Professional Documents
Culture Documents
EPISTEMOLOGI SUFI
Perspektif Al-Hakim Al-Tirmidzi
M. Ainul Abied Shah1
1 M. Ainul Abied Shah, Jurusan Akidah dan Filsafat, Fak. Ushuluddin, Universitas Al-
Azhar, Kairo. E-mail : edo_elkiya@yahoo.co.uk
153
Pendahuluan
kepada Nabi Khidhr yang secara rutin datang mengunjunginya setiap hari
jum’at. Menulis dalam berbagai bidang ilmu, eksoteris dan esoteris, dan
hampir semua karyanya menjadi rujukan utama seperti Khatm al-Awliyā’
dalam bidang Tasawwuf dan Nawādir al-Ushūl dalam bidang hadis Nabi. Ia
juga menulis sebuah karya tafsir al-Qur’an yang belum selesai karena terburu
meninggal. Kelihatannya buku yang disebut terakhir ini bukan Tahshīl
Nazhā’ir al-Qur’ān yang membahas secara tematik berbagai istilah dalam
al-Qur’an.4 Masih banyak karya tokoh ini yang sudah diterbitkan, meski
tidak bisa dipaparkan secara mendetail dalam artikel ini.5 Karena alasan
yang sama, tulisan ini akan membahas secara singkat beberapa postulat
epistemologis sufi yang paling signifikan dalam pemikiran al-Hakim
4 Al-Mulla Nur al-Din `Abdu’lRahman b. Ahmad al-Jami, Nafah t al-Uns min Hadhr t
Al-Quds (Beirut: D r al-Kutub al-`Ilmīyah, 1424 H / 2003 M), juz I/ hlm. 176-178
5 Lebih jauh mengenai biografi tokoh kita ini, misalnya bisa dilihat: `Abdu’l Fattah
Barkah, Al-Hakim al-Tirmidz wa Nazhar yatuhū fî al-Wil yah (Kairo: Majma` al-Buhūts
al-Isl mīyah, 1971), juz I/ hlm. 27-61
6 Tetapi dialog yang bersifat abstrak ini bisa dipahami dengan baik, hanya saja oleh
si empunya semata, melalui apa yang disebut oleh para sufi dan ahli ‘irfan mutakhir
sebagai al-kasyf al-shūr dan al-kasyf al-ma`naw . Lebih jauh, lihat: Mulla `Abdu’lRahman
Jami, Naqd al-Nushūsh Syarh Naqsy al-Fushūsh, ed. William Chittick (Teheran: Mu’assasat
Muth la` t va Tahqīq t Farhangi, 1375 HS), hlm. 267
Hakim –sebagai seorang teoritikus filsafat sufistik yang berbasis etika dan
mujahadah– terletak dalam kapasitasnya sebagai buah langsung daripada laku
spiritual yang sangat berat, tak sekedar hasil dari pembelajaran teoritis semata.
Bahkan tokoh kita ini bersikeras bahwa Makrifat tidak bisa dipelajari, karena
sejatinya adalah anugerah yang diberikan kepada seorang sufi, terlepas dari
apakah anugerah itu didahului oleh laku spiritual fisik dan non-fisik (yang
sangat berat) ataupun tidak. Dengan bahasa lain, Makrifat tersebut bukan
akibat tak terhindarkan daripada sebuah proses laku spiritual dan rasional,12
berbeda dengan filsafat yang bisa dipersepsi setelah seseorang mempelajari
diktum-diktum rasional yang menjadi basisnya. Oleh sebab itu, intuisi
sufistik berkaitan erat, karena merupakan buah atau berbuah etika yang
mengejawantah dalam laku suluk seorang wali; sementara intuisi seorang
filsuf hanya akan berbuah teori semata, pengetahuan tanpa amal nyata!
Jadi, intuisi sufistik (dzawq) serupa tapi tak sama dengan intuisi filosofis
(hads), secara formal. Tetapi bagi para sufi, perbedaan yang ada sangat
substansial, karena produk intuisi sufistik adalah aksiomatik benar dan
wajib diamalkan oleh seorang salik, sementara produk intuisi filosofis tak
lebih dari dugaan yang bisa benar dan salah, termasuk dalam pandangan
sang filsuf itu sendiri.
