You are on page 1of 10

A.

Pengertian
Euthanasia berasal dari kata Yunani "euthanatos", yang terbentuk dari
kata "eu" dan "thanatos" yang masing-masing berarti "baik" dan "mati". Jadi
euthanasia artinya membiarkan seseorang mati dengan mudah dan baik. Kata
ini. Juga didefinisikan sebagai "pembunuhan dengan belas kasian" terhadap
orang sakit, luka-luka atau lumpuh yang tidak memiliki harapan sembuh dan
didefinisikan pula sebagai pencabut nyawa sebisa mungkin dengan tidak
menimbulkan rasa sakit.

Euthanasia dilakukan dengan cara:


a) Kematian dengan cara pemberian obat bius dalam jumlah yang banyak
(overdosis) atau penyuntikan cairan yang mematikan dengan tujuan
mengakhiri hidup pasien.
b) Keputusan untuk menghentikan perawatan yang dapat memperpanjang
hidup pasien dengan tujuan mempercepat kematian.

Sejak abad ke 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran


rasa sakit dan peringatan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi
kematian dengan pertolongan dokter. (Abdul Fadl Mohsin Ebrahim. Telaah
Fiqh dan Biotika Islam, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2001, hal. 148)

Secara umum euthanasia dapat dikelompokkan menjadi dua katagori:

1. Euthanasia Pasif/Negatif
Yaitu tindakan membiarkan pasien yang berada dalam keadaan tidak
sadar (koma). Karena berdasarkan usulan medis sudah tidak ada harapan
hidup (tidak ada tanda-tanda kehidupan) yang disebabkan karena rusaknya
salah satu organ, tidak berfungsinya jantung dan lain-lain. Dengan kata lain
tenaga medis tidak lagi melanjutkan bantuan atau menghentikan proses
pengobatan.

Contohnya:
Seseorang penderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa.
Hingga penderita pingsan, menurut pengetahuan medis orang yang sakit ini
tidak ada harapan untuk bisa hidup normal lagi (tidak ada harapan hidup).
Sehingga si sakit tersebut dibiarkan mati secara alamiah, karena walaupun
peralatan medis digunakan sudah tidak berfungsi lagi bagi pasien.
Firman Allah dalam surat Ali Imran 156:

َ َ
‫اّلله‬ ْ ‫ه‬ ‫َ ر َْ َُ َ َ َ َه َه ه‬
ُ ‫يت يح ِيُ و‬
ُ ‫اّلل ُۗويم‬
ُ ‫ون بما و‬
ُ ‫ي تعمل‬
ُ ‫…بص‬

“....Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Ali Imran:156)
2. Euthanasia Aktif
Yaitu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan atau polesan alat-alat bantu pengobatan. Seperti:
saluran oksigen, alat pembantu jantung dan lain-lainnya. Sementara pasien
sebenarnya masih menunjukkan adanya harapan hidup berdasarkan usulan
medis.
Firman Allah dalam surat An-Nisaa ayat 29:

ََ ُ‫َْ ه َ ُ ْ َ ْ ه‬ َ َ َ ُْ ً َ
ُ ‫م تقتلوا و‬
‫ل‬ َُ ‫ان‬
ُ ‫اّلل إنُ ُۚأنفسك‬ ُ ‫م ك‬
ُ ‫…رحيما بك‬

".....Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah


Maha Penyayang Kepadamu". (QS. An Nisaa:29)

B. Motivasi Euthanasia

Pasien yang melakukan euthanasia dengan memperhatikan beberapa alasan:


1. Faktor Ekonomi
Yaitu salah satu sebab bagi seseorang untuk melakukan euthanasia,
dikarenakan biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan yang sangat mahal,
sehingga pasien dibiarkan dengan peratan medis yang seadanya, padahal
pasien tersebut membutuhkan pengobatan yang meksimal untuk mengobati
penyakit itu. Faktor ekonomi ini sangat berpengaruh dalam pengobatan
pasien, apalagi pada zaman sekarang ini, semua perlatan medis sulit
dijangkau oleh masyarakat biasa (miskin).
2. Pertimbangan Sarana dan Petugas Medis
Argumen pemikiran ini didasarkan atas pengutamaan seseorang
individu diatas individu yang lain, dengan alasan apabila ada pasien yang
masih muda dan diprediksikan lebih berpeluang untuk sembuh. Dengan alasan
semacam ini, petugas medis lebih mengutamakan pasien yang lebih muda
tersebut. Namun bagi seorang muslim, masalah seperti ini tidak diindahkan,
hal ini di tegaskan di dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 145:

