Professional Documents
Culture Documents
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
LAPORAN KASUS
JULI 2018
STROKE HEMORAGIK
Disusun oleh :
Bahy Heku Mure Agustinus (1408010061)
Pembimbing :
dr. Candida Isabel Sp.S
dr. Tersila A.D Dedang, M.Biomed, Sp.S
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
kasih dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus pada
Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Saraf dengan judul “Stroke Hemoragik” tepat
waktu. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada sejumlah pihak yang
1. dr. Candida Isabel, Sp.S dan dr. Tersila A.D Dedang, M.Biomed, Sp.S
referat ini.
informasi.
bagi kami sehingga penulisan referat ini boleh berjalan dengan lancar.
Demikian referat ini disusun, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya. Penulisan referat ini masih jauh dari kata sempurna,
untuk itu segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
Penulis
HALAMAN PENGESAHAN
Pembimbing Klinik
Ditetapkan : Maumere
Tanggal : Juli 2018
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................. 1
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................74
DAFTAR PUSTAKA................................................................................77
1
BAB 1
PENDAHULUAN
Otak merupakan organ tubuh yang berfungsi mengendalikan berbagai fungsi tubuh yaitu
mengontrol gerakan tubuh, menyimpan memori, sumber pikiran, emosi serta bahasa. Untuk
dapat bekerja dengan baik, otak memerlukan 20% oksigen yang ada dalam tubuh. Pembuluh
arteri merupakan pembuluh darah yang mengantar oksigen ke seluruh tubuh termasuk ke otak.
Jika terjadi sumbatan ataupun keadaan yang menyebabkan rapuhnya pembuluh darah maka
akan menghambat aliran darah menuju ke otak. Apabila aliran darah ke otak terganggu akan
mengakibatkan sel-sel otak akan rusak dan mati dalam beberapa menit akibat asupan oksigen
Menurut WHO (World Health Organization) stroke merupakan sindroma klinis berupa
tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global,
dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau
gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di
Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala
Berdasarkan etiologinya stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke non- hemoragik dan
stroke hemoragik. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan
subarakhnoid. Perdarahan intraserebral terhitung 10-15% dari seluruh stroke dan memiliki
tingkat mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan infark cerebral. Literatur lainnya
retrospektif terbaru menemukan bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke adalah stroke hemoragik.
Stroke adalah penyebab kematian dan diasbilitas utama. Stroke menempati urutan ketiga
penyebab utama kematian dan urutan pertama penyebab diasbilitas. Morbiditas yang lebih
parah dan mortalitas yang lebih tinggi terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat akibat
gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau
lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke
2.2 Epidemiologi
0,2% dari populasi barat terkena stroke setiap tahunnya yang sepertiganya akan meninggal
pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan hidup dengan kekacauan, dan sepertiga
sisanya dapat sembuh kembali seperti semula. Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke
sebagai penyebab kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta) dari total kematian per tahunnya (4).
Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 pertahunnya dimana 10-
morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya
sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu ada
sekitar 40-80% akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50%
4
stroke, ada 47%wanita dan 53% laki-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%) berumur lebih
dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki
Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling berhubungan, sangat
khusus dan kompleks. Sistem saraf ini mengkoordinasikan, mengatur dan mengendalikan
interaksi antara seorang individu dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu juga, sistem saraf
ini penting untuk mengatur aktivitas sebagian besar bagian tubuh lainnya. Oleh karena itu
tubuh mampu berfungsi sebagai satu kesatuan yang harmonis karena pengaturan hubungan
saraf diantara berbagai sistem. Fenomena mengenai kesadaran, daya pikir, daya ingat, bahasa,
sensasi dan gerakan semuanya berasal dari sistem saraf. Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf
yang disebut neuron dan neuroglia atau sel penyokong. Neuron berfungsi menerima masukan
sensoris atau aferen dari ujung-ujung saraf perifer khusus atau dari organ sensorik dan
menyalurkan masukan motorik atau masukan eferen ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar yaitu
organ-organ efektor. Neuroglia berfungsi untuk menyokong, melindungi dan sebagai sumber
nutrisi bagi neuron-neuron di otak dan medula spinalis. Jika diluar sistem saraf pusat sel
Sistem saraf dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi yang
a. Otak
Otak diselimuti oleh selaput otak yang disebut selaput meningens. Selaput meninges
Lapisan durameter yaitu lapisan yang terdapat di paling luar dari otak dan bersifat
tidak kenyal. Lapisan ini melekat langsung dengan tulang tengkorak. Berfungsi untuk
melindungi jaringan-jaringan yang halus dari otak dan medula spinalis. Lapisan
duramater terbagi atas 2 lapisan yaitu stratum atau lamina endostealis yang melekat
erat pada periosteum tulang-tulang yang membentuk cavum cranii sampai dengan
foramen occipitalis magnum dan stratum atau lamina meningealis merupakan lapisan
dalam yang berada diantara duramater lamina endostealis dan arachnoidea. Diantara
duramater lamina endostealis dan lamina meningealis terdapat ruang potensial yaitu
spatium epidural yang berisis arteri dan vena meningea dan cabang-cabang N.V.