12 Keharusan untuk berjalan paralel dengan orientasi syariat adalah conditio sine qua non
bagi seorang sufi; harus ada kesesuaian antara gerak ragawi, pikiran dan hati. Keharusan
ini tidak lazim dalam filsafat. Itulah yang dimaksud oleh tokoh kita ini dengan
pernyataannya bahwa vision sufistik didapatkan secara spiritual dan berkorelasi erat
dengan suluk. Bagi sebagian salik, suluk ini dilakukan terlebih dahulu sampai mencapai
tingkatan maksimal, baru dia akan mendapatkan vision (yang disebut oleh Al-Hakim
sebagai sufi yang mengikuti “Parameter Kejujuran” [Mi`y r al-Shidq]). Sementara itu, ada
pula sufi jenis lain yang mendapatkan vision tanpa didahului oleh suluk (yang disebutnya
sebagai sufi yang mengikuti “Parameter Anugerah” [Mi`y r al-Minnah]), tetapi yang jelas
–bagi tokoh kita ini– vision tersebut tetap harus diikuti oleh suluk; dalam makna bahwa
perbuatannya kemudian harus selaras dengan kewaliannya. Tidak boleh ada hakikat
yang kontradiktif dengan syariat dan akhlaq, sehingga seorang wali tetap bisa disebut
telah mendapatkan hidayah ketuhanan. Kalaupun dalam kapasitasnya sebagai manusia
dia pernah berbuat salah, maka dia akan menyesalinya dan bertaubat kepada Allah.
Lihat: Abu `Abdu’lLah Muhammad b. `Ali al-Hakim al-Tirmidzi, Kit b Khatm al-Awliy ’,
ed.`Utsman Yahya (Beirut: Al-Mathba`ah al-K thūlīkīyah, 1965), hlm. 402-403
adalah ‘nafsu’ dan ‘eros’. Dan setiap anak manusia berkewajiban untuk
melawan erosnya tersebut dengan meneladani Sang Rasul yang telah berhasil
menaklukkan eros yang menjadi syaitannya. Karena orang yang mengikuti
jalan Sang Rasul akan bertindak hati-hati demi menjaga agamanya, dengan
penuh keimanan, kejujuran dan menggunakan segala daya upayanya untuk
mengikuti kebenaran.13
Dengan bahasa lain, manusia bertugas untuk menundukkan erosnya
melalui pendadaran spiritual,14 karena meskipun eros tersebut dikuasai oleh
kegelapan tetapi di dalamnya juga terdapat potensi cahaya, sehingga dengan
memperkuat cahaya potensialnya itu ia akan menuntun nafsu ammārah-nya
menjadi nafsu lawwāmah. Dan kemudian, meskipun sudah dekat kepada
kebenaran, Nafsu Lawwāmah ini masih mempunyai potensi makar yang
licik. Ia baru akan tersucikan sepenuhnya setelah mentransformasikan dirinya
menjadi Nafsu Muthma’innah yang sudah dilepaskan dari cengkeraman
kegelapan sepenuhnya.15
Dari sisi ini, al-Hakim berbeda dengan aliran Malāmatīyah yang terlalu
ekstrem menjelekkan eros manusia hingga seakan tak berguna sama sekali;
karena dalam pandangannya, eros masih bisa berguna asalkan dikuasai dan
didominasi oleh unsur kebaikan.16 Dalam hal ini, ia menegaskan:
“Eros itu adalah nama generik, esensi dari sebagian daripadanya lebih
baik dari sebagian yang lain, sebagian lebih hedonistik, lebih gelap
dan jahat dari yang lain, yaitu Eros Lawwāmah. Eros itu akan menjadi
baik berkat cahaya Islam yang nyata, dari kotoran yang menempel di
bagian luarnya. Dan kebaikannya akan terus bertambah melalui proses
pendadaran diri yang sungguh-sungguh (jujur dan tulus), juga apabila
bersamaan dengan datangnya perkenan Allah. Karena itu Rasulullah.
bersabda: ‘Kami berlindung kepada Allah dari keburukan-keburukan
eros kami’.”17
Sementara itu, ruh bagi ahli hikmah ini adalah ‘nyawa’ yang
menghidupkan segala sesuatu. Eros manusia hidup karena ada ruhnya,
demikian juga dengan hati yang dihidupkan dengan keislaman, keimanan
dan Makrifat. Bagi beliau, ruh ini berbeda dengan jiwa (eros), karena
yang disebut terakhir ini bersifat duniawi dan membumi, sedangkan ruh
adalah samawi dan merupakan ‘unsur’ ketuhanan yang ada dalam diri
manusia.19
Meskipun jiwa dan nyawa mempunyai peran yang saling berkelindan
dalam menghidupkan tubuh dan menggerakkan seluruh bagiannya,
tetapi kehidupan yang ditopang oleh jiwa dan nyawa itu berbeda. Ruh
bekerjasama dengan hati kita yang mengajak untuk berbuat kebaikan,
sedangkan eros mengajak kita untuk memenuhi kebutuhan hedonistik kita.
