You are on page 1of 5

Faktor-faktor risiko alergi makanan adalah:

 Riwayat keluarga. Anda berisiko tinggi memiliki alergi makanan jika Anda memiliki keluarga
dengan riwayat alergi makanan.
 Mengalami alergi lain. Jika Anda telah memiliki alergi terhadap satu makanan, Anda
berisiko tinggi untuk mengalami alergi terhadap makanan lain. Demikian juga, jika Anda
memiliki jenis reaksi alergi lain, seperti alergi debu, risiko Anda memiliki alergi makanan
menjadi lebih besar.
 Umur. Alergi makanan umumnya terjadi pada anak-anak, khususnya anak-anak kecil dan
bayi. Saat Anda tumbuh besar, sistem pencernaan Anda menjadi lebih matang dan tubuh
Anda meminimalisir mencerna makanan yang merangsang alergi.
 Asma. Asma dan alergi makanan umumnya terjadi bersamaan. Ketika hal ini terjadi, alergi
makanan dan asma, gejala keduanya cenderung lebih berat.

Faktor-faktor yang meningkatkan risiko Anda terhadap reaksi anafilatik, termasuk:

 Punya riwayat asma


 Berusia remaja atau lebih muda
 Terlambat menggunakan epinefrin untuk mengobati gejala alergi makanan Anda

Jenis-jenis Reaksi Hipersensitivitas

1. Reaksi tipe I (Reaksi cepat)

Reaksi yang muncul segera setelah alergen masuk dalam tubuh. Disebut
juga reaksi alergi, reaksi anafilaksis dan immediate hypersensitivity.

Patogenesisnya, alergen yang masuk melalui lapisan mukosa ditangkap


oleh sel B, kemudian terjadi aktivasi sel T helper 2 dan terjadi pertukaran
kelas. Kemudian sel B memproduksi IgE. IgE terikat pada FcRI pada sel
mast.

Apabila terjadi pajanan ulang terhadap alergen, terjadi aktivasi sel mast
dan dikeluarkannya mediator seperti sitokinin, vaso aktif amin dan
mediator lipid. Sitokin akan membuat reaksi fase lambat 2-24 jam setelah
pajanan ulang terhadap alergen, sedangkan vasoaktif amin dan mediator
lipid akan bereaksi cepat, dalam beberapa menit setelah panajan ulang.

Ada 3 fase :

Pertama, Fase sensitisasi : yakni alergen yang masuk ke tubuh akan


segera di tangkap oleh fagosit. Setelah itu, antigen tersebut akan dipreoses
dan dipresentasikan pada sel T helper 2. Responnya, selT helper 2, melepas
sitokin yang menstimulasi sel B memproduksi IgE. IgE nantinya diikat oleh
sel-sel yang memiliki reseptor IgE spesifik misalnya sel mast, basofil dan
eosinofil.

Kedua, Fase Aktifasi : yakni saat terpajan alergen, IgE spesifik di


permukaan sel mast akan langsung bereaksi terhadap alergen tersebut.
Kejadian terikatnya alergen IgE tersebut memacu degranulasi sel mast
sehingga keluarlah berbagai mediator dari granula sel, seperti histamin dan
mediator lipid.

Baca Juga: Pterigium (Definisi, Klasifikasi dan Tatalaksana)

Ketiga, Fase Efektor : setelah kontak dengan alergen, akan terjadi


metabolisme asam aracidonat. Prostaglandin dan leukotrien dikeluarkan.
Inilah fase lambat dari reaksi hipersensitivias tipe 1.

Contoh reaksi hipersensitivias tipe 1 adalah asma bronkhial, rhinitis alergi,


urtikaria, dan dermatitis atopik.

2. Reaksi tipe II (Reaksi Sitotoksik)

Merupakan reaksi sitotoksik, sitolitik dan hipersensitivitas yang di mediasi


oleh antibodi. Rekasi ini akan membentuk antibodi IgM dan IgG akibat
respon antigen. Ikatan antigen antibodi mengaktivasi komplemen dan
terjadi aktivasi neutrofil dan makrofag.

Fagosit dan opsonisasi : sel dikenali oleh reseptor Fc yang sebelumnya


diopsonisasi oleh antibodi IgG pada fagosit spesifik. Saat antibodi IgM dan
IgG di permukaan sel, sistem komplemen akan teraktivasi menghasilkan
produk, terutama C3b dan C4b. Kedua protein itu terletak pada permukaan
sel dan dikenali oleh fagosit yang mengekspresikan reseptor untuk
keduanya. Terjadilah fagositosis pada sel yang diopsonisasi tersebut.
Selain itu komplemen teraktivasi memicu pembentukan membran attacck
compleks yang membuat lubang pada membran bilayer lipid. Sehingga
membran terganggud dan terjadi lisis osmosis sel.

