You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi merupakan kondisi yang paling umum ditemukan dalam praktik pelayanan
primer. Pada tahun 2008 terdapat 40% orang dewasa berusia 25 tahun ke atas yang tersebar di
seluruh dunia, didiagnosis dengan hipertensi. Angka ini telah meningkat sejak tahun 1980
sebesar 600 juta hingga tahun 2008 mencapai 1 milyar.1 Di Indonesia sendiri, prevalensi
penderita hipertensi tahun 2008 yang berusia 25 tahun ke atas sebesar 41%. Angka ini
menempati peringkat kedua tertinggi di daerah Asia Tenggara setelah negara Myanmar.2
Peningkatan prevalensi hipertensi dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi, usia, serta
perilaku sebagai faktor risiko seperti diet tidak sehat, penggunaan alkohol yang
membahayakan, kurangnya aktivitas fisik, berat badan yang berlebiha dan paparan terhadap
stress secara persisten. Tingginya tekanan pada pembuluh darah menyebabkan jantung harus
1

bekerja lebih keras dalam usahanya untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Apabila kondisi
ini tidak diatasi maka hipertensi dapat menuju pada serangan jantung, pembesaran jantung
dan pada akhirnya kegagalan jantung. Tingginya tekanan pembuluh darah dapat juga
menyebabkan darah bocor ke dalam otak, menjadi stroke. Hipertensi juga dapat
menyebabkan kegagalan ginjal, kebutaan, ruptur tekanan darah, dan gangguan kognitif.1
Selama lebih dari 30 tahun terakhir telah dilakukan upaya dalam meningkatkan
kesadaran, pencegahan, penatalaksanaan terhadap hipertensi mengingat kontribusi penyakit
ini dalam angka kematian. Sejak publikasi pertama tahun 1997 lalu, kini di tahun 2013,
kembali dipublikasikan sebuah pedoman penatalaksanaan hipertensi pada dewasa (2014
Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults, Report
From the Panel Members Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8)) yang
dibuat oleh para ahli berdasarkan systemtic review dan uji klinis.,. Pedoman ini menyediakan
pendekatan berbasis bukti dalam rekomendasi, target serta terapi penatalaksanaan hipertensi
pada dewasa yang sesuai bagi petugas pelayanan primer.3
Oleh karena itu, dalam referat ini akan dibahas mengenai hipertensi serta butir-butir
rekomendasi pengelolaan penyakit hipertensi yang tercantum dalam JNC 8, sebagai upaya
pendekatan diagnosis dan penatalaksanaan sesuai standar kompetensi dokter pelayanan
primer.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan pembuluh darah yang persisten ditandai


dengan tekanan sistolik ≥130 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 80 mmHg.2

2.1.2 Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, 80-95% penderita hipertensi digolongkan sebagai hipertensi


primer atau esensial yaitu ketika penyebab hipertensi tidak dapat diidentifikasi (idiopatik) dan
sebagian besar merupakan interaksi yang kompleks antara genetik dan interaksi lingkungan.5
Sementara itu 5-20% lainnya digolongkan sebagai hipertensi sekunder, yang diakibatkan
adanya penyakit yang mendasari seperti gangguan ginjal, gangguan adrenal,penyempitan
aorta, obstructive sleep apneu, gangguan neurogenik, endokrin, dan obat-obatan.4
2.1.3 Klasifikasi
Penentuan derajat hipertensi dilakukan berdasarkan rata-rata dari dua atau lebih
pengukuran tekanan darah (dalam posisi duduk) selama dua atau lebih kunjungan pasien
rawat jalan.2 Klasifikasi hipertensi dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tekanan darah sistolik Tekanan darah


Klasifikasi
(mmHg) diastolik (mmHg)
Normal < 120 dan < 80
Tinggi 120 – 129 dan < 80
Hipertensi tingkat 1 130 –139 atau 80 – 89
Hipertensi tingkat 2 ≥ 140 atau ≥ 90
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi

2
2.1.4 Faktor risiko
Terdapat beberapa gaya hidup yang berperan sebagai faktor risiko berkembangnya
hipertensi, termasuk diantaranya adalah: konsumsi makanan yang mengandung banyak garam
dan lemak, sedikit sayur dan buah, penggunaan alkohol hingga di tingkat yang
membahayakan, kurangnya aktivitas fisik, serta pengelolaan stress yang rendah. Gaya hidup
tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kondisi pekerjaan dan kehidupan individu.1

Faktor Gaya Metabolik


sosial hidup
• Globalisasi • Diet tidak • Tekanan
• Urbanisasi sehat darah tinggi
• Usia • Rokok • Obesitas
• Pendapatan • Alkohol • Diabetes
• Pendidikan • Kurangnya • Peningkatan
aktivitas kadar lemak
darah

Gambar 1. Faktor risiko hipertensi1

Faktor risiko di atas, lebih lanjut lagi dapat dibedakan menjadi dua yakni faktor yang dapat
dan tidak dapat dikendalikan.
I. Faktor yang tidak dapat dikendalikan
a. Usia
Risiko kejadian hipertensi akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada
umur 25-44 tahun prevalensi hipertensi sebesar 29%, pada umur 45-64 tahun
sebesar 51% dan pada umur >65 Tahun sebesar 65%. Penelitian Hasurungan pada
lansia menemukan bahwa dibanding umur 55-59 tahun, pada umur 60-64 tahun
terjadi peningkatan risiko hipertesi sebesar 2,18 kali,umur 65-69 tahun 2,45 kali dan
umur >70 tahun 2,97 kaliMeskipun hipertensi bisa terjadi pada segala usia, namun
paling sering dijumpai pada orang berusia >35 tahun. Prevalensi hipertensi
dikalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40 % dengan kematian sekitar 50 %
diatas umur 65 tahun. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi seiring dengan
3
bertambahnya usia, disebabkan oleh perubahan struktur pada pembuluh darah besar,
sehingga lumen menjadi lebih sempit dan dinding pembuluh darah menjadi lebih
kaku.7

b. Jenis Kelamin
Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita, dengan
peningkatan risiko sebesar 2 kali lipat untuk peningkatan tekanan darah sistolik. Pria
lebih banyak mengalami kemungkinan hipertensi dari pada wanita,seringkali dipicu
oleh perilaku tidak sehat (merokok dan konsumsi alkohol), depresi dan rendahnya
status pekerjaan, perasaan kurang nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran.7

c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi akan meningkatkan risiko
kejadian hipertensi terutama pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki
hipertensi dan penyakit jantung meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat. Jika
kedua orang tua menderita hipertensi, kemungkinan anaknya menderita hipertensi
sebesar 45%, sedangkan jika hanya salah satu dari orang tuanya yang menderita
hipertensi maka kemungkinan anaknya menderita hipertensi sebesar 30%.

d. Genetik
Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan ditemukannya
kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar monozigot (satu sel telur)
daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang penderita yang mempunyai sifat
genetik hipertensi primer (esensial) apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi
terapi, akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam waktu sekitar 30-50
tahun akan timbul manifestasi klinis.

