You are on page 1of 18

PERKEMBANGAN SHIWA-BUDDHA

DI INDIA DAN INDONESIA


(Pendekatan Ilmu Sejarah)

Prof. D.Litt. Dr. I Gusti Putu Phalgunadi, MA

Disampaikan dalam acara Rembug Sastra di Pura Agung Jagatnatha,


Purnama Sadha, 24 Mei 2013

I
Shiwa dan Buddha adalah dua agama yang lahir di Bharatawarsa, India. Walaupun
demikian, catatan sejarah di India dan Indonesia tentang kedua agama ini
menunjukkan hal yang sangat bertolak belakang. Di India, kedua agama ini terlibat
dalam perdebatan dan pertentangan yang hebat, bahkan menjadi salah satu
catatan kelam dalam sejarah India. Sebaliknya, di Indonesia kedua agama ini hidup
berdampingan dan mencapai puncak harmonisasi dengan lahirnya agama baru,
yakni Shiwa-Buddha. Perbedaan ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam
terutama dengan pendekatan ilmu sejarah. Pendekatan ilmu sejarah mendasarkan
kebenaran pada bukti-bukti sejarah yang otentik dan didukung dengan fakta-fakta
keagamaan hasil catatan para ahli sejarah, arkeologi, kesusasteraan, dan Indologi.
Sejarah juga mengungkap prinsip-prinsip ajaran yang mempertentangkan dan
mendekatkan kedua agama tersebut pada setiap periode. Data sejarah tersebut
kemudian dianalisis untuk melihat kemunculan dan perkembangan ajaran Shiwa-
Buddha, baik di India maupun di Indonesia.

Untuk mengungkap perkembangan Shiwa dan Buddha di India tampaknya tidak


dapat dilepaskan dari evolusi agama Hindu terutama pada zaman Brahmana.
Mengingat ajaran Shiwa maupun Buddha sama-sama lahir dan berkembang pada
zaman ini. Ajaran Shiwa merupakan kelanjutan dari agama pra-Weda yang
kemudian berakulturasi dengan agama Weda terutama pada zaman Brahmana
(Brahmanical religion). Sebaliknya, ajaran Buddha dibangun oleh Siddharta
Gautama untuk menentang sejumlah aspek dari agama Hindu khususnya
Brahmanisme. Perbedaan prinsip ajaran ini melahirkan pertentangan keagamaan,
bahkan pergolakan politik di India. Penentangan terhadap ajaran Buddha di India
t e r u t a m a d i l a k u k a n o l e h m a z h a b S h i w a d a n Wa i s h n a w a , s e r t a
golonga Wedantis lainnya. Selain itu, pengaruh kuat dari
ajaran Tantrayana juga turut memberikan pengaruh besar dalam perkembangan
agama Shiwa, Waishnawa, dan Buddha di India. Sebaliknya, agama Buddha juga
mendorong munculnya perbedaan prinsip ajaran antara Shiwa dan Waishnawa
pada masa kemudian. Artinya, kontestasi keagamaan mewarnai perkembangan
ajaran Shiwa-Buddha di India.

Apabila perkembangan ajaran Shiwa dan Buddha di India diwarnai dengan


pertentangan yang hebat, justru di Indonesia menunjukkan hal yang sungguh
bertolak belakang. Kedua agama ini berkembang dalam suasana yang toleran dan
harmonis. Kedua agama ini sama-sama mengalami perkembangan yang pesat dan
hidup berdampingan. Malahan kedua agama ini berhasil membangun koalisi dan
sinkretisme ajaran sehingga melahirkan agama baru, yakni Shiwa-Buddha.
Pengakuan pada ke-Shiwa-an dan ke-Buddha-an sebagai Prinsip Tertinggi yang
tunggal merupakan puncak penyatuan dua agama ini. Perkembangan Shiwa-
Buddha di Indonesia menunjukkan betapa kebijaksanaan leluhur di masa lampau
telah berhasil mempersatukan kebhinekaan beragama. Penyatuan Shiwa-Buddha
ini bahkan tidak pernah terjadi di tanah kelahirannya – India.

II
Sejarah lahirnya agama Shiwa dan Buddha di India tidak dapat dilepaskan dari
evolusi agama Hindu dari zaman peradaban lembah sungai Sindhu hingga zaman
Brahmana. Pemujaan Shiwa memang tidak ditemukan secara langsung dalam kitab
Weda. Akan tetapi, bibit-bibit pemujaan Shiwa telah ditemukan sejak peradaban
lembah sungai Sindhu, yakni ditemukannya prototipe Shiwa Pasupati, Shiwa
Yogeswara, dan pemujaan lingga (Tripathi, 1999:21—22). Ajaran Shiwa mulai
berakulturasi dengan agama Weda (Vedic religion) pada zaman Brahmana (1000 –
600 SM) dan berkembang dengan pesat setelah masa kejayaan agama Buddha,
yaitu sekitar tahun 200 SM.

Zaman Brahmana (Brahmanisme) ditandai dengan munculnya penafsiran kitab suci


Weda secara karma kandasebagaimana ditulis dalam kitab-kitab
Brahmana. Penafsiran ini menyatakan bahwa moksa dapat dicapai dengan
melaksanakanyajna. Terdapat beberapa ciri agama Brahmana (Brahmanical
religion) antara lain, (a) upacara dan upakara tumbuh subur; dan (b)yajna-
yajna besar dan mewah dilaksanakan oleh golongan aristokrat (Kundra, 1968:27;
Thapar, 1979:44; Sharma, 2001:58). Bersamaan dengan itu, juga muncul
penafsiran lain secara upasana kanda sebagaimana ditandai dengan kemunculan
kitab-kitab Aranyaka. Penafsiran ini menyatakan bahwa moksa tidak hanya bisa
dicapai dengan yajna, tetapi juga dengan etika, tapa, brata,
yoga, dan samadhi (Majumdar, 1998:84; Sharma, 2001:59). Kemudian,
perkembangan pemikiran Weda mengalami puncaknya pada zaman Upanisad yang
menafsirkan Weda secara jnana kanda. Penafsiran ini menyatakan
bahwa moksa dapat dicapai melalui pengetahuan
mengenai Brahman (Brahmawidya) dan realisasi diri atau spiritualitas yang
sempurna (Thapar, 1979:45—49). Pada periode ini, Weda telah ditafsirkan dalam
tiga aspek penting, yaitu karma kanda, upasana kanda, dan jnana
kanda (Phalgunadi, 2010:32). Hal ini juga turut membangun karakter agama Hindu
yang berkembang pada masa itu, yaitu pelaksanaan tattwa, susila,dan acara secara
holistik dan integral.

Munculnya pluralitas penafsiran tersebut menunjukkan bahwa kitab suci Weda


terbuka untuk dibaca dan ditafsirkan. Apabila kitab-kitab Brahmana,
Aranyaka, dan Upanisad merupakan hasil penafsiran dari para Maharshi yang
memiliki otoritas, maka penafsiran lain juga berkembang pada seputaran abad ke-6
sebelum Masehi. Pada masa ini, Weda bebas ditafsirkan oleh siapapun sehingga
melahirkan beberapa aliran pemikiran yang pada akhirnya tidak lagi mengakui
otoritas Weda sebagai kitab suci Hindu (Luniya, 2002:91). Aliran yang muncul
antara lain, Buddha, Jaina, Charwaka, Ajawika, Prajawika, dan Nirganta. Dari
sejumlah aliran tersebut, Buddha memegang peranan penting dalam evolusi agama
Hindu di India.

