You are on page 1of 33

TORCH

(TOKSOPLASMA, RUBELLA, CMV, HERPES SIMPLEK II)

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK IV

Hilman Fadhil
Linda
M.Humaidi
Rusmini Novi Ariyani

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN ALIH JENIS

BANJARMASIN, 2018
PEMBAHASAN

A. BERKENALAN LEBIH JAUH DENGAN INFEKSI TORCH


1. DEFINISI
TORCH adalah penyakit yang menyita banyak perhatian akhir
akhir ini, terutama bagi wanita hamil. TORCH sering dikaitkan
dengan gangguan kehamilan, keguguran berulang,dan kelahiran
bayi cacat.

TORCH adalah istilah untuk memnggambarkan gabungan dari


beberapa jenis penyakit infeksi, yaitu toxoplasma, rubella,
Cytomegalovirus (CMV), hwerpes simplex virus II (HSV-II)
dari beberapa agen penyebab lain.

Kata TORCH sebenarnya merupakan sebuah akronim atau


singkatan dari:
T : Toksoplasma
O : Other infection
R : Rubella
C : Cytomegalovirus
H : Herpes simplex virus II atau neonatal herpes simplex
Huruf “O” yang merujuk kepada penyebab lain infeksi dapat
berupa:
 Coxsackievirus
 Chickenpox atau cacar air yang disebabkan oleh virus
varicella zoster
 Parvivirus
 Chlamydia
 HIV
 Human T-lymphotropic virus
 Syphilis
Telah disebutkan bahwa TORCH adalah penyakit infeksi,
yang disebabkan oleh empat macam agen, yaitu
toxoplasma, rubella, cytomegalovirus (CMV), herpes
simplex virus II (HSV-II), dan agen penyebab lainnya.
Meskipun ada banyak penyebab TORCH, namun sebagian
besar infeksi TORCH disebabkan oleh 4 agen utama, yaitu
Toksoplasma, rubella, cytomegalovirus (CMV) dan herpes
simplex virus II (HSV-II). Ke empat agen ini bertanggung
jawab terhadap gangguan kesuburan dan dampak luar biasa
bagi nasib kehdupan jangka panjang seseorang yang
dilahirkan di dunia.

Infeksi TORCH sering kali menimbulkan gangguan kesuburan,


baik pada pria ataupun wanita sehingga menyebabkan pasangan
susah mendapatkan keturunan ataupun terjadinya keguguran
dini. Infeksi TORCH juga dapat menyebabkan kerusakan pada
embrio/janin dalam kandungan sehingga akan mengalami cacat
bawaan dan meneteap hingga kelahirannya. Beberapa kecacatan
yang dapat timbul adalah kelainan pada saraf, mata, otak, paru-
paru, telinga, terganggunya fungsi motorik, gangguan sistem
kardiovaskuler, serta gangguan organ penting dan metabolisme
lainnya. Bayi yang dilahirkan dapat mengalami kebutaan, tuli,
penyakit hati dan limfa, ID rendah, cacat mental, gangguan
kejiwaan, hidrosefalus, pengapuran otak dan bentuk gigi yang
aneh.

Infeksi TORCH tidak hanya dapat menyerang wanita hamil dan


janin dalam kandungan nya saja , tetapi dapat menyerang semua
orang. TORCH dapat menyerang orang tua, anak-anak, pria,
wanita, dan semua orang dari berbagai kalangan. Pada orang
normal yang memiliki kekebalan tubuh baik, infeksi TORCH
hanya menimbulkan gejala ringan saja, seperti sakit kepala,
radang tenggorokan, flu berkepanjangan, sakit pada otot,
persendian, pinggang, sakit pada kaki, lambung, mata dan lain
sebagainya. Namun, gejala yang lebih jauh lebih serius muncul
pada orang orang yang mengalami gangguan seistem kekebalan
tubuh (seperti: penederita AIDS) dan janin dalam kandungan
yang belum memiliki sistem kekebalan tubuh yang kuat.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 45-47)

2. PENYEBAB
Agen penyebab TORCH yang utamanya adalah tokoplasma
gandii, virus Rubella, Cytomegalovirus 9CMV), Herpes simplex
virus II (HSV-II). Keempat agen ini bertangggung jawab
terhadap sebagian besar infeksi TORCH yang terjadi.

Tokoplasma gondii adalah protozoa parasit yang tergolong


dalam genus tokoplasma. Parasit ini hidup di kucing dan hewan
mamalia lainnya. Tokoplasma gondii dapat ditularkan kepada
manusia dan menyebabkan penyakit toksoplasmosis.

Virus rubella adalah jenis virus RNS, artinya virus yang


memiliki materi genetic berupa rantai tunggal saja. Virus
Rubella berasal dari keluarga Togaviridae dan genus Rubivirus.
Virus Rubella lebih familiar disebut dengan virus campak. Virus
Rubella memiliki waktu hidup singkat di udara atau lingkungan
terbuka. Virus ini juga tidak aktif oleh panas, cahaya, pHasam,
ensim pencernaan, dan keadaan ekstrim lainnya. Virus Rubella
dapat menyerang saraf, otak, dan kulit. Infeksi ditandai dengan
timbulnya bercak merah pada kulit.

Cytomegalovirus (CMV) Merupakan virus yang tergolong dari


keluargaherverperiade. virus ini juga dikenal dengan virus
herpes manusia V. Jika menginfeksi ibu hamil, dapat
menyebabkan keguguran terus-menerus atau bayi yang
dikandungnya lahir dalam keadaan cacat fisik, seperti
Hedrosefalus (pembesaran kepala), Microsefalus (pengecilan
kepala), lahir dengan usus keluar tubuh, tubuh transparan, dan
kaki-tangannya jadi bengkok.

