Professional Documents
Culture Documents
後漢西域沙門迦葉摩騰共法蘭譯
[0722a14] Raja
[0722b27] 質曰:「彼福不當減乎?」
[0722c13] 有沙門問佛:「以何緣得道?奈何知宿命?」
[0723b07] 天神獻玉女於佛,欲以試佛意、觀佛道。佛言:
「革囊眾穢,爾來何為?以可斯俗,難動六通。 去!吾不用爾。」天神踰敬佛,因問道意;佛為
解釋,即得須陀洹。
[0723c14] 對曰:
「恒彈琴。」佛言:「絃緩何如?」曰:「不鳴矣。」「絃急 何如?」曰:「聲絕矣。」「急緩得中
何如?」「諸音普悲。」
佛告沙門:「學道猶然,執心調適,道可得矣。」
Ketika Tathagatha telah mencapai Penerangan Sempurna, Beliau sejenak berpikir demikian:
“Meninggalkan nafsu-nafsu dan berada dalam ketenangan adalah kemenangan yang terbesar. Duduk,
bermeditasi dan menaklukan Mara si penggoda.”
Di Taman Rusa Beliau memutar Roda Dharma dan menerangkan Empat Kesunyataan Mulia,
mentahbiskan Kaundinya dan keempat pertapa lainnya, sehingga mereka berhasil mencapai tingkat
kesucian.
Masih terdapat banyak bhikshu yang karena keragu-raguannya terhadap ajaran Hyang Buddha,
memohon kepada Hyang Buddha agar Beliau memberi petunjuk. Setelah Hyang Buddha memberikan
Khotbah-khotbah dan petunjuk-petunjuk maka mereka satu persatu memperoleh Kesadaran, akhirnya
mereka memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan dan bersedia mengikuti ajaran Hyang
Buddha.
BAGIAN I
Hyang Buddha bersabda: “Bagi mereka yang telah meninggalkan keluarga dan menjalankan kebhishuan,
dapat mengendalikan pikirannya dan mengenal hakekat pikirannya, memahami Asamskerta Dharma
disebut Sramana. Dengan melaksanakan 250 Pratimoksa dan sungguh-sungguh melaksanakan Sila dan
Samadhi, melatih diri dengan Catvari Arya Satyani, tercapailah tingkat Arhat yang dapat terbang di
angkasa dan mengubah bentuk dirinya, berusia tak terbatas panjangnya dan dihormati oleh para dewa.
Sebelumnya adalah tingkat Anagamin setelah meninggal sukmanya akan mencapai di atas alam Sorga ke
19, kemudian mencapai tingkat Arhat.
Sebelumnya lagi adalah tingkat Sakrdagamin yang melalui satu kali kelahiran akan mencapai tingkat
Arhat.
Yang pertama adalah tingkat Srotapana yang setelah lahir kembali tujuh kali akan mencapai tingkat
Arhat. Seseorang yang telah memutuskan nafsu-nafsu keinginannya, bagaikan seorang yang telah
memutuskan kaki dan tangannya, sehingga tidak dapat dimanfaatkan lagi.”
BAGIAN II
Hyang Buddha bersabda: “Seorang Sramana yang telah meninggalkan rumahnya, yang telah
memutuskan nafsu-nafsu dan membuang keinginannya, mengerti hakekat pikirannya sendiri serta
mengerti Dharma yang tinggi, menembus dan menyadari Asamskrta-dharma, tidak memperoleh sesuatu
dari dalam dan juga tidak mengharapkan sesuatu dari luar. Pikirannya tidak terikat dan juga tidak
melakukan karma-karma buruk; tidak ada keinginan-keinginan dan tidak melakukan sesuatu sehingga
bukan berlatih bukan pula ingin mencapai suatu tingkat kesucian, dengan demikian walau tanpa melalui
berbagai tingkatan akan mencapai tingkat kesucian yang teragung. Itulah yang disebut jalan.”
BAGIAN III
Hyang Buddha bersabda: “Dia yang mencukur rambut, kumis dan jenggotnya dan menjadi Sramana serta
melaksanakan Dharma; menjauhkan segala macam harta kekayaan, meminta makan dan menerima apa
yang diberikan, makan sehari sekali sebelum lewat tengah hari, tidur di bawah pohon, hendaknya tidak
ada lagi keinginan-keinginan lain. Sesungguhnya yang membuat manusia menjadi bodoh adalah
keinginan yang kuat dan hawa nafsu.”
BAGIAN IV
Hyang Buddha bersabda: “Manusia dapat melakukan 10 macam perbuatan yang disebut kebaikan dan
juga dapat melakukan 10 macam perbuatan yang disebut kejahatan. Apakah kesepuluh macam perbuatan
jahat itu? Adalah: tiga macam yang dilakukan oleh badan jasmani, empat macam yang dilakukan oleh
mulut dan tiga macam yang dilakukan oleh pikiran. Tiga macam yang dilakukan badan jasmani ialah:
membunuh, mencuri, dan berzinah. Empat macam yang dilakukan oleh mulut ialah: mengadu-domba,
mencacik-maki, berbohong, dan berbicara sesuatu yang tidak bermanfaat. Tiga macam yang dilakukan
oleh pikiran ialah: iri hati, marah, dan kebodohan. Kesepuluh perbuatan itu bertentangan dengan Jalan
Mulia. Maka disebut Sepuluh Macam Perbuatan Jahat. Bila dapat menghentikan sepuluh macam
kejahatan tersebut, maka disebut Sepuluh Macam Perbuatan Baik.”
BAGIAN V
Hyang Buddha bersabda: “Bila seseorang melakukan banyak kesalahan dan tidak merasa menyesal dan
segera menghentikan pikiran jahatnya, maka akibat-akibat buruk akan berkumpul pada dirinya, bagaikan
air yang mengalir ke laut, semakin hari semakin luas dan dalam. Bila seseorang telah berbuat kesalahan
dan mengetahui kesalahannya lalu memperbaikinya dan akibat-akibat buruknya akan lenyap bagaikan
orang sakit setelah mengeluarkan keringat, penyakitnya akan berangsur-angsur sembuh.”
BAGIAN VI
Hyang Buddha bersabda: “Seseorang yang jahat bila mendengar hal-hal kebaikan ia akan datang
mengganggu, kalian harus tenang, jangan terpancing oleh emosi dan menegurnya. Orang yang berbuat
keonaran dan kejahatan akan menerima akibatnya sendiri.”
BAGIAN VII
Hyang Buddha bersabda: “Ada seseorang ketika mendengar bahwa Aku melaksanakan Jalan Kebenaran
dan melakukan kebajikan serta kebaikan dengan penuh welas asih, lalu ia datang mencaci-maki Aku.
Tetapi Aku tidak memberikan reaksi lalu si pelaku pun berdiam diri.”
Seorang Sramana bertanya: “Jika Anda dengan sopan memberi hormat kepada seseorang, sedangkan
orang itu tidak menerimanya. Apakah kesopanan yang anda tunjukkan itu akan kembali kepada anda?”