Agama Buddha didirikan oleh Siddharta Gautama sekitar abad ke-6 sebelum
Masehi. Ajaran Buddha tidak pernah membicarakan keberadaan Tuhan (Thapar,
1997:66); menekankan ajarannya sebagai way of life, yaitu jalan hidup yang luhur
dan saleh (Khanna, 1976:140); menentang segala dogma agama yang tidak masuk
akal dan mengedepankan jalan rasional, kebijaksanaa, dan spiritualitas. Tujuan
hidup Buddha adalah melepaskan Sang Diri (atman) dari penyebab penderitaan
(duhka) melalui pengetahuan rohani untuk mencapai nirwana (Phalgunadi,
2010:33). Selain itu, agama Buddha juga melakukan penentangan keras terhadap
agama Hindu (Brahmanisme), antara lain: (a) tidak mengakui otoritas kitab suci
Weda; (b) mengutuk korban binatang; (c) menentang catur warna (kasta); (d)
menentang agama aristokrat; dan (e) menentang penggunaan bahasa Sanskerta
dalam penulisan kitab suci (Luniya, 2002:93). Dari sinilah kemudian, ajaran Buddha
dipandang sebagai aliran nastikayang menyimpang dari ajaran agama Hindu.

Ajaran agama Buddha yang cukup sederhana ini mampu menarik simpati rakyat
India dan menyebar begitu cepat ke seluruh India. Malahan jumlah umat Buddha di
India melebihi jumlah penganut Hindu (Brahmanisme) (Hariharan, 1987:116).
Orang-orang Hindu yang masih taat terutama dari
golongan Brahmana, bangsawan, dan aristrokrat (Mahajan, 2002:341—347). Dari
segi politik, juga India berhasil dikuasai dan dipimpin oleh raja-raja beragama
Buddha, bahkan agama Buddha ditetapkan sebagai agama negara. Raja-raja pada
waktu itu memperlihatkan sikap anti terhadap agama Hindu dan melarang seluruh
upacarayajna yang menggunakan kurban binatang (Kundra, 1968:40; Sharma,
2001:148). Dikatakan bahwa zaman ini adalah masa keemasan agama Buddha
(The Golden Age of Buddhism) di India yang berlangsung sampai abad ke-2
sebelum Masehi.

Pada masa pemerintahan kerajaan Magadha, kaum Brahmana bangkit


mengadakan pemberontakan melawan pemerintah yang beragama
Buddha. Pemberontakan dari golongan agama Hindu terutama dipimpin oleh
Pushyamitra. Dia adalah seorangbrahmana yang menjabat sebagai senapati
kerajaan Magadha. Pusyamitra berhasil membunuh raja terakhir dari Dinasti
Maurya yang bernama Brihadratha pada tahun 184 SM. Disebutkan dalam
kitab Harshacarita bahwa ketika raja Brihadratha sedang mengadakan pemeriksaan
pasukan dalam sebuah parade, saat itulah ia dibunuh oleh Pushyamitra. Setelah
itu, Pusyamitra merampas kerajaan Maurya dan kemudian mendirikan dinasti
Brahmana yang disebut Sungga (Majumdar, 1998:116–117).Pushyamitra adalah
seorang raja Brahmana yang pantang mundur untuk melindungi, mempertahankan,
dan menyebarkan agama Brahmana. Dia menjadi pelopor yang mendobrak dan
memusnahkan pengaruh agama Buddha di India. Pada masa pemerintahannya, ia
membangkitkan kembali pelaksanaan ritual seperti, upacara Aswamedhayajna –
upacara yang terbesar dalam agama Hindu, serta menolak
ajaran Ahimsa (Mahajan, 2002:364).

Di samping penentangan secara politis oleh Pushyamitra, juga penentangan


terhadap agama Buddha lahir mazhab-mazhab yang berdasarkan agama
Brahmana (Hindu). Dua mazhab yang cukup terkenal
adalah mazhab Wasudewa dan mazhabShiwa (Macmillan (ed),
2001:79). Mazhab Wasudewa memuja dewa Wasudewa yang dipersamakan
dengan Wisnu, sedangkan mazhab Shiwa memuja Shiwa yang dipersamakan
dengan Rudra dalam kitab Weda (Majumdar, 1998:171—175; Mahajan, 2002:376).
Kedua mazhab ini turut melakukan penentangan dan perlawanan terhadap
penyebaran agama Buddha di India sehingga agama Buddha mengalami
kemunduran di India. Seturut dengan itu, juga muncul mazhab besar lainnya, yaitu
Shakta (pemuja Shakti), Ganapatya (pemuja Ganesha), dan Sora (pemuja Surya).
Kelima mazhab ini disebut Panca Sakha atau Panca Yatanapuja.

Pada mulanya, mazhab-mazhab tersebut tidak berdiri sendiri sehingga lebih tepat
disebut sebagai pemujaan ista dewata. Akan tetapi, pada zaman Purana mazhab-
mazhab tersebut mulai terpisah secara tegas. Begitu juga dengan mazhab Shiwa
dan Waishnawa mengalami perkembangan yang pesat. Mazhab Shiwa tetap
mempertahankan ajaran karma kanda sebagaimana diwarisi dari zaman Brahmana.
Sebaliknya, ajaran-ajaran dari mazhab Waishnawa mengalami banyak perubahan
dibandingkan ajaran pada awal kemunculannya sekitar abad kedua
sebelum Masehi. Perubahan dalam mazhab Waishnawa ini terutama karena
dipegaruhi ajaran Buddha. Ajaran-ajaran yang berasal dari agama Buddha
seperti, ahimsa, vegetarian, pemujaan patung, penolakan sistem kasta, dan
pembangunan kuil-kuil, pada akhirnya menjadi bagian dari ajaran mazhab
Waishnawa (Kundra, 1968:177; Luniya, 2001:208). Begitu juga dengan
konsep awatara Wisnu yang terdapat dalam kitab-kitab Purana juga mulai diterima
dan diyakini penganutnya (Sharma, 2001:101). Dalam keyakinan Waishnawa,
Buddha adalah salah satu awatara Wishnu sehingga konsep ini menjadi senjata
ampuh untuk melemahkan pengaruh Buddha di India.

Gerakan yang dilaksanakan oleh golongan Shiwa dan Waishnawa ini tampaknya
memberikan pengaruh yang signifikan, baik dalam perkembangan agama Buddha
di India. Dari abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi, agama Buddha di India
mengalami kemunduran dengan berperannya kembali kelompok Brahmana (Shiwa)
dan gerakan bhakti yang dilakukan kelompok Wishnawa.Pada masa ini, para
pemeluk Hindu melakukan praktik pemujaan kepada Sang Buddha yang diyakini
sebagai penjelmaan (awatara) Wisnu (Tim Penyusun, 2003:52). Hal ini mendorong
berkembangnya ajaran Mahayana terutama pada masa pemerintahan dinasti Pala
di India Timur. Aliran Mahayana sesungguhnya merupakan pembaruan dari
aliran Hinayana. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa aliran Hinayana lebih dekat
dengan ajaran awal Sang Buddha, yakni (a) berdasarkan kitab suci Tipitaka yang
berbahasa Pali; (b) tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit; (c)
menekankan etika dan meditasi; dan (d) tujuan tertinggi adalah
mencapai arhat. Sementara itu, Mahayana didirikan pasca-kemunduran agama
Buddha sekitar abad ke-2 SM sampai abad ke-5 M yang mulai mengurangi
kesederhanaan upacara sehingga lambat-laun bentuknya mendekati
Hinduisme.Mahayana merupakan aliran Hinayana yang diperbarui dengan diberi
penjelasan-penjelasan tambahan yang dipelopori oleh Buddhagosa (Tim Penyusun,
2003:53).