Virus Herpes simplex II adalah jenis virus herpes yang


dapatmenyerang bagian pinggang kebawah, virus ini ditularkan
melalui hubungan kelamin, ditularkan memlalui ibun hamil ke
janinnya, serta penularan melalui tangan. Infeksi ini diawali
dengan timbulnya vesikula (vesikel=peninggian kulit berbatas
tegas dengan diameter kurang dari 1 cm dan daoat pecah
menimbulkan infeksi seperti koreng kecil) pada permukaan
mukosa kulit (mukokuteneus), bergerombol di atas dasar kulit
yang berwarna kemerahan.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 47-49)

3. PENULARAN
Penularan TORCH pada manusia melalui dua cara, yaitu
penularan aktif (didapat) dari penularan pasif (diturunkan),
penularan aktif tertjadi ketika agen penyebab TORCH masuk
kedalam tubuh dengan cara ditelan, dihirup ataupun menembus
lapisan mukosa tubuh. Penularasan pasif terjadi melalui
plasenta ibu kepada janin di dalam kandungannya,

Berikut adalah beberapa cara penularan TORCH :


 Memakan daging yang setengah matang dari hewan yang
terinfeksi
 Makan makanan yang tercemar oosita dari kotoran kucing
yang terinfeksi TORCH
 Tranfusi darah, transplantasi organ, cangkok jaringan, dan
kecelakaan laboratorium yang menyebabkan agen TORCH
masuk ke dalam tubuh, missal : tanpa sengaja melalui luka.
 Hubungan seksual
 Ditularkan dari ibu hamil ke janin melaui kandungannya
 ASI pada inbu yang menderita TORCH
 Keringat dan air liur penderita
 Mengkonsumsi makanan mentah (terutama buah dan sayur)
yang tidak dicuci dengan baik.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 50-51)

3.1 DIAGNOSIS
Seorang yang terinfeksi TORCH biasanya menunjukan gejala
yang klinis, namun pada beberapa penderita tidak terlihat gejala
sama sekali.Gejala infeksi TORCH pada orang normal antara
lain mudah pingsan, pusing, vertigo, migrant, penglihatan kabur,
pendengaran terganggu, radang tenggorokan, radang sendi, nyeri
lambung, lemah lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsy, dan
keluhan lainnya.

Gejala infeksi TORCH pada wanita kaitannya dengan kehamilan


dan bayi dalam kandungannya antara lain sulit hamil,
keguguran, organ tubuh bayi tidak lengkap, cacat fisik maupun
mental, autis, keterlambatan tumbuh kembang anak, dan
ketidaksempurnaan lainnya.

Oleh karna sangat seriusnya dampak yang ditimbulkan dari


infeksi TORCH, diagnosis yang lebih lengkap dan terperinci
perlu dilakukan untuk memastikan penyakit TORCH, diagnosis
laboratorium sebagai diagnosis pendukung yang dapat dilakukan
antaranya : ECG, CT scan, MRI, X-Ray, dan serum darah.
Pemeriksaan serum darah dilakukan dengan Ragen Immuno
Assay (ELISA) dan tes lain untuk mengetahui keberadaan
antibody spesifik, yaitu melalui IgM dan IgG.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 51-52)
4. PENCEGAHAN
Dampak infeksi TORCH tentunya sangat tidak diinginkan.
Untuk mencegah infeksi TORCH dapat dilaukan langkah-
langkah sebagai berikut :
4.1 Sebelum merencanakan kehamilan, lakukan pemeriksaan
TORCH\
4.2 Jika dari hasil pemeriksaan diketahui terinfeksi TORCH,
lakukan langkah-lanmgkah pengobatan agar benar-benar
sembuh total dari TORCH sebelum merencanakan
kehamilan.
4.3 Melakukan vaksinasi untuk mencegah terinfeksinyta
beberapa agen penyakit TORCH.
4.4 Melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur untuk
memantau kesehatan diri dan memantau kesehatan janin
dalam kandungan. Infeksi TORCH diketrahui sejak dini,
penanganannya akan semakin mudah dilakukan dan
memabntu agar kondisi bayi tidak menjadi buruk.
4.5 Melakukan pola hidup sehat dan menjaga pola makan yang
baik
4.6 Selalu mencuci tangan setiap kali akan makan atau setelah
melakukan aktivitas di luar rumah.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 53-54)

B. AGEN TORCH
1. TOXOPLASMA
1.1 Definisi
Toxoplasma gondii.adalah protozoa parasit yang tergolong
dalam kelas conoidasia dan sprozoa. Sporozoa binatang
yang mampu mengahsilkan spora dalam tubuhnya sebagai
salah satu cara perkembangbiakannya. Mikroorganisme ini
berkembang biak dengan dua cara yaitu secara seksual dan
aroeksual.

Seperti binatang sporozoa lainnya. toxoplasma gondii.tidak


memiliki alat gerak pada tubuhnya. Meski demikian,
toxoplasma gondii dapat hidup berpindah-pindah dengan
cara menginfeksi makhluk hidup lain, melalui daur/siklus
hidup. Sepanjang daur hidupnya toxoplasma gondii
memiliki 3 .berbentuk berbeda beda, yaitu takizoid, kista
dan ookista.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 55-60)

1.2 Penyebab
Toxoplasmosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh protozoa parasit toxoplasma gondii. Parasit penyebab
toksoplasmosis dapat menginfeksi binatang berdarah panas,
seperti kucing, anjing dan juga manusia. (Jannah,A. &
Putra,WS.2015. hal 55)

Infeksi toksoplasmosis dapat menyerang pada manusia


akibat termakannya spora toksoplasma gondii. Penyebab
dari infeksi tersebut adalah: makanan daging mentah yang
mengandung telur (ookista) toksoplasma;sayuran yang
terkontaminasi telur (ookista) toksoplasma; melalui tangan
yang terkontaminasi (misalkan pada petugas labolaturium,
perkebunan, peternakan dll); kontak yang tidak sengaja
dengan tinja kucing. Bermain main dengan kucing selam
hamil. (Rukiyah,AY. &Yulianti,L.2010. hal:34)
1.3 Manifestasi Klinis
1.3.1 Pada ibu
terkadang toxoplasma dapat menimbulkan beberapa
gejala seperti influenza, timbul rasa lelah, malaise
dan demam. Akan tetapi umumnya tidak
menimbulkan masalah yang berarti. Pada umumnya,
infeksi toxoplasma terjadi tanpa disertai gejala yang
spesifik. Walaupun demikian, ada beberapa gejala
yang mungkin ditemukan pada orang yang terinfeksi
toxoplasma, gejala-gejala tersebut adalah:
o pyrexia of unknow origin ( PUO )
o terlihat lemas dan kelelahan, sakit kepala, rash,
mylagia perasaan umum (tidak nyama atau
gelisah)
o pemebesaran kelenjar limfe pada serviks
posterior.
o Infeksi menyebar ke saraf, otak, korteks dan
juga dapat menyerang sel retina mata
Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu
sedang hamil atau pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita
AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan
obat penekan respon imun).

1.3.2 Pada janin


Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat
yang dapat terjadi pada janinnya adalah abortus
spontan atau keguguran, lahir mati, atau bayi
menderita toxoplasma dapat menyebabkan aborsi
dan biasanya terjadi secara berulang. Namun jika
kandungan dapat dipertahankan, maka dapat
mengakibatkan kondisi yang lebih buruk ketika
lahir, diantaranya adalah:
 Lahir mati
 Ikterus dengan pembesaran hati dan limfa
 Anemia
 Perdarahan
 Radang paru
 Pengelihatan dan pendegaran kurang
 Dan juga gejala yang dapat muncul kemudian
seperti kelainan mata dan telinga, retardasi
mental, kejang-kejang dan ensifalitis selain itu
juga dapat merusak organ janin.
 Resiko terburuk dari terjangkitnya infeksi ini
pada janin adalah saat infeksi maternal akut
terjadi di trimester ketiga.
(Sukarni,I. & Sudarti. 2014. Hal 10-11).

