Professional Documents
Culture Documents
I
Shiwa dan Buddha adalah dua agama yang lahir di Bharatawarsa, India. Walaupun
demikian, catatan sejarah di India dan Indonesia tentang kedua agama ini
menunjukkan hal yang sangat bertolak belakang. Di India, kedua agama ini terlibat
dalam perdebatan dan pertentangan yang hebat, bahkan menjadi salah satu
catatan kelam dalam sejarah India. Sebaliknya, di Indonesia kedua agama ini hidup
berdampingan dan mencapai puncak harmonisasi dengan lahirnya agama baru,
yakni Shiwa-Buddha. Perbedaan ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam
terutama dengan pendekatan ilmu sejarah. Pendekatan ilmu sejarah mendasarkan
kebenaran pada bukti-bukti sejarah yang otentik dan didukung dengan fakta-fakta
keagamaan hasil catatan para ahli sejarah, arkeologi, kesusasteraan, dan Indologi.
Sejarah juga mengungkap prinsip-prinsip ajaran yang mempertentangkan dan
mendekatkan kedua agama tersebut pada setiap periode. Data sejarah tersebut
kemudian dianalisis untuk melihat kemunculan dan perkembangan ajaran Shiwa-
Buddha, baik di India maupun di Indonesia.
II
Sejarah lahirnya agama Shiwa dan Buddha di India tidak dapat dilepaskan dari
evolusi agama Hindu dari zaman peradaban lembah sungai Sindhu hingga zaman
Brahmana. Pemujaan Shiwa memang tidak ditemukan secara langsung dalam kitab
Weda. Akan tetapi, bibit-bibit pemujaan Shiwa telah ditemukan sejak peradaban
lembah sungai Sindhu, yakni ditemukannya prototipe Shiwa Pasupati, Shiwa
Yogeswara, dan pemujaan lingga (Tripathi, 1999:21—22). Ajaran Shiwa mulai
berakulturasi dengan agama Weda (Vedic religion) pada zaman Brahmana (1000 –
600 SM) dan berkembang dengan pesat setelah masa kejayaan agama Buddha,
yaitu sekitar tahun 200 SM.
Agama Buddha didirikan oleh Siddharta Gautama sekitar abad ke-6 sebelum
Masehi. Ajaran Buddha tidak pernah membicarakan keberadaan Tuhan (Thapar,
1997:66); menekankan ajarannya sebagai way of life, yaitu jalan hidup yang luhur
dan saleh (Khanna, 1976:140); menentang segala dogma agama yang tidak masuk
akal dan mengedepankan jalan rasional, kebijaksanaa, dan spiritualitas. Tujuan
hidup Buddha adalah melepaskan Sang Diri (atman) dari penyebab penderitaan
(duhka) melalui pengetahuan rohani untuk mencapai nirwana (Phalgunadi,
2010:33). Selain itu, agama Buddha juga melakukan penentangan keras terhadap
agama Hindu (Brahmanisme), antara lain: (a) tidak mengakui otoritas kitab suci
Weda; (b) mengutuk korban binatang; (c) menentang catur warna (kasta); (d)
menentang agama aristokrat; dan (e) menentang penggunaan bahasa Sanskerta
dalam penulisan kitab suci (Luniya, 2002:93). Dari sinilah kemudian, ajaran Buddha
dipandang sebagai aliran nastikayang menyimpang dari ajaran agama Hindu.
Ajaran agama Buddha yang cukup sederhana ini mampu menarik simpati rakyat
India dan menyebar begitu cepat ke seluruh India. Malahan jumlah umat Buddha di
India melebihi jumlah penganut Hindu (Brahmanisme) (Hariharan, 1987:116).
Orang-orang Hindu yang masih taat terutama dari
golongan Brahmana, bangsawan, dan aristrokrat (Mahajan, 2002:341—347). Dari
segi politik, juga India berhasil dikuasai dan dipimpin oleh raja-raja beragama
Buddha, bahkan agama Buddha ditetapkan sebagai agama negara. Raja-raja pada
waktu itu memperlihatkan sikap anti terhadap agama Hindu dan melarang seluruh
upacarayajna yang menggunakan kurban binatang (Kundra, 1968:40; Sharma,
2001:148). Dikatakan bahwa zaman ini adalah masa keemasan agama Buddha
(The Golden Age of Buddhism) di India yang berlangsung sampai abad ke-2
sebelum Masehi.
