You are on page 1of 23

REFERAT PSIKIATRI

“Gangguan Panik dengan Agorafobia”

Oleh :

Ghazia Fathimatuzzahroh

201410330311017

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

2018
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gangguan cemas panik adalah salah satu gangguan jiwa yang paling

sering ditemukan pada populasi umum. Gangguan diawali serangan panik yang

terjadi beberapa kali dalam satu hari.1 Kondisi lebih lanjut gangguan ini dapat

mengarah ke agorafobia, suatu kondisi kecemasan berada di tempat terbuka

karena ketakutan akan ditinggalkan, tidak berdaya atau merasa tidak ada yang

menolong bila serangan panik datang.2

Lebih dari 30 juta orang di Amerika Serikat menderita kondisi ini. Data

epidemiologi menunjukkan prevalensinya pada wanita lebih besar dua sampai tiga

kali daripada pria.3 Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang

dapat menggambarkan jumlah pasien dengan serangan panik, namun para

ahli merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang berdatangan.4

Gangguan panik pada perempuan 2/3 lebih banyak daripada laki-laki.2

Pada umumnya terjadi pada usia dewasa muda, sekitar 25 tahun, tetapi tidak

menutup kemungkinan untuk terjadi pada usia berapapun. Sembilan puluh satu

persen pasien dengan gangguan panik dan 84 % dengan agorafobia berpontensi

mengalami setidaknya satu gangguan psikiatrik lainnya.3 Salah satu faktor yang

diduga turut berperan dalam timbulnya gangguan panik adalah riwayat perceraian

atau perpisahan yang baru terjadi.3 Lima belas sampai 30 % mengalami fobia

sosial, 2-20 % mengalami fobia spesifik, dan 15-30 % mengalami kecemasan,

hingga 30 % mengalami gangguan obsesif kompulsif.5


Beberapa penelitian menunjukkan gangguan panik dapat diturunkan

akibat disfungsi neurokimia dengan perkiraan tingkat heritabilitasnya

(heritability) 0,3-0,6%. Meskipun begitu, hingga kini analisis segregasi masih

belum dapat menyimpulkan rantai DNA yang dapat menyebabkan gangguan

panik.4

Beberapa penelitian menunjukkan gangguan panik dapat diturunkan

akibat disfungsi neurokimia dengan perkiraan tingkat heritabilitasnya

(heritability) 0,3-0,6%. Meskipun begitu, hingga kini analisis segregasi masih

belum dapat menyimpulkan rantai DNA yang dapat menyebabkan gangguan

panik.6

Namun beberapa penelitian genetis menemukan bahwa regio kromosom

13q, 14q, 22q, 4q31-q34, serta 9q31 berkaitan erat dengan heritabilitas fenotip

gangguan panik. Disfungsi neurokimia tampaknya menjadi salah satu penyebab

gangguan panik yang mengakibatkan ketidakseimbagan otonom, penurunan

kualitas GABA(gamma-aminobutyric acid)ergik, polimorfisme alel gen COMT

(catechol-O-methyltransferase), peningkatan fungsi reseptor adenosin,

peningkatan kortisol, penurunan fungsi reseptor benzodiazepin, gangguan fungsi

serotonin, norepinephrine, dopamine, cholecystokinin, danIL-1beta.7

Disfungsi neurokimia ini diperkuat oleh temuan hasil scanning PET yang

menunjukkan terjadi peningkatan aliran darah pada regio parahippocampal dextra

dan penurunan ikatan reseptor serotonin tipe 1A pada cingula anterior dan

posterior pasien gangguan panik.1

Beberapa peneliti juga memberikan teori yang menyatakan gangguan panik

merupakan suatu keadaan yang diakibatkan olehhiperventilasi kronik dan


hipersensivisitas reseptor karbon dioksida. Beberapa pasien epilepsi menunjukkan

gangguan panik sebagai manifestasi dari bangkitan mereka.1

Sedangkan teori kognitif menyatakan bahwa pasien dengan gangguan panik telah

mengalami peningkatan sensitivitas terhadap isyarat otonomik internal. Sehingga

dengan sedikit rangsangan stress saja, sudah dapat mengakibatkan serangan

panik.1.3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gangguan Panik dan Agoraphobia

Gangguan panik ditandai dengan adanya serangan panik yang tidak

diduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut yang intens dan bervariasi

dari sejumlah serangan sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu

tahun. Setiap episode berlangsung sekitar 15-30 menit, meskipun efek sisa dapat

berlangsung lebih lama. Serangan panik dapat terjadi secara spontan atau sebagai

respon terhadap situasi tertentu.1

Panik berasal dari kata Pan yaitu nama Dewa Yunani yang tinggal

dipergunungan dan hutan serta mempunyai tingkahlaku yang sulit diramalkan.

