You are on page 1of 8

Usaha untuk si Nenek

Hari itu udara panas tak dapat ku gambarkan lewat kata-kataku.

Matahari sebagai sebab utama tepat bersarang di atas kepalaku. Ku berjalan

dan mantapkan kakiku sambil membawa kain putih menuju tempat ibadahku di

pojok sekolah. Tak ingin berlama-lama memandangi dan dipandangi oleh otang

lain ku percepat langkahku, tiba-tiba suara dari kejauhan terdengar olehku “

bisakahkah kau menungguku Rara?”teriak keras oleh Ajeng. Ajeng adalah

sahabat dekatku sejak lima tahun yang lalu aku berkenalan dengannya dan

sering bersama-sama denganya. Kami merupakan sahabat karib yang tak ingin

melewatkan satu momenpun tanpa bersama, tak ada hal yang tak diceritakan

oleh kita berdua. Aku sering berangkat dan pulang sekolah bersamanya

karena jarak rumahku dan rumahnya tak berselang jauh. Ku menoleh pada

sumber suara “ayo percepat langkahmu! waktu kita tinggal sedikit, sebentar

lagi bel masuk akan dibunyikan” ujarku. “iya iya maaf aku tadi sempat ke

perpus balikin buku yang ku pinjam dua hari yang lalu.” Jawabnya. Kita

berjalan menyusuri lapangan untuk sampai ke tempat tujuan. Setelah kakiku

menginjak halaman mushola ku bergegas untuk menyucikan diriku dari segala

hadast kecil. Ku basuh wajahku yang tampak kemerahan, tak luput tanganku

yang nampak usang karena debu, setelah itu ku tunaikan sunah dua rakaat

untuk menyempurnakan ibadahku. Muadzin hendak memberitahukan isyarat

untuk mulainya sholat fardlu. Tak lama kemudian sholat yang menyejukan

selesai, ku menyempatkan diri duduk merenung di pojok ruangan karena saat

itu tak ada jam pelajaran di kelasku. Sembari duduk aku tak tahu tujuanku

apa merenung di sudut ruangan, apa aku sedang terhanyut dalam lamuanan

atau terbuai dalam khayalan. Ku tatap rumput kering yang tumbuh di sekitar

pekarangan mushola yang nampak tak ada lagi oksigen yang mengalir dalam
rantingnya karena sengatan matahari yang begitu sangat terik, ku pandangi

udara hitam kepul bagai kabut yang menutupi jarak pandang itu tak lain

adalah polusi udara akibat asap kendaraan yang lalu lalang di jalan itu. Aku

terus berpikir dan mencari-cari sebuah makna yang dapat kutemukan dari hal

itu karena dalam batinku percaya bahwa semua hal yang terjadi pasti

mengandung makna kehidupan.

Sesaat setelah itu, suara lirih mengucapakan salam terdengar olehku

dengan refleks aku menolehkan kepalaku pada sumber suara itu. Aku tertegun

ketika menengok sumber suara lirih itu, rasa yang tak menentu berkecamuk

dalam jiwaku, apakah sedih, iba, ataukah kekaguman. Ingin rasanya hati

menangis tetapi tak ada sebab. Dengan penuh tanda tanya besar dalam

benakku aku memandangi seorang yang ada di depanku sedang berusaha

mengenakan mukena di tubuhnya. Ku tatap telapak kakinya yang nampak garis-

garis hitam seakan mengisyaratkan bahwa telah lama berjalan di medan yang

begitu keras, baju merah pekat menutupi tubuhnya terkecuali wajah serta

telapak tangan dan kakinya semunya nampak begitu kusut yang tak dapat ku

bayangkan terjadi pada seragam abu-abuku. Dua warna yang telah ada di

rambutnya memberikan jawaban kepadaku bahwa masa tua telah melandanya.

Tanpa sadar setitik air mengalir deras di pipiku ketika aku memaknai keadaan

wanita paruh baya yang sedang menunaikan sholat empat rakaat di hadapanku.