Meskipun Buddha sempat bangkit kembali di India Timur, tetapi pada saat
bersamaan juga di India sedang berkembang ajaran Tantrayana. Ajaran ini
mempengaruhi sebagian besar mazhab Hindu dan Buddha.
Penguruh Tantrayana terhadap mazhab Shiwa ditandai dengan munculnya
mazhab Shiwatantra atau Shiwagama, sedangkan pada mazhab Waishnawa juga
melahirkanWaishnawatantra atau Waishnawagama (Benerjee, 1988:367—
468). Sementara itu, dalam Buddha muncul
aliran Vajrayana atauBuddhatantra. Kuatnya pengaruh Tantrayana ini juga
dibuktikan bahwa perguruan Nalandha yang semula merupakan pusat
studiMahayana pada masa ini telah berubah menjadi pusat studi Tantrayana (Tim
Penyusun, 2003:53). Dengan demikian, kebangkitan kaum Brahmana,
gerakan bhakti, dan Tantrayana menjadi faktor penting melemahnya pengaruh
Buddha di India.

Pada masa berikutnya, pengaruh agama Buddha di India bertambah melemah


seiring dengan munculnya gerakan Wedanta yang dilakukan oleh sejumlah
intelektual Hindu. Salah satu pelopor gerakan ini adalah Sangkaracarya (788--820
M), seorang Brahmana asal Keladi Kerala yang memiliki kecerdasan luar biasa
dalam bidang Siwapaksa. Dia adalah pendiri aliran filsafat Adwaita
Wedanta. Sangkaracarya berhasil memenangkan perdebatan dengan bhiksu-bhiksu
Buddha melalui penjelasan agama Hindu yang lebih sederhana, rasional, dan
filosofis (Thapar, 1979:185). Setelah itu, ia juga menarik kembali para pengikuti
Buddha untuk kembali ke Hindu. Sisanya yang kebanyakan adalah
penganut Buddhatantra (Vajrayana) lari menyelamatkan diri ke Tibet (Klostermeier,
1988:107). Demikianlah pengaruh agama Buddha perlahan-lahan memudar dan
sampai dengan kedatangan sultan-sultan Islam agama Buddha telah lenyap sama
sekali dari India.

III
Uraian di atas menegaskan bahwa perkembangan Shiwa-Buddha di India berada
dalam nuansa kontestasi keagamaan yang berujung pada lenyapnya agama
Buddha dari India. Kondisi yang bertolak belakang akan terjadi dalam penyebaran
dan perkembangan agama Shiwa-Buddha di Indonesia. Kedua agama ini
diperkirakan telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Masehi (Phalgunadi,
2010). Terdapat sejumlah teori yang menyatakan proses masuknya Shiwa-Buddha
ke Indonesia antara lain, teori Waisya (N.J.Krom), teori Ksatrya (C.C.Berg,
Mookerje, dan J.L Moens), teori Brahmana (J.van Leur), dan teori Arus Balik (F.D.K.
Bosch).

Sebelum ditemukannya yupa dari kerajaan Kutai, memang tidak ada bukti sejarah
yang meyakinkan tentang mulai masuknya Shiwa-Buddha ke Indonesia. Penemuan
sejumlah arca dewa-dewa Hindu di sekitar Kalimatan menunjukkan bahwa agama
Shiwa masuk bersamaan dengan mazhab-mazhab yang lain, khususnya
Brahmanisme. Mengingat dari abad ke-1 sampai abad ke-4 Masehi ajaran
Brahmanisme sedang mengalami kejayaan di India (Phalgunadi, 2010:36).
Bersamaan dengan itu, juga Buddha Mahayana mengalami perkembangan yang
pesat untuk memperbarui ajaran Hinayana yang mulai terdesak oleh gerakan kaum
Brahmana dan gerakan Bhakti kelompok Waishnawa. Walaupun demikian,
diperkirakan bahwa Hinduisme (Brahmanisme dan Shiwaisme) dan
Buddhisme memang datang secara langsung dari India. Tidak ada bukti sejauh ini
ditemukan kemungkinan kedua agama besar ini dipekenalkan di nusantara oleh
perantara-perantara dari negara lain, seperti halnya kasus Islam (Suamba, 2007:42
—43).

Itihasa Ramayana Valmiki memberikan catatan tertua adanya kontak antara India
dan Jawa. Diceritakan bahwa pasukan kera yang dipimpin Sugriwa memeriksa
berbagai tempat di dunia termasuk kepulauan Indonesia. Pasukan kera ini dengan
berhati-hati mengamati tujuh wilayah di Nusantara yang
disebut Saptarajya. Menurut Phalgunadi (dalam Suamba, 2007:41)
bahwa Saptarajya merupakan tujuh tempat, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Irian Jaya (dan Papua Nugini), Bali, Semenanjung Malaka, dan Jawa. Di samping
itu, kitab Brahmanda Purana yang disusun pada masa Gupta sekitar abad ke-4
Masehi, juga mengungkapkan bahwa saudagar-saudagar India telah mengunjungi
Indonesia. Kitab ini menyebut pulau Kalimantan (Borneo) dengan
nama Brahinadvipa. Beberapa kitab purana lainnya menyebutkan kunjungan Rsi
A g a s t y a k e B a r h i n a d v i p a , K u s a d v i p a , Va r a h a d v i p a , S a n k h a d v i p a ,
Malayadvipa, dan Javadvipa. Ia tinggal untuk beberapa waktu di gunung Maha-
malaya parvata di Malayadvipa. Kitab Raghuvamsa disusun oleh Kalidasa kira-kira
abad ke-5 Masehi juga menceritakan adanya lavanga (cengkeh) yang diimpor
dari Dvipantara yang kemudian bernama Sumatera. Wolters
percaya Dvipantara adalah nama lain Indonesia (Suamba, 2007:42).

Catatan serupa juga ditegaskan oleh sejumlah sejarawan tentang masuknya agama
Buddha ke Indonesia. Istilah “Labadiu” sebagai nama lain dari pulau Jawa telah
dikenal oleh Ptolemi, ahli bumi dari Iskandariah tahun 130 M. Sejarawan Buddhis
umumnya juga menjadikan cerita Ramayana Valimiki sebagai salah satu
pembuktian adanya kontak India dan Indonesia. Menurut catatan dari Tibet bahwa
Sriwijaya pada abad ke-2 telah menjadi pusat kegiatan agama Buddha dan banyak
sarjana agama Buddha asal China yang singgah ke sini sebelum melanjutkan
perjalanan ke India melalui Selat Malaka (Tim Penyusun, 2003:262; Suamba,
2007:71). Salah satu sarjana Buddha asal China bernama Fa-Hien juga sempat
singgah ke sini dan melanjutkan perjalannya ke Jawa pada tahun 414 M. Dia
mencatat bahwa di Jawa banyak terdapat penganut agama Brahmana yang
berlainan dengan India, sedangkan penganut Buddha sedikit jumlahnya. Kemudian,
pada tahun 421 M, seorang Bhiksu Buddha bernama Gunawarman, dari kerajaan
Kashmir menerjemahkan beberapa kitab suci Buddha dan menyebarkannya di She-
Po (Jawa). Setelah itu, juga Hui-neng seorang Bhiksu dari China datang ke Ho-ling
(Kalingga-Jawa Tengah) untuk menerjemahkan beberapa kitab suci agama
Hinayana yang dibantuk oleh Janabadhra (Suamba, 2007:72). Perkembangan
agama Buddha Hinayana di Sumatera juga diketahui dari catatan I-Tsing pada
tahun 671 Masehi. Aliran ini berkembang di kerajaan Bhoja (dekat Palembang)
yang dibawa oleh dhammaduta-dhammaduta dari India Utara – Kasmhir yang
diduga berasal dari mazbah Mulasarvastivada, sedikit dari mazhab Samattiya, dan
dua mazhab lain yang baru berkembang dari aliran Hinayana. Buddha Hinayana
juga berkembang di kerajaan Malayu (sekitar Jambi sekarang) (Tim Penyusun,
2003: 262).