َ َ َْ ْ َ َ ‫َه‬ ْ َ َ ً َ
َ َ
....‫ان وما‬ُ ‫ن لنفسُ ك‬ ُ ‫ل كت ًابا اّللُ بإذنُ إلُ تم‬
ُ ‫وت أ‬ ُ ‫همؤج‬

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah,
sebagai ketetapan yang Telah ditentukan waktunya". (QS. Ali Imran:145)

Dengan demikian tidak ada jaminan bahwa pasien yang sakit ringan
mampu hidup lebih lama ketimbang pasien yang sakit parah. Padahal
kematian seseorang tidak akan terjadi kecuali atas kehendak-Nya.

3. Mati Dengan Layak


Artinya bagi pasien yang sekarat yang diberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk menikmati apa yang mereka inginkan daripada terbaring
ditempat tidur, yaitu dengan memberikan obat dalam dosis yang mematikan,
sehingga si pasien tidak dengan cepat mengakhiri hidupnya, padahal tindakan
semacam ini sama saja dengan bunuh diri dan merupakan dosa besar dalam
pandangan Islam.
Hadits Rasulullah dari Anas bin Malik yang artinya:
"Janganlah seseorang diantara kamu mengharapkan mati dikarenakan oleh
musibah yang menimpanya: tetapi jika ia mengharapkan mati, hendaknya ia
mengatakan: "ŷₐ Allah, panjangkanlah umurku jika itu yang terbaik bagiku
dan matikanlah aku jika kematian adalah yang terbaik untukku"
Karena itu, seseorang muslim harus selalu berserah diri (tawakal)
kepada Allah dan kesedihan tidak boleh dibiarkan melanda selama
masa-masa buruk yang dialaminya, kendati harus pasrah menerima
datangnya kematian, seseorang tidak boleh kehilangan harapan akan kasih
sayang Allah. (Abdul Fadl Mohsin Ebrahim. Telaah Fiqh dan Biotika Islam,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2001, hal. 154 )
C. Perspektif Agama-Agama Terhadap Euthanasia

Sebagian besar agama-agama yang ada tidak menyetujui euthanasia,


karena beberapa alasan:

 Ajaran agama pada umumnya menyatakan bahwa kematian, merupakan akhir dalam
rangkaian kehidupan di dunia. Sepenuhnya adalah hak Tuhan, tidaka ada seorangpun
di dunia ini yang berhak untuk menunda sedikitpun waktu kematian, termasuk
mempercepat waktu kematian. Orang yang melakukan euthanasia berarti dapat
dikatagorikan putus asa dan orang putus asa tidak diperbolehkan oleh setiap agama.

 Semua agama mempunyai perintah/larangan dalam kitabsuci masing-masing yaitu


larangan membunuh, baik itu diri sendiri maupun orang lain. Karena setiap ada
perintah/larangan pasti ada balasan yang diberikan.

 Kehidupan manusia adalah sesuatu yang suci, karena itu kehidupan manusia harus
dilindungi dan dipelihara sebagai hak istimewa yang diberikan kepada setiap
manusia.

D. Pandangan Islam Terhadap Euthanasia

Ajaran Islam memberi petunjuk yang pasti tentang kematian. Dalam


Islam ditegaskan bahwa semua bentuk kehidupan ciptaan Allah akan
mengalami kebinasaan, kecuali Allah sendiri sebagai sang pencipta.
Firman Allah:
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan,
dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan”
Islam mengajarkan bahwa kematian datang tidak seorang pun yang
dapat memperlambat atau mempercepatnya. Allah menyatakan bahwa
kematian hanya terjadi dengan izin-Nya dan kapan saat kematian itu tiba
telah ditentkan waktunya oleh Allah. Dalam Islam kematian adalah sebuah
gerbang menuju kehidupan abadi (akhirat) dimana setiap manusia harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup didunia dihadapan
Allah SWT.
Kode etik kedokteran Islami yang disahkan oleh Konferensi
Internasional Pengobatan Islam yang pertama (The First International
Conference of Islamic Medical) menyatakan: bahwa euthanasia aktif sama
halnya dengan bunuh diri (tidak dibenarkan) sesuai dengan frman Allah:
“Dan janganlahkamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah maha
penyayang kepadamu”
Kesabaran dan ketabahan terhadap rasa sakit dan penderitaan sangat
dihargai dan mendapat pahala yang besar dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW,
“Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan,
sakit,kesedihan, kesusahan maupun penyakit, bahkan dari yang menusuknya,
kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang
dicobakannya itu” (HR. Bukhari Muslim)