II. Faktor yang dapat dikendalikan


a. Kebiasaan Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Hubungan antara rokok dengan
peningkatan risiko kardiovaskuler telah banyak dibuktikan. Semakin lama seseorang
merokok dan semakin banyak rokok yang dihisap maka kejadian hipertensi akan
semakin meningkat. Seseorang yang menghisap lebih dari satu pak rokok sehari
meningkatkan risiko kejadian hipertensi 2 kali lipat daripada mereka yang tidak.
4
Zat-zat kimia beracun, seperti nikotin dan karbon monoksida yang diisap melalui
rokok, yang masuk kedalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri dan mengakibatkan proses aterosklerosis dan hipertensi. Selain itu
merokok juga meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai
ke otot jantung. Merokok pada penderta hipertensi akan semakin meningkatkan
risiko kerusakan pada pembuluh darah arteri.

b. Konsumsi Garam
Garam merupakan faktor yang sangat penting dalam patogenesis hipertensi.
Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam
yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari akan mengurangi risiko
kejadian hipertensi, sedangkan jika asupan garam antara 5-15 gram perhari
prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %. Pengaruh asupan terhadap
timbulnya hipertensi terjadi melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan
tekanan darah.
Garam menyebabkan retensi cairan dalam tubuh, sehingga akan meningkatkan
volume dan tekanan darah. Pada manusia yang mengkonsumsi garam 3 gram atau
kurang ditemukan tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan asupan garam sekitar
7-8 gram tekanan darahnya rata-rata lebih tinggi. Konsumsi garam yang dianjurkan
tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium atau 2400 mg/hari.

c. Kebiasaan Konsumsi Minum Minuman Beralkohol


Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Mekanisme peningkatan tekanan
darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol
dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan
dalam menaikkan tekanan darah.7

d. Olahraga
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.7

5
e. Psikososial dan stress
Stress atau ketegangan jiwa dapat merangsang kelenjar adrenal melepaskan hormon
adrenalin dan memicu jantung berdenyut lebih cepat dan kuat, sehingga
meningkatkan tekanan darah. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus maka
tubuh akan berusaha mengadakan penyesuaian sehingga timbul kelainan organis
atau perubahan patologis.7

f. Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia
Kelainan metabolisme lemak (lipid) ditandai dengan peningkatan kadar kolesterol
total, trigliserida, kolesterol LDL dan atau penurunan kolesterol HDL darah.
Kolesterol merupakan faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang
mengakibatkan peningkatan resistensi perifer sehingga meningkatkan tekanan
darah.7

Komponen Lipid Batasan (mg/dl) Klasifikasi


Kolesterol total <200 Yang diinginkan
200-239 Batas tinggi
>240 Tinggi
Kolesterol LDL <100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Batas tinggi
160-189 Tinggi
>190 Sangat tinggi
Kolesterol HDL <40 Rendah
>60 Tinggi
Trigliserida <150 Normal
150-199 Batas tinggi
200-499 Tinggi
>500 Sangat tinggi

Tabel 2. Batasan kadar lipid dalam darah7

6
g. Obesitas
Kegemukan (obesitas) adalah persentase abnormalitas lemak yang dinyatakan dalam
indeks massa tubuh (body mass index) Berat badan dan indeks massa tubuh
berkorelasi dengan tekanan darah. Obesitas tidak menyebabkan hipertensi, namun
prevalensi hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Orang dengan obesitas memiliki
risiko 5 kali lipat lebihbesar untuk menderita hipertensi dibandingkan dengan orang
dengan berat badan yang normal. .Obesitas erat kaitannya dengan kegemaran
mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan
risiko terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin
banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan
tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi
meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan
berat badan juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam
darah. Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.6

2.1.5 Patofisiologi
\

Gambar 2. Patofisiologi hipertensi7

7
Tekanan yang dibutuhkan untuk mengalirkan darah melalui sistem sirkulasi dilakukan
oleh aksi memompa dari jantung (cardiac output/CO) dan resistensi vaskular (peripheral
vascular resistance). Fungsi kerja masing-masing penentu tekanan darah ini dipengaruhi oleh
interaksi dari berbagai faktor yang kompleks. Hipertensi sesungguhnya merupakan
abnormalitas dari faktor-faktor tersebut, yang ditandai dengan peningkatan curah jantung dan
/ atau ketahanan periferal.
Cardiac output berhubungan dengan hipertensi, peningkatan cardiac output secara logis
timbul dari dua jalur, yaitu baik melalui peningkatan cairan (preload) atau peningkatan
kontraktilitas dari efek stimulasi saraf simpatis. Tetapi tubuh dapat mengkompensasi agar
cardiac output tidak meningkat yaitu dengan cara meningkatkan resistensi perifer.
Selain itu konsumsi natrium berlebih dapat menyebabkan hipertensi karena peningkatan
volume cairan dalam pembuluh darah dan preload, sehingga meningkatkan cardiac output.

Gambar 3. Peran natrium dan kalium dalam patofisiologi hipertensi7

8
2.1.6 Diagnosis

Evaluasi pasien hipertensi mempunyai tiga tujuan:

1. Mengidentifikasi penyebab hipertensi.


2. Menilai adanya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler, beratnya penyakit,
serta respon terhadap pengobatan.
3. Mengidentifikasi adanya faktor risiko kardiovaskuler yang lain atau penyakit penyerta,
yang ikut menentukan prognosis dan ikut menentukan panduan pengobatan.7

Data yang diperlukan untuk evaluasi tersebut diperoleh dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang. Peninggian
tekanan darah kadang sering merupakan satu-satunya tanda klinis hipertensi sehingga
diperlukan pengukuran tekanan darah yang akurat. Berbagai faktor yang mempengaruhi hasil
pengukuran seperti faktor pasien, faktor alat dan tempat pengukuran.
Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan meliputi tingkat hipertensi dan lama menderitanya,


riwayat dan gejala-gejala penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner,
penyakit serebrovaskuler dan lainnya. Apakah terdapat riwayat penyakit dalam keluarga,
gejala yang berkaitan dengan penyakit hipertensi, perubahan aktifitas atau kebiasaan
(seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan faktor psikososial lingkungan
keluarga, pekerjaan, dan lain-lain). Dalam pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran
tekanan darah dua kali atau lebih dengan jarak dua menit, kemudian diperiksa ulang di
kontrolateralnya.7

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk berat dan
tinggi badan. Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan
dianjurkan pada posisi terlentang, duduk, dan berdiri sehingga dapat mengevaluasi
hipotensi postural. Pasien yang berusia kurang dari 30 tahun sebaiknya juga diukur
tekanan arterinya di ekstremitas bawah, setidaknya satu kali. Laju nadi juga dicatat.6
Palpasi leher dilakukan untuk meraba pembesaran tiroid dan penilaian terhadap
tanda hipo- atau hipertiroid serta memeriksa adanya distensi vena. Pemeriksaan pembuluh
darah dapat menggambarkan penyakit pembuluh darah dan sebaiknya mencakup

9
funduskopi, auskultasi untuk mencari bruit pada arteri karotis dan arteri femoralis serta
palpasi pada pulsasi femoralis dan kaki. Retina merupakan jaringan yang arteri dan
arteriolnya dapat diperiksa secara langsung. Seiring dengan peningkatan derajat beratnya
hipertensi dan penyakit aterosklerosis, terjadi perubahan progresif pada pemeriksaan
funduskopi, yaitu adanya peningkatan refleks cahaya arteriol, defek pertukaran
arteriovenosus, hemoragik, eksudat, dann pada pasien dengan hipertensi maligna dapat
ditemukan papiledema. 6
Pemeriksaan pada jantung dapat menunjukkan abnormalitas dari laju dan ritme
jantung, peningkatan ukuran, heave perikordial, murmur serta bunyi jantung ketiga dan
keempat. Pembesaran jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis yang membesar
dan bergeser ke lateral. Pemeriksaan paru dapat ditemukan rhonki basah halus dan tanda
bronkospasme.Pemeriksaan abdomen untuk menemukan adanya bruit renal atau
abdominal, pembesaran ginjal atau adanya pulsasi aorta yang abnormal. Bruit abdomen,
khususnya bruit yang lateralisasi dan melebar sepanjang sistol ke diastol, meningkatkan
kemungkinan adanya hipertensi renovaskular. Dilakukan juga pemeriksaan pada
ekstremitas untuk mengevaluasi edema atau hilangnya pulsasi arteri perifer. Pemeriksaan
fisik sebaiknya termasuk pemeriksaan saraf.6,8