Riwayat Gangguan Panik ini berasal dari konsep yang dikemukakan oleh Jacob

Mendes DaCosta (1833-1900) gejala-gejala seperti serangan jantung yang

ditemukan pada tentara-prajurit Perang Saudara Amerika. Gejala DaCosta

meliputi gejala psikologik dan somatic.8

Serangan panik sering disertai agoraphobia, yaitu rasa takut sendirian

ditempat umum teutama tempat yang sulit untuk keluar dengan cepat saat terjadi

serangan panik.4 Perlu diperhatikan bahwa serangan panik dapat terjadi pada

gangguan anxietas lain seperti pada fobia dan gangguan stres pascatrauma. Karena

itu, perlu dengan teliti membedakan ciri-ciri gangguan tersebut dengan gangguan

panik.4

Istilah Agorafobia pertama kali dipakai tahun 1871 untuk

menggambarkan kondisi pasien yang takur pergi ketempat-tempat umum


sendirian. Berasal dari bahasa Yunani : Agora dan Phobos yang berarti takut

terhadap situasi/suasana pasar.5

Gangguan panik merupakan salah satu jenis gangguan cemas kronik yang

ditandai oleh serangan panik parah yang berulang dan tak terduga, frekuensi

serangannya bervariasi mulai dari beberapa kali serangan dalam setahun hingga

beberapa serangan dalam sehari. Serangan panik dapat pula terjadi pada jenis

gangguan cemas yang lain, namun hanya pada gangguan panik, serangan terjadi

meskipun tidak terdapat faktor presipitasi yang jelas.2.5

Gambar 2.1 Serangan panik

Gangguan panik dapat timbul bersama gangguan mood, dengan gejala

mood secara potensial meningkatkan onset serangan panik. Gangguan panik juga

bisa didiagnosis dengan atau tanpa agoraphobia. Selain itu gangguan panik juga

biasanya menyertai penyakit somatik (comorbid) seperti PPOK, IBS, migraine,5,6


dan meningkatkan frekuensi serangan jantung. Oleh karena itu skrening dan

pemeriksaan yang tepat terhadap gangguan panik sangat dibutuhkan untuk efikasi

terapi, efisiensi biaya dan waktu pengobatan.4

Gangguan panik merupakan salah satu di antara beberapa gangguan

cemas yang dikenal dan cukup sering terjadi. Gangguan panik ditandai dengan

adanya serangan panik yang tidak diduga dan spontan yang terdiri atas periode

rasa takut intens yang hati-hati dan bervariasi dari sejumlah serangan

sepanjang hari sampai hanya sedikit serangan selama satu

tahun.Gangguan panik sering disertai dengan agorafobia, yaitu rasa takut

sendirian di tempat umum seperti pasar, atau terutama tempat yang sulit

keluar dengan cepat saat terjadi gangguan panik. 1,2,3

2.2 Epidemiologi

Prevalensi hidup Gangguan Panik kira-kira 1-4% populasi, sedangkan

Serangan Panik sekitar 3-6%. Wanita 2-3 kali lebih banyak menderita gangguan

ini dibanding laki-laki. Prevalensi Agorafobia kira-kira 2-6%.(1- 4) Gangguan

Panik bisa terjadi kapan saja sepanjang hidup,onset tertinggi usia 20-an, ditandai

dengan perasaan serangan cemas tiba-tiba dan terus menerus,sesak nafas, disertai

perasaan akan datangnya bahaya, serta ketakutan akan kehilangan kontrol atau

menjadi gila. Bila tidak diobati beresiko terjadinya ide bunuh diri dan percobaan

