You are on page 1of 44

Bagian 8 : Bantuan Hidup Kardivaskuler Lanjut : Pedoman AHA 2010

Untuk Resusitasi Kardiopulmoner Dan Kardiovaskuler Darurat

Robert W. Neumar, Charles W. Otto, Mark S. Link, et al

Bantuan hidup kardiovaskuler lanjutan melibatkan beberapa bagian yang


penting antara lain : intervensi untuk mencegah terjadinya gagal jantung,
tatalaksana dan upaya perbaikan kondisi pasien yang mengalami perbaikan
sirkulasi spontan setelah gagal jantung. Advanced Cardiovascular Life Support
(ACLS) bertujuan untuk memberikan pedoman tatalaksana gagal jantung meliputi
bantuan jalan nafas, ventilasi, dan terapi bradiaritmia serta takiaritmia. Intervensi
ACLS berhubungan erat dengan pedoman bantuan hidup dasar untuk mengenali
dan merespon kondisi gawat darurat, resusitasi jantung paru dan defirbrilasi cepat
untuk meningkatkan kemungkinan return of systemic circulation (ROSC). Selain
itu juga meliputi terapi obat, bantuan nafas tingkat lanjut dan monitoring
fisiologis. Setelah ROSC tercapai, keselamatan dan perbaikan neurologis
meningkat.

Beberapa perubahan dari pedoman ACLS 2005 antara lain:

 Penggunaan kapnografi gelombang kontinu direkomendasikan untuk


konfirmasi dan pemantauan pemasangan pipa endotrakeal.
 Algoritma henti jantung disederhanakan dan didesain ulang untuk
menonjolkan pentingnya RJP berkualitas (termasuk kompresi dada dengan
kecepatan dan kedalaman yang adekuat, membiarkan rekoil dada komplit
setiap setelah kompresi, meminimalkan interupsi selama kompresi dada
dan menghindari ventilasi berlebihan).
 Atropin tidak lagi direkomendasikan untuk penggunaan rutin pada
tatalaksana PEA atau asistol
 Terdapat perhatian lebih terhadap pemantauan fisiologis untuk
mengoptimalkan kualitas RJP dan mendeteksi ROSC
 Infus obat kronotropik direkomendasikan sebagi alternatif untuk pacu pada
bradikardi simtomatis dan tidak stabil.

1
 Adenosin direkomendasikan sebagai terapi potensial dan aman pada
tatalaksana awal takikardia stabil monomorfik reguler kompleks lebar.

Bagian 8.1 Ajuvan Untuk Kontrol Jalan Nafas dan Ventilasi

Tujuan ventilasi selama RJP adalah untuk menjaga oksigenasi adekuat dan
eliminasi karbon dioksida. Bagaimanapun, penelitian belum mengidentifikasikan
volume tidal optimal, laju nafas dan konsentrasi oksigen inspirasi yang
dibutuhkan selama resusitasi henti jantung.

Baik ventilasi maupun kompresi dada dianggap penting untuk korban fibrilasi
ventrikel (VF) berkepanjangan dan untuk seluruh pasien dengan ritme lain. Oleh
karena perfusi sistemik dan pulmoner berkurang selama RJP, hubungan ventilasi
perfusi dapat dijaga dengan ventilasi semenit yang lebih rendah dari normal.
Selama RJP dengan bantu jalan nafas lanjut yang terpasang, laju nafas lebih
rendah diperlukan untuk menghindari hiperventilasi.

8.1.1 Ventilasi dan Pemberian Oksigen Selama RJP

Selama keadaan aliran darah rendah seperti RJP, transpor oksigen ke


jantung dan otak dibatasi oleh aliran darah, bukan konten oksigen arterial. Oleh
karena itu, nafas bantuan lebih tidak penting dibandingkan kompresi dada selama
beberapa menit awal resusitasi henti jantung. Malahan dapat mengurangi
efektivitas RJP oleh karena interupsi kompresi dada dan peningkatan tekanan
intratorakal yang mengikuti ventilasi tekanan positif. Oleh karena itu, selama
beberapa menit awal henti jantung disaksikan, seorang penolong sebaiknya tidak
menghentikan kompresi dada untuk ventilasi. Penempatan alat jalan nafas lanjut
pada henti jantung seharusnya tidak menunda RJP dan defibrilasi untuk henti
jantung VF

8.1.2 Oksigen Selama RJP

a. Pemberian oksigen selama RJP

Konsentrasi oksigen optimal selama RJP dewasa belum ditentukan pada


penelitian manusia maupun hewan. Sebagai tambahan, belum diketahui apakah
100% oksigen inspirasi (FiO2=1.0) bermanfaat atau oksigen titrasi lebih baik.
Walaupun paparan berkelanjutan oksigen inspirasi 100% memiliki potensi

2
toksisitas, terdapat bukti yang tidak kuat untuk mengindikasikan bahwa hal ini
terjadi selama periode singkat RJP. Pengunaan empiris oksigen inspirasi 100%
selama RJP mengoptimalkan konten oksihemoglobin arterial dan transpor
oksigen. Oleh karena itu penggunaan oksigen inspirasi 100% diberikan segera
setelah tersedia selama resusitasi henti jantung.

b. Pemberian Oksigen Pasif selama RJP

Ventilasi tekanan positif telah menjadi aspek penting RJP namun saat ini
sedang diperdebatkan karena potensi untuk meningkatkan tekanan intratorakal
yang menganggu sirkulasi oleh karena venous return yang berkurang ke jantung.
Pada situasi rawat jalan, pemberian oksigen pasif dengan sungkup selama 6 menit
pertama RJP oleh personil pelayanan medis darurat adalah bagian dari protokol
yang meningkatkan angka keselamatan. Ketika oksigen pasif diberikan dengan
pipa trakeal berlubang selama RJP tidak terputus yang dibandingan dengan RJP
standar, tidak terdapat perbedaan oksigenasi, ROSC atau angka keselamatan
menuju rumah sakit. Kompresi dada menyebabkan udara untuk dikeluarkan dari
dada dan oksigen masuk ke dada secara pasif lewat rekoil rongga torak. Pada
teori, karena kebutuhan ventilasi lebih rendah dari normal selama henti jantung,
oksigen yang disuplasi secara pasif kemungkinan cukup selama beberapa menit
setelah onset henti jantung dengan jalan nafas atas yang paten.

c. Ventilasi Sungkup Berkantong

Ini diterima sebagai metode untuk menyediakan ventilasi dan oksigenasi


selama RJP tetapi cukup sulit karena memerlukan latihan untuk kompetensi
berkelanjutan. Seluruh penyedia layanan kesehatan seharusnya mengenal
penggunaan alat ini. Penggunaan ventilasi dengan metode ini tidak
direkomendasikan untuk penolong individu. Ketika RJP dilakukan sendirian,
bantuan mulut ke mulut atau mulut-sungkup lebih efisien. Ketika terdapat
penolong kedua, ventilasi sungkup berkantong dapat digunakan oleh penolong
berpengalaman dan terlatih. Namun lebih efektif ketika dilakukan oleh dua orang
terlatih dan berpengalaman. Satu penolong membuka jalan nafas dan memakaikan
sungkup ke wajah sedangkan yang lain memompa kantong. Alat ini membantu
terutama saat aplikasi alat tingkat lanjut tidak berhasil atau tertunda.

3
Penolong seharusnya menggunakan kantong dewasa (1-2 liter) dan memberikan
volume tidal kira kira 600 ml untuk menghasilkan peningkatan dada lebih dari
satu detik. Volume ini adekuat untuk osigenasi dan meminimalkan risiko inflasi
gaster. Penolong juga harus yakin untuk membuka jalan nafas secara adekuat
dengan triple airway manuver dan memegang sungkup pada wajah yang tersegel
ketat. Selama RJP berikan 2 nafas (satu detik setiap nafas) selama istirahat singkat
(3-4 detik) setelah kompresi dada 30 kali.

Ventilasi sungkup-kantong dapat menghasilkan inflasi gaster dengan komplikasi


seperti regurgitasi, aspirasi, pneumonia. Inflasi gaster dapat meningkatkan
diafragma, membatasi gerakan paru dan mengurangi komplian sistem respirasi.

8.1.3 Ajuvan Jalan Nafas

a. Penekanan Pada Krikoid

Penekanan pada krikoid adalah teknik dengan memberikan tekanan pada


kartilago krikoid pasien untuk mendorong trakea ke posterior dan mengkompresi
esofagus hingga ke vertebra servikalis. Tekanan pada krikoid dapat mencegah
inflasi gaster dan menurunkan resiko terjadinya regurgitasi dan aspirasi selama
proses ventilasi menggunakan sungkup-kantong, namun juga dapat menghalangi
ventilasi. Tujuh studi acak terkontrol menunjukkan bahwa penekanan pada
krikoid dapat menunda pemasangan alat bantu pernafasan yang lebih canggih dan
aspirasi tetap dapat terjadi sekalipun tekanik penekanan ini diaplikasikan.
Tambahan studi pada manekin menunjukkan bahwa latihan manuver ini dapat
menyulitkan baik penolong yang sudah ahli maupun penolong yang masih belum
ahli. Baik penolong ahli maupun tidak ahli menunjukkan cara penekanan yang
biasanya inkonsisten dan jauh dari batas efektif. Tekanan krikoid dapat digunakan
pada beberapa kondisi khusus (misalnya, untuk membantu memvisualisasi pita
suara pada saat intubasi trakea). Akan tetapi, penggunaan rutin teknik penekanan
pada krikoid pada kasus henti jantung pasien dewasa tidak direkomendasikan
(Kelas III, LOE B)

b. Alat Bantu Nafas Oropharingeal

Walaupun penelitian belum mempertimbangkan penggunaan jalan nafas orofaring


secara spesifik pada henti jantung, cara ini dapat membantu pemberian ventilasi

4
yang adekuat bersamaan dengan sungkup berkantong karena dapat mencegah
lidah menyumbat jalan nafas. Pemasangan yang tidak benar dari cara orofaring
dapat menempatkan lidah pada posisi yang salah ke hipofaring, menyebabkan
sumbatan jalan nafas. Untuk memfasilitasi pemberian ventilasi dengan sungkup
berkantong, pipa orofaring dapat digunakan pada pasien tidak sadar (tidak
responsif) dengan reflek batuk dan muntah negatif dan seharusnya dipasang oleh
orang yang berpengalaman (kelas Iia, LOE C)

c. Pipa Nasofaring

Pipa nasofaring berguna pada pasien dengan obstruksi jalan nafas atau berisiko
menjadi sumbatan jalan nafas, terutama pada pasien dengan rahang kaku yang
menghalangi pemasangan pipa orofaring. Pemasangan jalan nasofaring lebih
mudah ditoleransi daripada lewat oral pada pasien yang setengah sadar.
Perdarahan pada jalan nafas dapat terjadi hingga 30% pasien setelah pemasangan
pipa nasofaring. Dua laporan kasus salah penempatan pipa nasofaring secara
intrakranial pada pasien dengan patah basis tengkorak mengindikasikan bahwa
diperlukan pemasangan yang hati-hati pada pasien dengan cedera kepala-wajah
yang berat.

Sebagaimana peralatan yang lain, penggunaan aman pipa nasofaring memerlukan


pelatihan yang adekuat. Tidak terdapat penelitian yang secara spesifik
mengevaluasi penggunaan pipa nasofaring pada pasien henti jantung. Untuk
memfasilitasi pemberian ventilasi dengan alat sungkup berkantong, pipa
nasofaring dapat digunakan pada pasien dengan sumbatan jalan nafas. Pada
keadaaan patah basis kranii atau koagulopati berat, pemasangan via oral lebih
disukai.

8.1.4 Metode Jalan Nafas Lanjutan

Ventilasi dengan sungkup berkantung melalui alat bantu nafas tingkat


lanjut seperti pipa endotrakeal atau supraglotis dapat dilakukan selama RJP.
Seluruh penyedia layanan kesehatan sebaiknya diberi pelatihan mengenai
pemberian oksigenasi dan ventilasi yang efektif dengan sungkup berkantong. Oleh
karena kadang kala metode ini tidak cukup berhasil, maka penyedia ACLS juga
dilatih dalam pemasangan alat bantu nafas tingkat lanjut.

5
Penolong harus mengetahui manfaat dan risiko pemasangan alat bantu nafas
tingkat lanjut selama resusitasi. Risiko dipengaruhi oleh kondisi pasien dan
kemampuan penolong. Tidak terdapat penelitian yang secara langsung tentang
waktu pemasangan alat bantu nafas tingkat lanjut dan luaran setelah henti jantung.
Walaupun pemasangan pipa endotrakeal dapat dilakukan selama kompresi dada,
intubasi seringkali dikaitkan dengan interupsi kompresi dada yang lama.
Pemasangan alat bantu nafas supraglotis adalah alternatif terhadap pipa
endotrakeal dan dapat dilakukan secara sukses tanpa interupsi kompresi dada.

Masih kurang bukti untuk menentukan waktu yang tepat pemasangan alat bantu
nafas tingkat lanjut. Pada penelitian terhadap 25006 pasien henti jantung,
pemasangan terlalu cepat <5 menit tidak dikaitkan dengan peningkatan ROSC
tetapi berhubungan dengan peningkatan angka hidup 24 jam. Pada situasi rawat
jalan, intubasi yang dilakukan kurang dari 12 menit berhubungan dengan angka
hidup lebih tinggi dibandingkan intubasi >12 menit.