Lapisan araknoid yaitu lapisan yang berada dibagian tengah, merupakan membran
avaskular tipis dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater
dan terdiri dari lapisan yang berbentuk jaring laba-laba. Terdiri dari dua bagian yaitu
trabecula arachnoidea yang merupakan juluran- juluran jaringan ikat menuju piamater
dan membentuk spatium subaracnoideum yang memiliki cairan yang disebut cairan
serebrospinal. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi otak dan medulla spinalis dari
guncangan.
Lapisan piameter yaitu lapisan yang terdapat paling dalam dari otak dan melekat
langsung pada otak. Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang
diencephalon, truncus cerebri dan medulla spinalis dan ikut masuk pada sulcus atau
fissura. Berdasarkan susunan anatominya otak dibagi menjadi tiga bagian yaitu:(3,5)
Klaustrum
Amigdala
2. Diensefalon
7
Epitalamus
Talamus
Subtalamus
Hipotalamus
b. Medula Spinalis
Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari
medula oblongata melalui foramen magnum dan terus kebawah melalui kolumna vertebra
lumbalis pertama (L1) orang dewasa. Medula spinalis dibagi menjadi 3 segmen yang menjadi
tempat asal dari 31 pasang saraf spinal. Segmen segmen tersebut diberi nama sesuai dengan
tempat keluarnya radiks saraf yang bersangkutan, sehingga medula spinalis dibagi menjadi
Saraf tepi atau perifer terdiri dari neuron-neuron yang menerima pesan-pesan
neural sensorik aferen yang menuju ke SSP atau menerima pesan-pesan neural motorik
(eferen) dari SSP, atau keduanya.Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31
pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial dan secara fungsional dibagi menjadi
nervus servikalis (C1 berada diantara os. Oksipital dan atlas), 12 pasang nervus
Saraf kranialis berasal dari permukaan otak. Lima pasang merupakan saraf
motorik (III, IV, VI, XI, XII), tiga pasang saraf sensorik (I, II, VIII) dan empat
c. Saraf Somatosensoris
Sistem saraf somatis terdiri dari saraf campuran dan menangani respon
yang disadari maupun informasi sensorik yang tidak disadari dari kepala, dinding
tubuh dan ekstremitas. Saraf eferen tertutama berhubungan dengan otot rangka
tubuh.
d. Saraf Otonom
makanan, rasa lapar, mual, pembuangan dan sebagainya). Saraf eferen motorik
viseral. Sistem saraf autonom terutama menangani pengaturan fungsi viseral dan
dan pernapasan, serta penurunan aktivitas saluran cerna. Tujuan utama sistem
saraf simpatis adalah mempersiapkan tubuh agar siap menghadapi stres atau
saraf kranial dan bagian sakral yang fungsinya berbanding terbalik dengan
11
fungsi-fungsi tubuh.
SSP seperti juga jaringan tubuh lainnya sangat bergantung pada aliran darah yang
memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa metabolismenya. Suplai darah arteria ke
berhubungan erat satu dengan yang lainnya sehingga dapat menjamin suplai darah yang
adekuat untuk sel. Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteria, yaitu arteria vertebralis
willisi.
Korteks serebri telah diketahui mempunyai fungsi yang spesifik atau yang sering
disebut area fungsional korteks serebri. Pada tahun 1909 Broadmann membagi korteks
serebri menjadi 47 area berdasarkan struktur selular. Korteks serebri dianggap mempunyai
area primer dan area asosiasi untuk berbagai fungsi. Area primer adalah daerah di mana
terjadi persepsi atau gerakan. Area asosiasi diperlukan untuk integrasi dan peningkatan
perilaku dan intelektual. Pembahasan berikut ini membicarakan fungsi utama korteks
Korteks frontalis merupakan daerah atau area motorik primer yaitu area 4 broadman
yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar. Area motorik primer ini terletak
disepanjang girus prasentralis dan tersusun secara somatotopik. Suatu lesi di area 4
atas gerakan terlatih seperti menuli, mengemudi atau mengetik. Lesi area 6 pada sisi
dominan dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan menulis, keadaan ini disebut agrafia.