Pada mulanya, mazhab-mazhab tersebut tidak berdiri sendiri sehingga lebih tepat
disebut sebagai pemujaan ista dewata. Akan tetapi, pada zaman Purana mazhab-
mazhab tersebut mulai terpisah secara tegas. Begitu juga dengan mazhab Shiwa
dan Waishnawa mengalami perkembangan yang pesat. Mazhab Shiwa tetap
mempertahankan ajaran karma kanda sebagaimana diwarisi dari zaman Brahmana.
Sebaliknya, ajaran-ajaran dari mazhab Waishnawa mengalami banyak perubahan
dibandingkan ajaran pada awal kemunculannya sekitar abad kedua
sebelum Masehi. Perubahan dalam mazhab Waishnawa ini terutama karena
dipegaruhi ajaran Buddha. Ajaran-ajaran yang berasal dari agama Buddha
seperti, ahimsa, vegetarian, pemujaan patung, penolakan sistem kasta, dan
pembangunan kuil-kuil, pada akhirnya menjadi bagian dari ajaran mazhab
Waishnawa (Kundra, 1968:177; Luniya, 2001:208). Begitu juga dengan
konsep awatara Wisnu yang terdapat dalam kitab-kitab Purana juga mulai diterima
dan diyakini penganutnya (Sharma, 2001:101). Dalam keyakinan Waishnawa,
Buddha adalah salah satu awatara Wishnu sehingga konsep ini menjadi senjata
ampuh untuk melemahkan pengaruh Buddha di India.
Gerakan yang dilaksanakan oleh golongan Shiwa dan Waishnawa ini tampaknya
memberikan pengaruh yang signifikan, baik dalam perkembangan agama Buddha
di India. Dari abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi, agama Buddha di India
mengalami kemunduran dengan berperannya kembali kelompok Brahmana (Shiwa)
dan gerakan bhakti yang dilakukan kelompok Wishnawa.Pada masa ini, para
pemeluk Hindu melakukan praktik pemujaan kepada Sang Buddha yang diyakini
sebagai penjelmaan (awatara) Wisnu (Tim Penyusun, 2003:52). Hal ini mendorong
berkembangnya ajaran Mahayana terutama pada masa pemerintahan dinasti Pala
di India Timur. Aliran Mahayana sesungguhnya merupakan pembaruan dari
aliran Hinayana. Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa aliran Hinayana lebih dekat
dengan ajaran awal Sang Buddha, yakni (a) berdasarkan kitab suci Tipitaka yang
berbahasa Pali; (b) tidak ada upacara-upacara keagamaan yang rumit; (c)
menekankan etika dan meditasi; dan (d) tujuan tertinggi adalah
mencapai arhat. Sementara itu, Mahayana didirikan pasca-kemunduran agama
Buddha sekitar abad ke-2 SM sampai abad ke-5 M yang mulai mengurangi
kesederhanaan upacara sehingga lambat-laun bentuknya mendekati
Hinduisme.Mahayana merupakan aliran Hinayana yang diperbarui dengan diberi
penjelasan-penjelasan tambahan yang dipelopori oleh Buddhagosa (Tim Penyusun,
2003:53).
Meskipun Buddha sempat bangkit kembali di India Timur, tetapi pada saat
bersamaan juga di India sedang berkembang ajaran Tantrayana. Ajaran ini
mempengaruhi sebagian besar mazhab Hindu dan Buddha.