I-Tsing juga memberikan catatan penting tentang perkembangan Buddha


Mahayana di Indonesia. Ia menyatakan bahwa wujud agama Buddha pada abad
ke-7 adalah perpaduan antara Prajnaparamita dan Tantra. Raja Dharmaphala (770
—810) setelah memegang tahta kerajaan segera melakukan penghormatan kepada
Haribadra, seorang guru terkemuka
dari Prajnaparamita dan Abhisamalankara, tanpa mengabaikan
kitab Guhyasamaja yang berisi ajaran Tantra. Para sarjana menyebutkan peristiwa
ini sebagai “sintesa Phala”. Buddha-Tantra (Vajrayana) ini menyebar luas ke
Indonesia (Jawa dan Sumatera), Nepal, dan Tibet (Tim Penyusun, 2003:193). Jadi,
Mahayana yang masuk ke Indonesia telah mendapatkan pengaruh dari Tantra
(Vajrayana) sehingga perkembangan keduanya saling berkaitan dengan yang lain.
Hal ini juga dibuktikan dengan prasasti yang ditemukan di pulau Bangka yang
berangka tahun 682 dan 686 menjelaskan tentang siddhayatra yang menyebabkan
Sriwijaya kaya dan kuat. Siddhayatra ditafsirkan dengan justifikasi yang berarti
“kekuatan magis atau anugerah”(Suamba, 2007:74).

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa masuknya Shiwa-Buddha ke Indonesia


terjadi sejak abad pertama Masehi. Mulanya agama Brahmana (Hindu – Shiwa)
berkembang terlebih dahulu di Kalimatan dan berlanjut ke Jawa dan Bali (abad ke-4
sampai sekarang). Kemudian, Buddha Hinayana mulai berkembang terutama atas
jasa Gunawarman dan Jnanabhadra dari abad ke-4 dan ke-7 Masehi. Selanjutnya,
antara abad ke-7 sampai abad ke-12 berkembang Buddha Mahayana dan
Vajrayana. Dalam perkembangan inilah terjadi pendekatan-pendekatan antara
agama Shiwa dan Buddha dan mencapai puncaknya dengan munculnya agama
Shiwa-Buddha di Jawa.

IV

Berkaitan dengan perkembangan agama Shiwa-Buddha di Indonesia, Kumar (2006)


menyatakan bahwa hubungan antara Indonesia dan India semakin kuat pada masa
kerajaan Hindu sekitar abad ke-4 dan ke-5 Masehi. Dalam tulisannya dikemukakan
sebagai berikut.

“Purnawarman, the king Taruma, released Sanskrit inscriptions during his reign
periods. The king performed Brahmanical rites. But Buddhism penetrated in the
heart of mass people and it become religion of common people. This is becaused of
a large number of Buddhist vestiges are discovered from different parts of Java
including a Buddha image. From the Chinese source, it appears that Java was a
center of Buddhist learning. During 5th century. Fa-hien stopped in Java studied
Buddhist texts. A monk Gunavarman who was the Prince of Khasmir (India) stayed
at She P’o (Java) and preached Buddhism in around 424 A.D. By Fifth century, Java
appears to be melting pot of different religions i.e. Hinduism and its Brahmanic sect
as well as Buddhism. People of Java accepted the alien religions an began
practising its rites and rituals”.

(‘Purnawarman, raja Tarumanegara, telah mengeluarkan inskripsi Sansekerta pada


periode ini. Raja melaksanakan ritual-ritual agama Brahmana, tetapi Buddhisme
telah merebut hati masyarakat umum dan menjadi agama masyarakat pada
umumnya. Ini ditunjukkan dengan banyaknya peninggalan-peninggalan Buddha
yang ditemukan dari berbagai daerah di Jawa termasuk patung-patung Buddha.
Dari catatan China menunjukkan bahwa Jawa telah menjadi pusat pendidikan
Buddha. Sekitar abad ke-5 Masehi, Fa-Hien tinggal di Jawa untuk mempelajari teks-
teks Buddha. Gunawarman yang merupakan pangerah dari Kashmir tinggal di She
P’o (Jawa) dan mengajarkan Buddhisme sekitar tahun 424 Masehi. Pada abad
kelima, Jawa mulai menunjukkan adanya percampuran (melting pot) dari berbagai
agama, antara lain Hindu khusunya sekte Brahmana dengan Buddha. Masyarakat
Jawa menerima agama baru ini dan mulai mempraktikannya dalam upacara dan
ritual’).

Pendapat tersebut memberi petunjuk tentang mulai terjadinya pendekatan antara


agama Shiwa (Brahmanisme) dan Buddha pada zaman Tarumanegara. Walaupun
demikian, istilah melting pot yang digunakan tampaknya masih perlu diuji lebih
lanjut. Mengingat istilah ini bermakna hilangnya ciri-ciri dari masing-masing agama
dan melahirkan agama baru. Padahal dalam praktiknya, agama Shiwa dan Buddha
tetap memiliki konsep dan ciri-ciri yang khas masing-masing. Hal ini dipertegas
olehnaskah Sanghyang Siksakanda ng Karesian yang ditulis pada zaman kerajaan
Sunda. Naskah ini memperlihatkan bahwa pengaruh Hindu masih sangat
jelas, walaupun telah ada kedekatan dengan Buddhisme. Pada bagian 3 naskah ini
menyuratkan:

“...ini na lalukonon, talatah sang sadu jati hongkara namo sewya, sembah ing hulun
si Sanghyang pancatatagatha; panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda,
gata ma ngaran ing raga, ya eta ma pahayuon sareanana...”

(‘…inilah yang harus dilakukan, yaitu amanat sang baik hati (terpercaya) yang
sejati, selamatlah (hendaknya) dengan nama Shiwa, menyembahlah hamba kepada
Sanghyang Tatagatha (Buddha); panca berarti lima, tata itu artinya sabda,
gata artinya raga, ya itulah kebaikan semuanya’) (Puponegoro dan Notosusanto
dalam Suamba, 2007:67).

Berkaitan dengan istilah yang digunakan untuk menunjukkan “penyatuan” antara


Shiwa dan Buddha tampaknya memang belum ada istilah yang disepakati oleh para
ahli. Untuk itu, penting melihat secara sekilas pandangan tentang Shiwa Buddha di
Indonesia dari beberapa ahli, seperti berikut.

Pertama, J.H.C Kern yang memfokuskan studinya pada inskripsi-inskripsi


berbahasa Sansekerta, prasasti-prasasti berbahasa Jawa Kuna, dan kitab-kitab
berbahasa Jawa Kuna menggunakan istilah vermenging (percampuran).
Percampuran antara Shiwaisme dan Buddhisme Mahayana terutama
terjadi pemberian makna terhadap Prinsip Tertinggi yang Tunggal. Menurut
Kern(Kern dan Rassers, 1982) percampuran Shiwa-Buddha di Indonesia
sesungguhnya telah terjadi di tempat kelahiran dua agama ini, yaitu India. H.Kern
membandingkan data dari Orissa abad ke-7 Masehi dan bukti-bukti yang tercantum
dalam Kakawin Sutasoma sehingga sampai pada kesimpulan
terjadinya pencampuran antara Siwa dan Buddha. Meskipun demikian, kedua
agama ini tetap dibedakan satu sama lain.