bunuh diri. Penatalaksanaan yang tepat kombinasi farmakoterapi dengan

psikoterapi akan memberikan hasil yang lebih baik.6,7


Gangguan panik dialami oleh lebih kurang 1.7% dari orang dewasa di

negara-negara barat.2 Angka kejadian sepanjang hidup untuk gangguan panik

adalah 1.5-5% dan untuk serangan panik adalah 3-5.6%.3

Di Indonesia belum dilakukan studi epidemiologi yang dapat

menggambarkan berapa jumlah individu yang mengalami gangguan panik, namun

para profesional merasakan adanya peningkatan jumlah kasus yang datang

meminta pertolongan.2

Perbedaan antara kelompok Hispanik, kulit putih non-Hispanik, dan kulit

hitam adalah sangat kecil. Faktor sosial satu-satunya yang dikenali berperan

dalam perkembangan gangguan panik adalah riwayat perceraian atau perpisahan

yang belum lama. Gangguan paling sering berkembang pada dewasa muda - usia

rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun. Tetapi baik gangguan panik maupun

agorafobia dapat berkembang pada setiap usia. Sebagai contohnya. gangguan

panik telah dilaporkan terjadi pada anak-anak dan remaja. dan kemungkinan

kurang diagnosis pada mereka.4,5,8

2.3 Etiologi

1. Faktor Biologis

Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah

menghasilkan berbagai temuan; satu interpretasi adalah bahwa gejala gangguan

panik dapat disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam struktur otak dan

fungsi otak.3 Pada otak pasien dengan gangguan panik beberapa neurotransmiter

mengalami gangguan fungsi, yaitu serotonin GABA (Gama Amino Butiric Acid)

dan norepinefrin. Hal ini didukung oleh fakta bahwa Serotonin Reuptake
Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi pasien-pasien dengan gangguan cemas,

termasuk gangguan panik.2

Sistem saraf otonomik pada beberapa pasien gangguan panik telah

dilaporkan menunjukkan peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat

terhadap stimuli yang berulang dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli

yang sedang.3 Serangan panik merupakan respons terhadap rasa takut yang

terkondisi yang ditampilkan oleh fear network yang terlalu sensitif, yaitu amigdaa,

korteks prefrontal dan hipokampus, yang berperan terhadap timbulnya panik.

Dalam model ini, seorang dengan gangguan panik menjadi takut akan terjadi

serangan panik.2

Terdapat beberapa zat yang dapat menginduksi terjadinya serangan panik

(panicogens). Diantaranya adalah: carbon dioksida (5-35%), sodium laktat dan

bicarbonat, bahan neurokimiawi yang bekerja melalui sistem neurotransmiter

spesifik (yohimbin, α2-adrenergik receptor antagonist,

mchlorophenylpiperazine/mCP, bahan yang berefek sero-tonergik),

cholecytokinin dan caffein, serta isoproterenol. Zat-zat tersebut diduga

mempengaruhi sistem noradrenergik, serotonergik dan reseptor GABA dalam

susunan syaraf pusat secara langsung.4

2. Faktor Genetika

Gangguan panik memiliki keterlibatan komponen genetika yang jelas.

Angka prevalensi tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan

panik. Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan resiko gangguan

panik sebesar 4-8 kali lipat pada sanak saudara derajat pertama pasien dengan
gangguan panik dibandingkan dengan sanak saudara derajat pertama dari pasien

dengan gangguan psikiatrik lainnya. Demikian juga pada kembar monozigot.2,3

3. Faktor Psikososial

Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk

menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori kognitif perilaku

menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dipelajari baik dari

perilaku modeling orang tua atau melalui proses pembiasan klasik. Teori

psikoanalitik memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan yang

tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa yang

sebelumnya merupakan suatu sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan

ketakutan yang melanda, lengkap dengan gejala somatik.3

Pada pasien-pasien dengan gangguan panik, terdapat kesulitan dalam

mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi nirsadar yang terkait. Misalnya

pasien mempunyai harapan dapat melakukan balas dendam terhadap orang

tertentu. Harapan ini merupakan suatu ancaman terhadap figur yang melekat.

Pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki gaya kelekatan yang bermasalah,

dalam bentuk preokupasi terhadap kelekatannya itu. Mereka sering berpandangan

bahwa perpisahan dan kelekatan sebagai suatu yang mutually exclusive; hal ini

karena sensitivitas yang tinggi baik akan kehilangan kebebasan maupun

kehilangan akan rasa aman dan perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam

keseharian pasien yang cenderung menghindari perpisahan dan pada saat yang

sama menghindari kelekatan yang intens.2

Banyak pasien menggambarkan serangan panik seperti timbul tiba-tiba,

dengan tidak adanya faktor psikologis yang terlibat. Tetapi eksplorasi


psikodinamik sering mengungkapkan penginduksi psikologis serangan panik yang

jelas. Walaupun serangan panik secara neurofisiologis berhubungan dengan locus

ceruleus, awitan panik umumnya terkait dengan faktor lingkungan atau

psikologis.4,7

Pasien dengan gangguan panik memiliki insiden yang lebih tinggi

mengalami peristiwa hidup yang penuh tekanan, khususnya kehilangan,

dibandingkan subjek kontrol di bulan-bulan sebelum awitan gangguan panik.

Lebih jauh, pasien secara khas mengalami penderita lebih hebat akan peristiwa

hidup daripada subjek kontrol. Riset membuktikan bahwa penyebab serangan

panik cenderung melibatkan arti peristiwa yang menimbulkan stres secara tidak

disadari serta bahwa patogenesis serangan panik dapat berkaitan dengan faktor

neurofisiolois yang diceruskan reaksi psikologis.3

Menurut teori kelekatan (attachment), pasien-pasien dengan gangguan

panik memiliki gaya kelekatan yang salah. Perpisahan atau kelekatan sering

dipandang sebagai hal yang menakutkan, antara lain kehilangan kebebasan

maupun kehilangan rasa aman dan perlindungan. Kesulitan ini tampak dalam

keseharian pasien yang cenderung menghindari perpisahan, dan pada saat yang

bersamaan juga menghindari kelekatan yang terlalu intens.

2.4 Patofisiologi

Gangguan ini biasa dimulai pada akhir masa remaja, awal masa dewasa

atau pada usia pertengahan. Pada umumnya tidak ditemukan stresor saat awitan,

walaupun sering pula dihubungkan dengan adanya stresor psikososial. Gangguan

panik biasanya berlangsung kronis, sangat bervariasi pada tiap pasien. Dalam
jangka panjang, 30-40% pasien tidak lagi mengalami serangan panik, 50%

mengalami gejala ringan sehingga tidak mempengaruhi kehidupannya. Sisanya

masih mengalami gejala yang bermakna.1,3,6

Pada serangan pertama atau kedua, pasien sering mengabaikan dan baru

menyadari setelah frekuensi dan intensitas bertambah. Hal ini juga dapat dipacu

oleh konsumsi kafein dan nikotin yang berlebihan. Depresi sering menyertai, yaitu

pada 40-80% kasus. Walaupun jarang terungkap ide bunuh diri, namun risiko

tersebut meningkat dan 20-40% diantaranya juga mengkonsumsi alkohol atau zat

lainnya. Sering terjadi perubahan perilaku, interaksi dalam keluarga dan hasil

akademis dan pekerjaan mungkin dapat memburuk. Agorafobia yang terjadi pada

gangguan panik akan reda bila gangguan paniknya mendapatkan terapi.2,4

Sebagian besar kasus agorafobia dianggap disebabkan gangguan panik.

ketika gangguan panik diobati, agorafobia sering membaik seiring waktu. Untuk

perbaikan agorafobia yang cepat dan sempurna, kadang-kadang diindikasikan

terpai perilaku. Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering menimbulakn

ketidakmampuan dan berifat kronis, serta gangguan depresif dan ketergantuangan

alkohol sering mempesulit perjalanan gangguan.7,8

2.5 Manifestasi klinis

Gangguan panik terutama ditandai dengan serangan panik yang berulang.

Serangan panik terjadi secara spontan dan tidak terduga, disertai dengan gejala

otonomik, terutama sistem kardiovaskular dan pernapasan. Serangan sering

dimulai selama 10 menit, kemudian gejala meningkat dengan cepat. Serangan

cemasnya disertai dengan gejala-gejala yang mirip dengan gangguan jantung,


yaitu rasa nyeri di dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti

tercekik.