Cara pemeriksaan tekanan darah2,8

a) Pengukuran tekanan darah yang umum dilakukan menggunakan alat tensi meter yang
dipasang/dihubungkan pada lengan pasien dalam keadaan duduk bersandar, berdiri
atau tiduran. Penurunan lengan dari posisi hampir mendatar (setinggi jantung) ke
posisi hampir vertikal dapat menghasilkan kenaikan pembacaan dari kedua tekanan
darah sistolik dan diastolik.
b) Untuk mencegah penyimpangan bacaan sebaiknya pemeriksaan tekanan darah dapat
dilakukan setelah orang yang akan diperiksa beristirahat selama 5 menit. Bila perlu
dapat dilakukan dua kali pengukuran dengan selang waktu 5 sampai 20 menit pada
sisi kanan dan kiri. Ukuran manset dapat mempengaruhi hasil.
c) Sebaiknya lebar manset 2/3 kali panjang lengan atas. Manset sedikitnya harus dapat
melingkari 2/3 1engan dan bagian bawahnya harus 2 cm di atas daerah lipatan lengan
atas untuk mencegah kontak dengan stetoskop.
d) Balon dipompa sampai di atas tekanan sistolik, kemudian dibuka perlahan-lahan
dengan kecepatan 2-3 mmHg per denyut jantung. Tekanan sistolik dicatat pada saat

10
terdengar bunyi yang pertama (Korotkoff I), sedangkan tekanan diastolik dicatat pada
bunyi yang kelima (Korotkoff V).

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang sebagai evaluasi inisial pada penderita hipertensi meliputi
pengurukan funsi ginjal, elektrolit serum, glukosa puasa, dan lemak dapat diulang
kembali setelah pemberian agen antihipertensi dan selanjutnya sesuai dengan indikasi
klinis. Pemeriksaan laboratorium ekstensif diperlukan pada pasien dengan hipertensi yang
resisten terhadap obat dan ketiga evaluasi klinis mengarah pada bentuk kedua dari
hipertensi. 6,8

Sistem Pemeriksaan
Ginjal Urinanalisis mikroskopik, eksresi albumin, serum BUN
dan/atau kreatinin
Endokrin Serum natrium, kalium, kalsium, dan TSH
Metabolik Glukosa puasa atau HbA1c, profil lipid (kolesterol
total, HDL dan LDL, trigliserida)
Lainnya Darah lengkap, rontgen dan elektrokardiogram
Tabel 3. Pemeriksaan Penunjang sebagai evaluasi awal6,8

2.1.7 Tatalaksana
Tatalaksana Farmakologis
Terdapat beberapa rekomendasi menurut JNC VIII untuk menangani hipertensi,
beberapa rekomendasi tersebut antara lain:
 Rekomendasi 1: Pada populasi umum, terapi farmakologik mulai diberikan jika
tekanan darah sistolik ≥150 mmHg atau jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada
kelompok usia ≥60 tahun dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <150
mmHg dan tekanan darah diastolik <90 mmHg.
 Rekomendasi 2: Pada kelompok usia < 60 tahun, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah
diastolik <90 mmHg (untuk kelompok usia 30-59 tahun).

11
 Rekomendasi 3: Pada kelompok usia <60 tahun, terapi farmakologik mulai diberikan
jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah
sistolik <140 mmHg.
 Rekomendasi 4: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi
farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan
darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <140
mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.
 Rekomendasi 5: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan diabetes melitus terapi
farmakologik mulai diberikan jika tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan
darah diastolik ≥90 mmHg dengan target terapi adalah tekanan darah sistolik <140
mmHg dan tekanan darah diastolic <90 mmHg.
 Rekomendasi 6: Pada populasi bukan kulit hitam, termasuk penderita diabetes
melitus, terapi inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide, penghambat kanal
kalsium, angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor
blocker (ARB).
 Rekomendasi 7: Pada populasi kulit hitam, termasuk penderita diabetes melitus terapi
inisial dapat menggunakan diuretik-thiazide atau penghambat kanal kalsium.
 Rekomendasi 8: Pada kelompok usia ≥18 tahun dengan gagal ginjal kronis terapi
antihipertensi harus menggunakan ACEI atau ARB untuk memperbaiki outcomepada
ginjal. (Terapi ini berlaku untuk semua pasien gagal ginjal kronis dengan hipertensi
tanpa memandang ras ataupun penderita diabetes melitus atau bukan.)
 Rekomendasi 9: Tujuan utama dari penanganan hipertensi adalah untuk mencapai dan
mempertahankan tekanan darah yang ditargetkan. Apabila target tekanan darah tidak
tercapai setelah 1 bulan pengobatan maka dosis obat harus ditingkatkan atau
ditambahkan dengan obat lainnya dari golongan yang sama (golongan diuretic-
thiazide, CCB, ACEI, atau ARB). Jika target tekanan darah masih belum dapat
tercapai setelah menggunakan 2 macam obat maka dapat ditambahkan obat ketiga
(tidak boleh menggunakan kombinasi ACEI dan ARB bersamaan). Apabila target
tekanan darah belum tercapai setelah menggunakan obat yang berasal dari
rekomendasi 6 karena ada kontraindikasi atau diperlukan >3 jenis obat untuk
mencapai target tekanan darah maka terapi antihipertensi dari golongan yang lain
dapat digunakan.3

12
Gambar 4. Algoritma tatalaksana hipertensi pada dewasa2

13
Untuk terapi farmakologis, berikut adalah beberapa jenis obat serta dosisnya yang
dapat digunakan.

Tabel 4. Obat anti hipertensi beserta dosisnya2

Tatalaksana Non Farmakologis


Pendekatan nonfarmakologis merupakan penanganan awal sebelum penambahan
obat-obatan hipertensi, disamping perlu diperhatikan oleh seorang yang sedang dalam
terapi obat. Sedangkan pasien hipertensi yang terkontrol, pendekatan nonfarmakologis ini
dapat membantu pengurangan dosis obat pada sebagian penderita. Oleh karena itu,
modifikasi gaya hidup merupakan hal yang penting diperhatikan, karena berperan dalam
keberhasilan penanganan hipertensi. Pendekatan nonfarmakologis dibedakan menjadi
beberapa hal:
I. Menurunkan faktor risiko yang menyebabkan aterosklerosis.
Berhenti merokok penting untuk mengurangi efek jangka panjang hipertensi
karena asap rokok diketahui menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat
14
meningkatkan beban kerja jantung. Selain itu pengurangan makanan berlemak dapat
menurunkan risiko aterosklerosis.
Penderita hipertensi dianjurkan untuk berhenti merokok dan mengurangi asupan
alkohol. Berdasarkan hasil penelitian eksperimental, sampai pengurangan sekitar 10
kg berat badan berhubungan langsung dengan penurunan tekanan darah rata-rata 2-3
mmHg per kg berat badan.7

II. Olahraga dan aktifitas fisik


Selain untuk menjaga berat badan tetap normal, olahraga dan aktifitas fisik
teratur bermanfaat untuk mengatur tekanan darah, dan menjaga kebugaran tubuh.
Olahraga seperti jogging, berenang baik dilakukan untuk penderita hipertensi.
Dianjurkan untuk olahraga teratur, minimal 3 kali seminggu, dengan demikian dapat
menurunkan tekanan darah walaupun berat badan belum tentu turun. Melakukan
aktivitas secara teratur (aktivitas fisik aerobik selama 30-45 menit/hari) diketahui
sangat efektif dalam mengurangi risiko relatif hipertensi hingga mencapai 19%
hingga 30%. Begitu juga halnya dengan kebugaran kardio respirasi rendah pada usia
paruh baya diduga meningkatkan risiko hipertensi sebesar 50%.
Olahraga yang teratur dibuktikan dapat menurunkan tekanan perifer sehingga
dapat menurunkan tekanan darah. Olahraga dapat menimbulkan perasaan santai dan
mengurangi berat badan sehingga dapat menurunkan tekanan darah. Yang perlu
diingat adalah bahwa olahraga saja tidak dapat digunakan sebagai pengobatan
hipertensi.