Peran utama korteks parietalis adalah kegiatan pemrosesan dan integrasi informasi
sensorik yang lebih tinggi tingkatnya. Area somestetik primer (area 1-3) terletak pada girus
postsentralis, paralel terhadap korteks motorik, dan letaknya disebelah posterior dari sulkul
sentralis. Sensasi dari semua bagian tubuh diterima oleh korteks sensoris primer dan
disinilah menggapai kesadaran. Sensasi umum ini mencakup antara lain nyeri, suhu, raba,
tekan dan proprioseptif. Diskriminasi halus dari berbagai aspek sensorik halus dan berbagai
aspek sensoris halus lain diciptakan oleh korteks sensoris primer. Lesi di area ini
Korteks pendengaran primer (area 41 dan 42) berfungsi sebagai penerima suara sedangkan
korteks asosiasi pendengaran utama area 22 dikenal Wernicke yang penting untuk
memahami bahasa ucap dan lesi pada daerah ini dapat mengalami penurunan hebat
kemampuan mengerti dan memahami suatu bahasa serta sulit mengulang kata-kata atau
informasi pengelihatan dan menyadari sensasi warna. Area ini dikelilingi oleh korteks
asosiasi 18, 19 dan area 39. Jadi jika kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan
utama pada medula spinalis. Traktus-traktus ini terutama berperan dalam proses
pengaturan gerakan tangkas ekstremitas. Fungsi lain yang penting dari neuron motorik atas
mempermudah atau menghambat neuron motorik alfa dan gamma. Neuron motorik atas
traktus kortikospinalis berasal dari area 4 korteks motorik primer, area 6 korteks
premotorik dan berbagai bagian lobus parietalis. Dari sini serabut-serabut berjalan
menurun melalui kapsula interna untuk bersinaps dengan neuron internunsial pada
berbagai tingkat medula spinalis yang kemudian bersinaps dengan neuron dalam
substansia grisea kornu ventralis. Namun, beberapa serabut dapat saja langsung bersinaps
dengan neuron motorik bawah. Adalah benar pula bahwa tidak semua serabut ini akan
berjalan turun menuju medula spinalis, karena beberapa diantaranya bersinaps dengan
Sekitar 85% dari serabut desenden bersilangan dalam medula oblongata kemudian
turun ke medula spinalis sisi yang berlawanan sebagai traktus kortikospinalis lateralis.
15
Serabut-serabut sisanya 15% tidak menyilang dan berjalan turun pada sisi medula spinalis
yang sama sebagai traktus kortikospinalis ventralis. Serabut-serabut ini akhirnya akan
menyilang garis tengah pada kolumna ventralis grisea segmen-segmen medula spinalis
(biasanya pada daerah servikal dan torakal atas). Lesi pada traktus kortikospinalis akan
berperan pada 15-20% stroe klinis, menurut istilah yang lebih luas. Mesipun sakit kepala dan
gangguan kesadaran lebih sering terjadi pada perdarahan intrakranial daripada infark serebri,
kriteria klinis saja tidak dapat membedakan stroke perdarahan dengan stroke iskemik secara
A. Perdarahan Intraserebral
tekanan darah patologis merusak dinding pembuluh darah arteri yang kecil, menyebabkan
microaneurisme (aneurisme Charcot) yang dapat ruptru spontan. Lokasi predileksi untuk
perdarah intraserebral hipertensif adalah ganglia basalis,talamus, nukleus serebeli dan pons.
Perdarahan intraserebral kemungkinan disebabkan oleh sesuatu selain hipertensi atrerial bila
tidak terdapat di salah satu lokasi predileksi untuk perdarahan hipertensif atau pasien tidak
B. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena
cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai
stroke.Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika
perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh.
Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah
arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding
arteri itu(6).
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat
kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana
tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah
Ada beberapa jenis aneurisme salah satunya aneurisme sakular (berry) ditemukan
pada titik bifurcatio arteri intracranial. Aneurisme ini terbentuk pada lesi dinding pembuluh
darah yang sebelumnya telah ada, baik kerusakan struktural (biasanya kongenital), maupun
cedera akibat hipertensi. Lokasi tersering aneurisme sakular adalah arteri comunicans anterior
(40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis
interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior, 30%) dan
basilar tip (10%). Aneurisme dapat menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur
disekitarnya sebelum ruptur. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterir dapat
menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami
diplopia)(5).
Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari pecahnya
koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak.
Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran, tetapi biasanya hanya
17
diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup
jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan
menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah(6).
waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh
menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas
(stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh
sekitarnya(7).
yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi
yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut(7).
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan
otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus
lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia,
gangguan bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, dan apraksia(7).
kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior
dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan
bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem
limbik(7).