Kondisi ini dapat berulang hingga membuat individu yang mengalaminya

menjadi sangat khawatir bahwa ia akan mengalami hal tersebut lagi (anticipatory

anxiety). Hal ini sering membuat pasien mencari pertolongan ke RS terdekat.

Pernapasan yang cepat dan pendek merupakan salah satu gejala yang sangat jelas

diraskan pasien. Seringkali gejala sistem pernapasan yang tidak stabil adalah

spesifik pada gangguan panik, termasuk sindrom hiperventilasi dan

peningkatan variasi pernapasan.

Peningkatan denyut nadi dan pernapasan yang tidak stabil bisa timbul

tanpa terjadi serangan panik. Sebaliknya serangan panik tidak selalu disertai

pengukuran objektif dari hiperventilasi atau disfungsi kardiovaskuler. Gejala

mental yang dirasakan adalah rasa takut yang hebat, ancaman kematian atau

bencana. Pasien bisa merasa bingung dan sulit berkonsentrasi. Tanda fisik yang

menyertai adalah takikardia, palpitasi, dispnoe, dan berkeringat. Serangan dapat

berlangsung 20-30 menit, jarang lebih dari 1 jam.

Pada pemeriksaan status mental saat serangan dijumpai ruminasi, kesulitan

bicara (gagap), dan gangguan memori. Depresi, derealisasi, dan depersonalisasi

dapat dialami saat serangan. Fokus perhatian somatik pasien adalah perasaan takut

mati karena masalah jantung atau pernapasan. Pasien sering merasa hampir-

hampir menjadi gila. Apabila disertai dengan agorafobia, maka pasien akan

menolak untuk meninggalkan rumah ke tempat ramai yang sulit untuk keluar.

Pemeriksa harus waspada terhadap tendensi bunuh diri. Gejala penyerta lainnya
adalah depresi, obsesi kompulsif, dan pemeriksa harus waspada terhadap tendensi

bunuh diri.

Serangan panik yang pertama sering benar-benar spontan walaupun serangan

panik kadang-kadang mengikuti kegairahan, kerja fisik, aktivitas seksual atau

trauma emosi sedang. Menurut DSM IV TR menekankan bahwa setidaknya

serangan pertama harus tidak diduga untuk memenuhi kriteria diagnostik

gangguan panik. Klinisi harus berupaya untuk mendapatkan setiap kebiasaan yang

mendahului serangan panik pasien. Aktivitas tersebut dapat mencakup

penggunaan kafein, alkohol, nikotin atau zat lain, pola tidur atau makanan yang

tidak biasa, dan situasi lingkungan tertentu seperti pencahayaan yang berlebihan.3

Pasien biasanya khawatir akibat masalah jantung atau pernapasan. Pasien

biasanya dapat meyakini bahwa palpitasi dan nyeri dada menunjukkan bahwa

mereka akan mati. Sebanyak 20% pasien benar-benar mengalami episode sinkop

selama serangan panik.3

Kriteria Diagnosis Gangguan Panik

PPDGJ IIIF41.0 Gangguan Panik (Anxietas Paroksismal Episodik)

Terjadinya beberapa serangan berat ansietas otonomik, yang terjadi dalam periode

kira-kirasatu bulan.

a. Pada keadaan-keadaan yang sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya;

b. Tidak terbatas hanya pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat

diduga sebelumnya;

c. Adanya keadaan relatif bebas gejala ansietas dalam periode antara serangan-

serangan panik (meskipun lazim terjadi ansietas antipatorik).


DSM-IV-TR Gangguan Panik Tanpa Agorafobia

a. Mengalami (1) dan (2)

(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;

(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah

satu atau lebih hal berikut:

i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;

ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth., hilang kendali,

serangan jantung, menjadi gila);

iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.

b. Tidak ada agorafobia;

c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat

(cth., penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth.,

hipertiroidisme);

d. Serangan panik tidak dapat dimasukkan ke dalam gangguan jiwa lain, seperti

fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca

trauma, atau gangguan cemas perpisahan.