Kedua, W.H. Rassers memfokuskan perhatiannya pada struktur masyarakat Jawa


purba. Menurutnya kebudayaan Jawa asli dicirikan dengan sistem pembagian
dua phratrie, sebagai dua yang azasi. Dia berpendapat bahwa kebudayaan Jawa
asli merupakan kemungkinan penyebab terjadinya pertautan antara Siwaisme dan
Buddhisme di Jawa. Dengan menganalisis cerita Bubuksah – Gagak Aking, Rassers
berpendapat bahwa Gagak Aking yang dipersamakan Pendeta Siwa dipandang
sebagai saudara tua dari Bubuksah yang dipersamakan dengan Pendeta Buddha
adalah cara manusia Jawa untuk menyesuaikan mitos nenek moyang dengan
keadaan yang berlaku pada zaman itu, yaitu zaman Hindu di Jawa Timur. Dalam
hubungan ini, juga Rassers menunjukkan bahwa Siwa dan Buddha sebagai “agama
negara” yang terjadi di Jawa Tengah berbeda dengan di Jawa Timur. Di Jawa
Tengah antara Siwa dan Buddha dipisahkan dalam maknanya sebagai agama
negara, tetapi di Jawa Timur keduanya disamakan karena hanyalah dua aspek dari
agama yang sama, yakni Siwa-Buddha. Dalam hal ini, Rassers berpendapat
bahwasinkritisme Siwa-Buddha di Indonesia terjadi karena adanya pengaruh
kebudayaan Jawa asli.

Ketiga, J.Gonda juga menggunakan istilah “koalisi” dengan menekankan


bahwa penyamaan-penyamaan antara dewa-dewa Shiwa dan dewa-dewa Buddha
tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga di Kamboja, Nepal, dan India sendiri. Oleh
karena itu, kebudayaan asli Jawa bukanlah satu-satunya kemungkinan pendorong
terjadinya koalisi antara Siwa dan Buddha. Sejalan dengan itu, Suwito Santoso
berpendapat bahwa Siwaisme dan Buddhisme pada praktiknya masih selalu
merupakan agama yang terpisah, sehingga dia juga menggunakan istilah koalisi
(coalition). Haryati Soebadio (1982), juga tidak sependapat dengan
istilahSinkritisme untuk menyatakan perpaduan Siwa dan Buddha karena istilah ini
berkonotasi hilangnya identitas masing-masing agama dan menghasilkan sistem
baru. Padahal, perpaduan Siwa dan Buddha tidak menghilangkan identitas masing-
masing. Identifikasi Hindu dan Buddha dalam beberapa sastra Jawa Kuna hanyalah
mengenai Prinsip Tertinggi beserta segala manifestasinya. Oleh karena itu, ia
sependapat dengan Gonda untuk menggunakan istilah koalisi.

Keempat, Edi Sedyawati (Suamba, 2007:82; Sedyawati, 2009) melukiskan


pertemuan Hinduisme dan Buddhisme pada masa Jawa Tengah sekitar abad ke-8
dan ke-9 Masehi sebagai “amalgamation” (percampuran) melalui adopsi dan
kemudian terjadi “restructuring” (penataan kembali) sesuai dengan alam pikiran
kebudayaan Jawa. Artinya, peran kearifan lokal Jawa dalam mempertemukan dan
menata kembali ajaran Shiwa-Buddha merupakan faktor yang terpenting.

Perkembangan Shiwa-Buddha pada abad ke-8 di Jawa Tengah tidak dapat


dilepaskan dari keberadaan Sanjayawangsadan Syailendrawangsa. Secara politis,
toleransi Shiwa-Buddha ditunjukkan dengan perkawinan antara Rakai Pikatan
(Sanjayawamsa – beragama Shiwa) dengan Pramodhawardani (Syailendrawamsa -
beragama Buddha Mahayana). Di samping itu, juga dalam Prasasti Kalasan (778
M) disebutkan bahwa candi Kalasan dibangun atas kerjasama antara Wangsa
Sanjaya yang beragama Hindu (Shiwa) dengan wangsa Syailendra yang beragama
Buddha Mahayana. Candi Kalasan sendiri adalah candi untuk pemujaan Dewi Tara.
Meskipun demikian, Shiwa dan Buddha di Mataram Kuno merupakan dua agama
besar yang hidup berdampingan secara serasi, selaras, dan harmonis dalam satu
negara (Suamba, 2007:91). Mengikuti catatan Rassers (1926:6) bahwa Siwa atau
Buddha adalah agama negara yang terkait erat dengan wangsa-wangsa kerajaan
tertentu yang berkuasa. Hal ini penting untuk membedakan dengan percampuran
Siwa-Buddha pada masa kerajaan Hindu di Jawa Timur.
Proses sinkritisasi Siwa-Buddha di Mataram Kuno lebih tegasnya dapat ditemukan
dalam Prasasti Klurak (782 M). Prasasti ini ditulis dalam Bahasa Sansekerta dan
dikeluarkan dalam rangka pendirian bangunan suci agama Buddha untuk pemujaan
Manjusri (salah satu wujud ke-Buddha-an tertinggi). Adapun isi prasasti Klurak
terkait dengan Siwa-Buddha terdapat dalam bait 13, 14, dan 15 sebagai berikut.

“Kirttistambho’yam atulo dharmasetur anutarah raksathamsarvasatvanam


mamjusripratimakrtih”

(‘(bangunan) penguat kejayaan, yang tiada bandingnya ini adalah jembatan yang
kokoh menuju Dharma (ajaran yang benar), dilengkapi dengan arca Manjusri demi
pemeliharaan segenap makhluk) (bait 13).

“atra buddhasca dharmmasca sanghascantargatah stitah drstavyo drsyaratne’smin


smararati-nisudane”

(di situlah terletak di dalamnya Buddha, Dharma, dan Sangha hendaknya


dipandang, di bangunan itu yang merupakan permata yang indah, penakluk segala
kenikmatan duniawi) (bait 14).

“ayam sa vajradhrk sriman brahma visnur mahesvarah sarvadevamayah suami


manjuvag iti giyate”

(ia itu yang membawa wajra dan bercahaya (adalah) Brahma, Wisnu,
maupun Mahesvara (ia adalah) junjungan yang memperlihatkan diri sebagai segala
dewa, (ia) dipuja dalam nyanyian sebagai Manjuwag) (bait 15).

Terkait dengan Siwa-Buddha dapat dipahami bahwa dewa-dewa tertinggi dalam


Agama Hindu, yaitu Tri Murti (Brahma, Wishnu, dan Maheswara) disebutkan dalam
rangka memaparkan keagungan bangunan suci Buddha. Dalam prasasti ini
prinsip ke-Buddha-an Tertinggi adalah Manjusri atau Manjuwag yang di dalamnya
terdapat Buddha, Dharma, dan Sangha yang menaklukkan segala kenikmatan
duniawi. Manjusri sebagai prinsip ke-Buddha-an Tertinggi mengambil wujud
Brahma, Wisnu, dan Maheswara. Prasasti ini tampaknya lebih mengagungkan
Buddha daripada Shiwa karena dibangun oleh Dinasti Syailendra.