Dengan terpenuhinya kedua kebutuhan itu manusia hidup, dan dengan
keseimbangan kedua kebutuhan itulah hidup manusia menjadi seimbang
pula.20
Menurut Al-Hakim, ruh ini mempunyai dua hal (state) yang menarik
dan saling bertentangan. Kalau ruh seorang manusia dikuasai oleh nafsu
hedonistiknya, ruh itu akan menjadi berat dan selalu cenderung terhadap
kepentingan-kepentingan yang membumi, karena tertarik oleh daya gravitasi
hawa nafsu yang kuat. Sementara kalau ruh itu bekerja keras menentang
upaya akuisisi yang dilakukan oleh nafsunya, dia akan menjadi jernih dan
ringan, hingga bisa dengan mudah berhubungan dengan Dzat Ilahi dan
unsur-unsur transendental lainnya. Ruh itu akan dengan mudah mengenali
sesamanya, seperti ‘Umar b. Al-Khaththab yang dengan mudah mengenali
Abu Muslim Al-Khullani dalam sekejap pandang, juga Salman al-Farisi
yang mengenal al-Harits b. `Amirah, juga Uwais al-Qarni yang langsung
mengenal Haram b. Al-Hayyan dan menyatakan: “Ruh-ku sudah mengenal
ruh-mu sebelum kita saling bertemu”.21
Sebagaimana telah disinggung di atas, kalaulah ruh kita sudah
terbebaskan dari kungkungan eros duniawi, maka ruh itu akan mampu
mendeteksi keindahan transendental secara visional, dan selanjutnya tugas
akal rasional untuk mempersepsinya. Sebaliknya, kalau pandangan ruh itu
tertutup oleh hawa nafsunya, maka akalnya pun akan ikut menjadi buta
kehilangan cahaya.
Menurut al-Hakim, Ruh yang sudah suci dan tersucikan ini ada
beberapa macam. Di antaranya ruh yang mempunyai kemampuan untuk
beranjangsana ke alam barzakh hingga mampu melihat realitas dunia dan
mendengarkan pembicaraan para malaikat yang membincang keadaan umat
manusia. Ada juga ruh yang berkesempatan bersujud di bawah Singgasana
(`Arsy) Allah. Di sisi lain, ada pula ruh yang setelah kematian jasadnya
berkesempatan untuk beranjangsana ke surga dan menikmati keindahannya,
sesuai dengan amal perbuatannya di dunia.
Dan jelas sekali, pandangan ini bertolak dari beberapa hadis nabi seperti
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa rasulullah bersabda: “Saya
melihat Ja`far b. Abi halib sedang terbang di surga dengan dua sayapnya
bersama para malaikat”.22
Sedangkan yang pertama, kita mendapatkan al-Hakim meriwayatkan
bahwa sahabat agung Salman al-Farisi telah berkata: “Bahwasanya ruh seorang
yang beriman bisa masuk ke alam barzakh dan pergi antara langit dan bumi,
sampai Allah mengembalikannya ke tubuhnya sendiri . . .”.23
Al-Hakim juga meriwayatkan dari Abu Darda’, bahwasanya dia berkata:
“Sesungguhnya jiwa-jiwa manusia naik ke hadirat Allah di saat tidur. Jiwa
yang suci akan bersujud tepat di bawah Singgasana-Nya; jiwa yang tidak suci