DSM-IV-TR Gangguan Panik dengan Agorafobia

a. Mengalami (1) dan (2)

(1) Serangan panik berulang yang tidak diduga;

(2) Sedikitnya satu serangan telah diikuti selama 1 bulan (atau lebih) oleh salah

satu atau lebih hal berikut:

2.i. Kekhawatiran menetap akan mengalami serangan tambahan;

2.ii. Khawatir akan akibat atau konsekuensi serangan (cth., hilang kendali,
serangan jantung, menjadi gila);

2.iii. Perubahan perilaku bermakna terkait serangan.

b. Adanya agorafobia;

c. Serangan panik tidak disebabkan langsung oleh efek fisiologis zat

(cth.,penyalahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum (cth.,

hipertiroidisme);

gangguan cemas perpisahan.

PPDGJ III – F40.0 Agorafobia

a. Gejala psikologis, perilaku, atau otonomik yang timbul harus merupakan

manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain

seperti waham atau pikiran obsesif;

b. Ansietas yang timbul harus terbatas pada setidaknya dua dari situasi berikut:

banyak orang/keramaian, bepergian keluar rumah, bepergian sendiri;

c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang

menonjol (penderita menjadi “house-bound”)

DSM-IV-TR Agorafobia

a. Ansietas saat berada di tempat atau situasi yang jalan keluarnya

sulit (atau memalukan) atau tidak ada pertolongan. Rasa takut

agorafobik secara khas melibatkan situasi yang mencakup berada jauh

dari rumah sendirian, berada di keramaian atau mengantri, berada di bawah

jembatan, berjalan-jalan dengan bus, kereta atau mobil;


b. Situasi tersebut dihindari, atau dijalani dengan penderitaan yang jelas dengan

ansietas akan mengalami serangan panik atau gejala mirip panik, atau

membutuhkan adanya teman;

c. Ansietas atau penghindaran fobik tidak disebabkan gangguan jiwa lain, seperti

fobia sosial, fobia spesifik, gangguan obsesif kompulsif, gangguan stress pasca

trauma, atau gangguan cemas perpisahan

2.6 Diagnosis

Berdasarkan kriteria diagnostik DSM V gangguan panik merupakan

serangan panik berualang yang tak terduga atau ketidaknyamanan yang

mencapai puncaknya dalam beberapa menit diikuti dengan gejala. Selain itu

untuk mendiagnosis serangan panik, kita harus menemukan minimal 4 gejala

dari 13 gejala berikut ini:

1. Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat

2. Berkeringat

3. Gemetaran

4. Sensasi seperti sesak nafas

5. Perasaan tersedak atau leher serasa dicekik

6. Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada

7. Mual atau distress abdominal

8. Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan

9. Rasa panas dikulit, menggigil

10. Parestesi (mati rasa atau sensasi kesemutan)

11. Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri)


12. Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila

13. Takut mati

2.7 Diagnosis Banding

Gangguan panik, harus dibedakan dari sejumlah kondisi medis

yang mengasilkan simtomatologi serupa.8 Kapanpun seorang pasien, tanpa

memandang usia atau faktor risiko, melapor ke ruang gawat darurat dengan gejala

keadaan yang berpontensi fatal (contohnya infark miokardium), anamnesis medis

yang lengkap harus didapatkan dan pemeriksaan fisik harus dilakukan, begitu pula

dengan prosedur laboratorium.

Ketika adanya keadaan yang mengancam jiwa telah disingkirkan,

kecurigaan klinisnya adalah gangguan panik.3 Selain itu, kondisi seperti gangguan

endokrin (hipotiroid dan hipertiroid), hipoglikemia episodik, disfungsi vestibular,

zat tertentu, penyakit paru obstruksif, gangguan sistem jantung, memiliki gejala

yang sama seperti gangguan panik sehingga sulit untuk dibedakan.8

Diagnosis banding pskiatri gangguan panik mencakup

hipokondriasi, gangguan depersonalisasi, fobia sosial dan spesifik, gangguan stres

pascatrauma, gangguan depresif, dan skizofrenia. Serangan panik yang terduga

adalah tanda khas gangguan panik, serangan panik terikat situasi umumnya

menunjukan suatu kondisi yang berbeda, seperti fobia sosial atau fobia spesifik

(jika terpajan dengan situasi fobik), gangguan obsesif kompulsif (ketika mencoba

menolak suatu kompulsi), atau gangguan depresif (ketika dipenuhi ansietas).3


2.8 Penatalaksanaan

I. Non Psikofarmakologik2

1) Terapi Kognitif Perilaku.

