakat yang jauh dari kehidupan beragama. Dengan
pertimbangan yang demikian itu, maka pada tahun 1899 berdirilah sebuah pondok pesantren di
Tebu Ireng. Bertahun-tahun lamanya Hasyim Asy’ari membina pesantrennya, menghadapi
berbagai rintangan dan hambatan, tertutama dari masyarakat sekelilingnya. Namun pesantren
tersebut terus berkembang dengan pesat. Santri yang semula hanya berjumlah 28 orang
kemudian bertambah terus dari tahun ke tahun sampai mencapai ribuan orang. Mereka itu bukan
hanya datang dari daerah yang dekat, melainkan juga dari berbagai pelosok tanah air.

9
o Mendirikan Organisasi

Hasyim Asy’ari melihat bahwa untuk berjuang mewujudkan cita-citanya termasuk dalam
bidang pendidikan, diperlukan adanya wadah berupa organisasi. Untuk tujuan tersebut, maka
pada tahun 1926 ia bersama dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dan sejumlah ulama lainnya
di Jawa Timur mendirikan Jamiah Nahdatul Ulama (NU). Sejak awal berdirinya Kiai Hasyim
dipercaya memimpin organisasi itu sebagai Rais Akbar. Jabatan ini dipegangnya dalam beberapa
periode kepengurusan.

Pada tahun 1930, dalam Muktamar NU ke-3 Kiai Hasyim selaku Rais Akbar
menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai organisasi NU. Pokok-pokok pikiran inilah yang
kemudian dikenal sebagai qanun asasi Jamiah NU (Undang-undang dasar Jamiah NU). Intisari
dari qanun asasi itu mencakup :

(1) latar belakang berdirinya Jamiah NU

(2) hakikat dan jati diri Jamiah NU

(3) potensi umat yang diharapkan akan menjadi pendukung NU

(4) perlunya ulama bersama (ijtima’), saling mengenal (ta’aruf), rukun bersatu (ittihad), dan
saling mengasihi satu sama lain (ta’alluf) didalam satu wadah yang dinamakan NU, dan

(5) keharusan warga NU bertaklid pada salah satu pendapat imam mazhab yang empat :
Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.

Karena demikian besar peran yang dilakukan oleh Hasyim Asy’ari dalam membina dan
menggerakkan masyarakat melalui pendidikan dan organisasi yang didirikannya, maka pada
tahun 1937 ia didatangi oleh seorang amtener tinggi penguasa Belanda yang akan memberikan
tanda kehormatan pemerintah Belanda kepadanya, yaitu berupa sebuah bintang emas. Namun
Kiai Hasyim Asyi’ari dengan tegas menolak pemberian itu, karena khawatir keikhlasan hatinya
dalam berjuang akan terganggu dan ternodai oleh hal-hal yang bersifat material. Hal ini
menunjukkan bahwa ia seorang ulama yang teguh dan kuat berpegang pada prinsip kebenaran
yang diyakininya.

10
o Berjuang Melawan Belanda

Pada masa revolusi fisik melawan penjajahan Belanda, K.H. Hasyim Asy’ari dikenal
karena ketegasannya terhadap penjajah dan seruan jihad-nya yang menggelorakan para santri dan
masyarakat Islam. Ia mengajak mereka untuk berjihad melawan penjajah dan menolak kerja
sama dengan penjajah.

Demikian pula halnya dimasa pemerintahan Jepang. Pada tahun 1942, tatkala penguasa
Jepang menduduki Jombang, K.H. Hasyim Asyari ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan.
Lalu diasingkan ke Mojokerto untuk ditahan bersama-sama dengan serdadu-serdadu sekutu.
Berbulan-bulan ia mendekam dalam mendekam dalam penjara tanpa mengetahui kesalahan apa
yang dituduhkan atas dirinya.

o Aktif di Masyumi

Hasyim Asy’ari pernah menjabat Ketua Besar Masyumi ketika NU menjadi anggota.
Dalam suatu kesempatan pidato dihadapan ulama seluruh Jawa pada tanggal 30 Juli 1946 di
Bandung, Kiai Hasyim Asy’ari melontarkan kritik tajam terhadap kekejaman Belanda dan
mengimbau agar tetap waspada terhadap politik bangsa Jepang. Kedua bangsa itu dicap kafir dan
umat Islam dilarang mempercayai orang-orang kafir. Karena peran dan jasanya ini, nama K.H.
Hasyim Asy’arin diabadikan menjadi Universitas (1969) dalam lingkungan Pondok Pesantre n
Tebu Ireng.