Jawab Hyang Buddha: “Ya,” kemudian Beliau melanjutkan lagi: “Sekarang bila anda mencaci-maki
Hyang Tathagata dan Beliau tidak menghiraukannya. Pada akhirnya akibat dari perbuatan anda tersebut
akan menimpa diri anda sendiri, bagaikan suara terpantul kembali, bagaikan pula bayang-bayang yang
mengikuti badan, yang tak pernah lepas. Oleh karena itu berhati-hatilah, jangan berbuat kejahatan.”
BAGIAN VIII
Hyang Buddha bersabda: “Seorang jahat yang ingin mecelakakan seorang bijaksana, bagaikan seseorang
yang menengadah ke udara dan meludah, ludahnya tidak akan mencapai langit, malah jatuh kembali
pada dirinya. Bagaikan menaburkan debu melawan arah angin, debu itu tidak akan mengenai siapa-siapa,
malah berbalik menimpa diri orang yang menaburnya. Orang bijaksana janganlah dicelakakan karena
malapetaka akan menimpa si pelaku.”
BAGIAN IX
Hyang Buddha bersabda: “Banyak mendengarkan dan suka pada Jalan Kebenaran. Jalan Kebenaran
malah sukar dijumpai. Dengan tekad yang bulat melaksanakan Jalan Kebenaran, maka hasilnya akan
besar sekali.”
BAGIAN X
Hyang Buddha bersabda: “Melihat orang lain memberi dana, lalu memberi dorongan agar ia merasa
gembira, akan memperoleh keberkahan yang maha besar.”
Seorang Sramana bertanya: “Apakah jasa-jasa kebajikan tersebut akan habis?”
Hyang buddha menjawab: “Bagaikan api dari sebuah obor, walau datang ratusan sampai ribuan orang
mengambil api dari obor tersebut memasak dan penerangan; obor itu tetap menyala seperti semula,
demikian pula jasa kebaikan dari perbuatan tersebut.”
BAGIAN XI
Hyang Buddha bersabda: “Daripada memberi dana makan kepada seratus orang jahat, lebih baik
memberi makan kepada seorang yang saleh. Daripada memberi makan kepada seribu orang yang saleh,
lebih baik memberi makan kepada seorang yang melaksanakan Pancasila. Daripada memberi makan
kepada sepuluh ribu pelaksana Pancasila, lebih baik memberi makan kepada seorang Srotapana.
Daripada memberi makan kepada sejuta Srotapana, lebih baik memberi makan kepada seorang
Sakrdagamin. Daripada memberi makan kepada sepuluh juta Sakrdagamin, lebih baik memberi makan
kepada seorang Anagamin. Daripada memberi makan kepada seratus juta Anagamin, lebih baik memberi
makan kepada seorang Arhat. Daripada memberi makan kepada satu milyar Arhat, lebih baik memberi
makan kepada seorang Pratyeka Buddha. Daripada memberi makan kepada sepuluh milyar Pratyeka
Buddha, lebih baik memberi makan kepada seorang Bodhisatva yang telah mencapai tingkat Buddha.
Daripada memberi makan kepada sepuluh milyar Bodhisatva yang telah mencapai tingkat Buddha, lebih
baik memberi makan kepada seorang yang tidak ada keinginan lagi, tidak ada kemelekatan lagi, tidak ada
yang perlu dilatih lagi, dan tidak ada yang perlu dicapai lagi.”
BAGIAN XII
Hyang Buddha bersabda: “Mnusia mempunyai dua puluh macam kesukaran, yaitu:
1. Sukar berdana bagi orang yang tidak mampu.
2. Sukar mempelajari Dharma bagi seseorang yang berkedudukan tinggi atau kaya.
3. Sukar untuk mengorbankan jiwa bila perlu.
4. Sukar memperoleh kesempatan untuk mempelajari sutra-sutra.
5. Sukar untuk lahir dalam lingkungan Buddhis, seperti ketika Hyang Sakyamuni Buddha masih berada
dalam dunia ini.
6. Sukar untuk menahan nafsu dan keinginan.
7. Sukar untuk melihat sesuatu yang menarik tanpa mengingininya.
8. Sukar untuk tidak marah bila dihina.
9. Sukar untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan.
10. Sukar untuk tidak terpengaruh oleh pikiran bila menghadapi sesuatu masalah.
11. Sukar untuk mempelajari dan menyelidiki suatu ilmu pengetahuan secara mendalam.
12. Sukar untuk melenyapkan kesombongan dan keangkuhan.
13. Sukar untuk tidak memandang rendah kepada orang yang belum terlatih.
14. Sukar untuk menganggap semua manusia sama rata.
15. Sukar untuk tidak mencela kepada sesuatu masalah.
16. Sukar untuk bertemu dengan orang yang arif bijaksana.
17. Sukar untuk mengenal diri sendiri dan mempelajari Dharma.
18. Sukar untuk menyadarkan orang lain menurut keadaan.
19. Sukar untuk tidak dipengaruhi oleh obyek dan keadaan.
20. Sukar untuk menggunakan cara yang mudah dan bijaksana untuk menerangkan Dharma.
BAGIAN XIII
Seorang Sraman bertanya kepada Hyang Buddha: “Dengan sebab musabab apa orang dapat mengetahui
masa kehidupannya yang lalu serta menemukan jalan kesadaran?”
Hyang Buddha berkata: “Dengan mensucikan pikiran serta bertekad untuk maju, seseorang dapat
menemukan jalan kesadaran. Bagaikan membersihkan sebuah cermin, setelah debunya bersih makan
jernihlah cerminnya, dengan melenyapkan nafsu dan tiada yang diingini lagi, dapat mengetahui masa
kehidupannya yang lalu.
BAGIAN XIV
Seorang Sramana bertanya kepada Hyang Buddha: “Apakah yang dinamakan kebaikan dan apakah yang
dinamakan kebesaran?”
Hyang Buddha menjawab: “Dengan mengikuti Jalan Kebenaran dan berpegang teguh pada hal-hal yang
benar itulah kebaikan. Bila cita-cita sesuai dengan jalan Dharma itulah kebesaran.”
BAGIAN XV
Seorang Sramana bertanya kepada Hyang Buddha: “Apakah yang dinamakan kekuatan paling besar dan
apakah yang dinamakan paling terang?”
Hyang Buddha menjawab: “Dapat menahan hinaan itulah yang disebut kekuatan besar. Dia yang tidak
memiliki rasan dendam, lagipula tetap tenang serta sabar dan dapat menahan hinaan akan dihormati
orang. Bila kekotoran batin telah lenyap seluruhnya dan batinnya telah suci tiada lagi bernoda, itulah
yang disebut paling terang. Dari sebelum bumi ini ada sampai hari ini, segala sesuatu yang berada di
sepuluh penjuru, tidak ada yang tidak dilihatnya, tidak ada yang tidak diketahuinya, tidak ada yang tidak
didengar olehnya, sehingga dia mengetahui segala-galanya, dapat disebut terang.”