18
dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori.
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang
disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia
basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan
terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akan
otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan
infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan
(traktus piramidal).
Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah
spinotalamikus).
Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan
persarafan simpatis).
Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah (saraf
hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf
tetap dipertahankan).
Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke hemoragik dijelaskan
Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.
Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada
mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk
Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini
berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko
Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki
usia 65.
Riwayat keluarga Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga
Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes
besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal
Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih
dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang
risiko stroke untuk segala usia dan kedua jenis kelamin, tingkat
dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh
tingkat fibrinogen trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,
dan kelainan seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S dan
bawah 55 tahun..
Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke
masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor
risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme
Kegemukan :
22
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas
adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30%
otak berikutnya.
Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan perdarahan
intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke iskemik, hipertensi
biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada stroke
hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan
tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel(2).
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika
belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan,
terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat,
sebuah sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan
memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi
batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea,
dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain:
ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis,
hemisensori atau kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang
A. Perdarahan Intraserebral
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada
orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan
kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu
sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu
atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual,
muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik
untuk menit(9).
B. Perdarahan Subaraknoid
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali menekan
pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar (yang
Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang disebut
Penglihatan ganda
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya aneurisma. Individu
harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera.
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan
mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan kesadaran
singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit.
Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun,
merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi
lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit kepala
terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang. Sekitar 25% dari orang yang
mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak,
seperti berikut(9):
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama pasien.
Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain: hemiparesis,
gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia,
disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi
secara mendadak(10).
25
Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada pasien
perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan berat tidaknya keadaan
Grade Kriteria
II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit
neurologis
awal
V Koma
stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan
langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan.
Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi
komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari
stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial
lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan
daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular
memulai memonitor aktivitas jantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki
Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk
memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu
sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem
Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)
Pembacaan:
Skor > 1 : Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti: ensefalitis,
Attack (TIA).
28
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan
menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang
berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan
penanganan stroke secara dini yang dimulai dari penanganan prahospital yang cepat dan
tepat. Keberhasilan penanganan stroke akut dari pengetahuan masyarakat dan petugas
kesehatan, bahwa stroke merupakan keadaan gawat darurat; seperti infark miokard akut atau
trauma. Filosofi yang harus dipegang adalah time is brain dan the golden hour. Dengan
penanganan yang benar pada jam-jam pertama, angka kecacatan stroke paling tidak akan
1. Deteksi
Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA. Keluhan pertama
kebanyakan pasien (95%) mulai sejak di luar rumah sakit. Hal ini penting bagi masyarakat
luas (termasuk pasien dan orang terdekat dengan pasien) dan petugas kesehatan professional
(dokter urnum dan resepsionisnya, perawat penerima atau petugas gawat darurat) untuk
Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia,
vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya
terjadi secara rnendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Facial movement,
2. Pengiriman pasien
Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera panggil ambulans
gawat darurat. Ambulans gawat darurat sangat berperan penting dalam pengiriman pasien ke
29
fasilitas yang tepat untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien
3. Transportasi/ambulans
rumah sakit yang dituju. Petugas ambulans gawat darurat harus mempunyai kompetensi
dalam penilaian pasien stroke pra rumah sakit. Fasilitas ideal yang harus ada dalam ambulans
sebagai berikut:
b. Mesin EKG
d. Obat-obat neuroprotektan
e. Telemedisin
perlu dipertimbangkan pada pasien dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan
aspirasi.
b. Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok dan hipotensi.
d. Jangan menurunkan tekanan darah, kecuali pada kondisi khusus (lihat Bab V.A
4. Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit gawat darurat, stroke
unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan definitif pasien stroke.
Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA,
Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang,
tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif.
Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of
2. Terapi Umum
- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit
- Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95% (ESO,
Class V, GCP). Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang
tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau
disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).
- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of evidence
C).
- Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan
pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada
- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang
b. Stabilisasi Hemodinamik
-Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik seperti
glukosa).
memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.
32
- Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada
Stroke Akut) Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis
sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik
- Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang
- Tekanan darah
- -Pemeriksaan jantung
i. Derajat kesadaran
i. Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan
Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang mengalami
penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
v. Jaga normovolernia
vi. Osmoterapi atas indikasi: o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit,
diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III,
viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat
vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok
tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau
A).1
34
evidence B).
(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama
dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan
f. Pengendalian Kejang
a. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh
fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.
c. Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak
selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama
-Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi
a. Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA Guideline)1
b. -Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan
(trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler,
Guideline).3
h. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG
b. Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula
c. Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk
- Pemeriksaan radiologi
ii. CT Scan
1. Penatalaksanaan Hipertensi
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah
sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien
stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan
darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST:
relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun
36
tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan
kecacatan.
Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak
besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah
awitan serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009)
merekomendasikan penuurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan
a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun
diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220
mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut
yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Selanjutnya,
tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam
setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,
b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence
C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan
darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan
c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda
diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten
d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda
tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.
Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan
tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa,
f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada penderita
g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol),
penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.
i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan
dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya
Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang,
pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-
160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam
mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada
vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait
k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan
dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa,
Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.
l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari
target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi
aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target
penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam
pertama.
40
Penatalaksanaan khusus
Level of evidence B). Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan yang
dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI dengan kontras,
MRA, dan venografi MR (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). (Lihat Bab X
a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia berat sebaiknya
b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat antikoagulan
oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat terapi untuk menggganti
dalam waktu yang sma dengan terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam
anafilaksis.2,3,4
- FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor pembekuan darah bila
ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk
d. Faktor VIIa rekobinan tidak mengganti semua factor pembekuan, dan walaupun INR
menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik. Oleh karena itu, factor VIIa
Level of evidence C). Walaupun factor VII a rekombinan dapat membatasi perluasan
hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian tromboemboli akan
meningkat dengan factor VIIa rekombinan dan tidak ada keuntungan nyata pada
pasien yang tidak terseleksi (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).
h. Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH subkutan dosis rendah
mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari pascaawitan (AHA/ASA, Class
i. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg IV dalam
waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat perlu pengawasan ketat
3. Tekanan Darah
dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang memiliki keahlian perawatan
b. Penanganan Glukosa
evidence C). Pemantauan EEG secara kontinu dapat diindikasikan pada pasien
kerusakan otak yang terjadi. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Pasien
EEG sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi (AHA/ASA, Class IIa Level of
5. Prosedur/ Operasi
Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentorial,atau dengan
penanganan dan Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg
dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Iib,
pasien dengan penurunan tingakt kesadaran (AHA/ASA Class IIa, Level of evidance
B). 1
45
b. Perdarahan Intraventikuler
(rTPA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi yang
cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan dalam
c. Evakuasi hematom
d. Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan tindakan operasi
masih belum pasti (AHA/ASA, Class Iib, level of evidance C). Pasien dengan perdarahan
serebral yang mengalami perburukan neurologis, atau yang terdapat kompresi batang
otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi
laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi
- Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari permukaan,
streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih belum
pasti dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
- Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari perdarahan
perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari (AHA/ASA, Class Iia, Level of
evidance B), Kecuali pada pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak
diresusitasi.
- Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusun untuk
pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal,
dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada MRI (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B) . 1
- Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra indikasi medis,
tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang lokasi
evidance A).
- Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan darah dapat
dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes penyakit
karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class IIa, Level of
evidance B). Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah perdarahan intrakranial
nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi pasti penggunaan
47
terapi tersebut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).Pelanggaran konsusmsi alkohol
Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial berupa kecacatan yang berat,
serius dan kompleks, semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara multidisiplin
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B). Jika memungkinkan , rehabilitasi dapat
dilakukan sedini mungkin dan berlanjut disarana rehabilitasi komunitas, sebagai bagian dari
program terkoordinasi yang baik antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan berbasis
rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah (Home care) untuk meningkatkan pemulihan
gejala yang kadangkala tidak khas sehingga sering ditemukan kesulitan dalam
menegakkan diagnosis. Pasien dengan keluhan nyeri kepala hebat (paling sakit
(AHA/ASA, Class I, level evidance B). Apabila hasil CT-Scan tidak menunjukkan
adanya tanda-tanda PSA pada pasien yang secara klinis dicurigai PSA maka
a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah
- Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 300dan nyaman, bila perlu
- Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat sistem
b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan harus lebih intensif1
-Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang gawat darurat
-Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu
a. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan ulang. Hipertensi
B). Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam rangka
pencegahan perdarahan ulang pada PSA. (lihat BAB V.A Penatalaksanaan Tekanan
b. Istirahat total di tempat tidur (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
jam) untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu.
infark miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam. Terapi
antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko rendah terhadapa terjadinya
vasospasme atau pada pasien dengan penundaan operasi. pada beberapa studi, terapi
mungkin tidak menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu,
mengurangi vasospasme perlu dilakukan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
e. Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba. Penelitian lebih lanjut
b. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko perdarahan ulang
akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda (AHA/ASA, Class II-IV, Level of
evidance B). Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien dengan
derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan
klinis lain, operasi yang segera atau yang ditunda direkomendasikan tergantung
pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke pusat spesialis sangat dianjurkan.