E. Beberapa Pendapat Ulama Tentang Euthanasia

Diantara masalah yang sudah terkenal dikalanga Ulama syara’ ialah


bahwa mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya,
pendapat ini dikemukakan menurut Jumhur Fuqaha dan Imam-Imam mazhab.
Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat ini hanya segolongan kecil
yang mewajibkannya. Sahabat-sahabat Imam syafi’i, Imam Ahmad dan
sebagian Ulama menganggap bahwa mengobati itu sunnat.
Para Ulama berbeda pendapat mengenai mana yang lebih utama.
Berobat ataukah bersabar? Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa
bersabar (tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang
diriwayatkan dalam kitab sahih dari seorang wanita yang ditimpa penyakit,
wanita itu meminta kepada Nabi SAW agar mendoakannya, lalu beliau
menjawab “Jika engkau mau bersabar (maka bersabarlah) engkau akan
mendapat surga; jika engkau mau, maka saya doakan kepada Allah agar Dia
menyembuhkanmu. Wanita itu menjawab aku akan bersabar. Sebenarnya
saya tadi ingin dihilangkan penyakit saja, oleh karena itu doakanlah kepada
Allah agar saya tidak minta dihilangkan penyakit saya. Lalu Nabi mendoakan
orang itu agar tidak meminta dihilangkan penyakitnya”.
Dalam kaitan ini Imam Abu Hamid Al-Ghazali membantah orang yang
berpendapat bahwa tidak berobat itu lebih utama dalam keadaan apapun.
Pendapat fuqaha yang lebih popular mengenai masalah berobat atau tidak
bagi orang sakit adalah: sebagian besar diantara mereka berpendapat mubah,
sebagian kecil menganggapnya sunat, dan sebagian kecil lagi (lebih sedikit)
berpendapat wajib.
Jadi pendapat dari sejumlah fuqaha, para ahli (dokter) dan ahli fiqh
lainnya memperbolehkan euthanasia pasif (negatif)
http://aul-al-ghifary.blogspot.com/2013/10/hukum-euthanasia-menurut-islam.html
Euthanasia Menurut Hukum Islam
Jawab :
EUTHANASIA MENURUT HUKUM ISLAM

Pengertian Euthanasia
Euthanasia secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan
thanatos, yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal
dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang
yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang
ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Dalam praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah sampai
pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin lagi bisa
sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter adalah bahwa
pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien serta tidak
akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin
yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan
takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi
menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien
yang menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang
terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan
fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter
menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih
mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana
pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit
yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada
harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang
jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo,
2003:177).
Menurut Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri. Kedua,
tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di negara mana
pun. (Utomo, 2003:178).

Pandangan Syariah Islam


Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan
di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
A. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan
pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
Misalnya firman Allah SWT :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)

“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain),
kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha


Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).

Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja
(al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan
mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati
karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :

“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang


dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)

Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan


memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan
lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)

Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990:
111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka
diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas),
atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak)
(Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada
aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit,
bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya
dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).

B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan
dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak
memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama,
mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian
ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah,
seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib.
Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut
umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan
itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan
pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)

Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut


ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab

“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.”


(An-Nabhani, 1953)

Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits
itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan,
qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas
tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh].
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau,
kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada
Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan
bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku
kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi
SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini
menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan
perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib
(Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk
dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini
hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yag telah kritis
keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan
bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan
pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada
dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan
yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti
tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian
organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada
pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah.
Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan
mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ
otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut
alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan
tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69;
Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :


Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah


Ar-Risalah.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).


Damaskus : Darul Fikr.

Hasan, M.Ali. 1995. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah


Kontemporer
Hukum Islam. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer.
Jakarta
: Gema Insani Press.

Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`,


Al-Ijhadh,
Athfaal Al-Anabib, Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut :
Darul Ummah.

Zallum, Abdul Qadim. 1998. Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan


Islam :
Kloning, Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ
Tubuh Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.

Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung

https://anaksholeh.net/euthanasia-menurut-hukum-islam

You might also like