Dua keluarga (wangsa) ini jua mempelopori pembangunan sejumlah candi di Jawa
Tengah, baik candi Siwa maupun candi Buddha. Candi-candi Hindu antara
lain, Prambanan, Gedongsanga, Dieng, Lorojonggrang, dan Ratu Baka. Candi
Buddha antara lain, Borobudur, Kalasan, Mendut, Sewu, dan Plaosan. Pada masa
ini pula filsafat dan agama mendapatkan perhatian serius. Konsep karmaphala,
kelahiran setelah kematian atau reinkarnasi, dan pembebasan sejati
atau sunyavada (moksa) sudah banyak dikenal masyarakat. Pelaksanaan ritual-
ritual keagamaan dan pemujaan dewa-dewa, baik Hindu maupun Buddha
berkembang pesat di masyarakat (Kumar, 2006). Hal ini dapat dilihat dari Candi
Prambanan misalnya, di sana dipuja Maharsi Agastya sebagai Bhatara Guru,
Ganesa, Lorojonggrang (Durga atau Uma), dan Siwa sendiri. Artinya, keseluruhan
aspek agama Hindu, baik tattwa (filsafat), etika, dan acara agama telah
dilaksanakan secara simultan pada masa ini sebagai kelanjutan dari masa-masa
sebelumnya.

Ajaran Siwa-Buddha semakin berkembang dan meluas pengaruhnya pada masa


kerajaan di Jawa Timur sekitar abad ke-11. Di samping itu, juga di Jawa Timur
ajaran Tantrayana berkembang sangat pesat. Petunjuk utama tentang
perkembangan agama Siwa-Buddha, dan Tantrayana ini tidak hanya diwujudkan
dalam bentuk candi dan prasasti (bukti sejarah yang dominan di Jawa Tengah),
tetapi juga dalam berbagai kesusasteraan Jawa Kuna. Pada masa Mpu
Sindok (929-947 M) lahir kitab agama Buddha Mahayana, yaitu Tutur Sanghyang
Kamahayanikan. Kitab ini menyatakan “Buddha tunggal lawan Shiwa”. Kemudian,
dalam prarasti Keboan Pasar yang dikeluarkan Raja Erlangga pada tahun 1034
Masehi disebutkan tentang penghormatan kepada Mpungku Shiwa-Sogata-
Rshi (Suamba, 2007:105).

Pada akhir masa kekuasaannya, Raja Erlangga membagi kerajaan menjadi dua,
yakni Jenggala yang beribukota di Kahuripan dan Panjalu yang beribukota di Daha.
Dalam Negarakrtagama 68, 2—5 diceritakan bahwa pembagian kerajaan ini
dilakukan dengan bantuan Mpu Bharadah yang terbang dengan membawa sebuah
kendi. Ini menjadi petunjuk penting perkembangan ajaran Siwa-Buddha Tantra yang
kental dengan nuansa mistis dan magis. Ketegasan tentang hal ini dapat dirujuk
dari pendapat Sarkar (2002:64) bahwa teks-teks Buddha sungguh-sungguh
berbicara tentang kekuatan-kekuatan itu melibatkan kapasitas “memproyeksikan
bayangan seseorang buatan pikiran, menjadi tidak dapat dilihat oleh mata,
menembus benda-benda padat seperti dinding, menembus dasar pada seolah-olah
cair, berjalan di atas air, terbang di angkasa, menyentuh matahari dan bulan, naik
ke surga-surga yang lebih tinggi, dan sebagainya. Pencapaian kekuatan-kekuatan
supernatural atau siddhi-siddhi juga salah satu tujuan utama praktik umum Tantra
Shiwa.

Kemanunggalan Siwa-Buddha-Tantra di Jawa Timur juga semakin jelas dari


catatan-catatan tentang Raja Krtanegara. Diceritakan bahwa ketika pasukan Kadiri
memasuki kerajaan Singhasari, Kertanegara sedang minum sampai mabuk
bersama para punggawa kerajaan. Menurut Soekmono (1981) sesungguhnya
Kertanegara sedang melaksanakan ritual Budha Tantra. Hal ini dikuatkan dengan
bukti yang tertulis dalam lapik arca Joko Dolok di Surabaya yang menyatakan
bahwa Kertanegara telah dinobatkan sebagai Jina (Dhyani Buddha), yaitu sebagai
Aksobhya dan Joko Dolog adalah arca perwujudannya. Sebagai Jina dia
bergelar Jnanasiwabajra. Setelah wafat, Kertanegara dinamakan Siwa-Buddha
dalam kitab Pararaton, sedangkan dalam Negarakrtagama dikatakan “mokteng
Shiwa-Buddhaloka” (Moksa di alam Siwabuddha), juga dalam kitab-kitab lain
disebut “lina ring Shiwa-Buddhalaya” dan “lumah ri Shiwa-Buddha” dengan makna
yang sama. Kertanegara dimuliakan di Candi Jawi sebagai Shiwa dan
Buddha; dicandikan di Sagala bersama permaisurinya Bajradewi
sebagai Jina (Wairocana); dan di Candi Singhasari dicandikan sebagai Bhairawa.

Perkembangan Siwa-Buddha-Tantra berlanjut sampai dengan zaman Majapahit


sekita abad ke-13 sampai ke-15 Masehi. Krtarajasa yang wafat pada tahun 1309 M
dicandikan sebagai Shiwa di Simping (Candi Sumberjati) – sebelah selatan Blitar,
dan sebagai Buddha dicandikan di Antahpura dalam kota Majapahit. Arca
perwujudannya adalah Harihara, berupa Wisnu dan Siwa dalam satu arca,
sedangkan Tribhuwana dimuliakan di candi Rimbi di sebelah barat daya Mojokerto
dalam wujudnya sebagai Parwati. Petunjuk tentan Shiwa-Buddha juga ditemukan
dalam sejumlah karya sastra yang lahir pada zaman pemerintahan Raja Hayam
Wuruk (1360-1369 M), yaitu Negarakrtagama karya Mpu
Prapanca, Arjunawijaya dan Sutasoma oleh Mpu Tantular. Ada beberapa petunjuk
penting tentang Shiwa-Buddha dalam ketiga kitab ini, sebagai berikut.

(1) Negarakrtagama
a) Tentang pencandian dan pengarcaan Shiwa dan Buddha dari raja-raja yang
memerintah Kediri, Singhasari, dan Majapahit.
b) Tentang Mpu Bharadah yang menguasai ajaran Shiwa-Buddha-Tantra.
c) Tentang Raja Krtanegara yang memeluk dua agama, yakni Shiwa dan Buddha
sehingga disebut Shiwa-Buddha.
d) Tentang pengangkatan kepala agama sebagai kepala pengadilan,
yaitu Dharmadhyaksa ri Kasewan dan Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
e) Prapanca adalah Dharmadyaksa ri Kasogatan (Mulyana, 2011).
f) Tentang dewa-dewa, yaitu Panca Sogata (Akshobya, Ratnasambhawa,
Amitabha, Amoghasiddhi, Wairocana); Panca Kosika (Mahakusika, Garga, Maitri,
Kurusya, Patanjala); dan Pancaka Shiwa (Iswara, Brahma, Mahamara,
Madhusudhana, dan Bhatara Guru)(Suamba, 2007:129).

(2) Arjunawijaya
a) “ndan katenanya haji tan hana bedha sang hyang; Hyang Buddha rakwa
kalawan Siwarajadewa kalih sameka sira sang pinakesti dharma; ring dharma sima
tuwi yan lepas adwitiya” (27.2) (‘pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara
Beliau; Sang Hyang Buddha dengan Sang Hyang Siwarajadewa; keduanya sama
itu yang menjadi tujuan dharma, baik dalam dharma sima maupun dharma
lepas, tidak ada bedanya’).

