Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kubis
Kubis (Brassicae oleraceae L.) termasuk family cruciferae, Klas
dicotyledoneae, Subdivisi angiospermae dan Divisi embriophyta. Kubis sebagai
sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan. Kubis banyak mengandung
vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh manusia. Sebagai sayuran, kubis
dapat membantu pencernaan, menetralkan zat-zat asam dan memperlancar buang
air besar (Pracaya 2001).
Kubis merupakan tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia
umumnya dibudidayakan di daerah pegunungan, dengan ketinggian ±800 m di
atas permukaan laut (dpl) dan mempunyai penyebaran hujan yang cukup setiap
tahunnya. Sebagian kubis tumbuh baik pada ketinggian 100-200 m dpl, tetapi
jumlah varietasnya tidak banyak dan tidak dapat menghasilkan biji. Tanaman
kubis tumbuh kurang baik pada daerah dengan ketinggian di bawah 100 m,
(Permadi 1993).
Kubis merupakan komoditas sayur yang banyak dibudidayakan di Indonesia
terutama di daerah dataran tinggi. Kubis atau kol sering dibutuhkan sebagai sayur,
atau lalapan. Seiring meningkatnya jumlah penduduk, konsumsi kubis semakin
bertambah dari tahun ke tahun. Namun, peningkatan ini belum mampu diimbangi
dengan peningkatan produksi. Produktivitas tanaman kubis saat ini masih banyak
kendala, diantaranya adalah terdapat penyakit tular tanah yaitu penyakit akar gada
yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Intensitas serangan
pathogen tersebut di Indonesia pada tanaman kubis sekitar 88,60% (Widodo
1995).
Umumnya kubis ditanam dengan pola tanam secara monokultur atau
tumpangsari. Waktu tanam kubis yang paling baik adalah pada awal musim hujan
atau awal musim kemarau. Meskipun demikian, kubis dapat ditanam sepanjang
musim atau tahun asalkan kebutuhan airnya terpenuhi. Cara budidaya tanaman
kubis adalah pengolahan tanah atau pembersihan gulma, penyulaman,
pemupukan, pemanenan, dan pergiliran tanaman (Rukmana 1994).
4
5
B. Akar Gada
Spora rehat dari P. brassicae menjadi awal penyebaran penyakit akar gada.
Spora rehat dari P. brassicae dapat ditemukan pada endapan di kolam
penampungan air, sehingga air irigasi yang berasal dari kolam tersebut
terkontaminasi oleh P. brassicae. Penggunaan air irigasi yang terkontaminasi
dengan spora rehat patogen akan menyebarkan patogen ke persemaian dan ke
lahan utama (Datnoff et al. 1984).
Data penelitian mengenai persistensi spora rehat P. brassicae dalam tanah
belum banyak diteliti, penelitian lebih banyak membahas mengenai insidensi
penyakit dan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan patogen seperti kelembaban, suhu, pH dan intensitas cahaya. Hal
tersebut, telah diterima secara luas bahwa pengaruh tinggi dan rendahnya suhu
dapat mengurangi timbulnya penyakit akar gada, dengan suhu optimum untuk
terjadinya penyakit menjadi antara 20oC sampai 24oC (Buczacki 1978). P.
brassicae berkembang dengan baik pada pH tanah 5,7 dan menurun pada pH
tanah antara 5,7 dan 6,2 dan gagal berkembang pada pH tanah 7,8. Tempetatur
optimum bagi perkembangan P. brassicae adalah 17,8- 25 oC dengan temperature
minimum dan maksimum 12,2 oC dan 27,2 oC. Infeksi terjadi jika kelembaban
tanah di atas 45% dan pada kelembaban tanah 50% atau lebih menyebabkan
perkembangan penyakit bertambah cepat, sedangkan kelembaban tanah 45%
dapat menghambat infeksi akar gada (Gludovacz 2013).
Infeksi akar gada dipengaruhi oleh lingkungan, jumlah spora rehat dan
kondisi tanaman inang. Lingkungan tanaman inang yang memiliki intensitas
cahaya rendah, lebih tahan terhadap serangan P. brassicae dibanding tanaman
inang yang berada pada lingkungan yang memiliki intensitas cahaya tinggi
(Djatnika 1983). Tingkat infeksi serangan P. brassicae terhadap inang juga
dipengaruhi oleh jumlah spora rehat, suspensi yang mengandung paling sedikit
105-108 sel spora setiap ml sangat efektif untuk mengadakan infeksi. Selain itu,
kondisi tanaman inang juga mempengaruhi perkembangan P. brassicae, seperti
kisaran inang, tanaman inang yang rentan, morfologi dari sistem perakaran dan
peranan mikrob yang lain seperti jamur, bakteri, virus dan nematoda
(Mattusch 1977).
8
petroleum ether, chloroform dan methanol telah diuji secara in vitro dalam
menghambat pertumbuhan beberapa jamur dan masing-masing memberikan hasil
yang berbeda. Ekstrak daun paitan dengan petroleum ether mampu menghambat
pada pertumbuhan koloni jamur Alternaria solani, Aspergillus flavus, dan
Drechslera oryzae sampai ±50% penghambatan. Ekstrak daun paitan dengan
pelarut chloroform dan methanol paling tinggi hanya mampu menghambat 33,6 %
dan 40 % pada spesies jamur Culvularia lunata. Nilai minimum inhibitory
concentration (MIC) atau konsentrasi minimum dalam menghambat pertumbuhan
jamur dari ketiga ekstrak menunjukkan penghambatan pertumbuhan koloni jamur
lebih dari 25%, dengan konsentrasi sebesar 8 mg/ml yaitu ekstrak PE yang
diujikan terhadap A. solani, A. flavus, C. lunata dan D. oryzae, sedangkan ekstrak
CH dengan konsentrasi menghambat minimum sebesar 16 mg/ml terhadap C.
lunata dan ekstrak ME terhadap C. lunata dan D. Oryzae. (Linthoingambi et al
2013).