2) Terapi Keluarga.

3) Psikoterapi Berorientasi Insight (Tilikan).

4) Psikoterapi Kombinasi.

II. Psikofarmakologik2

Pemberian Psikofarmaka perlu dipertimbangkan bila telah terjadi Agorafobia,

Depresi, ide atau percobaan bunuh diri, dan gejala sudah cukup berat.

- Pemakaian Trisiklik Antidepresan (Imipramine, Clomipramine, Maprotiline,

Amitriptiline) harus hati-hati karena efek samping yang kurang menyenangkan

seperti : mulut kering, konstipasi, somnolent, disfungsi seksual, anxietas,

hipotensi orthostatistik).

- Selective Serotonin ReUptake Inhibitor (SSRI) seperti: Pemakaian

Paroxetine, Sertraline dan Fluoxetine cukup efektif untuk Gangguan Panik.

- Pemberian golongan Benzodiazepine (Alprazolam, Clonazepam,

Lorazepam) punya kemampuan spesifik sebagai anti panik, tapi pemakaian jangka

lama harus sangat hati-hati karena akan mudah menimbulkan toleransi serta

penurunan atau penghentian pengobatan bisa menimbulkan efek “ classical

withdrawal” seperti terjadinya rebound fenomen dari gejala panik. Meskipun

Farmakoterapi cukup efektif mengatasi gejala-gejala awal Gangguan panik,

kombinasi Psikoterapi dan Farmakoterapi memberikan hasil yang lebih baik pada

beberapa kasus2
2.9 Prognosis

Walaupun gangguan panik merupakan penyakit kronis, namun penderita

dengan fungsi premorbid yang baik serta durasi serangan yang singkat

bertendensi untuk prognosis yang lebih baik.

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Gangguan panik merupakan gangguan yang terutama ditandai dengan

serangan panik berulang. Serang panik terjadi secara spontan dan tidak terduga,

disertai gejala otonomik terutama sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan.

Gejala yang timbul akan mirip dengan gangguan jantung, yaitu rasa nyeri di

dada, berdebar-debar, keringat dingin, hingga merasa seperti tercekik.

Gangguan panik dialami oleh lebih kurang 1.7% dari populasi orang dewasa di

negara barat. Etiologi dari gangguan panik berasal dari faktor biologis,

genetika dan psikososial. Penatalaksanaan panik terdiri dari penatalaksanaan

secara farmakoterapi dan psikoterapi. Tujuan utama penatalaksanaan gangguan

panik adalah untuk mengurangi atau mengeliminasi gejala serangan panik,

mencegah dan mengantisipasi ansietas serta mengatasi keadaan komorbid yang

menyertainya.
Daftar Pustaka

1. Greist JH &Jefferson JW. Anxiety disorder. In: Review of General


Psychiatry. 5th Ed. Baltimore: Vishal. 2000. Cp.21.
2. Kusumadewi I, Elvira S. Gangguan panik. Dalam: Buku ajar psikiatri.
Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2013. h. 258-63.
3. Maslim R Obat anti-panik. Dalam: Penggunaan Klinis Obat Psikotropika.
Edisi Ketiga. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2007. Hal.52-56
4. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas Dari

PPDGJ-III Dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK

UNIKA Atmajaya;2013.

5. McLean PD & Woody SR. Panic diorder and agoraphobia. In: Anxiety
Disorders in Adults. Vancouver: Oxford University Press; 2001. Cp.5
6. Saddock BJ & Saddock VA. Panic disorder and agoraphobia. In: Kaplan
& Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
Psychiatry, 10th Ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. Sec.16.
7. Yaunin, Yaslinda., 2012, Gangguan Panik dengan Agoraphobia, Majalah

Kedokteran Andalas, 2:36, pp. 235-239

8. Adikusumo A. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia: Relaksasi. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013.

Hal 416-420.

You might also like