Pada situasi rawat jalan, pasien yang diintubasi memiliki angka hidup lebih tinggi
daripada yang tidak diintubasi. Pada studi terakhir menemukan bahwa intubasi
endotrakeal yang digabungkan dengan pemberian oksigen pasif dan kompresi
dada tidak terputus berhubungan dengan keselamatan neurologis pada kasus henti
jantung, seperti VT disaksikan. Jika pemasangan alat bantu nafas tingkat lanjut
akan menginterupsi kompresi dada, penolong dapat mempertimbangkan menunda
pemasangan hingga pasien tidak merespon RJP awal dan defibrilasi atau setelah
ROSC (kelas II B, LOE C).

Untuk pasien yang membutuhkan intubasi endotrakeal, pulse oksimetri (PO) dan
EKG sebaiknya dipantau selama pemasangan. Upaya pemasangan intubasi
sebaiknya tidak dipaksa untuk menyediakan oksigen dan ventilasi yang cukup.
Untuk menggunakan alat bantu nafas tingkat lanjut, penyedia layanan kesehatan
harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan dengan latihan yang sering.
Penolong sebaiknya memiliki strategi cadangan apabila alat bantu nafas awal
tidak berhasil. Setelah alat bantu nafas tingkat lanjut telah terpasang, penolong
harus melakukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan bahwa pemasangan
telah benar. Evaluasi ini tidak boleh menginterupsi kompresi dada. Evaluasi

6
dengan pemeriksaan fisik terdiri dari inspeksi ekspansi dada secara bilateral dan
mendengarkan daerah epigastrium dimana suara nafas seharusnya tidak terdengar
dan pada daerah paru dimana suara nafas terdengar sama dan adekuat.

Gelombang kapnografi kontinu direkomendasikan sebagai tambahan evaluasi


klinis sebagai metode andal untuk memastikan dan pemantauan pamasangan pipa
endotrakeal. (Kelas I, LOE A). Penolong memantau gelombang kapnografik yang
persisten dengan ventilasi untuk memastikan dan memantau penempatan pipa
endotrakeal pada tempat kejadian, alat transportasi, di rumah sakit dan saat
pemindahan pasien untuk mengurangi risiko pemasangan salah yang tidak
diketahui.

Penggunaan kapnografi untuk memastikan dan memantau alat bantu supraglotis


belum diteliti dan pemanfaatannya bergantung pada desain alat. Namun
pemasangan yang efektif seharusnya menampakkan gelombang kapnografi selama
RJP dan setelah ROSC.

Ketika alat bantu nafas tingkat lanjut telah terpasang, kedua penolong tidak lagi
memberi RJP dalam dua siklus (kompresi yang bergantian dengan ventilasi) jika
ventilasi adekuat ketika kompresi dada dilakukan. Sebaiknya penolong melakukan
kompresi dada secara kontinu dengan kecepatan 100 kali per menit tanpa henti
untuk ventilasi. Penolong yang melakukan ventilasi menyediakan satu nafas tiap
6-8 detik (8 hingga 10 nafas per menit). Penolong juga menghindari pemberian
ventilasi yang berlebihan karena dapat menganggu pengembalian vena dan curah
jantung selama RJP. Kedua penolong harus berganti peran setiap dua menit untuk
mencegah kelelahan yang berpengaruh terhadap kualitas dan kecepatan kompresi
dada. Ketika banyak penolong tersedia maka dapat bergantian setiap dua menit.

8.1.5 Ventilasi Dengan Alat Bantu Nafas Supraglotis

Alat bantu nafas supraglotis seperti LMA, kombitube esofago-tracheal dan alat
bantu nafas King, saat ini sudah menjadi bagian dari latihan BHD diberbagai
daerah (dengan pengawasan dari kontrol medis). Ventilasi menggunakan kantong
melalui alat ini memberikan alternatif untuk ventilasi sungkup-kantong yang
dapat dilakukan oleh petugas kesehatan yang terlatih baik dan memiliki cukup
pengalaman dalam menggunakan alat bantu nafas ini dalam menolong pasien

7
henti jantung (Kelas IIa, LOE B). Masih tidak jelas apakah alat-alat ini lebih
efektif atau sedikit menyebabkan komplikasi daripada sungkup-kantong. Pelatihan
dibutuhkan untuk memberikan bantuan nafas yang aman dan efektif.

a. Pipa Esofagus-Trakea (Combitube)

Kelebihan alat ini sama dengan pipa endotrakeal bila dibandingkan dengan
sungkup wajah : isolasi jalan nafas, mengurangi risiko aspirasi dan ventilasi lebih
andal. Kelebihan dari Combitube daripada pipa endotrakeal berhubungan dengan
latihan yang lebih mudah. Ventilasi dan oksigenasi yang dapat diberikan mampu
disejajarkan dengan pipa endotrakeal.

Pada studi klinis terkontrol yang melibatkan pasien rawat jalan dan rawat inap
yang memerlukan resusitasi, penolong dengan setiap tingkat pengalaman dapat
memasang Combitube lebih baik dibandingkan pipa endotrakeal. Pada studi
retrospektif tidak terdapat perbedaan luaran pada kedua metode tersebut.
Combitube dilaporkan memberikan ventilasi dengan sukses pada 62% dan 100%
pasien. Untuk profesional yang terlatih dalam penggunaannya, pipa esofagus
trakea adalah alternatif yang dapat diterima terhadap sungkup berkantong (kelas
Iia, LOE C) atau intubasi endotrakeal untuk tatalaksana henti jantung.

Komplikasi fatal dapat terjadi dengan pemasangan alat ini jika posisi dari lumen
distal pada esofagus dan trakea tidak benar. Untuk alasan ini, konfirmasi
pemasangan pipa esensial. Komplikasi lain yang mungkin adalah trauma esofagus
termasuk laserasi, memar dan emfisema subkutis.

b. Pipa Laring

Kelebihan pipa laring atau pipa King mirip dengan metode sebelumnya namun
pipa laring lebih kaku dan tidak rumit untuk dipasang. Saat ini publikasi masih
terbatas mengenai penggunaannya untuk kasus henti jantung. Pada satu serial
kasus 40 pasien henti jantung, pemasangan pipa laring oleh para medis terlatih
terbukti sukses dan menyediakan ventilasi yang efektif pada 85% pasien. Pada 3
pasien, ventilasi tidak efektif karena ruptur balon, 3 lagi oleh karena regurgitasi
masif dan aspirasi sebelum pemasangan.

8
Evaluasi lain pada 157 percobaan pemasangan pipa laring menunjukkan 97%
angka kesuksesan pada populasi henti jantung dan non henti jantung.40 Oleh
karena itu pada penolong terlatih, metode ini dapat menjadi alternatif pada kasus
henti jantung. (Kelas IIb)

c. Laryngeal Mask Airway (LMA)

LMA menyediakan metode ventilasi yang lebih aman dan andal dibadingkan
sungkup wajah. Walaupun LMA tidak memastikan proteksi absolut terhadap
aspirasi, penelitian menunjukkan bahwa regurgitasi jarang terjadi pada LMA
dibandingkan sungkup-kantong dan aspirasi lebih jarang. Ketika dibandingkan
dengan pipa endotrakeal, LMA menyediakan ventilasi ekuivalen, dan ventilasi
sukses dilaporkan pada 72% hingga 97% pasien.

Karena insersi dari LMA tidak memerlukan laringoskop dan visualisasi pita suara,
pelatihan pemasangannya lebih sederhana dibandingkan intubasi endotrakeal.
LMA juga memiliki kelebihan dibandingkan PET ketika akses pasien terbatas,
terdapat kemungkinan cedera leher tidak stabil, dan memposisikan untuk intubasi
endotrakeal tidak mungkin. Setelah pemasangan yang berhasil, proporsi kecil
pasien tidak dapat diventilasi dengan LMA. Oleh karena itu penolong sebaiknya
memiliki alternatif untuk tatalaksana jalan nafas. Namun pada penolong terlatih
LMA dapat menjadi alternatif pada tatalaksana henti jantung (kelas IIa).

d. Intubasi Endotrakeal

Pipa endotrakeal (PET) dipertimbangkan sebagai metode optimal untuk


tatalaksana jalan nafas selama henti jantung. Namun pada penolong yang tidak
terlatih dapat menyebabkan komplikasi, seperti trauma terhadap orofaring,
interupsi kompresi dan ventilasi yang berlangsung terlalu lama dan hipoksemia
akibat upaya pemasangan yang terlalu lama atau kegagalan mengetahui salah
pasang. Sekarang jelas bahwa insiden komplikasi diakibatkan oleh cara
pemasangan yang salah. Metode optimal untuk tatalaksana jalan nafas selama
henti jantung bervariasi berdasarkan pengalaman penolong, karakteristik sistem
kesehatan dan kondisi pasien. Pengalaman dan latihan yang sering diperlukan
oleh penolong untuk upaya intubasi.

9
Satu penelitian prospektif, acak terkontrol menunjukkan tidak terdapat kelebihan
intubasi endotrakeal dibandingkan ventilasi sungkup-kantong pada anak anak.
PET menjaga jalan nafas paten, membiarkan penghisapan lendir, dan memberikan
oksigen konsentrasi tinggi, menyediakan jalan alternatif untuk memasukkan obat,
memfasilitasi pemberian volume tidal spesifik dan dengan penggunaan balon
dapat menjaga jalan nafas dari aspirasi.

Indikasi pemasangan PET

1. penolong tidak mampu untuk memberi ventilasi yang cukup lewat metode
sungkup-kantong
2. reflek protektif telah hilang (koma atau henti jantung)

Selama RJP, penolong harus meminimalkan jumlah dan durasi interupsi selama
kompresi dada dengan tujuan untuk membatasi interupsi lebih dari sepuluh detik.
Interupsi untuk pemasangan alat bantu supraglotis tidak diperlukan, sedangkan
interupsi pada pemasangan pipa endotrakeal diminimalisir dengan persiapan yang
baik. Kompresi dapat terputus hanya pada saat penolong perlu melihat pita suara
dan memasang pipa, idealnya kurang dari sepuluh detik. Dan selanjutnya
kompresi dada dilanjutkan kembali.

Pada studi retrospektif, intubasi endotrakeal berhubungan dengan 6% hingga 25%


insiden salah pasang yang tidak diketahui. Risiko ini meningkat apabila pasien
bergerak. Oleh karena itu setelah pemasangan terlihat melalui pita suara dan
posisi pipa terlihat lewat pengembangan dada dan auskultasi penolong sebaiknya
melakukan konfirmasi tambahan dengan gelombang kapnografi.

Penolong sebaiknya melakukan evaluasi klinis dan alat konfirmasi untuk posisi
pipa setelah masuk dan saat pasien bergerak namun tidak terdapat alat konfirmasi
yang andal. Kapnografi gelombang kontinu direkomendasikan sebagai tambahan
evaluasi klinis sebagai metode paling andal (kelas I). Jika kapnografi gelombang
tidak tersedia, Esofageal Detector Device (EDD) atau monitor CO2 ekspirasi
dapat dilakukan (kelas II).

 Evaluasi klinis pemasangan PET

10
Hal ini meliputi pemeriksaan fisik yang terdiri dari inspeksi
pengembangan dada secara bilateral dan mendengarkan epigastrium dimana suara
nafas tidak seharusnya terdengar dan pada lapang apru secara bilateral. Jika ragu
dapat menggunakan laringoskop untuk melihat pipa melalui pita suara.

Dua penelitian pada pasien dengan henti jantung menunjukkan sensitivitas dan
spesifitas 100% terhadap pengunaan kapnografi gelombang untuk
mengidentifikasi penempatan PET pada pasien henti jantung. Namun 3 penelitian
lain menunjukkan 64% sensitivitas dan 100% spesifitas ketika kapnografi
gelombang digunakan pertama kali. Oleh karena itu alat ini dipergunakan sebagai
tambahan setelah evaluasi klinis.

 Detektor CO2 ekspirasi

Oleh karena metode ini sederhana maka sering dipergunakan sebagai


tambahan evaluasi klinis ketika kapnografi gelombang tidak tersedia (kelas Iia,
LOE B). Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa alat ini tidak superior
dibandingkan auskultasi dan visualisasi langsung untuk konfirmasi posisi PET.
Jika CO2 ekspirasi terdeteksi pada pasien henti jantung, biasanya andal
menunjukkan bahwa pipa terpasang pada trakea. Positif palsu telah diobserbasi
pada binatang setelah konsumsi banyak cairan karbonasi. Sedangkan negatif palsu
telah dilaporkan berhubungan dengan aliran darah dan CO2 ke paru rendah. Juga
dilaporkan pada kasus emboli paru. Juga pada kontaminasi oleh isi lambung yang
menunjukkan warna yang tidak berubah dibandingkan pewarnaan pada nafas.
Sebgai tambahan CO2 tidak terdeteksi karena amat berkurang pada kasus
sumbatan yang berat dan edema paru.