1.4 Patofisiologi
Toxoplasma gondii mempunyai 3 fase dalam hidupnya.
Tiga fase ini terbagi lagi menajdi 5 tingkat siklus:
1.4.1 fase proliferative
1.4.2 stadium kista
1.4.3 fase schizogoni
1.4.4 gamelogoni
1.4.5 fase ookista
Siklus aseksual terdiri dari fase proliferative dan stadium
kista. Fase ini dapat terjadi dalam bermacam-macam inang
sedangkan siklus seksual secara spesifik hanya terdapat
pada kucing. Kucing menjadi terinfeksi setelah ia memakan
mamalia, seperti tikus yang terinfeksi. Kista dalam tubuh
kucing dapat terbentuk setelah terjadi beberapa siklus
poliferasi dimana terbentuk tropozoid. Kista ini dapat
terbentuk selama infeksi kronis yang berhubungan dengan
imunitas tubuh. Kista terbentuk intra sel dan kemudian
terdapat secara bebas didalam jaringan sebagai stadium
tidak aktiv dan dapat menetap dalam jaringan tanpa
menimbulkan reaksi inflamasi. Kista pada binatang yang
tetrinfeksi menjadi infeksius, jika termakan oleh karnivora
dan toksoplasma tersebut masuk melaui anus. Infeksi pada
manusia dapat terjadi saat makan daging, yang kurang
matang, sayur-sayuran yang tidak dimasak, makanan yang
terkontaminasi kotoran kucing melaui lalat atau serangga.
Juga ada kemungkinan terinfeksi saat menghirup udara yang
terdapat ookista yang berterbangan. Cara penularan lain
yang sangat penting adalah pada jalur maternofetal. Ibu
yang mendapat infeksi akut saat kehamilannya dapat
menularkannya pada janin melalui plasenta. Imunitas
maternal tampaknya memberikan perlindungan terhadap
penularan transplasental parasit tersebut. Dengan demikian,
toksoplasmosis kongnital dapat terjadi jika ibu mendapatkan
infeksi tersebut selama kehamilannya.
(Sukarni,I. & Sudarti. 2014. Hal 10).

1.5 Pengobatan
Pengobatan toksoplasmosis secara medis dapat dilakukan
dengan berbagai jenis obat-obatan yang bertujan untuk
menumpas keberadaan Toksoplasma gondii dari dalam
tubuh. Obat-obatan yang palng umum digunakan adalah
pirimetamin, sulfadiazine, dan asam folinik. Ketiga obat ini
diberikan dalam resep kombinasi. Akan tetapi, sayangnya
pirimetamindan sulfadiazine memberikan efek samping
yang buruk bagi janin dalam kandungan, seperti toksik
terhadap organ hati dan penekanan sumsum tulang
belakang. Penderita toksoplasmosis yang sedang hamil
dapat diberikan obat-obatan ini mengingat risiko yang
diakibatkan oleh toksoplasmosis sangat merugikan.
Penderita toksoplasmosis yang sedang hamil dapat
mendapatkan pengobatan tambahan dengan spiramicin dan
leucovorin untuk menekan efek samping toksisitas hari.

Penderita toksoplasmosis yang mengalami gangguan sistem


kekebalan, seperti penderita HIV/AIDS, orang-orang yang
mengonsumsi obat-obatan imunodepresan, dan orang-orang
yang menggalami gangguan sistem imun lain, biasanya
mendapatkan penanganan yang lebih ketat. Pada pederita
HIV/AIDS, obat harus dikonsumsi seumur hidupnya untuk
menekan toksoplasma gondii sehingga tidak menimbulkan
dampak yang merugikan kesehatan. Selain pirimetamin,
sulfadiazine, dan asam folinik, obat obat lain yang kadang
digunakan adalah klindamisin, azitromisin, atau atovakoun.
Ketiga obat tersebut diberikan terutama ketika penderita
mengalami alergi terhadap pirimetamin atau sulfadiazine.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal:80)

1.6 Pemeriksaan Laboraturium


1.6.1 Anti Toxoplasma IgM dan IgC, IgG avidity (bila
perlu)
1.6.2 Pemeriksaan dilakukan pada saat ibu merencanakan
kehamilan, awal kehamilan, selanjutnya dipantau
setiap trimester sampai akhir kehamilan jika hasil
pemeriksaan sebelumnya negative.
(Fadlun & Feryanto.A. 2011. Hal : 28)

1.7 Pencegahan
1.7.1 Memasak makanan sampai benar benar matang.
Ookista toksoplasma gondii tidak akan mampu
bertahan pada suhu lebih dari 70O. memasak sampai
matang akan membunuh ookista Toksoplasma
gondii sehingga tidak akan menyebabkan infeksi
pada diri kita.
1.7.2 Mencuci tangan dan peralatan dengan benar,
terutama sebelum makan, setelah melakukan
aktivitas di lingkungan terbuka (tanah), serta setelah
menyentuh daging merah.
1.7.3 Mencuci buah dan sayur dengan air mengalir
sebelum di konsumsi. Bila perlu gunakan produk
pencuci buah dan sayur, tentunya dengan
memperhatikan komposisinya.
1.7.4 Jangan mengonsumsi susu murni yang tidak
dimasak (dipasteurisasi) dengan baik.
1.7.5 Merawat binatang peliharaan, terutama kucing
dengan benar. Member makanan hewan peliharaan
dengan makanan yang dimasak, jangan biarkan
hewan peliharaan berburu binatang liar, selalu
menjaga kebersihan binatang peliharaan,
memberikan vaksinasi, serta memantau dan
memeriksakan kesehatan binatang peliharaan secara
berkala.
1.7.6 Sebaiknya menghindari kucing saat hamil. Jangan
terlalu dekat, bahkan menyentuh kotoran kucing,
terlebih kotoran kucing yang sudah lebih dari 24
jam.
1.7.7 Memeriksakan kesehatan tubuh menyeluruh secara
berkala. (termasuk melakukan tes TORCH)
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 80)
1.8 Penatalaksanaan
Bila ternyata sudah pasti janin tertular toxoplasma,
tergantung pada umur kehamilan, apakah perlu dilakukan
terminasi atau tidak, tentu dokter akan mendiskusikannya.
Atau doker akan memberikan pengobatan antibiotic untuk
mengurangi risiko kelainan pada janin yang dikandung.
Selain itu semua hal terbaik yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan pencegahan terhadap toksoplasma ini,
dengan hal-hal berikut:
1.8.1 menggunakan sarung tangan kalau mengurus
tanaman di pekarangan atau mengolah tanah.
Karena kucing mencari tempat buang air besar di
pekaranagan atau gundukan pasir atau temapat bak
sampah.
1.8.2 Mencuci tangan yang bersih setelah selesai
mengolah tanaman dan tanah di pekaranagan.
1.8.3 Bila mengelola daging mentah, bersihkan dengan
baik papan tempat pengolahan, pisau, dan alat-alat
yang lain yang kontak dengan daging. Cuci tangan
dengan air dari sabun selesai mengolah daging
mentah.
1.8.4 Masaklah daging dengan sempurna, jangan
mencicipi daging yang belum sempurna. Dengan
mengikuti anjuran pencegahan ini, terbukti sudah
cukup untuk mencegah penularan parasit
toksoplasma