“Om Sriparwatarajadewa, hurip ing sarwa pramaneng jagat, sang saksat


paramartha Buddha…” (1.1) (‘Sri Parwata Rajadewa adalah jiwa dari segala jiwa
kehidupan di dunia, bagaikan Paramartha Buddha…’) (Suamba, 2007:122—123).

b) Lima Dhyani Buddha disamakan dengan Pancaka Shiwa, yaitu (1) Vairocana
(Sadashiwa) di tengah; (2) Aksobhya (Rudra) di timur; (3) Ratnasambhawa
(Dhatradewa) di selatan; (4) Amitabha (Mahadewa) di barat; dan (5) Amogasiddhi
(Harimurti) di utara (Mantra, 2002:27).

(3) Sutasoma
a) “Hyang Buddha tanpahi Shiwa Raja Dewa/ rwaneka dhatu winuwus wara
buddha wiswa/bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/ mangka ng Jinatwa
kalawan Siwatwa tunggal/ bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//”(‘Hyang
Buddha tidak ada bedanya dengan Shiwa Raja Dewa/ disebutkan dua perwujudan
Beliau, yaitu Buddha dan Siwa/ berbeda konon, tetapi kapankah dapat dibagi
dua/ demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/yang berbeda itu
sesungguhnya satu jua/ karena tidak ada dharma yang mendua//’) (Mantra,
2002:25; Suamba, 2007:119).
b) Lima Dhyani Buddha disamakan dengan Pancakha Shiwa yaitu (1) Vairocana
(Shiwarajadewa) di tengah; (2) Aksobhya (Iswara) di timur; (3) Ratnasambhawa
(Dhatra) di selatan; (4) Amitabha (Mahamara) di barat; dan (5) Amogasiddhi
(Wishnu) di utara (Mantra, 2002:27).

c) Jina adalah kebenaran tertinggi dan terakhir, serta mewujudkan diri dalam
tritunggal, yakni Buddha, Lokeswara, danWajrapani yang disamakan
dengan Brahma, Wishnu, dan Ishwara.

Selain kitab-kitab tersebut, sesungguhnya masih banyak lagi susastera Jawa Kuna
yang memperbincangkan tentang Shiwa-Buddha. Kesusasteraan yang bercorak
Buddhistik, antara lain: Sang Hyang Kamahayanikan, Sutasoma, Arjuna Wijaya,
K u n j a r a k a r n a , N a g a r a k r t a g a m a , H a r i w a n g s a , Ta n t u P a g e l a r a n ,
Korawashrama, dan Bubuksah Gagakaking. Kitab-kitab yang bercorak Shiwaistik,
antara lain: Bhuwanakosa, Wrespatitattwa, Mahajnana, Tattwa Mahajnana, Jnana
Siddhanta, dan Bhuwana Sangksepa. Meskipun memiliki corak yang lebih
Buddhistik ataupun Shiwaistik, tetapi pada intinya kitab-kitab tersebut menguraikan
bahwa Shiwa dan Buddha adalah dua prinsip yang Tunggal.

Dalam kurun waktu hampir bersamaan dengan perkembangan Shiwa-Buddha di


Jawa Tengah dan Jawa Timur, yakni antara abad ke-8 sampai ke-15 Masehi, agama
Shiwa-Buddha juga telah berkembang di Bali. Prasasti Sukawana menyebutkan
keberadaan dua kelompok orang suci, yaitu Buddha dan Shiwa. Demikian juga
sejumlah arca, stupa, dan stupika tersimpan pada beberapa pura di Bali, seperti
Mas Ketel, Goa Gajah, Pegulingan, Subak Kedangan, Bukit Dharma (di Gianyar)
dan sejumlah tempat lainnya (Suamba, 2007:138). Dengan mengutip Astawa
(Suamba, 2007:142) bahwa sejumlah prasasti Bali Kuna menyebutkan pernyataan
penghormatan “namasiwaya namobuddhaya”. Catatan Goris (1968:4) tentang
sembilan sekte yang telah berkembang di Bali pada seputaran abad ke-10 juga
menegaskan adanya sekte Shaiwa Siddhanta dan Sogata. Bukti lainnya juga
disebutkan dalam sejumlah prasasti tentang sebutan orang suci, yakni Dang
Acarya untuk pendeta Shiwa dan Dang Upadhyaya untuk pendeta Buddha
(Suamba, 2007:148—153). Agama Siwa-Buddha masih hidup di Bali sampai saat
ini, terutama dengan masih dilaksanakannya upacara yajna yang dipuput oleh Tri
Sadhaka, yaitu Shiwa, Buddha, dan Bhujangga.

V
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa perpaduan agama Shiwa-
Buddha di Indonesia terjadi karena adanya sejumlah kesamaan pada berbagai
aspek. Aspek-aspek ini ibarat lem perekat yang mampu mempertemukan kedua
agama tersebut. Berkaitan dengan hal itu, Suamba (2007:349—352) telah
menyusun sejumlah aspek yang membuka peluang terjadinya penyatuan Shiwa
Buddha di Indonesia, sebagaimana tabel berikut.

Tabel 01
Pararelisme antara Agama Shiwa dan Agama Buddha
No Konsep Agama Siwa Agama Buddha

1 Prinsip tertinggi Parambrahma/ Parama Buddha/


Sadyotkranti/
Parama Shiwa/ AM-AH Advaya/AM-AH
(moksa) (sunya)
Pranawajnana/ Advaya-Jnana
No Konsep Agama Siwa Agama Buddha

1 Prinsip tertinggi Parambrahma/ Parama Buddha/


Sadyotkranti/
Parama Shiwa/ AM-AH Advaya/AM-AH
(moksa) (sunya)
Pranawajnana/ Advaya-Jnana
Pranajyotirupa/ Divarupa
2 Dwi Tunggal Siwa – Durga/Shakti A d h i
Budha danPradnyapa
ramita
(Advaya dan
Advayajnana).
3 Tiga Hakikat Shiwa Tri Purusha: Buddha Vajrasattwa
Paramashiwa (niskala), dan Awalokiteswara
Sadashiwa (sakala- d a l a m wujud
niskala), wujudDharmakaya,
Shiwa (sakala) Sambhogakaya, dan
Nirmanakaya.
4 Kelepasan/ Tujuan Moksa, Sunya Sunya, Nirbana
tertinggi.
5 Tiga Dewa Tri Murti : Ratnatraya :
Brahma, Wisnu, Iswara S a k y a m u n i ,
Lokeswara, dan
Bajrapani atauWairoc
ana, Amitabha,
Aksobhya, atauWairo
c a n a ,
Ratnasambhawa, dan
Amogasiddhi.
Ketiganya disebut
juga Buddha, Darma,
dan Sangga,
merupakan esensi
dari Kaya, Wak, dan
Citta (Tri Kaya).
6 Lima Dewa Panca Dewata/ Panca Panca Tatagatha :
Brahma : Wairocana (tengah),
Sadyojata (Iswara: Sa), R a t n a s a m b h a w a
Bamadewa (Brahma: (selatan), Amitabha
Ba), T a t p u r u s a (Barat), Amogasiddhi
Mahadewa:Ta), Aghora (utara), dan Aksobya
(Wishnu: A), dan Isana (Timur).
(Shiwa: I).
7 Lima Aksara Panca Aksara : Sang, Panca Aksara : Ah,
Bang, Tang, Ang, Ing. Hum, Tram, Hrih, A.
8 Dewi I l m u Saraswati Pradnya Paramita
Pengetahuan
9 Pendeta Dang Acarya Dang Upadhyaya
10 Istilah nama Siwa (Sewa) Jina, Buddha,
Sogata.
7 Lima Aksara Panca Aksara : Sang, Panca Aksara : Ah,
Bang, Tang, Ang, Ing. Hum, Tram, Hrih, A.
8 Dewi I l m u Saraswati Pradnya Paramita
Pengetahuan
9 Pendeta Dang Acarya Dang Upadhyaya
10 Istilah nama Siwa (Sewa) Jina, Buddha,
Sogata.