 Esophageal Detector Device (EDD)

EDD terdiri dari benjolan yang dikempeskan dan ditempelkan pada PET.
Jika PET terletak pada esofagus, penghisap pada EDD akan membuat rongga
esofagus kolaps atau menarik jaringan esofagus terhadap ujung alat dan tonjolan
tidak akan mengembang lagi. Dan EDD dapat dihubungakan dengan syringe
sehingga udara tidak dapat lagi ditarik apabila PET terletak pada esofagus. EDD
dapat menjadi rancu pada pasien dengan obesitas, kehamilan tua atau astma
karena trakea cenderung kolaps pada kondisi ini.

11
Setelah konfirmasi penempatan yang benar pada PET, penolong harus mencatat
kedalaman pipa yang ditandai pada gigi depan atau gusi dan mengikatnya.
Terdapat kemungkinan perubahan kedalaman setelah perubahan posisi kepala dan
ketika pasien dipindahkan. Pemantauan berkelanjutan PET dengan kapnografi
direkomendasikan. PET dapat ditempelkan dengan selotip dengan hati hati agar
tidak mengompresi leher yang mengganggu aliran balik vena.

8.1.6 Ventilasi Setelah Penempatan Alat bantu Nafas Tingkat Lanjut

Kecuali laju nafas, tidak diketahui parameter lain (ventilasi per menit,
tekanan puncak) selama RJP akan mempengaruhi luaran. Namun RJP dapat
meningkatkan tekanan intratorakal dan mengurangi aliran balik vena dan curah
jantung terutama pada pasien hipovolemi atau jalan nafas tersumbat. Ventilasi
dengan laju nafas tinggi ( >25 nafas per menit) biasa selama resusitasi pada henti
jantung, Pada hewan, ventilasi yang lebih lambat (6-12 nafas per menit)
berhubungan dengan peningkatan parameter hemodinamik dan angka
keselamatan. Karena curah jantung berkurang saat henti jantung, kebutuhan
ventilasi dikurangi. Setelah penempatan alat bantu nafas tingkat lanjut, penolong
melakukan ventilasi satu kali setiap 6-8 detik (8-10 nafas per menit) tanpa
berhenti melakukan kompresi dada.

8.1.7 Ventilator Otomatis (automated transport ventilators/ATV)

Pada situasi di luar dan dalam rumah sakit, ATV dapat berguna untuk
ventilasi pasien non henti jantung yang memakai alat bantu nafas tingkat lanjut.
(kelas Iib, LOE C). Masih sedikit penelitian menggunakan ATV pada saat
resusitasi namun penggunaannya dapat menolong tim resusitasi untuk melakukan
tugas lain atau sebagai cadangan (kelas IIb, LOE C).

8.2 Tatalaksana Henti Jantung

Pengenalan kondisi henti jantung tidaklah semudah yang dibayangkan,


terutama pada pasien-pasien yang tidak sadar. Bila terdapat kebingungan pada
para penolong akan menyebabkan keterlambatan atau kegagalan aktivasi sistem
respons kegawatdaruratan dan tindakan RJP. Waktu yang sangat singkat ini akan
hilang apabila orang disekelilingnya masih bingung apa yang harus mereka
lakukan. Karena itu, pedoman ini berfokus pada cara mengenali suatu kondisi

12
henti jantung dengan cara yang benar dan bagaimana cara para penolong
mengaplikasikannya. Ketika seorang penjaga menyadari bahwa pasien sedang
tidak berespons, maka penjaga pasien harus segera mengaktivasikan (atau
mengirim seseorang untuk mengaktivasikan) sistem respons kegawatdaruratan.

Gambar 2.1 Algoritma henti jantung ACLS

13
Ketika para pelayan kesehatan menyadari bahwa korban tidak berespons dan tidak
bernafas atau bernafas dengan cara yang tidak biasa (terengah-engah) maka para
penyedia kesehatan akan segera mengaktifkan sistem respons kegawatdaruratan.
Setelah di aktifkan, para penolong harus segera memulai RJP. RJP sedini
mungkin dapat meningkatkan kemungkinan selamat pasien dan sayangnya RJP
biasanya tidak diberikan hingga datangnya seorang yang professional yang dapat
melakukannya. Kompresi dada adalah komponen utama dari RJP karena perfusi
selama RJP sangat tergantung dari cara kompresi tersebut. Karena itu, kompresi
dada harus menjadi prioritas tertinggi dan menjadi tindakan awal ketika seorang
korban mengalami henti jantung dan harus diberikan RJP. Kalimat “tekan secara
dalam dan cepat” merupakan komponen penting dari proses kompresi dada ini.
RJP yang berkualitas tinggi sangat penting bukan hanya pada onset kejadian,
namun juga untuk keseluruhan proses resusitasinya. Tindakan defibrillasi dan
perawatan lanjutan lainnya juga harus di sediakan segera dan dengan seminimal
mungkin mengganggu proses RJP yang berlangsung.

Defibrillasi cepat adalah prediktor kuat dari suksesnya sebuah resusitasi yang
terjadi akibat henti jantung oleh fibrillasi ventrikal. Usaha yang maksimal dapat
menurunkan interval dari masa seorang pasien mengelami kolaps hingga ia di
defibrillasi sehingga kemungkinan dapat meningkatkan harapan hidup pada pasien
yang berada diluar rumah sakit maupun berada di dalam rumah sakit.

Tergantung dari kondisi dan situasinya, defibrillasi dini dapat diberikan pada
berbagai variasi dan strategi yang ditentukan oleh siapa penolongnya, responder
pertamanya siapa, polisi, para ahli pelayanan medis kegawatdaruratan, dan para
professional di rumah sakitnya. Salah satu strategi ini adalah kegunaan AED
(Automated external defibrillator). AED secara tepat dapat menilai ritme jantung,
sehingga ia memungkinkan seorang penolong yang tidak terlatih dalam
menginterpretasi ritme jantung agar dapat memberikan penanganan penyelamatan
nyawa pada seorang pasien yang mengalami henti jantung mendadak.

Penyadaran dini dan aktivasi sistem tanggap darurat, RJP dini, dan defibrillasi
cepat (ketika diperlukan) merupakan tiga alur BHD dasar pada penanganan
“rantai penyelamatan” dewasa. Tindakan BHD pada kondisi diluar-rumah-sakit

14
biasanya diberikan oleh seorang penjaga yang mungkin hanya pernah melakukan
usaha resusitasi sekali seumur hidup. Setiap orang, terlepas dari apakah ia terlatih
atau berpengalaman, dapat menjadi seorang penolong nyawa.

Gambar 2.2 Algoritma sirkuler henti jantung ACLS

Kompresi dada terdiri dari beberapa kali penekanan teratur dan kuat pada bagian
bawah sternum. Kompresi ini akan menghasilkan aliran darah dengan cara
meningkatkan tekanan intrathoraks dan juga penekanan langsung ke jantung. Hal
ini akan menghasilkan aliran darah dan mengantarkan oksigen pada myokardium
dan otak.

 Kompresi dada yang efektif sangat penting untuk mempertahankan aliran


darah selama proses RJP. Untuk alasan ini seluruh pasien yang mengalami
henti jantung harus segera diberikan kompresi dada (Kelas 1, LOE B).

 Untuk memberikan kompresi dada yang efektif, tekan dengan keras dan
cepat. Terdapat alasan mengapa penolong setempat dan para pelayan
kesehatan harus memberikan penekanan dada dengan kecepatan
setidaknya 100 kali permenit (Kelas IIa, LOE B) dnegan kedalam
kompresi setidaknya 2 inci /5 cm (Kelas IIa, LOE B). Penolong harus

15
memberikan kesempatan agar dada dapat mengembang kembali diantara
setiap kompresi, hal ini untuk memberikan kesempatan bagi jantung agar
dapat terisi penuh sebelum dikompresikan kembali (Kelas IIa, LOE B).

 Penolong harus berusaha untuk meminimalisasi frekuensi dan durasi


interupsi selama proses kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi
yang dapat diberikan dalam satu menit (Kelas IIa, LOE B). Rasio
kompresi-ventilasi sebesar 30:2 merupakan rasio yang direkomendasikan.
(Kelas IIa, LOE B).

Ketika kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang telah terlatih harus
memberikan pernafasan mulut ke mulut atau menggunakan bag-mask untuk
memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai berikut :

- Berikat setiap nafas bantuan hingga 1 detik (Kelas IIa, LOE C)


- Berikan voume tidal yang cukup hingga terlihat pengembangan dada
(Kelas IIa, LOE C).
- Berikan rasio kompresi dan ventilasi sebesar 30 kompresi banding 2
ventilasi.
Semua penolong yang memberikan BHD harus dilatih untuk memberikan
defibrillasi, karena VF adalah penyebab utama dan merupakan gangguan irama
yang dapat ditangani secara dini pada orang dewasa yang ditemukan mengalami
henti jantung. Untuk korban dengan VF, rata-rata survivalnya lebih tinggi bila ia
langsung diberikan RJP oleh orang seitarnya dan defibrillator muncul dalam
waktu 3 hingga 5 menit setelah pasien pingsan. Defibrillasi yang cepat adalah
pilihan pengobatan VF yang berdurasi pendek, seperti untuk korban yang
ditemukan mengalami henti jantung diluar rumah sakit atau pasien yang irama
jantungnya dimonitor di rumah sakit (Kelas I, LOE A). Pada unggas, aliran darah
mikrovaskuler sangat menurun dalam 30 detik setelah onset VF; kompresi dada
dapat mengembalik sedikit aliran darah mikrovaskuler yang sempat berkurang
selama 1 menit. Melakukan kompresi dada dan anggota penolong lain mencari
dan mengisi defibrillator dapat meningkatkan kemungkinan selamat pasien.
Setelah sekitar 3 hingga 5 menit VF tidak diobati, beberapa model binatang

16
menunjukkan bahwa adanya periode kompresi dada sebelum defibrillasi dapat
membantu.
Pada dua percobaan terkontrol pasien dewasa yang mengalami VF diluar rumah
sakit / Ventrikel takikardi (VT) yang tidak teraba nadinya, maka satu periode RJP
selama 1 ½ hingga 3 menit oleh EMS sebelum dilakukan defibrillasi tidak dapat
mengembalikan ROSC atau meningkatkan kemungkinan selamat karena lamanya
interval respons EMS. Percobaan kontrol acak ketiga dan satu percobaan klinik
kohort dengan mengontrol riwayat juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan
besar pada hasil outcomenya. Akan tetapi, dua dari sekelompok studi dengan
subgrup pasien dengan interval respons EMS lebih dari 4 hingga 5 menit
menunjukkan peningkatan kemungkinan selamat bila terdapat periode RJP yang
dilakukan sebelum defibrillasi. Tidak terdapat cukup bukti untuk
merekomendasikan atau melarang penundaan defibrillasi untuk memberikan
perpanjangan periode RJP untuk pasien yang mengalami henti jantung VF/ VT
tanpa nadi. Pada keadaan dimana proses penyelamatan lapangan dengan AED
(AED dilokasi dan tersedia) dan untuk lingkungan didalam rumah sakit, atau pada
kondisi dimana penolong EMS yang menyaksikan kolapsnya, maka penolong
harus menggunakan defibrillator sesegera mungkin (Kelas IIa, LOE C). Ketika
lebih dari satu penolong yang ada, maka satu penolong harus memberikan
kompresi dada sementara yang lainnya yang mengaktifkan sistem respons tanggap
darurat dan mengambil defibrillator.

8.2.1 Penanganan Sesuai Ritme

a. Fibrilasi ventrikel/Pulseless Ventricular Tachycardia

Ketika monitor menampilkan irama VF/Pulseless VT maka sebaiknya


langsung charge defibrillator, kemudian amankan sekitar supaya tidak terkena
shock dengan mengucapkan “clear”, segera berikan sebuah kejut, semua ini
dilakukan secepat mungkin. RJP kemudian kembali dilanjutkan selama 2 menit
setelah dilakukan kejut, sebelum memeriksaan irama jantung dan nadi berikutnya.

Ketika irama jantung masih VF/VT, maka penolong pertama tetap melakukan RJP
ketika yang lain menyiapkan charge defibrillator. Jika sudah siap, RJP dihentikan
dan kejut kembali dilakukan. Setelah itu RJP langsung dilanjutkan kembali

17
selama 2 menit, dan nilai irama dan nadi kembali. Penolong yang memberikan
kompresi jantung luar sebaiknya digantikan setiap 2 menit untuk mengurangi
kelelahan. Kualitas RJP sebaiknya dimonitor berdasarkan parameter mekanis dan
fisiologi.

Medikamentosa pada VF/VT mengunakan amiodarone. Amiodarone merupakan


agen antiaritmia lapis pertama (first-line antiarrhythmic) pada henti jantung,
karena secara kinis telah terbukti meningkatkan tercapainya Return of
Spontaneous Circulation (ROSC) pasien VF dan Pulseless VT. Amiodarone harus
dipertimbangkan ketika VF/VT yang tidak memberikan respon pada RJP,
defibrillasi, dan terapi vasopressor. Jika tidak terdapat amiodarone, lidocaine
dapat dipertimbangkan sebagai pengganti, tetapi dari beberapa study klinis, efek
lidocaine tidak sebaik amiodarone dalam meningkatkan ROSC. Magnesium sulfat
hanya dapat diberikan pada Torsades de pointes dengan interval QT yang
memanjang.