2. RUBELLA
2.1 Definisi
Infeksi rubella atau di kenal sebagai German Measles
menyerupai campak hanya saja bercaknya sedikit lebih kasar.
(Maryunani,A. & Sari, EP. 2013 hal: 109)
Penyakit campak adalah penyakit menular dengan gejala
kemerahan berbentuk mukolo popular selama tiga hari atau
lebih dari yang disertai panas 38 derajat celcius atau lebih
dan disertai salah satu gejala batuk, pilek dan mata merah. (
Lestari,T. 2016. Hal: 109)

Virus Rubella adalah jenis virus RNA, artiya virus yang


memiliki materi genetic berupa rantai tunggal saja. Virus
Rubella berasal dari keluarga Togaviridae dan genus
Rubivirus. Virus Rubella memiliki waktu hidup singkat di
udara atau lingkungan terbuka. Virus inin juga tidak aktif
oleh panas, cahaya, pH asam, enzim pencernaan, dan keadaan
ekstrem lainnya. Virus Rubella dapat merangsang saraf, otak,
dan kulit. Infeksi ditandai dengna timbulnya bercak merah
pada kulit. (Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 49)

2.2 Penyebab
Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella dan biasanya
menginfeksi tubuh melalaui pernafasan seperti hidung dan
tenggorokan karena virus ini dapat menular melalui udara
dan urine. (Maryunani,A. & Sari, EP. 2013 hal: 109)
Virus ini pertama kali ditemukan di Amerika pada tahun
1966, rubella pernah menjadi endemic di banyak Negara di
dunia, virus ini menyebar melalui droplet. Periode
inkubasinya adalah sekitar 14-21 hari) ) (Sukarni,I. &
Sudarti. 2014. Hal 13)

2.3 Penularan
Penularan virus rubella pada ibu hamil, sama dengan
penularan virus rubella pada umunya. Penularan terjadi
melalui udara dimana dahak penderita terhirup oleh ibu
hamil. Virus rubella akan menempel di bagiain belakang
tenggorokan. Pada ibu hamil yang tidak memiliki kekebalan
terhadap virus rubella, virus ini akan segera menginfeksi
daerah sekitar belakang tenggorokan kemudian menyebar ke
seluruh bagian melalui pembuluh darah dan pembuluh getah
bening.

Virus rubella kemudian menembus sawar plasenta dan


menginfeksi janin di dalam kandungan. Dari semua infeksi
rubella congenital, 50% lebih ibu hamil tidak merasakan
gejala apa-apa, namun resiko yang sangat besar justru
mengintai janin dalam kandungan. Infeksi rubella kongnital
dapat menyebabka keguguran, bayi lahir mati, gangguan
perkembangan janin serta kecacatan bawaan jika janin
selamat dilahirkan.

Risiko penularan infeksi rubella dari ibu hamil kepada janin


dalam kandungan berbanding terbalik dengan usia kehamilan.
Jika ibu hamil terinfeksi saat usia kehamilannya <12 minggu
maka risiko janin tertular 80-90%. Jika infeksi dialami ibu
saat usia kehamilan 15-30 minggu, risiko janin terinfeksi
turun yaitu 10-20%. Namun. Risiko janin tertular meningkat
hingga 100% jika ibu terinfeksi saat usia kehamilan .>36
minggu

(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 105-107)

2.4 Manifestasi Klinis

Infeksi rubella pada trimester pertama memberikan dampak


buruk untuk kemungkinan besar terjadinya kelainan bawaan
(sindroma rubella congenital)

Kelainan bawaan yang banyak ialah defek pada jantung,


katarak, retinitis, dan ketulian.
Oleh karena itu, infeksi pada trimester pertama member
pilihan untuk aborsi

Kepastian infeksi di nyatakan pada konversi dan IgM


negative menjadi positif dan meningkatnya IgC secara
bermakna

Kadar IGM ini dapat pula dibuktikan dalam darah tali pusat.
Dengan upaya vaksinasi pada remaja, prevalensi infeksi virus
ini sangat jarang (1:1000)

(Maryunani,A. & Sari, EP. 2013 hal: 110)