III. Perubahan pola makan


a. Mengurangi asupan garam
Pada hipertensi derajat I, pengurangan asupan garam dan upaya penurunan berat
badan dapat digunakan sebagai langkah awal pengobatan hipertensi. Nasihat
pengurangan asupan garam harus memperhatikan kebiasaan makan pasien,
dengan memperhitungkan jenis makanan tertentu yang banyak mengandung
garam. Pembatasan asupan garam sampai 60 mmol per hari, berarti tidak
menambahkan garam pada waktu makan, memasak tanpa garam, menghindari
makanan yang sudah diasinkan, dan menggunakan mentega yang bebas garam.
Cara tersebut diatas akan sulit dilaksanakan karena akan mengurangi asupan
garam secara ketat dan akan mengurangi kebiasaan makan pasien secara drastis.
15
b. Diet rendah lemak jenuh
Lemak dalam diet meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis yang berkaitan
dengan kenaikan tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama
lemak dalam makanan yang bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi
lemak tidak jenuh secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian dan
makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan darah.
c. Memperbanyak konsumsi sayuran, buah-buahan dan susu rendah lemak.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa mineral bermanfaat mengatasi
hipertensi. Kalium dibuktikan erat kaitannya dengan penurunan tekanan darah
arteri dan mengurangi risiko terjadinya stroke. Selain itu, mengkonsumsi kalsium
dan magnesium bermanfaat dalam penurunan tekanan darah. Banyak konsumsi
sayur-sayuran dan buah-buahan mengandung banyak mineral, seperti seledri, kol,
jamur (banyak mengandung kalium), kacang-kacangan (banyak mengandung
magnesium). Sedangkan susu dan produk susu mengandung banyak kalsium.

IV. Menghilangkan stress


Stres menjadi masalah bila tuntutan dari lingkungan hampir atau bahkan sudah
melebihi kemampuan kita untuk mengatasinya. Cara untuk menghilangkan stres
yaitu perubahan pola hidup dengan membuat perubahan dalam kehidupan rutin
sehari-hari dapat meringankan beban stres.

2.1.8 Komplikasi
I. Jantung

16
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan kematian pada
pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari perubahan struktur
dan fungsi yang menyebabkan pembesaran jantung kiri disfungsi diastolik, dan gagal
jantung.6
II. Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan hemoragik otak.
Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena hemoragik. Insiden dari
stroke meningkat secara progresif seiring dengan peningkatan tekanan darah,
khususnya pada usia > 65 tahun. Pengobatan pada hipertensi menurunkan insiden baik
stroke iskemik ataupun stroke hemorgik.6
III. Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering terjadi pada
renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah harus 130/80
mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika ada proteinuria.6

2.1.9 Pencegahan
Pencegahan dan kontrol dari hipertensi membutuhkan dukungan politik sebagai peran
dari pemerintah dan para pembuat kebijakan. Petugas kesehatan, komunitas peneliti
akademis, lembaga masyarakat, sektor privat, serta keluarga dan penderita hipertensi sendiri
semuanya ikut berperan.
2.2 Krisis Hipertensi
2.2.1 Definisi

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang mendadak
sistolik ≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg, pada penderita
hipertensi, yang membutuhkan penanggulangan segera. Krisis hipertensi dibagi menjadi dua
kategori, yaitu hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi. Hipertensi emergensi adalah
peningkatan secara mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥ 120 mmHg disertai dengan adanya kerusakan target organ akut atau progresif
sehingga membutuhkan penurunan tekanan darah segera. Hipertensi urgensi adalah
peningkatan secara mendadak tekanan darah sistolik ≥ 180 mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥ 120 mmHg tanpa gejala yang berat atau kerusakan target organ progresif dimana
kondisi ini membutuhkan penurunan tekanan darah dalam beberapa jam. 2

2.2.2 Epidmiologi
17
Hipertensi merupakan masalah klinis yang sangat umum di negara barat. Hipertensi
mengenai sekitar 72 juta orang di USA dan sekitar 1 miliar orang di dunia. Kebanyakan dari
mereka merupakan hipertensi primer dan sekitar 30% nya tidak terdiagnosis. Selanjutnya,
hanya sekitar 14% - 29% pasien di Amerika dengan hipertensi memiliki tekanan darah yang
terkontrol. Insiden dari hipertensi meningkat sesuai umur. Pada studi Framingham angka
kejadian hipertensi pada pria meningkat dari 3,3% di usia 30-39 tahun menjadi 6,2% di usia
70-79 tahun. Selain itu, insidensi hipertensi lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika
dibandingkan mereka yang berkulit putih. Prevalensi dan insidensi hipertensi di Mexico-
Amerika sama atau lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih non-Hispanik. 1
Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil Survei Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita
hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004. Menurut Pusat Penelitian
Biomedis dan Farmasi Badan Penelitian Kesehatan Departemen Kesehatan R.I tahun 2009,
prevalensi hipertensi di Indonesia meningkat mencapai 32,2%. Dari kasus hipertensi yang
terjadi di Indonesia, mereka yang memiliki riwayat minum obat hanya 7,8% atau hanya
24,2% dari kasus hipertensi di masyarakat. Hal ini menunjukkan 75,8% kasus hipertensi di
Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau oleh pelayanan kesehatan. 1
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat menyebabkan
semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat mengancam jiwa. Diperkirakan
sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami krisis hipertensi. Sebelum adanya terapi
antihipertensi, komplikasi ini mencapai angka 7% dari populasi kejadian hipertensi. Secara
epidemiologis, kejadian krisis hipertensi paralel dengan distribusi hipertensi primer dalam
komunitas, dan lebih tinggi pada mereka orang African-American dan usia lebih tua, dimana
pria terkena 2 kali lebih sering dibandingkan wanita. Kebanyakan dari pasien yang
mengalami krisis hipertensi ialah mereka yang sudah terdiagnosis memiliki hipertensi primer
dan banyak diantaranya sudah diberikan terapi antihipertensi dengan kontrol tekanan darah
yang tidak adekuat. Pada beberapa penelitian yang ada menunjukkan bahwa pasien dengan
krisis hipertensi memiliki peluang yang lebih besar untuk menderita gangguan
somatoform,stroke serta penyakit jantung hipertensi dan atau penyakit jantung koroner.
Kurangnya tenaga dokter, kegagalan untuk memberikan terapi antihipertensi lebih awal, serta
ketidaksesuaian dalam memberikan terapi antihipertensi menjadi faktor resiko yang cukup
besar untuk terjadinya hipertensi emergensi. Hal inilah yang menyebabkan semakin tingginya
kejadian krisis hipertensi yang terjadi pada pasien-pasien hipertensi. 1,2
2.2.3 Patofisiologi
18
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun demikian
ada dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut yaitu :
1. Peran langsung dari peningkatan tekanan darah
2. Peran mediator endokrin dan parakrin

1. Peran peningkatan Tekanan Darah

Peningkatan mendadak tekanan darah yang berat maka akan terjadi gangguan
autoregulasi disertai peningkatan mendadak resistensi vaskuler sistemik yang menimbulkan
kerusakan organ target dengan sangat cepat. Gangguan terhadap sistem autoregulasi secara
terus-menerus akan memperburuk keadaan pasien selanjutnya. Pada keadaan tersebut terjadi
keadaan kerusakan endovaskuler (endothelium pembuluh darah) yang terus-menerus disertai
nekrosis fibrinoid di arteriolus. Keadaan tersebut merupakan suatu siklus (vicious circle)
dimana akan terjadi iskemia, pengendapan platelet dan pelepasan beberapa vasoaktif.
Trigernya tidak diketahui dan bervariasi tergantung dari proses hipertensi yang
mendasarinya.3,4

