You are on page 1of 21

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. B
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Nguter, Sukoharjo
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
No. RM : 274XXX
Tanggal operasi :21 April 2015

B. ANAMNESIS
1. Keluhan utama
Nyeri perut
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sukoharjo pada hari Senin tanggal 20
April2015 dengan keluhan perut terasa sakit, tidak bisa kentut dan BAB.
Pasien merasa perut kembung dan dirasa semakin sakit. Riwayat
penyakit serupa disangkal.
3. Riwayat penyakit dahulu
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat penyakit jantung : disangkal
f. Riwayat penyakit hati : disangkal
g. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : disangkal
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat obat-obatan
a. Obat kortikosteroid : disangkal
b. Obat antihipertensi : disangkal
c. Obat antidiabetik : disangkal
d. Obat antibiotik : disangkal
e. Obat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat Operasi dan Anestesi : disangkal
7. Kebiasaan Sehari-hari
a. Merokok : disangkal
b. Konsumsi alkohol : disangkal
8. Anamnesis Sistem
a. Sistem serebrospinal : nyeri kepala (-), pusing (-), demam (-)
b. Sistem respirasi : batuk (-), pilek (-), sesak nafas (-)
c. Sistem kardiovaskuler : nyeri dada (-), berdebar-debar (-)
d. Sistem pencernaan : mual (-), muntah (-), nyeri perut (-)
e. Sistem urogenital : BAK (-)
f. Sistem musculoskeletal : gerak bebas
g. Sistem integumentum : ikterik (-), sianosis (-), akral hangat (+)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Sistem Generalis
Keadaan umum : baik, tidak tampak kesakitan
Gizi : kesan gizi cukup
Kesadaran : compos mentis, GCS E4V5M6
BB : 60 kg
2. Vital Sign
TD : 120/80 mmHg
N : 82x/menit
RR : 20x/menit

S : 36,8°C

3. Status Lokalis
a. Kepala
 Bentuk : mesosefal, simetris, deformitas (-), tanda trauma (-
)
 Rambut : hitam, distribusi rata, tidak mudah dicabut
 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
 Mulut : tidak ada gangguan dalam membuka rahang,
tampak arkus faring, uvula dan palatum molle, darah (-), susunan
gigi baik
b. Leher
 Pembesaran KGB (+)
 Benjolan di leher (-)
c. Thorax
 Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung I-II regular, bising (-)
 Pulmo
Inspeksi : simetris, tanda trauma (-) ketinggalan gerak (-),
retriksi (-)
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler (+) normal, suara tambahan (-)
d. Abdomen
 Inspeksi : simetris, sejajar dengan dinding thorax, sikatrik (-)
 Auskultasi : peristaltic (↓)
 Palpasi : nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas (-), tidak teraba
massa (-), hepar dan lien tidak teraba. Psoas sign (-), Obturator sign
(-), Rovsing sign (-), Blumberg sign (-)
 Perkusi : timpani, pekak beralih (-)
e. Ekstremitas
 Akral hangat
 Edema (-/-), sianosis (-/-)

D. PEMERIKSAAN TAMBAHAN
a. L
a Pemeriksaan Nilai Nilai rujukan

b Leukosit 28,5 /mm3 4,5-10


o Eritrosit 5,97 juta/ mm3 L : 4,5-5,5 P : 4-5
r Hemoglobin 18,5 L : 14-18 P : 12-16
a Trombosit 283 150-450
t Golongan Darah A
o Glukosa 66 70-120
r Hematokrit 18,5 L : 40-54 P : 30-47
b. P Hbs Ag Non reaktif (-)
e
meriksaan Radiologi
X Foto Abdomen 3 posisi :
 Distribusi udara usus prominent, merata dengan fecalmaterial (-)
 Preperitoneal fat line jelas
 Renal out line samar, psoas line tegas
 Tak tampak udara extra lumen pada posisi tegak dan posisi tertinggi
pada LLD
 Tampak air fluid level, step leader app dan coil spring app
 Sistem tulang intact
Kesimpulan : Gambar Ileus letak tinggi, tak tampak tanda perforasi.