2.5 Patofisiologi
Menurut Jannah & Putra untuk dapat menimbulkan efek pada
tubuh manusia, virus Rubella harus menempuh perjalanan
infeksinya hingga dapat sampai di berbagai organ tubuh dan
berkembang biak. Namun tidak semua virus Rubella dapat
masuk dengan mudah kedalam tubuh manusia. Ketika daya
tahan tubuh dalam kondisi baik, virus ini segera ditangkal
dan akan mati. Akan tetapi, saat kondisi tubuh kurang fit dan
daya tahan tubuh lemah, virus ini dengan mudah akan masuk
ke dalam tubuh dan mulai menjalani misinya.
Untuk dapat mengakibatkan dampak bagi tubuh, virus rubella
harus menempuh fase-fase sebagai berikut:
2.5.1 Fase penetrasi
Fase ini adalah fase dimana virus berusaha masuk
kedalam tubuh. Penularan virus rubella adalah melalui
percikan droplet (dahak) penderita saart bersin atau
batuk. Percikan dahak ini akan terhirup oleh orang
lain. Segera setelah sampai di permukaan saluran
pernafasan, virus ini bersiaop menjalankan aksinya.
Virus menempel dan berusaha untuk masuk kedalam
sel inang (sel tenggorokan manusia) dengan
melobangi permukaan sel.
2.5.2 Fase prodromal atau permulaan
Fase ini berlangsung kurang lebih 4-5 hari. Virus ini
yang berhasil masuk kedalam tubuh melakukan
replikasi untuk memperbanyak dirinya dan menyebar
keseluruh bagian tubuh. Bermula dari bagian
belakang tenggorokan, virus ini menyebar ke seluruh
organ dan jaringan tubuh. Mula mula virus rubella
menyerang saraf dan otak, kemudian menyebar ke
sendi, mata, organ kelamin, limpa, amandel, paru-
paru, dan kulit. Pada tahap ini muncul gejala seperti:
demam tinggi dan berkepanjangan, suhu tubuh
mencapai 38%C bahkan dapat mencapai hingga 40°C,
mata terasa nyeri, sakit pada persendian pusing, dan
sakit kepala, hilang nafsu makan, wajah pucat dan
lemas, serta kadang disertai pilek.
2.5.3 Fase erupsi
Pada fase ini mulai bercak kemerahan (ruam
mukulopapular) yang mulai timbul secara berurutan
dari wajah/kepala, badan, tangan hingga kaki. Pada
fase ini gejala yang dirasakan sudah tidak seberat
gejala pada fase sebelumnya, namun fase ini justru
merupakan fase yang sangat krusial. Pada fase ini
penderita dapat menularkan penyakitnya kepada
orang lain.
2.5.4 Fase konvalesen
Pada fase ini suhu tubuh berangsur turun hingga
akhirnya menjadi normal kembali. Ruam kulit sudah
muncul secara merata di seluruh permukaan tubuh
dan berangsur menghilang, meninggalkan bercak
kehitaman (hiperpigmentasi). Bekas ini akan
menghilang dengan sendirinya setelah 1-2 minggu.

2.6 Pengobatan
Tidak ada obat spesifik untuk mengobati infeksi virus rubella.
Obat yang diberikan biasanya bersifat untuk meringankan
gejala yang timbul. Hanya saja pada anak-anak dan orang
dewasa, gejala-gejala yang timbul adalah sangat ringan. Bayi
yang lahir dengan sindrom rubella rubella congenital,
biasanya harus ditangani secara seksama oleh para ahli.
Semakin banyak kelainan bawaan yang diderita akibat infeksi
congenital, semakin besar pula pengaruhnya pada proses
pertumbuhan dan perkembangan anak. Biasanya infeksi
rubella congenital dipastikan dengan pemeriksaan serologi
segera setelah bayi lahir, yaitu dengan terdeteksinya IgM
Rubella pada darah bayi.
(Fadlun & Feryanto. 2011. Hal 24)

2.7 Pemeriksaan Laboraturium


2.7.1 Anti-Rubella IgM dan IgG, aviditas IgG bila perlu.
2.7.2 Pemeriksaan penyaring (skrining) dilakukan pada saat
ibu merencanakan kehamilan, awal kehamilan
(minggu1-17), wanita hamil yang dicurigai kontak
dengan virus atau terdapat gejala klinis
(Fadlun & Feryanto. 2011. Hal 23)

2.8 Pencegahan
Cara yang paling efektif untuk penularan virus rubella adalah
dengan pemberian imunisasi. Saat ini imunisasi yang dapat
diberikan untuk mencegah rubella adalah dengan pemberian
vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella). Pemberian
imunisasi MMR pada wanita usia reproduktif yang belum
mempunyai antibody terhadap virus rubella amatlah penting
untuk mencegah terjadinya infeksi rubella congenital pada
janin. Setelah pemberian imunisasi MMR, penundaan
kehamilan harus dilaakukan selama 3 bulan.
(Fadlun & Feryanto. 2011. Hal 24-25)

2.9 Penatalaksanaan
Seorang wanita hamil yang terinfeksi rubella, memiliki risiko
yang kecil. Akan tetapi, tergantung pada usia gestasi pada
saat terinfeksi, kemungkinan janin beresiko angat besar untuk
mengalami kelainan congenital. Metode untuk diagnosis
dalam rahim meliputi pemeriksaan sampel darah janin untuk
rubella-spesifik IgM, membalikan reaksi rantai transkripsi
polymerase rubelia secara spesifik (RT-PCR) dan isolasi
virus dari cairan amnion atau hasil konsepsi. RT-PCR dapat
mendeteksi kehadiran viral RNA walaupun IgM spesifik
virus rubella janin yang dihasilkan oleh sampel darah janin
negative. Walaupun tes-tes ini bisa menunjukkan adanya
infeksi janin, konseling biasanya berdasarkan pada usia
gestasi sehubungan dengan resiko kelainan congenital. Tidak
ada pengobatan lain selain terminasi kehamilan jika
memungkinkan. Perawatan untuk infeksi maternal akut yang
umumnya memili gejala. Jarang, pasien yang menderita
trombositopenia atau ensefalitis selamat glukokortikoid atau
transfuse platelet. Tidak ada data yang menunjukkan bahwa
immunoglobin mencegah kelainan janin.
(Sukarni,I. & Sudarti. 2014. Hal 10).

3. CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
3.1 Definisi
Cytomegalovirus (CMV) merupakan virus yang tergolong
dari keluarga Herpesviridae. Virus ini juga dikenal dengna
sebutan virus herpes manusia V. jika menginfeksi ibu
hamil, dapat menyebabkan keguguran terus menerus atau
bayi yang dikandungnya lahir dalam keadaan cacat fisik,
seperti hidrosefalus, microsependerfalus, lahir dengan usus
keluar tubuh, tubuh transparan, dan kaki-tangannya menajdi
bengkok. (Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 49)

Cytomegalovirus atau lebih sering disebut dengan CMV


adalah infeksi oportiunistik yang berhubungan dengan HIV.
Virus ini dibawa oleh sekitar 50% populasi dan 90%
penderita dengan HIV (Rukiyah,AY. & Yulianti,L. 2010.
Hal: 7)

Setelah CMV masul ke dalam tubuh manusia, CMV segera


menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui aliran darah.
CMV dapat sampai hampir di semua organ tubuh dan
menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan yang
tentunya sangat tidak diinginkan. Berikut adalah organ yang
terserang CMV.