Diagnosis dan terapi pada penyakit dasar dari VF/VT adalah fundamental pada
algoritma ini. Sering disebut 5H dan 5T yang sebenarnya merupakan penyebab
reversibel dan dapat dikoreksi segera untuk mengembalikan irama jantung pada
irama sinus. Pada VF/VT refrakter, ACS atau infark miokardium harus
dipertimbangkan sebagai penyebab, reperfusi seperti angiografi koroner dan PCI
selama RJP, atau emergency cardiopulmonary bypass dapat dilakukan pada kasus
ini. Jika pasien telah menunjukkan ROSC, perawatan post-henti jantung dapat
segera dimulai.

b. Pulseless Electrical Activity (PEA)/Asistole

Ketika monitor menunjukkan nonshockable rhythm, RJP harus segera


dilakukan, dimulai dengan kompresi jantung, dilakukan selama 2 menit sebelum
kembali menilai irama jantung. Jika setelah penilaian irama jantung didapatkan
organized rhythm, penilaian nadi harus dilakukan. Jika nadi teraba, perawatan
post-henti jantung harus segera dilakukan. Jika irama tetap asistole atau nadi tidak
teraba (PEA), RJP harus kembali dilajutkan, kompresi jantung selama 2 menit,
dan setelah itu nilai kembali irama jantung.

18
Vasopressor dapat diberikan secepat mungkin dengan maksud untuk
meningkatkan aliran darah miokardium dan cerebral (myocardial and cerebral
blood flow) selama RJP dan pencapaian ROSC. Berdasarkan evidence yang ada,
atropin selama PEA atau asistole, tidak memberikan efek terapeutik untuk ROSC.
Karena alasan inilah, atropin tidak dipakai lagi pada algoritma henti jantung.

PEA sering disebabkan oleh kondisi reversibel yang dapat dikoreksi jika dapat
teridentifikasi penyebabnya. Oleh karena itu, setiap 2 menit periode dari RJP
sebaiknya penolong melakukan penilaian untuk menyelidiki kemungkinan
penyebabnya. PEA dengan hipoksia, dapat dipasang segera alat bantu nafas
tingkat lanjut untuk mencapai oksigensi atau ventilasi yang adekuat. PEA yang
disebabkan oleh severe volume loss atau sepsis dapat dikoreksi dengan kristaloid
IV. PEA oleh kehilangan banyak darah, dapat dilakukan transfusi darah. Jika
emboli paru dicurigai sebagai penyebab henti jantung, terapi fibrinolitik empiris
dapat dilakukan. PEA oleh tension pneumothorax, needle decompression dapat
dilakukan sebagai terapi awal.

Jika mungkin dapat dilakukan ekocardiografi untuk mengetahui status volume


intravaskuler, tamponade jantung, mass lesion (tumor, klot darah), kontraktilitas
ventrikel kiri, dan pergerakan dinding regional. Asistole biasanya merupakan end-
stage rhythm yang terjadi setelah VF atau PEA, dengan prognosis yang buruk.
Pada pasien yang telah menunjukkan ROSC, perawatan post-henti jantung dapat
segera dimulai.

8.2.2 Pemantauan Selama RJP

Kualitas RJP dapat ditingkatkan dengan beberapa teknik nonfisiologis yang


membantu penolong tetap sesuai pada parameter RJP seperti laju dan kedalaman
kompresi dan laju ventilasi. Yang paling sederhana adalah dengan metronom
auditorik dan visual untuk memandu penolong melakukan RJP.

a. Parameter Fisiologis

Pada manusia henti jantung adalah kondisi yang amat kritis, biasanya
dipantau dengan EKG dan mengecek nadi sebagai parameter fisiologis. Penelitian
manusia dan hewan mengindikasikan PETCO2, tekanan perfusi koroner dan
saturasi vena sentral menyediakan informasi berguna terhadap kondisi pasien dan

19
respon terhadap terapi. Dan parameter ini berhubungan dengan curah jantung serta
aliran darah miokard selama RJP. Peningkatan parameter ini dapat menunjukkan
ROSC yang dapat dipantau tanpa menghentikan kompresi dada.

 Nadi
Klinisi seringkali berusaha untuk mempalpasi nadi selama kompresi dada
untuk melihat efektivitas kompresi. Tidak terdapat penelitian mengenai
efektivitas evaluasi nadi selama RJP. Oleh karena tidak terdapat katup
pada vena kava inferior, aliran darah retrograd ke sistem vena dapat
menghasilkan pulsasi vena femoral. Jadi palpasi pada daerah femoral
dapat mengindikasikan vena daripada arteri. Pulsasi karotis selama RJP
tidak mengindikasikan efektivitas perfusi serebral dan koroner selama
RJP. Palpasi nadi saat kompresi dada dihentikan sementara adalah
indikator andal ROSC tetapi kurang sensitif dibandingkan parameter lain.
Penolong seringkali terlalu lama mempalpasi nadi dan kesulitan dalam
menentukan apakah nadi teraba atau tidak. Oleh karena penundaan
kompresi dada harus diminimalkan, penolong tidak boleh mengecek nadi
lebih dari 10 detik dan segera kembali melanjutkan kompresi dada.
 CO2 tidal akhir
adalah konsentrasi karbon dioksida pada udara ekspirasi pada saat akhir
ekspirasi dalam satuan tekanan parsial mmHg (PET CO2). Pada keadaan
normal PETCO2 dalam rentang 35-40 mmHg. Selama henti jantung tidak
tertangani, CO2 terus diproduksi dalam tubuh tetapi tidak ada transpor ke
paru. Pada kondisi ini PETCO2 akan tampak nol dengan ventilasi kontinu.
Dengan inisiasi RJP, curah jantung adalah determinan transpor CO2 ke
paru. Jika ventilasi relatif konstan, PETCO2 berhubungan lurus dengan
kompresi dada. Hal ini dapat dirubah dengan pemberian sodium
bikarbonat intravena. Oleh karena sodium bikarbonat dikonversi menjadi
air dan CO2 menghasilkan peningkatan sementara CO2 ke paru. Penelitian
terhadap manusia dan hewan menunjukkan hubungan PETCO2 dengan
perfusi otak dan jantung. Hal ini dapat dipengaruhi oleh terapi vasopresor,
terutama pada dosis tinggi (>1 mg epinefrin). Vasopresor dapat
meningkatkan afterload yang meningkatkan tekanan darah dan alirah

20
darah miokard selama RJP tetapi juga menurunkan curah jantung sehingga
mengurangi PETCO2.
Nilai PETCO2 yang selalu rendah (10mmHg) selama RJP pada pasien
terintubasi menunjukkan bahwa ROSC sulit terjadi namun target nilai
PETCO2 selama RJP belum ditentukan. Kegunaannya adalah sebagai
panduan untuk optimalisasi kedalaman dan laju RJP. Jika PETCO2
meningkat menjadi normal, merupakan indikator ROSC (kelas Iia, LOE
B)
 Tekanan Perfusi Koroner
tekanan relaksasi aorta dikurangi tekanan relaksasi atrium kanan, selama
RJP berkaitan dengan aliran darah jantung dan ROSC. Peningkatan nilai
parameter ini berkaitan dengan angka hidup-24 jam pada studi hewan dan
berkaitan dengan peningkatan aliran darah miokard dan ROSC. Pada satu
studi dikatakan bahwa ROSC tidak akan kembali jika tekanan perfusi
koroner tidak lebih dari 15mmHg selama RJP. Pengganti ukuran tekanan
di atas adalah tekanan diastolik arterial yang dapat diukur dengan kateter
arteri radial, brakial dan femoral. Kira kira ambang batas tekanan tersebut
berhubungan dengan tekanan diastolik ateri lebih dari 17mmHg. Jika
selama RJP tekanan diastolik ini <20mmHg, maka kualitas RJP
ditingkatkan dengan vasopresor.
 Saturasi Oksigen Vena Sentral (Scvo2)
perubahan parameter ini merefleksikan perubahan transpor oksigen oleh
karena perubahan curah jantung. Scvo2 dapat diukur secara kontinu
dengan kateter vena sentral pada superior vena kava. Nilai normalnya
antara 60%-80%. Jika nilai menunjukkan 25%-35% menunjukkan RJP
yang tidak adekuat dan nilai <30% menunjukkan ROSC sulit terjadi.
Pengukuran ini dapat dilakukan tanpa interupsi kompresi dada.
 Pulse Oximetry
Selama henti jantung, PO biasanya tidak menunjukkan sinyal yang andal
karena aliran darah tidak adekuat pada daerah perifer. Tetapi adanya
gelombang plethismografi pada PO berguna dalam mendeteksi ROSC dan
dapat memonitor oksigenasi setelah ROSC.

21
 Gas Darah Arteri
Pemantauannya selama RJP tidak andal sebagai indikator hipoksemia
jaringan, hiperkarbia atau asidosis jaringan. Pengukuran rutin tidak
direkomendasikan selama RJP (kelas IIb, LOE C).
8.2.3 Akses Parenteral Selama Henti Jantung
a. Waktu pemasangan akses
Selama henti jantung, yang terpenting adalah RJP dan defibrilasi cepat,
sedangkan penggunaan obat-obatan merupakan nomor dua. Setelah
memulai RJP dan defibrilasi penolong dapat memasang akses IV. Dua
studi klinis menunjukkan angka hidup yang memburuk setiap menit obat
antiaritmia ditunda. Pada satu penelitian, interval dari kejut pertama
hingga administrasi obat antiaritmia adalah prediktor signifikan
keselamatan.
b. Pemberian obat intravena
Jika obat resusitasi diberikan lewat vena perifer, sebaiknya diberikan
dalam injeksi bolus dan diikuti dengan bolus 20 ml cairan IV untuk
memfasilitasi aliran obat dari ekstrimitas ke sirkulasi sentral. Mengangkat
ekstrimitas selama dan setelah pemberian obat dapat memfasilitasi ke
sirkulasi sentra namun belum diteliti secara sistematis. Pemberian juga
dapat melalui akses vena sentral ( juguler interna atau subklavia) jika tidak
ada kontraindikasi. Kelebihannya adalah konsentrasi puncak lebih tinggi
dan sirkulasi obat lebih cepat dibandingkan lewat akses vena perifer. Dan
pemasangannya sekaligus dapat memonitor Scvo2.
c. Pemberian obat endotrakeal
Satu penelitian pada anak-anak, lima penelitian pada dewasa dan banyak
studi pada hewan telah menunjukkan lidokain, epinefrin, atropin,
nalokson, vasopresin diserap lewat trakea. Pemberian obat resusitasi lewat
trakea menghasilkan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan lewat
intravaskuler. Konsentrasi rendah epinefrin lewat endotrakeal dapat
menghasilkan efek andrenergik B yang menghasilkan vasodilatasi dapat
berakibat fatal. Oleh karena itu seringkali pemberian intravaskuler lebih
disukai

22
8.2.4 Medikasi Pada Henti Jantung

Tujuan utama pada terapi farmakologi selama henti jantung adalah


fasilitasi pengembalian dan menjaga irama spontan jantung sehingga perfusi
jaringan tetap terjaga. Untuk mencapai hal tersebut, terapi obat ACLS lebih sering
dihubungkan dengan peningkatan tercapainya ROSC dan penanganan lebih lanjut
di rumah sakit, bukan untuk memperbaiki long-term survival dengan luaran
neurologis yang baik.

a. Vasopressor

Pemberian vasopressor agent pada stage manapun selama penatalaksanaan


VF, PEA, atau asistole terbukti dapat meningkatkan keselamatan neurologis
setelah pasien keluar dari rumah sakit. Vasopressor juga terbukti dapat
meningkatkan tercapainya ROSC pada saat RJP.

b. Epinephrine

Epinephrine hydrochloride bermanfaat pada pasien dengan henti jantung,


utamanya karena memiliki efek α-adrenergic (vasokonstriktor). Efek α-adrenergik
dari epinephrine dapat meningkatkan tekanan perfusi cerebral selama RJP. Untuk
efek β-adrenergik dari epinephrine, masih kontoversi karena berefek
meningkatkan kerja miokardium dan mengurangi perfusi subendokardial.
Berdasarkan kerjanya tersebut, jadi cukup beralasan jika pemberian 1 mg
epinephrine IV setiap 3-5 menit dianjurkan pada henti jantung. Dosis lebih tinggi
hanya diindikasikan pada keadaan khusus, seperti pada overdosis β-blocker atau
calcium channel blocker. Jika akses vena (IV) terlambat atau tidak ditemukan,
epinephrine dapat diberikan endotrakeal dengan dosis 2 mg sampai 2,5 mg.

c. Vasopressin

Vasopressin adalah vasokonstriktor nonadrenergik perifer yang juga dapat


mengakibatkan vasokonstriksi pada koroner dan ginjal. Berdasarkan 3 uji
metaanalisis dan 2 uji acak terkontrol, mendapatkan pemberian vasopressin
dikombinasi dengan epinephrine tidak memberikan perbedaan bermakna jika
dibandingkan pemberian epinephrine tanpa kombinasi vasopressin. Oleh karena

23
itu, vasopressin single dose 40 unit IV tidak lagi dipakai dalam algoritma henti
jantung.

d. Antiaritmia
 Amiodarone.