Dalam lautan kesedihan aku menghadirkan setitik senyuman akan kekaguman

wanita paruh baya itu karena tak banyak yang sadar akan waktu terhadap

Tuhannya. Pandanganku tak beralih dari objek yang kupandangi sejak 5 menit

yang lalu, gerakan sholatnya dilakukan dengan tertatih-tatih namun sangat

hati-hati. Gerakan demi gerakan dilakukanya dan mengakhiri sholatnya dengan

lafadz dzikir yang takterdengar namun nampak memilukan.


“Aku duluan ya, lima menit lagi aku ada jam pelajaran biologi” ucap Ajeng.

“iya baiklah, kamu duluan saja, aku masih ingin berlama-lama disini” balasku.

“apa tak ada jam pelajaran di kelasmu?” tanya Ajeng dengan heran. “ya..

begitulah., sejak dua hari yang lalu pak Zulkar ke luar kota” menjawab

keherana.. “iya baiklah, oh ya sebentar pulang sekolah aku tak pulang

bersamamu karena aku akan mampir sebentar ke rumah temanku.” Balas

Ajeng. “ iya baiklah” jawab ku. Dialog antara aku dan Ajeng mengalihkan

perhatianku pada perempuan paruh baya itu, namun setelah diaolg itu selesai

akupun kembali terfokus pada wanita paruh baya itu.

Setelah tampak olehku telah selesainya sholat nenek, ku raih tangannya

dan ku letakkan punggung tangannya tepat di jidadku, sambil berkata,”saya

Rara nek, nenek dari mana? Di luar sangatlah terik seharusnya nenek berada

di rumah”. “nenek sedang mencari botol bekas, karena di pinggiran sekolah

banyak terdapat botol bekas berserkan dan tadi udara sudah cukup panas dan

nenek terlalu lelah untuk kembali ke rumah sehingga nenek sempatkan untuk

sholat di mushola sekolah” jawab wanita paruh baya dengan terbebani.

Pikiranku bertambah melayang dalam buaian iba, aku tidak menyangka masih

ada lansia yang tidak menikmati masa tuanya dan dihabiskan untuk mencari

nafkah. Aku mencoba melanjutkan percakapan, “apa yang membuat nenek

harus lelah di bawah terik mencari botol bekas?”. “nenek tinggal bersama

kedua cucu nenek yang orang tuanya telah meninggal tiga tahun yang lalu,

maka dari itu nenek harus berusaha mencari nafkah untuk menghidupi dan

menyekolahkan mereka berdua.” Rasa heranpun ikut berkecamuk dalam

pikiranku ada apa dengan wajah dunia? Menurutku kehidupan ini sudah begitu

sangat kompleks tapi pada dasarnya masih ada masalah-masalah kecil yang
belum teratasi seperti meningkatkan taraf hidup. Ku berpikir bahwa apa yang

di tampakkan oleh dunia belum benar adanya.

Waktupun tak terhitung, aku terus menjadi pendengar setia cerita hidup

wanita paruh baya itu. Hingga tak terasa bel terdengar begitu melengking.

“bisakah aku mampir ke rumah nenek?” tanyaku penuh harap. “tentu saja nak,

tapi ada apa kamu ingin berkunjung ke rumah nenek yang kumal?” tanya nenek

keherannan. “aku hanya ingin berjalan-jalan sebentar di pinggiran kota”.

Jawabku meyakinkan.

Matahari telah sedikit condong, namun suhu pada saat itu masih terbilang

cukup panas. Kakiku berlajan menyusuri trotoar dengan kaki yang begitu

usang di samping sepatuku. Sesekali aku melihat ke bawah, terlihat olehku

sepatuku yang telah berubah keabu-abuan di tutupi debu, namun di samping

itu ku pandangi pula kaki wanita paruh baya itu yang kurus kering terbakar

oleh sengatan matahari. “Sesungguhnya aku lebih beruntung dari si nenek”

sahutku dalam benak. Sesekali nenek membuat aku tersenyum tumpul karena

kata-kata dan kalimat-kalimatnya yang terkesan lucu. Aku sangat kagum

melihat ketegarannya padahal kondisi kehidupannya sekarang tak akan lagi

memberikan senyum indah di wajahnya yang keriput, hingga membuatku

tampak iri.