Selain kesepuluh paralelisme Shiwa-Buddha tersebut, juga dapat ditambahkan


bentuk pararelisme yang cukup penting, yaitu Pangider-ider yang digunakan oleh
Shiwa, Buddha Mahayana, dan Vajrayana (Tantra), berikut ini.

Tabel 02
Pangider-ider Shiwa Sidhanta (Tantra)
No Dewa Shakti Wahan Senjat Arah Warna Bija
a a Mantra
1 S a d a Durga Lembu Padma Te n g a Panca Ing (I)/
S h i w a / h Warna Y a n g
Isana (Ya)

2 I s w a r a / Umadew Gajah Bajra Timur Putih Sang/


Sadyojata i Sa

3 B r a h m a / Saraswa Angsa Gada Selata Merah Bang/


Bamadewa ti n Ba

4 Mahadewa/ Sachi Naga N a g a p Barat Kuning T a n g /


Tatpurusha asa Ta

5 W i s h n u / Shri Garuda Chakra Utara Hitam Ang/A


Aghora
6 Maheswara Lakshmi Macan Dupa Te n g g Dadu Nang/
ara Na

7 Rudra Santani Kerbau Moksal B a r a t Jingga Mang/


a Daya Ma

8 Sangkara Rodri Singha Angkus B a r a t Hijau Sing/Si


Laut
9 Sambhu Mahade Wilman Trisula T i m u r Biru Wang/
wi a Laut Wa

Tabel 03
Pangider-ider Buddha Mahayana (Panca Buddha)
N Dewa Shakti Wahan Arah Warna Bija Mantra
o a
1 Wairoc Wajradateswa Naga Te n g a Putih OM/A
ana ri h
2 Ratnas Mamaki Singha Selata Kuning SWA
ambha n
wa
3 Amitab Pandara Merak Barat Merat AH
ha
4 Amoga Tara Garuda Utara Hitam I
siddhi
5 Aksobh Locana Gajah Timur Biru HUM
1 Wairoc Wajradateswa Naga Te n g a Putih OM/A
ana ri h
2 Ratnas Mamaki Singha Selata Kuning SWA
ambha n
wa
3 Amitab Pandara Merak Barat Merat AH
ha
4 Amoga Tara Garuda Utara Hitam I
siddhi
5 Aksobh Locana Gajah Timur Biru HUM
ya

Tabel 04
Pangider-ider Vajra Bhairawa
No Arah Bhija Mantra Persembahan

1 Timur BRUM Daging Lembu


2 Selatan AM Daging Anjing
3 Barat JRIM Daging Gajah
4 Utara KHAM Daging Kuda
5 Tengah HUM Dagung Manusia
6 Tenggara LAM Tahi
7 Barat Daya MAM Darah
8 Barat Laut PAM Bodhicitta Putih
9 Timur Laut TAM Sumsum
10 Tengah BAM Kencing
11 Atas OM – Putih.
AH – Merah
HUM – Biru

Catatan: Vajra Bhairawa adalah cabang Vajrayana dari Buddha Tantra yang
pelaksanaannya hampir sama dengan Buddha Vajrayana.

VI
Simpulan dari semua uraian ini bahwa perkembangan agama Shiwa-Buddha di
India dan Indonesia saling bertolak belakang. Berawal dari penentangan Buddha
terhadap Brahmanisme, kemudian dibalas dengan perlawanan terhadap agama
Buddha. Perlawanan yang dilakukan kelompok Brahmana (Shiwa), gerakan Bhakti
Waishnawa, pengaruh Tantrayana, gerakanWedanta, dan situasi politik masa
itumenyebabkan agama Buddha lenyap dari India. Prinsip-prinsip penting dari
agama Buddha banyak mempengaruhi agama Hindu (terutama Waishnawa), tetapi
diambil dan digunakan untuk mengalahkan dalam debat. Pengakuan Buddha
sebagai awatara Wishnu merupakan cara yang cukup berhasil untuk melemahkan
pengaruh agama Buddha dan mengembalikan umat Hindu yang telah memeluk
ajaran Buddha. Begitu juga penolakan Buddha terhadap yajna dijadikan prinsip
penting gerakan Wedanta untuk mengalahkan agama Buddha.

Di Indonesia, agama Hindu (Brahmanisme dan Shiwa) dan Buddha hidup


berdampingan secara toleran dan harmonis. Malahan, kedua agama ini saling
bekerjasama untuk mengisi kekosongan rohani masyarakat Indonesia. Sejumlah
kesamaan sistem ajaran antara Shiwa dan Buddha diadaptasi dan disusun kembali
sesuai alam pikiran Indonesia. Proses perpaduan dan restrukturisasi ajaran ini
melibatkan Shiwa, Buddha, Tantra, dan local genius sehingga Shiwa-Buddha di
Indonesia sungguh-sungguh menjadi karya keagamaan yang tiada duanya, bahkan
tidak pernah terjadi di negeri asalnya- India. Pada tataran praktik, Shiwa dan
Buddha tetaplah dapat dibedakan. Namun ketika perbedaan ini diabstraksi pada
tataran teologi, metafisika, dan mistikal keduanya hanyalah sebutan yang berbeda
dari satu hakikat yang tunggal. Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

Tlas sinurat,
Puri Gerenceng—Denpasar
10 Mei 2013

VII
DAFTAR PUSTAKA

Banerjee, S.C. 1988. A Brief History of Tantra Literature. Calcutta.

Goris, R. 1968. Sekte-sekte di Bali. Jakarta: Bhratara.

Hariharan, M. 1987. Hinduism and It’s Rationalism. Bombay.

Khanna, K.C. Ancien and Medieval India. New Delhi.

Klostermeier, Klaus. K. 1988. A Short Introduction to Hinduism. Oxford.

Kumar, Bachchan. 2006. “Culture Relations Between Indonesia and India During
Ancient Period”. Makalah disampaikan dalam seminar “Siwa-Buddha di Indonesia”
yang diselenggarakan oleh Universitas Hindu Indonesia, Denpasar.

Kundra, D.N. 1968. A New Text Book of History of India. New Delhi.

Luniya, B.N. 2002. Evolution of Indian Culture. Agra.

Macmilan (ed.). 2001. An Advanced History of India. New Delhi.

Mahajan, V.D. 2002. History of Medieval India. New Delhi.

Majumdar, R.C. 1969. Indian Religion. Calcutta.

-------------------. 1998. Ancient India. New Delhi.

Mantra, Ida Bagus, I Gusti Bagus Sugriwa, Ida Bagus Gede Agastia, Himansu
Busan Sarkar, J.HC. Kern, W.H, Rassers. 2002.Siwa Buddha Puja di
Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharmasastra.

Muljana, Slamet. 2011. Tafsir Sejarah Negarakretagama. Yogyakarta: LKiS.

Phalgunadhi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu Edisi
Revisi. Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI
Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Rassers, Willem Huibert. 1926. Siwa en Boeddha in den Indischen
Archipel, edisi Translation Series – KITLV, No. 3. 1959 oleh Nijhoff.

Sharma, L.P. 2001. History of Ancient India: Pre-Historic Age to 1.200 AD. New
Delhi.

Sedyawati, Edi. 2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya
Dharma.
Suamba, I.B. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia Ajaran dan
Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
Kerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.

Thapar, Ramila. 1979. A History of India I. New York.

Tim Penyusun. 2003. Materi Kuliah Sejarah Perkembangan Agama


Buddha. Jakarta: C.V. Dewi Kayana Abadi.

Tripathi, Ramashankar. 1999. History of Ancient India. New Delhi.

You might also like