BAGIAN XVI
Hyang Buddha bersabda: “Orang yang dibelenggu oleh nafsu keinginan rendah adalah orang yang tidak
dapat melihat Jalan Kebenaran. Bagaikan kolam air jernih yang diaduk dengan tangan dan banyak orang
yang berada di sana tapi tak seorang pun yang dapat melihat bayangan wajahnya dengan jelas. Oleh
karena itu orang yang dipengaruhi oleh nafsu keinginan rendah, pikirannya menjadi keruh, maka tidak
akan dapat menemukan Jalan Kebenaran. Wahai para Sramana! Hendaknya jauhkanlah diri kalian dari
nafsu keinginan yang rendah! Bila kekotoran nafsu keinginan renda telah dapat dibersihkan, dapatlah
kalian menemukan Jalan Kebenaran.”
BAGIAN XVII
Hyang Buddha bersabda: “Bagi mereka yang menemukan Jalan Kebenaran, bagaikan seorang yang
memegang obor yang memasuki ruangan yang gelap, maka kegelapan akan lenyap, yang ada hanya
cahaya terang. Siswa yang telah dapat melihat Jalan Kebenaran, maka Avidya segera lenyap, Vidya
senantiasa berada.”
BAGIAN XVIII
Hyang Buddha bersabda: “Dharma yang Ku-ajarkan ialah merenungkan yang bukan hanya perenungan
saja. Melakukan perbuatan yang bukan hanya perbuatan saja. Melaksanakan latihan yang bukan latihan
saja. Orang yang mengerti sudah dekatlah dia, sedangkan orang yang belum mengerti masih jauhlah dia.
Jalan Kebenaran bukan hanya diungkapkan dengan kata-kata saja dan tidak dapat pula dipandang
sebagai benda. Maka dari itu selisih sedikit saja akan bisa berjarak jauh.”
BAGIAN XIX
Hyang Buddha bersabda: “Melihat langit dan bumi lalu merenungkan ketidak-kekalan. Melihat
kesadaran sebagai Bodhi. Pengetahuan tersebut akan membuat seseorang dengan cepat memperoleh
kesadaran.”
BAGIAN XX
Hyang Buddha bersabda: “Dengan menyadari bahwa keempat unsur pada badan jasmani (yaitu: padat,
cair, panas, dan gerak) masing-masing mempunyai nama, namun tidak memiliki inti ke-aku-an.
Sesungguhnya Atman tidak ada, yang ada hanyalah ilusi belaka.”
BAGIAN XXI
Hyang Buddha bersabda: “Orang yang suka menuruti nafsu keinginannya untuk mencari nama, namun
setelah namanya terkenal, akhirnya meninggal. Orang yang rakus akan nama tetapi tidak mempelajari
Jalan yang menuju kesadaran, hanya menyia-nyiakan tenaga dan menyibukkan dirinya dengan percuma.
Bagaikan dupa yang dibakar, kendatipun wangi namun akhirnya habis juga terbakar menjadi debu.
Demikianlah api yang dapat membakar dirinya, akan berakibat demikian di kemudian hari.”
BAGIAN XXII
Hyang Buddha bersabda: “Kekayaan dan nafsu birahi bagi manusia sukar untuk dilepaskan. Bagaikan
madu yang berada di mata pisau yang tajam, tetapi tidak cukup nikmat untuk mengenyangkan perut,
andaikata terjilat oleh anak kecil akan melukai lidahnya.”
BAGIAN XXIII
Hyang Buddha bersabda: “Orang yang terikat oleh istri, anak, serta rumah melebihi penderitaan orang
yang dipenjara. Orang yang dipenjara pada suatu hari akan dibebaskan, namun orang tidak akan
memiliki keinginan untuk berpisah jauh-jauh dengan anak-istrinya. Oleh karena itu bila sudah tergiur
dan terikat oleh nafsu birahi, maka orang tidak lagi takut akan susah payah kendatipun berhadapan
dengan maut, ia pun tak akan gentar walau terjerumus dalam lumpur namun tetap dilakukannya. Oleh
sebab itu disebut kaum awam. Bila telah dapat menembusi dan mengatasi hal-hal demikian, dia disebut
seorang Arhat (yang telah bebas dari segala kekotoran batin).”
BAGIAN XXIV
Hyang Buddha bersabda: “Dari semua hawa nafsu, tidak ada yang lebih hebat daripada nafsu birahi.
Nafsu birahi adalah nafsu terbesar dan sukar dikendalikan. Untung saja hanya ada satu nafsu besar,
seandainya ada dua macam nafsu yang sama besarnya, maka akan sukarlah bagi orang-orang untuk
mengenal Jalan Kebenaran.”
BAGIAN XXV
Hyang Buddha bersabda: “Dia yang terbelenggu oleh nafsu keinginan, bagaikan orang yang membawa
obor dan berjalan melawan arah angin, pada akhirnya akan membakar tangannya sendiri.”
BAGAIAN XXVI
Hyang Buddha bersabda: “Dewa Mara memberikan seorang gadis cantik kepada-Ku untuk menggoda-Ku.
Dan Aku berkata: “Oh! Kantung kulit yang penuh berisi kotoran, buat apa anda datang kemari, pergilah!
Aku tidak membutuhkan kamu!” Para Dewa semakin hormat kepada-Ku dan bertanyalah tentang
Dharma. Aku menerangkan kepada mereka dan akhirnya mereka mencapai tingkat Srotapana.
BAGIAN XXVII
Hyang Buddha bersabda: “Dia yang mengikuti Jalan Kebenaran bagaikan sebatang kayu yang terapung di
atas air, maju terus mengikuti arus air serta tidak menyentuh kedua tepi sungai, juga tidak diambil orang,
tidak pula dihalangi oleh para dewa serta tidak diganggu oleh makhluk halus lain; tidak tersangkut oleh
alakan air, pun tidak lapuk. Aku jamin akhinrya kayu tersebut pasti dapat menuju ke laut. Orang yang
belajar Dharma bila tidak terganggu oleh keinginan-keinginan yang rendah, pun juga tidak tergoda oleh
segala macam kesesatan, maju terus dengan ketekunan, Aku jamin pada akhirnya pasti orang tersebut
dapat mencapai Kesadaran (Jalan Kebenaran).”
BAGIAN XXVIII
Hyang Buddha bersabda: “Waspada dan berhati-hatilah! Jangan turuti kehendak anda, kehendak anda
tidak boleh anda turuti! Berhati-hatilah dan waspada terhadap nafsu birahi! Karena nafsu birahi akan
dapat mendatangkan mara bahaya. Hanya saja bila telah mencapai tingkat Arhat, anda baru dapat
menuruti dan mempercayai kehendak hati anda.”