Bila stress peningkatan tiba-tiba tekanan darah ini berlangsung terus-menerus maka
sel endothelial pembuluh darah menganggapnya suatu ancaman dan selanjutnya melakukan
vasokontriksi diikuti dengan hipertropi pembuluh darah. Usaha ini dilakukan agar tidak
terjadi penjalaran kenaikan tekanan darah ditingkat sel yang akan menganggu hemostasis sel.
Akibat dari kontraksi otot polos yang lama, akhirnya akan menyebabkan disfungsi endotelial
pembuluh darah disertai berkurangnya pelepasan nitric oxide (NO). Selanjutnya disfungsi
endotelial akan ditriger oleh peradangan dan melepaskan zat-zat inflamasi lainnya seperti
sitokin, endhotelial adhesion molecule dan endhoteli-1.3

Mekanisme ditingkat sel ini akan meningkatkan permeabilitas dari sel endotelial,
menghambat fibrinolisis dan mengaktifkan sistem koagulasi. Sistem koagulasi yang
teraktifasi ini bersama-sama dengan adhesi platelet dan agregasi akan mengendapkan materi
fibrinoid pada lumen pembuluh darah yang sudah kecil dan sempit sehingga makin
meningkatkan tekanan darah. Siklus ini berlangsung terus dan menyebabkan kerusakan
endotelial pembuluh darah yang makin parah dan meluas.3

19
Gambar 5. Patofisiologi Hipertensi Emergensi 3

2. Peranan Mediator Endokrin dan Parakrin

20
Sistem renin-Angiotensin-Aldosteron (RAA) memegang peran penting dalam
patofisiologi terjadinya krisis hipertensi. Peningkatan renin dalam darah akan meningkatkan
vasokonstriktor kuat angiotensin II, dan akan pula meningkatkan hormon aldosteron yang
berperan dalam meretensi air dan garam sehingga volume intravaskuler akan meningkat pula.
Keadaan tersebut diatas bersamaan pula dengan terjadinya peningkatan resistensi perifer
pembuluh darah yang akan meningkatkan tekanan darah. Apabila tekanan darah meningkat
terus maka akan terjadi natriuresis sehingga seolah-olah terjadi hipovolemia dan akan
merangsang renin kembali untuk membentuk vasokonstriktor angiotensin II sehingga terjadi
iskemia pembuluh darah dan menimbulkan hipertensi berat atau krisis hipertensi.3,4

2.2.4 Faktor Presipitasi Krisis Hipertensi

Keadaan-keadaan klinis yang sering mempresipitasi timbulnya krisis hipertensi


antara lain ialah 4,5:

 Kenaikan tekanan darah tiba-tiba pada penderita hipertensi kronis primer


 Hipertensi renovaskular
 Glomerulusnefritis akut
 Sindroma withdrawal anti hipertensi
 Cedera kepala dan ruda paksa pada susunan saraf pusat
 Renin-sekretin tumor
 Pemakaian prekusor katekolamin pada pasien yang mendapat MAO Inhibitor
 Penyakit parenkim ginjal
 Pengaruh obat : kontrasepsi oral, anti depresan trisiklik, simpatomimetik (pil diet
sejenis amfetamin), kortikosteroid, NSAID
 Luka bakar
 Progresif sistematik sklerosis, SLE
2.2.5 Faktor Resiko
 Penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti hipertensi
tidak teratur
 Kehamilan
 Penggunaan NAPZA
 Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti, luka bakar berat,
feokromositoma, penyakit kolagen, penyakit vaskuler, dan trauma kepala.
2.2.6 Diagnosis

21
Hipertensi ini memerlukan penurunan tekanan darah segera meskipun tidak perlu
menjadi normal, untuk membatasi atau mencegah terjadinya kerusakan organ sasaran.
Perburukan cepat artinya jika tidak diberikan terapi secara efektif dalam waktu tertentu,
terdapat kemungkinan terjadinya kegawatdaruratan. Krisis hipertensi adalah keadaan
hipertensi yang memerlukan penurunan tekanan darah segera karena akan mempengaruhi
keadaan pasien selanjutnya. Tingginya tekanan darah bervariasi, yang terpenting adalah cepat
naiknya tekanan darah. 5,6

Pada hipertensi emergensi, situasi di mana diperlukan penurunan tekanan darah yang
segera dengan obat antihipertensi parenteral karena adanya kerusakan organ target akut atau
progresif. Kerusakan yang dapat terjadi antara lain. 3,4 :

1. Neurologik : Encephalopati hipertensi, stroke hemoragik (intraserebral atau subdural)


atau iskemik, papil edema.
2. Kardiovaskuler : Unstable angina, infark miokardium akut, gagal jantung dengan
edema peru, diseksi aorta.
3. Renal : Proteinuria, hamaturia, gagal ginjal akut, krisis ginjal scleroderma.
4. Mikroangiopati : anemia hemolitik.
5. Preeklampsia dan eklampsia.
Tabel 6. Kerusakan Target Organ Pada Hipertensi Emergensi 2

Riwayat penyakit ditujukan pada system neurologis dan kardiovaskular, medikasi dan
penggunaan obat. Keluhan neurologi mungkin dramatik, tetapi sering kali berupa gejala yang
tidak spesifik seperti nyeri kepala, malaise, dan persepsi yang samar-samar tentang
kemampuan mental, dan merupakan satu-satunya tanda dekompensasi sistem saraf pusat

22
(SSP) akut. Riwayat penyakit SSP atau serebrovaskular sebelumnya harus dicari, karena
komplikasi terapetik lebih sering terjadi pada pasien dengan riwayat penyakit tersebut. .4,5

Pada hipertensi urgensi, situasi di mana terdapat peningkatan tekanan darah yang
bermakna (ada yang menyebut tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau tekanan darah
diastolik > 125 mmHg) tanpa adanya gejala berat atau kerusakan target organ progresif dan
tekanan darah perlu diturunkan dalam beberapa jam. 4,5

Prinsip-prinsip penegakan diagnosis hipertensi emergensi dan hipertensi urgensi tidak


berbeda dengan penyakit lainnya 3,5 ;

1. Anamnesis
Riwayat hipertensi dan terapinya, kepatuhan minum obat, tekanan darah rata-rata,
riwayat pemakaian obat-obat simpatomimetik dan steroid, kelainan hormonal, riwayat
penyakit kronik lain, gejala-gejala serebral, jantung dan gangguan penglihatan.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pengukuran tekanan darah pada kedua lengan, perabaan denyut nadi perifer
(raba nadi radialis kedua lengan dan kemungkinan adanya selisih dengan nadi
femoral, radial-femoral pulse leg ),
b. Mata ; Lihat adanya papil edema, pendarahan dan eksudat, penyempitan yang
hebat arteriol.
c. Jantung ; Palpasi adanya pergeseran apeks, dengarkan adanya bunyi jantung
S3 dan S4 serta adanya murmur.
d. Paru ; perhatikan adanya ronki basal yang mengindikasikan CHF.
e. Status neurologik ; pendekatan pada status mental dan perhatikan adanya
defisit neurologik fokal. Periksa tingkat kesadarannya dan refleks fisiologis
dan patologis.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan dilakukan dengan memperhatikan penyakit dasarnya, penyakit
penyerta, dan kerusakan target organ. Yang sering dilakukan antara lain; pemeriksaan
elektrolit, BUN, glukosa darah, kreatinin, urinalisis, hitung jenis komponen darah dan
SADT. Pemeriksaan lainnya antara lain foto rontgen toraks, EKG dan CT-Scan.

