You are on page 1of 79

SMF/BAGIAN ILMU SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
LAPORAN KASUS
JULI 2018

STROKE HEMORAGIK

Disusun oleh :
Bahy Heku Mure Agustinus (1408010061)

Pembimbing :
dr. Candida Isabel Sp.S
dr. Tersila A.D Dedang, M.Biomed, Sp.S

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


SMF/BAGIAN ILMU SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA
RSUD T.C HILLERS
MAUMERE
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

kasih dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Laporan Kasus pada

Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Saraf dengan judul “Stroke Hemoragik” tepat

waktu. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada sejumlah pihak yang

telah membantu penulisan Laporan Kasus kami, kepada :

1. dr. Candida Isabel, Sp.S dan dr. Tersila A.D Dedang, M.Biomed, Sp.S

selaku pembimbing yang penuh kesabaran membimbing dan menyediakan

waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penulisan

referat ini.

2. Rekan kelompok penulis atas bantuannya dalam penulisan dan mencari

informasi.

3. Segenap pegawai Poliklinik Spesialis Saraf yang telah memberi motivasi

bagi kami sehingga penulisan referat ini boleh berjalan dengan lancar.

4. Seluruh pihak yang telah membantu terlaksananya pembuatan referat.

Demikian referat ini disusun, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan

pembaca pada umumnya. Penulisan referat ini masih jauh dari kata sempurna,

untuk itu segala kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi

kesempurnaan referat kami. Terima kasih.

Maumere,21 Juli 2018

Penulis
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh :

Nama : Bahy Heku Mure Agustinus


NIM : 1408010061
Telah berhasil dibacakan dan dipertahankan di hadapan para pembimbing klinik
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk mengikuti ujian komprehensif
di bagian Ilmu Saraf RSUD. T.C Hillers Maumere.

Pembimbing Klinik

1. dr. Candida Isabel, Sp.S 1. ..................................


Pembimbing Klinik

2. dr. Tersila A.D Dedang, M.Biomed, Sp.S 2. ..................................


Pembimbing Klinik

Ditetapkan : Maumere
Tanggal : Juli 2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.................................................................................. 1

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... 2

DAFTAR ISI .............................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 6

2.1 Definisi .................................................................................................. 6

2.2 Epidemiologi ........................................................................................ 6

2.3 Anatomi Sistem Saraf ......................................................................... 7

2.4 Klasifikasi Stroke Hemoragik .......................................................... 19

2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik ....................................................... 21

2.6 Faktro Resiko Stroke Hemoragik ................................................... 23

2.7 Tanda dan Gejala Stroke Hemoragik............................................. 27

2.8 Diagnosis Stroke Hemoragik ............................................................ 30

2.9 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik ............................................... 33

2.10 Komplikasi Stroke Hemoragik....................................................... 53

2.11 Prognosis Stroke Hemoragik.......................................................... 53

BAB III LAPORAN KASUS .................................................................. 56

BAB IV PEMBAHASAN........................................................................74

DAFTAR PUSTAKA................................................................................77
1

BAB 1

PENDAHULUAN

Otak merupakan organ tubuh yang berfungsi mengendalikan berbagai fungsi tubuh yaitu

mengontrol gerakan tubuh, menyimpan memori, sumber pikiran, emosi serta bahasa. Untuk

dapat bekerja dengan baik, otak memerlukan 20% oksigen yang ada dalam tubuh. Pembuluh

arteri merupakan pembuluh darah yang mengantar oksigen ke seluruh tubuh termasuk ke otak.

Jika terjadi sumbatan ataupun keadaan yang menyebabkan rapuhnya pembuluh darah maka

akan menghambat aliran darah menuju ke otak. Apabila aliran darah ke otak terganggu akan

mengakibatkan sel-sel otak akan rusak dan mati dalam beberapa menit akibat asupan oksigen

yang berkurang yang dapat menyebabkan stroke.

Menurut WHO (World Health Organization) stroke merupakan sindroma klinis berupa

tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global,

dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat menyebabkan

kematian,tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.

Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan

diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau

gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di

Sulawesi Utara (10,8%), diikuti DI Yogyakarta (10,3%), Bangka Belitung dan DKI Jakarta

masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis nakes dan gejala

tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%), DI Yogyakarta (16,9%), Sulawesi Tengah

(16,6%),diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil(1).


2

Berdasarkan etiologinya stroke dibagi menjadi dua yaitu stroke non- hemoragik dan

stroke hemoragik. Stroke hemoragik dapat berupa perdarahan intraserebral atau perdarahan

subarakhnoid. Perdarahan intraserebral terhitung 10-15% dari seluruh stroke dan memiliki

tingkat mortalitas lebih tinggi dibandingkan dengan infark cerebral. Literatur lainnya

menyatakan 8-18 % dari stroke keseluruhan bersifaf hemoragik. Namun pengkajian

retrospektif terbaru menemukan bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke adalah stroke hemoragik.

Namun peningkatan presentase mungkin dikarenakan karena peningkatan kualitas

pemeriksaan seperti tersediaanya CT-Scan ataupun penggunaan terapeutik agen antiplatelet

dan warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan(2).

Stroke adalah penyebab kematian dan diasbilitas utama. Stroke menempati urutan ketiga

penyebab utama kematian dan urutan pertama penyebab diasbilitas. Morbiditas yang lebih

parah dan mortalitas yang lebih tinggi terdapat pada stroke hemoragik dibandingkan stroke

iskemik. Hanya 20% pasien yang mendapatkan kemandirian fungsionalnya(2).


3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang secara cepat akibat

gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau

lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain

vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum

mengalami ruptur sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke

dalam jaringan otak(3).

2.2 Epidemiologi

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan penyebab utama kecacatan.Sekitar

0,2% dari populasi barat terkena stroke setiap tahunnya yang sepertiganya akan meninggal

pada tahun berikutnya dan sepertiganya bertahan hidup dengan kekacauan, dan sepertiga

sisanya dapat sembuh kembali seperti semula. Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke

sebagai penyebab kematian mencapai 9% (sekitar 4 juta) dari total kematian per tahunnya (4).

Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000 pertahunnya dimana 10-

15% merupakan stroke hemoragik khususnya perdarahan intraserebral. Mortalitas dan

morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat dari pada stroke iskemik. Dilaporkan hanya

sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu ada

sekitar 40-80% akhirnya meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50%
4

meninggal pada 48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita

stroke, ada 47%wanita dan 53% laki-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%) berumur lebih

dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan berjenis kelamin laki-laki

menunjukkan outcome yang lebih buruk(2).

2.3 Anatomi Sistem Saraf

2.3.1 Anatomi Sistem Saraf(3,5)

Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling berhubungan, sangat

khusus dan kompleks. Sistem saraf ini mengkoordinasikan, mengatur dan mengendalikan

interaksi antara seorang individu dengan lingkungan sekitarnya. Selain itu juga, sistem saraf

ini penting untuk mengatur aktivitas sebagian besar bagian tubuh lainnya. Oleh karena itu

tubuh mampu berfungsi sebagai satu kesatuan yang harmonis karena pengaturan hubungan

saraf diantara berbagai sistem. Fenomena mengenai kesadaran, daya pikir, daya ingat, bahasa,

sensasi dan gerakan semuanya berasal dari sistem saraf. Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf

yang disebut neuron dan neuroglia atau sel penyokong. Neuron berfungsi menerima masukan

sensoris atau aferen dari ujung-ujung saraf perifer khusus atau dari organ sensorik dan

menyalurkan masukan motorik atau masukan eferen ke otot-otot dan kelenjar-kelenjar yaitu

organ-organ efektor. Neuroglia berfungsi untuk menyokong, melindungi dan sebagai sumber

nutrisi bagi neuron-neuron di otak dan medula spinalis. Jika diluar sistem saraf pusat sel

penyokongnya adalah sel schwan.


5

Sistem saraf dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi yang

dibagi sebagai berikut :

1. Sistem saraf pusat yang terdiri dari :

a. Otak

Otak diselimuti oleh selaput otak yang disebut selaput meningens. Selaput meninges

terdiri dari 3 lapisan :

 Lapisan durameter yaitu lapisan yang terdapat di paling luar dari otak dan bersifat

tidak kenyal. Lapisan ini melekat langsung dengan tulang tengkorak. Berfungsi untuk

melindungi jaringan-jaringan yang halus dari otak dan medula spinalis. Lapisan

duramater terbagi atas 2 lapisan yaitu stratum atau lamina endostealis yang melekat

erat pada periosteum tulang-tulang yang membentuk cavum cranii sampai dengan

foramen occipitalis magnum dan stratum atau lamina meningealis merupakan lapisan

dalam yang berada diantara duramater lamina endostealis dan arachnoidea. Diantara

duramater lamina endostealis dan lamina meningealis terdapat ruang potensial yaitu

spatium epidural yang berisis arteri dan vena meningea dan cabang-cabang N.V.

Diantara duramater lamina meningealis dan arachnoidea terdapat spatium subdural.

 Lapisan araknoid yaitu lapisan yang berada dibagian tengah, merupakan membran

avaskular tipis dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater

dan terdiri dari lapisan yang berbentuk jaring laba-laba. Terdiri dari dua bagian yaitu

membrana arachnoidea yang melekat pada duramater lamina meningealis dan


6

trabecula arachnoidea yang merupakan juluran- juluran jaringan ikat menuju piamater

dan membentuk spatium subaracnoideum yang memiliki cairan yang disebut cairan

serebrospinal. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi otak dan medulla spinalis dari

guncangan.

 Lapisan piameter yaitu lapisan yang terdapat paling dalam dari otak dan melekat

langsung pada otak. Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang

menyerupai endotelium. Melapisi langsung permukaan cortex cerebri, cerebellum,

diencephalon, truncus cerebri dan medulla spinalis dan ikut masuk pada sulcus atau

fissura. Berdasarkan susunan anatominya otak dibagi menjadi tiga bagian yaitu:(3,5)

Tabel 2.1 Susunan Anatomi Otak

Proensefalon (Otak Depan) Mesenchepalon (Otak Rombenchepalon


Tengah) (Otak Belakang)
1. Telencefalon 1. Korpora 1. Metensefalon
 Hemisferium Serebri Kuadrigemina  Pons
 Kolikulus Superior
 Korteks cerebri  Serebellum
 Kolikulus inferior
 Rinensefalon (sistem 2. Myelensefalon
limbik) 2. Tegmentum  Medula
 Nukleus ruber Oblongata
 Ganglia Basalis
 Substansia nigra
Nukleus
Caudatus 3. Pedunkulus Serebri
Nukleus
Lentiformis

Klaustrum

Amigdala

2. Diensefalon
7

 Epitalamus

 Talamus

 Subtalamus

 Hipotalamus

Gambar 2.1 Otak

b. Medula Spinalis

Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari

medula oblongata melalui foramen magnum dan terus kebawah melalui kolumna vertebra

lumbalis pertama (L1) orang dewasa. Medula spinalis dibagi menjadi 3 segmen yang menjadi

tempat asal dari 31 pasang saraf spinal. Segmen segmen tersebut diberi nama sesuai dengan

tempat keluarnya radiks saraf yang bersangkutan, sehingga medula spinalis dibagi menjadi

bagian servikal, torakal, lumbal dan sakral.