Amiodarone IV berefek pada channels natrium, kalium, dan kalsium dan


juga memiliki efek α- and β-adrenergic blocking. Amiodarone dapat
dipertimbangkan untuk terapi VF atau Pulseless VT yang tidak memberikan
respon terhadap shock, RJP dan vasopressor. Dosis pertama dapat diberikan 300
mg IV, diikuti dosis tunggal 150 mg IV. Pada blinded-RCTs didapatkan
pemberian amiodarone 300 mg atau 5 mg/KgBB secara bermakna dapat
memperbaiki keadaan pasien VF atau Pulseless VT dirumah sakit, dibandingkan
pemberian placebo atau lidocaine 1,5 mg/KgBB.

 Lidokain

Belum terdapat bukti adekuat untuk merekomendasikan penggunaan


lidokain pada pasien dengan VT/VF refrakter, didefinisikan sebagai VT/VF yang
tidak dapat diterminasi dengan defribilasi atau tetap berulang setelah defribrilasi
selama henti jantung. Lidokain adalah alternatif obat antiaritmia dengan efek
samping segera yang lebih sedikit daripada obat antiaritmia. Lidokain belum
terbukti efektif pada henti jantung ( kelas Iib, LOE B). Dosis inisial adalh 1-
1,5mg/kg IV. Jika VT/VF tetap terjadi, dosis tambahan 0.5-0.75 mg/kg IV dengan
interval 5-10 menit dengan dosis maksimal 3mg/kg

 Magnesium sulfat

Dua studi observasional menunjukkan bahwa magnesium sulfat IV dapat


memfasilitasi terminasi torsade de pointes (VT polimorfik yang berhubungan
dengan interval QT memanjang). Magnesium sulfat tidak efektif pada pasien
dengan interval QT normal. Sejumlah dosis magnesium sulfat telah digunakan
secara klinis dan regimen dosis optimal belum ditentukan. dapat diberikan IV i-2
g yang didilusi dengan 10 ml D5W (kelas Iib,LOE C)

8.3 Tatalaksana Bradikardi dan Takikardi Simtomatis

24
Bagian ini menekankan kepada rekomendasi manajemen pasien dengan aritmia
simptomatis akut. Elektrokardiografi (EKG) dan informasi ritme harus
diinterpretasikan dalam hal konteks penilaian pasien secara menyeluruh.
Kesalahan dalam diagnosis dan pengobatan mungkin terjadi apabila petugas
advanced cardiovascular life support (ACLS) membuat keputusan yang semata-
mata berdasarkan pada interpretasi ritme dan mengabaikan evaluasi klinis.
Penolong harus mengevaluasi pasien berdasarkan gejala-gejala yang dikeluhkan
pasien dan tanda-tanda klinis, termasuk ventilasi, oksigenasi, denyut jantung,
tekanan darah, level kesadaran, dan tanda-tanda perfusi organ yang tidak adekuat.
Unstable dan simptomatis merupakan istilah yang biasa digunakan untuk
menjelaskan kondisi pasien dengan aritmia. Secara umum, unstable mengacu
pada kondisi dimana fungsi dari organ vital secara akut terganggu atau serangan
jantung sedang berlangsung atau sedang mengancam. Ketika aritmia
mengakibatkan pasien menjadi unstable, intervensi yang segera harus dilakukan.
Simptomatis menyiratkan bahwa aritmia yang menimbulkan gejala seperti
palpitasi, pusing, atau sesak, tetapi pasien stabil dan tidak dalam bahaya. Dalam
kasus tersebut maka lebih banyak waktu yang tersedia untuk memutuskan
intervensi yang paling tepat bagi pasien. Dalam kasus keduanya (unstable dan
simptomatis) maka penolong harus membuat penilaian apakah aritmia itu sendiri
yang menyebabkan pasien tidak stabil dan simptomatis.

Sebagai contoh, seorang pasien syok septik dengan sinus takikardia (140x/menit)
adalah tidak stabil, akan tetapi aritmia yang terjadi lebih merupakan kompensasi
fisiologis dibanding sebagai penyebab dari ketidakstabilan. Oleh karena itu,
kardioversi listrik tidak akan memperbaiki kondisi pasien. Selain itu, jika
pasien dengan gagal nafas dan hipoksemia beratmenjadi hipotensi dan menjadi
bradikardi, bradikardia itu sendiri bukanlah merupakan penyebab utama
ketidakstabilan. Mengobati bradikardia tanpa mengobati kondisi hipoksemia
tidak akan memperbaiki kondisi pasien. Sangat penting untuk menentukan
penyebab dari ketidakstabilan pasien dalam rangka melakukan pengobatan yang
tepat. Secara umum, sinus takikardia adalah sebuah respon terhadap faktor lain
dan dengan demikian hal ini jarang sebagai penyebab ketidakstabilan.

25
The 2010 AHA Guidelines for RJP and ECC menekankan pentingnya evaluasi
klinis dan prinsip-prinsip terapi dengan algoritma yang telah disempurnakan
sejak publikasi dari “2005 AHA Guideline for RJP and ECC”. Prinsip utama
aritmia dan manajemen aritmia pada orang dewasa adalah sebagai berikut: Jika
bradikardia menimbulkan tanda dan gejala ketidakstabilan (Misalnya, perubahan
status mental akut, ischemic chest discomfort, gagal jantung akut, hipotensi,
ataupun tanda-tanda syok yang bertahan meskipun dengan jalan napas dan
pernapasan yang adekuat), inisial terapi adalah atropin (Kelas IIa, LOE
B). Jika bradikardia tidak merespon terhadap atropin, infuse intravena (IV) agonis
β adrenergik dengan efek cepat (dopamin, epinefrin) atau transcutaneous pacing
(TCP) dapat efektif (Kelas IIa, LOE B) selagi pasien dipersiapkan untuk
transvenous temporary pacing apabila diperlukan.

Jika pasien dengan takikardi didapatkan tidak stabil dengan tanda-tanda dan gejala
yang berat yang dicurigai berhubungan dengan aritmia (misalnya, perubahan
status mental akut, ischemic chest discomfort, gagal jantung akut, hipotensi, atau
tanda-tanda syok), kardioversi segera harus dilakukan (dengan pemberian sedasi
sebelumnya pada pasien sadar) (Kelas I, LOE B). Dalam kasus tertentu regular
narrow-complex tachycardia dengan tanda-tanda atau gejala tidak stabil, uji coba
adenosin sebelum kardioversi sepatutnyadipertimbangkan (Kelas IIb, LOE C).
Jika pasien dengan takikardia sudah stabil, tentukan apakah Pasien memiliki
takikardia kompleks sempit (narrow-complex) atau kompleks lebar, (wide
complex), apakah ritmenya teratur atau tidak teratur, dan untuk kompleks lebar,
apakah morfologi QRS monomorfik atau polimorfik. Terapi ini kemudian
disesuaikan.

8.3.1 Bradikardia

Bradikardia didefinisikan sebagai detak jantung <60x/menit. Namun, bradikardia


hingga dapat menimbulkan gejala pada frekuensi <50x/menit, dimana definisi
bradikardi yangdigunakan di sini. Denyut jantung yang lambat dapat merupakan
suatu kondisi yang fisiologis normal bagi beberapa pasien, sedangkan denyut
jantung <50x/menit mungkin tidak adekuat bagi orang lain. Algoritma bradikardia
memfokuskan diri pada pengelolaan bradikardia yang signifikan secara klinis

26
(yaitu bradikardia yang tidak sesuai untuk kondisi klinis). Oleh karena hipoksemia
merupakan penyebab umum dari bradikardia, evaluasi awal dari setiap pasien
dengan bradikardia harus fokus pada tanda-tanda peningkatan kerja otot-otot
pernapasan (takipnea, retraksi interkostal, retraksi suprasternal, pernafasan
abdominal paradoks) dan saturasi oksihemoglobin sebagaimana ditentukan oleh
pulse oksimetri. Jika oksigenasi memadai atau pasien menunjukkan tanda-tanda
peningkatan kerja otot-otot pernafasan, sediakan oksigen tambahan. Pasangkan
monitor kepada pasien, evaluasi tekanan darah, dan pasang akses intravena. Jika
mungkin, pasang EKG 12 lead untuk memonitor ritme. Sementara memulai
terapi, evaluasi status klinis pasien dan identifikasi penyebab potensial. Penolong
harus mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala kurangnyaperfusi dan tentukan
apakah tanda-tanda tersebut cenderung disebabkan oleh kondisi bradikardia. Jika
tanda-tanda dan gejala tidak disebabkan oleh kondisi bradikardia, penolong
harus menilai kembali penyebab timbulnya gejala-gejala pada pasien. Ingat bahwa
tanda dan gejala bradikardia mungkin ringan, pasien tanpa gejala atau dengan
gejala minimal tidak selalu membutuhkan penanganan kecuali terdapat kecurigaan
bahwa ritme yang tampak kemungkinan mengarah kepada timbulnya manifestasi
klinis atau bahkan sampai mengancam nyawa (misalnya, Mobitz tipe II AV blok
derajat dua pada kondisi infark miokard akut). Jika bradikardia diduga
menjadi penyebab dari perubahan status mental akut, ischemic chest
discomfort, gagal jantung akut, hipotensi, atau tanda-tanda syok yang lain, maka
pasien harus mendapatkan penanganan segera. Atrioventrikular (AV) blok
diklasifikasikan menjadi derajat satu, dua, dan tiga. Blok dapat disebabkan oleh
medikasi atau gangguan elektrolit, serta permasalahan struktur akibat AMI atau
penyakit miokard lainnya. Sebuah blok AV derajat satu didefinisikan oleh
pemanjangan interval PR (>0,20 detik) dan umumnya jinak. blok AV derajat dua
dibagi menjadi Mobitz tipe I dan II. Pada blok Mobitz tipe I, blok terdapat
dinodus AV, blok seringkali bersifat sementara dan tanpa gejala. Pada blok
Mobitz tipe II, blok biasanya terletak di bawah nodus AV dalam sistem His-
Purkinje, blok ini sering menimbulkan gejala dan berpotensi untuk berkembang
menjadi komplit (derajat tiga) AV blok. Derajat tiga blok AV dapat terjadi di
nodus AV, bundel His, atau cabang bundel. Ketika blok AV derajat tiga terjadi,

27
tidak ada impuls yang dapat melewati antara atrium dan ventrikel. Blok AV
derajat dapat permanen atau sementara, tergantung pada penyebab yang
mendasarinya.

2. Terapi

a. Atropin
Atropin tetap menjadi obat lini pertama untuk bradikardia simptomatis akut
(Kelas IIa, LOE B). Uji klinis pada orang dewasa menunjukkan bahwa atropin IV
memperbaiki denyut jantung, gejala dan tanda-tanda yang berhubungan dengan
bradikardia. Atropin sulfat melawan kerja kolinergik-dimediasi dalam
menurunkan denyut jantung dan harus dianggap sebagai pengukuran sementara
selagi menunggu transkutan atau alat pacu jantung transvenous untuk pasien
dengan gejala sinus bradikardia, blok konduksi pada tingkat AV node, atau sinus
arrest. Rekomendasi dosis atropin untuk bradikardia adalah 0,5 mg IV setiap 3
sampai 5 menit untuk dosis total maksimal 3 mg. Dosis atropin sulfat >0,5 mg
dapat secara paradoks mengakibatkan perlambatan lebih lanjut dari frekuensi
b. denyut jantung. Administrasi atropin tidak harus menunda pelaksanaan
external pacing untuk pasien dengan perfusi yang buruk. Pergunakan atropin
secara hati-hati pada pasien dengan iskemia koroner akut atau MI, peningkatan
denyut jantung dapat memperburuk iskemia ataupun meningkatkan ukuran
infark. Atropin kemungkinan tidak akan efektif pada pasien yang telah menjalani
transplantasi jantung karena transplantasi jantung memiliki sedikit persyarafan
vagal. Sebuah penelitian mendokumentasikan terjad perlambatan secara paradox
denyut jantung dan AV blok derajat tinggi ketika atropin diberikan kepada
pasien yang telah menjalani transplantasi jantung. Hindari menggunakan atropin
di tipe II derajat dua atau derajat tiga AV blok atau pada pasien dengan derajat
tiga blok AV dengan kompleks QRS lebar yang baru di mana lokasi blok
kemungkinan berada di jaringan non-nodal (seperti pada bundle His atau pada
sistem konduksi lebih distal). Bradiaritmia tipe ini tidak merespons terhadap
kebalikan dari efek kolinergik oleh atropin dan sebaiknya diterapi dengan TCP
atau dukungan β-adrenergik sebagai pengukuran sementara selagi pasien
dipersiapkan untuk transvenous pacing.