E. DIAGNOSIS
Ileus

F. KESIMPULAN
Berdasarkan sistem fisik, diklasifikasikan dalam ASA II. ACC operasi
dengan General Anaesthesia

G. PENATALAKSANAAN
Terapi operatif : Laparoscopy

H. TINDAKAN ANESTESI
a. Pre operasi
1. Informed consent / persetujuan tindakan operasi dan anestesi
2. Pasien puasa 6 jam pre operatif, penting untuk mencegah aspirasi
lambung dari regurgitasi dan muntah
3. Keadaan umum dan vital sign (120/80 mmHg), respiasi 24x/menit,
nadi 82x/menit, suhu 36,80C.
4. Managemen terapi cairan
 Pengganti puasa (PP)  (pasien 60 kg)
=lama puasa (jam) x BB
= jam x 60
= 360cc
 Pasien telah mendapat 200 cc cairan sebelum operasi dimulai,
cairan pengganti puasa terpenuhi
 Maintenance (M)  (pasien 60 kg)
60 x 2 cc/kgBB = 120 cc
 Jumlah cairan maintenance = 120 cc
 Stresss operatif (SO)  (jenis operasi besar)
= 8 cc x 60 kg
= 480 cc
 Penggantian cairan selama operasi

Jam I = ½ x PP + M + SO
Jam II = ¼ x PP + M + SO
Jam III = ¼ x PP + M + SO
 Jam I = 180 cc + 120 cc + 480 = 690 cc
 Jam II = 180 + 120 cc + 480 cc = 645 cc

b. Peri operasi
 Pasien masuk ke ruang OK, diposisikan di atas meja operasi, diukur
lagi tekanan darah, nadi, respirasi dan saturasi (TD: 143/101 mmHg,
N: 126x/menit, RR: 22x/menit, SPO2:99%)
 Persiapan obat yang digunakan:
- Midazolam dosis premedikasi 0,05 mg x 60 kg = 3 mg
- Propofol dosis induksi 2-3 mg x 60 kg = 120 mg
- Atracurium dosis intubasi 0,5 mg x 60 kg = 30 mg
- Fentanyl dosis intubasi 1-3 mg x 60 kg = 60 mg
 Premedikasi
- 14.30 pasien diberi injeksi midazolam 3 mg IV sebagai sedasi
 Induksi
- 14.37 injeksipropofol 120mg, fentanyl dan atracurium.
- Tingkat kedalaman anestesi dinilai dari hilangnya reflek bulu
mata.
- Dipasang orofaringeal airway (goedel) lalu diberi face mask yang
telah terpasang dengan mesin anestesi dengan fresh flow gas O2
dan N2O 50:50 sambil dilakukan bagging ± 3 menit untuk
menentukan pengembangan paru dan pelemas otot
- Laringoskopi dimasukkan sampai terlihat glottis dan rima glottis
- Asisten melakukan Sellick Manuver dengan menekan cartilage
cricoidea
- ETT ukuran 7 dimasukkan. Menghubungkannya ke pompa,
menggembungkan cuff dengan spuit dan mendengarkan suara
paru lalu fiksasi ETT dan goedel
- Sevofluran, O2 dan N2O dialirkan sebagai anestesi rumatan.
Setelah tingkat anestesi dalam operasi dimulai.
- 14.45 operasi dimulai
 Maintenance
- Maintenance dengan N2 O 2L/menit sebagai analgetik,
sevoflurane 2 volt% dan O2 2L/menit untuk menanggulangi efek
pengenceran O2 pada alveoli oleh N2O.
Tabel perubahan tekanan darah, nadi, respirasi rate dan saturasi
O2
Waktu TD HR (x/menit) RR Sp O2 (%)
(mmHg) (x/menit)
14.30 143/101 107 20 99
14.35 147/105 107 20 98
14.40 163/97 115 20 99
14.45 120/84 92 20 99
14.50 93/65 90 21 99
14.55 112/75 120 20 99
15.00 150/105 109 20 99
15.05 136/95 119 22 99
15.10 149/104 114 22 99
15.15 131/93 106 22 99
15.20 126/93 85 21 99
15.25 125/86 99 20 99
- Sevoflurane dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum
operasi selesai. 15.25 operasi selesai, N2O dihentikan pasien
hanya diberikan O2, ETT dilepas dan pasien diberi O2 pernasal.
Pasien mulai sadar goedel dilepas.
c. Post Operasi
 Setelah operasi pasien dipindahkan ke recovery room
 Monitoring keadaan umum pasien dengan alderette score
- Kesadaran : dapat dibangunkan tapi cepat tidur =1
- Warna kulit : merah muda =2
- Aktivitas : dapat menggerakkan semua ekstremitas =2
- Respirasi : sanggup nafas dalam dan batuk =2
- Kardiovaskuler : TD deviasi 20% dari normal =2
 Total alderette score =9
 Kriteria pindah dari recovery room ke bangsal jika alderette
score ≥8 dan tanpa ada nilai 0 atau alderette score>9, maka
pasien dapat dipindahkan ke bangsal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI GENERAL
1. DEFINISI
General anesthesia atau anestesi umum adalah ketidaksadaran yang
dihasilkan oleh obat – obatan. Menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh
secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Selama anestesi umum, seseorang dalam keadaan tidak sadar namun bukan
dalam keadaan tidur sebenarnya. Anestesi umum dengan efeknya di atas
memungkinkan untuk digunakan dalam operasi atau pengobatan lainnya
yang mempunyai rasa sakit yang tidak bisa ditolerir.
Perbedaan dengan anestesi lokal antara lain, pada anestesi lokal
hilangnya rasa sakit setempat sedang anestesi umum seluruh tubuh. Pada
anestesi lokal yang terpengaruh saraf perifer, sedang pada anestesi umum
yang terpengaruh adalah saraf sentral dan anestesi lokal tidak terjadi
kehilangan kesadaran.