Penguruh Tantrayana terhadap mazhab Shiwa ditandai dengan munculnya
mazhab Shiwatantra atau Shiwagama, sedangkan pada mazhab Waishnawa juga
melahirkanWaishnawatantra atau Waishnawagama (Benerjee, 1988:367—
468). Sementara itu, dalam Buddha muncul
aliran Vajrayana atauBuddhatantra. Kuatnya pengaruh Tantrayana ini juga
dibuktikan bahwa perguruan Nalandha yang semula merupakan pusat
studiMahayana pada masa ini telah berubah menjadi pusat studi Tantrayana (Tim
Penyusun, 2003:53). Dengan demikian, kebangkitan kaum Brahmana,
gerakan bhakti, dan Tantrayana menjadi faktor penting melemahnya pengaruh
Buddha di India.
III
Uraian di atas menegaskan bahwa perkembangan Shiwa-Buddha di India berada
dalam nuansa kontestasi keagamaan yang berujung pada lenyapnya agama
Buddha dari India. Kondisi yang bertolak belakang akan terjadi dalam penyebaran
dan perkembangan agama Shiwa-Buddha di Indonesia. Kedua agama ini
diperkirakan telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Masehi (Phalgunadi,
2010). Terdapat sejumlah teori yang menyatakan proses masuknya Shiwa-Buddha
ke Indonesia antara lain, teori Waisya (N.J.Krom), teori Ksatrya (C.C.Berg,
Mookerje, dan J.L Moens), teori Brahmana (J.van Leur), dan teori Arus Balik (F.D.K.
Bosch).
Sebelum ditemukannya yupa dari kerajaan Kutai, memang tidak ada bukti sejarah
yang meyakinkan tentang mulai masuknya Shiwa-Buddha ke Indonesia. Penemuan
sejumlah arca dewa-dewa Hindu di sekitar Kalimatan menunjukkan bahwa agama
Shiwa masuk bersamaan dengan mazhab-mazhab yang lain, khususnya
Brahmanisme. Mengingat dari abad ke-1 sampai abad ke-4 Masehi ajaran
Brahmanisme sedang mengalami kejayaan di India (Phalgunadi, 2010:36).
Bersamaan dengan itu, juga Buddha Mahayana mengalami perkembangan yang
pesat untuk memperbarui ajaran Hinayana yang mulai terdesak oleh gerakan kaum
Brahmana dan gerakan Bhakti kelompok Waishnawa. Walaupun demikian,
diperkirakan bahwa Hinduisme (Brahmanisme dan Shiwaisme) dan
Buddhisme memang datang secara langsung dari India. Tidak ada bukti sejauh ini
ditemukan kemungkinan kedua agama besar ini dipekenalkan di nusantara oleh
perantara-perantara dari negara lain, seperti halnya kasus Islam (Suamba, 2007:42
—43).
Itihasa Ramayana Valmiki memberikan catatan tertua adanya kontak antara India
dan Jawa. Diceritakan bahwa pasukan kera yang dipimpin Sugriwa memeriksa
berbagai tempat di dunia termasuk kepulauan Indonesia. Pasukan kera ini dengan
berhati-hati mengamati tujuh wilayah di Nusantara yang
disebut Saptarajya. Menurut Phalgunadi (dalam Suamba, 2007:41)
bahwa Saptarajya merupakan tujuh tempat, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,
Irian Jaya (dan Papua Nugini), Bali, Semenanjung Malaka, dan Jawa. Di samping
itu, kitab Brahmanda Purana yang disusun pada masa Gupta sekitar abad ke-4
Masehi, juga mengungkapkan bahwa saudagar-saudagar India telah mengunjungi
Indonesia. Kitab ini menyebut pulau Kalimantan (Borneo) dengan
nama Brahinadvipa. Beberapa kitab purana lainnya menyebutkan kunjungan Rsi
A g a s t y a k e B a r h i n a d v i p a , K u s a d v i p a , Va r a h a d v i p a , S a n k h a d v i p a ,
Malayadvipa, dan Javadvipa. Ia tinggal untuk beberapa waktu di gunung Maha-
malaya parvata di Malayadvipa. Kitab Raghuvamsa disusun oleh Kalidasa kira-kira
abad ke-5 Masehi juga menceritakan adanya lavanga (cengkeh) yang diimpor
dari Dvipantara yang kemudian bernama Sumatera. Wolters
percaya Dvipantara adalah nama lain Indonesia (Suamba, 2007:42).