28
c. Pacing

TCP dapat berguna untuk pengobatan bradikardi simtomatik. Ada


beberapa penelitian yang membandingkan TCP dengan terapi obat dalam terapi
bradikardia simtomatik. Penelitian secara acak di mana atropin dan
glycopyrrolate dibandingkan dengan TCP menunjukkan sedikit perbedaan dalam
hal outcome dan survival, meskipun pada kelompok TCP didapatkan frekuensi
denyut jantung yang lebih konsisten . Dalam penelitian yang mengkaji kelayakan
terapi dengan dopamin dibandingkan dengan TCP, tidak ada perbedaan yang
ditemukan antara kelompok perlakuan dalam survival kepulangan dari rumah
sakit. TCP merupakan alat pengukuran sementara yang terbaik. Teknik TCP
menyakitkan pada pasien sadar, dan, apakah efektif atau tidak pasien harus
disiapkan untuk transvenous pacing dan dikonsultasikan lebih dahulu dengan
ahli. Penyedia layanan kesehatan dibenarkan untuk memulai TCP pada pasien
yang tidak stabil yang tidak merespon terhadap atropin (Kelas IIa,
LOE B). Pacing darurat mungkin dipertimbangkan pada pasien yang tidak
stabil dengan blok AV derajat tinggi ketika akses IV tidak tersedia (Kelas IIb,
LOE C). Jika pasien tidak merespon dengan obat atau TCP, transvenous pacing
mungkin diindikasikan (Kelas Ia, LOE C).

d. Obat Alternatif Yang Dapat Dipertimbangkan

Meski bukan agen lini pertama untuk pengobatan bradikardia simtomatik ,


dopamin, epinefrin, dan isoproterenol adalah merupakan suatu terapi alternatif
ketika bradiaritmia tidak responsif atau tidak cocok dengan atropin, atau sebagai
sebuah pengukuran sementara selagi menunggu ketersediaan alat pacu
jantung. Obat alternatif juga mungkin sesuai dalam keadaan khusus seperti
overdosis penyekat-β atau penyekat kanal kalsium.

e. Dopamin

Dopamin hidroklorida merupakan katekolamin dengan baik aksi β maupun


α-adrenergik. Hal ini dapat dititrasi secara lebih selektif pada efeknya terhadap
detak jantung atau vasokonstriksi. Pada dosis rendah dopamin memiliki efek yang
lebih selektif pada inotropik dan denyut jantung, pada dosis lebih tinggi
(10mcg/kg/menit), juga memiliki efek vasokonstriksi. Infus dopamin dapat

29
digunakan untuk pasien dengan bradikardia simtomatik, terutama
jika berhubungan dengan hipotensi, dimana atropin mungkin tidak tepat atau
setelah pemberian atropin gagal (Kelas IIb, LOE B). Mulai infus dopamin pada 2-
10 mcg/ kg/ menit dan titrasi sampai pasien merespons. Administrasi
vasokonstriktor memerlukan penilaian ketat terhadap volume intravaskular yang
memadai dan dukungan status volume sesuai keperluan.

f. Epinefrin

Epinefrin adalah katekolamin dengan aksi α- danβ- adrenergik. Infus


epinefrin dapat digunakan untuk pasien dengan bradikardia simtomatik, terutama
jika terkait dengan hipotensi, dimna atropin mungkin tidak sesuai atau gagal
setelah pemberian atropin (Kelas IIb, LOE B). Mulailah infus pada 2-10
mcg/menit dan titrasi sesuai dengan respon pasien. Penggunaan vasokonstriktor
memerlukan pemantauan volume intravaskular yang adekuat dan status volume
sesuai kebutuhan.

g. Isoproterenol.

Isoproterenol adalah agen β-Adrenergik dengan efek β-1 dan β-2, yang
mengakibatkan peningkatan denyut jantung dan vasodilatasi. Dosis yang
dianjurkan pada dewasa adalah 2-10 mcg/menit dengan infus IV dititrasi sesuai
dengan frekuensi denyut jantung dan respon ritme.

8.3.2 Takikardia

Takikardia dapat diklasifikasikan dalam beberapa cara, berdasarkan pada tampilan


kompleks QRS, denyut jantung, dan regularitas. Profesional ACLS harus mampu
mengenali dan membedakan antara sinus takikardia, supraventricular takikardia
(SVT) kompleks-sempit, dan kompleks-lebar takikardia. Karena petugas ACLS
mungkin tidak dapat membedakan antara irama supraventricular dan ventricular,
maka harus disadari bahwa kebanyakan takikard kompleks-lebar (kompleks-
luas) berasal dari ventrikel.

1) Narrow–QRS-complex (SVT) tachycardias (QRS<0.12 menit), dalam frekuensi

● Sinus takikardi
● Atrial fibrilasi

30
● Atrial flutter
● AV nodal reentry
● Accessory pathway–mediated tachycardia
● Atrial tachycardia (including automatic and reentry forms)
● Multifocal atrial tachycardia (MAT)
● Junctional tachycardia (jarang pada dewasa)
2) Wide–QRS-complex tachycardias (QRS >0.12 menit)

● Ventricular tachycardia (VT) dan ventricular fibrillation (VF)


● SVT with aberrancy
● Pre-excited tachycardias (Wolff-Parkinson-White [WPW] syndrome)
● Ventricular paced rhythms
Takikardia didefinisikan sebagai aritmia dengan frekuensi denyut >100x/menit,
meskipun, sebagaimana mendefinisikan bradikardia, tingkat takikardia yang
dapat memiliki signifikansi secara klinis adalah apabila takkardia terlalu ekstrem
dan mengakibatkan aritmia pada frekuensi >150x/menit (Gambar 4, Box
1). Denyut jantung yang cepat adalah respons yang tepat terhadap stres fisiologis
(Misalnya, demam, dehidrasi) atau kondisi lain yang mendasarinya.
Ketika menghadapi pasien dengan takikardia, upaya yang harus dilakukan untuk
menentukan apakah takikardia penyebab utama dari gejala yang muncul atau
terjadi sekunder akibat kondisi mendasar yang mengakibatkan munculnya gejala
dan detak jantung yang lebih cepat. Banyak ahli berpendapat bahwa
ketika denyut jantung <150 denyut/menit, tidak mungkin bahwa gejala
ketidakstabilan disebabkan terutama oleh takikardia kecuali ada gangguan fungsi
ventrikel yang mendasarinya.

Karena hipoksemia merupakan penyebab umum dari takikardia, evaluasi awal


dari setiap pasien dengan takikardia harus fokus pada tanda-tanda peningkatan
kerja otot pernapasan (takipnea, retraksi interkostal , retraksi suprasternal,
pernafasan paradoks abdominal) dan saturasi oksihemoglobin sebagaimana
ditentukan dengan pulse oksimetri.

Jika oksigenasi tidak adekuat atau pasien menunjukkan tanda-tanda peningkatan


kerja otot pernapasan, sediakan oksigen tambahan. Pasangkan monitor kepada
pasien, evaluasi tekanan darah, dan pasang akses jalur IV. Jika tersedia, gunakan

31
EKG 12-lead untuk lebih memonitor ritme, kardioversi segera dilakukan
jika pasien tidak stabil. Selama memulai penanganan, evaluasi status klinis pasien
dan identifikasi potensi penyebab reversibel takikardia. Jika tanda-tanda dan
gejala tetap bertahan meskipun sudah dilakukan pemberian tambahan
oksigen dan dukungan saluran napas dan ventilasi, maka penolong harus menilai
tingkat ketidakstabilan pasien dan menentukan apakah ketidakstabilan memiliki
kaitan dengan keadaan takikardi. Jika pasien menunjukkan kondisi
terkait instabilitas kardiovaskular dengan tanda-tanda dan gejala seperti perubahan
status mental akut, ischemic chest discomfort, gagal jantung akut , hipotensi, atau
tanda-tanda syok yang diduga terjadi karena takiaritmia, langsung lanjutkan ke
synchronized cardioversion. Namun, dengan frekuensi denyut ventrikel
<150x/menit dalam ketiadaan disfungsi ventrikel, lebih mungkin bahwa takikardia
terjadi sekunder oleh karena suatu kondisi yang mendasari dan bukan bertindak
sebagai penyebab ketidakstabilan. Jika tidak hipotensi, pasien dengan SVT
kompleks-sempit yang regular (kemungkinan karena dicurigai reentry,
paroksismal supraventricular tachycardia, sebagaimana yang dijelaskan di bawah
ini) dapat diobati dengan adenosin sementara persiapan untuk synchronized
cardioversion dilakukan (Kelas IIb, LOE C). Jika pasien dengan takikardia stabil
(yaitu, tidak ada tanda-tanda serius yang berkaitan dengan takikardia), petugas
memiliki waktu untuk memasang EKG 12-lead, mengevaluasi ritme, menentukan
apakah lebar kompleks QRS ≥0,12 detik dan menentukan opsi terapi. Pasien yang
stabil dapat menunggu konsultasi ahli karena tindakan yang dilakukan memiliki
risiko tinggi.

I. Kardioversi

Jika memungkinkan, pasang akses jalur IV sebelum kardioversi dan


lakukan tindakan sedasi apabila pasien sadar. Jangan menunda kardioversi jika
pasien sangat tidak stabil. Synchronized Cardioversion and Unsynchronized
Shocks. Synchronized cardoversion adalah pengiriman kejut (shock) yang
waktunya disinkronkan dengan kompleks QRS. Sinkronisasi ini menghindari
pengiriman gelombang kejut selama periode refrakter relatif dari siklus jantung
ketika shock dapat menimbulkan VF. Jika kardioversi diperlukan dan tidak
mungkin untuk melakukan sinkronisasi shock, gunakan guncangan sinkron energi

32
tinggi (dosis defibrilasi). Kardioversi Synchronized direkomendasikan untuk
tatalaksana:(1) SVT stabil, (2) atrial fibrilasi tidak stabil, (3) atrial flutter tidak
stabil , dan (4) VT tidak stabil monomorfik (regular). Shock yang dihasilkan dapat
menghentikan takiaritmia dengan mengganggu jalur reentrant yang bertanggung
jawab untuk hal tersebut.

II. Gelombang dan Energi

Direkomendasikan dosis awal energi bifasik untuk kardioversifibrilasi


atrium adalah 120 sampai 200 J (Kelas IIa, LOEA). Jika shock awal gagal,
petugas harus meningkatkan dosis secara bertahap. Kardioversi terhadap atrial
flutter dan SVTs pada umumnya memerlukan lebih sedikit energi, energi awal 50-
100 J seringkali cukup. Jika awal shock 50-J gagal, petugsa harus meningkatkan
dosis secara bertahap. Kardioversi dengan bentuk gelombang monofasik harus
dimulai dengan 200 J dan peningkatan dilakukan bertahap jika tidak berhasil
(Kelas IIa,LOE B).VT monomorfik (bentuk regular dan rate) dengan denyut
nadi berespons baik dengan gelombang kardioversi (disinkronkan) monofasik atau
bifasikpada energi awal 100 J. Jika ada ada respon terhadap shock pertama, akan
masuk akal untuk meningkatkan dosis secara bertahap. Tidak ada studi yang
mengidentifikasi mengenai masalah ini. Dengan demikian, rekomendasi ini
merupakan pendapat para pakar (Kelas IIb, LOE C). Aritmia dengan tampilan
QRS polimorfik (seperti torsades de pointes) biasanya tidak akan merespon
terhadap sinkronisasi. Jadi pada pasien dengan VT polimorfik, terapi irama
sebagai VF dan berikan shock unsynchronized energi tinggi (yaitu, dosis
defibrilasi.

Jika ada keraguan apakah terdapat VT monomorfik atau polimorfik pada pasien
yang tidak stabil, jangan menunda pemberian kejut untuk menganalisis ritme
secara rinci. Berikan unsynchronized shock energi tinggi (yaitu, dosis
defibrilasi). Gunakan ACLS Cardiac Arrest Algorithm.

3. Sinus Takikardia

Sinus takikardia umum terjadi dan biasanya terjadi akibat stimulus fisiologis
seperti demam, anemia, atau hipotensi/syok. Sinus takikardia didefinisikan
sebagai detak jantung >100x/menit. Batas atas sinus takikardia terkait dengan

33
usia (Dihitung sebagai 220x/menit dikurangi umur pasien dalam tahun) dan
mungkin berguna dalam menilai apakah sinus takikardia jelas berada dalam
kisaran yang diharapkan untuk umur pasien. Apabila ternyata pasien jatuh dalam
sinus takikardia, tidak ada obat khusus yang dibutuhkan. Sebaliknya, terapi
diarahkan kepada identifikasi dan terapi terhadap penyebab yang mendasari.
Ketika fungsi jantung buruk, curah jantung dapat bergantung pada kecepatan
denyut jantung. Pada takikardia kompensasi tersebut, volum sekuncup terbatas
sehingga "normalisasi" denyut jantung tidak dapat terjadi.

4. Evaluasi Supraventrikular takikardia (reentry SVT)

Kebanyakan SVTs adalah takikardia umum yang disebabkan oleh masuknya


kembali rangkaian irama abnormal yang memungkinkan gelombang
terdepolarisasi berulang kali di lingkaran dalam jaringan jantung. Ritme dianggap
bersumber dari supraventrikular apabila kompleks QRS sempit (<120 milidetik
atau <0,12 detik) atau jika kompleks QRS lebar (luas) dan sudah ada sebelumnya
bundle branch block atau rate-dependent aberrancy. Sirkuit reentry yang
mengakibatkan SVT dapat terjadi pada atrial miokardium (yang mengakibatkan
atrium fibrilasi, atrial flutter, dan beberapa bentuk atrium tachycardia). Rangkaian
reentry juga bisa berada dalam keseluruhan atau di sebagian nodus AV itu
sendiri. Hal ini dapat mengakibatkan AV nodal reentry tachycardia (AVNRT) jika
kedua tungkai dari sirkuit reentri melibatkan AV nodal jaringan. Atau, mungkin
mengakibatkan AV reentri takikardia (AVRT) jika salah satu dahan sirkuit
reentry melibatkan jalur aksesori dan lainnya melibatkan nodus AV .