8

2. Sistem Saraf Tepi

Saraf tepi atau perifer terdiri dari neuron-neuron yang menerima pesan-pesan

neural sensorik aferen yang menuju ke SSP atau menerima pesan-pesan neural motorik

(eferen) dari SSP, atau keduanya.Secara anatomis sistem saraf tepi dibagi menjadi 31

pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf kranial dan secara fungsional dibagi menjadi

sistem saraf somatis dan saraf autonom.

a. Saraf spinal (31 pasang)

Saraf spinal berfungsi menghantarkan pesan-pesan aferen maupun pesan-pesan

eferen dan dengan demikian saraf spinal dinamakan saraf campuran.Secara

keseluruhan ada 31 pasang saraf spinalis masing-masing terbentuk oleh

pertautan antara radiks anterior dan posterior di dalam kanalis spinalis.

Penomoran saraf spinalis berdasarkan korpus vertebra yaitu terdapat 8 pasang

nervus servikalis (C1 berada diantara os. Oksipital dan atlas), 12 pasang nervus

torakalis, 5 pasang lumbalis, 5 pasang sacralis dan 1 pasang dari koksigeus.


9

Gambar 2.2 31 pasang saraf Spinalis

b. Saraf Kranialis (12 pasang)

Saraf kranialis berasal dari permukaan otak. Lima pasang merupakan saraf

motorik (III, IV, VI, XI, XII), tiga pasang saraf sensorik (I, II, VIII) dan empat

pasang saraf campuran (V, VII, IX, X).

Gambar 2.3 12 pasang saraf kranialis


10

c. Saraf Somatosensoris

Sistem saraf somatis terdiri dari saraf campuran dan menangani respon

dari lingkungan eksternal tubuh. Bagian aferen membawa informasi sensorik

yang disadari maupun informasi sensorik yang tidak disadari dari kepala, dinding

tubuh dan ekstremitas. Saraf eferen tertutama berhubungan dengan otot rangka

tubuh.

d. Saraf Otonom

Sistem saraf autonom merupakan sistem saraf campuran. Serabut-

serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ viseral (menangani

pengaturan senyut jantung, diameter pembuluh darah, pernapasan, pencernaan

makanan, rasa lapar, mual, pembuangan dan sebagainya). Saraf eferen motorik

sistem saraf autonommempersarafi otot polos, otot jantung dan kelenjar-kelenjar

viseral. Sistem saraf autonom terutama menangani pengaturan fungsi viseral dan

interaksinya dengan lingkungan internal. Sistem saraf autonom dibagi menjadi

dua yaitu simpatis dan parasimpatis sebagai berikut:

- Bagian simpatis meninggalkan SSP dari daerah torakolumbal

medula spinalis yang berfungsi untuk peningkatan kecepatan denyut jantung

dan pernapasan, serta penurunan aktivitas saluran cerna. Tujuan utama sistem

saraf simpatis adalah mempersiapkan tubuh agar siap menghadapi stres atau

yang disebut respon bertempur atau lari.

- Bagian parasimpatis keluar dari otak melalui komponen-komponen

saraf kranial dan bagian sakral yang fungsinya berbanding terbalik dengan
11

saraf simpatis yaitu menurunkan kecepatan denyut jantung dan pernapasan,

meningkatkan gerakan saluran cerna sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan

pembuangan. Jadi, saraf simpatis membantu konservasi dan homeostasis

fungsi-fungsi tubuh.

Suplai Darah Otak

SSP seperti juga jaringan tubuh lainnya sangat bergantung pada aliran darah yang

memadai untuk nutrisi dan pembuangan sisa-sisa metabolismenya. Suplai darah arteria ke

otak merupakan suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang,

berhubungan erat satu dengan yang lainnya sehingga dapat menjamin suplai darah yang

adekuat untuk sel. Suplai darah ini dijamin oleh dua pasang arteria, yaitu arteria vertebralis

dan arteria karotis interna yang cabang-cabangnya beranastomosis membentuk sirkulus

willisi.

Gambar 2.4 Sirkulus Willisi


12

Area Fungsional Korteks Serebri

Korteks serebri telah diketahui mempunyai fungsi yang spesifik atau yang sering

disebut area fungsional korteks serebri. Pada tahun 1909 Broadmann membagi korteks

serebri menjadi 47 area berdasarkan struktur selular. Korteks serebri dianggap mempunyai

area primer dan area asosiasi untuk berbagai fungsi. Area primer adalah daerah di mana

terjadi persepsi atau gerakan. Area asosiasi diperlukan untuk integrasi dan peningkatan

perilaku dan intelektual. Pembahasan berikut ini membicarakan fungsi utama korteks

frontali, parietalis, temporalis dan oksipitalis.

Korteks frontalis merupakan daerah atau area motorik primer yaitu area 4 broadman

yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar. Area motorik primer ini terletak

disepanjang girus prasentralis dan tersusun secara somatotopik. Suatu lesi di area 4

mengakibatkan hemiplegia dikontralateral. Korteks pramotorik area 6 bertanggug jawab

atas gerakan terlatih seperti menuli, mengemudi atau mengetik. Lesi area 6 pada sisi

dominan dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan menulis, keadaan ini disebut agrafia.

Peran utama korteks parietalis adalah kegiatan pemrosesan dan integrasi informasi

sensorik yang lebih tinggi tingkatnya. Area somestetik primer (area 1-3) terletak pada girus

postsentralis, paralel terhadap korteks motorik, dan letaknya disebelah posterior dari sulkul

sentralis. Sensasi dari semua bagian tubuh diterima oleh korteks sensoris primer dan

disinilah menggapai kesadaran. Sensasi umum ini mencakup antara lain nyeri, suhu, raba,

tekan dan proprioseptif. Diskriminasi halus dari berbagai aspek sensorik halus dan berbagai

aspek sensoris halus lain diciptakan oleh korteks sensoris primer. Lesi di area ini

mengakibatkan gangguan sensorik kontralateral.


13

Lobus temporalis merupakan area sensorik reseptif untuk impuls pendengaran.

Korteks pendengaran primer (area 41 dan 42) berfungsi sebagai penerima suara sedangkan

korteks asosiasi pendengaran utama area 22 dikenal Wernicke yang penting untuk

memahami bahasa ucap dan lesi pada daerah ini dapat mengalami penurunan hebat

kemampuan mengerti dan memahami suatu bahasa serta sulit mengulang kata-kata atau

nama benda yang didengarnya.

Lobus oksipital mengandung korteks pengelihatan primer area 17 yang menerima

informasi pengelihatan dan menyadari sensasi warna. Area ini dikelilingi oleh korteks

asosiasi 18, 19 dan area 39. Jadi jika kerusakan pada daerah ini akan mengakibatkan

gangguan lapangan pandang, kehilangan kemampuan mengenali benda-benda dan

hilangnya kemampuan untuk memahami bacaan.

Gambar 2.5 Area Broadmann


14

Gambar 2.6 Homunkulus motorik dan sensorik

Jaras Motorik Voluntar

Traktus kortikospinalis lateralis dan ventralis merupakan traktus motorik voluntar

utama pada medula spinalis. Traktus-traktus ini terutama berperan dalam proses

pengaturan gerakan tangkas ekstremitas. Fungsi lain yang penting dari neuron motorik atas

adalah mempengaruhi gerakan refleks dengan mengirimkan ke bawah impuls-impuls yang

mempermudah atau menghambat neuron motorik alfa dan gamma. Neuron motorik atas

traktus kortikospinalis berasal dari area 4 korteks motorik primer, area 6 korteks

premotorik dan berbagai bagian lobus parietalis. Dari sini serabut-serabut berjalan

menurun melalui kapsula interna untuk bersinaps dengan neuron internunsial pada

berbagai tingkat medula spinalis yang kemudian bersinaps dengan neuron dalam

substansia grisea kornu ventralis. Namun, beberapa serabut dapat saja langsung bersinaps

dengan neuron motorik bawah. Adalah benar pula bahwa tidak semua serabut ini akan

berjalan turun menuju medula spinalis, karena beberapa diantaranya bersinaps dengan

nukleus motorik saraf-saraf kranial dan dalam formasio retikularis.

Sekitar 85% dari serabut desenden bersilangan dalam medula oblongata kemudian

turun ke medula spinalis sisi yang berlawanan sebagai traktus kortikospinalis lateralis.
15

Serabut-serabut sisanya 15% tidak menyilang dan berjalan turun pada sisi medula spinalis

yang sama sebagai traktus kortikospinalis ventralis. Serabut-serabut ini akhirnya akan

menyilang garis tengah pada kolumna ventralis grisea segmen-segmen medula spinalis

(biasanya pada daerah servikal dan torakal atas). Lesi pada traktus kortikospinalis akan

menimbulkan tanda babinski dan kehilangan kemampuan melakukan gerakan-gerakan

tangkas voluntar, terutama pada segmen-segmen distal ektremitas.

2.4 Klasifikasi Stroke Hemoragik

Perdarahan spontan yaitu nontraumatik, pada parenkim otak (perdarahan

intraserebral) atau kompartemen meningeal disekitarnya (perdarahan subarachnoid)

berperan pada 15-20% stroe klinis, menurut istilah yang lebih luas. Mesipun sakit kepala dan

gangguan kesadaran lebih sering terjadi pada perdarahan intrakranial daripada infark serebri,

kriteria klinis saja tidak dapat membedakan stroke perdarahan dengan stroke iskemik secara

sahih. Prosedur diagnostik pilihannya adalah CT(5).

A. Perdarahan Intraserebral

Penyebab tersering perdarahan intracranial adalah hipertensi arterial. Peningkatan

tekanan darah patologis merusak dinding pembuluh darah arteri yang kecil, menyebabkan

microaneurisme (aneurisme Charcot) yang dapat ruptru spontan. Lokasi predileksi untuk

perdarah intraserebral hipertensif adalah ganglia basalis,talamus, nukleus serebeli dan pons.

Substansia alba serebri jarang terkena.

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan juga oleh banyak penyebab selain

hipertensi arterial. Penyebab yang paling penting adalah malformasi arterivenosus,

tumor,aneurisme, penyakit vaskular yang meliputi vaskulitis dan angiomiopati amiloid.