akan bersujud di tempat yang jauh dan semakin menjauh. Sedangkan jiwa
yang junub (terkena hadas spiritual yang besar) tidak akan diperkenankan
untuk bersujud”. Kemudian ia menjelaskan lagi: kalaulah dengan kesucian
karena air wudu seseorang bisa bersujud di bawah Singgasana-Nya, lalu
bagaimana pula dengan orang yang mensucikan (diri dan ruhnya) dengan
cahaya-cahaya Allah yang selalu menghampiri hatinya lalu menyebar ke
seluruh tubuhnya. Sungguh sujud orang yang disebut terakhir ini sangat
besar nilainya dalam pandangan Allah!”24
Kelihatannya statemen inilah yang membuat Ibn `Arabi bersenandung:
25 Bait-bait puisi ini dinisbahkan oleh Imam Sya’rani kepada Ibn `Arabi dalam al-
Futūhat al-Makk yah dan diterjemahkan sesuai dengan penjelasan Ibn `Ajibah dalam
q zh al-Himam Syarh Al-Hikam. Sementara itu, Syaikh `Abdul `Aziz al-Ghumari
menisbahkannya kepada al-Junayd al-Baghdadi dan membuat sebuah treaties komentar
terhadapnya yang diberi judul Kasyf al-Rayb `an Aby t al-Junayd Tawadhdha’ bi M ’i’l
Ghayb, sebuah manuskrip yang ada dalam koleksi penulis artikel ini. Lihat lebih jauh:
Syaikh Ahmad b. Muhammad b. `Ajībah Al-Hasanī, q zh al-Himam Syarh al-Hikam,
ed. Abu Sahl Naj h `Aww dh Shiy m (Kairo: Al-Muqaththam, 2010), hlm. 56-59
26 Al-Tirmidzi, Naw d r al-Ushūl min Ah dits, juz IV / hlm. 166-167
27 Al-Tirmidzi Naw d r al-Ushūl min Ah dits, juz III / hlm. 251
Lebihjauh
Lebih jauhlagi,
lagi,al-Hakim
al-Hakimmenjelaskan
menjelaskan bahwa
bahwa AllahAllah
telahtelah menciptakan
menciptakan akal
akal cahaya
dari dari cahaya kewibawaan-Nya,
kewibawaan-Nya, dan dilihat
dan dilihat dari partikel
dari partikel penyusunpenyusun
katanya,katanya,
terdiri
terdiri
dari tigadari tiga`ayn
huruf: huruf:
(), `ayn
qāf ()( عdan
), qāflām( ().) dan lām ( ).terhadap
Perunutan Perunutan maknaterhadap
ketiga
makna ketiga
partikel tersebutpartikel tersebutkapasitas
menunjukkan menunjukkan kapasitas akal
dan kedudukan dan kedudukan
dalam perspektif akal
dalam ini.
tokoh perspektif
Karena tokohhuruf `Aynini. Karena
mempunyai hurufsignifi
`Aynkansi mempunyai
keagungansignifi kansi
(),
kemuliaan () اﻣﻌﻆﻪﺔ, kemuliaan
keagungan(), ( ) اﻣﻌﺰ, ketinggian
ketinggian (), ( ) اﻣﻌﻠﻮ, ilmu
ilmu pengetahuan pengetahuan
() dan anugerah( ) اﻣﻌﲅ
dan anugerah
(). ( ) اﻣﻌﻃا. Sedangkan
Sedangkan huruf Qāf menunjukkan
huruf Qāf menunjukkan makna kedekatan makna kedekatan
(),
( ) اﻣﻜﺮﺔ, petuah
petuah (), ( اﻣﻜﻮ ), ketenangan
ketenangan (),( ) اﻣﻜﺮا,otoritas ( ) اﻣﻜﻮاdan
otoritas() dan kemampuan
kemampuan(
) اﻣﻜﺪ. Adapun
(). hurufhuruf
Adapun menunjukkan
Lām Lām menunjukkan arti kelemahlembutan
arti kelemahlembutan ( )(ﻟﻠﻃﻗ,
) ا, yang
selanjutnya
yang diambil
selanjutnya diambil dari kasih-sayang.