Penanganan dan pengobatan pasien aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian
c. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and clipping
a. Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3 atau
secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. 2 Pemakaian nimodipin oral terbukti
c. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi hiperdinamik yang
terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau
C)
- Pencegahan vasospasme
-Delayed vasospasm
III. Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan wedge preasure
12-14 mmHg
b. Analgesik
- Hindari asetosal
-Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6 jam5,8
Komplikasi stroke dapat di bagi menjadi komplikasi akut, biasanya dalam 72 jam, dan
i. Komplikasi akut berupa edema serebri, peningkatan TIK dan kemungkinan herniasi,
Perdarahan potensial yang lain juga dapat muncul di traktus gastrointestinal, traktus
iii. Komplikasi subakut, yaitu pneumonia, trombosis vena dalam dan emboli pulmonal,
infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, kontraktur, spasme, masalah sendi dan
malnutrisi.
iv. Beberapa orang yang selamat dari stroke juga mengalami depresi. Hal ini dapat
diatasi dengan identifikasi dan penanganan dini depresi pada pasien untuk
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta
ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan
prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah
yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome
fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam
ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga memiliki outcome
BAB III
LAPORAN KASUS
54
3.1 Identitas
Nama : Ny. ML
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Suku : Maumere
Agama : Katolik
Alamat : Kota Baru, Alok Timur, Kabupaten Sikka
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perawatan : Ruang ICU
Tanggal Masuk : 26/06/2018
Tanggal Pemeriksaan : 14/07/2018
3.2 Anamnesis
HeteroAnamnesis dengan pasien pada tanggal 04 Juli 2018
1. Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit di RS. St. Gabriel
Keawapante
2. Keluhan Penyerta:
Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala hebat sesaat sebelum penurunan kesadaran dan
lemah badan kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan membawa rujukan dari RS St. Gabriel Kewapante dengan
diagnosa Stroke hemoragik, masuk rumah sakit RSUD TC Hillers pada tanggal
26/06/2018 dengan keluhan utama penurunan kesadaran sudah sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit di RS. St. Gabriel Kewapante yang terjadi mendadak di siang hari
sewaktu beraktivitas di rumah. Sebelum mengalami penurunan kesadaran, pasien
sempat mengeluhkan nyeri kepala hebat yang disertai mual-muntah. Pada saat terjadi
penurunan kesadaran keluarga mengatakan pasien tidak berespon dengan rangsangan
dari luar. Menurut keterangan keluarga, pasien juga sudah mengeluhkan lemah
separuh badan di sisi tubuh sebelah kiri.sudah sejak 1 minggu yang lalu yang terjadi
mendadak di saat pasien sedang beraktivitas pada siang hari. Dimana onset kelemahan
separuh badan ini didahului oleh nyeri kepala tetapi tidak disertai mual-muntah.
55
Ekstremitas
o Superior
Edema : -/-
Sianosis : -/-
Akral : dingin
Sensorik : tidak dapat dievaluasi
o Inferior
Edema : -/-
Sianosis : -/-
Akral : dingin
Sensorik : tidak dapat dievaluasi
3.3.2 Status Neurologis
1. Tanda Rangsang Menings
Kaku Kuduk :-
Kernig’s Sign :-
Brudzinski I :-
Brudzinski II :-
Brudzinski III :-
Brudzinski IV :-
2. Saraf Cranialis
N. Olfaktorius
Subyektif : tidak dapat dievaluasi
Obyektif : tidak dievaluasi
N. Opticus
Visus : tidak dapat dievaluasi
Melihat Warna : tidak dapat dievaluasi
Skotom : tidak dapat dievaluasi
Funduskopi : Tidak dievaluasi
N. Occulomotirius, N.Trochlearis, N. Abducens
Kedudukan Bola Mata : posisi bola mata setangkup
57
N. Vestibulocochlearis
Mendengar suara bisik/gerakan jari tangan : Tidak dievalusi
Tes Garpu Tala
Rinne : tidak dievaluasi
Swabach : tidak dievaluasi
Weber : tidak dievaluasi
Tinitus :-
Keseimbangan : tidak dievaluasi
Vertigo :-
Besar Otot :
Atrofi : -/-
Pseudohypertrofi : -/-
Tonus Otot
Hipotoni : +/+
Spastik : -/-