Catatan serupa juga ditegaskan oleh sejumlah sejarawan tentang masuknya agama
Buddha ke Indonesia. Istilah “Labadiu” sebagai nama lain dari pulau Jawa telah
dikenal oleh Ptolemi, ahli bumi dari Iskandariah tahun 130 M. Sejarawan Buddhis
umumnya juga menjadikan cerita Ramayana Valimiki sebagai salah satu
pembuktian adanya kontak India dan Indonesia. Menurut catatan dari Tibet bahwa
Sriwijaya pada abad ke-2 telah menjadi pusat kegiatan agama Buddha dan banyak
sarjana agama Buddha asal China yang singgah ke sini sebelum melanjutkan
perjalanan ke India melalui Selat Malaka (Tim Penyusun, 2003:262; Suamba,
2007:71). Salah satu sarjana Buddha asal China bernama Fa-Hien juga sempat
singgah ke sini dan melanjutkan perjalannya ke Jawa pada tahun 414 M. Dia
mencatat bahwa di Jawa banyak terdapat penganut agama Brahmana yang
berlainan dengan India, sedangkan penganut Buddha sedikit jumlahnya. Kemudian,
pada tahun 421 M, seorang Bhiksu Buddha bernama Gunawarman, dari kerajaan
Kashmir menerjemahkan beberapa kitab suci Buddha dan menyebarkannya di She-
Po (Jawa). Setelah itu, juga Hui-neng seorang Bhiksu dari China datang ke Ho-ling
(Kalingga-Jawa Tengah) untuk menerjemahkan beberapa kitab suci agama
Hinayana yang dibantuk oleh Janabadhra (Suamba, 2007:72). Perkembangan
agama Buddha Hinayana di Sumatera juga diketahui dari catatan I-Tsing pada
tahun 671 Masehi. Aliran ini berkembang di kerajaan Bhoja (dekat Palembang)
yang dibawa oleh dhammaduta-dhammaduta dari India Utara – Kasmhir yang
diduga berasal dari mazbah Mulasarvastivada, sedikit dari mazhab Samattiya, dan
dua mazhab lain yang baru berkembang dari aliran Hinayana. Buddha Hinayana
juga berkembang di kerajaan Malayu (sekitar Jambi sekarang) (Tim Penyusun,
2003: 262).
IV
“Purnawarman, the king Taruma, released Sanskrit inscriptions during his reign
periods. The king performed Brahmanical rites. But Buddhism penetrated in the
heart of mass people and it become religion of common people. This is becaused of
a large number of Buddhist vestiges are discovered from different parts of Java
including a Buddha image. From the Chinese source, it appears that Java was a
center of Buddhist learning. During 5th century. Fa-hien stopped in Java studied
Buddhist texts. A monk Gunavarman who was the Prince of Khasmir (India) stayed
at She P’o (Java) and preached Buddhism in around 424 A.D. By Fifth century, Java
appears to be melting pot of different religions i.e. Hinduism and its Brahmanic sect
as well as Buddhism. People of Java accepted the alien religions an began
practising its rites and rituals”.
“...ini na lalukonon, talatah sang sadu jati hongkara namo sewya, sembah ing hulun
si Sanghyang pancatatagatha; panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda,
gata ma ngaran ing raga, ya eta ma pahayuon sareanana...”
(‘…inilah yang harus dilakukan, yaitu amanat sang baik hati (terpercaya) yang
sejati, selamatlah (hendaknya) dengan nama Shiwa, menyembahlah hamba kepada
Sanghyang Tatagatha (Buddha); panca berarti lima, tata itu artinya sabda,
gata artinya raga, ya itulah kebaikan semuanya’) (Puponegoro dan Notosusanto
dalam Suamba, 2007:67).
(‘(bangunan) penguat kejayaan, yang tiada bandingnya ini adalah jembatan yang
kokoh menuju Dharma (ajaran yang benar), dilengkapi dengan arca Manjusri demi
pemeliharaan segenap makhluk) (bait 13).