Perdarahan intraserebral kemungkinan disebabkan oleh sesuatu selain hipertensi atrerial bila

tidak terdapat di salah satu lokasi predileksi untuk perdarahan hipertensif atau pasien tidak

menderita hipertensi arterial bermakna(5).


16

B. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun, perdarahan karena

cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak dianggap sebagai

stroke.Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan yaitu, ketika

perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti kecelakaan atau jatuh.

Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya aneurisma mendadak di sebuah

arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang menonjol di daerah yang lemah dari dinding

arteri itu(6).

Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul pada saat

kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah bertahun-tahun dimana

tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri. Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah

hasil dari aneurisma kongenital(7).

Ada beberapa jenis aneurisme salah satunya aneurisme sakular (berry) ditemukan

pada titik bifurcatio arteri intracranial. Aneurisme ini terbentuk pada lesi dinding pembuluh

darah yang sebelumnya telah ada, baik kerusakan struktural (biasanya kongenital), maupun

cedera akibat hipertensi. Lokasi tersering aneurisme sakular adalah arteri comunicans anterior

(40%), bifurkasio arteri serebri media di fisura sylvii (20%), dinding lateral arteri karotis

interna (pada tempat berasalnya arteri oftalmika atau arteri komunikans posterior, 30%) dan

basilar tip (10%). Aneurisme dapat menimbulkan defisit neurologis dengan menekan struktur

disekitarnya sebelum ruptur. Misalnya, aneurisma pada arteri komunikans posterir dapat

menekan nervus okulomotorius, menyebabkan paresis saraf kranial ketiga (pasien mengalami

diplopia)(5).

Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari pecahnya

koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau di sekitar otak.

Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran, tetapi biasanya hanya
17

diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk bekuan darah pada katup

jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke arteri yang memasok otak, dan

menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri kemudian dapat melemah dan pecah(6).

2.5 Patofisiologi Stroke Hemoragik

Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran dalam

waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh hingga sepuluh

menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di area otak yang terbatas

(stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu defisiensi energi yang disebabkan oleh

iskemia. Perdarahan juga menyebabkan iskemia dengan menekan pembuluh darah di

sekitarnya(7).

Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan lumen

pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi, meskipun pada

kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel menyebabkan inflamasi,

yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi

yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut(7).

Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan

otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia) akibat kerusakan girus

lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular, hemianopsia,

gangguan bicara motorik dan sensorik, gangguan persepsi spasial, dan apraksia(7).

Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik

kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum anterior

dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan terganggu. Penyumbatan

bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem

limbik(7).
18

Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia kontralateral parsial

dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan terjadi kehilangan memori.

Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di daerah yang

disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid anterior tersumbat, ganglia

basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan traktus optikus (hemianopsia) akan

terkena. Penyumbatan pada cabang arteri komunikans posterior di talamus terutama akan

menyebabkan defisit sensorik(7).

Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua eksteremitas dan

otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri basilaris dapat menyebabkan

infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Efek yang ditimbulkan

tergantung dari lokasi kerusakan(7):

 Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf vestibular).

 Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan tetraplegia

(traktus piramidal).

 Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah

ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus

spinotalamikus).

 Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus salivarus),

singultus (formasio retikularis).

 Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada kehilangan

persarafan simpatis).

 Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah (saraf

hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus (saraf

okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).

 Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun kesadaran


19

tetap dipertahankan).

2.6 Faktor Resiko Stroke Hemoragik

Faktor yang berperan dalam meningkatkan resiko terjadinya stroke hemoragik dijelaskan

dalam table berikut(6,8):

Faktor Resiko Keterangan

Umur Umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke.

Sekitar 30% dari stroke terjadi sebelum usia 65; 70% terjadi pada

mereka yang 65 ke atas. Risiko stroke adalah dua kali ganda untuk

setiap 10 tahun di atas 55 tahun.

Hipertensi Risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. Hal ini

berlaku untuk kedua jenis kelamin, semua umur, dan untuk resiko

perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar.

Seks Infark otak dan stroke terjadi sekitar 30% lebih sering pada laki-laki

berbanding perempuan, perbedaan seks bahkan lebih tinggi sebelum

usia 65.

Riwayat keluarga Pada 1913 penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga

kali lipat peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu

kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan dengan laki-laki

tanpa riwayat ibu yang mengalami stroke

Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan, diabetes

meningkatkan risiko stroke tromboemboli sekitar dua kali lipat

hingga tiga kali lipat berbanding orang-orang tanpa diabetes.

Diabetes dapat mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia

serebral melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang


20

besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan, efek lokal

pada mikrosirkulasi serebral.

Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun memiliki lebih

dari dua kali lipat risiko stroke dibandingkan dengan mereka yang

fungsi jantungnya normal.

Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi,

menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan peningkatan

risiko stroke untuk segala usia dan kedua jenis kelamin, tingkat

risiko berhubungan dengan jumlah batang rokok yang dihisap, dan

penghentian merokok mengurangi risiko, dengan resiko kembali

seperti bukan perokok dalam masa lima tahun setelah penghentian.

Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika hematokrit

hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas darah keseluruhan adalah

dari isi sel darah merah; plasma protein, terutamanya fibrinogen,

memainkan peranan penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari

polisitemia, hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia, biasanya

menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala, kelesuan, tinnitus,

dan penglihatan kabur. Infark otak fokal dan oklusi vena retina jauh

kurang umum, dan dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat

trombositosis. Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-

kadang dapat terjadi.

Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk stroke

tingkat fibrinogen trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga telah dicatat,

dan kelainan seperti antitrombin III dan kekurangan protein C serta protein S dan

system pembekuan berhubungan dengan vena thrombotic.


21

Penyalahgunaan Amfetamin menyebabkan sebuah vaskulitis nekrosis yang dapat

obat mengakibatkan pendarahan petechial menyebar, atau fokus bidang

iskemia dan infark. Heroin dapat timbulkan sebuah hipersensitivitas

vaskular menyebabkan alergi . Perdarahan subarachnoid dan

difarction otak telah dilaporkan setelah penggunaan kokain.

Hiperlipidemia Meskipun tingkat kolesterol tinggi telah jelas berhubungan dengan

penyakit jantung koroner, mereka sehubungan dengan stroke kurang

jelas. Peningkatan kolesterol tidak muncul untuk menjadi faktor

risiko untuk aterosklerosis karotis, khususnya pada laki-laki di

bawah 55 tahun..

Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan risiko stroke

pada wanita muda. Penurunan kandungan estrogen menurunkan

masalah ini, tetapi tidak dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor

risiko paling kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme

diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen tentang

produksi protein liver, atau jarang penyebab autoimun

Diet Konsumsi alkohol :

Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan subarakhnoid

dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol pada orang dewasa

muda. Mekanisme dimana etanol dapat menghasilkan stroke

termasuk efek pada darah tekanan, platelet, osmolalitas plasma,

hematokrit, dan sel-sel darah merah. Selain itu, alkohol bisa

menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan di darah aliran

otak dan autoregulasi.

Kegemukan :
22

Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs, obesitas

telah secara konsisten meramalkan berikutnya

stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian oleh

adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif lebih dari 30%

di atas rata-rata kontributor independen ke-atherosklerotik infark

otak berikutnya.

Infeksi Infeksi meningeal dapat mengakibatkan infark serebral melalui

pengembangan perubahan inflamasi dalam dinding pembuluh darah.

Sifilis meningovaskular dan mucormycosis dapat menyebabkan

arteritis otak dan infark.

2.7 Tanda dan Gejala Stroke Hemoragik

Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan perdarahan

intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke iskemik, hipertensi

biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma lebih umum pada stroke

hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik. Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan

tekanan intrakranial. Meningismus dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel(2).

Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang terlibat. Jika

belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri dari hemiparesis kanan,

kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan preferensi, bidang visual kanan

terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat,

sebuah sindrom hemiparesis kiri, kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan

memotong bidang visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan

pengabaian dan kekurangan perhatian pada sisi kiri(2).


23

Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan kompresi

batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat kesadaran, apnea,

dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau batang otak antara lain:

ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis,

hemisensori atau kehilangan sensori dari semua empat anggota, gerakan mata yang

mengakibatkan kelainan diplopia atau nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia,

wajah ipsilateral dan kontralateral tubuh(2).

A. Perdarahan Intraserebral

Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah

penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas. Namun, pada

orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala disfungsi otak menggambarkan

perkembangan yang terus memburuk sebagai perdarahan. Beberapa gejala, seperti

kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi, dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu

sisi tubuh. Orang mungkin tidak dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu

atau hilang. Mata dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual,

muntah, kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik

untuk menit(9).

B. Perdarahan Subaraknoid

Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali menekan

pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah besar (yang

menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan, seperti berikut(9):

 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang disebut

sakit kepala halilintar)

 Sakit pada mata atau daerah fasial


24

 Penglihatan ganda

 Kehilangan penglihatan tepi

Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya aneurisma. Individu

harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter segera.

Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah dan

mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan kehilangan kesadaran

singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal sebelum mencapai rumah sakit.

Beberapa orang tetap berada dalam koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun,

merasa bingung, dan mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin

menjadi tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan(9).

Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak mengiritasi

lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher kaku serta sakit kepala

terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang. Sekitar 25% dari orang yang

mengalami gejala-gejala yang mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak,

seperti berikut(9):

a. Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)

b. Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh

c. Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa

2.8 Diagnosis Stroke Hemoragik

Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama pasien.

Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain: hemiparesis,

gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia. Vertigo, afasia,

disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang keseluruhannya terjadi

secara mendadak(10).
25

Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian berdasarkan

Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada pasien

stroke dengan perdarahan intraserebral(11).

Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi mengenai

perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan berat tidaknya keadaan

perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan keluaran pasien(12).


26

Sistem grading yang dipakai antara lain :



Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage

Grade Kriteria

I Asimptomatik atau minimal sakit kepala atau leher kaku

II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit

neurologis

III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan

IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala deselerasi

awal

V Koma

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan

menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada penderita

stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah, kadar elektrolit, dan

kadar serum glukosa(2).

Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak adalah

langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis kedaruratan.

Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta dapat menidentifikasi

komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak, dan hidrosefalus. Baik CT non

kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang dapat digunakan(2).

CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dari

stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi intrakranial

lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual hematoma yang berdiameter

lebih dari 1 cm(2).


27

MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa diandalkan

daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi malformasi vaskular

yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan(2).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG) untuk

memulai memonitor aktivitas jantung. Disritmia jantung dan iskemia miokard memiliki

kejadian signifikan dengan stroke.

Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka untuk

memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya sistem skoring yaitu

sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat pasien masuk Rumah Sakit. Sistem

skoring yang sering digunakan antara lain:

Siriraj Hospital Score (13)

(2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah


diastolik) – (3 x atheroma) – 12.

Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)

Pembacaan:
Skor > 1 : Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti: ensefalitis,

meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik, perdarahan subaraknoid,

hematoma subdural, kedaruratan hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic

Attack (TIA).
28

2.8 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik (4)

Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas dan

menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang

berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan

penanganan stroke secara dini yang dimulai dari penanganan prahospital yang cepat dan

tepat. Keberhasilan penanganan stroke akut dari pengetahuan masyarakat dan petugas

kesehatan, bahwa stroke merupakan keadaan gawat darurat; seperti infark miokard akut atau

trauma. Filosofi yang harus dipegang adalah time is brain dan the golden hour. Dengan

penanganan yang benar pada jam-jam pertama, angka kecacatan stroke paling tidak akan

berkurang sebesar 30%.

Penanganan Stroke Prahospital

1. Deteksi

Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA. Keluhan pertama

kebanyakan pasien (95%) mulai sejak di luar rumah sakit. Hal ini penting bagi masyarakat

luas (termasuk pasien dan orang terdekat dengan pasien) dan petugas kesehatan professional

(dokter urnum dan resepsionisnya, perawat penerima atau petugas gawat darurat) untuk

mengenal stroke dan perawatan kedaruratan.

Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain

hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak, diplopia,

vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia, kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya

terjadi secara rnendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Facial movement,

Arm movement Speech, Test all three).

2. Pengiriman pasien

Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera panggil ambulans

gawat darurat. Ambulans gawat darurat sangat berperan penting dalam pengiriman pasien ke
29

fasilitas yang tepat untuk penanganan stroke. Semua tindakan dalam ambulansi pasien

hendaknya berpedoman kepada protokol.

3. Transportasi/ambulans

Utamakan transportasi (termasuk transportasi udara) untuk pengiriman pasien ke

rumah sakit yang dituju. Petugas ambulans gawat darurat harus mempunyai kompetensi

dalam penilaian pasien stroke pra rumah sakit. Fasilitas ideal yang harus ada dalam ambulans

sebagai berikut:

a. Personil yang terlatih

b. Mesin EKG

c. Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat

d. Obat-obat neuroprotektan

e. Telemedisin

f. Ambulans yang dilengkapi dengan peralatan gawat darurat, antara lain,

pemeriksaan glukosa (glucometer), kadar saturasi 02 (pulse oximeter)

Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu mengerjakan:

a. Memeriksa dan menilai tanda-tanda vital

b. Tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway Breathing Circulation/ABC). Intubasi

perlu dipertimbangkan pada pasien dengan koma yang dalam, hipoventilasi, dan

aspirasi.

c. Bila kardiopulmuner stabil, pasien diposisikan setengah duduk

d. Memeriksa dan menilai gejala dan tanda stroke

e. Pemasangan kateter intravena, memantau tanda-tanda vital dan keadaan jantung f.

Berikan oksigen untuk menjamin saturasi > 95%

g. Memeriksa kadar gula darah

h. Menghubungi unit gawat darurat secepatnya (stroke is emergency)


30

i. Transportasi secepatnya (time is brain)

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas pelayanan ambulans:

a. Jangan terlambat membawa ke rumah sakit yang tepat.

b. Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok dan hipotensi.

c. Hindari pemberian cairan glukosa/dekstrose kecuali pada pasien hipoglikemia.

d. Jangan menurunkan tekanan darah, kecuali pada kondisi khusus (lihat Bab V.A

Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke Akut). Hindari hipotensi,

hipoventilasi, atau anoksia.

e. Catat waktu onset serangan.

4. Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit gawat darurat, stroke

unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan definitif pasien stroke.

Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

1. Evaluasi Cepat dan Diagnosis

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka

evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita

saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang,

cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko

stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).

b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu

tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat

kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung

kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan

ekstremitas. c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan


31

neurologis terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem

motorik, sikap dan cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif.

Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of

Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B).

2. Terapi Umum

a. Stabilisasi Jalan Napas dan Pernapasan

- Pemantauan secara terus menerus terhadap status neutologis, nadi, tekanan darah,

suhu tubuh, dan Saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan defisit

neurologis yang nyata (ESO, Class IV, GCP).

- Pembetian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi oksigen < 95% (ESO,

Class V, GCP). Perbaiki jalan nafas termasuk pemasangan pipa orofaring pada pasien yang

tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran atau

disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).

- Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class I, Level of evidence

C).

- Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway) diperlukan

pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50 mmHg), atau syok, atau pada

pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.

- Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa terpasang

lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.

b. Stabilisasi Hemodinamik

-Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pernberian cairan hipotonik seperti

glukosa). 

- Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter), dengan tujuan untuk

memantau kecukupan cairan dan sebagai sarana untuk rnemasukkan cairan dan nutrisi.
32

- Usahakan CVC 5 -12 mmHg.

- Optimalisasi tekanan darah (Iihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada

Stroke Akut)  Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,

maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti dopamin dosis

sedang/ tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target tekanan darah sistolik

berkisar 140 mmHg

- Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.

- Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan satin normal dan aritmia jantung yang

mengakibatkan penurunan curah jantung sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class

I, Level of evidence C).

c. Pemeriksaan Awal Fisik Umum

- Tekanan darah

- -Pemeriksaan jantung

- -Pemeriksaan neurologi umum awal:

i. Derajat kesadaran

ii. Pemeriksaan pupil dan okulomotor

iii. Keparahan hemiparesis

d. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)

i. Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral harus dilakukan

dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari

pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan penderita yang mengalami

penurunan kesadaran karena kenaikan TIK (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.

Penatalaksanaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial meliputi :


33

i. Tinggikan posisi kepala 200 - 300

ii. Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular

iii. Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik

iv. Hindari hipertermia

v. Jaga normovolernia

vi. Osmoterapi atas indikasi: o Manitol 0.25 - 0.50 gr/kgBB, selama >20 menit,

diulangi setiap 4 - 6 jam dengan target ≤ 310 mOsrn/L. (AHA/ASA, Class III,

Level of evidence C). Osmolalitas sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari

selama pemberian osmoterapi. o Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis

inisial 1 mg/kgBB i.v.

vii. Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 - 40 mmHg). Hiperventilasi

mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan operatif.

viii. Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang adekuat dapat

mengurangi naiknya TIK dengan cara mengurangi naiknya tekanan

intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking ventilator

(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C). Agen nondepolarized seperti

vencuronium atau pancuronium yang sedikit berefek pada histamine dan blok

pada ganglion lebih baik digunakan (AHA/ASA, Class III-IV, Level of

evidence C). Pasien dengan kenaikan krtitis TIK sebaiknya diberikan

relaksan otot sebelum suctioning atau lidokain sebagai alternative.

ix. Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema otak dan

tekanan tinggi intracranial pada stroke iskemik, tetapi dapat diberikan kalau

diyakini tidak ada kontraindikasi. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence

A).1
34

x. Drainase ventricular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat stroke iskemik

serebelar (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

xi. Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik sereberal yang

menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan

nyawa dan memberikan hasil yang baik. (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B).

e. Penanganan Transformasi Hemoragik

Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan asimptomatik

(AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi transformasi perdarahan simtomatik sama

dengan terapi stroke perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan

mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.

f. Pengendalian Kejang

a. Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5-20mg dan diikuti oleh

fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.

b. Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

c. Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak

dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).1

d. Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan profilaksis dapat diberikan

selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila tidak ada kejang selama

pengobatan (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).3

g. Pengendalian Suhu Tubuh

-Setiap pederita stroke yang disertai demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi

penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).1


35

a. Berikan Asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 38,5 oC (AHA/ASA Guideline)1

atau 37,5 oC (ESO Guideline).3

b. -Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan

(trakea, darah dan urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler,

analisa cairan serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.

c. Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotic (AHA/ASA

Guideline).3

h. Pemeriksaan Penunjang

a. EKG

b. Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal hemostasis, kadar gula

darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit)

c. Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk

pemeriksaan cairan serebrospinal

- Pemeriksaan radiologi

i. Foto rontgen dada

ii. CT Scan

Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut

1. Penatalaksanaan Hipertensi
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan tekanan darah

sistolik >140 mmHg. Penelitian di Indonesia didapatkan kejadian hipertensi pada pasien

stroke akut sekitar 73,9%. Sebesar 22,5- 27,6% diantaranya mengalami peningkatan tekanan

darah sistolik >180 mmHg (BASC: Blood Preassure in Acute Stroke Collaboration 201; IST:

International Stroke Trial 2002.

Banyak studi menunjukkan adanya hubungan berbentuk kurva U (U-shaped

relationship) (U-shaped relationship) antara hipertensi pada stroke akut (iskemik maupun
36

hemoragik) dengan kematian dan kecacatan. Hubungan tersebut menunjukkan bahwa

tingginya tekanan darah pada level tertentu berkaitan dengan tingginya kematian dan

kecacatan.

Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak

dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk keluarga neurologis. Pada sebagian

besar pasien, tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah

awitan serangan stroke. Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009)

merekomendasikan penuurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan

secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini.

a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15% (sistolik maupun

diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220

mmHg atau tekanan darah diastolic (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut

yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185

mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Selanjutnya,

tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam

setelah pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,

nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena.

b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence

C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan

darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan

pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.

c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala dan tanda

peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan intracranial. Tekanan darah


37

diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten

dengan pemantauan tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.

d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan tanda

peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-hati dengan

menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten dengan pemantauan

tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg.

Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan

tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa,

Level of evidence B). Setelah kraniotomi, target MAP adalah 100mmHg.

f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah pada penderita

stroke perdarahan intraserebral.

g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol),

penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.

h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan

tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.

i. Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus dipantau dan

dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk mencegah resiko terjadinya

stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA,


38
39

Class I, Level of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subaraknoid berulang,

pada pasien stroke perdarahan subaraknoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-

160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam

mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual, tergantung pada

usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan komorbiditas kardiovaskular.

j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan

penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila

vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan bahwa hal ini terkait

dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.

k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume, dan induksi hipertensi dapat dilakukan

dalam penatalksanaan vasospasme serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa,

Level of evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.

l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih rendah dari

target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ lainnya, misalnya diseksi

aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target

penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam

pertama.
40

Tabel 2.8 Obat Hipertensi pada Stroke Akut

Golongan/O Mekanisme Dosis Keuntungan Kerugian


bat
Tiazid Aktivasi IV bolus: 50- Awitan <5 Retensi cairan dan
Diazoksid* ATP- 100 mg; IV menit garam,
sensitive infuse: 15-30 hiperglikemia
K-channels mg/menit berat, durasi lama
(1-12 jam)
ACEI ACE 0,625-1,25 Awitan Durasi lama (6
Enalaprilat* inhibitor mg IV selama <15 menit jam), disfumgsi
15 menit renal
Calcium Penyekat 5 mg/jam IV Awitan cepat Takikardi atau
Channel kanal kalsium 2,5 ng/ tiap (1-5 menit), bradikardia,
Blocker 15 meniot, tidak terjadi hipotensi, durasi
Nikardipin sampai rebound yang lama (4-6 jam)
Clevidipin* bermakna
Verapamil* jika
Diltiazem dihentikan,
Eliminasi
tidak
dipengaruhi
oleh
disfungsi hati
atau renal,
potensi
interaksi obat
rendah.
Awitan cepat
<1 menit,
tidak terjadi
rebound atau
takiflaksis
Beta Blocker Antagonis 10-80 mg IV Awitan cepat Bradikardia
Labetalol* ,
reseptor α1, tiap (5-10 menit) hipoglikemia,
β1, β2 10 menit durasi lama (2-12
sampai 300 jam), gagal jantung
mg/hari; kongestif,
infuse: 0,5-2 bronkospasme
mg/menit
Esmolol* Antagonis 0,25-0,5 Awitan segera, Bradikardia, gagal
selektif mg/kg IV durasi singkat jantung kongestif
reseptor β1 bolus <15 menit
disusul
dosis
pemeliharaa
n
41

Alfa Blocker Antagonis 5-20 mg IV Awitan cepat Takikardia, aritmia


Fentolamin* reseptor α1, (2 menit),
α2 durasi singkat
(10-15 menit)
Vasodilator langsung
Hidralasin NO terkait dengan 2,5-10 mg IV Serum-sickness
mobilisasi kalsium bolus (sampai 40 like, drug induced
dalam otot polos mg) lupus, durasi lama
(3-4 jam), awitan
lambat (15-30
menit)
Tiopental* Aktivasi 30-60 mg Awitan cepat Depresi miokardial
reseptor IV (2 menit),
GABA durasi singkat
(5-10 menit)
Trimetafan* Blockade 1-5 Awitan segera, Bronkospasme,
ganglionik mg/menit durasi singkat retensi urin,
IV (5-10 menit) siklopegia,
midriasis
Fenoldipam* Agonis DA-1 0,001-1,6 Awitan Hipokalemia,
dan reseptor μg/kg/menit <15 takikardia,
α2 IV; tanpa menit, durasi bradikardia
bolus 10-20 menit
Sodium Nitrovasodila 0,25-10 Awitan segera, Keracunan sianid,
nitropusid* tor μg/kg/menit durasi singkat vasodilator
IV (2-3

Penatalaksanaan khusus

Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral


1. Diagnosis dan Penilaian Gawat Darurat pada Perdarahan Intrakranial dan Penyebabnya

d. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI direkomendasikan untuk

membedakan stroke iskemik dengan perdarahan intracranial (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence A).

e. Angiografi CT dan CT dengan kontras dapat dipertimbangkan untuk membantu

mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan hematoma (AHA/ASA, Class II,

Level of evidence B). Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan yang

mengarah ke lesi structural termasuk malformasi vaskuler dan tumor, sebaiknya


42

dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT dengan kontras, MRI dengan kontras,

MRA, dan venografi MR (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). (Lihat Bab X

Pemeriksaan Diagnostik pada Stroke Akut).

2. Tatalaksana Medis Perdarahan Intrakranial

a. Pasien dengan defisiensi berat factor koagulasi atau trombositopenia berat sebaiknya

mendapat erapi penggantian factor koagulasi atau trombosit (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence C).

b. Pasien dengan perdarahan intracranial dan peningkatan INR terkait obat antikoagulan

oral sebaiknya tidak diberikan walfarin, tetapi mendapat terapi untuk menggganti

vitamin K-dependent factor dan mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K

intravena (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C). Konsentrat kompleks protrombin

tidak menunjukkan perbaikan keluaran dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma

(FFP). Namun, pemberian konsentrat kompleks protrombin dapat mengurangi

komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat dipertimbangkan sebagai alternative

FFP (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai berikut:

- Vitamin K 10 mg IV diberikan pada penderita dengan peningkatan INR dan diberikan

dalam waktu yang sma dengan terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam

kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk meminimalkan risiko

anafilaksis.2,3,4

- FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi factor pembekuan darah bila

ditemukan sehingga dengan cepat memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk

mengganti pada kehilangan factor koagulasi.2,3,4


43

d. Faktor VIIa rekobinan tidak mengganti semua factor pembekuan, dan walaupun INR

menurun, pembekuan bias jadi tidak membaik. Oleh karena itu, factor VIIa

rekombinan tidak secara rutin direkomendasikan sebagai agen tunggal untuk

mengganti antikoagulan oral pada perdarahan intracranial. (AHA/ASA, Class III,

Level of evidence C). Walaupun factor VII a rekombinan dapat membatasi perluasan

hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian tromboemboli akan

meningkat dengan factor VIIa rekombinan dan tidak ada keuntungan nyata pada

pasien yang tidak terseleksi (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

f. Kegunaan dari transfuse trombosit pada pasien perdarahan intracranial dengan

riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak jelas dan dalam tahap

penelitian(AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence B).

g. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan perdarahan intracranial,

sebaiknya mendapat pneumatic intermittent compression selain dengan stoking elastis

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

h. Setelah dokumentai penghentian perdarahan LMWH atau UFH subkutan dosis rendah

dapat dipertimbangkan untuk pencegahan tromboembolin vena pada pasien dengan

mobilitas yang kurang setelah satu hingga empat hari pascaawitan (AHA/ASA, Class

IIb, Level of evidence B).

i. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian proamin sulfat 10-50 mg IV dalam

waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian protamin sulfat perlu pengawasan ketat

untuk melihat tanda-tanda hipersensitif (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

3. Tekanan Darah

Lihat Bab V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke Akut.


44

4. Penanganan di Rumah Sakit dan Pencegahaan Kerusakan Otak Sekunder

a. Pemantauan awal dan penanganan pasien penrdarahan intracranial sebaiknya

dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang memiliki keahlian perawatan

intensif neurosains (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

b. Penanganan Glukosa

c. Obat kejang dan antiepilepsi

Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence C). Pemantauan EEG secara kontinu dapat diindikasikan pada pasien

perdarahan intrakrranial dengan kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan

kerusakan otak yang terjadi. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Pasien

dengan perubahan status kesadaran yang didapatkan gelombang epiloptogenik pada

EEG sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi (AHA/ASA, Class IIa Level of

evidence C). Pemberian antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan.

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).1

5. Prosedur/ Operasi

a. Penanganan dan Pemantauan Tekanan Intrakranial

 Pasien dengan skor GCS <8, dengan tanda klinis herniasi transtentorial,atau dengan

perdarahan intraventrikuler yang luas atau hidrosefalus, dapat dipertimbangkan untuk

penanganan dan Pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70 mmHg

dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi otak (AHA/ASA, Class Iib,

level of evidance C).1

 Drainase ventrikular sebagai tata laksana hidrosefalus dapat di[pertimabngkan pada

pasien dengan penurunan tingakt kesadaran (AHA/ASA Class IIa, Level of evidance

B). 1
45

b. Perdarahan Intraventikuler

Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type plasminogen activator

(rTPA) untuk melisiskan bekuan darah intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi yang

cukup rendah, efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih belum pasti dan dalam

tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).

c. Evakuasi hematom

d. Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan tindakan operasi

masih belum pasti (AHA/ASA, Class Iib, level of evidance C). Pasien dengan perdarahan

serebral yang mengalami perburukan neurologis, atau yang terdapat kompresi batang

otak, dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi

evakuasi bekuan darah secepatnnya (AHA/ASA, Class I, Level of evidance B) . 1 Tata

laksana awal pada pasien tersebut dengan drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi

bekuan darah tidak direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level of evidance C) .

- Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm dari permukaan,

evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan kraniotomi standar dapat

dipertimbangkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B) .

- Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik aspirasi

streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan trombolitik masih belum

pasti dalam tahap penelitian (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).

- Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari perdarahan

intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran fungsional atau angka

kematian, kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat meningkatkan faktor

resiko perdarahan berulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance B) .


46

e. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi

Perintah penundaan tidak diresusitasi direkoimendasikan untuk tidak melakukan

perawatan penuh dan agresif dilakukan selama 2 hari (AHA/ASA, Class Iia, Level of

evidance B), Kecuali pada pasien yang sejak semula ada keinginan untuk tidak

diresusitasi.

f. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang

- Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien telah disusun untuk

mencegah perdarahan berulang keputusan tatalaksana dapat berubah karena

pertimbangan beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari perdarahan awal,

usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan, terdapat alel E2 atau E4 apolipoprotein

dan perdarahan mikro dalam jumlah besar pada MRI (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidance B) . 1

- Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada kontra indikasi medis,

tekanan darah sebaiknya dikontrol dengan baik terutama pada pasien yang lokasi

perdarahannya tipikal dari vaskulopati hipertensif (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidance A).

- Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari tekanan darah dapat

dipertimbangkan menjadi <140/90 mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes penyakit

ginjal kronik (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B) .

- Penghentian pemakaian antikoagulan jangka panjang sebagai tatalaksana fibrilasi

atrial nonvalvuler mungkin direkomendasikan setelah perdarahan intrakranial lobar spontan

karena relatif berisiko tinggi untuk perdarahan berulang (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidance B). Pemberian antikoagulan dan terapi antiplatelet setelah perdarahan intrakranial

nonlobar dapat dipertimbangkan, terutama pada keadaan terdapat indikasi pasti penggunaan
47

terapi tersebut (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).Pelanggaran konsusmsi alkohol

berat sangat bermanfaat (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B).

6. Rehabilitasi dan pemulihan

Mengingat potensi yang serius dari perdarahan intrakranial berupa kecacatan yang berat,

serius dan kompleks, semua pasien sebaiknya dilakukan rehabilitasi secara multidisiplin

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B). Jika memungkinkan , rehabilitasi dapat

dilakukan sedini mungkin dan berlanjut disarana rehabilitasi komunitas, sebagai bagian dari

program terkoordinasi yang baik antara perawatan di rumah sakit dengan perawatan berbasis

rumah sakit dengan perawatan berbasis rumah (Home care) untuk meningkatkan pemulihan

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B) .