Karakteristik onset mendadak dan penghentian masing-masingdari kelompok


Reentrant Tachyarryhythmias (AVNRT dan AVRT) mengarah kepada nama asli,
paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT). Subkelompok reentry
aritmia, mengacu pada baik AVNRT maupun AVRT, ditandai dengan onset
mendadak dan penghentian frekuensi regular yang melebihi batas atas sinus
takikardia saat istirahat (Biasanya >150x/menit) dan dalam kasus AVNRT, sering
muncul tanpa gelombang P yang dapat diidentifikasi pada EKG.

Membedakan bentuk SVTs reentrant yang berbasis di atrium miokardium (seperti


atrial fibrilasi) dibandingkan dengan memasuki kembali sirkuit secara sebagian

34
atau keseluruhan yang berbasis di AV node itu sendiri (PSVT) adalah penting
mengingat masing-masing akan merespon secara berbeda terhadap terapi yang
ditujukan untuk menghambat konduksi melalui nodus AV. Derajat ventrikel
terhadap reentry aritmia yang berbasis di atrium miokardium akan melambat
tetapi berhenti dengan pemberian obat-obatan yang memperlambat konduksi
melalui nodus AV. Sebaliknya, reentry aritmia yang setidaknya memiliki satu
cabang di sirkuit yang berada di AV node (PSVT disebabkan AVNRT atau
AVRT) dapat berhenti oleh pemberian obat tersebut.

Kelompok lain SVTs disebut sebagai automatictachycardias. Ini aritmia tidak


terjadi akibat sirkuit yang beredar tetapi karena fokus eksitasi otomatis. Berbeda
denganpola reentry mendadak, karakteristik onset dan penghentian takiaritmia ini
lebih bertahap dan analog dengan aktivitas sinus node yang secara
bertahap mempercepat dan memperlambat denyut jantung.Termasuk dalam
aritmia otomatis adalah takikardia atrium ektopik, MAT, dan takikardia
junctional. Aritmia ini dapat sulit untuk diterapi, tidak responsif terhadap
kardioversi, dan biasanya dikontrol dengan obat yang memperlambat konduksi
melalui AV node sehingga akan memperlambat denyut ventrikel.

5. Terapi
a. Manuver-manuver vagal.

Manuver vagal dan adenosin adalahpilihan terapi awal yang lebih disukai
untuk penghentian PSVT stabil. Manuver vagal saja (Manuver Valsava atau pijat
sinus karotis) akan menghentikanhingga 25% dari PSVTs. Untuk SVTs lain,
manuver vagal dan adenosin transiently dapat memperlambat laju ventrikel dan
berpotensi membantu diagnosis ritme tapi biasanya tidak akan mengakhiri aritmia
tersebut.

b. Adenosine.

Jika PSVT tidak mrespon manuver vagal,berikan 6 mg IV adenosin


sebagai dorongan IV cepat melalui vena besar (Misalnya, antecubital) diikuti
dengan pemberian 20 mL saline flush. Jika ritme tidak membaik dalam 1 sampai
2 menit, berikan dorongan IV 12 mg cepat menggunakan metode di atas. Karena
kemungkinan memulai fibrilasi atrium dengan tingkat ventrikel yang cepat pada

35
pasien dengan WPW, defibrilator harus tersedia ketika adenosin diberikan kepada
setiap pasien jika WPW merupakan suatu pertimbangan terapi. Seperti
vagal manuver, efek adenosin pada SVTs (seperti atrium fibrilasi atau flutter)
adalah untuk memperlambat laju ventrikel sementara (yang mungkin berguna
secara diagnostik) tetapi tidak mampu menghentikan atau mengontrol secara
berkelanjutan dan bermakna. Sejumlah penelitian mendukung penggunaan
adenosin dalam pengobatan PSVT stabil. Meskipun 2 percobaan acak
mendokumentasikan tingkat konversi PSVT sama antara adenosin dan calcium
channel blockers, adenosin lebih cepat dan memiliki lebih sedikit efek samping
parah daripada verapamil. Amiodaron sebagaimana agen antiarrhythmic lainnya
dapat berguna dalam penanganan PSVT akan tetapi onset kerja amiodaron lebih
lambat dibandingkan dengan adenosine dan potensi risiko proarrhythmic dari
agen ini mendukung penggunaan pengobatan alternatif yang lebih
aman.Adenosine aman dan efektif bagi ibu yang mengandung. Namun, adenosin
memang memiliki interaksi degan beberapa obat lainnya. Dosis yang lebih besar
mungkin diperlukan untuk pasien dengan kadar darah teofilin, kafein, atau
theobromineyang signifikan. Dosis awal harus dikurangi menjadi 3 mg pada
pasien yang mengkonsumsi dipyridamole atau carbamazepine, mereka yang
menjalani transplantasi hati, atau pada pasien yang mendapatkan akses vena
sentral. Efek samping adenosin yang umum dan paling sering dilaporkan adalah
flushing, dyspnea, dan rasa tidak nyaman di dada. Adenosin tidak boleh diberikan
kepada pasien dengan asma. Setelah konversi, pantau pasien terhadap risiko
kekambuhan dan tangani PSVT yang berulang dengan adenosin atau agen
penyekat AV nodal kerja panjang (misalnya, diltiazem atau penyekat-β). Jika
adenosin atau manuver vagal menunjukkan bentuk lain dari SVT (seperti atrial
fibrilasi atau flutter), pengobatan dengan agen penyekat AV nodal kerja panjang
harus dipertimbangkan untuk memberi kontrol yang lebih lama terhadap denyut
ventrikel.

c. Penyekat Kanal Kalsium dan Penyekat-β

Jika adenosin atau manuver vagal gagal mengkonversi PSVT, PSVT


berulang setelah pengobatan tersebut, atau terapi menunjukkan bentuk yang
berbeda dari SVT (seperti atrial fibrilasi atau flutter), maka dipertimbangkan

36
untuk memberikan agen penyekat AV nodal kerja panjang, seperti penyekat kanal
kalsium nondihydropyridine (verapamil dan diltiazem) (Kelas IIa, LOE B) atau
penyekat-β (Kelas IIa, LOE C). Obat ini bekerja terutama pada jaringan nodal
baik untuk mengakhiri gelombang reentry PSVTs yang bergantung pada konduksi
melalui AV de atau untuk memperlambat respon ventrikel terhadap SVTs lain
dengan memblokir konduksi melalui nodus AV. Mekanisme alternatif dari aksi
dan durasi yang lebih lama dari obat ini adalah dapat mengakibatkan penghentian
lebih lanjut PSVT atau mampu lebih mengontrol derajat aritmia atrium (seperti
atrial fibrilasi atau flutter). Sejumlah penelitian telah membuktikan efektivitas
verapamil dan diltiazem dalam mengkonversi PSVT menjadi irama sinus
normal. Untuk verapamil, diberikan sebanyak 2,5 mg sampai 5 mg IV bolus
seelama lebih dari 2 menit (Lebih dari 3 menit pada pasien yang lebih tua). Jika
tidak ada respon terapi dan tidak ada efek samping yang ditimbulkan, dosis dapat
diulang sebanyak 5 mg sampai 10 mg dan dapat diberikan setiap 15 sampai 30
menit dengan dosis total 20 mg. Rejimen dosis alternatif diberikan sebanyak 5 mg
bolus setiap 15 menit sampai dosis total 30 mg. Verapamil harus diberikan hanya
pada pasien dengan reentry SVT kompleks-sempit atau aritmia yang diketahui
dengan pasti bersumber dari supraventricular. Verapamil tidak harus diberikan
kepada pasien dengan takikardia kompleks-lebar. Seharusnya tidak diberikan
untuk pasien dengan gangguan fungsi ventrikel atau gagal jantung. Untuk
diltiazem, diberikan dosis sebanyak 15 mg sampai 20 mg (0,25 mg / kg)
IV selama lebih dari 2 menit, jika diperlukan, dalam 15 menit berikan tambahan
dosis IV 20 mg sampai 25 mg (0,35 mg / kg). Infus pemeliharaan diberikan
dengan dosis 5 mg / jam sampai 15 mg / jam, dititrasi sesuai dengan detak
jantung. Berbagai penyekat-β IV tersedia untuk pengobatan takiaritmia
supraventrikuler. Obat-obatan golongan ini termasuk metoprolol, atenolol,
propranolol, esmolol, dan labetolol (yang terakhir biasanya lebih digunakan
untuk manajemen akut hipertensi dibandingkan aritmia). Pada prinsipnya agen ini
memiliki efek antagonis terhadap tonus simpatik di jaringan nodal
sehingga berujung pada perlambatan konduksi. Seperti penyekat kanal kalsium,
golongan tersebut juga memiliki efek inotropik negatif dan mengurangi curah
jantung pada pasien dengan gagal jantung. Efek samping dari penyekat-β

37
mencakup bradikardi, keterlambatan konduksi AV, dan hipotensi. penyekat-β
harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif atau gagal jantung kongestif. Perhatian ditujukan terutama pada
kondisi pre-eksitasi fibrilasi atrium atau flutter yang berkonduksi ke ventrikel
melalui baiik nodus AV maupun jalur aksesori. Penatalaksanaan dengan agen
penyekat AV nodal (termasuk adenosin, penyekat kanal kalsium , atau digoxin)
tidak mungkin diberikan untuk memperlambat laju ventrikel dan dalam beberapa
kasus malah dapat mempercepat respon ventrikel.Oleh karena itu, obat-obatan
penyekat AV nodal sebaiknya tidak digunakan untuk pre-eksitasi fibrilasi atrium
atau flutter (Kelas III, LOE C). Perhatian juga difokuskan dalam hal menghindari
kombinasi agen penyekat AV nodal yang memiliki durasi kerja yang lebih lama.
Untuk Misalnya, eliminasi pendek waktu paruh adenosin memerlukan follow up,
jika diperlukan, dengan penyekat kanal kalsium atau penyekat-β. Sebaliknya
semakin lama waktu paruh penyekat kanal kalsium atau penyekat-β berarti
efeknya akan menjadi tumpang tindih sehingga memperburukkondisi bradikardia
jika diberikan secara serial.

Meskipun obat antiaritmia (misalnya, amiodaron, procainamide, atau sotalol) juga


dapat digunakan untuk mengobati SVTs, tingginyatoksisitas dan risiko
proarrhythmia membuat obat-obatan ini kurang dipilih sebagai alternative agen
penyekat AV nodal. Sebuah pengecualian adalah pada pasien dengan pre-eksitasi
aritmia atrium , agen penyekat AV nodal dikontraindikasikan pada pasien ini dan
kontrol dapat diperoleh dengan obat antiarrhythmic, agen ini dapat digunakan
untuk penghentian SVTs yang berbasis atrium, seperti atrial fibrilasi dan flutter,
yang sekaligus dapat mencegah komplikasi tromboemboli yang dapat mungkin
terjadi akibat konversi.

 Takikardia Kompleks Lebar


a) Evaluasi
Langkah pertama dalam pengelolaan takikardia jenis apapun adalah menentukan
apakah pasien, dalam kondisi stabil atau tidak stabil. Seorang pasien tidak stabil
dengan takikardia kompleks lebar harus dianggap memiliki VT dan lakukan
kardioversi segera harus dilakukan. Pukulan Prekordial dapat dipertimbangkan

38
untuk pasien yang disaksikan dan dipantau dengan ventricular takikardia stabil
jika defibrillator tidak segera siap untuk digunakan (Kelas IIb, LOE C).