(ia itu yang membawa wajra dan bercahaya (adalah) Brahma, Wisnu,
maupun Mahesvara (ia adalah) junjungan yang memperlihatkan diri sebagai segala
dewa, (ia) dipuja dalam nyanyian sebagai Manjuwag) (bait 15).
Dua keluarga (wangsa) ini jua mempelopori pembangunan sejumlah candi di Jawa
Tengah, baik candi Siwa maupun candi Buddha. Candi-candi Hindu antara
lain, Prambanan, Gedongsanga, Dieng, Lorojonggrang, dan Ratu Baka. Candi
Buddha antara lain, Borobudur, Kalasan, Mendut, Sewu, dan Plaosan. Pada masa
ini pula filsafat dan agama mendapatkan perhatian serius. Konsep karmaphala,
kelahiran setelah kematian atau reinkarnasi, dan pembebasan sejati
atau sunyavada (moksa) sudah banyak dikenal masyarakat. Pelaksanaan ritual-
ritual keagamaan dan pemujaan dewa-dewa, baik Hindu maupun Buddha
berkembang pesat di masyarakat (Kumar, 2006). Hal ini dapat dilihat dari Candi
Prambanan misalnya, di sana dipuja Maharsi Agastya sebagai Bhatara Guru,
Ganesa, Lorojonggrang (Durga atau Uma), dan Siwa sendiri. Artinya, keseluruhan
aspek agama Hindu, baik tattwa (filsafat), etika, dan acara agama telah
dilaksanakan secara simultan pada masa ini sebagai kelanjutan dari masa-masa
sebelumnya.
Pada akhir masa kekuasaannya, Raja Erlangga membagi kerajaan menjadi dua,
yakni Jenggala yang beribukota di Kahuripan dan Panjalu yang beribukota di Daha.
Dalam Negarakrtagama 68, 2—5 diceritakan bahwa pembagian kerajaan ini
dilakukan dengan bantuan Mpu Bharadah yang terbang dengan membawa sebuah
kendi. Ini menjadi petunjuk penting perkembangan ajaran Siwa-Buddha Tantra yang
kental dengan nuansa mistis dan magis. Ketegasan tentang hal ini dapat dirujuk
dari pendapat Sarkar (2002:64) bahwa teks-teks Buddha sungguh-sungguh
berbicara tentang kekuatan-kekuatan itu melibatkan kapasitas “memproyeksikan
bayangan seseorang buatan pikiran, menjadi tidak dapat dilihat oleh mata,
menembus benda-benda padat seperti dinding, menembus dasar pada seolah-olah
cair, berjalan di atas air, terbang di angkasa, menyentuh matahari dan bulan, naik
ke surga-surga yang lebih tinggi, dan sebagainya. Pencapaian kekuatan-kekuatan
supernatural atau siddhi-siddhi juga salah satu tujuan utama praktik umum Tantra
Shiwa.
(1) Negarakrtagama
a) Tentang pencandian dan pengarcaan Shiwa dan Buddha dari raja-raja yang
memerintah Kediri, Singhasari, dan Majapahit.
b) Tentang Mpu Bharadah yang menguasai ajaran Shiwa-Buddha-Tantra.
c) Tentang Raja Krtanegara yang memeluk dua agama, yakni Shiwa dan Buddha
sehingga disebut Shiwa-Buddha.
d) Tentang pengangkatan kepala agama sebagai kepala pengadilan,
yaitu Dharmadhyaksa ri Kasewan dan Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
e) Prapanca adalah Dharmadyaksa ri Kasogatan (Mulyana, 2011).
f) Tentang dewa-dewa, yaitu Panca Sogata (Akshobya, Ratnasambhawa,
Amitabha, Amoghasiddhi, Wairocana); Panca Kosika (Mahakusika, Garga, Maitri,
Kurusya, Patanjala); dan Pancaka Shiwa (Iswara, Brahma, Mahamara,
Madhusudhana, dan Bhatara Guru)(Suamba, 2007:129).