Penatalaksanaan Perdarahan Subarachnoid (PSA)

1. Tatalaksana penegakan diagnosis perdarahan subarachnoid

a. Perdarahan subarachnoid merupakan salah satu gawatdarurat neurologi dengan

gejala yang kadangkala tidak khas sehingga sering ditemukan kesulitan dalam

menegakkan diagnosis. Pasien dengan keluhan nyeri kepala hebat (paling sakit

yang dirasakan sepanjang hidup) yang muncul tiba-tiba sebaiknya dicurigai

dicurigai sebagaisuatu tanda adanya PSA (AHA/ASA, Class I, level evidance B)

b. Pasien yang dicurigai PSA sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT-Scan kepala

(AHA/ASA, Class I, level evidance B). Apabila hasil CT-Scan tidak menunjukkan

adanya tanda-tanda PSA pada pasien yang secara klinis dicurigai PSA maka

tindakan pungsi lumbal untuk analisis cairan cerebrospinal sangat

direkomendasikan (AHA/ASA, Class I, level evidance B). 1

c. Untuk memastikan adanya gambaran aneurisma pada pasien PSA, pemeriksaan

angiografi serebral sebaiknya dilakukan (AHA/ASA, Class I, level evidance B).


48

Namun, apabila tindakan angiografi konvensional tidak dapat dilakukan maka

pemeriksaan MRA atau CT angiografi perlu dipertimbangkan (AHA/ASA, Class I,

level evidance B).

2. Tatalaksana umum PSA

a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H) adalah

sebagai berikut : 2 (Lampiran 1)

- Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin

- Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 300dan nyaman, bila perlu

berikan O2 2-3 L/menit

- Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat kesadaran).

- Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat sistem

kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul

b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan harus lebih intensif1

-Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang gawat darurat

-Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif

-Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu

dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila didapatkan

tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial

-Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan menyulitkan

penialaian status neurologi

3. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA


49

a. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan ulang. Hipertensi

berkaitan dengan terjadinya perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidance

B). Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam rangka

pencegahan perdarahan ulang pada PSA. (lihat BAB V.A Penatalaksanaan Tekanan

Darah Pada Stroke Akut)

b. Istirahat total di tempat tidur (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).

c. Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV kemudian

dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya disarankan 72

jam) untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu.

Terapi antifobrinolitik dikontraindikasikan pada pasien dengan koagulopati, riwayat

infark miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam. Terapi

antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan risiko rendah terhadapa terjadinya

vasospasme atau pada pasien dengan penundaan operasi. pada beberapa studi, terapi

antifibrinolitik dikaitkan dengan tingginya angka kejadian iskemik serebral sehingga

mungkin tidak menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu,

studi dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-obatan lain untuk

mengurangi vasospasme perlu dilakukan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).

d. Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan perdarahan ulang

(AHA/ASA, Class III, Level of evidance A).

e. Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba. Penelitian lebih lanjut

masih diperlukan (AHA/ASA, ClassIV-V, Level of evidance C).

4. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur


50

a. Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan untuk

mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA (AHA/ASA,

Class I, Level of evidance B).

b. Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko perdarahan ulang

setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan bahwasecara keseluruhan hasil

akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda (AHA/ASA, Class II-IV, Level of

evidance B). Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien dengan

derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan

klinis lain, operasi yang segera atau yang ditunda direkomendasikan tergantung

pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke pusat spesialis sangat dianjurkan.

Penanganan dan pengobatan pasien aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian

besar kasus. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B).

c. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and clipping

ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan endovaskuler

coiling lebih bermanfaat (AHA/ASA, Class I, Level of evidance B).

d. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi untuk

perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan kapan

saja bila memungkinkan (AHA/ASA, Class I, Level of evidance B).

5. Penegahan dan tatalaksana vasospasme

a. Pencegahan nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke 3 atau

secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari. 2 Pemakaian nimodipin oral terbukti

meperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan oleh vasospasme. (AHA/ASA, Class I,

Level of evidance A).2,3,4,5,6,7 Calsium antagonist lainnya yang diberikan secara

oral atau intravena tidak bermakna (AHA/ASA, Class I, Level of evidance ).


51

b. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan aneurisma yang ruptur,

dengan mepertahankan volume darah sirkulasi yang normal (euvolemia) dan

menghindari terjadinya hipovolemia (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B).

c. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme, terapi hiperdinamik yang

dikenal dengan triple H (Hypervolemic-Hypertensive-Hemodilution) perlu

dipertimbangkan dengan tujuan mepertahankan tekanan perfusi serebral. Dengan

demikian, angka kejadian iskemik serebral akibat vasospasme dapat dikurangi

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidance B) .2,3 Hati-hati terhadap kemungkinan

terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau

Clipping(AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidance C)

d. Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan antiinflamasi tidak tidak bermakna

(AHA/ASA, Class II-IV, Level of evidance C)

e. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional , angioplasti transluminal

dianjurkan untuk pengobatan vasospasme (AHA/ASA,Class IV-V,Level of evidance

C)

f. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme adalah sebagai berikut

- Pencegahan vasospasme

I. Nimodipin 60 mg peroral 4 kali sehari

II. NaCl 3% intravena 50 ml 3 kali sehari (hati-hati terhadap timbulnya komplikasi

berupa Central Pontine Myelinolisis (CPM)

III. Jaga keseimbangan elektrolit

-Delayed vasospasm

I. Stop dimodipin, antihipertensi dan diuretika


52

II. Berikan 5% albumin 250 ml intravena

III. Bila memungkinkan lakukan pemasangan Swangans dan usahakan wedge preasure

12-14 mmHg

IV. Jaga cardiac index sekitar 4 L/min/sg.meter

V. Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min

6. Pengelolaan darah pada PSA

7. Tata Laksana Hiponatremia pada PSA

8. Tata Laksanan Kejang pada PSA

9. Tatalaksana Komplikasi Hidrosefalus

10. Terapi Tambahan

a. Laksansia (Pencahar) diperlukan untuk melunakkan feses secara reguler.5

b. Analgesik

-Asetaminofen ½-1 gr/4-6 jam dengan dosis maksimal 4gr/4-6 jam.5

- Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM/4-6 jam. 5

- Tylanol dengan kodein8

- Hindari asetosal

c. Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :

- Haloperidol IM 1-10 mg setiap 6 jam

-Petidin IM 50-100 mg atau morfin atau morfin sc atau iv 5-10 mg/4-6 jam5,8

- Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam

– Propofol 3-1 mg/kg/jam8

2.9 Komplikasi Stroke Hemoragik(9)


53

Komplikasi stroke dapat di bagi menjadi komplikasi akut, biasanya dalam 72 jam, dan

komplikasi yang muncul di kemudian hari.

i. Komplikasi akut berupa edema serebri, peningkatan TIK dan kemungkinan herniasi,

pneumonia aspirasi dan kejang.

ii. Komplikasi postfibrinolitik di sekeliling pusat perdarahan. Pada perdarahan

intraserebral yang luas biasanya muncul dalam 12 jam setelah penanganan.

Perdarahan potensial yang lain juga dapat muncul di traktus gastrointestinal, traktus

genitourinarius dan kulit terutama di sekitar pemasangan intravenous line.

iii. Komplikasi subakut, yaitu pneumonia, trombosis vena dalam dan emboli pulmonal,

infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, kontraktur, spasme, masalah sendi dan

malnutrisi.

iv. Beberapa orang yang selamat dari stroke juga mengalami depresi. Hal ini dapat

diatasi dengan identifikasi dan penanganan dini depresi pada pasien untuk

meningkatkan kualitas hidup penderita.

2.10 Prognosis Stroke Hemoragik(1)

Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi serta

ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah berhubungan dengan

prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi. Apabila terdapat volume darah

yang besar dan pertumbuhan dari volume hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome

fungsionalnya juga sangat buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam

ventrikel bisa meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan

antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga memiliki outcome

fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.

BAB III
LAPORAN KASUS
54

3.1 Identitas
Nama : Ny. ML
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Bangsa : Indonesia
Suku : Maumere
Agama : Katolik
Alamat : Kota Baru, Alok Timur, Kabupaten Sikka
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Perawatan : Ruang ICU
Tanggal Masuk : 26/06/2018
Tanggal Pemeriksaan : 14/07/2018

3.2 Anamnesis
HeteroAnamnesis dengan pasien pada tanggal 04 Juli 2018
1. Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit di RS. St. Gabriel
Keawapante
2. Keluhan Penyerta:
Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala hebat sesaat sebelum penurunan kesadaran dan
lemah badan kurang lebih 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan membawa rujukan dari RS St. Gabriel Kewapante dengan
diagnosa Stroke hemoragik, masuk rumah sakit RSUD TC Hillers pada tanggal
26/06/2018 dengan keluhan utama penurunan kesadaran sudah sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit di RS. St. Gabriel Kewapante yang terjadi mendadak di siang hari
sewaktu beraktivitas di rumah. Sebelum mengalami penurunan kesadaran, pasien
sempat mengeluhkan nyeri kepala hebat yang disertai mual-muntah. Pada saat terjadi
penurunan kesadaran keluarga mengatakan pasien tidak berespon dengan rangsangan
dari luar. Menurut keterangan keluarga, pasien juga sudah mengeluhkan lemah
separuh badan di sisi tubuh sebelah kiri.sudah sejak 1 minggu yang lalu yang terjadi
mendadak di saat pasien sedang beraktivitas pada siang hari. Dimana onset kelemahan
separuh badan ini didahului oleh nyeri kepala tetapi tidak disertai mual-muntah.
55

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol. Riwayat DM, kolesterol, dan
penyakit jantung disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga:
Ada sepupu dari pasien yang pernah mengalami hal yang sama yakni stroke

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Generalis
 Keadaan umum : Sakit Berat
 Kesadaran : Compos Mentis, GCS (E=1, V=1, M=1)
 Tanda Vital :
o Tekanan Darah : 162/105 mmHg
o Nadi : 92 x/menit reguler kuat angkat
o Pernapasan : 19 x/menitpola napas chyene stokes
o Suhu : 36,7 ᵒC
 Kepala : dalam batas normal, deformitas (-)
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera anemis (-/-)
 Hidung : dalam batas normal, deviasi septum (-)
 Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosi (-)
 Leher : A. Carotis Communis teraba, reguler kuat angkat
 Thoraks/Pulmo :
o Inspeksi : bentuk dada simetris kiri dan kanan, gerakan dada
simetris, tipe pernapasan torakoabdominal
o Palpasi : massa (-), taktil fremitus kiri dan kanan kesan normal
o Perkusi : sonor pada paru kiri dan kanan
o Auskultasi : vesikuler +/+. Ronkhi -/-, Wheezing -/-, gurgling,
o Nafas Chyene-Stokes
 Jantung
o Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
o Palpasi : tidak terdapat kelainan, dalam batas normal
o Auskultasi : S1-S2 reguler, tunggal, murmur (-), gallop (-)
o Perkusi : pekak (+), tidak tampak pembesaran jantung
 Abdomen
56

o Inspeksi : perut tampak datar, sesuai gerak pernapasan


o Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (+)