Rigid : -/-
Kekuatan Otot
M. Deltoid : 0/0
M. Biceps : 0/0
M. Triceps : 0/0
Fleksi sendi pergelangan tangan : 0/0
Ekstensi sendi pergelangan tangan : 0/0
Membuka jari-jari tangan : 0/0
Menutup jari-jari tangan : 0/0
Sistem Sensorik
Perasa raba : tidak dievaluasi
Perasa nyeri : tidak dievaluasi
Perasa suhu : tidak dievaluasi
Perasa proprioseptik : tidak dievaluasi
Perasa vibrasi : tidak dievaluasi
Stereognosis : tidak dievaluasi
Barognosis : tidak dievaluasi
Diskriminasi 2 titik : tidak dievaluasi
Grafestesia : tidak dievaluasi
60
Paha : -/-
Kaki : -/-
Refleks Fisiologis
Lutut (KPR) : +2 / +2
Achilles (APR) : +2 / +2
Plantar : +2 / +2
Refleks Patologis
Babinski :+/+
Oppenheim :+/+
Chaddock :+/+
Gordon : +/+
Schaeffer : +/+
Gonda : +/+
Koordinasi
Tes tumit-lutut : tidak dievaluasi
Romberg test : tidak dievaluasi
Heel to toe walking test : tidak dievaluasi
Unterberg’s stepping test : tidak dievaluasi
Gerakan Involunter
Tremor : -/-
Waktu istirahat : -/-
Waktu bergerak :-/-
Chorea : -/-
Athetose : -/-
Balismus : -/-
Mioklonus : -/-
Distonia : -/-
Spasmus : -/-
5. Fungsi Luhur
Afasia motorik :-
Afasia sensorik :-
Afasia global :-
63
Afasia amnestik :-
Afasia konduksi :-
Agrafia :-
Aleksia :-
Apraksia :-
Agnosia :-
Akalkulia :-
Lateralisasi ke kiri
3.5 Diagnosis
Klinis : penurunan kesadaran (coma dalam), Hoffman-tromner (+/+), Babinsky
dan variannya(+/+)
Topis : Hemisfer Cerebri dextra bagian Subcortex
Etiologi : Stroke Hemoragik, Hipertensi, Impending Herniasi
3.6 Penatalaksanaan
- O2 nasal kanul 2-4 lpm
- Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg
- Neurobath 2x 1 ampl
64
- Captopril 3 x 25 mg
- Nicardipine 2,5 cc/jam
3.7 Follow Up
a. 16 Juli 2018
S: penurunan kesadaran sudah 19 hari
O: Kesadaran : Coma Dalam
GCS : E1V1M1
TD : 126/87 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 24x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,8 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-) , refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5
c. 18 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 21 hari
66
d. 19 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 22 hari
67
e. 20 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 23 hari
68
f. 21 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 24 hari
69
g. 22 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 25 hari
70
h. 23 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 26 hari
71
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Resume
Subjektif: pasien perempuan usia 53 tahun datang dengan keadaan tidak sadar
diantar keluarganya membawa rujukan dari Rs. St. Gabriel Kewapante dengan
diagnosa SH, mengalami penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS kewapante yang
terjadi mendadak di siang hari sewaktu beraktivitas di rumah. Sebelum mengalami
penurunan kesadaran, pasien sempat mengeluhkan nyeri kepala hebat yang disertai
mual-muntah. Pada saat terjadi penurunan kesadaran keluarga mengatakan pasien
tidak berespon dengan rangsangan dari luar. Menurut keterangan keluarga, pasien
juga sudah mengeluhkan lemah separuh badan di sisi tubuh sebelah kiri sudah sejak 1
minggu yang lalu yang terjadi mendadak di saat pasien sedang beraktivitas pada siang
hari. Dimana onset kelemahan separuh badan ini didahului oleh nyeri kepala tetapi
tidak disertai mual-muntah. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol.
Riwayat DM, kolesterol, dan penyakit jantung disangkal, selain itu pasien memiliki
riwayat keluarga berupa ada sepupu dari pasien yang pernah mengalami hal yang
sama yakni stroke.
4.2. Diagnosis
1. Diagnosa Klinik:
Kasus: coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+),
babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri, ulcus
Teori: pada teori diketahui bahwa pada saat terjadi stroke hemoragik terjadi peningkatan
massa atau volume di dalam otak akibat pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi
perdarahan intracerebri. Sesuai dengan doktrin monro-kellie diketahui bahwa jumlah volume
otak, likuor dan darah dalam ruang tengkorak adalah selalu tetap/konstan, apabila salah satu
73
dari ketiga komponen ini bertambah maka tekanan intrakranialis akan meningkat.