BAGIAN XXIX
Hyang Buddha bersabda: “Hati-hatilah, hindarkan diri dari meilhat wanita, juga jangan bercakap-cakap
(ngobrol) dengan mereka, bila hendak bicara dengan mereka, hendaknya dengan pikiran dan pengertian
yang benar! Kita kaum Sramana berada di dunia yang penuh kekotoran ini seharusnya bagaikan
sekuntum bunga teratai di kolam yang tidak ternoda oleh lumpur! Anggaplah yang berusia lanjut sebagai
ibu sendiri, yang lebih tua dari engkau sebagai kakak sendiri, yang lebih muda dari engkau sebagai adik
sendiri dan yang kecil sebagai anak sendiri. Selamanya berusaha untuk menyelamatkan dan membantu
mereka, dengan demikian pikiran-pikiran jahat akan lenyap.”
BAGIAN XXX
Hyang Buddha bersabda: “Bagi mereka yang mengikuti Jalan Kebenaran, bagaikan seseorang yang
mengenakan pakaian yang terbuat dari rumput kering, selamanya harus menghindari api. Maka seorang
siswa harus selalu menjauhkan diri dari nafsu dan keinginan-keinginan rendah.”
BAGIAN XXXI
Hyang Buddha bersabda: “Ada seseorang yang selalu tidak dapat menahan nafsu birahinya dan ia ingin
memotong alat kelaminnya. Daripada memotong alat kelamin, lebih baik anda memotong pikiran anda!
Pikiran laksana pemimpin (komandan), bila ia berhenti, dengan sendirinya tidak ada lagi pengiringnya,
bila pikiran sesat itu tidak dihentikan, apa gunanya memotong alat kelamin?”
Untuk itu Hyang Buddha mengucapkan sebuah gatha :
“Kehendak berasal dari keinginan,
Keinginan berasal dari pikiran,
Bila keinginan dan pikiran telah dikuasai,
Tidak ada lagi nafsu dan perbuatan”
Hyang Buddha berkata :”Gatha ini pernah diucapkan oleh Kasyapa Buddha.”
BAGIAN XXXII
Hyang Buddha bersabda: “Oleh karena kemelekatan dan keinginan maka timbul kegelisahan. Dari
kegelisahan timbul rasa takut. Bila dapat meningglkan kemelekatan dan keinginan, apa lagi yang
digelisahkan? Apa lagi yang ditakuti?”
BAGIAN XXXIII
Hyang Buddha bersabda: “Orang yang melaksanakan Dharma, bagaikan seseorang yang berperang
melawan orang banyak di medan perang. Ia mengenakan pakaian perang; tetapi ada yang merasa takut
sebelum berperang, ada yang kembali di tengah jalan, ada yang gugur dalam medan pertempuran atau
ada yang kembali dengan kemenangan. Begitu pula kaum Sramana yang belajar Dharma harus
menguatkan imannya; maju terus pantang mundur, tidak takut pada keadaan (kejadian) di hari-hari yang
akan datang dan mengalahkan mara si penggoda dan akhirnya memperoleh hasil.
BAGIAN XXXIV
Seorang Sramana di malam hari mengulangi sebuah Sutra yang ditinggalkan oleh Kasyapa Buddha,
hatinya sedih dan gelisah, lalu ia ingin menghentikan pembacaan Sutra tersebut.
Hyang Buddha bertanya: “Sebelum anda menjadi Sramana, apakah pekerjaan anda?”
Jawab: “Saya senang bermain kecapi.”
Hyang Buddha berkata: “Bila tali senar dikendurkan, bagaimana?”
Jawab :”Tidak bersuara.”
“Bila tali senar dikencangkan erat-erat, bagaimana?”
Jawab: “Suaranya akan hilang juga.”
Bila tali senarnya tidak kencang dan tidak kendur, bagaimana?”
Jawab: “Suaranya akan serasi dan beriraman!”
Hyang Buddha bersabda: “Seorang Sramana yang belajar Dharma juga harus demikian, bila hatinya
tenang, Dharma pun dapat dipelajari, bila tergesa-gesa mempelajari Dharma, akan menyebabkan badan
menjadi letih, pikiran akan jadi gelisah; keinginan untuk belajar akan mengendur, bila sudah mengendur,
kesalahan akan bertambah banyak. Hanya dengan hati yang suci, tenang dan bahagia, Jalan Kebenaran
tidak akan hilang.”
BAGIAN XXXV
Hyang Buddha bersabda: “Bagaikan seorang tukang besi yang menempa besi, membuang ampas dan tahi
besi, akhirnya jadilah sebuah alat. Begitu pula seorang siswa yang belajar Dharma, membuang kekotoran-
kekotoran pikiran dan akhirnya perbuatannya akan suci bersih.”
BAGIAN XXXVI
Hyang Buddha bersabda: “Seseorang yang tidak terlahir di alam penderitaan dan terlahir sebagai
manusia sungguh sukar. Setelah terlahir sebagai manusia, tidak ingin terlahir sebagai wanita tetapi ingin
menjadi laki-laki, juga sukar. Setelah dilahirkan sebagai laki-laki, sukar untuk dilahirkan dengan enam
indera yang lengkap. Bila memiliki enam indera yang lengkap, sukar pula dilahirkan di Madyadesa
(Negeri yang makmur). Setelah dilahirkan di Madyadesa, sukar untuk dilahirkan pada zaman Hyang
Buddha. Bila dilahirkan pada zaman Buddha, sukar untuk mendengarkan Dharma. Setelah
mendengarkan Dharma, sukar untuk membangkitkan Bodhicitta. Setelah membangkitkan Bodhicitta,
sukar untuk mencapai seperti bulan melatih diri dan bukan mencapai.”
BAGIAN XXXVII
Hyang Buddha bersabda: “Siswa-Ku kendatipun jauh dari diri-Ku, namun bila selalu ingat kepada Sila,
akhirnya akan memperoleh hasil. Mereka yang selalu di samping-Ku, walaupun selalu melihat Aku,
namun tidak melaksanakan Sila dengan baik, akan selamanya sukar mencapai hasil.”
BAGIAN XXXVIII
Hyang Buddha bertanya kepada seorang Sramana: Berapa lamakah usia manusia?”
Jawab: “Hanya beberapa hari.”
Hyang Buddha menjawab: “Anda belum mengetahuinya!”
Hyang Buddha bertanya lagi pada seorang Sramana lainnya: “Berapa lamakah usia manusia?”
Jawab: “Hanya selama seperti kita makan nasi.”
Hyang Buddha menjawab: “Anda juga belum mengetahuinya!”
Akhirnya Hyang Buddha bertanya lagi kepada seorang Sramana lainnya: “Berapa lama usia manusia?”
Jawab: “Hanya memakan waktu seperti kita bernafas.
Hyang Buddha menjawab: “Baik dan benar! Sesungguhnya anda telah mengetahuinya.”