Sel-sel yang dilingkupi IgG konsentrasi rendah akan dimatikan oleh


beragam sel efektor. ADCC dapat diperantarai oleh monosit, neutrofil,
eosinofil dan sel Natural Killer (NK).

Reaksi Inflamasi : antibodi yang terdiposit pada jaringan mengaktivasi


komplemen hingga terbentuk berbagai produk termasuk agen kemotaktik
terutama C5a yang menarik leukosit PMN dan MN serta anafilatoksin.
Leukositpun teraktivasi yang akan memicu produksi substansi lain yang
menyebabkan kerusakan jaringan. Disisi lain, di keluarkannya banyak
proinflamantorik, vasodilator, dan kemotaktik. Rangakaian kejadian inilah
yang menimbulkan inflamasi termediasi antibodi.

Reaksi disfungsi seluler : pada sebagian kasus ada antibodi yang melawan
reseptor pada permukaan sel. Akibatnya terjadilah gangguan dan
disregulasi fungsi sel tanpa disertai cedera maupun inflamasi sel.

Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II adalah Anemia Hemolitik AIHA,


kerusakan jaringan pada penyakit autoimun, seperti mistenia gravis dan
tirotoksikosis, dan sindrom goodpasture dan rusahnya seldarah merah
karena reaksi tranfusi.

3. Reaksi tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Reaksi tipe III disebut juga kompleks imun yakni terjadi kompleks antigen-
antibodi IgM dan IgG dalam jaringan yang memicu komplemen yang akan
dikeluarkannya berbagai mediator seperti Faktor Kemotaktis Makrofag.

Juga akan menstimulasi basofil dan trombosit yang mengakibatkan


pelepasan mediator seperti histamin. Akhirnya terjadi permeabilitas
vaskuler. Antigen berasal dari bakteri patogen, virus, jamur, bahan inhalasi
dan lain sebagainya.

Contoh reaksi tipe III adalah : SLE (sistematik Lupus eritematosus,


glomerulonefritis, serum sickness dan reaksi arthus.

4. Reaksi tipe IV (Reaksi tipe Lambat)

Reaksi ini disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau sel T
mediated hipersensitivitas. Reaksi ini timbul lebih dari 24 jam setelah
pajanan. Reaksi ini melalui delayed hipersensitivias dan sel T mediated
citolisis.

Dalam Delayed tipe, akan melalui sel CD4, dimana sel ini melepaskan
sitokunyang mengaktivasi makrofag sehingga timbul inflamasi. Kerusakan
jaringan akibat produk makrofag yang diaktifkan seperti enzim hidrolitik,
oksigen reaktif intermediet, dan oksida urat. Contohya : dermatitis kontak,
granuloma, reaksi tuberkulin.

Tipe sel T mediated sitolisis, melalui sel CD8 yang akan mendestruksi sel
sasaran. Disini akan terjadi inflamasi yang diperantarai sitokin. Contohnya
: dermatitis kontak, skleross multipel, diabetes melitus tipe I, artritis
reumathoid, penyakit usus inflamatorik dan tuberkulosis.

Menurut dokter pakar imunologi Iris Rengganis, alergi memang tidak selalu muncul ketika baru
pertama kali terpapar alergen (protein pemicu alergi). Paparan pertama biasanya disebut
dengan sensitisasi. Dalam tahap ini, tubuh belum menunjukkan tanda-tanda alergi. "Namun
tahap sensitisasi tidak tentu jangka waktunya, kita tidak tahu kapan kita akan mengalami alergi
setelah terpapar alergen," ujar dokter dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia ini. Karena itu, alergi bisa saja terjadi ketika dewasa,
meskipun sejak usia lebih muda sudah berkali-kali terpapar alergen yang baru menyebabkan
alergi. Alergi yang terjadi saat dewasa juga bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor
lingkungan seperti campuran bahan-bahan lain yang bercampur dengan alergen bisa membuat
reaksi alergi. Misalnya dulu udang yang dimakan tidak terkontaminasi merkuri, berbeda dengan
udang yang dimakan baru-baru ini. Hal seperti itulah yang juga menambah risiko alergi.
Sebaliknya, alergi juga bisa hilang sendiri seiring bertambahnya usia. Misalnya alergi susu yang
banyak terjadi pada anak-anak. Setelah dewasa, alergi susu akan hilang, karena sistem
pencernaan berkembang sehingga mampu untuk mencerna protein pada susu.

You might also like