dari kasih-sayang.Kasih Kasih sayang ( ) اﻣﺮ ﺔiniinidari
sayang() dariempati
empati
() اﻣﻌﻃﻗ, empati
(), empati daridari belas-kasih () اﻣ ﻙﻜﺔ, belas
belas-kasih(), belas kasih
kasih dari ( ) اﻣ ﻮ,
kerinduan(),
dari kerinduan
dan akhirnya
dan akhirnyakerinduan
kerinduan daridari
cintacinta ( اKata
(). ). Kata
cinta cinta
() ( mengandung
) اmengandung dua
dua huruf
huruf yang menjadi
yang menjadi partikelpartikel
penyusunnya, penyusunnya,
yaitu huruf yaitu
Hā’ () huruf
yangHā’ menandakan
( ) yang
makna
menandakan kehidupanmakna(), rasa malu
kehidupan ( )( ﻴﺎ,
) ا, rasa malu () ا ﻴﺎء,
stabilitas mental ()
stabilitas mentaldan
ﲅ ا
kebijaksanaan (), serta
( ) dan kebijaksanaan ( ﳬﺔhuruf
) ا, serta
Bâ’ () yangBā’
huruf menunjukkan makna karunia
( ) yang menunjukkan
()
maknadan ( ) اﻣﱪdan
keindahan
karunia keindahan ( ) اﻥﳢﺎء. 28
(
Menurut penelisikan rahasia metafisik yang dilakukan oleh al-Hakim,
dengan huruf Hā’ yang berarti kehidupan Allah telah menghidupkan tubuh
manusia; dengan huruf Hā’ yang terdapat dalam kata cinta, Allah telah
menghidupkan hati seorang manusia hingga bisa mengenal-Nya. Sementara
dengan huru Ba’ yang berarti ‘Karunia’ Allah telah menganugerahkan kepada
manusia berbagai kenikmatan dunia, sedangkan dengan huruf Ba’ yang
berarti ‘Keindahan’ Allah telah membanggakan outer dan inner beauty yang
terdapat dalam diri manusia di hadapan para malaikat-Nya.
Dan akal itu sejatinya hanya satu, tapi maqam-nya bertingkat-tingkat,
begitu juga jangkauan kekuatan dan kekuasaannya berbeda-beda. Ada yang
tinggi, ada yang rendah. Begitu juga ada yang kurang ada yang banyak
potensinya; ada yang luas ada yang sempit kekuasaannya. Dan Akal manusia
juga ada yang mandiri; hanya mendapatkan kekuatannya dari unsur intrinsik
yang dikaruniakan Allah di dalam dirinya, dan ada pula yang mendapatkan
kekuatan tambahan dari cahaya Allah. Karena itu, al-Hakim menegaskan:
“Anda hampir-hampir tidak mendapatkan dua orang berakal yang betul-
betul sama kemampuan dan cahaya akalnya. Kita akan selalu mendapatkan
keduanya berbeda karena yang satu diberi kelebihan di atas yang lain. Apatah
lagi orang yang memang diberi kekhususan oleh Allah untuk mendapatkan
28 Al-Tirmidzi, Al-A’dh ’ wa al-Nafs, mss. lembar 123 B, dikutip dari: `Abdu’lLah, Al-
Hak m al-Tirmidz , hlm. 350-351
makar dan kelicikan, organ paru-paru yang menjadi pusat reaksi syahwat
dan organ jantung yang menjadi pusat reaksi kegembiraan.38
Sementara itu dimensi kedua, yaitu dimensi rasional, bisa diklasifikasikan
menjadi dua bagian, yaitu akal fitrah yang bertugas untuk mempertimbangkan
segala-sesuatu melalui unsur kedua dan ketiga dari dimensi pertama yang
disebut di atas. Bagian kedua adalah akal hidayah dan keimanan yang
bertugas untuk membuat kecenderungan kebaikan dalam diri manusia
lebih dominan dari inklinasi keburukan/kejahatan.39
Adapun dengan dimensi ketiga menurut al-Hakim sangat terkait erat
dengan konsep Cahaya Ilahi yang disimpulkannya dari firmanNya : “Allah
adalah cahaya langit dan bumi . . .” ( Q 24:35). Jadi menurut beliau, semua
cahaya yang kita lihat di dunia ini –seperti cahaya matahari, bulan dan
lain-lain– adalah bagian dari Cahaya Ilahi tersebut. Dan dari semua cahaya
ilahi yang ada di dunia, cahaya Makrifat-lah yang paling agung dan mulia,
dan sebagaimana disinggung sebelumnya, bahwa locus Makrifat ada di
hati. Baginya, cahaya hati ini adalah cahaya Makrifat yang bersumber dari
Ketunggalan Tuhan yang mutlak, yakni ketunggalan yang tidak bersifat
dan disifati juga tak berpredikat apapun, dan oleh karena itu cahaya itu
memancar ke seluruh alam semesta dan alam malakut; menjadi sumber
segala cahaya. Atau dengan bahasa lain: Cahaya atas segala cahaya.