 Ekstremitas
o Superior
Edema : -/-
Sianosis : -/-
Akral : dingin
Sensorik : tidak dapat dievaluasi
o Inferior
Edema : -/-
Sianosis : -/-
Akral : dingin
Sensorik : tidak dapat dievaluasi
3.3.2 Status Neurologis
1. Tanda Rangsang Menings
Kaku Kuduk :-
Kernig’s Sign :-
Brudzinski I :-
Brudzinski II :-
Brudzinski III :-
Brudzinski IV :-
2. Saraf Cranialis
 N. Olfaktorius
Subyektif : tidak dapat dievaluasi
Obyektif : tidak dievaluasi
 N. Opticus
Visus : tidak dapat dievaluasi
Melihat Warna : tidak dapat dievaluasi
Skotom : tidak dapat dievaluasi
Funduskopi : Tidak dievaluasi
 N. Occulomotirius, N.Trochlearis, N. Abducens
Kedudukan Bola Mata : posisi bola mata setangkup
57

Pergerakan bola mata ke:


Nasal : tidak dapat dievaluasi
Temporal : tidak dapat dievaluasi
Atas : tidak dapat dievaluasi
Bawah : tidak dapat dievaluasi
Temporal Bawah : tidak dapat dievaluasi
Nistagmus : tidak dapat dievaluasi
Celah mata (Ptosis) : tidak dapat dievaluasi -
Pupil :
Bentuk : bulat
Lebar : 3mm, 3mm
Perbedaan lebar : isokor
Reaksi pupil :
Reaksi cahaya langsung : (+)/(+)minimal
Reaksi cahaya konsensuil : (+)/(+)minimal
 N. Trigeminus
Cabang Motorik
Otot Maseter : tidak dapat dievaluasi
Otot Temporal : tidak dapat dievaluasi
Otot Pterygoideus int/ext : tidak dapat dievaluasi
Cabang Sensorik
N. Oftalmikus : tidak dapat dievaluasi
N. Maxillaris : tidak dapat dievaluasi
N. Mandibularis : tidak dapat dievaluasi
Refleks kornea langsung : (+)/ (+)
Refleks kornea sensuil : (+)/ (+)
Trismus :-
 N. Facialis
Dalam Keadaan Istirahat
Kerutan Dahi : simetris
Tinggi alis : simetris
Sudut mata : simetris
Lipatan nasolabial : simetris
58

Dalam Keadaan Bergerak


Mengerutkan dahi : tidak dapat dievaluasi
Menutup Mata : tidak dapat dievaluasi
Bersiul/mencucu : tidak dapat dievaluasi
Meringis : tidak dapat dievaluasi
Pengecapan 2/3 depan lidah : tidak dievaluasi
Sekresi air mata : tidak dievaluasi
Hiperakusis : tidak dapat dievaluasi

 N. Vestibulocochlearis
Mendengar suara bisik/gerakan jari tangan : Tidak dievalusi
Tes Garpu Tala
Rinne : tidak dievaluasi
Swabach : tidak dievaluasi
Weber : tidak dievaluasi
Tinitus :-
Keseimbangan : tidak dievaluasi
Vertigo :-

 N. Glossopharyngeus dan N. Vagus


Bagian Motorik
Menelan : tidak dapat dievaluasi
Kedudukan arcus pharynx : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
Kedudukan uvula : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
Pergerakan arcus pharynx : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
Disfonia :-
Bagian Sensoris
Pengecapan 1/3 belakang lidah : tidak dievaluasi
Refleks muntah :-
 N. Accesorius
Mengangkat bahu : tidak dievaluasi
Memalingkan kepala : tidak dievaluasi
 N. Hypoglossus
59

Disartria : tidak dievaluasi


Lidah
Tremor : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
Atrofi : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
Fasikulasi : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
Ujung lidah saat istrirahat : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
Ujung lidah saat dijulurkan : tidak dapat dievaluasiterpasang goedel
3. Ekstremitas Atas

Besar Otot :
Atrofi : -/-
Pseudohypertrofi : -/-
Tonus Otot
Hipotoni : +/+
Spastik : -/-
Rigid : -/-
Kekuatan Otot
M. Deltoid : 0/0
M. Biceps : 0/0
M. Triceps : 0/0
Fleksi sendi pergelangan tangan : 0/0
Ekstensi sendi pergelangan tangan : 0/0
Membuka jari-jari tangan : 0/0
Menutup jari-jari tangan : 0/0
Sistem Sensorik
Perasa raba : tidak dievaluasi
Perasa nyeri : tidak dievaluasi
Perasa suhu : tidak dievaluasi
Perasa proprioseptik : tidak dievaluasi
Perasa vibrasi : tidak dievaluasi
Stereognosis : tidak dievaluasi
Barognosis : tidak dievaluasi
Diskriminasi 2 titik : tidak dievaluasi
Grafestesia : tidak dievaluasi
60

Topognosis : tidak dievaluasi


Parestesia : tidak dievaluasi
Refleks Fisiologis
Biseps : +2/+2
Triseps : +2/+2
Radius : +2/+2
Ulna : +2/+2
Refleks Patologis
Hoffmann-Tromner : +/+
Koordinasi
Tes telunjuk-telunjuk : tidak dievaluasi
Tes telunjuk hidung : tidak dievaluasi
Tes hidung telunjuk hidung : tidak dievaluasi
Tes pronasi supinasi : tidak dievaluasi
4. Badan
Kelaianan Kolumna Vertebralis
Kelaianan Lokal
Skoliosis : tidak ada
Khypose : tidak ada
Khyposkoliosis : tidak ada
Gibbus : tidak ada
Nyeri tekan/ketuk : tidak dievaluasi
Gerakan
Fleksi : tidak dievaluasi
Ekstensi : tidak dievaluasi
Lateral deviation : tidak dievaluasi
Rotasi : tidak dievaluasi
Keadaan otot : dalam batas normal
Refleks kulit dinding perut atas : -/-
Refleks kulit dinding perut bawah : -/-
Refleks kremaster :-
Sensibilitas :
Perasa raba : tidak dievaluasi
61

Perasa nyeri : tidak dievaluasi


Perasa suhu : tidak dievaluasi
Vegetatif :-
Gerakan involunter :-
5.Ekstremitas Bawah:
Besar Otot
Atrofi : -/-
Pseudohypertrofi : -/-
Tonus Otot:
Hipotoni : -/-
Spastik` : -/-
Rigid : -/-
Kekuatan Otot
Flekxi artikulasio coxae : 0/0
Ekstensi Artikulasio coxae : 0/0
Fleksi sendi lutut : 0/0
Ekstensi sendi lutut : 0/0
Fleksi Plantar Kaki : 0/0
Ekstensi dorsal kaki : 0/0
Gerakan jari-jari kaki : 0/0
Sistem Sensorik
Perasa raba : tidak dievaluasi
Perasa nyeri : tidak dievaluasi
Perasa suhu : tidak dievaluasi
Perasa proprioseptik : tidak dievaluasi
Perasa vibrasi : tidak dievaluasi
Stereognosis : tidak dievaluasi
Barognosis : tidak dievaluasi
Diskriminasi 2 titik : tidak dievaluasi
Grafestesia : tidak dievaluasi
Topognosis : tidak dievaluasi
Parestesia : tidak dievaluasi
Klonus
62

Paha : -/-
Kaki : -/-
Refleks Fisiologis
Lutut (KPR) : +2 / +2
Achilles (APR) : +2 / +2
Plantar : +2 / +2
Refleks Patologis
Babinski :+/+
Oppenheim :+/+
Chaddock :+/+
Gordon : +/+
Schaeffer : +/+
Gonda : +/+
Koordinasi
Tes tumit-lutut : tidak dievaluasi
Romberg test : tidak dievaluasi
Heel to toe walking test : tidak dievaluasi
Unterberg’s stepping test : tidak dievaluasi
Gerakan Involunter
Tremor : -/-
Waktu istirahat : -/-
Waktu bergerak :-/-
Chorea : -/-
Athetose : -/-
Balismus : -/-
Mioklonus : -/-
Distonia : -/-
Spasmus : -/-

5. Fungsi Luhur
Afasia motorik :-
Afasia sensorik :-
Afasia global :-
63

Afasia amnestik :-
Afasia konduksi :-
Agrafia :-
Aleksia :-
Apraksia :-
Agnosia :-
Akalkulia :-
Lateralisasi ke kiri

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium: Tanggal : 26/06/2018
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
WBC 11,17 5-11,0
Limfosit 2,61 1,00-3,70
RBC 4,73 2,5-5,50
HGB 13,9 11-16
HCT 40,2 31-50
MCV 85 86-110
MCH 29,4 26-38
MCHC 34,6 31-37
Ureum 48 10-50
Kreatinin 0,83 0,9-1,3

3.5 Diagnosis
Klinis : penurunan kesadaran (coma dalam), Hoffman-tromner (+/+), Babinsky
dan variannya(+/+)
Topis : Hemisfer Cerebri dextra bagian Subcortex
Etiologi : Stroke Hemoragik, Hipertensi, Impending Herniasi
3.6 Penatalaksanaan
- O2 nasal kanul 2-4 lpm
- Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg
- Neurobath 2x 1 ampl
64

- Captopril 3 x 25 mg
- Nicardipine 2,5 cc/jam
3.7 Follow Up
a. 16 Juli 2018
S: penurunan kesadaran sudah 19 hari
O: Kesadaran : Coma Dalam
GCS : E1V1M1
TD : 126/87 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 24x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,8 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-) , refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
b. 17 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 20 hari
65