Meningkatnya tekanan intrakranialis (TIK) menyebabkan manifestasi gejala berupa
penurunan kesadaran. Diketahui bahwa kesadaran ditentukan oleh lintasan sensorik spesifik
seperti traktus spinotalamikus, leminikus medialis dan lateralis serta radiasio optika dan
lintasan sensorik non spesifik berupa formasio retikularis yang mencakup ARAS (ascending
reticular activating system)yang berada di dienchephalon. Di rostral ARAS berakhir di nuklei
intralaminaris talami dextra dan sinistra. Dari nuklei intralaminaris talami impuls tersebut
kemudian dipancarkan secara difus ke seluruh korteks cerebri. Dengan demikian impuls yang
berasal dari ARAS dapat dipancarkan ke seluruh korteks cerebri di kedua sisi. Apabila terjadi
gangguan pada korteks cerebri maka akan terjadi koma kortikal bihemisferik yang dicirikan
dengan sindrom otak organik seperti (delirium, dan gangguan fungsi luhur) sedangkan koma
diensefalik ditandai dengan kelainan neurologis seperti paralisis nervus cranialis, adanya
lateralisasi, TIK yang meningkat, bangkitan epilepsi, nyeri kepala dan lainnya. Pada saat
terjadi suatu stroke hemoragik di otak maka akan terjadi lesi pada parenkim otak meliputi
neuron-neuron, sehingga lapisan serabut saraf pun akan rusak. Rusaknya serabut saraf seperti
lapisan mielin dan sebagianya ditandai dengan refleks patologis yang menjadi positif.
2. Diagnosa Topis
Kasus: Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Teori: pada otak tepatnya pada sulcus centralis yang memisahkan gyrus precentralis dan
postcentralis, dimana pada kedua cortex gyrus ini terdapat homunkulus sensorik dan motorik
yang mengatur pergerakan tubuh. Apabila terjadi suatu stroke atau lesi pada otak maka akan
menyebabkan gangguan motorik dan sensorik. Pada kortex cerebri terdapat traktus
kortikospinalis yang merupakan bagian dari upper motor neuron yang menghubungkan
kortex dan medula spinalis melalui jaras-jarasnya. Apabila terjadi kerusakan pada bagian
kortex maka tergantung pada letak lesi tersebut terkena pada homunkulus bagian tertentu
sehingga akan memperlihatkan tampilan parese/plegi dengan grade yang berbeda pada
ekxtremitas sebab jaras traktus kortikospinalis menyebar secara difus pada setiap kortex
cerebri. Apabila suatu lesi terjadi pada bagian subcortex maka seperti yang kita ketahui
bahwa semakin menuju ke kapsula interna, serabut traktus kortikospinalis akan mulai
menyatu membentuk suatu bundel sehingga apabila terjadi lesi di daerah subcortex atau
capsula interna maka akan terjadi parese/plegi dengan grade yang hampir sama atau bahkan
sama karena lesi tersebut terjadi pada pangkal serabut yang menyatu yang menghubungkan
74
korteks cerebri dan dan medula spinalis.apabila terjadi suatu lesi di cerebri sinistra maka akan
ditemukan lateralisasi pada daerah kanan karena traktus kortikospinalis akan bersilangan
pada decusatio piramidalis sehingga apabila lesi terjadi di sisi sinistra makan akan terjadi
defisit neurologis kontralateral.
3. diagnosis etiologi
kasus: stroke hemoragik, hipertensi, impending herniasi
teori: stroke merupakan sindroma klinis berupa tanda-tanda klinis yang berkembang cepat
akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama
24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian,tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.
risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. hal ini berlaku untuk kedua jenis
kelamin, semua umur, dan untuk resiko perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar.
umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. sekitar 30% dari stroke terjadi
sebelum usia 65; 70% terjadi pada mereka yang 65 ke atas. risiko stroke adalah dua kali
ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun. apabila terjadi stroke hemoragik maka akan
terjadi gangguan pada volume otak sehingga berlakulah doktrin monro kellei, sehingga
terjadi peningkatan tik dan gejala atau manifestasi klinisnya. manisfestasi klinis dapat berupa
pernapasan chyene stokes, refleks cushing, penurunan kesadaran dan lainnya sehingga
4.3 Penatalaksanaan
-Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR
75
DAFTAR PUSTAKA
1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2013. 101-109 p.
2. Nasissi D. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape [Internet]. 2012; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview.
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses -proses Penyakit. 6th ed. Jakarta:
EGC; 2006. 736-739 p.
4. Sjahrir H. Stroke Iskemik. Medan: Yandira Agung; 2003. Misbach, J., S. M. Lumbantobing,
Rusdi L., Teguh A. S., Adelina, Y., Fauziah B., et al., 2007, PERDOSSI Guideline Stroke,
Kelompok, Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Jakarta.
5. Baehr M FM. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. 4th ed. Jakarta: EGC; 2010.