You are on page 1of 3

4.

Landasan Filosofis
Nilai-nilai yang tertuang dalam rumusan sila-sila Pancasila secara filosofis dan obyektif merupakan
filosofi bangsa Indonesia yang telah tumbuh, hidup dan berkembang jauh sebelum berdirinya negara
Republik Indonesia. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi logisnya menjadi kewajiban moral segenap
bangsa Indonesia untuk dapat merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari baik kehidupan
bermasyarakat maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai dasar filsafat negara, maka Pancasila harus menjadi sunber bagi setiap tindakan para
penyelenggara negara dan menjiwai setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Bahwasanya secara filosofis sebelum Indonesia merdeka pada tahun 1945 sesungguhnya bangsa
Indonesia adalah bangsa :
1. Berketuhanan
2. Berkemanusiaan yang adil dan berdab.
3. Bangsa yang selalu mempertahankan persatuan bagi seluruh rakyat untuk mewujudkan keadilan
Maka dengan demikian menajdi kewajiban Pancasila sebagai sumber nilai di dalam pelaksanaan
kenegaraan, baik dalam pelaksanaan kenegaraan dalam pembangunan nasional, ekonomi, politik,
hukum, sosial budaya maupun pertahanan keamanan, dan kesehatan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan sumber hukum bagi
pembentukan, kelahiran, dan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang
merdeka dan berdaulat. Pembentukan, kelahiran, dan keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia
bukan merupakan tujuan akhir perjuangan bangsa Indonesia, tetapi merupakan sarana untuk mencapai
cita-cita nasional dan tujuan nasional yang didambakannya.
Perubahan UUD 1945 hanya terjadi dilakukan terhadap batang tubuh dan penjelasan, tidak menjamin
karena mempunyai kedudukan yang tetap dan melekat pada diri mereka sendiri, seiring dengan
perkembangan dan perubahan modernisasi membawa dampak yang sangat berpengaruh di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari bahwa ketidakrukunan yang terjadi di Indonesia ini
mengganggu kesatuan nasional, sebagaimana dalam masa Kolonial Belanda dan pemberontakan
Komunis yang gagal pada tahun 1965. Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional
yang disebabkan ketidakrukunan masyarakat yang sangat majemuk maka semua ini hanya dapat
diselesaikan dengan UUD 1945 dan Pancasila sebagai salah satu hukum yuridis. Tidak ada satupun
kehidupan yang menjadi faktor integratif dan disintegratif yang dapat membawa bangsa pada kekuatan
atau sebaliknya kehancuran.
Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dalam perjalanan kehidupan
bangsa Indonesia, khususnya sejarah kehidupan politik dan ketatanegaraan Indonesia, telah mengalami
persepsi dan interpretasi sesuai dengan kehendak dan kepentingan yang berkuasa selama masa
kekuasaannya berlangsung. Bahkan pernah diperdebatkan kembali kebenaran dan ketepatannya
sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia sehingga bangsa Indonesia nyaris berada di tepi
jurang perpecahan kendati sebelumnya pernah disepakati bersama dalam konsensus nasional tanggal
22 Juni 1945 dan tanggal 18 Agustus 1945.
Adapula masa dimana usaha-usaha untuk mengubah Pancasila itu dengan pemberontakan-
pemberontakan senjata, yang penyelesaiannya memakan waktu bertahun-tahun dan meminta banyak
pengorbanan rakyat. Di samping berbagai faktor lain, pemberontakan yang berlarut-larut itu jelas
menghilangkan kesempatan bangsa Indonesia untuk membangun, menuju terwujudnya masyarakat
yang dicita-citakan.
Jalan lurus pelaksanaan pancasila, juga mendapat rintangan –rintangan dengan adanya pemutarbalikan
Pancasila dijadikannya Pancasila sebagai tameng untuk menyusupkan faham dan ideologi lain yang
justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Masa ini ditandai antara lain dengan memberi arti
kepada Pancasila sebagai “nasakom”, ditampilkannya pengertian “Sosialisme Indonesia” sebagai
Marxisme yang diterapkan di Indonesia dan banyak penyimpangan-penyimpangan lainnya lagi yang
bersifat mendasar. Masa pemutarbalikan Pancasila ini bertambah kesimpangsiurannya karena masing-
masing kekuatan politik, golongan atau kelompok di dalam masyarakat pada waktu itu memberi arti
sempit kepada Pancasila untuk keuntungan dan kepentingannya sendiri.
Bagi bangsa Indonesia, mempersoalkan kembali Pancasila sebagai dasar negara sama halnya berarti
memutar mundur jarum jamnya sejarah, yang berarti membawa bangsa kita kembali kepada awal
meletakkan dasar-dasar Indonesia merdeka. Mempersoalkan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara
berarti mementahkan kembali kesepakatan nasional dan menciderakan perjanjian luhur bangsa
Indonesia yang telah secara khidmat kita junjung tinggi sejak tanggal 18 Agustus 1945, ialah sejak
lahirnya Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, yang mendukung Pancasila itu.