23
Tabel 6. Kategori Diagnostik dan Evidence Kerusakan Organ Target 5

2.2.7 Penatalaksanaan
2.2.7.1 Dasar-dasar penatalaksanaan krisis hipertensi
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah diturunkan karena penundaan akan
memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi di pihak lain,
penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya perfusi dan aliran
darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah
sampai ke tingkat yang diharapkan perlu diperhatikan berbagai faktor antara lain tekanan
darah perlu diturunkan segera atau bertahap, pengamatan yang menyertai krisis hipertensi,
perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan darah pada organ vital, pemilihan obat anti
hipertensi efektif untuk krisis hipertensi, dan monitoring efek samping obat. .3,4,5
Autoregulasi

Autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap kebutuhan dan


pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap aliran darah dengan
berbagai tingkatan perubahan kontriksi/dilatasi pembuluh darah. Dengan pengetahuan
autoregulasi dalam menurunkan tekanan darah secara mendadak dimaksudkan untuk
melindungi organ vital agar tidak terjadi iskemi. Bila tekanan darah turun, terjadi
vasodilatasi, jika tekanan darah naik timbul vasokonstriksi. Pada individu normotensi, aliran

24
darah otak masih tetap pada fluktuasi mean arterial pressure (MAP) 70-105 mmHg. Rumus
perhitungan MAP ialah :

Sistolik + 2 x Diastolik
MAP =

Bila MAP turun di bawah batas autoregulasi, maka otak akan memakai oksigen lebih
banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah yang berkurang. Bila mekanisme ini
gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan manifestasi klinik seperti mual, menguap,
pingsan dan sinkope. Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme
miogenik yang disebabkan oleh stretch reseptor pada otot polos arteriol otak, walaupun
hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan metabolisme di otak. Pada orang normal
dengan normotensi, autoregulasi aliran darah ke otak dipertahankan pada MAP antara 60-
120-140 mmHg sehingga penurunan tekanan darah yang cepat sampai batas hipertensi, masih
dapat ditoleransi. Pada penderita hipertensi kronis, penyakit serebrovaskular dan usia tua,
batas ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva dimana
dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120-160-180 mmHgsehingga pengurangan aliran darah
terjadi pada tekanan darah yang lebih tinggi.3,4,5

Gambar 6. Autoregulasi aliran darah otak pada individu normotensi dan hipertensi 6

Pada orang yang normotensi maupun hipertensi batas terendah dari autoregulasi otak
adalah kira-kira 25% di bawah resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis
hipertensi, pengurangan MAP sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari
apakah emergensi atau urgensi, misalnya penurunan tekanan darah pada penderita aorta

25
diseksi akut ataupun edema paru akibat gagal jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30
menit dan bisa lebih rendah lagi dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita
hipertensi ensefalopati, penurunan tekanan darah 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan
infark serebri akut ataupun pendarahan intrakranial, pengurangan tekanan darah dilakukan
lebih lambat (6 – 12 jam) dan harus dijaga agar tekanan darah tidak lebih rendah dari 170–
180/100 mmHg. 3,4,5

2.2.7.2 Penatalaksanaan krisis hipertensi

HIPERTENSI EMERGENSI

Pada hipertensi emergensi, tujuan pengobatan ialah memperkecil kerusakan organ


target akibat tingginya tekanan darah dan menghindari pengaruh buruk akibat pengobatan.
Berdasarkan prinsip ini maka obat antihipertensi pilihan adalah yang bekerja cepat, efek
penurunan tekanan darah dapat dikontrol dan dengan sedikit efek samping. Bila diagnosis
krisis hipertensi telah ditegakkan, langkah-langkah yang harus dilakukan ialah 4,5,6:

1. Rawat di ICU. Bila ada indikasi, pasang femoral intraarterial line dan pulminari
arterial kateter untuk menentukan fungsi kardiopulmoner dan status volume
intravaskuler.
2. Anamnesis singkat dan pemeriksaan fisik, dengan menentukan :
 Penyebab krisis hipertensi
 Penyakit lain yang menyerupai krisis hipertensi disingkirkan
 Adanya kerusakan organ target
3. Tentukan tekanan darah yang diinginkan didasari dari lama tingginya tekanan
darah sebelumnya, cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis
yang menyertai serta usia pasien.
 Menurunkan tekanan arteri rata-rata (MAP) sebanyak 25% atau mencapai
tekanan darah diastolik 100 – 110 mmHg dalam waktu beberapa menit
sampai satu atau dua jam. Kemudian tekanan darah diturunkan menjadi
160/100 mmHg dalam 2 sampai 6 jam. Tekanan darah diukur setiap 15
sampai 30 menit.
 Pada stroke, penurunan tekanan darah hanya boleh 20% dan khusus pada
stroke iskemik penurunan tekanan darah secara bertahap bila tekanan darah
> 220/130 mmHg.

26
 Penurunan tekanan darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia
renal, serebral dan miokardium.
Pada hipertensi emergensi, pemberian obat antihipertensi melalui intravena (IV).
Berikut ini merupakan obat antihipertensi parenteral yang digunakan, antara lain :
Tabel 8. Obat Antihipertensi Intravena pada Hipertensi Emergensi 3

Berdasarkan kerusakan organ target, obat antihipertensi yang diberikan ialah :

27
Tabel 8. Pilhan Obat Antihipertensi Sesuai Kerusakan Organ Target 3

HIPERTENSI URGENSI

Pada hipertensi urgensi, tujuan pengobatan ialah penurunan tekanan darah sama
seperti hipertensi emergensi, hanya saja dalam waktu 24 sampai 48 jam. Penderita dengan
hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya penderita
ditempatkan di ruangan yang tenang, tidak terang, dan diukur kembali dalam 30 menit. Bila
tekanan darah masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral antihipertensi dalam menanggulangi hipertensi urgensi. Berikut ini
ialah obat antihipertensi oral yang diberikan, antara lain 5,6,7:

 Nifedipine
28
Pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit), bukal (onset 5–10 menit), oral
(onset 15-20 menit), durasi kerja 5 – 15 menit secara sublingual/ buccal. Efek
samping: sakit kepala, takikardi, hipotensi, flushing, oyong.
 Clonidine
Pemberian secara oral dengan onset 30–60 menit, durasi kerja 8-12 jam. Dosis: 0,1-
0,2 mg, dilanjutkan 0,05-0,1 mg setiap jam sampai dengan 0,7 mg. Efek samping:
sedasi, mulut kering. Hindari pemakaian pada AV blok derajat 2 dan 3, bradikardi,
sick sinus syndrome. Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
 Captopril
Pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25 mg dan dapat diulang setiap 30 menit
sesuai kebutuhan. Efek samping: angioneurotik edema, rash, gagal ginjal akut pada
penderita bilateral renal arteri stenosis.
 Prazosin
Pemberian secara oral dengan dosis 1-2 mg dan diulang per jam bila perlu. Efek
samping: sinkop, hipotensi ortostatik, palpitasi, takikardi, sakit kepala.

Dengan pemberian nifedipine ataupun clonidine oral dicapai penurunan MAP


sebanyak 20% ataupun tekanan darah <120 mmHg. Demikian juga captopril, prazosin
terutama digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekolamin.
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan tekanan darah yang cepat dan berlebihan bahkan sampai ke batas hipotensi,
walaupun hal ini jarang sekali terjadi. 5,6,7

Selain itu, reaksi hipotensi akibat pemberian oral nifedipine dapat menyebabkan
timbulnya infark miokard dan stroke. Dengan pengaturan titrasi dosis nifedipine ataupun
clonidin biasanya tekanan darah dapat diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari
MAP. Penderita yang telah mendapat pengobatan antihipertensi cenderung lebih sensitif
terhadap penambahan terapi. Untuk penderita hipertensi dengan riwayat penyakit
serebrovaskular dan koroner, pasien umur tua serta pasien dengan volume depletion maka
dosis obat nifedipine dan clonidine harus dikurangi. Seluruh penderita diobservasi paling
sedikit selama 6 jam setelah tekanan darah turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya hipotensi ortostatil. Bila tekanan darah penderita yang diobati tidak
berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit. 5,6,8