11
2.2 K.H. Ahmad Dahlan
2.2.1 Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
K.H Ahmad Dahlan dilahirkan pada tahun 1869 di Yogyakarta dengan nama Darwisy.
Ayahnya bernama K.H Abu Bakar bin Kiai Sulaiman, seorang khatib tetap di masjid Sultan di
kota tersebut. Ibunya adalah anak seorang penghulu, H. Ibrahim.

Sewaktu kecil Ahmad Dahlan tidak sempat menikmati pendidikan barat untuk anak-anak
kaum Ningrat yang lulusannya biasanya disebut Kapir Landa. Malahan ia mendapatkan
pendidikan tradisional di Kauman, Yogyakarta. Dimana ayahnya sendiri, K.H Abu Bakar
menjadi guru utama yang mengajarkan pelajaran-pelajaran dasar mengenai agama islam. Seperti
juga anak-anak kecil lain ketika itu, Ahmad Dahlan dikirim ke pesantren di Yogyakarta dan
pesantren-pesantren lain di beberapa tempat di Jawa. Di lembaga-lembaga pendidikan inilah, ia
belajar pelajaran qira’ah, tafsir, fiqh dan bahasa Arab.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di madrasah dan pesantren di Yogyakarta


dan sekitarnya, ia berangkat ke Makkah untuk pertama kali pada 1890. Selama setahun ia belajar
di sana. Salah seorang gurunya adalah Syeikh Ahmad Khatib, seorang pembaru dari Minang
Kabau, Sumatera Barat. Sekitar tiga tahun kemudian, 1903 untuk kedua kalinya ia berkunjung ke
Makkah. Kali ini ia menetap lebih lama, 2 tahun.10 Sumber lain menyebutkan bahwa kakeknya
dari garis ibu bernama H. Ibrahim yang merupakan seorang penghulu di Yogyakarta. 11

Diyakini bahwa selama tinggalnya di kota suci Makkah itulah Ahmad Dahlan bertemu
dengan ide-ide pembaruan islam yang dipelopori Jamaluddin Alfaghani, Moh. Abduf dan Rasyid
Ridho.12

Ahmad Dahlan bukan seorang penulis sebagaimana Muhammad Natsir. Oleh karena itu,
gagasan-gagasan pemikirannya ia sampaikan secara lisan dan karya nyata. Untuk itu lebih
dikenal sebagai pelaku di bandingkan sebagai pemikir. Ahmad Dahlan juga menjadi khatib di

10
Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2002), cet. II, hlm.216
11
Dody S. Truna dan Ismatu Ropi (Peny.) Pranata Islam di Indonesia, Pergulatan Sosial, Politik, Hukum dan
Pendidikan, (Jakarta:Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran, 2002), cet. I., hlm. 253
12
Ibid., hlm. 254

12
masjid Kesultanan Yogyakarta, di samping sebagi guru di sekolah-sekolah pemerintah seperti
Kweekschool di Yogyakarta dan OSVIA di Magelang.13

Ketika berusia 40 tahun 1909, Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi
dakwah, ia memasuki perkumpulan Boedi Oetomo. Melalui perkumpulan, Dahlan berharap
dapat memberikan dapat memberikan pelajaran agama bagi para anggotanya.Lebih dari itu,
karena anggota-anggota Budi Utomo. Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat
memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya..Lebih dari itu, karena anggota-anggota
Budi Utomo pada umumnya bekerja disekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad
Dahlan berharap dapat mengajarkan pelajaran agama di sekolah – sekolah pemerintah.Rupanya ,
cara mengajar dan pelajaran agama yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh
anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti, mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka
sendiri secara sekolah terpisah.Sekolah tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang
bersifat permanen. Melalui organisasi tersebut,selain sistem pengajaran dapat diatur sedemikian
rupa , juga lebih dapat terhindar dari kebangkrutan manakala pendirinya telah meninggal,
sebagaimana sistem pesantren tradisional ketika kiainya telah wafat.