2. MEDIKASI
Di dalam prakteknya, obat – obat anestesi dimasukkan ke dalam tubuh
melalui inhalasi, atau parental, ada pula yang dimasukkan melalui rektal
tetapi jarang dilakukan.
1. Obat inhalasi antara lain:
 N₂0
 Halothan
 Enflurane
 Ether
 Isoflurane
 Sevoflurane
 Metoxiflurane
 Trilene
2. Obat melalui parental antara lain:
 Intravena antara lain penthotal, ketamin, propofol, etomidat dan
golongan benzodiazepin
 Intramuskular antara lain ketamin.
3. Obat melalui rectal antara lain:
 Etomidat (dilakukan untuk induksi anak).

Beberapa obat – obatan yang paling sering digunakan pada anestesi


umum adalah:
 Propofol, membuat hilangnya kesadaran (induksi), pada dosis
terendah akan memberikan sensasi nyaman (sedasi) bukan
kehilangan kesadaran.
 Benzodiazepin, sangat baik dalam menurunkan kecemasan
(ansiolisis) sebelum operasi.
 Narkotika, untuk mencegah dan mengobati nyeri.
 Agen inhalasi, dihirup bersamaan dengan gas yang yang
mengandung oksigen.
 Antiemetik, NSAID, muscle relaxant, dan obat – obatan vasoaktif.

Beberapa faktor yang mempengaruhi general anesthesia atau


anestesi umum antara lain:
1. Faktor respirasi
Diperlukan tekanan parsial pada alveoli dengan sirkulasi darah agar
terjadinya difusi obat anestesi. Proses difusi akan terganggu bila
terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada
edema pulmo dan fibrosis paru. Makin tinggi perbedaan tekanan
parsial makin tinggi terjadinya difusi.
2. Faktor Sirkulasi
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsenterasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas yang keduanya dalam keadaan
keseimbangan. Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi atau
BGkoefisien tinggi maka obat berdifusi cepat larut dalam darah.
Sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat etrjadi
keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya pasien
mudah tidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi
diakhiri.
3. Faktor Jaringan
Yang menentukan antara lain:
 Perbedaan tekanan parsial obat anestesi di dalam sirkulasi
darah dan di dalam jaringan.
 Kecepatan metabolisme obat.
 Aliran arah dalam jaringan.
 Tissue/blood partition coefisien.
4. Faktor Zat Anestesi
Zat – zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda – beda dengan
ukuran MAC (minimal alveolar concentration). MAC adalah
konsenterasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1
atm yang dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon
rangsang sakit supra maksimal pada 50% pasien, atau dapat diartikan
sebagai konsenterasi obat inhalasi dalam alveolu yang dapat
mencegah respon terhadapa incisi pembedahan pada 50% individu.
Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat anestesi tersebut.
3. STADIUM ANESTESI
Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium dengan
melihat pernafasan, gerakan bola mata, tanda pada pupil, tonus otot dan
refleks pada penderita yang mendapat anestesi ether.
1. Stadium I disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi.
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada
stadium ini operasi kecil bisa dilakukan.
2. Stadium II disebut juga stadium delirium atau eksitasi. Dimulai dari
hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pasien bisa meronta – ronta,
pernafasan ireguler, pupil melebar, refleks cahaya positif, gerakan bola
mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi, refleks fisiologis
masih ada, dapat terjadi batuk atau muntah, kadang – kadang kencing
atau defekasi.Stadium ini diakhiri dengan hilangnya refleks menelan
dan kelopak mata dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini
membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri.
3. Stadium III disebut juga stadium operasi. Dimulai dari nafas teratur
sampai paralise otot nafas. Dibagi menjadi 4 plana:
Plana I: dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Plana II: dari berhentinya gerkan bola mata sampai permulaan paralisa
otot interkostal.
Plana III: dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot interkostal.
Plana IV: dari paralise semua otot interkostal sampai paralise
diafragma.
4. Stadium IV juga disebut stadium over dosis atau stadium paralysis.
Dimulai dari paralisa diafragma sampai apneu dan kematian.