1. B. Landasan Filosofis

Setiap orang atau masyarakat tentu memiliki masalah. Ada masalah yang bersifat sederhana dan
praktis sehari-hari, ada pula masalah yang bersifat fundamental filsafati. Seiring dengan
perkembangan zaman, penyelesaian masalah secara mitologis itu dipandang tidak memuaskan
manusia. Kemudian, manusia mencari penyelesaian dengan kemampuan sendiri yaitu berpikir.
Kemampuan berpikir menjadi ciri khas manusia. Tidak semua kemampuan berpikir bersifat
kefilsafatan.

Suatu pemikiran dikatakan bersifat kefilsafatan manakala memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama,
berpikir kefilsafatan bersifat objektif, artinya memiliki objek tertentu, baik objek materi maupun
objek formal. Kedua, berpikir kefilsafatan bersifat radikal. Radix artinya akar. Berpikir radikal
berarti berpikir sampai ke akar-akarnya sampai ditemukan hakikatnya. Ketiga, berpikir
kefilsafatan mempunyai ciri berpikir bebas. Artinya, berpikir kefilsafatan itu bebas dari
prasangka. Keempat, berpikir kefilsafatan bersifat komprehensif. Dalam memikirkan objeknya,
filsafat selalu melihat dari semua segi, dan tidak bersifat parsial.

Secara etimologis, filsafat berasal dari kata Yunani, philo artinya cinta, to love sahabat, dan
sophia artinya kebijaksanaan, wisdom (pengetahuan dan kebenaran). Filsafat adalah usaha
manusia secara sungguh-sungguh untuk mencintai kebijaksanaan yang diperoleh melalui
pengetahuan dan kebenaran.

Bagi bangsa Indonesia, pilihan terbaik pada sistem filsafat hidup sebagaimana terdapat di dalam
pembukaan UUD 1945 itu merupakan pokok kaidah Negara yang fundamental, yang
memberikan asas moral dan budaya politik, sebagai asas normatif pengembangan dan
pengamalan IPTEK (Noorsyam, 1999) termasuk HAM. Asas normatif filosofis ini menjiwai dan
melandasi UUD negara, sekaligus sebagai norma dasar dan tertinggi di dalam Negara. Pancasila
sebagai norma dasar Negara atau pokok kaidah negara yang fundamental oleh MPR tidak
diamandemen (diubah). HAM dikembangkan berdasarkan sistem filsafat hidup dan norma dasar
Pancasila. Pemahaman atas HAM harus sesuai atau tidak boleh bertentangan dengan norma
dasar tersebut.

1. A. Kesimpulan

Setiap bangsa di dunia tentu memiliki sistem nilai yang melandasi penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Bagi bangsa Indonesia system nilai tersebut terdapat di dalam
Pancasila. Pengembangan HAM di Indonesia harus disesuaikan dengan sistem filsafat negara
yang diyakini kebenarannya. Sistem ilsafat tersebut sebagai pilihan terbaik karena bersifat
fundamental, komprehensif, utuh dan lengkap.

Pancasila sebagai ideologi sebagaimana terdapat di dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan
ajaran cita-cita tentang kehidupan bangsa di masa depan. HAM dikembangkan sebagai salah
satu bagian dari cita-cita dan tujuan nasional tersebut. Secara yuridis konstitusional HAM
memiliki landasan yang kuat karena secara eksplisit dicantumkan di dalam pasal-pasal UUD
1945, terutama pasal 27, 28, 28A-J, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. Untuk melaksanakan berbagai
ketentuan pasal-pasal tersebut dibuat berbagai undang-undang.

You might also like