(2) Arjunawijaya
a) “ndan katenanya haji tan hana bedha sang hyang; Hyang Buddha rakwa
kalawan Siwarajadewa kalih sameka sira sang pinakesti dharma; ring dharma sima
tuwi yan lepas adwitiya” (27.2) (‘pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara
Beliau; Sang Hyang Buddha dengan Sang Hyang Siwarajadewa; keduanya sama
itu yang menjadi tujuan dharma, baik dalam dharma sima maupun dharma
lepas, tidak ada bedanya’).
b) Lima Dhyani Buddha disamakan dengan Pancaka Shiwa, yaitu (1) Vairocana
(Sadashiwa) di tengah; (2) Aksobhya (Rudra) di timur; (3) Ratnasambhawa
(Dhatradewa) di selatan; (4) Amitabha (Mahadewa) di barat; dan (5) Amogasiddhi
(Harimurti) di utara (Mantra, 2002:27).
(3) Sutasoma
a) “Hyang Buddha tanpahi Shiwa Raja Dewa/ rwaneka dhatu winuwus wara
buddha wiswa/bhineka rakwa ring apan kena parwanosen/ mangka ng Jinatwa
kalawan Siwatwa tunggal/ bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa//”(‘Hyang
Buddha tidak ada bedanya dengan Shiwa Raja Dewa/ disebutkan dua perwujudan
Beliau, yaitu Buddha dan Siwa/ berbeda konon, tetapi kapankah dapat dibagi
dua/ demikianlah kebenaran Buddha dan kebenaran Siwa itu satu/yang berbeda itu
sesungguhnya satu jua/ karena tidak ada dharma yang mendua//’) (Mantra,
2002:25; Suamba, 2007:119).
b) Lima Dhyani Buddha disamakan dengan Pancakha Shiwa yaitu (1) Vairocana
(Shiwarajadewa) di tengah; (2) Aksobhya (Iswara) di timur; (3) Ratnasambhawa
(Dhatra) di selatan; (4) Amitabha (Mahamara) di barat; dan (5) Amogasiddhi
(Wishnu) di utara (Mantra, 2002:27).
c) Jina adalah kebenaran tertinggi dan terakhir, serta mewujudkan diri dalam
tritunggal, yakni Buddha, Lokeswara, danWajrapani yang disamakan
dengan Brahma, Wishnu, dan Ishwara.
Selain kitab-kitab tersebut, sesungguhnya masih banyak lagi susastera Jawa Kuna
yang memperbincangkan tentang Shiwa-Buddha. Kesusasteraan yang bercorak
Buddhistik, antara lain: Sang Hyang Kamahayanikan, Sutasoma, Arjuna Wijaya,
K u n j a r a k a r n a , N a g a r a k r t a g a m a , H a r i w a n g s a , Ta n t u P a g e l a r a n ,
Korawashrama, dan Bubuksah Gagakaking. Kitab-kitab yang bercorak Shiwaistik,
antara lain: Bhuwanakosa, Wrespatitattwa, Mahajnana, Tattwa Mahajnana, Jnana
Siddhanta, dan Bhuwana Sangksepa. Meskipun memiliki corak yang lebih
Buddhistik ataupun Shiwaistik, tetapi pada intinya kitab-kitab tersebut menguraikan
bahwa Shiwa dan Buddha adalah dua prinsip yang Tunggal.
V
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa perpaduan agama Shiwa-
Buddha di Indonesia terjadi karena adanya sejumlah kesamaan pada berbagai
aspek. Aspek-aspek ini ibarat lem perekat yang mampu mempertemukan kedua
agama tersebut. Berkaitan dengan hal itu, Suamba (2007:349—352) telah
menyusun sejumlah aspek yang membuka peluang terjadinya penyatuan Shiwa
Buddha di Indonesia, sebagaimana tabel berikut.