4. KOMPLIKASI
Efek samping paling sering dari anestesi umum adalah mual dan
muntah setelah operasi. Beberapa orang mungkin mengalami sakit
tenggorokan dan kerusakan pada gigi, gusi, lidah ataupun plica vokalis
akibat masuknya endotracheal tube kedalamnya. Komplikasi paling serius
dan paling jarang adalah malignant hyperthermia, serangan jantung,
stroke, atau kematian. Hal tersebut dapat terjadi pada pasien dengan
gangguan jantung, hipertensi, diabetes, penyakit ginjal, dan atau penyakit
paru.

B. TINDAKAN PEMASANGAN ETT (ENDO TRACHEAL


TUBE)/INTUBASI
1. DEFINISI
Pemasangan Endotracheal Tube (ETT) atau intubasi adalah memasukkan
pipa jalan nafas buatan ke dalam trachea melalui mulut. Tindakan intubasi
baru dapat dilakukan bila : cara lain untuk membebaskan jalan nafas
(airway) gagal, perlu memberikan nafas buatan dalam jangka panjang, ada
risiko besar terjadinya aspirasi ke paru-paru.
2. TUJUAN
Membebaskan jalan nafas dan untuk pemberian pernafasan mekanis
(dengan ventilator).
3. PERSIAPAN ALAT YANG DIGUNAKAN
1. Laryngoscope
2. ETT sesuai ukuran (Pria : nomor 7; 7,5; 8 dan wanita : nomor 6,5; 7)
3. Mandarin
4. Xylocain jelly
5. Xylocain spray
6. Handscoon steril
7. Spuit 10cc
8. Orofaringeal tube (goedel)
9. Stetoskop
10. Face mask
11. Suction kateter
12. Plester
13. Masker

4. PERSIAPAN TINDAKAN

1. Posisi pasien terlentang dengan kepala ekstensi (bila dimungkinkan


pasien ditidurkan dengan obat pelumpuh otot yang sesuai)
2. Petugas mencuci tangan, memakai masker dan handscoon
3. Melakukan suction
4. Melakukan intubasi dan menyiapkan ventilator
 Buka blade pegang tangkai laryngoskop dengan tenang
 Buka mulut pasiem
 Masukkan blade pelan-pelan menyusuri dasar lidah – ujung
blade sudah sampai dipangkal lidah – geser lidah pelan-pelan
kea rah kiri
 Angkat tangkai laryngoskop ke depan sehingga menyangkut
keseluruh lidah ke depan sehingga rima glottis terlihat
 Ambil pipa ETT sesuai ukuran yang sudah ditentukan
sebelumnya
 Masukkan dari sudut mulut kanan arahkkan ujung ETT
menyusur ke rima glottis masuk ke cela pita suara
 Dorong pelan sehingga seluruh balon ETT di bawah pita suara
 Cabut stylet
 Tiup balon ETT sesuai volumenya
 Cek ulang dengan stetoskop dan dengarkan aliran udara yang
masuk lewat ETT apakah sama antara paru kanan dan kiri
- Fiksasi ETT dengan plester
- Hubungkan ETT dengan konektor sumber oksigen
5. Pernafasan yang adekuat dapat dimonitor melalui cek BGA (Blood
Gas Analysis) ± ½ - 1 jam setelah intubasi selesai
6. Mncuci tangn sesudah melakukan intubasi
7. Catat respon pernafasan pasien pada mesin ventilator

