You are on page 1of 4

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Penyakit tuberculosis (TBC) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia,
di Indonesia masih menjadi penyebab kematian pertama untuk penyakit infeksi. Jumlah penderita
TBC di Indonesia menduduki urutan kelima dunia dengan distribusi sekitar 75% penderita
penyakit TBC adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun) (Karuniawati, 2015). Di bidang
kesehatan, pendidikan, dan lingkungan, Indonesia masih menghadapi tantangan yang signifikan.
Kualitas pelayanan kesehatan masih tertinggal dan tingkat penyakit menular tetap tinggi.
Tuberkulosis (TB) menyebabkan kematian pada sekitar 65.000 orang Indonesia per tahun (WHO,
2014).

Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium Tuberkulosis, dimana penularan dapat terjadi melalui udara (airbone spreading)
dari droplet infeksi. Mycobacterium tuberculosa dapat menginfeksi organ-organ diantaranya
meningen, ginjal, tulang, paru, dan nodus limfe (Agustina, 2016). Penyakit TBC berbeda dengan
penyakit yang lain terutama dalam hal terapinya, karena TBC dapat disembuhkan dengan
perbaikan lingkungan, nutrisi yang baik dan dengan pengobatan dan selain itu membutuhkan
waktu pengobatan yang lebih lama dibandingkan penyakit infeksi lainnya (Karuniawati, 2015).

Pengobatan yang dilakukan oleh penderita TBC adalah minum Obat Anti Tuberklosis (OAT),
dimana pengobatannya secara keseluruhan dapat mencapai 6-12 bulan. Agar dapat sembuh,
penderita harus minum obat secara teratur sesuai petunjuk, menghabiskan obat sesuai waktu yang
ditentukan (6-12 bulan) berturut-berturut tanpa terputus, serta makan-makanan bergizi dan
melibatkan petugas kesehatan atau anggota keluarga untuk mengawasi dan memastikan penderita
TBC minum obat dengan teratur dan benar (Agustina,2016).
Walaupun telah ada cara pengobatan tuberkulosis dengan efektifitas yang tinggi masih
didapatkan angka kesembuhan lebih rendah dari yang diharapkan. Pada negara berkembang
penyebab pertama terjadinya hal tersebut adalah klien tidak mematuhi ketentuan dan lamanya
pengobatan secara teratur untuk mencapai kesembuhan. Terutama pemakaian obat secara teratur
pada 2 bulan fase intensif sering kali tidak tercapai, hal tersebut disebabkan karena penyembuhan
tuberkulosis paru membutuhkan waktu yang lama, penderita harus minum obat selama minimal 6
bulan sehingga tidak banyak orang yang rajin minum obat dengan cara ini. Apabila aturan minum
obat tuberkulosis paru tidak dipatuhi, penderita harus minum obat dari program awal lagi.
Pengobatan tuberkulosis paru yang tidak teratur merupakan penyebab utama dari kegagalan
pengobatan tuberkulosis paru (Soemantri Irman, 2009). Karena penyakit tuberkulosis paru adalah
penyakit menahun, maka kegagalan pengobatan tidak segera terlihat dampaknya. Proses dalam
tubuh berjalan terus secara kronis disertai perusakan jaringan paru, sehingga berdampak angka
kesembuhan rendah, angka kematian tinggi, kekambuhan meningkat dan yang lebih fatal adalah
terjadinya resistensi kuman terhadap beberapa obat anti tuberkulosis paru yang disebut sebagai
MDR (Multi Drug Resistensi).
Sebenarnya penyakit tuberkulosis paru dapat sembuh sempurna dengan pengobatan yang tepat,
teratur dan tuntas. Kepatuhan minum obat merupakan kunci keberhasilan pengobatan tuberkulosis
paru. Untuk mencegah kegagalan pengobatan maka usaha yang dilakukan adalah memberikan
penyuluhan tentang penyakit tuberkulosis kepada klien beserta pengawas pengobatan dan
penyuluhan mengenai pengobatan tuberkulosis yang tepat, teratur dan tuntas. Untuk mencapai
keberhasilan pengobatan dan kesuksesan program pengobatan tuberkulosis paru, petugas
kesehatan harus memberikan keyakinan pada klien bahwa penyakit kronis tersebut dapat
disembuhkan dengan cara melakukan pengobatan secara teratur. Selain itu, petugas kesehatan juga
harus berupaya mengawasi klien dalam menjalani pengobatan, sehingga klien yang telah
mengikuti program pengobatan akan tetap berobat sampai penyakitnya sembuh, serta menetapkan
strategi DOTS (Directly Observed Treatmet Short Course) strategi ini merupakan strategi kunci
yang direkomendasikan oleh badan kesehatan dunia (WHO). Pemberian obat seharusnya diawasi
secara ketat kurang lebih selama 5 bulan pertama pengobatan, didukung untuk pemeriksaan
sputum, dan peran serta dari keluarga (Asih, Niluh Gede, 2003).
Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat adalah pengetahuan. Dengan
adanya tingkat pengetahuan yang baik diharapkan penderita akan mengerti dan patuh terhadap
program pengobatannya (WHO, 2018). Sikap sangat menentukan keberhasilan pengobatan
terlebih dalam mencegah penularannya. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya
tambahan informasi tentang objek tertentu melalui persuasif serta tekanan dari kelompok
sosialnya. Seseorang yang memiliki pengetahuan yang baik maka akan memperoleh sikap yang
baik terhadap upaya pencegahan penyebaran penyakit (Faiz, 2014).
Penekanan dan pemberantasan terkait dengan tingkat keberhasilan pengobatan TB bisa
ditentukan dari hasil pengobatan seorang pasien yakni persentase kesembuhan, sehingga dengan
demikian pencatatan hasil pengobatan perlu dilakukan. Upaya responden untuk mencegah
penularan penyakit yaitu memakai masker, meludah di tempat yang disediakan (air ditambah
sabun/lysol), tidur terpisah dengan keluarga, kalau batuk harus ditutup, jendela rumah dibuka, alat
makan disendirikan, menjaga kebersihan atau berperilaku hidup bersih, ketika batuk atau bersin
mulut ditutup dan menjaga jarak dengan orang lain (Faiz, 2014).