Akhirnya, pada 18 November 1912, Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
Muhammadiyah di Yogyakarta.Organisasi ini mempunyai maksud “menyebarkan Kanjeng Nabi
Muhammad SAW.Kepada penduduk bumi putera”, dan “Memajukan hal agama Islam kepada
anggota-anggotanya”.14Untuk mencapai tujuan tersebut, organisasi berupaya mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh dimana dibicarakan masalah-
masalah islam, mendirikan wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosu,
surat-surat kabar, dan majalah-majalah.

Dalam mengarahkan kegiatan-kegiatan organisasi ini dalam tahun pertama tidaklah


mengadakan pembagian tugas yang jelas diantara pengurus.Hal ini semata-semata disebabkan
oleh ruang gerak yang masih sangat terbatas, yaitu sampai sekurang-kurangnya tahun 1917 pada
daerah Kauman, Yogyakarta. Dahlan sendiri aktif bertabligh, aktif pula mengajar di sekolah
Muhammadiyah aktif memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai
macam seperti Solat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin dengan

13
Ibid
14
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta: LP3ES, 1985),

13
mengumpulkan dana dan pakaian kepada mereka. Sifat social dan pendidikan dari
Muhammdiyan memanglah telah diletakkan di dalam masa-masa awal tersebut.

Sudah barang tentu K,H Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian. Ia dibantu oleh kawan-
kawannya dari Kauman, Seperti H. Sujak, H.Fakhruddin, H. Tamim, H.Hisyam, H. Syarwani, H.
Abdul Gani. Sedangkan anggota Boedi Oetomo yang paling keras mendukung segera didirikan
sekolah agama yang bersifat modern adalah Mas Rasyidi, siswa Kweekschool di Yogyakarta,
dan R. Sosrosugondo seorang guru di kelas tersebut. Sekitar sebelas tahun kemudian setelah
organisai Muhammdiyah didirikan, K.H Ahmad Dahlan meninggal dunia pada tanggal 23
Februari 1923.15

2.2.2 Latar Belakang pendirian Muhammadiyah

Ada beberapa faktor berdirinya Muhammadiyah, diantaranya sebagai berikut :


1.Faktor Subyektif
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor
penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KH
Ahmad.Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan mengkaji
kandungan isinya. Sikap KH. Ahmad Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka
melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan
surat MUhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati
dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat.
Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali Imran
ayat104:
"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung ".
Memahami seruan diatas, KH.Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah
perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad
pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah masyarakat kita.

15
Ensiklopedia Islam Indonesia Jilid 1, op.cit., hlm. 218

14
2. Faktor Obyektif
Ada beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatarbelakangi berdirinya
Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor-faktor
penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia, dan
sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu faktor-faktor penyebab yang ada
di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.

3. Faktor obyektif yang bersifat internal


a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Quran dan as-Sunnah sebagai
satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia.
b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap
mengemban misi selaku ”Khalifah Allah di atas bumi”.

4. Faktor obyektif yang bersifat eksternal


a. Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.
b.Penetrasi Bangsa-bangsa Eropa, terutama Bangsa Belanda ke Indonesia.
c.Pengaruh dari Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.