C. FARMAKOLOGI OBAT ANASTESI


1. MIDAZOLAM
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek untuk premedikasi,
induksi dan pemeliharaan anestesi. Dibandingkan dengan diazepam,
midazolam bekerja cepat karena tranformasi metabolitnya cepat dan
lama kerja singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organik
otak atau gangguan fungsi jantung dan pernapasan, dosis harus
ditentukan secara hati-hati. Efek obat timbul dalam 2 menit setelah
penyuntikan. Dosis premedikasi dewasa 0,07-0,10 mg/kg BB,
disesuakan dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg,
pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0,025-0,05 mg/kgBB. Efek
sampingnya terjadi perubahan tekanan darah arteri, denyut nadi dan
pernapasan, umumnya hanya sedikit.

2. PROPOFOL ( 2,6 – DIISOPROPYL PHENOL )


 Kimia
- Lipofilik alkil fenol
- Senyawa asam sangat lemah
- Tidak larut dalam air
- Bentuk seperti minyak
- Tidak terionsisasi sempurna pada pH fisiologis
 Farmakokinetik
Onset cepat, kerja singkat
 Mekanisme Kerja
Menghambat transmisi sinaptik reseptor GABAA pada sinaps
spinal dan supraspinal
 Penggunaannya
a. Dosis : 1,5 – 2,5 mg/kg
b. Dosis diturunkan pada manula dan premedikasi
c. Untuk prosedur bedah singkat
d. Untuk anestesi maintenance
e. Untuk pelengkap analgesia
 Farmakodinamik
a. Kardiovaskular : Tensi menurun, tahanan vaskular menurun,
HR meningkat
b. Pernapasan : Menekan pernapasan à apnea
Lain-lain : Nyeri tempat suntikan, thrombophlebitis
Gastrointestinal, hepar, ginjal dan SSP
3. FENTANYL
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Analgesik
narkotika digunakan sebagai penghilang nyeri. Dalam bentuk sediaan
injeksi IM (intramuskular) Fentanyl digunakan untuk menghilangkan
sakit yang disebabkan kanker. Menghilangkan periode sakit pada
kanker adalah dengan menghilangkan rasa sakit secara menyeluruh
dengan obat untuk mengontrol rasa sakit yang persisten/menetap. Obat
Fentanyl digunakan hanya untuk pasien yang siap menggunakan
analgesik narkotika.
Fentanyl bekerja di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan
rasa sakit. Beberapa efek samping juga disebabkan oleh aksinya di
dalam sistem syaraf pusat. Pada pemakaian yang lama dapat
menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering terjadi bila
pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi jika
pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap
dengan periode tertentu sebelum pengobatan dihentikan.
Aksi sinergis dari fentanyl dan anestesi lokal di blok neuraxial
pusat (CNB) meningkatkan kualitas analgesia intraoperatif dan juga
memperpanjang analgesia pascaoperasi. Durasi biasa pada efek
analgesik adalah 30 sampai 60 menit setelah dosis tunggal intravena
sampai 100 mcg (0,1 mg). Dosis injeksi Fentanyl 12,5 µg
menghasilkan efek puncak, dengan dosis yang lebih rendah tidak
memiliki efek apapun dan dosis tinggimeningkatkan kejadian efek
samping.
4. ATRACURIUM
 Farmakodinamik
Atracurium merupakan neuromuscular blocking agent yang sangat
selektif dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja
sedang. Non-depolarising agent bekerja antagonis terhadap
neurotransmitter asetilkolin melalui ikatan
reseptor site pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan
pada berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi
terkendali. Atracurium tidak mempunyai efek langsung terhadap
tekanan intraocular, dan karena itu dapat digunakan pada bedah
opthalmik.
 Farmakokinetik
Waktu paruh eliminasi kira-kira 20 menit. Atracurium
diinaktivasi melalui eliminasi Hoffman, suatu proses non enzimatik
yang terjadi pada pH dan suhu fisiologis, dan melalui hidrolisis
ester yang dikatalisis oleh esterase non-spesifik.
Eliminasi atracurium tidak tergantung pada fungsi ginjal atau
hati. Produk urai yang utama adalah laudanosine dan