Selanjutnya bahwa derajat Makrifat yang dicapai seseorang tergantung
pada kemampuannya untuk menyerap Cahaya di atas segala cahaya tersebut.
Untuk itu ada dua jalan yang bisa dilakukannya. Yang pertama adalah jalan
penyaksian (musyāhadah) secara batin, di saat hati kita melakukan analisis
terhadap cahaya tersebut dan mencoba menyerapnya sebanyak mungkin
dengan jalan kontemplasi untuk menyingkap rahasia-rahasia yang tersimpan
di dalamnya. Sedangkan jalan kedua adalah berkontemplasi atas fenomena-
fenomena yang disinari oleh cahaya Makrifat tersebut dalam realitas, di
saat hati kita menganalisisnya dengan bantuan cahaya rasio yang menyinari
dada dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Dengan jalan kedua ini,
seorang sufi akan bisa menyaksikan dan kemudian mengenali dirinya sendiri
serta mempersepsi makna-makna generik yang bersifat sejati di dalam
diri itu hingga kemudian mengantarkannya untuk mengenal Tuhannya,
dengan catatan bahwa hatinya yang tadinya bersifat ‘netral’ tetap terjaga
kejernihannya dan tidak dikotori oleh hawa nafsunya.
38 Lihat elaborasinya lebih jauh dalam: `Abdu’lLah, Al-Hak m al-Tirmidz wa Ittij h tuhū
al-Dzawq yah, hlm. 417-424
39 `Abdu’lLah, Al-Hak m al-Tirmidz wa Ittij h tuhū al-Dzawq yah, hlm. 431
bermanfaat, sedangkan yang kedua adalah ilmu yang ada di mulut dan itu
adalah ilmu yang akan dituntut pertanggungjawabannya oleh Allah dari
para hamba-Nya”.43
Al-Hakim menjelaskan pula bahwa ilmu yang ada dalam hati berguna
karena sudah dilihat kebenarannya dan bertengger dengan stabil di dalam
hati orang tersebut sehingga bisa digunakannya untuk mengarahkan orientasi
hidupnya untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan kejahatan serta
keburukan. Sedangkan ilmu yang hanya ada di mulut (wicara/wacana) adalah
ilmu yang sekedar dipersepsi oleh akal orang tersebut kemudian tersimpan
begitu saja dalam data memorinya tanpa menjalakan fungsi apa-apa. Ilmu
ini didapatkannya dari orang lain atau dari bacaannya terhadap teks-teks
kitab suci. Ini berbeda dengan ilmu pertama yang memberikan keyakinan
dan memperlihatkan kepadanya hakikat segala sesuatu, hingga bisa beribadah
kepada Allah dengan penuh kesadaran dan berlandaskan di atas pengetahuan
yang paripurna. Dan itulah yang sejatinya dimaksudkan dalam firman Allah:
“Adapun orang yang takut kepada Allah di antara para hamba-Nya adalah para
ulama (=orang-orang yang mempunyai ilmu esoteris)”.44 (Q 35:27)
Bertolak dari pandangan tokoh ini, para sufi kemudian menggariskan
bahwa ilmu yang bermanfaat adalah ilmu Makrifat Allah, yakni mengenai
Dzat-Nya, Sifat-sifat-Nya dan Nama-nama-Nya, juga ilmu tentang tatacara
beribadah yang benar kepadanya dan menjaga etika di hadapan-Nya. Inilah
ilmu yang apabila memenuhi dada seorang hamba akan menghilangkan
segala bentuk keraguan dari dalam hatinya. Ada juga yang menyatakan
bahwa Ilmu yang berguna itu adalah ilmu yang mengajari seseorang akan
hakikat dirinya pada saat itu, yaitu ilmu yang menjernihkan hatinya dan
mengajaknya untuk bersikap eskatik dalam kehidupan dunia. Ilmu ini
mengajarkannya tentang penyakit-penyakit hati hingga membuatnya takut
kepada Allah dan selanjutnya akan mendekatkannya kepada surga dan
menjauhkannya dari siksaan api neraka.45
43 HR. Al-Darimi dan Ibn Abi Syaybah. Kualitas hadisnya antara ‘hasan’ dan ‘shahih’.
Lihat: Abu Muhammad `Abdu’lLah b. `Abdu’lRahman b. Al-Fadhl b. Bahram b.