 Ginjal sehingga disebut CMV nefritis


 Hati sehingga disebut CMV hepatitis
 Jantung sehingga disebut CMV myocarditis
 Paru-paru sehingga disebut CMV pneumonitis
 Mata sehingga disebut CMV retinitis
 Lambung sehingga disebut CMV gastritis
 Usus sehingga disebut CMV colitis
 Otak sehingga disebut CMV encephalitis
 Ditularkan dari ibu hamil kepada janinnya sehingga
disebut CMV congenital

(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 127-128)

3.2 Penyebab
Penularan CMV aka terjadi jika ada kontak langsung
dengan cairan tubuh penderita seperti air seni, air ludah,
darah, air mata, sperma dan air susu ibu. Bisa juga terjadi
karena transpaltasi organ. Kebanyakan penularan terjadi
karena cairan tubuh penderita menyentuh tangan individu
yang rentan. Kemdian di absorbs melalui hidung dan
tangan. Teknik mencuci tagan dengan sederhana
menggunakan sabun cukup efektif untuk membuang virus
dari tangan. Golongan social ekonomi rendah lebih rentan
terkena infeksi. Rumah sakit juga tempat penularan virus
ini, terutama dialysis, perawatan neonatal dan ruang anak.
Penularan melalui hubungan seksual juga dapat terjadi
melalui cairan semen ataupun lendir endoserviks. Virus
juga dapat ditularkan kepada bayi melalui sekresi vagina
pada saat lahir atau pada ia menyusu. (Sukarni,I. & Sudarti.
2014. Hal 14)

3.3 Cara penularan


CMV dapat masuk kedalam tubuh dengan berbagai cara,
diantaranya sebagai berikut:
 Menyentuh mata atau bagian dalam hidung atau
mulut sehabis kontak cairan tubuh dari orang yang
terinfeksi. Penularan ini adalah penularan yang
paling umum karena cmv dapat menembus selaput
lendir.
 Melalui hubungan seksual dengan pasangan
terinfeksi
 Melalui asi dan ibu terinfeksi
 Melalui transfuse darah atau transpaltasi organ
 Melalui plasenta, dari ibu terinfeksi kepada bayi
belum lahir, atau selama kelahiran.

(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 125-126)


Cara penularan dari ibu ke bayi :

Penularan infeksi CMV dari ibu hamil kepada bayinya


dapat terjadi dengan dua cara, yaitu penularan intrauterus
(congenital) dan penularan perinatal (sewaktu kehamilan
hingga 1 minggu setelah kelahiran)

 Infeksi intrauterus (congenital), adalah penularan


dari ibu hamil kepada janin dalam kandungannya
melalui plasenta. Jika penularan terjadi pada usia
kandungan di bawah 16 minggu, akan menyebabkan
bagi janin dalam kandungan. Virus CMV adalah
salah satu virus yang dapat melalui sawar plasenta.
Penularan atau transmisi infeksi CMV melalui jalan
plasenta adalah 0,5-2,5% dari populasi seluruh
kehamilan di dunia. Artinya, penularan infeksi CMV
dari ibu hamil kepada janin dalam kandungannya
melalui jalan plasenta terjadi sebanyak 25 kasus dari
setiap 1000 kehamilan. Janin didalam kandungan
belum memiliki kekebalan yang sempurna sehingga
CMV sangat mudah menyerang janin.
 Infeksi perinatal adalah penularan yang terjadi
sewaktu persalinan hingga 1 minggu setelah
kelahiran. Salah satu organ ibu yang dapat menjadi
depo CMV adalah vagina. Sewaktu bayi lahir,
tentunya bayi akan melalui vagina sang ibu. Pada
saat inilah dapat terjadi penularan infeksi CMV dari
ibu kepada bayinya. Penularan perinatal lainnya
adalah melalui air susu ibu, melalui percikan air liur,
serta melalui kontak dengan mulut dan hidung
(mencium bayi).

(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 125-126)


3.4 Manifestasi Klinis
Pada manusia sehat dengan kehamilan atau imunokompeten
penyakit infeksi CMV seringkali asymptomatic. Gejala
yang kadang timbul berupa gejala mirip mononukleus tanpa
disertai faringitis tonsillitis, atau limfadenopati. Penularan
secara vertical pada infeksi primer ataupun
sekunder/rekuren. Pada infeksi CMV congenital
symptomatilk diagnostinya dapat diperlukan secara klinis
manifestasi klinisnya antara lain berupa retardasi
pertumbuhan, intrauterine, kuning, hepatosplenomegali,
asites, petekie, atau pupura, pnemonitis, trombositopnia,
hepatitis, hiperbilirubinemi, dan anemia hemolitik.

(Rukiyah,AY. &Yulianti,L.2010. hal:9)

3.5 Patofisiologi
Masa inkubasi CMV
 Setelah lahir 3-12 minggu
 Setelah transfuse selama 3-12 minggu
 Setelah transpaltasi 4 minggi-4 bulan’
Urin sering mengandung CMV dari beberapa bulan sampai
beberapa tahun setelah infeksi. Virus tersebut dapat tetap
tidak aktif dalam tubuh seseorang tetapi mash dapat
diaktifkan kembali. Hingga kini belum ada imunisasi untuk
mencegah penyakit ini.
(Sukarni,I. & Sudarti. 2014. Hal 16).

3.6 Pengobatan
Pada kebanyakan orang sehat dengan daya tahan tubuh
baik, infeksi CMV sifatnya adalah self limited diseases,
artinya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa
menimbulkan dapat yang merugikan bagi kesehatan.
Pengobatan infeksi CMV pada orang normal diarahkan
dengan perbaikan gizi dan nutrisi, istirahat yang cukup serta
pengobatan yang sifatnya meredakan gejala.

Meskipun hanya menyebabkan gejala ringan pada orang


normal, namun tidak bagi orang-orang penderita gangguan
imun tubuh, orang-orang yang mengonsumsi/mendapatkan
terapi steroid dosis tinggi, serta janin dan kandungan.

Pengobatan dilakukan dengan pemberian anti virus, baik


oral maupun injeksi, namun hingga saat ini hasilnya masih
belum jelas. Pengobatan pada janin yang terinfeksi,
dicobakan dengan pemberian zat immunoglobulin in utero (
janin yang diberikan kekebalan dari luar). Dengan
pemberian kekebalan ini, diharapkan janin dalam
kandungan mampu memerangi infeksi virus CMV. Pada
wanita hamil dengan gangguan imunitas dapat diberikan
obat ganciclovir, cidofovir, formivirsen, dan foscarnet
(virustatic).