alcohol monoquartenaryyang tidak memiliki aktivitas blokade
neuromuscular. Alcoholmonoquartenary tersebut secara spontan
terdegradasi oleh proses eliminasi Hofmann dan diekskresi melalui
ginjal. Laudanosine diekskresi melalui ginjal dan dimetabolisme di
hati. Waktu paruh laudanosine berkisar 3-6 jam pada pasien
dengan fungsi ginjal dan hati normal, dan sekitar 15 jam pada
pasien gagal ginjal, sedangkan pada pasien gagal ginjal dan hati
sekitar 40 jam. Terminasi kerja blokade neuromuscular atracurium
tidak tergantung pada metabolisme ataupun ekskresi hati atau
ginjal. Oleh karena itu, lama kerjanya tidak dipengaruhi oleh
gangguan fungsi ginjal, hati, ataupun peredaran darah.
Uji plasma pasien dengan kadar pseudocholinesterase rendah
menunjukkan bahwa inaktivasi atracurium tidak terpengaruh.
Variasi pH darah dan suhu tubuh pasien selama masih dalam
kisaran fisiologis tidak akan mengubah lama kerja atracurium
secara bermakna. Konsentrasi metabolit didapatkan lebih tinggi
pada pasien ICU dengan fungsi ginjal dan atau hati yang abnormal.
Metabolit ini tidak berperan pada blokade neuromuscular.
5. Indikasi
Sebagai adjuvant terhadap anestesi umum agar intubasi trakea
dapat dilakukan dan untuk relaksasi otot rangka selama proses
pembedahan atau ventilasi terkendali, serta untuk memfasilitasi
ventilasi mekanik pada pasienIntensive Care Unit (ICU).
6. Kontraindikasi
Penderita yang hipersensitif terhadap obat ini.
7. Dosis dan Cara Pemberian
Rute pemberian : injeksi intravena atau infus kontinyu.
a. Dewasa : Pemberian melalui injeksi intravena, Dosis yang
dianjurkan : 0,3-0,6 mg/kg (tergantung durasi blokade penuh
yang dibutuhkan) dan akan memberikan relaksasi yang memadai
selama 15-35 menit. Intubasi endotrakea biasanya sudah dapat
dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi intravena 0,5-0,6
mg/kg. Blokade penuh dapat diperpanjang dengan dosis
tambahan sebesar 0,1-0,2 mg/kg sesuai kebutuhan. Pemberian
dosis tambahan secara berturut-turut tidak meningkatkan
akumulasi efek blokade neuromuskuler. Pemulihan spontan
sejak akhir blokade penuh terjadi dalam waktu sekitar 35 menit
diukur dari respon pemulihan tetanik sebesar 95% fungsi
neuromuscular normal. Blokade neuromuscular oleh atracurium
dapat dengan cepat dipulihkan dengan memberikan dosis
standar anticholinesterase agent, seperti neostigmine dan
edrophonium, disertai atau didahului dengan pemberian
atropine, tanpa terjadi rekurarisasi.
Pemberian infuse intravena. Setelah pemberian dosis
awal, atracurium dapat digunakan untuk pemeliharaan blokade
neuromuscular selama tindakan bedah yang lamadengan
memberikan continuous infusion pada dosis 0,3-0,6 mg/kg/jam.
Hypothermia yang diinduksi sampai suhu tubuh 25-26oC
dapat menurunkan laju inaktivasi atracurium, oleh karenanya
blokade penuh neruomuskular dapat dipertahankan dengan
pemberian kira-kira separuh dosis yang semula infuse pada
kondisi dengan suhu tubuh yang rendah tersebut.
b. Anak-anak .
Dosis untuk anak-anak lebih dari satu bulan sama dengan dosis
untuk dewasa berdasarkan berat badan.
c. Lanjut usia
Atracurium dapat diberikan dengan dosis standar. Namun
direkomendasikan agar dosis awal yang diberikan adalah dosis
terendah dan diberikan secara perlahan.
d. Efek samping
 Skin flushing, hioptensi atau bronkospasme ringan dan
sementara, yang berhubungan dengan pelepasan histamine.
 Sangat jarang terjadi : reaksi anafilaktik berat dilaporkan
terjadi pada pasien yang mendapatkan atracurium bersamaan
dengan beberapa obat lain. Pasien ini biasanya memiliki satu
atau lebih kondisi medis yang memudahkan terjadinya kejang
(contohnya trauma cranial, edema serebri, uremia).
DAFTAR PUSTAKA

1. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta.
2. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi,
1989, Jakarta.

You might also like