BAGIAN XXXIX
Hyang Buddha bersabda: “Orang yang mempelajari Buddha Dharma, harus meyakini semua yang
dikatakan Hyang Buddha dan melaksanakannya. Bagaikan madu baik di bagian pinggir maupun di
bagian tengahnya manis seluruhya, ajaran Buddha pun demikian.”
BAGIAN XL
Hyang Buddha bersabda: “Seorang Sramana yang melaksanakan Dharma hendaknya jangan seperti
seekor lembu yang berjalan memutar penggiling terigu. Hanya wujudnya saja yang kelihatan
melaksanakan Dharma, tetapi hatinya tidak. Bila hati nurani telah melaksanakan Dharma, untuk apa
hanya wujud yang ditonjolkan seolah-olah melaksanakan Dharma?”
BAGIAN XLI
Hyang Buddha bersabda: “Orang yang melaksanakan Dharma, bagaikan seekor lembu yang memikul
barang-barang yang berat serta berjalan di atas lumpur. Kendatipun sudah sangat letih namun tidak
berani menengok ke kiri dan ke kanan. Ia harus berusaha keluar dari lumpur untuk beristirahat.
Demikianlah seorang Sramana harus menyadari bahwa segala macam nafsu keinginan melebihi
kubangan lumpur, hanya dengan sepenuh hati mengingat Dharma, baru dapat terbebas dari
penderitaan.”
BAGIAN XLII
Hyang Buddha bersabda: “Aku memandang kedudukan Raja sebagai debu-debu yang berterbangan yang
melalui sela-sela dinding. Memandang emas dan permata sebagai tumpukan puing. Memandang pakaian
yang indah hanya sebagai katun biasa. Memandang alam jagad ini bagaikan sebuah biji tanaman.
Memandang air Anavatapta (kolam air suci) bagaikan minyak pengoles kaki. Memandang metode-metode
pengajaran Dharma yang mudah bagaikan mengumpulkan benda-benda berharga. Memandang Yana,
yang agung (Jalan menuju pembebasan) bagaikan memperoleh emas dan kain dalam mimpi. Memandang
Jalan ke-Buddha-an bagaikan bunga yang mekar di hadapan mata. Memandang Dhyana sebagai gunung
Semeru yang kokoh. Memandang Nirvana sebagai orang yang tidur pada siang dan malam hari.
Memandang antara yang benar dan yang salah bagaikan naga yang sedang menari. Memandang
kesamarataan sebagai sesuatu tanah suci. Memandang perubahan dan perkembangan bagaikan
perubahan empat musim.”
Setelah para Bhikshu mendengarkan wejangan-wejangan Hyang Buddha, mereka pun dengan senang hati
melaksanakannya
Ketidak-langgengan merupakan ciri segala sesuatu di alam semesta. Alam semesta adalah
berbahaya, rapuh serta kotor serta dapat mengalami kehancuran. Badan jasmani yang diuraikan menjadi
empat unsur pokok (maha-bhuta) berpautan dengan penderitaan dan kekosongan (Sunya). Gabungan
lima faktor kehidupan (skandha) tidak memiliki suatu pribadi (Ego) yang Nyata. Adalah merupakan
suatu hukum bahwa segala sesuatu yang berkondisi akan timbul dan lenyap.
Semuanya berada dalam keadaan berubah dan lapuk. Sama sekali tidak ada penguasa atas badan
jasmani dan obyek-obyek duniawi. Karenanya, batin (pikiran) adalah akar kejahatan serta melekat pada
obyek-obyek duniawi dan tempat bersembunyinya kejahatan-kejahatan dan dosa. Dengan melihat semua
fenomena dari sudut ini, sedikit demi sedikit kita akan membeaskan diri dari penderitaan kelahiran dan
kematian.
Keingainan yang berlebihan membuahkan penderitaan. Penderitaan kelahiran dan kematian serta
penderitaan menjalani kehidupan yang melelahkan, semuanya adalah disebabkan oleh keserakahan.
Keinginan yang sedikit yang bebas dari nafsu membuat batin dan jasmani kita tenang.
Sang Buddha dengan tegas menganjurkan untuk menahan diri dari keserakahan, sebab
keserakahan adalah kutuk abadi. Menahan diri dari keserakahan adalah kesadaran akan fakta bahwa,
baik kesenangan duniawi (seperti :kekayaan, harta benda, reputasi, kemanjaan yang berlebihan dalam
makanan dan tidur) maupun obyek-obyek duniawi (seperti yang dialami oleh persepsi terhadap rupa,
bunyi, bau, rasa atau sentuhan), semuanya adalah tidak nyata, tidak kekal dan kotor. Hal itu berarti tidak
mempunyai nafsu keinginan terhadap hal-hal tersebut.
Keserakahan yang membutakan mata timbul melalui pikiran bahwa tubuh adalah indah. Apabila
kita menyadari bahwa tubuh adalah indah. Apabila kita penyadari bahwa tubuh adalah indah. Apabila
kita menyadari bahwa tubuh adalah kotor, maka keserakahan akan hilan untuk selamanya.
Ambisi-ambisi yang tidak pernah puas hanya mencari pengejaran-pengejaran, yang dengan
demikian menambah dosa-dosa. Mereka yang melaksanakan jalan Bodhisattva tidak akan pernah berbuat
demikian. Mereka harus merasa puas dalam hati, dan sabar akan penderitaan dalam mengikuti ajaran
Snag Buddha. Mereka tidak mencari sesuatu apapun kecuali kebijaksanaan.
Apakah ajaran Sang Buddha itu ? secara ringkas, ajaran Sang Buddha terdiri atas Empat
Kebenaran Mulia yang membawa pada pemusnahan nafsu keinginan dan ketidak-tahuan, mengatasi
kelahiran kembali, usia tua, penyakit, kematian, kesedihan, ratp tangis, kesakitan, duka cita dan putus
asa, mengakhiri seluruh tumpukan enderitaan ini, mencapai kedamaian abadi, kebebasan dan
keselamatan dari siklus kehidupan (samskara).
Guru agung kita mempelajari dunia dan melihat bahwa yang ada hanyalah penderitaan belaka.
Beliau menguraikan sebab penderitaan dan memberikan resep untuk menghilangkan akar sebab
penderitaan dengan melaksanakan Jalan Utama Beruas Delapan itu? Yaitu:
Pengertian Benar yang umum, terdiri atas : kasih sayang, cinta kasih dna keseimbangan batin, hukum
sebab akibat yang dengannya kita dapat menentukan masa depan kita sendiri melalui perbuatan-
perbuatan kita sendiri, serta ajaran tentang tumimbal lahir.
Pengertian benar dalam arti agama Buddha, terdiri atas: 1)Pengertian tentang apa perbuatan berjasa dan
akar perbuatan berjasa, apa perbuatan tercela dan akar perbuatan tercela. 2) Pengertian bahwa gabungan
lima faktor kehidupan (Skandha), yaitu : badan jasmani, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran
dan kesadaran, sebagai hal yang tidak kekal, menderita dan bukan pribadi. 3) Hukum timbul dan
lenyapnya semua fenomena alam semesta yang berkondisi. 4) Pengertian tentang penderitaan dan sebab-
sebab penderitaan, akhirnya penderitaan dan Jalan Utama Beruas Delapan yang membawa pada kahir
penderitaan.