O : Kesadaran : Coma Dalam


GCS : E1V1M1
TD : 126/85 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 23x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,8 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-),refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR

c. 18 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 21 hari
66

O : Kesadaran : Coma Dalam


GCS : E1V1M1
TD : 126/85 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 23x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,8 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-),refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR

d. 19 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 22 hari
67

O : Kesadaran : Coma Dalam


GCS : E1V1M1
TD : 126/85 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 23x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,8 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-), refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri, refleks oculocephalik (-), ulcus
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi, stres
ulcer
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR

e. 20 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 23 hari
68

O : Kesadaran : Coma Dalam


GCS : E1V1M1
TD : 127/86 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 23x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,5 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-),refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri, ulcus
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi, stres
ulcer
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR

f. 21 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 24 hari
69

O : Kesadaran : Coma Dalam


GCS : E1V1M1
TD : 129/86 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 23x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,7 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-),refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri, ulcus
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi, stres
ulcer
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR

g. 22 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 25 hari
70

O : Kesadaran : Coma Dalam


GCS : E1V1M1
TD : 129/88 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 23x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,5 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-),refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri, ulcus
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi, stres
ulcer
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR

h. 23 Juli 2018
S : penurunan kesadaran sudah 26 hari
71

O : Kesadaran : Coma Dalam


GCS : E1V1M1
TD : 129/86 mmHg
Nadi : 88 x/menit Reguler, Kuat Angkat
RR : 23x/menitpola napas Chyene Stokes
Suhu : 36,5 oC
Pupil : Bulat isokor (4mm/4mm), RCL (-/-), RCTL
(-/-),refleks oculocephalik (-)
Parese N. Cranialis : parese nervus 2 dan 3
Refleks Fisiologis : +2/ +2
Refleks Patologis : Hoffman-Tromner (+/+), babinsky dan
variannya : (+/+),rosolimo-mendel bectterew : (+/+)
Siriraj Score : 1,5

A: Diagnosa Klinis : coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese


nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo
mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri, ulcus
Diagnosis Topis : Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Diagnosis Etiologi : SH, Hipertensi, Impending Herniasi, stres
ulcer
P: -Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR
72

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Resume
Subjektif: pasien perempuan usia 53 tahun datang dengan keadaan tidak sadar
diantar keluarganya membawa rujukan dari Rs. St. Gabriel Kewapante dengan
diagnosa SH, mengalami penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS kewapante yang
terjadi mendadak di siang hari sewaktu beraktivitas di rumah. Sebelum mengalami
penurunan kesadaran, pasien sempat mengeluhkan nyeri kepala hebat yang disertai
mual-muntah. Pada saat terjadi penurunan kesadaran keluarga mengatakan pasien
tidak berespon dengan rangsangan dari luar. Menurut keterangan keluarga, pasien
juga sudah mengeluhkan lemah separuh badan di sisi tubuh sebelah kiri sudah sejak 1
minggu yang lalu yang terjadi mendadak di saat pasien sedang beraktivitas pada siang
hari. Dimana onset kelemahan separuh badan ini didahului oleh nyeri kepala tetapi
tidak disertai mual-muntah. Pasien memiliki riwayat hipertensi tidak terkontrol.
Riwayat DM, kolesterol, dan penyakit jantung disangkal, selain itu pasien memiliki
riwayat keluarga berupa ada sepupu dari pasien yang pernah mengalami hal yang
sama yakni stroke.

Objektif: Dari hasil pemeriksaan didapatkan GCS : E1V1M1 (Coma


dalam),Tekanan Darah 165/105 mmHg, Nadi 92 x/menit reguler kuat angkat,
Pernapasan 19x/menit pola napas Chyene-Stokes, Suhu 36,7oC. Pupul bentuk bulat
ukuran 2mm/2mm isokor, RCL -/-, RCTL -/-, parese nervus 2 dan nervus 3, hoffman
tromner (+/+), babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo mendel-beckterew (+/+),
Lateralisasi ke kiri,

4.2. Diagnosis
1. Diagnosa Klinik:
Kasus: coma dalam, respirasi Chyene-stokes, parese nervus 2 dan 3, hoffman tromner (+/+),
babinsky dan variannya (+/+), Rosolimo mendel-beckterew (+/+), Lateralisasi ke kiri, ulcus
Teori: pada teori diketahui bahwa pada saat terjadi stroke hemoragik terjadi peningkatan
massa atau volume di dalam otak akibat pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi
perdarahan intracerebri. Sesuai dengan doktrin monro-kellie diketahui bahwa jumlah volume
otak, likuor dan darah dalam ruang tengkorak adalah selalu tetap/konstan, apabila salah satu
73

dari ketiga komponen ini bertambah maka tekanan intrakranialis akan meningkat.
Meningkatnya tekanan intrakranialis (TIK) menyebabkan manifestasi gejala berupa
penurunan kesadaran. Diketahui bahwa kesadaran ditentukan oleh lintasan sensorik spesifik
seperti traktus spinotalamikus, leminikus medialis dan lateralis serta radiasio optika dan
lintasan sensorik non spesifik berupa formasio retikularis yang mencakup ARAS (ascending
reticular activating system)yang berada di dienchephalon. Di rostral ARAS berakhir di nuklei
intralaminaris talami dextra dan sinistra. Dari nuklei intralaminaris talami impuls tersebut
kemudian dipancarkan secara difus ke seluruh korteks cerebri. Dengan demikian impuls yang
berasal dari ARAS dapat dipancarkan ke seluruh korteks cerebri di kedua sisi. Apabila terjadi
gangguan pada korteks cerebri maka akan terjadi koma kortikal bihemisferik yang dicirikan
dengan sindrom otak organik seperti (delirium, dan gangguan fungsi luhur) sedangkan koma
diensefalik ditandai dengan kelainan neurologis seperti paralisis nervus cranialis, adanya
lateralisasi, TIK yang meningkat, bangkitan epilepsi, nyeri kepala dan lainnya. Pada saat
terjadi suatu stroke hemoragik di otak maka akan terjadi lesi pada parenkim otak meliputi
neuron-neuron, sehingga lapisan serabut saraf pun akan rusak. Rusaknya serabut saraf seperti
lapisan mielin dan sebagianya ditandai dengan refleks patologis yang menjadi positif.

2. Diagnosa Topis
Kasus: Hemisfer cerebri dextra bagian subcortex
Teori: pada otak tepatnya pada sulcus centralis yang memisahkan gyrus precentralis dan
postcentralis, dimana pada kedua cortex gyrus ini terdapat homunkulus sensorik dan motorik
yang mengatur pergerakan tubuh. Apabila terjadi suatu stroke atau lesi pada otak maka akan
menyebabkan gangguan motorik dan sensorik. Pada kortex cerebri terdapat traktus
kortikospinalis yang merupakan bagian dari upper motor neuron yang menghubungkan
kortex dan medula spinalis melalui jaras-jarasnya. Apabila terjadi kerusakan pada bagian
kortex maka tergantung pada letak lesi tersebut terkena pada homunkulus bagian tertentu
sehingga akan memperlihatkan tampilan parese/plegi dengan grade yang berbeda pada
ekxtremitas sebab jaras traktus kortikospinalis menyebar secara difus pada setiap kortex
cerebri. Apabila suatu lesi terjadi pada bagian subcortex maka seperti yang kita ketahui
bahwa semakin menuju ke kapsula interna, serabut traktus kortikospinalis akan mulai
menyatu membentuk suatu bundel sehingga apabila terjadi lesi di daerah subcortex atau
capsula interna maka akan terjadi parese/plegi dengan grade yang hampir sama atau bahkan
sama karena lesi tersebut terjadi pada pangkal serabut yang menyatu yang menghubungkan
74

korteks cerebri dan dan medula spinalis.apabila terjadi suatu lesi di cerebri sinistra maka akan
ditemukan lateralisasi pada daerah kanan karena traktus kortikospinalis akan bersilangan
pada decusatio piramidalis sehingga apabila lesi terjadi di sisi sinistra makan akan terjadi
defisit neurologis kontralateral.

3. diagnosis etiologi
kasus: stroke hemoragik, hipertensi, impending herniasi

teori: stroke merupakan sindroma klinis berupa tanda-tanda klinis yang berkembang cepat

akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama

24 jam atau lebih, dapat menyebabkan kematian,tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.

risiko stroke berkaitan dengan tingkat sistolik hipertensi. hal ini berlaku untuk kedua jenis

kelamin, semua umur, dan untuk resiko perdarahan, atherothrombotik, dan stroke lakunar.

umur merupakan faktor risiko yang paling kuat untuk stroke. sekitar 30% dari stroke terjadi

sebelum usia 65; 70% terjadi pada mereka yang 65 ke atas. risiko stroke adalah dua kali

ganda untuk setiap 10 tahun di atas 55 tahun. apabila terjadi stroke hemoragik maka akan

terjadi gangguan pada volume otak sehingga berlakulah doktrin monro kellei, sehingga

terjadi peningkatan tik dan gejala atau manifestasi klinisnya. manisfestasi klinis dapat berupa

pernapasan chyene stokes, refleks cushing, penurunan kesadaran dan lainnya sehingga

mengancam untuk terjadinya herniasi atau impending herniasi.

4.3 Penatalaksanaan
-Nacl 0,9% inf 20 tpm
- Citicolin 2 x 500 mg PO
- B1B6B12 2x1 PO
- Captopril 3 x 50 mg PO
- Nifedipine 3 x 10 mg PO
- Ranitidine 2 x 1 gr
- Sucralfat 4 x C 1
- Antasida syr 3 x C 1
- DNR
75

DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2013. 101-109 p.
2. Nasissi D. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape [Internet]. 2012; Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview.
3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses -proses Penyakit. 6th ed. Jakarta:
EGC; 2006. 736-739 p.
4. Sjahrir H. Stroke Iskemik. Medan: Yandira Agung; 2003. Misbach, J., S. M. Lumbantobing,
Rusdi L., Teguh A. S., Adelina, Y., Fauziah B., et al., 2007, PERDOSSI Guideline Stroke,
Kelompok, Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia, Jakarta.
5. Baehr M FM. Diagnosis Topis Neurologi DUUS. 4th ed. Jakarta: EGC; 2010.

6. Sotirios A. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery. New York: Thieme


Stuttgart; 2003.
7. Silbernagl S, Lang F. Teks & Altlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2007.
8. Ngoerah IG. Dasar- Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Denpasar-Bali: Udayana Universitas Press;
2017. 550 p.
9. MERCK. Hemorrhagic Stroke [Internet]. october1, 2012. 2007. Available from:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html.
10. Indonesia KSPDSS. Guideline Stroke 2007. Revisi. Jakarta: PerhimpunanDokter Spesialis
Saraf Indonesia; 2007.
11. Samino. Perjalanan Penyakit Peredaran Darah Otak. FK UI/RSCM [Internet]. 2006; Available
from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.pdf/13Per
jalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html
12. Mesiano T. Perdarahan Subarakhnoid Traumatik. FK UI/RSCM [Internet]. 2007; Available
from:
http://images.omynenny.multiply.multiplycontent.com/attachment/0/R@uuzQoKCrsAAFbxtP
E1/SAH traumatik Neurona by Taufik M.doc?nmid=88307927
13. Poungvarin N. Skor Siriraj Stroke danStudi Validasi Untuk membedakan Perdarahan
Intraserebral Supratentorial dari Infark. NCBI [Internet]. 2012; Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347

You might also like