(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal:135

3.7 Pemeriksaan Laboraturium


3.7.1 Anti CRV IgM dan IgG, IgG aviditas
3.7.2 Pemeriksaan dilakukan pada saat ibu merencanakan
kehamilan, selanjutnya dipantau setiap trimester
sampai akhir kehamilan jika hasil pemeriksaan
sebelumnya negative.
(Fadlun & Feryanto. 2011. Hal 25)

3.8 Pencegahan
3.8.1 Memberikan informasi tentang cara hidup sehat dan
higienis kepada seluruh lapisan masyrakat
3.8.2 Mengusahakan untuk menghindari kontak dengan
cairan tubuh orang yang diduga menderita infeksi
CMV. Cairan tubuh yang dimaksud adalah ludah, air
kencing/urine, air mani/semen, dan lain sebagainya.
3.8.3 Melakukan hubungan seksual secara sehat dan tidak
berganti-ganti pasangan.
3.8.4 Hati-hati dalam menerima tranfusi darah. Darah yang
diterima harus benar-benar dari donor sero-negatif
3.8.5 Bagi ibu yang memiliki bayi premature, hati-hati
ketika memberikan ASI. Bayi premature daya tahan
tubuhnya rendah sehingga rentan mengaalami infeksi
perinatal.
3.8.6 Memeriksaan kesehatan diri menyeluruh secara
berkala, termasuk tes TORCH di dalamnya.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 136)

3.9 Penatalaksanaan
Tidak ada terapi khusus untuk CMV pada individu yang
sehat. Pasien dengan gangguan kekebalan dan mereka yang
memiliki gejala mononucleosis atau gejala hepatitis diobati
berdasarkan gejala yang timbul atau dengan terapi anti
virus. Yang penting dan perlu diperhatikan bagi wanita
hamil yang seronegatif harus mencegah agar tidak terlalu
sering kontak dengan anak anak usia 2-4 tahun pertama
yang diketahui menderita infeksi sitomegalovirus, dan
selalu menjaga kebersihan diri dengan membiasakan selalu
mencuci tangan setelah kontak dengan produk cairan anak
anak seperti muntahan, popok dan lain.
(Sukarni,I. & Sudarti. 2014. Hal 18).

4. VIRUS HERPES SIMPLEX II


4.1 Definisi
Virus herpes simplex II adalah jenis virus herpes yang dapat
menyerang bagian pinggang ke bawah. Virus ini ditularkan
melalui hubungan kelamin, ditularkan dari ibu hamil kepada
janinnya serta penularan melalui tangan. Infeksi virus ini
ditandai dengan timbulnya vesikula (vesikel= peninggian
kulit berbatas tegas dengan diameter kurang dari 1 cm dan
dapat pecah menimbulakn infeksi seperti koreng kecil) pada
permukaan mukosa kulit ( mukokutaneus ), bergerombol, di
atas dasar kulit yang berwarna kemerahan.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 49)

Infeksi herpes pada alat genital (kelamin) disebabkan oleh


virus herpes simpleks tipe II (HSV II). Virus ini dapat berada
dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf sensorik
dan berdiam di ganglion sistem syaraf otonom. Bayi yang
dilahirkan dari ibu yang terinsfeksi HSV II biasanya
memperlihatkan lepuh pada kulit, tetapi hal ini tidak selalu
muncul sehingga mungkin tidak diketahui. Infeksi HSV II
pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal ( pada lebh
dari 50 kasus).
(Sukarni,I. & Sudarti. 2014. Hal 18).

4.2 Penyebab
Virus dapat di tularkan melalui kontak badan dan seksual,
infeksi dapat tertular pada bayi saat proses persalinan karena
adanya gesekan dengan jalan lahir yang juga alat kelamin.
Tipe-tipe virus herpes simplex ada 2:
4.2.1 herpes simplex virus tipe 1 yang pada umumnya
menyebabkan lesi atau luka pada sekitar wajah, bibir,
mukosa mulut, dan leher.
4.2.2 Herpes simplex tipe II umumnya menyebabkan lesi
pada genital dan sekitarnya (bokong, daerah anal, dan
paha)
(Maryunani,A. & Sari, EP. 2013 hal: 117)
4.3 Cara penularan
Seorang wanita yang sedang hamil dapat menularkan infeksi
kepada bayinya, yaitu sebagai berikut:
4.3.1 Penularan melaui plasenta sewaktu kehamilan. Virus
herpes dapat menembus sawar plasenta dan dapat
mencapai janin. Janin dalam kandungan belum
memiliki kekebalan sehingga sangat mudah untuk
diserang oleh virus jahat ini
4.3.2 Penularan saat persalinan. Sekitar 30-50% bayi
tertular infeksi HSV-2 dari ibunya yang menderita
infeksi ini. Salah satu depo virus herpes simplex tipe-
2 adalah di vagina. Selama proses persalinan
(normal), bayi akan melalui vagina sang ibu. Pafa saat
inilah sangat besar resiko bayi tertular infeksi HSV-2.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 146-147)

4.4 Manifestasi Klinis


4.4.1 Munculnya vesikel di sekitar daerah kelamin
4.4.2 Rasa sakit seperti terbakar pada daerah yang diserang
4.4.3 Rasa tidak enak badan
4.4.4 Demam
4.4.5 Sakit kepala
4.4.6 Kelelahan
4.4.7 Nyeri otot

(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 146)

4.5 Patofisiologi
HSV-1 menyebabkan munculnya gelembung berisi cairan
yang terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar
mata. HSV-2 atau herpes genital ditularkan melalui hubungan
seksual dan menyebabkan vagina terlihat seperti bercak
dengan luka mungkin muncul iritasi, penurunan kesadaran
yang disertai pusing, dan kekuningan pada kulit dan kesulitan
bernafas ata kejang. Biasanya hilang dalam 2 minggu infeksi,
infeksi pertama HSV adalah yang paling berat dan dimulai
setelah masa inkubasi 4-6 hari. Gejala yang timbul meliputi
nyeri, inflamasi dan kemerahan pada kulit (eritema) dan
diikuti dengan pembentukan gelembung-gelembung yang
berisi cairan bening selanjutnya dapat berkembang menjadi
nanah diikuti dengan pembentukan keropeng atau kerang
(scrab). Setelah infeksi pertama, HSV memiliki kemampuan
untuk bermigrasi sampai pada saraf sensori tepi menuju
spinal ganglia dan berdormansi tersebut dapat disebabkan
penurunan daya tahan tubuh, stress, depresi, alergi pada
makanan, demam, trauma pada mokusa genital, menstruasi,
kurang tidur dan sinar ultraviolet. (Sukarni,I. & Sudarti.
2014. Hal 19).