Pengertian Benar yang luhur, yaitu kebijaksanaan atau penebusan mengenai hakekat kehidupan, yang
dapat diperoleh melalui meditasi.
Pikiran benar, yaitu menghentikan semua pikiran kkeserakahan, kebencian dan ketidak-tahuan, karena
hal ini membawa kita untuk menambah kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka cita dan putus asa.
Ucapan benar, yaitu menahan diri dari berbohong, mengadu domba, kata-kata kasar dan omong kosong.
Perbuatan benar, yaitu menahan diri dari membunuh, mencuri, perbuatan kelamin yang tidak benar dan
menahan diri dari minum-minuman keras yang memabukkan.
Penghidupan Benar, berarti (1) tidak menjadi jagal, pemburu, nelayan, serdadu, algojo, peramal nasib,
astrologi; (2) tidak menghasilkan dan menjual senjata, racun dan minuman-minuman keras yang
memabukkan. Dengan kata lain, kita harus menjalankan kehidupan yang benar sehingga kita akan
mengakibatkan penderitaan pada makhluk hidup apapun dan mencari nafkah dengan cara yang benar
dan jujur.
Mengatasi perbuatan-perbuatan dan pikiran tidak baik yang telah timbul, seperti layaknya seseorang
yang berjuang untuk menghancurkan seekor ular berbisa.
Mencegah timbulnya perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran tidak baik yang belum timbul, seperti
layaknya seseorang yang berjuang untuk mencegah penyakit menular.
Mempertahankan perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran baik yang telah timbul, seperti layaknya
seseorang yang menyirami pohon buah-buahan miliknya.
Mengembangkan perbuatan-perbuatan dan pikiran-pikiran baik yang belum timbul, seperti layaknya
seseorang yang menabur benih-benih yang baik.
Konsentrasi Benar, satu-satunya tujuan konsentrasi pikiran adalah ketenangan yang membawa kita ke
visi yang jelas, dalam dan benar. Khonghucu telah menunjukkan dalam “Ajaran Besar”, bahwa “Perhatian
dapat dicapai apabila kita berkonsentrasi. Ketenangan muncul setelah berkonsentrasi pikiran. Dalam
ketanangan tersebut akan terdapat rasa damai. Dalam kedamaian tersebut, kita dapat merenungkan
segala sesuatu dengan penuh perhatian. Sukses tentu akan tercapai kala kita merenungkan segala sesuatu
dengan penuh perhatian”.
Itulah semua bagian-bagian yang fundamental dari seluruh ajaran Sang Buddha.
KESADARAN AGUNG KEEMPAT
Kemalasan akan membuat seseorang merosot. Seseorang harus selalu berjalan terus dengan sekuat
tenaga untuk memperoleh kebijaksanaan. Hanya dengan cara ini ia akan menghancurkan semua
kejahatan noda bathin dan mengatasi empat setan dan menguasai mereka, untuk keluar dari penjara lima
faktor kehidupan yang merupakan kemelekatan.
Ada enam kejahatan noda bathin dasar, sepuluh kejahatan noda bathin kecil, dua kejahatan noda
bathin besar, dan delapan kejahatan noda bathin pokok. Seluruhnya ada dua puluh enam bagian
kejahatan noda bathin (upakilesa). Pertama-tama, marilah noda bathin (upakilesa). Pertama-tama
marilah kita menyebutkan satu persatu enam kejahatan noda bathin dasar, yaitu : hawa nafsu, kebencian,
ketidaktahuan, kesombongan, keragu-raguan dan pandangan keliru. Semua ini merupakan kejahatan
noda bathin dasar, karena mereka bagaikan akar-akar pohon.
Kedua, sepuluh kejahatan noda bathin kecil, yaitu : 1. Kemarahan, 2. Rasa permusuhan, 3.
Kejengkelan, 4. Kepura-puraan, 5. Ketidakjujuran, 5. Tipu Muslihat,7. Keangkuhan, 8. Kekejaman, 9. Iri
Hati, 10. Mementingkan diri sendiri. Semua ini disebut kejahatan noda bathin kecill karena selalu terjadi
sendiri-sendiri atau terpisah, dan nampak nyata dan menyolok.
Ketiga, dua kejahatan noda bathin besar, yaitu : tidak memiliki rasa malu, kurang ajar. Kesemua ini
disebut kejahatan noda bathin besar karena mempunyai pengaruh lebih besar dari pada kejahatan noda
bathin kecil yang telah disebutkan di atas.
Keempat, delapan kejahatan noda bathin pokok yaitu : tidak memiliki keyakinan, kemalasan, tidak
memiliki perhatian, tidak waspada, teledor, pelupa, penilaian keliru, bingung. Semua ini dinamakan
kejahatan noda bathin pokok, kerena mereka bukan saja merupakan sumber perbuatan tercela, tetapi
juga merupakan sumber perbuatan tercela. Tetapi juga merupakan keadaan pikiran yang bukan berjasa
ataupun tercela.
Empat Setan adalah : Setan dari lima faktor kehidupan (Skandha) : rupa, perasaan, pencerapan,
bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran, setan kematian, setan penderitaan, setan dunia samsara atau
siklus kehidupan.
Dalam merenungkan mengenai asal kelahiran dan kematian, Guru Agung kita Sakyamuni Buddha
menyadari bahwa ketidak tahuan adalah akar dari semua kejahatan. Karena itu, beliau khusus
menganjurkan kepada mereka yang melaksanakan jalan Bodhisattva untuk berusaha memperoleh
pengetahuan yang cukup dan kefasihan berbicara sebelum mereka mampu memimpin makhluk-makhluk
hidup ke Jalan kebebasan dan memberi kebahagiaan yang besar kepada mereka.
Orang miskin kerap kali memupuk kebencian yang menimbulkan hubungan tidak baik dengan
orang lain dimana saja. Dalam menjalankan amal (Dana), paramengikut jalan Bodhisattva harus
memperlakukan musuh dan teman secara sama, dengan kadar cinta yang sama, tanpa kebencian apa pun
atau rasa benci terhadap orang-orang jahat.
Perbuatan amal (kemurahan hati) itu adalah pelepasan dan dengan amal kita dapat
menghancurkan keserakahan. Keserakahan tidak dapat dipadamkan. Makin banyak yang kita dapat,
makin banyak yang kita inginkan. Seorang tukang giling yang mempunyai satu penggiling berusaha untuk
mempunyai dua penggiling, dan seorang tukang giling yang mempunyai dua penggiling berjuang untuk
mempunyai empat penggiling.