2.2.8 Krisis Hipertensi Pada Keadaan Khusus

29
2.2.8.1 Krisis Hipertensi Pada Gangguan Otak
2.2.8.1.1 Stroke
 Infark
 Infark : aterotrombotik, kardioembolik, lakunar.
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg, dimana
pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan batas
penurunan maksimal tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Jika tekanan darah sistolik 180-220 mmHg dan tekanan diastolik 105-120
mmHg dilakukan penatalaksanaan seperti terapi pada hipertensi urgensi.
 Perdarahan
 Perdarahan : perdarahan intraserebral, perdarahan subarachnoid, pecahnya
Arteriovenous Malformation (AVM)
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg, dimana
pengukuran dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur dengan batas
penurunan maksimal tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Target tekanan darah adalah sistolik 160 mmHg dan diastolik 90 mmHg.
Catatan :
 The American Stroke Association merekomendasikan penurunan tekanan darah
sebesar 10-15% bila tekanan darah sistolik > 220 mmHg atau diastolik > 120 mmHg.
 Nifedipin dapat mengakibatkan stroke non-hemoragic dan infark miokard bila
tekanan darah terlalu cepat diturunkan.
 Candexartan cilexetil per oral pada stroke akut memberikan perbaikan kualitas hidup
dalam 1 tahun pertama dengan tidak menurunkan tekanan darah yang berlebihan.

2.2.8.1.2 Ensefalopati Hipertensi


 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg, dimana pengukuran
dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Terdapat gangguan kesadaran, retinopati dengan papiledema, peningkatan tekanan
intrakranial sampai kejang.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur penatalaksanaan krisis
hipertensi dengan batas penurunan tekanan darah 20-25% dari MAP.
2.2.8.1.3 Cedera Kepala Dan Tumor Intrakranial
30
 Pada kasus cedera kepala, tumor intrakranial terdapat gejala tekanan intrakranial yang
meningkat, seperti : sakit kepala hebat, muntah proyektil/tanpa penyebab
gastrointestinal, papiledema, kesadaran menurun/berubah
 Tekanan darah sistolik > 220 mmHg dan diastolik > 120 mmHg, dimana pengukuran
dilakukan dua kali dalam jangka waktu 30 menit.
 Obat anti hipertensi parenteral diberikan sesuai prosedur penatalaksanaan krisis
hipertensi dengan batas penurunan tekanan darah 20-25% dari MAP.
 Khusus untuk tumor intrakranial hipofisis perlu dilakukan pemeriksaan hormonal dan
penatalaksanaan sesuai dengan krisis hipertensi dengan gangguan endokrin.

2.2.8.2 Krisis Hipertensi Pada Penyakit Jantung


2.2.8.2.1 Diseksi Aorta Akut
Definisi
Suatu kondisi akibat robekan pada dinding aorta sehingga lapisan dinding
aorta terpisah dan darah dapat masuk ke sela-sela lapisan dinding pembuluh darah
aorta. 9
Manifestasi klinis
Keluhan dapat bervariasi :
 Nyeri khas aorta : onset mendadak, nyeri teriris sudah maksimal dirasakan saat
awal, lokasi nyeri sesuai lokasi dimana robekan aorta terjadi.
 Rasa nyeri dada seperti nyeri dada khas infark miokard, bila proses diseksi
menjalar ke ostium arteria koronaria.
 Rasa nyeri di leher disertai pandangan kabur, bila proses diseksi ekstensi ke
arteri karotis.
 Sinkope merupakan petanda komplikasi yang fatal, seperti tamponade jantung,
hipoperfusi serebri.
Diagnosis
Kecurigaan diagnosis diseksi aorta berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik cukup untuk menatalaksana sebagai diseksi aorta. Diagnosis pasti dengan
pencitraan dengan : ekokardiografi transesofageal (TEE), CT-Scan kontras, MRI. 9

31
Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah

 Atasi rasa nyeri dengan morfin intravena. Kemudia, menurunkan tekanan darah
sistolik segera dalam 10-20 menit dengan target tekanan darah sistolik 110-120
mmHg dan frekuensi nadi 60 x/menit.
 B-blocker merupakan obat pilihan utama untuk mengurangi shear stress dan
mengontrol tekanan darah.
 Terapi medikamentosa dapat dilakukan pada diseksi aorta desenden tanpa
komplikasi ke organ lain, yakni hipoperfusi ginjal, ekstremitas dan mesenterika.
 Setelah pasien stabil, idealnya 24-48 jam, obat intravena diganti dengan oral.
2.2.8.2.2 Edema Paru

Definisi

Suatu keadaan timbulnya tanda dan gejala jantung yang disertai dengan
peningkatan tekanan darah dan gambaran rontgen thoraks sesuai dengan edema paru. 9

Manifestasi klinis

Keluhan/gejala : sesak napas, orthopnoe, dyspneu on effort

Pemeriksaan fisik

 Tekanan darah sesuai definisi krisis hipertensi


 Frekuensi pernapasan meningkat
 Pada pemeriksaan jantung ditemukan S3 dan/atau S4 gallop
 Pada pemeriksaan paru ditemukan suara napas ekspirasi memanjang disertai
ronki basah halus di seluruh lapangan paru
 Peningkatan tekanan vena jugularis
Diagnosis

 Peningkatan tekanan darah sesuai krisis hipertensi


 Gejala dan tanda gagal jantung
 Edema paru pada foto thorak
Prinsip tatalaksana dan sasaran tekanan darah

Terapi diberikan dengan urutan sebagai berikut :

32
1. O2 dengan target saturasi O2 perifer > 95%, bila perlu dapat digunakan CPAP
atau ventilasi mekanik non-invasif bahkan ventilasi mekanik invasif
2. Pemberian nitroglycerin sublingual, bila perlu dilanjutkan dengan pemberiaan
drip
3. Pemberiaan diuretik loop intravena (furosemid)
4. Pemberiaan obat anti-hipertensi intravena atau sublingual
5. Bila tidak ada kontra indikasi morfin IV dapat dipertimbangkan
Target penurunan tekanan darah sistolik atau diastolik sebesar 30 mmHg
dalam beberapa menit. Sasaran akhir tekanan darah sistolik < 130 mmHg dan tekanan
darah diastolik < 80 mmHg sebaiknya dicapai dalam 3 jam . 9

2.2.8.2.3 Sindroma Koroner Akut

Definisi

Sindroma koroner akut terdiri dari angina pektoris tidak stabil, infark miokard
non-ST elevasi dan infark miokard dengan ST elevasi. 9

Manifestasi klinis
Keluhan : nyeri dada dengan penjalaran ke leher atau lengan kiri dengan
durasi lebih dari 20 menit dan dapat disertai dengan gejala sistemik berupa keringat
dingin, mual dan muntah dan pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda gagal
jantung. 9
Pemeriksaan fisik : dapat normal atau tanda-tanda gagal jantung.
Diagnosis
1. Anamnesis
2. EKG
3. Enzim petanda kerusakan otot jantung (CKMB, Troponin T)
Prinsip tatalaksan dan sasaran tekanan darah

Penyekat beta dan nitrogliserin merupakan anjuran utama. Bila tidak


terkontrol dapat diberikan golongan golongan kalsium antagonis parenteral,
nicardipin dan diltiazem bila tidak ada kontraindikasi. Sasaran tekanan darah sistolik
adalah < 130 mmHg dan tekanan darah diastolik < 80 mmHg. Penurunan tekanan
darah harus dilakukan secara bertahap. Penurunan tekanan darah perlu pemantauan

33
ketat agar tekanan darah diastolik tidak lebih rendah dari 60 mmHg karena dapat
mengakibatkan iskemia miokard bertambah berat. 9