5.Tujuan berdirinya Muhammadiyah


Tujuan dari berdirinya organisasi ini ialah mengadakan dakwah Islam, memajukan
pendidikan dan pengajaran, menghidupkan sifat tolong-menolong, mendirikan tempat ibadah dan
wakaf, mendidik dan mengasuh anak-anak agar menjadi umat Islam yang berarti, berusaha ke
arah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam, serta berusaha
dengan segala kebijaksanaan supaya kehendak dan peraturan islam berlaku dalam masyarakat.
Rumusan tujuan ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah
Desenber 1950.
Setelah organisasi ini berdiri, sekolah yang didirikan semakin banyak, karena pendirian
sekolah dan madrasah menjadi prioritas dalam setiap gerakan Muhammadiyah.Oleh karena itu,
di mana ada cabang perkumpulan organisasi ini dipastikan terdapat sekolah atau Madrasah
Muhammadiyah. Hal ini dimungkinkan karena kalangan pendukung Muhammadiyah

15
kebanyakan berasal dari kaum pedagang dan pegawai di wilayah perkotaan sehingga mudah
untuk dikoordinasikan.16

2.2.3 Pemikiran Pendidikan


Ahmad Dahlan memiliki pandangan yang sama dengan Ahmad Khan (Tokoh pembaru
islam di India) mengenai pentingnya pembentukan kepribadian. Ahmad Khan sangat bangga
dengan pendidikan para pendahulunya dan mengakui bahwa pendidikan yang demikian telah
menghasilkan orang-orang besar sepanjang sejarahnya. Akan tetapi, Ahmad Khan juga mengakui
bahwa meniru metode pendidikan para pendahulunya tidak akan membuahkan hasil yang
diinginkan. Metode-metode baru yang sesuai dengan zaman harus digali.Ahmad Khan
berpandangan bahwa pendidikan sangat penting dalam pembentukan kepribadian.Sayyid Ahmad
Khan tidak menganjurkan adanya masyarakat yang sekuler atau pluaris, meskipun ia mencoba
mendorong muslim untuk berhubungan dengan orang-orang barat, untuk makan bersama
mereka, menghormati agama mereka, untuk mempelajari ilmu-ilmu mereka, dan lain-lainnya.16
Berdasarkan ide-idenya terlihat bahwa Ahmad Dahlan menggunakan Self Correctiv
terhadap umat islam. Menurut Ahmad Dahlan bahwa pandangan muslim tradisionalis terlalu
menitikberatkan pada aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Sifat semacam ini
mengakibatkan kelumpuhan atau bahkan kemunduran dunia islam, sementara kelompok yang
lain telah mengalami kemajuan dalam bidang ekonomi. Ahmad Dahlan terobsesi dengan sistem
pendidikan Barat seperti terlihat pada sekolah-sekolah missionaris maupun pemerintah. Ahmad
Dahlan berpandangan bahwa kemajuan materi merupakan prioritas karena dengan cara itu
kesejahteraan mereka akan bias sejajar dengan kaum colonial.
Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan sebagaimana tersebut di atas
dilaksanakan lebih lanjut melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya.Salah satu
kegiatan atau program unggulan organisasi ini adalah bidang pendidikan.Sekolah
Muhammadiyah telah berdiri satu tahun sebelum Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi
berdiri. Pada tahun 1911, Ahmad Dahlan mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bias
memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama bias
memberikan mata pelajara umum. Proyek yang pertama diwujudkan dalam bentuk pendirian

16
Lihat Sheila McDonough, The Authorithy of the Past: A study of Three Muslim Modernist (Pennsylvania: American
Academy of Religion, 1970), hlm. 11