Apabila pasien stabil, langkah kedua dalam tatalaksana adalah pemasangan EKG
12-lead untuk mengevaluasi irama. Pada titik ini operator harus
mempertimbangkan konsultasi dengan ahli. Jika pasien menjadi tidak stabil,
lanjutkan dengan synchronized cardioversion atau unsynchronized defibrillation
apabila aritmia memburuk menjadi VF atau disebabkan oleh VT
polimorfik. Takikardia kompleks lebar didefinisikan sebagai takikardi dengan
QRS >0,12 detik. Bentuk yang paling umum dari takikardia kompleks lebar
adalah :

 VT atau VF

 SVT with aberrancy

 Pre-excited tachycardia (terkait dengan atau dimediasi oleh jalur aksesori)

 Ventricular paced rhythms

Langkah ketiga dalam pengelolaan takikardia adalah menentukan apakah ritme


yang dihasilkan teratur atau tidak teratur. Takikardia kompleks lebar tipe teratur
cenderung VT atau SVT. Takikardia kompleks lebar tidak teratur dapat berupa
fibrilasi atrium dengan aberrancy, pre eksitasi atrial fibrilasi (i.e. fibrilasi atrium
yang menggunakan jalur aksesori untuk konduksi antegrade), atau VT
polimorfik/torsades de pointes.

b) Terapi untuk takikardia Kompleks Lebar tipe regular

Pada pasien dengan undifferentiated wide-QRS complex tachycardia yang


stabil, pendekatan yang masuk akal adalah dengan mencoba mengidentifikasi
takikardia kompleks lebar sebagai SVT atau VT dan mengobati
berdasarkan algoritma untuk masing-masing irama tersebut. Jika etiologi irama
tidak dapat ditentukan, denyut teratur, dan QRS monomorfik, bukti terbaru
menunjukkan bahwa adenosin jalur IV relatif aman bagi terapi dan diagnosis
(Kelas IIb, LOE B). Namun, adenosin seharusnya tidak diberikan untuk unstable
atau untuk ireguler atau polimorfik takikardia kompleks lebar karena dapat
menyebabkan degenerasi aritmia VF (Kelas III, LOE C). Jika takikardia

39
kompleks lebar terbukti menjadi SVT dengan aberrancy, kemungkinan akan
dapat diperlambat sementara atau diubah oleh adenosin menjadi irama sinus, jika
karena VT tidak akan ada efek pada ritme (kecuali dalam kasus yang jarang
seperti idiopatik VT), dan singkatnya efek adenosin yang sementara ini dapat
ditoleransi secara hemodinamik. Oleh karena perhatian terhadap respon
bervariasi tersebut dapat membantu untuk mendiagnosa irama yang mendasari,
apabila memungkinkan, rekaman EKG yang kontinyu sangat dianjurkan untuk
memberikan dokumentasi tertulis terhadap irama tersebut. Biasanya adenosin
diberikan dengan cara yang mirip dengan pengobatan PSVT yakni dengan dosis 6
mg IV yang cepat, Operator dapat mengulang dosis pertama dengan bolus 12 mg
dan dosis kedua 12 mg bolus jika denyut gagal dikonversi. Ketika adenosin
diberikan untuk undifferentiated wide-complex tachycardia defibrilator harus
tersedia. Tergantung pada ritme yang mendasari, respon terhadap uji coba
adenosin dapat bervariasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa Adenosin
mengkonversi undifferentiated wide-complex tachycardia menjadi irama
sinus. Penelitian lain menunjukkan bahwa respon yang buruk terjadi pada pasien
yang diketahui memiliki VT. Efek samping yang dilaporkan pada pasien dengan
pre-eksitasi atrial fibrilasi yang diterapi dengan adenosin: konversi ke fibrilasi
atrium dengan respon ventrikel yang cepat pada seorang pasien yang kbelakangan
diketahui memiliki pre-eksitasi, konversi ke VF pada seorang pasien dengan
diketahui dengan WPW, konversi ke VF pada 4 pasien dengan pre eksitasi atrium
fibrilasi, konversi ke VF pada 2 pasien dengan WPW, dan satu kasus VF pada
pasien dengan VT. Verapamil merupakan kontraindikasi untuk takikardia
kompleks lebar kecuali diketahui berasal dari supraventrikular (Kelas III, LOE
B). Efek samping yang muncul karena VT ditemukan dalam 5 kasus. Hipotensi
yang berat dilaporkan pada 11 dari 25 pasien yang diketahui memiliki VT yang
diterapi dengan verapamil. Untuk pasien yang stabil dengan kemungkinan VT
agen antiaritmia IV atau kardioversi elektif adalah strategi pengobatan pilihan.
Jika antiaritmia IV yang diberikan, maka procainamide (Kelas IIa, LOE B),
amiodaron (Kelas IIb, LOE B), atau sotalol (Kelas IIb, LOE B) dapat
dipertimbangkan. Procainamide dan sotalol harus dihindari pada pasien dengan
QT berkepanjangan. Jika salah satu agen antiaritmia diberikan, agen kedua tidak

40
boleh diberikan tanpa konsultasi ahli (Kelas III, LOE B). Jika terapi antiaritmia
tidak berhasil, kardioversi atau konsultasi ahli harus dipertimbangkan (Kelas IIa,
LOE C).

Pada satu perbandingan acak didapatkan procainamide (10 mg/kg) lebih unggul
dari lidokain (1,5 mg / kg) untuk penghentian VT monomorfik dengan
hemodinamik stabil. Procainamide dapat diberikan pada dosis 20 sampai 50 mg
/menit sampai aritmia dapat ditekan, durasi QRS meningkat >50%, atau dengan
dosis maksimum 17 mg/kg diberikan. Infus pemeliharaan adalah 1 sampai 4
mg/menit. Procainamide harus dihindari pada pasien dengan QT berkepanjangan
dan gagal jantung kongestif. Sotalol IV (100 mg IV lebih dari 5 menit) didapatkan
lebih efektif dibanding lidocaine (100 mg IV selama lebih dari 5 menit) saat
diberikan pada pasien dengan spontaneous hemodynamically stable sustained
monomorphic VT dalam percobaan acak dengan setting.di rumah sakit.

Dalam sebuah studi terpisah dari 109 pasien dengan riwayat spontaneous and
inducible sustained ventricular tachyarrhythmias, infus 1,5 mg/kg sotalol selama
lebih dari 5 menit didapatkan relatif aman dan efektif, menyebabkan hipotensi
hanya pada 2 orang pasien, dan keduanya merespon terhadap cairan IV.
Direkomendasikan infus lambat, tetapi literatur mendukung infus lebih cepat dari
1,5 mg/kg selama lebih dari 5 menit atau kurang. Sotalol harus dihindari pada
pasien dengan interval QT berkepanjangan. Amiodarone juga efektif dalam
mencegah VT monomorfik berulang atau mengobati arrhythmias ventrikel
refraktori, pada pasien dengan penyakit arteri koroner dan fungsi ventrikel yang
buruk. Obat ini diberikan dengan dosis 150 mg IV selama lebih dari 10 menit,
dosis harus diulang sesuai kebutuhan dengan dosis maksimum sebanyak 2,2 g IV
setiap 24 jam. Dosis yang lebih tinggi (300 mg) dikaitkan dengan peningkatan
frekuensi hipotensi. Sebagai perbandingan, lidokain kurang efektif dalam
menangani VT dibanding procainamide, sotalol, dan amiodarone dan saat
diberikan kepada pasien dengan atau tanpa riwayat MI dengan VT stabil spontan
berkelanjutan di setting rumah sakit.Lidocaine telah dilaporkan dapat menangani
VT bila diberikan secara intramuskuler pada pasien dengan AMI dan VT di
setting luar rumah sakit. Lidokain harus dipertimbangkan sebagai terapi
antiarrhythmic lini kedua untuk VT monomorfik.. Lidokain dapat diberikan pada

41
dosis 1 sampai 1,5 mg / kg IV bolus..Infus pemeliharaan adalah sebesar 1 sampai
4 mg/menit (30-50 mcg/kg/menit).

 Ireguler Takikardia
a) Atrial Fibrilasi dan Flutter
Takikardia ireguler kompleks-sempit atau kompleks-lebar sebagian besar
merupakan suatu fibrilasi atrium (dengan atau tanpa konduksi menyimpang)
dengan respon ventrikel yang tidak terkendali. Kemungkinan diagnostik lainnya
mencakup MAT atau irama sinus / takikardia dengan denyut atrium premature
frekuen.. Ketika terdapat keraguan mengenai diagnosis ritme dan pasien dalam
kondisi stabil, dianjurkan pemasangan EKG 12-lead dengan konsultasi ahli
b) Terapi
Manajemen umum atrium fibrilasi harus berfokus pada pengendalian denyut
ventrikel yang cepat (kontrol denyut), konversi atrium fibrilasi dengan
hemodinamik yang tidak stabil menjadi irama sinus (kontrol ritme), atau
keduanya. Pasien dengan fibrilasi atrium berdurasi > 48 jam berada pada
peningkatan risiko untuk kardioembolik , meskipun atrium fibrilasi dalam jangka
waktu yang lebih pendek tidak menjadi pengecualian terhadap kemungkinan
peristiwa tersebut. Listrik atau farmakologis kardioversi (konversi ke irama sinus
normal) tidak boleh dilakukan pada pasien ini kecuali pasien dalam keadaan tidak
stabil. Sebuah Strategi alternatif adalah untuk melakukan kardioversi diikuti
pemberian antikoagulasi dengan heparin dan tindakan transesophageal
ekokardiografi untuk memastikan tidak adanya trombus atrium kiri;

Pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil harus menerima mendapatkan


kardioversi listrik. Pasien dalam kondisi yang lebih stabil memerlukan. Penyekat
β intravena dan penyekat kanal kalsium nondihydropyridine seperti diltiazem
merupakan obat pilihan untuk kontrol kondisi akut pada sebagian besar individu
dengan atrial fibrilasi ventrikel dan respon ventricular yang cepat (Kelas IIa, LOE
A). Digoxin dan amiodarone dapat digunakan untuk pengendalian laju pada
pasien dengan gagal jantung kongestif namun, potensi risiko konversi irama sinus
dengan amiodaron harus dipertimbangkan sebelum memulai terapi dengan agen
ini. Irama komleks lebar yang irregular harus dipertimbangkan sebagai pre-
eksitasi atrial fibrilasi. Konsultasi dengan ahli amatlah disarankan. Hindari

42
penggunaan penyekat AV nodal seperti adenosin, penyekat kanal kalsium,
digoxin, dan mungkin penyekat β pada pasien dengan pra-eksitasi fibrilasi atrium
dikarenakan obat ini dapat menyebabkan peningkatan secara paradoks respon
ventrikel.

Biasanya, pasien dengan pre-eksitasi atrial fibrilasi dating dengan denyut jantung
yang sangat cepat dan membutuhkan kardioversi listrik segera. Ketika kardioversi
listrik tidak sesuai atau efektif, atau atrium fibrilasi terjadi secara berulang,
penggunaan agen pengontrol ritme (dibahas di bawah) mungkin berguna bagi
pengendalian denyut dan stabilisasi irama.

Berbagai agen telah terbukti efektif dalam menangani fibrilasi atrium


(farmakologis atau kardiokonversi kimia) meskipun keberhasilannya masing-
masing bervariasi dan tidak semua agen tersedia dalam formulasi
parenteral. Konsultasi ahli dianjurkan.

 VT Polimorfik (Irregular)

VT Polimorfik (ireguler) memerlukan defibrilasi segera dengan strategi


yang sama yang digunakan untuk VF. Farmakologis pengobatan untuk mencegah
VT polimorfik berulang harus diarahkan kepada penyebab yang mendasari VT
dan ada atau tidak adanya interval QT memanjang selama ritme sinus. Jika
interval QT memanjang diamati selama irama sinus (i.e, VT adalah torsades de
pointes), langkah pertama adalah menghentikan obat-obatan yang menjadi pemicu
pemanjangan interval QT. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit dan presipitan
akut lainnya (misalnya, overdosis obat atau keracunan: lihat Bagian 12.7:
“Cardiac Arrest Associated With Toxic Ingestions”). Meskipun magnesium pada
umumnya digunakan untuk mengobati VT torsades de pointes (VT polimorfik
terkait dengan interval QT panjang), hal ini didukung oleh hanya 2 penelitian
observasi yang menunjukkan efektivitas pada pasien dengan interval QT
memanjang. Didapatkan satu kasus orang dewasa kasus menunjukkan bahwa
isoproterenol atau pacing ventrikel dapat efektif dalam menangani torsades de
pointes terkait dengan bradikardia dan obat-obatan yang memicu pemanjangan
QT. VT Polimorfik diasosiaikan dengan familial long QT syndrome dapat diobati
dengan magnesium IV, pacing, dan/atau penyekat β, dalam hal ini penggunaan

43
isoproterenol harus dihindari. VT polimorfik yang diasosiasikan dengan
acquiredlong QT syndrome dapat diobati dengan magnesium IV. Selain itu
pacing atau isoproterenol dapat dipertimbangkan ketika VT polimorfik disertai
dengan bradycardia atau dipresipitasi oleh jeda pada irama. Dengan tidak adanya
interval QT yang berkepanjangan, penyebab paling umum dari VT polimorfik
adalah iskemia miokard. Dalam hal ini pemberian amiodarone IV dan penyakat-β
dapat mengurangi frekuensi kekambuhan aritmia (Kelas IIb, LOE C).
Iskemia miokard harus ditangani dengan penyekat β dan pertimbangkan tindakan
kateterisasi jantung dengan revaskularisasi. Magnesium dikatakan tidak efektif
dalam mencegah VT polimorfik pada pasien dengan interval QT yang normal
(Kelas IIb, LOE C), akan tetapi amiodaron mungkin efektif
(Kelas IIb, LOE C). Penyebab lain VT polimorfik yang terpisah dari iskemia
dan sindroma pemanjangan interval QT adalah VT katekolaminergik (yang
mungkin merespon terhadap penyekat β) dan sindroma Brugada (yang
mungkin responsif terhadap isoproterenol).

Tujuan terapi untuk bradycardia atau tachycardia adalah untuk secara cepat
mengidentifikasi dan mengobati pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil
atau gejala yang ditimbulkan akibat aritmia. Obat atau, ketika diperlukan, pacing
dapat digunakan untuk mengontrol bradikardia stabil atau imtomatik. Kardioversi
atau obat-obatan atau keduanya dapat digunakan untuk mengontrol takikardia
tidak stabil atau simptomatis. Petugas ACLS harus secara ketat memonitor pasien
stabil, menunda konsultasi ahli dan harus siap untuk secara agresif
memperlakukan pasien dengan bukti mengarah pada suatu kondisi dekompensasi.

44

You might also like