2.2.8.3 Krisis Hipertensi Pada Penyakit Ginjal

Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh krisis hipertensi. Gagal ginjal akut dapat
ditandai dengan proteinuria, mikroskopik hematuria, oligouria dan/atau anuria.
Penatalaksanan terbaik untuk gagal ginjal akut akibat krisis hipertensi masih kontroversial.
Walaupun nitroprusside sering digunakan, namun dapat menyebabkan keracunan cyanida
atau thiocyanida. Fenoldopam mesylate (a dopamine-1 receptor agonis) telah menunjukkan
hasil yang menjanjikan dan keamanan yang dapat dijamin. Pemberian fenoldopam
menghindari terjadinya potensi keracunan cyanida atau thiocyanida akibat nitroprusside
untuk gagal ginjal akut dan memiliki efek meningkatkan fungsi ginjal yang dapat diukur
melalui kreatinin klirens. 10

2.2.8.4 Krisis Hipertensi Pada Gangguan Endokrin


Pasien dengan peningkatan katekolamin, seperti pada feokromositoma, overdosis
kokain atau amfetamin, MAO (Monoamin Oksidase) Inhibitor, atau clonidine withdrwal
syndrome dapat menyebabkan krisis hipertensi. Feokromositoma ialah keganasan pada
kelenjar adrenomedular. Feokromositoma dapat menyebabkan terjadinya krisis hipertensi
karena kelebihan produksi epinefrin dan nor-epinefrin yang dilepaskan ke dalam peredaran
darah. Selain itu, stimulasi beta-reseptor ginjal oleh kadar katekolamin yang tinggi
menyebabkan dilepaskannya renin yang pada akhirnya meningkatkan tekanan arteri.
Diagnosis feokromositoma ditegakkan dengan pemeriksaan katekolamin plasma.
Katekolamin urine dan/atau metabolitnya dalam urine 24 jam (seperti metanefrin dan vanil
mandelic acid). Feokromositoma jarang ditemukan namun merupakan penyebab yang penting
pada krisis hipertensi. Pada feokromositoma, kontrol awal tekanan darah dapat diberikan
sodium nitroprusside atau phentolamine IV. Beta blockers dapat ditambahkan untuk
meningkatkan kontrol tekanan darah tetapi jangan diberikan sendiri sampai alfa-blokade
dapat dibuktikan merupakan hipertensi paradoksial. Benzodiapine dapat menjadi salah satu
obat anti hipertensi yang utama untuk intoksikasi kokain. Obat ini menurunkan denyut nadi
dan tekanan darah melalui efek anxiolitik dan oleh karena itu direkomendasikan untuk pasien
keracunan kokain. 10

34
2.2.8.5 Krisis Hipertensi Pada Kehamilan
Pada kehamilan keadaan yang menyertai krisis hipertensi adalah preeklampsia,
dimana dapat ditemukan gangguan penglihatan, sakit kepala hebat, nyeri abdomen kuadran
atas, gagal jantung kongestif dan oliguri sampai gangguan serebrovaskuler. Bila terjadi
kejang penderita masuk stadium eklampsia. Krisis hipertensi hanya dapat diakhiri dengan
proses persalinan dan penanggulangan dilakukan sesuai penanggulangan krisis hipertensi
dengan perhatian khusus pada kehamilan. Keputusan untuk melakukan terminasi
kehamilan/proses persalinan dilakukan oleh ahli medis dibidang kebidanan.10

35
BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi merupakan penyakit yang sangat umum ditemui dan dikenal sebagai penyakit
kardiovaskular dimana penderita memiliki tekanan darah diatas normal. Faktor risiko untuk
terjadinya hipertensi dapat dibagi menjadi 2 yaitu faktor yang dapat dimodifikasi dan faktor
yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis
kelamin, riwayat keluarga, dan faktor genetik. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
tergantung dari gaya hidup pasien.
Sasaran pengobatan hipertensi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas
kardiovaskuler dan ginjal. Berdasarkan ACC/AHA target tekanan darah adalah kurang dari
130/980 mmHg untuk kelompok dengan resiko CVA > 10% . Terapi untuk hipertensi dapat
dibagi menjadi 2 yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi non
farmakologis antara lain mengurangi asupan garam, olah raga, menghentikan rokok dan
mengurangi berat badan, dapat dimulai sebelum atau bersama-sama dengan obat farmakologi.
Untuk terapi farmakologi beberapa golongan obat yang dapat dipakai antara lain ACE
inhibitor, angiotensin receptor blocker, beta blocker, penghambat kanal kalsium, dan diuretik
tipe thiazide. Penggunaan obat antihipertensi dapat dikombinasikan ataupun dengan
menaikkan dosis obat secara bertahap sampai mencapai target tekanan darah.
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama penyebab gagal jantung, gagal ginjal
serta penyakit serebrovaskular.
Krisis hipertensi adalah suatu keadaan peningkatan tekanan darah yang mendadak sistolik
≥ 180 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 120 mmHg, pada penderita hipertensi, yang
membutuhkan penanggulangan segera.
Semakin meningkatnya kasus hipertensi yang terjadi di dunia dapat menyebabkan
semakin seringnya terjadi komplikasi lebih lanjut yang dapat mengancam jiwa. Diperkirakan
sekitar 1 % dari pasien hipertensi akan mengalami krisis hipertensi
Patofisiologi terjadinya krisis hipertensi masih belum begitu jelas, namun demikian ada
dua peran penting yang menjelaskan patofisiologi tersebut,yaitu : peran langsung dari
peningkatan tekanan darah dan peran mediator endokrin dan parakrin.
Faktor resiko terbanyak yang sering menyebabkan krisis hipertensi ialah penderita
hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti hipertensi tidak teratur.

36
Penegakkan diagnosis krisis hipertensi berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang. Tujuan utama pada penangangan krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan
darah. Upaya penurunan tekanan darah pada kasus hipertensi emergensi harus dilakukan
segera (<1 jam) sedangkan kasus hipertensi urgensi dapat dilakukan dalam kurun waktu
beberapa jam hingga hari. Penanganan pertama yang dilakukan pada hipertensi emergensi
ialah memberikan obat antihipertensi kerja cepat secara intravena, sedangkan pada hipertensi
urgensi cukup dengan pemberian obat antihipertensi secara oral. Selain itu, pasien dengan
hipertensi emergensi sebaiknya dirawat di ICU (Intensive Care Unit) demi pemantauan
secara ketat atas pemberian obat antihipertensi intravena.
Krisis hipertensi pada keadaan khusus memiliki prinsip-prinsip penatalaksanaan tersendiri
dalam menangani kegawatdaruratannya.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization (WHO). A Global Brief on Hypertension: Silent Killer,


Global Public Health Crisis [Internet]. 2013 [diakses pada 22 Agustus 2018]. Tersedia
dari: http://chronicconditions.thehealthwell.info/search-results/global-brief-hypertension-
silent-killer-global-public-health-crisis?source=relatedblock
2. ACC/AHA. Guideline fo the Prevention, Detection, Evaluation and Management of
High Blood Pressure in Adult. 2017.
3. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-East Asia Region:
an overview. Regional Health Forum. 2013; 17(1): 7-14.
4. James PA, Oparil S, Carter BL et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults Report From the Panel Members
Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA: 2013.
5. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, et al. Seventh
Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003; 42: 1206–52.
6. Sudoyo, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
7. Keyne, Angelina, Hipertensi Menurut JNC VIII. [referat] Jakarta: Universitas Atma
Jaya. 2014
8. 2014 Evidence Based Guidelines For The Management of High Blood Pressure in
Adults. Report From The Panel Members Appointed to The Eighth Joint National
Comitte (JNC 8). JAMA 2013, 10:284-427.
9. Konsensus Hipertensi InaSH 2013. Available: www.drivehq.com/folder/p10733490/
11314349336.aspx. Accesed on 23 Agustus 2018.
10. Perhimpunan Hipertensi Indonesia. Ringkasan Eksekutif Krisis Hipertensi 2008. Jakarta:
INA SH

38

You might also like