`Abdu’lShamad Al-Darimi, Sunan Al-D rim , ed. Hussayn Salim Asad Al-Darani
(Saudi Arabia: D r al-Mughnī, 1412 H / 2000 M), juz I / hlm. 373; dan Abu Bakr b.
Abi Syaybah, Kit b al-Mushannaf f Al-Ah d ts wa Al- ts r, ed. Kamal Yusuf Al-Hut
(Riy dh: Maktabah Al-Rusyd, 1409 H), juz VII / hlm. 82
44 Lihat lebih jauh: Abu `Abdu’lLah Muhammad b. `Ali al-Hakim al-Tirmidzi, Al-Amts l
min al-Kit b wa al-Sunnah, ed. `Ali Muhammad al-Bajawi, (Kairo: D r Nahdhah Mishr,
1977), hlm. 216-217
45 Ibn `Imad al-Naffari, Ghayts Al-Maw hib Al-`Al yah, ed. Abdu’lHalim Mahmud dan
Mahmud b. Al-Syarif , (Kairo: D r Al-Kutub al-Hadītsah, 1970) juz II / hlm. 125
Suluk adalah proses yang dilakukan oleh seorang sufi dalam upayanya
mencapai Allah. Karena semua sufi membayangkan akan adanya sebuah
jalan yang akan mengantarkannya kepada tujuan tersebut; jalan ini dimulai
dengan pendadaran diri secara eskatik dan etik, lalu memasuki berbagai
tahapan yang disebut sebagai maqāmāt dan ahwal, hingga kemudian
mencapai makrifat.
Adalah menarik bahwa dalam filsafat sufi menurut tokoh ini didapat-
kan adanya tiga prinsip utama dalam suluk; tiga dimensi yang selalu
membayangi, memberikan orientasi dan menentukan hasil akhir dari proses
suluk tersebut. Ketiganya adalah ide tentang hak, hakikat dan kebenaran,
ide tentang keadilan dan kredibilitas serta, ide tentang kejujuran.
Itulah yang ditegaskannya dalam buku Al-Akyās wa Al-Mughtarrīn:
“Kita mendapatkan agama Allah ini dibangun di atas tiga pilar: al-haqq,
al-`adl dan al-shidq. Yang pertama menggunakan anggota badan luar sebagai
instrumennya, sedangkan yang kedua terdapat di dalam hati, adapun yang
ketiga terdapat di dalam akal rasio. Kemudian pada Hari Perhitungan nanti
48 Lebih jauh, lihat: `Abdu’lLah, Al-Hak m al-Tirmidz , hlm. 233-237
53 Abu `Abdu’lLah Muhammad b. `Ali al-Hakim al-Tirmidzi, Ma`rifat al-Asr r, ed. Dr.
Muhammad Ibrahim al-Juyusyi (Kairo: D r al-Nahdhah al-`Arabīyah, 1977) hlm.
56-58 dan 70
54 al-Tirmidzi, Ma`rifat al-Asr r, hlm. 56
Kesimpulan
55 Ada beberapa penafsiran tentang makna “Khatmul Awliy ’” ini, dan tokoh kita ini
banyak dikenal sebagai orang pertama yang mencetuskannya. Bagi al-Hakim al-
Tirmidzi, khatmul Awliy ’ adalah sebuah kedudukan tertinggi dimana seorang wali
sudah menginternalisasikan semua Nama-Nama Allah secara utuh dan penuh, hingga
memasuki dunia batin yang tak terputus di dalamnya semua parameter sifat. Yakni
‘maqam’ yang tak berbentuk dan tak tergambarkan lagi, tepatnya maqam transendental!
Dan meskipun al-Hakim al-Tirmidzi hanya menyinggung adanya satu orang yang
mencapai kedudukan puncak tersebut di dalam lingkaran para wali yang ada di bawah
lingkaran para nabi, tetapi itu tidak menutup kemungkinan adanya beberapa orang
lain yang bisa mencapainya, meskipun di waktu dan era yang berbeda. Lihat: ` Barkah,
Al-Hak m Al-Tirmidz , juz II / hlm. 372-373 dan 377-379
56 Muhammad Parsa, Al-Ris lah al-Quds yah, mss. di Perpustakaan Al-Kurdiyah, Kairo,
hlm. 32
DAFTAR RUJUKAN