Proses ini berjalan terus tanpa akhir. Hal yang sama juga terjadi pada pemilik pertambangan,
hutan dan sumber minyak. Mereka berjuang untuk memperoleh harta yang lebih banyak, karena
keserakahan tidak akan pernah dapat dipuaskan. Tetapi sebaliknya terdapat kepuasan dalam
melaksanakan amal, yang merupakan kebalikan dari keserakahan. Apabila keserakahan dipadamkan, kita
akan menikmati kedamaian pikiran.
Satu hal yang harus kita ingat disini adalah, apabila kita melaksanakan pemberian, kita harus tidak
membedakan antara teman dan lawan. Dengan kemurahan hati kita memperlakukan mereka dengan
tumpuan yang sama.
Pemberian harta milik, seperti uang, pakaian, makanan, tempat menginap dan lain sebagainya.
Pengetahuan duniawi, seperti mengajar orang membaca, menulis, menjahit, memperbaiki jembatan dan
jalan dan lain sebagainya.
Pengetahuan yang tidak dapat dilihat dan tidak dapat dijelaskan kepada dunia ini, seperti
mengkhotbahkan ajaran Sang Buddha untuk membimbing makhluk-makhluk melakukan perbuatan-
perbuatan berjasa serta menghindari perbuatan-perbuatan merugikan.
Pemberian pertolongan dan bantuan dengan pengorbanan besar dan bebas dari rasa takut, seperti
menyelamatkan orang yang sedang tenggelam, orang yang sedang dikejar musuh, disiksa peperangan,
dibegal perampok, dikejar bnatang buas, terbakar dalam kebakaran dan lain sebagainya.
SUTRA DELAPAN KESADARAN AGUNG
Dengan anotasi
Sutra atau kitab suci ini diajarkan oleh Guru kita Sakyamuni Buddha kepada umat awam sebelum
Beliau mencapai Nirvana. Sesunggunya, setra ini merupakan ringkasan dari ajaran-ajaran pokok Beliau
yang dikhotbahkan selama masa hidupNya. Maka sutra ini dapat dianggap sebagai warisan Beliau yang
terakhir. Sutra ini memiliki ciri yang sama dengan Sutra Empat Puluh Dua bagian dan Maha Parinirvana
Sutra, yang diajarkan oleh Sang Buddha khususnya bagi para Bhikkshu.
Bentuk tulisan Sutra Delapan Kesadaran Agung ini agak berbeda dari sutra-sutra lainnya. Dalam
sutra-sutra lain, biasanya kita dapati kata-kata: “Demikianlah yang telah kudengar” pada pembukaan,
dan “Semuanya umat berbahagia dan pulang dengan hati gembira” pada penutup. Tetapi, semua
ungkapan ini tidak didapati dalam sutra ini.
Para siswa Sang Buddha, seharusnya membaca delapan ajaran di bawah ini siang dan malam
dengan tekun dan kesungguhan hati, yang akan membawa para penganut agama Buddha Mahayana
mencapai tingkat Penerangan (bodhi):
Di Tiongkok, semua kitab suci agama Buddha dibagi menjadi dua kelompok, yaitu “Maha” dan
“Hina”. Sutra Delapan Kesadaran Agung ini milik agama Buddha mazhab Mahayana, yang artinya sistem
besar atau Aliran Utara, yang dianut oleh Tiongkok, Bhutan, Siklim, Nepal, Mongolia, Jepang, Korea
sedangkan agama Buddha selatan ialah Hinayana, yang artinya Sistem kecil atau Aliran Selatan, dianut
oleh Sri Lanka, Birma, Thailand dan Kampuchea.
Catatan-catatan sejarah dua orang bhiksu Tiongkok yang terkenal (Fa Hsien dan Hsuan Chuang)
yang dituliskan dalam buku perjalanan mereka ke India, masing-masing dari tahun 926-645 sesudah
masehi, tertulis bahwa disana terdapat dua macam ajaran yang disebu Mahayana dan Hinayana, dan
disana terdapat vihara-vihara dimana para bhiksu mempelajari salah satu ajaran tersebut ataupun
kedua-duanya.
Meskipun bermacam-macam mazhab itu berbeda rumusan-rumusan ajarannya, namun kita dapat
dengan mudah menemukan keyakinan-keyakinan yang sama diantara kesemuanya apabila kita benar-
benar sebagai penganut agama Buddha. Keyakinan-keyakinan itu adalah
Sekarang marilah kita lihat perbedaaan antara mazhab Mahayana dan mazhab Hinayana :
Tingkat Arhat adalah cita-cita tertinggi untuk dicapai oleh umat Buddha. Umat Buddha Mahayana tidak
memperjuangkan tingkat Arhat. Mereka ingin menjadi Buddha atau paling tidak Bodhisattva.
Seorang Arhat ingin menyelamatkan diri secara tergesa-gesa, tetapi seorang Bodhisattva yang memiliki
kesabaran untuk menunggu, selalu berusaha untuk mencari kebijaksanaan (prajna) untuk
menyelamatkan semua makhluk dalam dunia penderitaan ini.
Dalam Hinayana tidak ada doa, ritus dan upacara. Dalam Mahayana terdapat ritus-ritus. Hinayana
menganggap doa, ritus dan upacara merupakan hambatan besar bagi kesempurnaan, sedangkan
Mahayana Berjuang untuk mencapai tingkat Bodhisattva dengan bergantung pada kekuatan para
Buddha.
Terdapat gerakan di seluruh alam semesta, dari elektron yang kecil sampai dengan matahari yang paling
besar. Semuanya adalah gerakan dari bentuk ke bentuk, seperti buih-buih pada sungai yang memercik,
pecah dan lenyap. Tidak ada yang tetap di alam semesta. Kekekalan adalah suatu ilusi. Banyak hal
nampak kekal karena hidup kita singkat sekali untuk dapat menyaksikan terjadinya perubahan-
perubahan, atau karena perubahan-perubahan itu terlalu halus bagi kecerdasan yang masih belum
berkembang. Demikianlah yang terjadi dalam dunia materi maupun dalam kehidupan bathin.
Dalam bathin selalu terjadi perubahan, kesadaran tidak pernah sama dalam dua saat yang
berurutan. Hal ini dapat dipastikan melalui berbagai percobaan dalam latihan meditasi. Bilamana kita
mencoba berdasarkan metode-metode meditasi tertentu untuk menghentikan arus pikiran-pikiran kita
dan mencapai suatu keadaan pikiran yang benar-benar diam, kita akan melihat betapa kesan-kesan hari
ini dan ingatan-ingatan lama mengganggu dan mencegah konsentrasi.
Demikian pula dalam kehidupan kita sehari-hari, perubahan dari bayi ke masa kenak-kanak, dari
masa kanak-kanak ke masa dewasa dan selanjutnya ke masa tua, kematian dna kehancuran.
Empat unsur pokok (maha-bhuta) adalah tanah atau sifat padat, air atau sifat cair, api atau sifat
panas, angin atau sifat bergerak.
Unsur padat atau tanah dalam tubuh ada dua puluh macam yaitu :
Rambut kepala.