Sebagaimana tertera dalam hadist yang diriwayatkan oleh Jabir Bin Abdillah:
Artinya :

“Setiap penyakit ada obatnya dan jika suatu obat mengenai tepat pada penyakitnya. Ia akan
sembuh dengan izin Allah Ta‟ ala” (HR. Muslim) (Al-Ju‟aisin, 2001:25).

Hadist tersebut memberi motivasi dan landasan dasar kepada para peneliti untuk terus
melakukan pengkajian ilmu lebih dalam. Tujuannya, agar dapat berguna untuk meningkatkan
kualitas kesehatan pasien dengan menjadikan profesi kefarmasian sebagai sarana ibadah dan
memperoleh ridha Allah swt. Sehubungan dengan penelitian ini, diperlukan pengkajian
penggunaan obat untuk pasien TB paru di sebuah sarana pelayanan kesehatan masyarakat dengan
harapan dapat bermanfaat dalam memperkecil prevalensi kasus dengan penyakit terkait dimasa
mendatang.

Berkembang atau tidaknya penyakit secara klinik setelah infeksi mungkin dipengaruhi oleh
umur, banyaknya penyakit penyerta kronik yang diderita, jenis kelamin, hingga lama pengobatan,
sehingga faktor-faktor tersebut mungkin berperan terhadap hasil pengobatan seorang pasien
nantinya. Dalam upaya untuk mencapai kesembuhan, salah satunya juga dapat terealisasi dengan
penggunaan OAT yang sesuai dengan Standar Pedoman Nasional oleh pasien-pasien yang
menjalani pengobatan TB. Atas semua dasar tersebut diatas, sehingga peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian terkait evaluasi penggunaan OAT pada pasien penyakit Tuberkulosis Paru
yang dirawat di Puskesmas Jumpandang Baru Makassar yang mencakup pengkajian pola
penggunaan, kesesuaian penggunaan terhadap standar pedoman serta analisis hubungan antara
umur, jenis kelamin, lama pengobatan dan penyakit penyerta kronik terhadap hasil pengobatan
seorang pasien.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian
ini adalah :

1.

You might also like