16
sekolah di rumahnya.Di sekolah ini pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan, sementara
untuk pelajaran umum diajarkan oleh anggota Boedi Oetomo yang juga menjadi guru di sekolah
pemerintah.
Usaha awal ini belum mendapatkan tanggapan yang baik dari masyarakat seperti
tercermin pada sedikitnya jumlah siswa yang mendaftarkan diri di sekolah tersebut.Ketiak
sekolah ini di buka hanya ada 9 orang siswa yang mendaftar. Kecilnya jumlah siswa yang
mendaftar merupakan bukti bahwa pada saat itu masyarakat muslim masih belum banyak
mengetahui tentang manfaat ilmu pengetahuan umum. Hal itu juga menjadi bukti bahwa orang-
orang islam masih belum dapat membedakan antara ilmu-ilmu umum dan Belanda sebagai agen
imperialis. Tanggapan yang kurang memuaskan dari masyarakat terhadap sekolah dengan model
baru ini tidak mengendorkan semangat Ahmad Dahlan. Usaha yang sungguh-sungguh itu
membuahkan hasil seperti tergambar dalam jumlah murid yang meningkat menjadi 20 siswa
dalam waktu enam bulan.Anggota-anggota Boedi Oetomo juga menyiapkan diri untuk
membantu dengan mendekati pemerintah untuk mendapatkan bantuan keuangan. Pada tanggal
21 Desember 1911, sekolah tersebut diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dan
menjadi sekolah dasar pertama di Yogyakarta yang memberikan pelajaran Agama dan ilmu
pengetahuan umum.17
Perkembangan sekolah Muhammdiyah mengalami booming setelah tahun 1921.Pada
tahun itu pemerintah mengeluarkan peraturan yang memperbolehkan pendirian cabang-cabang
Muhamaddiyah di luar Yogyakarta. Mengikuti diberlakunya peraturan ini Muhammadiyah
melakukan restrukturisasi organisa, dimana urusan-urusan sekolah yang sebelumnya ditangani
langsung oleh Ahmad Dahlan, kemudian ditangani oleh bagian sekolah.

17
Dodi S. Truna dan Ismatu Ropi, op.cit., hlm. 262

17
BAB II
PENUTUP

KESIMPULAN
Hal lain yang menarik dicatat dalam mengemukakan riwayat hidup Hasyim Asy’ari ini
adalah berkenaan dengan situasi kota Makkah pada saat itu. Dalam kaitan ini sejarah mencatat
bahwa pada saat Hasyim Asy’ari menimba ilmu di Makkah, Muhammad Abduh sedang giat-
giatnya meluncurkan gerakan pembaruan pemikiran Islam. Ide-ide pembaruan Muhammad
Abduh antara lain berkenaan dengan usahanya mengajak umat islam agar memurnikan ajaran
Islam dari pengaruh dan praktik keagamaan yang bukan berasal dari ajaran Islam yang
sebenarnya, mereformasi pendidikan Islam pada tingkat universitas, merumuskan kembali ajaran
Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern,serta mempertahankan Islam.
Upaya-upaya reformasi yang dilakukan Muhammad Abduh itu ditujukan untuk mengembalikan
tanggungjawab umat Islam dalam bidang social, politik dan pendidikan. Menurut Muhammad
Abduh, hal yang demikian baru terjadi apabila umat Islam melepaskan keterikannya dari pola
piker mazhab. Dalam kaitan ini Hasyim Asy’ari berkeyakinan bahwa umat Islam tidak mungkin
memahami maksud Alquran dan Hadist yang sesungguhnya tanpa mempelajari pendapat para
ulama besar yang tergabung dalam system mazhab.

Ahmad Dahlan telah membuat terobosan dan strategi dakwah, ia memasuki perkumpulan
Boedi Oetomo. Melalui perkumpulan, Dahlan berharap dapat memberikan dapat memberikan
pelajaran agama bagi para anggotanya.Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo.
Melalui perkumpulan ini, Dahlan berharap dapat memberikan pelajaran agama kepada para
anggotanya..Lebih dari itu, karena anggota-anggota Budi Utomo pada umumnya bekerja
disekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah, Ahmad Dahlan berharap dapat mengajarkan
pelajaran agama di sekolah – sekolah pemerintah.Rupanya , cara mengajar dan pelajaran agama
yang diberikan Ahmad Dahlan dapat diterima baik oleh anggota-anggota Budi Utomo. Terbukti,
mereka menyarankan agar Ahmad Dahlan membuka sendiri secara sekolah terpisah.Sekolah
tersebut hendaknya didukung oleh suatu organisasi yang bersifat permanen. Melalui organisasi
tersebut,selain sistem pengajaran dapat diatur sedemikian rupa , juga lebih dapat terhindar dari
kebangkrutan manakala pendirinya telah meninggal, sebagaimana sistem pesantren tradisional
ketika kiainya telah wafat.

18

You might also like