Ulasan lembut tangan kasarnya menyapu keringat yang bercucuran dari

ubun-ubunnya. Melihtanya tampak terbebani, seakan semua berpihak padanya

padahal semua itu hanya tolak belakang. Aku ingin cepat-cepat sampai di

tujuan, aku tak tahan lagi dengan sengatan matahari yang memabakar hingga

ke urat sarafku namun ketika ku menoleh pada wanita paruh baya yang tepat

ada di sampingku berjalan degan langkah yang begitu damai membuat wajahku

di hiasi oleh senyum kecil dan di lengkapi seitik air di pipi, sungguh betapa

kurangnya aku, hal untuk sabar sungguh kecil kumiliki.


Setelah berjalan cukup jauh, aku melihat di ujung pinggirang sungai ada

sebuah gubuk kecil yang nampak berpenghuni. “di sana rumah nenek, nak.”

Nenek berkata. Aku tersentak mendengar pernyataan nenek dan memerlukan

waktu yang cukup lama untuk membalas pernyataan nenek, “oh di sana, sudah

tidak jauh lagi” jawabku. Rumah yang nampak kejauhan bagiku sudah tak layak

untuk di tempati tetapi apa daya tak ada lagi tempat bernaung bagi nenek dan

kedua cucunya itu selain rumah tua yang ada di seberang sana. Aku berpikir

seharusnya ada yang bisa ku lakukan agar kehadiranku memberikan manfaat

bagi nenek dan kedua cucunya itu. Tanpa menungu waktu lama aku

memeberanikan diri menawrkan bantuanku untuk mengerjakan hal yang

semampuku seperti membersihkan pekarangan rumah yang nampak banyak

rerumputan yang kering. Tanpa terasa matahari semakin condong ke arah

laut, akupun teringat akan waktu lain yang harus aku kerjakan. “aku pamit

pulang ya nek” mohonku. “iya nak, hati-hati di jalan” jawab nenek. “nanti jika

ada waktu aku akan menyempatkan diri datang ke sini lagi”. “Nana, joe kakak

pulang dulu ya, nanti kakak main-main kesini lagi”. Mohonku kepada kedua anak

yang berstatus cucu nenek tersebut. Mereka yang namapak tak menikmati

masa kanaknya karena setelah kembali dari sekolah, mereka bergegas

memebantu nenek mereka dengan berjualan koran di tempat ramai seperti

lampu merah.

Kembali ku percepat langkahku menuju kediamanku. Rasa terburu-buru

hadir untuk lekas sampai di rumah karena waktu ashar belum ku tunaikan.

Hirup pikik kota suasana sore hari membuat dadaku nyesek akan polusi

udaranya, namun tak ku tanggapi secara serius ku tetap memantapkan kakiku

untuk cepat melangkah. Sesampaiku di depan rumah, ku di kagetkan hadirnya

dua bocah yang berdiri di sampimg halaman pintu pagarku sambil berkata”kak,

tolong berikan kami sisa makanan kakak, kami belum merasakan nasi sejak
siang kemarin” di iringi suara merintih. Aku pun langsung teringat akan sisa

jajanku yang akan ku sisihkan, namun tak kuasa aku melihat rintihan kedua

bocah, tanpa sungkan ku berikan sisa jajanku kepada kedua bocah itu. Aku tak

mampu melampiaskan dengan kata-kataku, ku terdiam hingga kedua bocah itu

lenyap di hadapanku. Menuju kamar aku masih bingung tentang masalah-

masalah yang terjadi hari ini. Tapi aku bertekad untuk bisa sedikit

meringankan beban hidup mereka.