4.6 Pengobatan
Meskipun hingga saat ini belum ada pengobatan untuk herpes
genital, namun ada beberapa obat-obatan yang dapat
digunakan untuk mengurangi kemungkinan penularan dan
keluhan. Obat-obatan tersebut acylclvirm, valacyclovir, dan
famciclovir. Efek samping dari obat obatan ini adalah rasa
tidak enak di perut, kehilangan nafsu makan, muntah, mual
diare, pusing, sakit kepala, dan tubuh menjadi lemah.
Pengobatan dengan acylclovirm, valacyclovir, dan
famciclovir tidak dianjurkan untuk wanita hamil.
Penggunaan ketiga obat anti-viral di atas (acylclovir,
valacyclovir, dan famciclovir) dapat mengurangi frekuensi
serangan berulang dan pengobatan efektif jika dilakukan
sedini mungkin (dua hari setelah timbul gejala). Obat ini akan
mengurangi jumlah virus dalam tubuh. Penggunaan
idoxuridine sangat bermanfaat untuk mengobati lesi/luka
herpes simplex. Meski demikian, obat ini memberiakan rasa
nyeri yang hebat:
Adapun dosis untuk:
 Acylclovir
Infeksi genital primer: acylclovir IV (5mg/kg/BB/8 jam
selama 5 hari). Acylclovir oral 200 mg (5 kali/ hari
selama 14 hari). Acylclovir topical 5% dioleskan pada
kulit untuk meredakan gejala.
 Valacyclovir
Valacyclovir di dalam hati akan di metabolism
menghasilkan acylclovir dan meningkatkan bioavabilitas
(efektifitas obat) hingga 54%. Dosis oral 1000 mg
Valacyclovir setara dengan dosis Acyclovir 200 mg 5
kali sehari.
 Famciclovir
Obat ini sangat efektif menghambat replikasi virus
Herpes tipe-1 dan tipe-2. Obat ini bekerja jauh lebih
panjang dari acylclovir sehingga dosisnya hanya 1 kali
sehari. Famsiklovir diserap dan dimetabolisme oleh
tubuh dengan sangat baik
Pada banyak kasus infeksi HSV-2 yang terjadi pada ibu
hamil, dokter kandungan menyarankan untuk partus
(melahirkan) dengan cara caesarian section. Hal ini
dilakukan untuk mencegah penularan infeksi dari vagina
ibu kepada bayi sewaktu proses persalinan.
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal:151)

4.7 Pemeriksaan Laboraturium


4.7.1 Anti HSV – IgG dan IgM, anti HSV-2 IgG dan IgM
4.7.2 Pemeriksaan dilakukan pada saat ibu merencanakan
kehamilan dan awal kehamilan dan awal kehamilan.
Bila hasil negative, maka periksa pasangannya. Bila
isteri negative dan pasangan positif dengan riwayat
herpes genital, maka periksa isteri menjelang akhir
kehamilan.

(Fadlun & Feryanto. 2011. Hal 26)

4.8 Pencegahan
4.8.1 Mengupayakan hidup sehat dengan pola hidup dan
pola makan yang baik.
4.8.2 Menjaga kebershihan diri dan selalu mencuci tangan,
terutama ketika akan menyentuh daerah kelamin.
4.8.3 Memberikan arahan kepada orang-orang yang
berisilko mengidap infeksi Herpes genital untuk
mencegah penularan penyakit ini
4.8.4 Mendeteksi gejala pada orang-orang yang beresiko,
serta mengusahakan agar tidak melakukan kontak
dengan penderita.
4.8.5 Melakukan aktivitas seksual yang baik dan sehat,
serta tidak berganti-ganti pasangan .
4.8.6 Memeriksakan kesehatan diri menyeluruh secara
berkala, termasuk pemeriksaan TORCH
(Jannah,A. & Putra,WS.2015. hal 153)

4.9 Penatalaksanaan
Hingga saat ini belum ada terapi yang memberikan
penyembuhan radikal, artinya tidak ada pengobatan yang
dapat mencegah fase rekurens secara tuntas. Pada lesi yang
dini dapat digunakan obat topical berupa salep/krim yang
mengandung preprat idoksuridin (stoxill,virugeuent,
virugeuent-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan
interval beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax) yang
dipakai secara topical dapat mengganggu replikasi DNA
virus. Pengobatan klinis hanya bermanfaat jika penyakit
sedang aktif. Jika timbul ulserasi dapat dilakukan kompres.
Pengobatan oral berupa prevarat asiklovir, tampaknya
memberikan hasil yang lebih baik. Fase aktif menjadi lebih
singkat dan masa rekurensnya lebih panjang. Dengan dosis
5x200 mg sehari selama 5 hari. Pengobatan parenteral dengan
asiklovir terutama ditujukan pada penyakit yang lebih berat
atau jika timbul komplikasi pada alat dalam. Begitu pula
dengan preparat adenine arabinosid (vitarabin). Interferon
sebuah preparat glikoprotein yang dapat menghambat
reproduksi virus, juga dapat menghambat reproduksi virus
juga dapat dipakai secara parenteral. Untuk mencegah
rekurens berbagai usaha yang dilakukan dengan tujuan
meningkatkan imunitas-imunitas selular dengan member
levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala,
menurut beberapa penelitian memberikan hasil yang baik.
Efek levamisol dan isoprinosin ialah sebagai
imunostimulator. Pemberian vaksinasi cacar sekarang tidak
lagi digunakan.

Herpes genetalia pada kehamilan:

Bila pada kehamilan tombul herpes genitalis, maka perlu


mendapat perawatan yang serius, karena melalui plasenta
virus dapat sampai ke sirkulasi fetal, serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi
neonatal mempunyai angka mortalitas 60% separuh dari yang
hidup menderita cacat neurologic atau kelahiran organ seperti
mata. Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa
ensafalitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis. Disamping itu
dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan
memilih partus dengan SC, bila saat partus ibu menderita
infeksi ini. Tindakan ini diambil sebelum selaput amnion
pecah atau paling lambat 6 jam setelah selaput amnion pecah.
Di Amerika frekuensi herpes neonatal adalah 1 per 7500
kelahiran hidup. Bila transmisi terjadi pada trimester 1
cenderung terjadi abortus, sedangkan pada semester II akan
terjadi prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada
saat intra partum.(Sukarni,I. & Sudarti. 2014. Hal 21-22)

DAFTAR PUSTAKA

Fadlun & Feryanto, A. (2011). Asuhan Kebidanan Patologis.


Jakarta : Salemba Medika
Jannah,A. & Putra,W.S.(2015). Bahaya TORCH
(Toksoplasma, Rubella, CMV, Herpes Simplex
II).Yogyakarta : KATAHATI
Lestari,T. (2016). Asuhan Keperawatan Anak.Yogyakarta:
Nuha medika
Maryunani,A.& Puspita,E. (2013). Asuhan kegawatdaruratan
Maternal & Neonatal. Jakarta : Trans Info Media
Rukiyah,A.Y. & Yulianrti L. (2010). Asuhan Kebidanan
(Patologi). Jakarta: Trans Info Media
Sukarni,I. & Sudarti. ( 2014). Patologi Kehamilan,
Persalinan, Nifas dan Neonatus Resiko Tinggi.
Yogyakarta : Nuha medika

You might also like