Tabel 01
Pararelisme antara Agama Shiwa dan Agama Buddha
No Konsep Agama Siwa Agama Buddha
Tabel 02
Pangider-ider Shiwa Sidhanta (Tantra)
No Dewa Shakti Wahan Senjat Arah Warna Bija
a a Mantra
1 S a d a Durga Lembu Padma Te n g a Panca Ing (I)/
S h i w a / h Warna Y a n g
Isana (Ya)
Tabel 03
Pangider-ider Buddha Mahayana (Panca Buddha)
N Dewa Shakti Wahan Arah Warna Bija Mantra
o a
1 Wairoc Wajradateswa Naga Te n g a Putih OM/A
ana ri h
2 Ratnas Mamaki Singha Selata Kuning SWA
ambha n
wa
3 Amitab Pandara Merak Barat Merat AH
ha
4 Amoga Tara Garuda Utara Hitam I
siddhi
5 Aksobh Locana Gajah Timur Biru HUM
1 Wairoc Wajradateswa Naga Te n g a Putih OM/A
ana ri h
2 Ratnas Mamaki Singha Selata Kuning SWA
ambha n
wa
3 Amitab Pandara Merak Barat Merat AH
ha
4 Amoga Tara Garuda Utara Hitam I
siddhi
5 Aksobh Locana Gajah Timur Biru HUM
ya
Tabel 04
Pangider-ider Vajra Bhairawa
No Arah Bhija Mantra Persembahan
Catatan: Vajra Bhairawa adalah cabang Vajrayana dari Buddha Tantra yang
pelaksanaannya hampir sama dengan Buddha Vajrayana.
VI
Simpulan dari semua uraian ini bahwa perkembangan agama Shiwa-Buddha di
India dan Indonesia saling bertolak belakang. Berawal dari penentangan Buddha
terhadap Brahmanisme, kemudian dibalas dengan perlawanan terhadap agama
Buddha. Perlawanan yang dilakukan kelompok Brahmana (Shiwa), gerakan Bhakti
Waishnawa, pengaruh Tantrayana, gerakanWedanta, dan situasi politik masa
itumenyebabkan agama Buddha lenyap dari India. Prinsip-prinsip penting dari
agama Buddha banyak mempengaruhi agama Hindu (terutama Waishnawa), tetapi
diambil dan digunakan untuk mengalahkan dalam debat. Pengakuan Buddha
sebagai awatara Wishnu merupakan cara yang cukup berhasil untuk melemahkan
pengaruh agama Buddha dan mengembalikan umat Hindu yang telah memeluk
ajaran Buddha. Begitu juga penolakan Buddha terhadap yajna dijadikan prinsip
penting gerakan Wedanta untuk mengalahkan agama Buddha.
Tlas sinurat,
Puri Gerenceng—Denpasar
10 Mei 2013
VII
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Bachchan. 2006. “Culture Relations Between Indonesia and India During
Ancient Period”. Makalah disampaikan dalam seminar “Siwa-Buddha di Indonesia”
yang diselenggarakan oleh Universitas Hindu Indonesia, Denpasar.
Kundra, D.N. 1968. A New Text Book of History of India. New Delhi.
Mantra, Ida Bagus, I Gusti Bagus Sugriwa, Ida Bagus Gede Agastia, Himansu
Busan Sarkar, J.HC. Kern, W.H, Rassers. 2002.Siwa Buddha Puja di
Indonesia. Denpasar: Yayasan Dharmasastra.
Phalgunadhi, I Gusti Putu. 2010. Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu Edisi
Revisi. Denpasar: Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan UNHI
Denpasar bekerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.
Rassers, Willem Huibert. 1926. Siwa en Boeddha in den Indischen
Archipel, edisi Translation Series – KITLV, No. 3. 1959 oleh Nijhoff.
Sharma, L.P. 2001. History of Ancient India: Pre-Historic Age to 1.200 AD. New
Delhi.
Sedyawati, Edi. 2009. Saiwa dan Bauddha di Masa Jawa Kuna. Denpasar: Widya
Dharma.
Suamba, I.B. Putu. 2007. Siwa-Buddha di Indonesia Ajaran dan
Perkembangannya. Denpasar: Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan
Kerjasama dengan Penerbit Widya Dharma.