Malampun tiba dan menyelimuti sekelilingku, rasa jenuh hadir dalam

jiwaku, ku menyempatkan diri keluar menikmati indahnya langit malam yang di

taburi bintang tak terhitung jumlahnya, ku berharap ada satu bintang yang

menghampiriku dan memeberikan jawaban pasti akan masalah yang sedang ku

pikirkan pada saat itu. “hei kemarilah” teriakku pada seseorang yang sedang

berjalan di depan rumahku. “ayo cepat kemarilah Ajeng, ada yang harus aku

ceritakan padamu” rumahnya tak begitu jauh dari kediamanku jadi setiap hari

dan saat aku selsu bertemu dengannya. Sambil berlari kecil ia berteriak “ada

apa?”. “kamu mau kemana? Tanyaku. “aku tadi ke toko sebelah sana, ada yang

harus aku beli, oh ya tumben-tumbennya kamu dudk di luar seperti ini”

pernyataan yang bermaksud bertanya. “ iya, tiba tiba aku ingin menikmati

malam ini, oh ya aku tadi siang mendapati masalah-masalah yang membuatku

mencari solusinya hingga kini.” Nyataku. Ku ceritakaan semua kronologi semua

masalah dan kejadian kepada sahabatku itu dan tanpa sungkan dia

memberikan solusi yang anggapku itu terbaik. “coba saja kamu buat

penggalangan dan untuk membantu masyarakat miski ya walau hanya si nenek

dan kedua cucunya dan untuk kedua bocah itu bisakan kamu membina dengan

melakukan sekolah gratis” tegasnya seakan akhir dari masalah. “iya, itu solusi

yang bijak, aku akan mencobanya, tapi tak mungkin aku melakukannya sendiri”
ucapku. “iya, aku tahu maksudmu, aku bersedia membantu misimu” sahut

Ajeng. “terimaksih, kamu memng sahabat terbaikku” ucapku dengan bangga.

Aku mempersiapkan segala sesuatu untuk meulai penggalangan dana dan

aku tak luput di bantu oleh sahab karibku. Kita berencana melakukan

beberapa penjualan karya dan hasil dari kerja tersebut akan disumbangkan

kepada wanita paruh baya itu dan juga sebagai modal aku untuk membuat

pembinaan belajar bagi anak-anak jalanan yang tak bisa bersekolah. Waktu

seakan tak ku nenali, setiap terlewat ku habiskan dengan bekerja hingga

mendapati cukup dana. Aku lebih menyeimbangkan antara pekerjaanku dan

waktu belajarku, karena dengan aku mencari aktivitas lain, aku tidak ingin

karya di sekolahku terhenti. “ah, semoga hari ini aku cept kembali ke rumah

badanku sudah sangat lelah.” Kataku dalam hati. “aku pulang duluan ya, tak apa

aku tinggal kau di sini sendiri Ra?” tanya Ajeng dengan nada sedikit lelah.

“iya, baiklah kamu pulang duluan aja, aku masih ingin sholat ashar di mesjid

sana” sambil menunjuk arah. Siang itu aku dan Ajeng sedang membuka

penjualan karya di persimpangan jalan yang cukup ramai. Kami berjual di sana

hingga sore menjelang. Ku rasa waktu telah tiba untuk mengakhiri jualan ku

pada hari itu. Selanjutnya aku tunaikan niatku dan kembali pulang seorang diri

yang hanya di temani oleh hasil daganganku yang ku genggam erat di lima

jariku.

“Alhamdulillah, uangnya sekarang sudah terkumpul lumayan banyak. ku

rasa ini telah cukup” uang yang ku hasilkan memang tak dapat mengubah

seluruh kehidupan wanita paruh baya itu bersama kedua cucunya dari yang

sederhana sampai begitu kompleks, tetapi setidaknya aku masih bisa berbagi

kepada orang lain. Dan pula aku telah sanggup bisa berbagi ilmu kepada adik-

adikku (anak jalanan). Aku mendapatkan arti tentang pentingnya untuk

bersyukur, berbagi dan berusaha untuk oranag lain. Kadang hal-hal kecil yang
ada tak pernah aku tanggapi tetapi ku rasa itu salah, hal kecillah yang

membuat aku dapat menyelesaikan hal besar. Kini aku lebih banyak

merenungkan diri dan kehidupanku serta kehidupan sosialku karena ku yakin

hidup yang direnungi adalah hidup yang pantas ku jalani.

You might also like