Rambut bahu
Kuku
Gigi
Kulit
Daging
Otot-otot
Tulang-tulang
Sumsum
Ginjal
Jantung
Hati
Selaput dada
Limpa kecil
Paru-paru
Usus besar
Usus kecil
Perut
Kotoran
Otak.
Unsur cair atau air dalam tubuh ada dua belas macam yaitu :
Empedu
Lendir
Darah
Nanah
Keringat
Lemak
Air mata
Minyak Tubuh
Air Ludah
Ingus
Minyak persendian
Air Seni.
Unsur api berarti panas yang makin besar ketika poencernaan sedang berlangsung dalam tubuh.
Unsur udara yang kita nafaskan selalu masuk dan keluar. Semua unsur pokok ini membentuk tubuh
manusia. Apabila keempat unsur itu berada dalam keadaan selaras (harmonis) kita mampu untuk
berjalan dan bekerja, kalau tidak demikian maka kita sakit.
Apabila keempat unsur tersebut berpisah dan meninggalkan tubuh kita, maka kita mati. Karena itu
semua empat unsur dalam tubuh kita ini adalah menyakitkan dan kosong (tanpa inti). Hal ini bagaikan
sebuah mimpi tentang berbagai khayalan yang dipertunjukkan oleh tukang sulap, dapat dibandingkan
dengan bayang-bayang orang dibawah sinar lampu, atau gambar-gambar orang didalam sebuah sinar
lampu, atau gambar-gambar orang didalam sebuah kaca besar, atau seperti gelembung-gelembung air.
Kita tidak mempunyai penguasaan atas tubuh. Tubuh kita selalu berada dalam keadaan berubah.
Manusia adalah suatu gabungan dari lima faktor kehidupan (skandha) yang berasal dari nafsu
keinginan (tantha) yang berakar dalam ketidak-tahuan (avidya). Lima faktor keidupan itu adalah : badan
jasmani (rupa), perasaan, pencerapan bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran. Manusia tidak lain hanyalah
paduan dari lima faktor kehidupan ini semata. Dimanapun tidak dapat diketemukan suatu diri (aku) yang
kekal dalam organisme tubuh.
Seperti sebuah rumah yang tidak lain hanyalah suatu nama abungan yang diberikan pada genting,
atap dan bagian-bagian lain yang berbeda : balok, Tanah liat, dinding, pintu, jendela, dan sebagainya,
sewaktu digabungkan bersama. Tetapi apabila bagian-bagian yang berbeda dari rumah ini dipisahkan,
yang tertinggal hanyalah rumah abstrak.
Bilamana pikiran dikotori oleh ide-ide mementingkan diri sendiri, kita hanya akan memiliki
pandangan-pandangan keliru tentang segala sesuatu; kita berpikir tentang tubuh saya, tubuh anda, pada
hal sesungguhnya tubuh itu sama sekali bukan milik anda atau saya. Tubuh itu milik alam semesta.
Faham mengenai milik pribadi atau kemelekatan semacam ini adalah akar dari semua ilusi dan
penderitaan; dan selama faham ini berada pada pikiran kita, kita tidak dapat berhadap untuk melihat
segala sesuatu sebagaimana adanya.
Tidak ada aku atau milikku yang sesungguhnya. Hal itu bagaikan nyala api yang dihasilkan oleh
gabungan gas-gas. Karena, nyala api itu tidak lain hanyalah sesuatu gejala yang terjadi akibat oksidasi
yang cepat. Apabila kita ingin menjalani sesuatu kehidupan yang sempurna, kita harus menghancurkan
pandangan ego yang mementingkan diri sendiri, yang menciptakan suatu rintangan antara diri kita dan
orang lain.
Ketidak langgengan, tidak nyatanya ego, penderitaan dan kekosongan adalah segi-segi pokok dari
agama Buddha.
Mengapa kelahiran kembali tidak diinginkan ? karena kelahiran kembali adalah pintu masuk dari
segala bentuk penderitaan, yaitu : usia tua, penyakit, kematian, kesedihan, ratap tangis, kesakitan, duka
cita dna putus asa. Kelahiran didahului oleh kematian, dan kematian didahului oleh kelahiran. Menurut
agama Buddha, kematian adalah akhir kehidupan psycho/jasmani, akan tetapi bukan kemusnahan total.
Dengan demikian kekuatan mental tetap tidak terganggu oleh kehancuran badan jasmani, dan berlalu
(mati) dari kesadaran sekarang menuju pada munculnya badan jasmani pada kelahiran lain. Sama seperti
sinar listrik yang merupakan perwujudan luar dari tenaga yang tidak terlihat. Bola lampunya mungkin
saja pecah dan sinarnya padam, tetapi arusnya listrik tetap ada dan sinarnya dapat diproduksi kemabali
dalam bola lampu lain. Disini, bola lampu dapat dibandingkan dengan sel orang tua dan tenaga listrik
dengan kekuatan mental (gambaran ini) disiarkan dari penerbitan “Budhisme” oleh R.V.Narada).
Apakah yang terjadi apabila seseorang meninggal dunia? Kekuatan nafsu keinginan orang yang
meninggal itu tetap tinggal seperti listrik yang tetap ada sebagai suatu kekuatan. Apakah kekuatan
selamanya adalah kekuatan. Kekuatan nafsu keinginan adalah kekuatan yang paling kuat di alam
semesta, dan pada saat kematian kekuatan itu harus mengikuti hukum konservasi (hukum pemeliharaan)
tanaga seperti semua kekuatan lain.
Menurut ilmu fisika, sekali suatu kekuatan dilepaskan, kekuatan itu akan terus berlanjut sebagai suatu
kekuatanm sampai bertemu dengan kekuatan yang berlawanan dan sama kuat untuk menetralkannya.
Hal yang sama berlaku juga pada kekuatan nafsu keinginan. Hanya bilamana seseorang dengan jalan
moralitas, konsentrasi dan kebijaksanaan dapat mengembangkan kekuatan tanpa nafsu keinginan yang
berlawanan dan sama kuat untuk menetralisir kekuatan nafsu keinginannya, maka barulah tidak akan
ada kelahiran kembali baginya (Penjelasan ini diberikan oleh Rev. Lokanatha dalam sebuah ceramahnya
di Universitas Rangon, 1951).
Contoh lain diberikan oleh Jinanda Nayaka Thera, dalam artikelnya yang berjudul “DOCTRINE OF
REASON” dan diterbitkan dalam “Buddhist World”, Sri Lanka, 14 April 1954; dimana ditulis.
“Proses kelahiran kembali dapat dibandingkan dengan pergantian bentuk sebuah gelombang dengan
gelombang lain di samudra. Meskipun isi sebuah gelombang tidak beralih ke gelombang lain, akan tetapi
gelombang yang belakangan seluruhnya tergantung pada keadaan gelombang menggambarkan apa yang
pada umumnya kita kenal dengan nama kehidupan”.